• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh ekstrak etanolik daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz and Pav) terhadap sel kanker kolon WiDr.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh ekstrak etanolik daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz and Pav) terhadap sel kanker kolon WiDr."

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) merupakan salah satu tanaman yang secara empiris digunakan oleh masyarakat sebagai obat antikanker. Sirih merah telah diteliti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kolon, payudara, dan leukimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun sirih merah terhadap sel kanker kolon WiDr dan melihat potensinya dalam menginduksi apoptosis serta menekan ekspresi protein siklooksigenase.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Uji aktivitas sitotoksik ekstrak etanolik daun sirih merah dilakukan dengan menggunakan metode 3-(4,5-dimetil thiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida (MTT) dan dihitung nilai Inhibitory Concentration 50 (IC50) menggunakan regresi linier Microsoft Excel 2007. Pengamatan kematian sel

kanker kolon WiDr dilakukan dengan metode double staining menggunakan etidium bromida-akridin oranye. Pengujian ekstrak etanolik daun sirih merah dalam menekan ekspresi siklooksigenase dilakukan dengan metode imunositokimia.

Hasil uji aktivitas sitotoksik ekstrak etanolik daun sirih merah dengan menggunakan metode MTT menunjukkan nilai IC50 sebesar 727 g/mL. Hasil uji

apoptosis dengan metode double staining menunjukkan ekstrak etanolik daun sirih merah dapat menginduksi apoptosis dan hasil uji imunositokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanolik daun sirih merah dapat menekan ekspresi protein siklooksigenase.

(2)

ABSTRACT

Red betel (Piper crocatum Ruiz & Pav) is one of the medicinal plants that are empirically used by people as an anticancer drug. Red betel has been observed to inhibit the growth of colon cancer, breast cancer, and leukemia. The aim of this research is to determine the cytotoxic activity of ethanol extract of red betel leaf against cells WiDr and investigate apoptosis induction and suppress the protein expression of cyclooxygenase.

This research was experimental research using completely one direction randomized design. The investigation of cytotoxic activity of ethanolic extract of red betel leaf is done by using 3-(4,5-dimethyl thiazol-2-yl)-2,5-difeniltetrazolium bromide (MTT) method and IC50 values calculated using linear regretion of Microsoft

Excel 2007. Observations of the death of WiDr colon cancer cells was performed by double staining method using acridine orange-ethidium bromide. The activity of extract of red betel leaf in suppressing the expression of cyclooxygenase was conducted using immunocytochemistry method.

The results of the cytotoxic activity test ethanolic extract of red betel leaf using MTT method showed IC50 value of 727g/mL, apoptosis double staining method

shows ethanolic extract of red betel leaf have a potential of inducing apoptosis and the result of immunocytochemistry assay showed that ethanolic extract of red betel leaves can suppress protein expression of cyclooxygenase.

(3)

PENGARUH EKSTRAK ETANOLIK DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz & Pav) PADA SEL KANKER KOLON WiDr

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Mery Tri Utami NIM : 118114098

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

PENGARUH EKSTRAK ETANOLIK DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz & Pav) PADA SEL KANKER KOLON WiDr

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Mery Tri Utami NIM : 118114098

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bila memang semua ini adalah cobaan untuk mencapai kesenangan,

saya iklash menjalankannya.

Bila memang semua ini adalah kesakitan untuk mencapai kebahagiaan,

saya rela merasakannya.

Dan...

Bila memang semua ini adalah syarat untuk mencapai keberhasilan,

saya akan memperjuangkannya.

“ Allah is Sufficient for Us, and the Best of Guardians “

(Q.S. Al-Imran 3:173)

Kupersembahkan karyaku untuk :

Papa, Mama, Adikku yang selalu mendukung dan mendoakanku

Para Sahabat

(8)
(9)
(10)

vii

PRAKATA

Syukur bagi Allah SWT karena atas anugrah dan rahmat-Nya Penulis

dapat menyelesakan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) program studi

Farmasi.

Penulis telah banyak menerima dukungan selama proses perkuliahan,

penelitian dan penyusunan skripsi. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Aris Widayati selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2. Agustina Setiawati, M.Sc, Apt. selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan waktu, bimbingan, pengarahan, serta masukan kepada Penulis

dalam penyusunan skripsi.

3. Dr. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.

4. Damiana Sapta Candrasari, M.Sc. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.

5. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

(11)

viii

6. Gigih Prayoga, Tjok Gede Perdana Wiguna, dan Handika Immanuel sebagai

rekan satu tim atas kerjasama, persahabatan, bantuan dan kebersamaan selama

proses penyusunan skripsi.

7. Papa, Mama, Icong, Bunny, Kak Eva, Kak Yeni, Gabriella Septiana, Arvita,

Andung Panjalu, Clara Dewi, atas dukungan dan doa dalam skripsi ini.

8. Teman-teman angkatan 2011 terkhusus Kelas FSM C 2011 dan FST A 2011

atas keceriaan dan kebersamaan yang tidak akan terlupakan.

9. Teknisi Laboratotium Parasitologi dan Team CCRC UGM yang telah

membantu dalam penelitian ini.

10.Bagian Instalasi Patologi Anatomi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah

membantu dalam penelitian ini.

11.Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis.

Penulis menyadari bahwa didalam skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh

karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari seluruh

pihak. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 15 Juni 2015

(12)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Keaslian Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

1. Manfaat teoretis ... 5

(13)

x

E. Tujuan Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Kanker dan Karsinogenesis ... 7

B. Kanker Kolon ... 10

C. Ekspresi Siklooksigenase 2 (COX-2) pada Kanker Kolon ... 12

D. Sel WiDr ... 15

E. Apoptosis dan Nekrosis ... 16

F. Tanaman Sirih Merah ... 20

1. Deskripsi tanaman ... 20

2. Klasifikasi tanaman ... 21

3. Kandungan fitokimia ... 22

G. Ekstraksi ... 23

H. Uji Sitotoksik dengan MTT Assay ... 24

I. Uji Apoptosis dengan Metode Double Staining ... 26

J. Uji Imunositokimia ... 28

K. Landasan Teori ... 30

L. Hipotesis ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 32

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 32

1. Variabel utama ... 32

2. Variabel pengacau ... 32

(14)

xi

C. Bahan Penelitian ... 34

D. Alat Penelitian ... 34

E. Tata Cara Penelitian ... 35

1. Determinasi tanaman sirih merah ... 35

2. Pembuatan simplisia ... 35

3. Ekstraksi daun sirih merah dengan metode maserasi ... 35

4. Uji sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih merah dengan metode MTT ... 36

5. Uji apoptosis ekstrak etanol daun sirih merah dengan metode double staining ... 39

6. Pengamatan ekspresi COX-2 dengan metode imunositokimia ... 40

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 42

1. Uji MTT ... 42

2. Uji double staining ... 42

3. Uji imunositokimia ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Determinasi Tanaman dan Ekstraksi Daun Sirih Merah ... 45

B. Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah dengan MTT assay ... 47

C. Uji Apoptosis Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah dengan Metode Double Staining ... 51

(15)

xii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 69

(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Distribusi sel WiDr pada uji apoptosis dengan metode double

staining ... 53

Tabel 2. Jumlah rata-rata sel yang mengekpresikan COX-2 pada

kelompok perlakuan, kontrol sel, dan doksorubisin ... 57

Tabel 3. Hasil uji statistik kebermaknaan antara kelompok perlakuan

(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema mekanisme terjadinya kanker ... 9

Gambar 2. Skema perubahan morfologi dan molekuler dalam rangkaian adenoma-karsinoma kolon ... 11

Gambar 3. Skema mekanisme ekspresi COX-2 pada kanker kolon ... 14

Gambar 4. Rangkaian perubahan ultrastruktur yang tampak pada nekrosis (kiri) dan apoptosis (kanan) ... 18

Gambar 5. Tanaman sirih merah ... 21

Gambar 6. Macam-macam reagen untuk deteksi viabilitas sel ... 25

Gambar 7. Mekanisme pembentukan formazan pada reaksi MTT ... 26

Gambar 8. Tahap-tahap dalam metode imunositokimia ... 29

Gambar 9. Kurva hubungan % viabilitas sel dengan konsentrasi ekstrak etanol daun sirih merah ... 49

Gambar 10. Morfologi sel WiDr yang diamati dibawah mikroskop inverted dengan perbesaran 400x ... 49

Gambar 11. Efek perlakuan ekstrak etanol daun sirih merah pada sel WiDr dengan menggunakan metode double-staining ... 54

(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat keterangan hasil determinasi tanaman sirih merah ... 70

Lampiran 2. Pengolahan data uji sitotoksik MTT assay ... 71

Lampiran 3. Dokumentasi uji sitotoksik MTT assay ... 73

Lampiran 4. Distribusi sel WiDr pada uji apoptosis dengan metode double

staining ... 74

Lampiran 5. Hasil analisis statistik pada uji apoptosis dengan metode

double staining ... 76

Lampiran 6. Dokumentasi uji double staining ... 81

Lampiran 7. Hasil perhitungan uji ekspresi COX-2 dengan metode

imunositokimia ... 82

Lampiran 8. Hasil analisis statistik pada uji imunositokimia ... 83

Lampiran 9. Dokumentasi uji imunositokimia kontrol sel dan perlakuan

(19)

xvi

INTISARI

Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) merupakan salah satu tanaman yang secara empiris digunakan oleh masyarakat sebagai obat antikanker. Sirih merah telah diteliti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kolon, payudara, dan leukimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun sirih merah terhadap sel kanker kolon WiDr dan melihat potensinya dalam menginduksi apoptosis serta menekan ekspresi protein siklooksigenase.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Uji aktivitas sitotoksik ekstrak etanolik daun sirih merah dilakukan dengan menggunakan metode 3-(4,5-dimetil thiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida (MTT) dan dihitung nilai Inhibitory Concentration 50 (IC50)menggunakan regresi linier Microsoft Excel 2007. Pengamatan kematian

sel kanker kolon WiDr dilakukan dengan metode double staining menggunakan etidium bromida-akridin oranye. Pengujian ekstrak etanolik daun sirih merah dalam menekan ekspresi siklooksigenase dilakukan dengan metode imunositokimia.

Hasil uji aktivitas sitotoksik ekstrak etanolik daun sirih merah dengan menggunakan metode MTT menunjukkan nilai IC50 sebesar 727 g/mL. Hasil uji

apoptosis dengan metode double staining menunjukkan ekstrak etanolik daun sirih merah dapat menginduksi apoptosis dan hasil uji imunositokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanolik daun sirih merah dapat menekan ekspresi protein siklooksigenase.

(20)

xvii

ABSTRACT

Red betel (Piper crocatum Ruiz & Pav) is one of the medicinal plants that are empirically used by people as an anticancer drug. Red betel has been observed to inhibit the growth of colon cancer, breast cancer, and leukemia. The aim of this research is to determine the cytotoxic activity of ethanol extract of red betel leaf against cells WiDr and investigate apoptosis induction and suppress the protein expression of cyclooxygenase.

This research was experimental research using completely one direction randomized design. The investigation of cytotoxic activity of ethanolic extract of red betel leaf is done by using 3-(4,5-dimethyl thiazol-2-yl)-2,5-difeniltetrazolium bromide (MTT) method and IC50 values calculated using linear regretion of

Microsoft Excel 2007. Observations of the death of WiDr colon cancer cells was performed by double staining method using acridine orange-ethidium bromide. The activity of extract of red betel leaf in suppressing the expression of cyclooxygenase was conducted using immunocytochemistry method.

The results of the cytotoxic activity test ethanolic extract of red betel leaf using MTT method showed IC50 value of 727g/mL, apoptosis double staining

method shows ethanolic extract of red betel leaf have a potential of inducing apoptosis and the result of immunocytochemistry assay showed that ethanolic extract of red betel leaves can suppress protein expression of cyclooxygenase.

(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan sekelompok penyakit yang ditandai dengan

pertumbuhan sel abnormal yang tidak terkendali. Kanker juga merupakan

penyebab utama kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung di

beberapa negara berkembang (American Cancer Society, 2014). Menurut The

International Agency for Research on Cancer (2013), terdapat sekitar 28 jenis

kanker di 184 negara pada tahun 2012, dengan perkiraan kasus sebanyak 14,1 juta

kasus baru dan 8,2 juta kasus kematian. Tingginya jumlah kematian yang terjadi

disebabkan oleh kurangnya deteksi dini dan fasilitas pengobatan kanker.

Kanker kolon merupakan kanker ganas epitel pada usus besar dan jenis

kanker ketiga terbanyak di Indonesia yang terjadi pada pria (19,1%) maupun

wanita (15,6%) per 100.000 penduduk. Insidensi tersebut lebih besar

dibandingkan dengan insidensi kanker kolon di Australia, Selandia Baru, dan

Eropa Barat (Ferlay et al., 2010). Faktor-faktor seperti tingginya asupan lemak

dan protein, rendahnya asupan serat, riwayat keluarga dengan penyakit kanker

kolon, serta adanya radang usus kronis, dapat meningkatkan resiko terjadinya

kanker kolon (Hartwich et al., 2001).

Upaya-upaya seperti pembedahan (laparoskopi), kemoterapi, radiasi,

maupun dengan obat-obatan dapat dilakukan untuk menyembuhkan dan

(22)

menunjukkan ada penurunan 40-50% kematian akibat kanker kolon pada

penderita yang mengkonsumsi obat aspirin atau obat golongan Non Steroid Anti

Inflammatory Drug (NSAID) lain secara terus-menerus. Aspirin dan obat NSAID

lain dapat menghambat kedua COX (COX-1 dan COX-2). Pengobatan ini

menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti ulkus gastrointestinal

dan perdarahan lambung, terutama jika mengkonsumsi aspirin dalam dosis tinggi.

Efek samping yang tidak menyenangkan seperti hepatotoksisitas (El-Sayyad et al.,

2009) dan kardiotoksisitas (Wattanapitayakul et al., 2005) juga dilaporkan pada

penggunaan agen kemoterapi doksorubisin sehingga efektivitas penggunaanya

untuk terapi kanker kolon dibatasi. Oleh karena itu, diperlukan terapi alternatif

lain untuk mengobati penyakit kanker kolon dengan mengembangkan obat yang

aman dan efektif dari bahan alam.

Pembentukan dan progresi kanker kolon dipengaruhi oleh aktivitas

siklooksigenase-2 (COX-2), suatu protein yang mengatur sintesis prostaglandin

dan diekspresikan berlebih pada beberapa kanker epitelial. Naghshvar et al.,

(2009) melaporkan bahwa lebih dari 80% kasus kanker kolon menunjukkan

adanya peningkatan ekspresi COX-2 dibandingkan dengan sel normal. Ekspresi

COX-2 disebabkan oleh faktor-faktor pertumbuhan seperti Epidermal Growth

Factor (EGF) atau faktor α pertumbuhan tumor dalam sistem sel yang dapat

menginduksi imunosupresi lokal. Peningkatan prostaglandin E2 dan proliferasi

inhibitor poten limfosit T, menyebabkan sel-sel kanker kolon dapat terhindar dari

sistem pertahanan tubuh (tidak menjalani apoptosis), menunjukkan perubahan

(23)

Oleh karena itu, COX-2 dapat dijadikan sebagai target molekuler dalam skrining

senyawa dari bahan alam yang berfungsi sebagai agen kemopreventif untuk

kanker kolon.

Salah satu tanaman yang potensial dikembangkan sebagai agen

kemopreventif adalah sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav). Berdasarkan

pada penelitian yang dilakukan oleh Astuti, Wahyono, and Nababan (2014),

ekstrak etil asetat daun sirih merah memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel

T47D dan sel WiDr. Daun sirih merah diketahui memiliki kandungan senyawa

kimia seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan tanin. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Safithri and Fahma (2008), air rebusan daun sirih merah

mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, dan tanin. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Suhermanto (2013) menyatakan bahwa ekstrak etanol 30% daun

sirih merah mengandung kadar flavonoid tertinggi dibandingkan dengan ekstrak

air yang lebih banyak mengandung tanin dan alkaloid. Menurut Deore et al.,

(2009), flavonoid dan tanin termasuk dalam senyawa fenolik yang berfungsi

sebagai antioksidan, antitumor, antiviral, dan antibiotik, sedangkan senyawa

alkaloid mempunyai sifat antineoplastik yang mampu menghambat pertumbuhan

sel-sel kanker.

Penelitian ini dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut

etanol untuk memperoleh ekstrak etanol daun sirih merah. Uji sitotoksisitas

dilakukan dengan menggunakan metode

3-(4,5-dimetilthiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida (MTT) sehingga diperoleh data persentase viabilitas

(24)

berbagai seri konsentrasi. Penelitian mengenai aktivitas sitotoksik ekstrak etanol

daun sirih merah terhadap sel WiDr perlu dilakukan lebih lanjut dengan

menelusuri jalur kematian sel WiDr melalui mekanisme apoptosis. Metode yang

digunakan dalam uji apoptosis pada penelitian ini adalah metode double staining

menggunakan reagen akridin oranye-etidium bromida. Penelusuran mekanisme

molekuler aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun sirih juga perlu dilakukan

melalui penekanan ekspresi COX-2 menggunakan metode imunositokimia. Sel

WiDr yang digunakan pada penelitian ini merupakan model sel kanker kolon yang

mengekspresikan COX-2 secara berlebihan, sehingga dapat dijadikan sebagai

target molekuler dalam penemuan agen kemopreventif untuk kanker kolon.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol daun sirih merah mempunyai aktivitas sitotoksik dan

berapa IC50 ekstrak etanol daun sirih merah terhadap sel WiDr?

2. Apakah ekstrak etanol daun sirih merah dapat menginduksi apoptosis pada sel

WiDr?

3. Apakah ekstrak etanol daun sirih merah dapat menekan ekspresi COX-2 pada

sel WiDr ?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai potensi daun sirih merah telah dilakukan oleh

(25)

merah memiliki efek antiproliferatif terhadap sel kanker payudara T47D secara in

vitro.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Katrin, Komarudin, Susanto, and

Winarno (2013), ekstrak etanol daun sirih merah merupakan ekstrak yang paling

aktif menghambat pertumbuhan sel leukemia L1210 dengan IC50 sebesar 13,12

µg/mL.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Astuti, Wahyono, and Nababan

(2014) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat daun sirih merah memiliki aktivitas

sitotoksik terhadap sel T47D dengan IC50 sebesar 37,43 g/mL dan terhadap sel

WiDr sebesar 120,38 g/mL.

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian

mengenai aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun sirih merah terhadap sel WiDr

belum pernah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun sirih merah terhadap sel WiDr yang

dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian penemuan obat kanker

(26)

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

potensi ekstrak etanol daun sirih merah yang dapat digunakan sebagai terapi

alternatif untuk mengobati kanker kolon.

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui aktivitas sitotoksik dan nilai IC50 ekstrak etanol daun sirih merah

pada sel WiDr.

2. Mengetahui kemampuan ekstrak etanol daun sirih merah dalam menginduksi

apoptosis pada sel WiDr.

3. Mengetahui kemampuan ekstrak etanol daun sirih merah dalam menekan

(27)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker dan Karsinogenesis

Kanker merupakan penyakit keganasan pada sel yang disebabkan adanya

perubahan perilaku sel yang abnormal dalam mengontrol proliferasi dan

diferensiasi sel. Perubahan perilaku tersebut karena adanya transformasi genetik

pada sel terutama pada gen-gen yang mengkode protein yang berperan pada

pengaturan siklus pembelahan sel (Sudiana, 2008). Transformasi genetik sebagian

kecil dapat diwariskan secara herediter seperti pada kanker kolorektal, payudara,

dan prostat, namun sebagian besar kanker dihasilkan dari adanya kerusakan gen

yang terjadi selama hidup seseorang (American Cancer Society, 2014). Sel normal

harus mengalami tujuh perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang

menentukannya menjadi fenotip sel ganas. Tujuh perubahan tersebut antara lain

mampu mencukupi sinyal pertumbuhan sendiri, tidak sensitif terhadap

sinyal-sinyal yang menghambat pertumbuhan, kehilangan kemampuan apoptosis,

gangguan perbaikan DNA, kemampuan replikasi tanpa batas (immortal),

kemampuan membentuk pembuluh darah baru (angiogenesis), kemampuan

menginvasi dan bermetastatis (Kumar, Abbas, and Fausto, 2005).

Pembentukan kanker dimulai dari proses displasia yaitu kelainan

diferensiasi sel normal menjadi sel abnormal yang disertai gangguan pengaturan

dalam sel. Pertumbuhan sel abnormal menjadi tidak terkontrol sehingga mengarah

(28)

tidak menyebar ke jaringan lain sedangkan sel kanker bersifat menginvasi

jaringan secara progresif dan menyebar ke tempat lain (metastatis).

Ketidakstabilan genetis terus terjadi pada sel ganas dan menyebabkan perubahan

yang lebih lanjut sehingga mempengaruhi sensitivitas terhadap terapi (Chrestella,

2009).

Proses terjadinya karsinogenesis merupakan proses bertahap yang

memerlukan beberapa waktu sampai terjadinya kanker. Proses karsinogenesis

diawali dengan tahap inisiasi pada sel yang terpapar karsinogen sehingga terjadi

ketidakstabilan dan mutasi gen yang menyebabkan terbentuknya neoplastik.

Perubahan yang ditimbulkan oleh karsinogen pada DNA tidak selalu merupakan

inisiasi karena sebagian besar kerusakan atau kesalahan rantai DNA dapat

diidentifikasi dan diperbaiki oleh enzim pengoreksi (proofreading). Enzim

pengoreksi memberikan sinyal pada siklus sel untuk menghentikan perbaikan sel,

namun jika kesalahan tidak dapat diperbaiki, maka sel secara normal

diperintahkan untuk menghancurkan diri sendiri (self-destruct) (Corwin, 2008).

Tahap kedua karsinogenesis adalah tahap promosi. Tahap promosi

merupakan tahap sel yang DNA-nya telah termutasi berubah menjadi neoplasma

dengan bantuan suatu zat promotor. Zat promotor dapat menginduksi tumor di

sel-sel yang sudah mengalami inisiasi, mempercepat proliferasi sel-seldengan

menstimulasi onkogen, atau meningkatkan reseptor permukaan untuk faktor

pertumbuhan, walaupun promotor sendiri tidak bersifat tumorigenik.Transformasi

sel yang terjadi pada tahap ini didorong oleh paparan karsinogen dalam jangka

(29)

Tahap terakhir karsinogenesis adalah tahap progresif. Tahap progresif

meliputi manifestasi pertumbuhan dan perkembangan tumor menjadi ganas.

Adanya kegagalan mekanisme apoptosis pada sel yang termutasi, menyebabkan

sel mengalami pertumbuhan membentuk klon sel baru (sel klonal yang memiliki

gene defect). Sistem imun menganggap sel baru tersebut sebagai benda asing dan

dihancurkan melalu jalur Antibody Dependent Cell Cytoxicity (ADCC), aktivitas

komplemen, maupun melalui jalur apoptotik yang diperankan oleh ikatan Fas

pada permukaan sel abnormal dengan ligan yang diekspresikan oleh Natural

Killer cell (NKc) dan Cytotoxic T-Lymphocyte (CTL). Sel abnormal memiliki

kemampuan untuk menipu sistem imun tubuh sehingga sistem imun tidak mampu

menghancurkan atau mengeliminasi kelompok sel abnormal.Sel abnormal tersebut

dapat mengalami proliferasi dan diferensiasi yang berlebihan dan akhirnya sel

berubah menjadi tumor yang bersifat ganas (maligna). Sel maligna ini mempunyai

kemampuan untuk menyebar ke jaringan lainnya, baik dari jaringan sekitar

maupun jaringan yang jauh (metastatis) (Sudiana, 2008).

Gambar 1. Skema mekanisme terjadinya kanker (Departemen Kesehatan RI, 2007). Aspek lain dari tahap progresif adalah terjadinya vaskularisasi yang

dikontrol oleh faktor angiogenesis yang kemudian terjadi invasi sel tumor pada

jaringan limfa maupun pembuluh darah. Apabila sel kanker dalam bentuk emboli

Sel Normal Sel Terinisiasi Sel Kanker

Faktor resiko kanker

(karsinogen) Promotor

(30)

kecil memasuki aliran darah maka sel kanker akan mengalami penghancuran

setelah berinteraksi dengan komponen darah. Apabila ada emboli yang tertinggal

pada suatu jaringan atau organ, maka akan memicu pembentukan suatu trombos.

Hal inilah yang menyebabkan sel kanker dapat membelah dan terjadi

perkembangan mikrometastatis yang secara berkelanjutan menjadi jaringan baru

serta memicu proliferasi pembuluh darah (Kumar et al., 2005).

B. Kanker Kolon

Kanker kolorektum adalah kanker yang terjadi didaerah kolon (usus besar)

dan daerah rektum. Secara anatomis, daerah kolon yang berdekatan dengan

rektum merupakan daerah rawan kanker, sehingga hampir setengah dari seluruh

kasus kanker kolorektal terjadi didaerah rektum dan daerah rektosigmoid

(Khomsan, 2009). Insiden puncak karsinoma kolorektum adalah antara usia 60-79

tahun dan kurang dari 20% kasus terjadi sebelum usia 50 tahun. Faktor makanan

seperti asupan kalori makanan yang berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan,

rendahnya kandungan serat sayuran yang tidak terserap dalam makanan, tingginya

kandungan karbohidrat olahan, dan kurangnya asupan mikronutrien protektif,

merupakan faktor predisposisi tingginya insiden kanker kolon. Faktor lingkungan,

obesitas, dan inaktivitas fisik merupakan faktor lain yang juga berperan pada

pembentukan kanker kolon (Kumar et al., 2005).

Kanker kolon menjalani tahapan karsinogenesis pada proses

pembentukannya. Inisiasi kanker kolon ditandai dengan terjadinya kerusakan

(31)

mutasi gen. Inisiasi pada kolon juga dapat terjadi sejak lahir di mana terdapat

mutasi bawaan di antaranya mutasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pada

Familial Adenomatous Polyposis (FAP), serta mutasi human Mut S Homolog 2

(hMSH2) dan human Mut L Homolog 1 (hMLH1) pada kasus Hereditary

Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC) (Kim, Cheung, and Hellerstein,

2004).

[image:31.595.100.518.202.557.2]

Gambar 2. Skema perubahan morfologi dan molekular dalam rangkaian adenoma–

karsinoma kolon (Aspinall and Taylor-Robinson, 2002).

Berbagai kelainan genetik yang terjadi secara bertahap berkaitan dengan

perubahan perilaku atau fenotipe mukosa kolon. Perubahan yang paling awal pada

pembentukan kanker kolon adalah meningkatnya jumlah sel (hiperplasia) pada

permukaan epitel (lumen). Hiperproliferasi sel epitel usus memulai tahapan

promosi kanker kolon, yang di tandai dengan penebalan dinding kolon.

Hiperproliferasi sel didukung dengan adanya abnormalitas pada metilasi DNA,

inaktivasi APC, hMSH2, hMLH1, dan ekspresi enzim siklooksigenase-2 (COX-2)

yang berlebih. Tingkat mutasi sel semakin bertambah seiring dengan laju Hiperproliferasi epitel

Kolon normal Adenoma Karsinoma

(32)

proliferasi sel sehingga sel epitel kolon tidak mampu mengatasi kerusakan DNA

yang terjadi. Sel epitel yang telah terpromosi menghasilkan suatu adenoma yang

ditandai dengan meningkatnya ukuran dan jumlah sel-sel pembentuk kelenjar

namun belum bersifat menginvasi struktur sekitarnya (McPhee and Ganong,

2006).

Akumulasi kerusakan DNA yang semakin meningkat terjadi pada tahap

progresi. Sel epitel yang terpromosi telah mengalami mutasi pada gen Kirsten Rat

Sarcoma (K-Ras), p53, dan Deleted in Colon Cancer (DCC). Secara anatomis,

telah dapat diamati adanya adenoma pada kolon. Adenoma yang terbentuk

membesar secara progresif yang kemudian membentuk suatu displastik.

Perubahan displastik seperti hilangnya produksi musin dan perubahan polaritas sel

dapat dijumpai dengan derajat yang bervariasi. Tahap yang lebih lanjut

menyebabkan invasi sel kanker menembus basal lamina sehingga sel-sel maligna

dapat memasuki pembuluh limfe regional dan terjadi penyebaran ke pembuluh

limfe regional di sekitar kolon. Sel kanker yang masuk ke pembuluh darah dapat

menyebabkan penyebaran ke tempat yang jauh dan membentuk pembuluh darah

baru (angiogenesis) sehingga terbentuk kanker sekunder pada jaringan lain

(metastatis) (Hanahan and Weinberg, 2000).

C. Ekspresi Siklooksigenase 2 (COX-2) pada Kanker Kolon

Siklooksigenase merupakan protein yang dioksigenase dari asam

arakidonat menjadi prostaglandin (Foesslien, 2001). Siklooksigenase memiliki

(33)

COX-1 adalah housekeeping gene yang terekspresikan pada suatu level konstan

sepanjang siklus sel dan diekspresikan oleh hampir semua jaringan, sedangkan

COX-2 merupakan gen yang berperan sebagai katalisator dalam proses perubahan

asam arakidonat menjadi prostaglandin (Ranger, Salhah, and Mokbel, 2008).

Protein COX-2 dapat terinduksi dengan cepat karena adanya respon

terhadap promotor tumor, faktor pertumbuhan, hormon, endotoksin bakterial, dan

sitokin (Ranger et al., 2008). COX-2 juga mengalami up-regulasi pada

tempat-tempat inflamasi dan mengalami over-ekspresi pada neoplasma (Sinicrope and

Gills, 2004). Peran COX-2 dalam karsinogenesis telah banyak dilaporkan antara

lain sebagai peningkatan proliferasi sel, resistensi terhadap apoptosis, peningkatan

angiogenesis, stimulasi pertumbuhan sel, supresi imun, dan peningkatan invasi

tumor (Shin et al., 2003). Muller-Decker et al., (2002) menyebutkan bahwa

COX-2 lebih berperan dalam proses promosi tumor dibandingkan pada inisiasi tumor.

Produk akhir dari COX-2 berkonstribusi terhadap berbagai faktor biologis dalam

memicu pertumbuhan tumor. Asam arakidonat dikonversikan oleh COX menjadi

PGG2 setelah dilepaskan dari membran fosfolipid dan kemudian menjadi PGH2.

PGH2 dikonversi menjadi beberapa prostaglandin, termasuk PGE2, PGD2, PGF2,

PGI2, dan tromboksan A2, melalui aktivitas spesifik prostaglandin sintase

(Sinicrope and Gills, 2004). COX-2 mempengaruhi aktivitas angiongenesis

melalui modulasi faktor angiogenik seperti Vascular Endothelial Growth Factor

(VEGF) dan basic Fibroblast Growth Factor (bFGF). Adanya protein

antiapoptosis B-cell lymphoma (Bcl-2) akibat peningkatan ekspresi COX-2

(34)
[image:34.595.99.512.129.563.2]

Gambar 3. Skema mekanisme ekspresi COX-2 pada kanker kolon (Ghosh, Chaki, Mandal, and Mandal, 2010).

Penelitian mengenai peningkatan ekspresi COX-2 pada berbagai kanker

epitelial telah banyak dilakukan. Ekspresi COX-2 ditemukan sebanyak 80% pada

karsinoma kolon dan hampir 50% pada kolon adenoma. Jumlah ekspresi COX-2

biasanya lebih tinggi pada tumor primer dibandingkan di mukosa normal, dan

bahkan lebih tinggi dalam jaringan tumor metastatik, sehingga COX-2

berhubungan dengan invasi sel kanker kolon. Peningkatan ekspresi COX-2 pada

kanker kolon terjadi akibat mutasi gen APC. Ekspresi COX-2 yang berlebih

menyebabkan akumulasi prostaglandin E2 (PGE2), dengan melibatkan beberapa

jalur seperti pro-onkogenik cyclic/ Adenosine MonoPhospat (cAMP)/protein

kinase A (PKA), transduksi sinyal onkogenik Epidermal Growth Factor Receptor

(EFGR), dan aktivasi Nuclear Factor Kappa B (NFĸB). Jalur PGE2/cAMP/PKA

akan mengaktivasi tirosin kinase EFGR untuk mentranduksi sinyal mitogenik

sehingga menstimulasi proliferasi sel (Shao, Lee, Gou, Evers, and Sheng, 2003).

COX-2

PGE2 PGH2

Ras P-Akt MMP

Adhesi, angiogenesis, dan

migrasi

Apoptosis dan inhibisi Invansi

Pro-TGFα

TGFα

(35)

Aktivasi EFGR melalui PGE2 juga menstimulasi jalur matriks metalloproteinase

(MMP) yang berperan dalam pemacuan metastatis, dan aktivasi NFĸB yang

berperan untuk menghambat apoptosis dengan memicu ekspresi sitokin inflamasi

atau stres oksidatif pada sel inflamatori (Hanahan and Weinberg, 2000).

D. Sel WiDr

Sel WiDr merupakan salah satu model kanker kolon yang diisolasi dari

kolon seorang wanita berusia 78 tahun. Sel WiDr mengalami mutasi p53 pada posisi 273 yaitu terjadi perubahan residu arginin menjadi histidin (GA), namun

adanya p21 yang masih normal memungkinkan terjadinya penghentian daur sel

(Liu et al., 2006). Perubahan tersebut dapat membuat afinitas p53 dalam mengikat

protein apotosis rendah sehingga efeknya tidak maksimal atau bahkan tidak

berfungsi sebagai tumor suppresor gene. Apoptosis pada sel WiDr dapat terjadi

melalui jalur independen p53, di antaranya melalui aktivasi p73 (Levrero et al,

2000).

Karakteristik dari sel WiDr adalah adanya produksi antigen

karsinoembrionik dan ekspresi COX-2 yang tinggi sehingga memacu proliferasi

sel WiDr (Palozza et al., 2005), namun Bcl-2 sebagai protein antiapoptosis tidak

diekspresikan tinggi (Meyerhardt and Mayer, 2005). Sel WiDr memiliki

sensitivitas yang rendah terhadap perlakuan dengan agen kemoterapi golongan

antimetabolit seperti 5-fluorouracil (5-FU) karena adanya peningkatan ekspresi

enzim timidilat sintetase yang merupakan target penghambatan utama dari 5-FU.

(36)

P-glikoprotein (Pgp) pada sel WiDr tidak diekspresikan tinggi (Liu et al., 2006).

Pgp merupakan suatu protein yang berperan dalam pengeluaran obat dari sel.

Resistensi doksorubisin dapat terjadi karena adanya overekspresi PgP pada sel

seperti sel MCF-7 sehingga aktivitasnya sebagai agen kemoterapi menjadi

berkurang (Sarmoko, 2012).

Sel WiDr yang dikembangbiakan dalam medium kultur terlihat

berbentuk lebih bulat dibandingkan dengan sel normal serta menunjukkan

peningkatan rasio nukleus terhadap sitoplasma yang ditandai dengan peningkatan

ukuran inti, membesarnya nukleoli, dan distribusi kromatin yang tidak teratur

Beberapa kelebihan dari sel WiDr yaitu dapat membentuk tumor secara

histologikal dengan efisiensi mendekati 100% pada empat host yang berbeda

selama 1-4 tahun setelah inokulasi, mudah untuk dikulturkan, memiliki

doubling-time yang cukup singkat yakni 15 jam, memiliki efisiensi platting yang tinggi

yaitu 51%, dan memiliki mekanisme resistensi terhadap agen kemoterapi yang

cukup tinggi (Palozza et al., 2005).

E. Apoptosis dan Nekrosis

Kematian sel merupakan salah satu ciri utama kehidupan dan hasil akhir

dari cedera sel yang terjadi ketika semua fungsi penting berhenti karena kerusakan

yang tidak dapat diperbaiki (Wolpert, 2009). Terdapat dua pola utama kematian

sel yaitu nekrosis dan apoptosis. Nekrosis adalah kematian sel karena adanya

kerusakan sistem membran akibat cedera yang menetap atau berlebihan

(37)

membran pembungkus enzim lisozim sehingga enzim lisozim tumpah ke dalam

sitosol dan menyebabkan enzim menjadi aktif. Enzim lisozim yang aktif

kemudian mencerna protein–protein, baik yang berada pada sitosol maupun

protein-protein penyusun membran dari sel tersebut (Sudiana, 2008). Kerusakan

membran plasma ini menyebabkan hilangnya keseimbangan osmotik dan influks

cairan dan ion, pengeluaran protein, enzim, koenzim, dan asam ribonukleat, serta

sel-sel mengalami kebocoran metabolit yang penting bagi rekonstruksi ATP

(Kumar et al., 2005).

Apoptosis yaitu proses kematian sel terprogram yang menghasilkan

perubahan karakteristik morfologi dan biokimia sel (Corwin, 2008). Apoptosis

berperan dalam berbagai proses fisiologis, adaptif, dan patologis. Apoptosis dalam

situasi fisiologis berfungsi untuk menghilangkan sel-sel yang tidak dibutuhkan,

seperti pada masa embriogenesis, dan untuk mempertahankan jumlah berbagai

populasi sel dalam jaringan. Apoptosis juga terjadi dalam situasi patologis, seperti

pada sel-sel yang mengalami kerusakan DNA akibat radiasi atau obat anti kanker

sitotoksik (Kumar et al., 2005). Apoptosis ditandai dengan penyusutan sel (cell

shrinkage), pembengkakan dan pecahnya membran (membran blebbing) tanpa

hilangnya integritas membran, kondensasi kromatin, dan fragmentasi nukleus,

pemadatan organela sitoplasma, dilatasi dari retikulum endoplasma, penurunan

volume sel dan pembentukan badan apoptosis (Azhar, 2008). Berbeda dengan

nekrosis, pada apoptosis, sel tidak akan mengalami kebocoran sitoplasma

sehingga tidak menyebabkan reaksi inflamasi seperti yang terjadi pada nekrosis

(38)
[image:38.595.97.500.106.476.2]

Gambar 4. Rangkaian perubahan ultrastruktur yang tampak pada nekrosis (kiri) dan apoptosis (kanan) (Kumar et al., 2005).

Proses apoptosis dibagi menjadi dua fase yaitu fase inisiasi dan fase

eksekusi. Fase inisiasi apoptosis terjadi melalui sinyal-sinyal dari dua jalur yang

terpisah yaitu jalur ektrinsik (apoptosis jalur sitoplasma) maupun intrinsik

(apoptosis jalur mitokondria) (Kumar et al., 2005). Mekanisme apoptosis secara

ekstrinsik dimulai dengan pengikatan ligan dengan reseptor dari famili Tumour

Necrosis Factor (TNF), seperti Fas dan TNFR-1, yang diikuti dengan pengikatan

Fas-associated Death Domain (FADD) (Goldie et al., 2005). FADD yang telah

melekat pada reseptor maut kemudian berikatan dengan pro-kaspase-8 (kaspase-8

dalam bentuk inaktif). Molekul-molekul pro-kaspase-8 akhirnya saling mendekat

dan memecah untuk menghasilkan kaspase-8 yang aktif. Kaspase-8 merupakan

kaspase inisiator yang akan mengaktivasi kaspase eksekutor melalui

pro-kaspase-3 (Kumar et al., 2005).

Pencernaan enzimatik dan kebocoran isi sel

Nekrosis Apoptosis Sel Hidup

Fagositosis sel dan fragmen

(39)

Stimulasi reseptor maut sebenarnya sudah cukup untuk menimbulkan

apoptosis, namun pada sel dengan induksi kaspase yang tak memadai untuk

terjadinya apoptosis sesudah adanya stimulasi Fas, memerlukan inisiasi kaspase

melalui mitochondrial pathway. Jalur mitokondria terjadi akibat adanya

peningkatan permeabilitas membran mitokondria karena faktor stres seluler yang

berlebihan sehingga mitokondria melepaskan molekul-molekul pro-apotosis

seperti sitokrom c dan Apoptosis Induncing Factor (AIF) ke dalam sitoplasma

tanpa adanya peran serta reseptor maut. Sitokrom c akan berikatan dengan

Apoptosis Activating Factor-1 (Apaf-1) dan kemudian merangsang pro-kaspase-9

berikatan dengan kompleks ini untuk membentuk apoptosom. Apoptosom akan

mengaktivasi pro-kaspase-9 menjadi kaspase-9 sebagai inisiator apoptosis.

Kaspase-9 akhirnya akan mengaktivasi pro-kaspase-3 menjadi kaspase-3 yang

merupakan kaspase efektor sehingga apoptosis dapat terjadi (Talapatra and

Thomson, 2001).

Pelepasan protein sitokrom c dan AIF diatur oleh famili protein Bcl-2

anti apoptosis dan pro apoptosis. Dua protein anti-apotosis utama yang mengatur

apoptosis adalah Bcl-2 dan Bcl-x. Protein-protein ini normalnya berada di

membran mitokondria dan sitoplasma. Bcl-2 atau Bcl-x hilang pada membran

mitokondria apabila sel kekurangan sinyal atau terkena stres untuk bertahan

hidup. Protein ini kemudian digantikan oleh protein pro apoptosis yaitu Bak, Bax,

dan Bim. Penurunan kadar Bcl-2 atau Bcl-x menyebabkan meningkatnya

permeabilitas membran mitokondria sehingga protein yang dapat mengaktifkan

(40)

Fase eksekusi merupakan tahap akhir pertemuan berbagai mekanisme

pemicu apoptosis. Kaspase inisiator yang telah dipecah menjadi bentuk aktif pada

jalur ektrinsik dan intrinsik akan memulai program kematian enzimatik melalui

aktivasi kaspase eksekutor. Enzim-enzim ini memecah protein matriks dan

sitoskeleton sehingga merusak sitoskeleton yang menyebabkan pecahnya nukleus.

Sasaran kaspase pada nukleus adalah protein-protein yang terlibat dalam

transkripsi, replikasi DNA, dan perbaikan DNA (Kumar et al., 2005). Sel-sel yang

mati biasanya mengeluarkan faktor-faktor terlarut untuk merekrut fagosit. Sel-sel

apoptotik dan fragmen-fragmennya memiliki molekul penanda dipermukaannya.

Adanya molekul penanda ini bertujuan untuk mempermudah pengenalan sel

apoptotik dan fragmennya oleh sel sekitar, serta mempermudah sel fagosit

menelan dan menghancurkan badan apoptosis sebelum sel-sel tersebut mengalami

nekrosis sekunder sehingga isinya keluar (menyebabkan timbulnya peradangan).

Berbeda dengan penanda-penanda di sel apoptotik, sel-sel hidup tampaknya

mencegah diri agar tidak tertelan oleh makrofag melalui ekspresi molekul

permukaan tertentu (Ricci and Zong, 2006).

F. Tanaman Sirih Merah 1. Deskripsi tanaman

Tanaman sirih merah tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon

lain. Batang sirih merah berwarna hijau keunguan, berbentuk bulat, bersulur, dan

beruas. Permukaan daun sirih merah berwarna hijau dengan garis-garis berwarna

(41)

menyerupai hati dengan ujung daun meruncing, bertangkai, dan tumbuh

berselang-seling dari batangnya. Daun sirih merah mempunyai aroma yang khas,

berlendir, dan rasanya pahit dengan penampakan daun yang berwarna merah

keperakan (Jatmika, 2013). Tanaman sirih merah menyukai tempat teduh,

berhawa sejuk dengan sinar matahari 60-75%, dan dapat tumbuh subur di daerah

pegunungan. Batang tanaman sirih merah akan cepat mengering dan warna merah

daunnya akan pudar jika sirih merah tumbuh di daerah panas dan terkena sinar

[image:41.595.102.506.272.712.2]

matahari langsung (Oktaviani et al., 2012).

Gambar 5. Tanaman sirih merah 2. Klasifikasi tanaman

Kingdom : Plantae

Filum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae

Genus : Piper

Jenis : Piper crocatum Ruiz & Pav

(42)

3. Kandungan fitokimia

Daun sirih merah memiliki kandungan senyawa kimia yang beragam

seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan tanin. Senyawa flavonoid bersifat

antioksidan, antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan anti-inflamasi. Menurut

penelitian Ren, Qiao, Wang, Zhu, and Zhang (2003), senyawa flavonoid dapat

menghambat proliferasi melalui inhibisi proses oksidatif yang dapat menyebabkan

inisiasi kanker. Senyawa alkaloid bersifat antineoplastik sehingga ampuh

menghambat pertumbuhan sel-sel kanker (Agoes, 2010). Senyawa tanin

mempunyai aktifitas sebagai antiproliferatif pada sel kanker yang bekerja pada

tingkat sel yang dengan menghambat fase “S” dari siklus sel (Khanbabaee and

Ree, 2001), sedangkan senyawa saponin memiliki efek sitostatik dan sitotoksik

pada sel tumor maligna (Bachran, Bachran, Sutherland, Bachran, and Fuchs,

2008) dengan cara menginduksi apoptosis dan menghambat proses angiogenesis

(Tong et al., 2011).

Secara empiris sirih merah memiliki banyak fungsi, diantaranya untuk

mengobati diabetes melitus, asam urat, hipertensi, kanker payudara, peradangan

(liver dan prostat), hepatitis, kadar kolesterol, mencegah stroke, dan lain-lain

(Werdhany, Marton, and Setyorini, 2008). Fungsi tanaman sirih merah ternyata

tidak hanya sebatas dari data empiris, namun terdapat data ilmiah yang telah

membuktikan bahwa daun sirih merah memiliki fungsi empiris tersebut, seperti

penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani, Winarti, Muslichah, and Nuri (2011)

menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 50 mg/kg

(43)

Alfarabi, Bintang, Suryani, and Safithri (2010) menunjukkan bahwa ekstrak

etanol 70% daun sirih merah memiliki aktivitas anti diabetogenik melalui aktivitas

antioksidasi.

G. Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bahan

alam. Prinsip ekstraksi yaitu adanya perpindahan massa komponen zat ke dalam

pelarut. Ektraksi biasanya dimulai dengan menggunakan pelarut organik secara

berurutan dengan kepolaran yang semakin meningkat. Pemilihan pelarut

dilakukan berdasarkan kaidah “like dissolve like”, yaitu suatu senyawa polar akan

larut dalam pelarut polar dan sebaliknya senyawa non polar akan larut dalam

pelarut non polar. Pelarut heksan, eter, petroleum eter, atau kloroform digunakan

untuk mengambil senyawa yang kepolarannya rendah sedangkan alkohol dan etil

asetat digunakan untuk mengambil senyawa-senyawa yang lebih polar (Ma’mun

et al., 2006).

Maserasi merupakan salah satu teknik penyarian yang dilakukan dengan

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada

temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Jumlah pelarut yang diperlukan

cukup besar yaitu berkisar antara 10-20 kali dari jumlah sampel. Prinsip metode

maserasi adalah cairan penyari menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga

sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif tersebut dapat larut karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan yang ada diluar

(44)

dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa ini terjadi berulang-ulang

hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan

larutan di luar sel (Ma’mun et al., 2006).

H. Uji Sitotoksik dengan MTT Assay

Sitotoksik adalah sifat toksik yang dimiliki oleh suatu senyawa tertentu

terhadap sel hidup. Uji sitotoksisitas merupakan suatu uji in vitro menggunakan

kultur sel untuk menentukan potensi senyawa atau ekstrak yang dapat

dikembangkan sebagai obat sitotoksik (Hartati et al.,2003). Penetapan jumlah sel

yang bertahan hidup atau viabilitas sel pada uji sitotoksisitas dapat dilakukan

berdasarkan pada parameter seperti kerusakan membran, gangguan sintesis,

degradasi makromolekul, serta perubahan morfologi sel. Uji sitotoksik digunakan

untuk menentukan nilai Inhibition Concentration (IC50). Nilai IC50 merupakan

besarnya konsentrasi suatu senyawa yang menghasilkan hambatan proliferasi sel

sebanyak 50% sehingga dapat menunjukkan potensi ketoksikan senyawa tersebut.

Sifat sitotoksik memiliki tiga tingkatan, yaitu (1) sangat toksik dengan nilai IC50 <

10 µM, (2) toksik dengan nilai IC50 10-20 µM, (3) tidak toksik dengan nilai IC50 >

20 µM. Ekstrak uji dengan nilai IC50 dibawah 100 µg/mL tetap dapat dikatakan

memiliki potensi antiproliferasi dan potensi sebagai agen kemoprevensi

(Ernawati, 2010). Semakin besar harga IC50 maka suatu senyawa semakin tidak

toksik. Akhir dari uji sitotoksisitas adalah memberikan informasi persentase (%)

(45)
[image:45.595.204.430.113.245.2]

Gambar 6. Macam-macam reagen untuk deteksi viabilitas sel (Doyle and Griffiths, 2000). Uji sitotoksisitas dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti Typan

Blue Staining, Tritium-labeled Thymidine, dan Microculture Tetrazolium Salt

(MTT) (Nertika, 2008). Typan Blue Staining adalah metode sederhana untuk

mengevaluasi integritas membran sel dengan asumsi terjadi proliferasi sel atau

kematian), namun metode ini tidak sensitif dan tidak dapat disesuaikan untuk high

throughput screening. Tritium-labeled Thymidine adalah metode yang dilakukan

dengan mengukur penyerapan zat radioaktif pada sel. Metode ini akurat namun

memerlukan waktu yang banyak dan melibatkan penanganan zat radioaktif. MTT

merupakan suatu metode kolorimetrik. Prinsip dari metode MTT adalah terjadinya

reduksi garam kuning tetrazolium MTT

(3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) yang telah diabsorbsi ke dalam sel menjadi kristal

formazan berwarna ungu yang tidak larut air oleh enzim suksinat dehidrogenase

yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang

masih hidup. Keuntungan dari uji MTT yaitu lebih sensitif, cepat dan akurat

dibandingkan dengan metode perhitungan langsung serta tidak menggunakan

(46)

keadaan fisiologis sel dan variasi aktivitas dehidrogenase mitokondria dalam tipe

[image:46.595.101.519.167.624.2]

sel yang berbeda (Doyle and Griffits, 2000).

Gambar 7. Mekanisme pembentukan formazan pada reaksi MTT (Doyle and Griffiths,

2000).

Kristal formazan yang terbentuk pada uji MTT akan diakumulasikan ke

dalam sel apabila kristal formazan yang dihasilkan tidak mampu menembus

membran, sehingga metode ini dapat menunjukkan aktivitas dan integritas

mitokondria. Penambahan larutan stopper (bersifat detergenik) melarutkan kristal

berwarna ini yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader.

Intensitas warna ungu yang dihasilkan oleh pembentukan kristal formazan

proporsional dengan jumlah sel hidup. Semakin banyak sel yang hidup, semakin

banyak kristal formazan yang terbentuk, maka semakin tinggi nilai absorbansi

yang diperoleh dan mengindikasikan mortalitas yang rendah (Doyle and Griffiths,

2000).

I. Uji Apoptosis dengan Metode Double Staining

Apoptosis merupakan suatu program kematian pada sel. Pengamatan

terjadinya apoptosis dapat dilakukan dengan metode morphological staining,

seperti uji etidium bromida–akridin oranye (EB/AO), DAPI (4,6-diamidino-2

fenildol), Hoechst staining, Annexin V staining, DNA lader, Terminal

deoxynucleotidyl transferase mediated dUTP Nick End Labeling (TUNEL),

3(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida (MTT)

(47)

Caspase-3/7 activity, dan ssDNA staining. Beberapa metode tersebut memiliki

keterbatasan dalam penggunaannya. Metode Annexin V staining dan DNA lader

melibatkan beberapa tahap pengerjaan, sehingga memerlukan waktu yang lama

dalam melakukan uji tersebut dan beberapa prosedur dapat merusak membran sel

serta mengubah distribusi populasi sel hidup, apotosis, dan nekrotik. DAPI

staining, Caspase-3/7 activity, dan ssDNA staining hanya mendeteksi peningkatan

sinyal apoptosis namun tidak dapat mengukur persentase sel hidup, apoptosis, dan

nekrosis. TUNEL assay juga banyak digunakan untuk mendeteksi sel apoptosis,

namun uji ini dapat memberikan sinyal positif palsu pada beberapa sel nekrotik

(Ribble, Goldstein, and Shellman, 2005).

Double staining merupakan metode yang menggunakan akridin

oranye-etidium bromida (AO-EB) untuk memvisualisasikan perubahan nukleus dan

bentuk apoptosis sebagai karekteristik dari apoptosis. Metode ini berdasarkan

pada perbedaan fluorosensi DNA pada sel yang hidup dan mati karena pengikatan

akridin oranye-etidium bromida. Akridin oranye (AO) dapat menembus seluruh

bagian sel sehingga menyebabkan nukleus (inti sel) tampak berwarna hijau. Sel

hidup dengan membran yang masih utuh memiliki nukleus dengan warna hijau

yang seragam. Etidium bromida (EB) hanya dapat berinteraksi dengan sel yang

membrannya sudah rusak sehingga menyebabkan nukleus berwarna merah.

Selama sel mengalami proses apoptosis dan membran blebbing mulai terjadi, EB

dapat masuk ke dalam sel dan memberikan warna oranye. Sel yang mengalami

early apoptosis akan mengalami kondensasi atau fragmentasi kromatin dan

(48)

memiliki tampilan kromatin berwarna oranye yang terkondensasi dan

terfragmentasi (terpecah-pecah menjadi bagian yang lebih kecil) sehingga

terbentuk badan-badan apoptosis. Sel yang mati karena mengalami nekrosis

memiliki nukleus berwarna oranye dengan struktur normal. Warna yang

ditimbulkan oleh EB pada sel mati lebih dominan jika dibandingkan dengan AO

sehingga nukleus pada sel mati berwarna oranye (Maryati and Sutrisna, 2011).

J. Uji Imunositokimia

Imunositokomia adalah metode yang digunakan untuk mendeteksi

adanya protein atau antigen tertentu dalam sel dengan menggunakan antibodi

spesifik. Antibodi digunakan untuk menunjukkan adanya antigen dalam sel.

Sampel yang dapat dianalisis dengan metode ini yaitu noda darah, kultur sel,

suspensi sel, dan sitospin (IHC World, 2015). Metode imunositokimia terdiri dari

empat tahap yaitu (1) penanaman sel, (2) fiksasi dan perwarnaan dengan antibodi,

(3) visualisasi sel dengan mikroskop, dan (4) analisis ekspresi protein yang telah

divisualisasikan. Fiksasi dilakukan dengan menggunakan pelarut organik seperti

alkohol dan aseton untuk melepaskan lipid, mendehidrasi sel, dan mengendapkan

protein, serta menggunakan reagen cross-linking seperti formaldehid yang

melibatkan jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas (The Human

Protein Atlas, 2015). Ekspresi protein yang telah divisualisasikan dihitung

berdasarkan jumlah sel yang mengekspresi protein tertentu dari keseluruhan sel

dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Sel yang mengekspresikan protein

(49)

mengekspresikan protein tertentu memberikan warna ungu/biru (Dai, Meiyanto,

[image:49.595.161.472.170.270.2]

Supardjan, and Agustina, 2004).

Gambar 8. Tahap-tahap dalam metode imunositokimia (The Human Protein Atlas, 2015)

Metode deteksi imunositokimia terdiri dari dua jenis yaitu metode

langsung dan metode tidak langsung. Pada metode langsung, antibodi yang

mengikat fluoresen atau zat warna langsung berikatan dengan antigen pada sel,

namun metode ini kurang sensitif bagi protein yang sedikit menghasilkan sinyal

kuat. Pada metode tidak langsung, antigen diikatkan pada antibodi primer secara

langsung namun ditambahkan juga antibodi sekunder yang akan mengikat enzim

seperti peroksidase, alkali fosfatase, atau glukosa oksidase. Substrat kromogen

yang ditambahkan diubah oleh enzim sehingga terjadi pembentukan warna

(pigmen) yang akan mewarnai sel. Adanya pengikatan beberapa antibodi sekunder

pada antibodi primer yang sama akan meningkatkan sensitivitas dan fleksibilitas

dalam variasi pemilihan kombinasi antibodi primer dan sekunder. Metode tidak

langsung juga memiliki kelemahan seperti membutuhkan waktu yang lebih tinggi

dan adanya resiko pengikatan non-spesifik pada antibodi sekunder (The Human

(50)

K. Landasan Teori

Kanker kolorektal adalah kanker yang terjadi didaerah kolon (usus besar)

dan daerah rektum. Estimasi meningkatnya jumlah kasus baru sebanyak 96.830

dan kasus kematian sebanyak 50.310 pada tahun 2014 diperkirakan terjadi akibat

kanker kolon. Penggunaan agen kemoterapi, radiasi, maupun obat-obatan

golongan NSAID menjadi pilihan umum untuk mengobati kanker kolon, namun

terapi tersebut menimbulkan efek samping yang besar. Pengembangan terapi

efektif dalam pengobatan kanker kolon masih sangat diperlukan untuk menekan

jumlah kematian penderita. Salah satu alternatif pengobatan kanker kolon yang

dapat dilakukan adalah melalui penggunaan tanaman obat.

Tanaman sirih merah merupakan salah satu tanaman yang telah diteliti

mempunyai efek sitotoksik dan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker.

Daun sirih merah diketahui memiliki kandungan senyawa kimia yang beragam

seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan tanin yang berfungsi sebagai antioksidan,

antikanker, antiinflamasi, dan antineoplastik. Metode ekstraksi yang digunakan

untuk mendapatkan senyawa kimia dalam daun sirih merah adalah maserasi

dengan pelarut etanol. Menurut Agnes, Lois, Aning, and Nani (2013), pelarut

etanol digunakan sebagai penyari karena etanol dapat menarik senyawa kimia

yang bersifat semipolar sampai polar seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan

tanin.

Uji sitotoksisitas merupakan suatu uji in vitro menggunakan kultur sel

untuk menentukan apakah senyawa atau ekstrak berpotensi untuk dikembangkan

(51)

diketahui dengan menggunakan metode MTT. Perubahan morfologi sel kanker

kolon perlu dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui terjadinya apoptosis.

Apoptosis dapat dideteksi dengan menggunakan metode pengecatan akridin

oranye–etidium bromida. Peningkatan ekspresi COX-2 diketahui berperan dalam

karsinogenesis kanker kolon. Pengukuran ekspresi COX-2 pada kanker kolon

dapat dilakukan dengan metode imunositokimia.

L. Hipotesis

Ekstrak etanol daun sirih merah mempunyai aktivitas sitotoksik dengan

menginduksi apoptosis dan diperantarai oleh penekanan ekspresi COX-2 pada sel

(52)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh ekstrak etanol daun sirih merah pada sel

WiDr merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunakan

rancangan acak lengkap pola searah.

B.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Variabel bebas dari penelitian ini adalah besarnya konsentrasi

ekstrak etanol daun sirih merah pada sel kanker kolon WiDr.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah viabilitas sel

WiDr yang diukur dengan nilai IC50 ekstrak etanol daun sirih merah, distribusi

kematian sel, dan penekanan ekspresi COX-2.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

1) Waktu dan tempat pengambilan daun sirih merah yaitu di Dusun Bedingin,

Desa Sumber Adi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, pada

bulan Juli 2014.

2) Kondisi dan tempat dilakukan penelitian yaitu di Laboratorium Parasitologi,

(53)

3) Kondisi sel kanker kolon WiDr yang digunakan yaitu dalam keadaan 80%

konfluen, tercukupi nutrisinya, dan bebas dari kontaminasi.

b. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali dalam

penelitian ini adalah umur, tempat tumbuh, jenis dan jumlah kandungan kimia

daun sirih merah.

3. Definisi operasional

a. Ekstrak etanol daun sirih merah adalah ekstrak kental daun sirih merah yang

diperoleh dengan cara maserasi sebanyak dua kali meggunakan pelarut etanol

70%

b. Sel WiDr adalah sel model kanker kolon yang diisolasi dari kolon manusia

yang mengekspresikan protein COX-2 secara berlebih.

c. Uji sitotoksik MTT adalah metode yang digunakan untuk mengetahui

persentase viabilitas sel WiDr setelah pemberian ekstrak etanol daun sirih

merah dan dinyatakan dalam parameter IC50 (Inhibition Concentration 50)

d. Uji apoptosis double staining adalah metode uji dengan menggunakan reagen

etidium bromide-akridin oranye untuk memvisualisasikan kematian sel WiDr.

e. Ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2) adalah protein yang diekspresikan oleh

sel WiDr yang ditunjukkan dengan warna cokelat pada sitoplasma sel.

f. Imunositokimia adalah metode uji untuk mengetahui skor ekspresi COX-2

(54)

C. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun sirih merah

(diperoleh dari Sleman, Yogyakarta); sel WiDr (diperoleh dari Laboratorium

Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada); pelarut DMSO

(Merck); etanol 70% (Merck); medium kultur lengkapyang mengandung

penisilin-streptomisin 1% (v/v) (Gibco), Fetal Bovine Serum (FBS) 10% (v/v)

(Gibco), Fungizone 0,5% (Gibco), dan media Rosswell Park Memorial Institute

(RPMI) 1640 (Gibco); Tripsin-EDTA 0,25%; reagen MTT

[3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5difeniltetrazoliumbromida] (Bio Basic Canada Inc); larutan Phoshat

Buffer Saline (PBS) pH 7,4; larutan stopper berupa sodium deodesil sulfat (SDS)

10% dalam 0,1 N HCl; reagen etidium bromida-akridin oranye (EtBr-AO)

(Sigma), antibodi primer COX-2 rabbit monoclonal (Lab Vision Corp.), antibodi

sekunder Trekkie Universal Link (Anti Mouse and Rabbit ter-biotinylated), larutan

DBA, reagen streptavidin (Trek Avidin-HRP label), metanol, larutan hidrogen

peroksidase (blocking solution), aquades, larutan Maye Haemotoxylin, alkohol,

xylol, dan Tripsin 0,5 % (Gibco),

D. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : alat-alat gelas

(PYREX), timbangan analitik, aluminium foil (Klin Pak), vortek, waterbath

(Memmert), rotary vacuum evaporator (Buchi Labortechnik AG CH-9230),

tabung conical (Iwaki), inkubator CO2 (Thermo Heraeus HeraCell 150),

(55)

glass, cell counter, 96-well plate (Iwaki), 24-well plate (Iwaki), pipet Pasteur,

ELISA reader (Bio-Rad), laminar air flow cabinet (Labconco), mikroskop

inverted (Olympus), mikroskop flourosens (Zeiss MC 80), kamera digital (Canon

DSLR 1000D), haemocytometer (Neubauer), yellow tips, blue tips, eppendorf

(Plasti brand), tissue, glove,pinset, dan masker.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman sirih merah

Tanaman sirih merah yang di peroleh dari daerah Sleman,

Yogyakarta, dilakukan determinasi di bagian Biologi Farmasi, Fakultas

Farmasi, Universitas Gajah Mada, dengan membandingkan ciri morfologi

tanaman sirih merah dengan buku acuan (Backer and Bakhuizen, 1965).

2. Pembuatan simplisia

Daun sirih merah yang telah dikumpulkan kemudian dicuci bersih

dibawah air mengalir. Daun sirih merah kemudian ditiriskan dan dikeringkan.

Proses pengeringan dilakukan menggunakan oven pada suhu 600-700C hingga daun mudah diserbukkan. Daun sirih merah kemudian diserbuk dengan mesin

penyerbuk sampai halus. Pengeringan dan penyerbukan daun sirih merah

dilakukan di Merapi Farma, Kaliurang, Yogyakarta.

3. Ekstraksi daun sirih merah dengan metode maserasi

Sebanyak 100 mg serbuk simplisia daun sirih merah direndam dalam

1000 mL etanol 70% dalam erlenmeyer bertutup. Perendaman dibiarkan

(56)

pertama menggunakan shaker. Maserat diambil dan disaring menggunakan

kertas saring setelah direndam selama 24 jam. Maserat ditampung dalam

tabung erlenmeyer bertutup dan kemudian disimpan terlindung dari cahaya

matahari. Ampas serbuk daun sirih merah yang tertinggal kemudian diperas

dan direndam kembali dalam 1000 mL etanol 70% dalam erlenmeyer bertutup.

Perendaman dibiarkan selama 24 jam terlindung dari cahaya matahari sambil

diaduk selama 6 jam pertama menggunakan shaker. Maserat diambil dan

disaring kembali menggunakan kertas saring setelah 24 jam direndamlalu

digabungkan dengan maserat sebelumnya. Maserat yang terkumpul kemudian

dipekatkan dengan rotary evaporator. Hasil evaporasi dituang ke dalam cawan

porselen kemudian dipanaskan di atas waterbath dengan suhu 800C untuk mendapatkan ekstrak etanol daun sirih merah yang kental.

4. Uji sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih merah dengan metode MTT

a. Preparasi sel kanker kolon WiDr. Sel WiDr diambil dari tangki nitrogen dan

segera dicairkan dalam penangas air dengan suhu 370C. Ampul disemprot dengan etanol 70% dan dimasukkan dalam LAF. Sel WiDr dipindahkan dari

dalam ampul ke dalam conical tube steril yang telah berisi medium kultur

lengkap (mengandung penisilin-streptomisin 1% (v/v), FBS 10% (v/v),

Fungizone 0,5%, dan media RPMI 1640). Suspensi sel WiDr disentrifugasi

dengan kecepatan 650 rpm selama 3 menit dan supernatan yang terbentuk

dibuang. Medium kultur lengkap yang baru ditambahkan kembali kedalam

Gambar

Tabel 2. Jumlah rata-rata sel yang mengekpresikan COX-2 pada
Gambar 1. Skema mekanisme terjadinya kanker (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Gambar 2. Skema perubahan morfologi dan molekular dalam rangkaian adenoma–and
Gambar 3. Skema mekanisme ekspresi COX-2 pada kanker kolon (Ghosh, Chaki, Mandal, and
+7

Referensi

Dokumen terkait

he University consists of 15 faculties and 1 post graduate faculty, such as, Faculty of Agriculture: Department of Agribusiness, Department of Agroecotechnology; Faculty

pengeluaran Kas sehingga akan dicatat di kolom KREDIT Perkiraan Kas , dan akan menambah Perkiraan baru Sewa Bengkel, yang dicatat dalam. kolom

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA MELALUI PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI OLEH MAHASISWI JALUR A PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN..

“BERJENJANG” dari Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) yang ada di Satker sampai dengan Unit Akuntansi Penguna Anggaran (UAPA) di tingkat

Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran telah menciptakan dominasi dan membentuk opini publik yang tidak sehat kepada masyarakat dimana masyarakat sipil menjadi

Data dan informasi yang diperoleh dari site-site COREMAP II, khususnya di Kawasan Timur Indonesia (Pangkep, Selayar, Sikka, Buton, Wakatobi, Biak dan Raja Ampat) menunjukkan

Misalnya, untuk tanggal yang sama, jika di hotel tersebut terdapat 5 kamar dengan tipe ekonomi dan 1 kamar sudah di check-in dan 2 kamar sudah ada yang reservasi, maka jika

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok