• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK BERAS PRATANAK YANG TERBUAT DARI GABAH KERING PANEN DAN GABAH KERING GILING SARAH ANITA APRILIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KARAKTERISTIK BERAS PRATANAK YANG TERBUAT DARI GABAH KERING PANEN DAN GABAH KERING GILING SARAH ANITA APRILIANI"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK BERAS PRATANAK YANG TERBUAT DARI GABAH KERING PANEN DAN GABAH KERING

GILING

SARAH ANITA APRILIANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Karakteristik Beras Pratanak yang Terbuat dari Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Desember 2016 Sarah Anita Apriliani NIM F24120086

(4)

ABSTRAK

SARAH ANITA APRILIANI. Karakteristik Beras Pratanak yang Terbuat Dari Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling. Dibimbing oleh SUKARNO dan SRI WIDOWATI

Nasi merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia, nasi pada umumnya memiliki kadar gula yang tinggi untuk itu penderita diabetes akan mengurangi konsumsi nasi karena khawatir dapat meningkatkan kadar gula darah.

Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan pembuatan nasi yang berasal dari beras merah dengan Indeks Glikemik rendah dengan metode pratanak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik fisikokimia dan indeks glikemik dari beras yang berasal dari dua jenis gabah yaitu gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG). Hasil menunjukkan bahwa kedua jenis gabah tidak menghasilkan perbedaan nyata terhadap karakteristik fisikokimia pada taraf 5%. Selain itu indeks glikemik dari beras pratanak yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan beras biasa. Secara keseluruhan beras pratanak dapat diterima oleh konsumen melalui uji organoleptik. Untuk menghemat energi, dapat dilakukan pembuatan beras pratanak dengan bahan baku gabah kering panen (GKP) yaitu gabah yang belum melalui proses pengeringan.

Kata Kunci: Gabah, beras, pratanak, organoleptik, indeks glikemik

ABSTRACT

SARAH ANITA APRILIANI. Characteristic of Parboiled Rice Made from Harvested Rough Rice and Dried Rough Rice. Supervised by SUKARNO and SRI WIDOWATI.

Rice is staple food in Indonesian. Rice has high sugar content in general. Therefore, people suffered from diabetes will reducing their consumption of rice because assumed it will increase blood glucose. To overcome the problem, rice with lower glycemic index is made by parboiled method using red rice grain. The objective of this research is to understand the phsycochemistry characterization and glycemic index from two different kinds of unhulled paddy grain, harvested rough rice and dried rough rice. The result showed that harvested rough rice and dried rough rice does not have significant difference of characteristic. The result also shows that parboiled rice has lower index glycemic compared to usual rice. Overall, parboiled rice still preferably accepted by consumer through organoleptic test. Parboiled rice can be made by using harvested rough rice which is not dried prior to process to minimalize the energy used.

Keyword: Rough rice, parboiled, rice, organoleptic, glycemic index

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

KARAKTERISTIK BERAS PRATANAK YANG TERBUAT DARI GABAH KERING PANEN DAN GABAH KERING

GILING

SARAH ANITA APRILIANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2016

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena berkat Rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

“Karakteristik Beras Pratanak yang Terbuat dari Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling”. Penyusunan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program pendidikan Stara I (S1) Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Selama penyusunan skripsi tidak lepas dari kekurangan, baik aspek kualitas maupun kuantitas dari materi yang disajikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan pendidikan dimasa mendatang.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Orang tua penulis Abdullah Sumantri dan Nurida Haryani serta adik perempuan penulis, Anisah Destriani, Bapak Ir. Sukarno M.Sc selaku dosen pembimbing utama dan Ibu Prof. Dr. Ir Sri Widowati selaku dosen pembimbing lapang saya, Ibu Rahmawati STP, M.Si, Bapak Triyono serta bapak/ibu staff di lingkungan Balai Besar dan Penelitian Pasca Panen yang telah banyak membantu dan memberikan saya arahan selama melakukan praktik magang. Bapak/Ibu dosen dan staff di lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian khususnya Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah banyak membantu penulis dan seluruh sahabat saya dan rekan-rekan mahasiswa khususnya program studi S1 Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah banyak membantu serta menyamangati saya selama penyusunan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan semuanya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.

Bogor, 16 Desember 2016 Sarah Anita Apriliani

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik 2

Gabah 3

Beras 3

Beras Pratanak 4

METODOLOGI Waktu dan Tempat 5

Bahan dan Alat 5

Metode Penelitian Pembuatan Beras Pratanak 6

Uji Mutu Fisik Beras Butir patah 8

Butir menir 8

Butir kepala 8

Uji Karakteritik Kimia dan Fisikokimia Beras Pratanak Kadar air 8

Kadar Abu 8

Lemak 9

Protein 9

Karbohidrat 10

Energi 10

Total gula 10

Kadar pati 11

Amilosa dan amilopektin 11

Daya cerna pati 11

Serat pangan 12

Organoleptik 12

Indeks glikemik 12

RANCANGAN PERCOBAAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN

(10)

Pengolahan Beras Pratanak 14

Mutu Fisik Beras Pratanak 15

Komposisi Kimia dan Sifat Fisikokimia Beras Pratanak Proksimat 16

Gula Total 18

Kadar pati 18

Daya cerna pati 19

Energi 20

Hasil Pengujian Organoleptik Beras Pratanak 21

Indeks Glikemik Beras Pratanak 22

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 29

RIWAYAT HIDUP 42

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini, kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih peduli terhadap pangan yang dikonsumsinya.

Perubahan pola perilaku konsumen ini karena adanya penyakit degeneratif yang dapat ditimbulkan karena pola makan yang tidak baik. Salah satu penyakit degeneratif yang menjadi permasalahan saat ini yaitu Diabetes mellitus. Penyakit ini terkait dengan kadar gula darah seseorang. Penderita penyakit ini memiliki kadar gula darah yang tinggi. Untuk itu dalam penyembuhannya penderita akan membatasi konsumsi gula. Nasi merupakan pangan pokok sebagai sumber energi masyarakat Indonesia. Karena itu penderita penyakit diabetes akan mengurangi konsumsi nasi karena konsumsi nasi sering kali dituding menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Hal tersebut belum tentu benar karena beras memiliki indeks glikemik dalam kisaran yang luas tergantung jenis dan varietas berasnya (Widowati 2009).

Beras giling dari varietas yang memiliki kadar amilosa rendah cenderung memiliki nilai IG yang tinggi dan yang beramilosa tinggi pada umumnya memiliki IG yang rendah (Widowati 2009). Indeks glikemik atau IG merupakan tingkatan pangan dalam efeknya terhadap gula darah. Konsumsi makanan dengan nilai IG yang tinggi akan meningkatkan kadar gula darah secara cepat dan apabila mengkonsumsi makanan dengan nilai IG rendah akan menaikkan kadar gula darah secara lambat (Widowati 2007). Pada umumnya masyarakat Indonesia cenderung menyukai nasi yang pulen yang berasal dari beras dengan kadar amilosa rendah yang indeks glikemiknya cenderung tinggi. Amilosa memiliki ikatan yang tidak bercabang sehingga amilosa terikat kuat. Pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki struktur yang lebih kristalin. Struktur tersebut membuat pati menjadi lebih sulit untuk tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu amilosa juga mempunyai sifat mudah tergabung dan membentuk kristal menyebabkan amilosa menjadi sulit dicerna (Akhyar 2009). Beras pratanak memiliki IG yang lebih rendah dibandingkan dengan beras giling (Wordu 2013). Untuk itu dilakukan penurunan indeks glikemik beras dengan metode pratanak. Proses pembuatan beras pratanak melalui proses perendaman, pengukusan dan pengeringan. Pada pembuatan beras pratanak selama ini menggunakan bahan baku gabah kering giling (GKG) yang telah mengalami proses pengeringan terlebih dahulu. Untuk mengurangi biaya proses dilakukan pembuatan beras pratanak dari bahan baku gabah kering panen (GKP) yang belum mengalami proses pengeringan.

(12)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik fisikokimia dan indeks glikemik dari beras pratanak berbahan baku gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah memberikan alternatif bahan baku pembuatan beras pratanak dari gabah kering panen (GKP) untuk menurunkan nilai indeks glikemik beras sehingga dapat dimanfaatkan oleh penderita penyakit diabetes.

Hipotesis

Pembuatan beras pratanak dari bahan baku gabah kering panen (GKP) akan memiliki karakteristik dan penerimaan konsumen yang sama dengan beras pratanak yang terbuat dari bahan baku gabah kering giling (GKG).

TINJAUAN PUSTAKA

Indeks Glikemik

Indeks glikemik (IG) merupakan tingkatan kecepatan makanan untuk diserap menjadi gula darah. Semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan semakin cepat dampaknya terhadap gula darah sedangkan sebaliknya, semakin rendah indeks glikemik maka dampaknya terhadap gula darah semakin lambat.

Gula murni memiliki indeks glikemik bernilai 100. Makanan dengan indeks glikemik >70 dikategorikan sebagai makanan indeks glikemik tinggi, sedangkan makan dengan indeks glikemik 50 – 70 tergolong indeks glikemik sedang dan <50 tergolong makanan dengan indeks glikemik rendah (Powell 2002). Makanan seperti nasi, daging, keju memiliki indeks glikemik tinggi karena mengandung banyak karbohidrat, protein dan lemak yang mudah dicerna menjadi gula. Sedangkan makanan seperti sayur memiliki indeks glikemik rendah karena mengandung serat sehingga menghambat pembentukan gula dari karbohidrat, protein dan lemak.

Menurut Rimbawan (2004) perbedaan nilai indeks glikemik pangan disebabkan oleh cara pengolahan, perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan.

(13)

Gabah

Gabah merupakan bulir padi yang dipisahkan dari tangkainya sebelum menjadi beras. Dalam penjualan, umumnya beras di perjual belikan dalam bentuk gabah karena menurut Haryadi (2008), gabah dan bijian secara umum merupakan bahan pangan mampu mempertahankan mutu selama penyimpanan dengan baik.

Kadar air menjadi penentu dalam ketahanan gabah selama masa penyimpanan.

Gabah kering panen (GKP) merupakan gabah yang baru saja dipanen. Gabah ini memiliki kadar air sekitar 20-25% (IRRI 2013). Pada keadaan ini gabah belum siap untuk digiling sehingga perlu dilakukan penurunan kadar air. Gabah kering giling (GKG) merupakan gabah yang telah dikeringkan setelah dipanen sehingga siap untuk digiling. Gabah in memiliki kadar air sekitar 13-15% (Bulkiya 2013). Gabah kering giling memiliki kadar air yang lebih rendah karena adanya proses penjemuran setelah dilakukan pemisahan bulir dan tangkai. Faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan biji gabah antara lain keadaan biji, lama penyimpanan, faktor biologis dan oksigen. Gabah dengan kadar air lebih rendah akan lebih rentan terhadap kerusakan (Shafwati 2012). Kadar air yang lebih rendah juga akan meningkatkan rendemen beras dikarenakan kadar air rendah mengoptimalkan proses penggilingan sehingga beras yang patah lebih sedikit. Struktur bagian gabah dapat dilihat pada gambar berikut.

Sumber: Docs google.com Gambar 1 Struktur bagian gabah padi

Beras

Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Beras berasal dari biji padi (Oryza sativa) dan merupakan golongan serealia. Beras merupakan bulir padi yang telah dipisahkan dari sekam dan aleuron melalui tahap pengupasan dan penyosohan. Gabah yang telah digiling menghasilkan sekam dan beras pecah kulit. Sekam kemudian dipisahkan dan beras pecah kulit kemudian disosoh.

Penyosohan membuat lapisan aleuron terlepas dari endsperm dan menghasilkan warna yang lebih disukai. Beras yang telah mengalami proses penyosohan disebut

(14)

dengan beras sosoh. Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih menyukai beras sosoh dibandingkan dengan beras pecah kulit karena tekstur beras sosoh yang lebih kenyal (Shafwati 2012). Berdasarkan kandungan gizinya, beras memgandung sebanyak 70-75% karbohidrat, 6-7,5% protein, 3% lemak dan sedikit vitamin B12 (Patiwiri 2006).

Beras merah merupakan beras pecah kulit dimana kulit arinya tidak banyak yang hilang. Selain sebagai sumber karbohidrat beras merah juga mengandung zat gizi yang berguna bagi tubuh seperti protein, beta karoten, antioksidan serta zat besi. Sumber zat gizi tersebut ada pada kulit ari dari beras merah. Menurut Fibriyanti (2013), dalam kulit ari beras merah banyak terdapat zat gizi penting seperti minyak alami dan kaya serat. Serat beras merah lebih mudah diserap oleh usus dibandingkan dengan gandum sehingga dapat meringankan beban usus dalam melakukan gerak peristaltik sehingga mempermudah penceernaan. Beras merah mengandung vitamin dan mineral yang lebih banyak dibandingkan dengan beras putih biasa. Beras merah mengandung lebih banyak vitamin E, Riboflavin, Niacin, vitamin B6, asam folat, magnesium, kalium dan banyak mineral lainnya (Varshini 2013).

Beras Pratanak

Beras pratanak merupakan beras yang diperoleh melalui proses pratanak yaitu proses perendaman gabah dengan air dan pengukusan dengan uap air panas sebelum kemudian dikeringkan dan digiling. Beras yang diolah secara pratanak dikatakan mampu mengurangi kerusakan beras saat proses penggilingan sehingga dapat meningkatkan rendemen (Buggenhout 2013). Metode pratanak telah diterapkan sejak jaman dahulu kala menggunakan pot untuk meningkatkan umur simpan dan mencegah terkontaminasinya beras oleh serangga. Metode tersebut kemudian diterapkan hingga saat ini untuk memproduksi beras dengan umur simpan yang lebih lama. Beras pratanak memiliki sifat fungsional salah satunya yaitu memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan dengan beras biasa. Hal tersebut dikarenakan kadar amilosa pada beras pratanak meningkat sehingga menurunkan indeks glikemik (Widowati et al 2009

(15)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret - Juni 2016 dan bertempat di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian serta Laboratorium Analisis Pangan Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah beras merah varietas Inpari 24, serta bahan untuk analisis antara lain air destilata, alkohol 80%, alkohol 95%, HCl 0.02 N dan 4 N, K2SO4, HgO, HBO3, indikator merah metil-biru metil, NaOH-Na2S2O3, NaOH 1 N, asam asetat 1 N, Iodine dan potassium iodine, CaCO3, Pb Asetat jenuh, Na-oksalat, larutan glukosa standar, pereaksi Anthrone, larutan buffer Fosfat, Termamyl, enzim Pepsin, enzim Pankreatin, Enzim alfa- Amilase, Larutan Maltosa, pereaksi Dinitrosalisilat (DNS), batu didih, aquades.

Alat-alat yang digunakan antara lain timbangan, waterbath, autoklaf, Cabinet Tray Dryer, alat ukur kadar air, wadah baskom, dehusker, polisher serta alat-alat gelas untuk analisis, cawan aluminium, oven, neraca analitik, desikator, cawan porselen, tanur listrik, soxhlet, labu lemak, kertas saring, kertas whatman no.

2, kapas, labu destilasi, Erlenmeyer, gelas pengaduk, kertas saring, pendingin balik, penangas air, kondensor, vorteks, corong, tabung reaksi bertutup, tabung Autoanalyzer, Technicon Autoanalyzer, Rice grader, spektrofotometer, dan Glukometer One Touch UltraTM.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu pembuatan beras pratanak kemudian dilakukan tahap uji karakteristik yang meliputi Uji mutu fisik beras, analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat), energi, total gula, kadar pati, amilosa, amilopektin, daya cerna pati, serat pangan, uji organoleptik serta uji indeks glikemik.

(16)

Pembuatan beras pratanak

Beras pratanak diperoleh melalui beberapa tahapan yaitu perendaman, pengukusan dan pengeringan. Pada tahap pertama, Gabah ditimbang terlebih dahulu sebanyak 5±0,05 kg kemudian dimasukkan ke dalam kain saring berbentuk kantung lalu direndam dalam waterbath dengan suhu sebesar 60oC selama 3 jam dan 4 jam. Beras yang sudah dilakukan perendaman kemudian dikukus dengan menggunakan autoklaf dengan suhu 105oC dengan tekanan yang konstan sebesar 1.5 Bar selama 20 menit. Gabah yang sudah dikukus kemudian di keringkan menggunakan Cabinet Tray Dryer hingga kadar air gabah mencapai 12 – 14%.

Gabah kemudian disimpan dalam karung untuk tahapan selanjutnya.

Tahapan selanjutnya yaitu dilakukan penggilingan atau pengupasan gabah menjadi beras pecah kulit menggunakan alat Dehusker. Beras pecah kulit kemudian disosoh sehingga menjadi beras pada umumnya menggunakan polisher. Beras yang sudah disosoh kemudian dilakukan uji karakteristik yang meliputi uji mutu fisik beras, proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat), energi, gula total, kadar pati, amilosa, amilopektin, daya cerna pati, serat pangan, uji organoleptik, serta uji indeks glikemik.

(17)

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan beras pratanak GABAH PRATANAK

Perendaman pada suhu 60°C Selama 3 jam dan 4 jam

Pemasakan (Pengukusan) dengan tekanan konstan 1,5 Bar selama 20 menit

Pengeringan, suhu 60°C Hingga kadar air mencapai 12-14%

Gabah GKP – GKG

Penggilingan (Pecah kulit, sosoh 2x)

BERAS PRATANAK Tergelatinisasi parsial

(18)

Uji mutu giling beras (SNI-6128-2015)

Uji mutu fisik beras meliputi parameterbutir kepala, butir patah, dan butir menir.

Butir kepala

Butir kepala ditentukan dengan menggunakan alat Rice grader. Sampel beras ditimbang terlebih dahulu sebanyak 100 gram. Kemudian beras dilakukan pemisahan antara butir kepala dengan butir patah/menir menggunakan alat Rice Grader. Butir patah/menir dipisahkan dengan menggunakan ayakan diameter 2,0 mm atau menggunakan pinset dan kaca pembesar secara visual. Bobot butir kepala kemudian ditimbang.

Butir patah

Butir patah ditentukan dengan memisahkan beras menggunakan ayakan dengan diameter 2.00 mm. sampel beras ditimbang terlebih dahulu sebanyak 100 gram. Kemudian dipisahkan antara beras kepala dan butir patah/menir dengan menggunakan alat Rice Grader. Butir patah/menir dipisahkan dengan menggunakan ayakan diameter 2,0 mm atau menggunakan pinset dan kaca pembesar secara visual. Bobot butir patah kemudian ditimbang.

Butir menir

Butir menir ditentukan dengan memisahkan beras menggunakan ayakan dengan diameter 2.00 mm. sampel beras ditimbang terlebih dahulu sebanyak 100 gram. Kemudian dipisahkan antara beras kepala dan butir patah/menir dengan menggunakan alat Rice Grader. Butir patah/menir dipisahkan dengan menggunakan ayakan diameter 2,0 mm atau menggunakan pinset dan kaca pembesar secara visual. Bobot butir menir kemudian ditimbang.

Uji karakteristik kimia beras indeks glikemik rendah Kadar air metode oven (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar air dilakukan secara gravimetri. Cawan porselen terlebih dahulu diovenkan untuk menguapkan sisa air yang menempel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang dalam cawan tersebut kemudian cawan diovenkan kembali selama 3 jam. Cawan yang sudah diovenkan kemudian didinginkan dan ditimbang kembali.

Kadar abu (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar abu dilakukan secara gravimetri. Cawan porselen terlebih dahulu diovenkan untuk menguapkan sisa air yang menempel kemudian

(19)

didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang dalam cawan tersebut kemudian cawan ditanur selama 5 jam. Cawan yang sudah ditanur kemudian didinginkan dan ditimbang kembali.

Lemak metode ekstraksi Soxhlet (SNI 01-2891-1992)

Sampel ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan kedalam selongsong kertas dan dikeringkan dalam oven bersuhu 80oC selama kurang lebih satu jam.

Selongsong kemudian dimasukkan ke dalam tabung soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang berisi batu didih. Sampel diekstrak menggunakan pelarut heksana selama kurang lebih 6 jam. Hasil ekstraksi lemak kemudian dikeringkan dalam oven 105oC lalu ditimbang setelah didinginkan.

Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan.

Protein metode Kjehdahl (AOAC 960.52)

Sampel beras ditimbang sebanyak 100-250 mg kemudian dipindahkan kedalam labu kjeldahl 30 ml. kedalam labu ditambahkan 1.9 ± 0,1 gram K2SO4, 40

± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 Jika sampel lebih dari 150 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. labu kjeldahl kemudian didihkan selama kurang lebih 1.5 jam hingga cairan di dalam labu menjadi jernih. Labu kjeldahl kemudian didinginkan dan isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi untuk dicuci dan dibilas sebanyak 5-6 kali dengan 1-2 ml air.

Air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi.

Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metil blue 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 kemudian ditambahkan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung sekitar 15 ml destilat dalam Erlenmeyer. Isi Erlenmeyer diencerkan 50 ml dan dititrasi dengan HCl 0.02 N terstandardisasi sampai terjadi perubahan warna dari merah ke abu-abu.

(20)

Karbohidrat metode By Difference

Analisa karbohidrat dilakukan dengan menghitung sisa dari kadar air, kadar abu, protein dan lemak dengan perhitungan sebagai berikut: Kadar karbohidrat (%bb) = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein) (%bb)

Energi

Energi dihitung berdasarkan energi fisiologis/faktor Atwater dikalikan dengan bobot sampel dalam gram. Energi fisiologis karbohidrat adalah 4.0 Kkal/g, protein 5.2 Kkal/g dan lemak 9.0 Kkal/g (Muchtadi 2009).

Gula total (Apriyantono et al 1989) Hidrolisis dengan asam

Sampel tepung ditimbang sebanyak 0.5 g dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 300 m kemudian ditambahkan etanol sebanyak 50 ml dan diaduk selama 1 jam. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan air sampai volume filtrat 250 ml. filtrat mengandung karbohidrat yang terbuang yang larut.

Residu yang terdapat pada kertas saring dicuci dengan eter sebanyak 10 ml. Eter dibiarkan menguap dan residu kemudian dicuci kembali dengan alkohol 80%

sebanyak 150 ml untuk membebaskan karbohidrat lebih lanjut. Residu kemudian dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam Erlenmeyer dengan cara pencucian dengan menggunakan air sebanyak 200 ml dan ditambah larutan HCl 25% sebanyak 20 ml. Ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan di atas penangas air sampai mendidih selama 2.5 jam untuk menghidrolisis pati. Setelah didinginkan larutan hasil hidrolisis dinetralkan dengan larutan NaOH 25% lalu diencerkan hingga 500 ml dan dihomogenkan kemudian disaring untuk digunakan sebagai larutan stok.

Pembuatan kurva standar

Larutan glukosa standar dipipet ke dalam tabung reaksi tertutup sebanyak 0.2, 0.4, 0.6,0.8,1.0 dan blanko lalu diencerkan hinga total volume masing-masing 1 ml ke dalam masing-masing tabung tambahkan 5 ml pereaksi Anthrone lalu ditutup dan divortex. Tabung dipanaskan dalam suhu 100oC selama 12 menit. Didinginkan lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 630 nm. Kemudian plot kurva standar glukosa.

(21)

Analisis sampel

Larutan stok sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup lalu ditambahkan 5 ml pereaksi Anthrone. Tabung ditutup lalu diinkubasi dalam penangas air dengan suhu 100oC selama 12 menit. Larutan didinginkan dengan air mengalir lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Kadar gula sampel ditentukan berdasarkan kurva standar glukosa yang telah diplotkan.

Analisis kadar pati (Apriyantono et al 1989)

Kadar pati diperoleh dengan mengalikan kadar total gula dengan faktor konversi 0.9.

Amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al 1989)

Sampel tepung beras sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran tersebut disimpan pada suhu kamar selama 15 jam. Sampel kemudian ditambah air destilata sampai batas 100 ml, dan dikocok sempurna. Larutan pati diambil 8 ml, dimasukkan ke dalam tabung Autoanalyzer. Larutan segar (fresh working solution) dipersiapkan dari 1 ml asam asetat 1 N dan 3 ml larutan stok iodine (2 mg iodine dan 200 mg potasium iodine per ml) dilarutkan sampai 100 ml. Sampel dan standar beras yang telah diketahui kadar amilosanya dianalisis menggunakan Technicon Autoanalyzer.

Hasilnya dinyatakan sebagai persentase kadar amilosa beras giling, basis kering.

Kadar amilopektin ditentukan dari selisih antaran kadar pati dan kadar amilosa.

Analisis daya cerna pati (Anderson et al 2002)

Sampel beras ditimbang sebanyak 0.25 g kemudian ditambahkan air aquades sebanyak 12.5 ml. Sampel dipanaskan dalam penangas air pada suhu 90oC selama 30 menit lalu didinginkan. Disiapkan dua tabung yang diberi label A dan B. Kedua tabung diisikan larutan suspensi sampel sebanyak 1 ml. Tabung A ditambahkan air destilata sebanyak 1.5 ml dan tabung B ditambahkan larutan buffer sebanyak 2.5 ml. Kedua tabung diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit. Tabung A ditambahkan larutan buffer sebanyak 2.5 ml dan tabung B ditambahkan enzim alfa- amilase sebanyak 2.5 ml. Kedua tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 30 menit. Kemudian Kedua larutan ditambahkan pereaksi DNS sebanyak 2 ml lalu dipanaskan pada suhu 100oC selama 10 menit dan didinginkan. Kedua tabung ditambahkan aquades sebanyak 10 ml lalu dihomogenisasi. Kedua larutan kemudian diukur absorbansi pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar dibuat dengan cara larutan maltosa dihitung terlebih dahulu berdasarkan nilai standar kemudian dimasukkan ke dalam labu takar sebanyak 0.75 ml kemudian ditera. Larutan maltosa dipipetkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml dan ditambahkan pereaksi DNS sebanyak 2 ml. Larutan dipanaskan pada suhu 100oC selama 10 menit lalu didinginkan dan ditambahkan aquades sebanyak 10 ml kemudian dihomogenisasi, setelah itu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm.

(22)

Analisis serat pangan (AOAC 985.29)

Kadar serat pangan yang ditentukan adalah serat pangan terlarut, serat pangan tidak larut dan serat kasar (total serat) dengan metode enzimatik. Sampel hasil ekstraksi lemak dimasukkan kedalam Erlenmeyer sebanyak 1 gram kemudian ditambahkan larutan buffer fosfat dan dibuat suspensi. Ke dalam Erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 L termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit, sambil sesekali diaduk. Ditambahkan 20 ml air destilata dan diatur pH nya hingga 1,5 dengan menambahkan HCl 4 N selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Erlenmeyer kemudian ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40oC selama 1 jam. Setelah diinkubasi, ditambahkan air destilata sebanyak 20 ml dan pH diatur hingga mencapai 6,8 dengan menambahkan NaOH. Kemudian ditambahkan 100 ml enzim pankreatin, ditutup dan diinkubasi kembali pada suhu 40oC selama 1 jam. Selanjutnya pH diatur dengan HCl menjadi 4,5, disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya yang mengandung 0,5 g celite kering (berat tepat diketahui) dan dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata.

Serat pangan tidak terlarut di tentukan dengan mencuci residu dengan 2 x 10 ml ethanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC, sampai berat tetap (sekitar 12 jam), dan ditimbang setelah didinginkan di dalam desikator. Selanjutnya diabukan dalam tanur 500oC selama paling sedikit 5 jam, lalu ditimbang setelah didinginkan dalam desikator.

Serat pangan terlarut ditentukan dengan cara volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml, lalu ditambah 400 ml etanol 95% hangat (60oC), diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering yang mengandung 0,5 celite kering dan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78 %, dan 2 x 10 ml aseton.

Uji organoleptik (SNI 01-2346-2006)

Uji organoleptik padapenelitian ini yaitu uji organoleptik dari kedua jenis beras pratanak yang diperoleh dari perlakuan ditambah satu kontrol. Uji dilakukan pada atribut rasa, aroma, tekstur, warna dan keseluruhan. Skala nilai yang digunakan yaitu skala kategori tujuh poin. Deskripsi nilai skala adalah sebagai berikut;1= sangat tidak suka; 2= tidak suka; 3= agak suka; 4=netral; 5= agak suka;

6= suka; 7= sangat suka. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih dengan jumlah minimal 30 orang. Data akan diolah menggunakan ANOVA dengan taraf 5% dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan.

Uji indeks glikemik beras pratanak (Ningrum 2013)

Uji indeks glikemik dilakukan secara in vivo dengan menggunakan subjek manusia sebagai panelis. Sebelum memulai analisis terlebih dahulu akan dilakukan seleksi panelis yang memenuhi kriteria antara lain bukan penyandang Diabetes

(23)

Mellitus, IMT normal, yaitu 18,5-22,9, usia 20-25 tahun, ukuran lingkar pinggang

<90 untuk pria, <80 untuk wanita, tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu, bukan perokok, tidak menjalani diet khusus, tidak memiliki riwayat diabetes dan penyakit kronik lainnya, tidak hamil ataupun menyusui (Ningrum 2013). Selain itu sebelum analisis panelis terlebih dahulu dipuasakan selama 10 jam. Setelah 10 jam, panelis kemudian diukur kadar gula darahnya tepat setelah puasa kemudian diberikan sampel beras pratanak dan larutan gula sebagai pembanding setelah mengkonsumsi sampel beras dan larutan gula, panelis diukur kadar gula darahnya menggunakan alat Glukometer. Kadar gula darah diukur setiap 30 menit selama 2 jam.

Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai indeks glikemik.

RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga kali ulangan. Faktor yang digunakan adalah bahan baku (Gabah kering panen dan Gabah kering giling) dan waktu perendaman (3 jam dan 4 jam). Jika di peroleh perbedaan yang signifikan di lanjutkan dengan uji Duncan. Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS statistic ver.22.

Model linearnya adalah:

Ỳijk = µ + ᾳi + ßj + (ᾳß)ij + ɛijk Dimana:

Ỳijk = Pengamatan pada faktor bahan baku taraf ke i, faktor varietas ke j dan ulangan ke k,

µ = Rataan umum,

ᾳi = Pengaruh utama faktor bahan baku, ßj = Pengaruh utama faktor lama perendaman,

(ᾳß)ij = Komponen interaksi dari faktor bahan baku dan varietas

ɛijk = Pengaruh acak dari interaksi faktor bahan baku dan varietas yang menyebar normal (0, ϭ2).

I,j,k = 1,2

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan Beras Pratanak

Beras pratanak diperoleh dengan menggunakan bahan baku gabah dari varietas Inpari 24. Sebelum diproses terlebih dahulu gabah dilakukan sorting untuk memisahkan kotoran dan benda asing kemudian dilanjutkan dengan proses pratanak. Selama berlangsungnya proses pratanak dilakukan pengukuran kadar air gabah. Perubahan kadar air selama proses dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 1 Kadar air gabah selama proses pratanak Sampel Kadar air setelah

perendaman (%)

Kadar air setelah pengukusan (%)

Kadar air setelah pengeringan (%)

GKP 3 jam 36.76 34.70 13.10

GKP 4 jam 38.14 35.97 13.43

GKG 3 jam 32.14 34.57 13.30

GKG 4 jam 32.80 29.00 13.20

Pengukuran kadar air dilakukan pada saat setelah perendaman, setelah pengukusan dan setelah pengeringan. Kadar air gabah setelah proses perendaman berkisar antara 32.14 - 38.14 %. Supaya terjadi proses gelatinisasi dibutuhkan kadar air sekitar 30% pada saat pengukusan (Lestari 2015). Proses perendaman membantu untuk meningkatkan kadar air tersebut. Kadar air bahan baku GKP memiliki kadar air yang lebih tinggi karena gabah kering panen tidak melalui proses pengeringan sebelumnya. Kadar air gabah setelah proses pengukusan berkisar antara 29.00% - 35.97%. kadar air setelah proses pengukusan mengalami penurunan dibandingkan dengan kadar air setelah proses perendaman. Hal ini dikarenakan sebagian air terdapat pada gabah mengalami penguapan akibat suhu tinggi sehingga kadar air mengalami penurunan. Kadar air akhir gabah setelah proses pengeringan berkisar antara 13.10 - 13.43%. kadar air yang diperoleh masih pada batas aman untuk disimpan. Menurut Ratnawati (2013), batas aman kadar air beras untuk penyimpanan adalah 14%.

Beras pratanak yang diperoleh memiliki warna kecoklatan sedangkan untuk kontrol berwarna putih sedikit keruh (lampiran). Hal ini disebabkan adanya reaksi kecoklatan non enzimatis. Reaksi ini terjadi bila pangan memiliki gula pereduksi dan gugus amin yang bila dipicu oleh suhu tinggi akan membentuk senyawa- senyawa intermediet. Senyawa intermediet ini menghasilkan pigmen melanoidin sehingga terbentuklah warna kecoklatan. Semakin tinggi suhu yang diberikan maka warna akan semakin coklat karena pembentukan senyawa intermediet semakin

(25)

cepat. Semakin banyak lapisan aleuron yang melekat pada endosperm maka warna beras akan menjadi semakin coklat karena kandungan asam amino lisin atau protein yang mengandung lisin lebih mudah bereaksi karena adanya gugus amin tambahan (Akhyar 2009). Menurut Susilo (2013) proses pratanak dapat meningkatkan warna coklat dibandingkan dengan beras sosoh. Reaksi tersebut dipicu oleh terbentuknya glukosa dan terjadinya isomerisasi glukosa menjadi fruktosa. Warna coklat pada beras dan nasi pratanak juga dapat dipicu oleh aktivitas air (aw) dari beras. Menurut labuza (1977) dalam peta stabilitas aw, reasi pencoklatan non enzimatis mengalami peningkatan laju reaksi pada aw 0.5 dan titik puncak pada aw 0.7. nilai aw untuk beras berkisar antara 0.40-0.60 (Wariyah 2010). Pada aw tersebut terjadi reaksi pencoklatan non enzimatis pada beras yang menyebabkan warna beras serta nasi menjadi sedikit coklat.

Mutu Fisik Beras Pratanak

Parameter yang digunakan untuk uji fisik beras pratanak antara lain beras kepala, beras patah dan menir. Hasil uji mutu fisik beras pratanak disajikan pada tabel berikut.

Tabel 2 Mutu fisik beras pratanak

Perlakuan Mutu Fisik Beras (%)

Bahan baku gabah Waktu perendaman

Butir Kepala Butir Patah Menir

GKP Kontrol 96,42 3,51 0,08

3 jam 55,08 41,87 3,05

4 jam 92,08 7,63 0,29

GKG Kontrol 74,34 23,67 1,9

3 jam 40,65 49,41 9,65

4 jam 93,98 3,83 0,32

Pada tabel 1 diketahui bahwa presentasi beras kepala tertiggi adalah pada perendaman 4 jam baik untuk bahan baku GKP maupun GKG. Hal ini dikarenakan pada perendaman 4 jam komponen serat pangan terutama serat pangan tidak larut meningkat disebabkan proses difusi dan pelekatan komponen yang lebih lama sehingga beras tidak mudah patah. Sebaliknya perendaman 3 jam menghasilkan presentase beras kepala lebih rendah dikarenakan perendaman yang dilakukan tidak cukup lama untuk proses difusinya komponen penyusun bekatul ke dalam beras sehingga beras menjadi lebih mudah patah.

(26)

Komposisi Kimia dan Sifat Fisikokimia Beras Pratanak

Proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat by difference. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3 Proksimat beras pratanak Jenis beras Kadar

Air (%)

Kadar Abu (%)

Kadar Protein (%)

Kadar Lemak

(%)

Kadar Karbohidrat

(%) GKP

kontrol

14.06c 0.62b 10.43c 0.54a 74.35a

GKP 3 Jam 9.58a 0.93d 10.51c 1.13d 77.86b

GKP 4 Jam 9.79ab 0.89d 9.90bc 1.14d 78.28b

GKG kontrol

11.15b 0.41a 8.29a 0.75b 78.97b

GKG 3 Jam

10.02ab 0.93d 10.05bc 1.12d 77.87b GKG 4

Jam

10.36ab 0.70c 8.78ab 0.96c 78.75b

Keterangan: Angka pada kolom sama, kemudian diikuti oleh huruf kecil yang sama menerangkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5% untuk uji lanjut Duncan.

Kadar air

Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang dapat menjadi penentu masa simpan beras pratanak. Rendahnya kadar air akan meningkatkan mutu beras karena sulit terkontaminasi oleh jamur dan kutu. Kadar air beras berkisar antara 9.58-10.36%. Kadar air beras pratanak lebih rendah bila dibandingkan dengan dengan beras kontrol. Hal tersebut dapat dikarenakan beras pratanak melalui proses pengeringan setelah proses yang menyebabkan kadar air menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kadar air kontrol. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lamanya proses perendaman dan jenis gabah tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar air yang dihasilkan pada taraf uji 5%.

Kadar abu

Kadar abu merupakan residu anorganik setelah melalui proses penghilangan bahan-bahan organik yang terkandung dalam suatu bahan. Nilai kadar abu merupakan kadar mineral yang terkandung dalam beras. Nilai kadar abu untuk beras pratanak berkisar antara 0.70-0.93% sedangkan beras kontrol berkisar antara 0.41-0.62%. Kadar abu untuk beras pratanak lebih tinggi dibandingkan dengan

(27)

beras kontrol hal ini disebabkan beras pratanak melalui proses perendaman. Proses perendaman tersebut menyebabkan mineral larut air yang terdapat pada sekam maupun aleuron akan berpindah ke endosperm sehingga nilai kadar abu meningkat (Akhyar 2009). Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lamanya proses perendaman dan jenis gabah tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar abu yang dihasilkan pada taraf uji 5%.

Kadar protein

Kadar protein beras pratanak yang dihasilkan berkisar antara 8.78-10.51%.

Gabah yang direndam selama 4 jam memiliki protein yang lebih rendah dibandingkan gabah yang direndam selama 3 jam. Hal ini dikarenakan perendaman yang lebih lama menyebabkan protein yang larut air akan semakin berkurang selama proses perendaman (Widowati 2009). Namun, hasil ANOVA menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara nyata terhadap waktu perendaman dan jenis gabah yang digunakan pada taraf uji 5%. Menurut Gelay dan Bryant (2009) kadar protein pada beras merah sosoh di amerika berkisar antara 9.90-14.00%.

Berdasarkan data tersebut kadar protein dari beras merah pratanak yang dihasilkan lebih rendah dari beras merah yang tidak melalui proses pratanak. Hal ini disebabkan temperatur tinggi pada saat pengukusan yang menyebabkan sebagian protein menjadi rusak (terdegradasi) sehingga kadar protein menurun (Susilo 2013) Kadar lemak

Kadar lemak hasil analisis beras pratanak berkisar antara 0.96-1.14%.

Berdasarkan hasil ANOVA diketahui bahwa perlakuan pratanak berpengaruh terhadap kadar lemak beras. Kadar lemak pada beras pratanak lebih tinggi bila dibandingkan dengan beras kontrol. Meningkatnya kadar lemak pada beras menurut Akhbar (2015), disebabkan oleh pengaruh suhu panas yang menyebabkan gelatinisasi pati pada bagian endosperm. Proses ini menyebabkan lemak yang terdapat pada aleuron diserap kedalam granula pati endosperm sehingga dihasilkan kadar lemak lebih tinggi pada beras pratanak. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lamanya proses perendaman dan jenis gabah tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar lemak yang dihasilkan pada taraf uji 5%.

Kadar karbohidrat by difference

Kadar karbohidrat beras pratanak yang dihasilkan berkisar antara 77.86- 78.75%. Berdasarkan hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lamanya proses perendaman dan jenis gabah tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar abu yang dihasilkan pada taraf uji 5%. Namun berbeda nyata dengan kontrol untuk beras GKP. Hal tersebut dikarenakan kadar air pada beras GKP kontrol yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras lainnya sehingga karbohidrat yang diperoleh semakin rendah. Kadar karbohidrat yang terdapat pada beras pratanak tidak berbeda jauh dengan kadar karbohidrat pada beras merah pada umumnya yaitu 78% (Akhbar 2015). Susilo (2013) menyatakan bahwa perlakuan pratanak tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar karbohidrat beras.

(28)

Gula total

Analisa kadar gula total dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kadar gula pada beras pratanak. Kadar gula dari beras pratanak ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel 4 Kadar gula dari beras pratanak Sampel Kadar gula % db

GKP Kontrol 0.99

GKP 3 jam 0.50

GKP 4 jam 0.09

GKG Kontrol 2.19

GKG 3 jam 0.61

GKG 4 jam 0.56

Total gula beras pratanak yang dihasilkan berkisar antara 0.09 – 2.18 %.

Berdasarkan hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lamanya proses perendaman dan jenis gabah berpengaruh secara nyata terhadap total gula dari beras pratanak pada taraf uji 5%. Pada beras pratanak yang terbuat dari gabah kering panen (GKP) lama perendaman berpengaruh terhadap total gula dari beras yang dihasilkan. Semakin lama waktu perendaman maka total gula yang dihasilkan semakin sedikit. Hal ini disebabkan semakin lama perendaman beras GKP kadar air semakin tinggi. Menurut Zelzenak dan Hoseney (1986) dalam Wang (2015) hubungan antara kecepatan retrogradasi dengan kadar air dapat dihubungkan dalam persamaan parabolik dengan titik puncak kecepatan retrogradasi terjadi antara kadar air 40–45 %. Laju retrogradasi yang tinggi mengakibatkan pembentukan ikatan hidrogen antara amilosa dengan gula bebas semakin cepat, akibatnya jumlah gula bebas yang tersedia pada beras dengan kadar air yang lebih tinggi akan cenderung lebih sedikit dibandingkan beras dengan kadar air yang lebih rendah.

Pada beras pratanak GKG, kadar air beras tidak berbeda signifikan pada perendaman 3 jam dan 4 jam. Akibatnya total gula pada beras pratanak jenis GKG tidak berbeda secara signifikan.

Kadar pati

Analisa kadar pati dilakukan untuk mengetahui pati yang terdapat pada beras pratanak. Kadar pati dari beras pratanak disajikan pada tabel berikut.

(29)

Tabel 5 Kadar pati dari beras pratanak Sampel Kadar pati % db GKP Kontrol 76.76

GKP 3 jam 74.97

GKP 4 jam 75.50

GKG Kontrol 79.77

GKG 3 jam 73.48

GKG 4 jam 75.16

Kadar pati hasil analisis beras pratanak diperoleh berkisar antara 73.48 % hingga 79.76 %. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan perendaman mempngaruhi kadar pati dari beras pratanak secara nyata pada taraf uji 5%. Beras kontrol GKG memiliki kadar pati lebih besar dibandingkan beras kontrol GKP, namun setelah proses perendaman, terjadi perubahan kadar pati. Beras GKP yang telah diberikan perlakuan perendaman memiliki kadar pati cenderung lebih tingi dibandingkan dengan beras GKG. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perendaman terhadap kadar pati beras pratanak bergantung pada jenis perlakuan awal beras pratanak. Terjadi penurunan kadar pati selama perendaman beras GKG, sebaliknya terjadi peningkatan kadar pati selama perendaman beras GKP. Namun hal ini dapat disebabkan perbedaan waktu perendaman yang diamati terlalu rendah sehingga perbedaan kadar pati dari beras pratanak yang diuji tidak terlihat.

Daya cerna pati

Daya cerna pati merupakan kemampuan suatu enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Daya cerna pati dari beras pratanak disajikan pada grafik berikut.

(30)

Gambar 3 Daya cerna pati beras pratanak GKP dan GKG

Daya cerna pati beras pratanak mengalami penurunan dibandingkan dengan beras kontrol. Berdasarkan hal tersebut, terbukti bahwa proses pratanak mampu mengurangi daya cerna pati. Daya cerna pati menurun disebabkan pati yang terdapat pada beras berubah menjadi pati resisten. pati terkomposisi dari amilosa dan amilopektin. Pada saat pemanasan, amilosa berdifusi keluar karena kehilangan kekompakan ikatan dan pada saat pendinginan amilosa yang tidak bercabang membentuk kembali ikatan yang lebih kuat sehingga menjadi sulit dicerna, sedangkan amilopektin yang berukuran lebih besar memiliki ikatan bercabang sehingga lebih mudah dicerna (Rimbawan 2006).

Daya cerna pati juga dapat dipengaruhi oleh adanya kandungan serat pangan terlarut. Serat pangan terlarut mempengaruhi daya cerna pati dengan meningkatkan viskositas atau kerapatan campuran pangan di dalam usus sehingga memperlambat laju pengosongan lambung yang mengakibatkan daya cerna pati menurun.

Keberadaan zat anti gizi seperti tannin atau fitat juga menyebabkan menurunnya daya cerna pati dengan membentuk kompleks yang tidak larut dalam saluran pencernaan (Murtini 2011).

Energi

Energi diperoleh dengan mengalikan bobot beras per gram dengan nilai energi fisiologis dari karbohidrat, protein dan lemak. Energy dari beras pratanak di tampilkan pada grafik berikut.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Daya cerna pati

(31)

Gambar 4 Energi beras pratanak GKP dan GKG

Energi yang dapat diperoleh dari beras pratanak berkisar antara 361-363 Kkal. Beras pratanak memiliki kandungan energi lebih besar dibandingkan dengan beras kontrol. Hal ini dapat disebabkan kandungan lemak pada beras pratanak lebih besar dibandingkan dengan beras kontrol. Lemak berperan penting dalam memberikan energi karena lemak memiliki energi fisiologis sebesar 9 Kkal/gram lebih tinggi dibandingkan karbohidrat dan protein (Muchtadi 2009).

Hasil Pengujian Organoleptik Beras Pratanak

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kesukaan panelis terhadap beras pratanak. Uji organoleptik dilakukan dengan panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6 Organoleptik nasi pratanak GKP dan GKG

Jenis beras warna aroma rasa tekstur Overall GKP Kontrol 4.00a 4.63a 4.90a 4.13a 4.57ab

GKP 3jam 4.03a 4.60a 5.33a 5.23c 5.00b

GKP 4 jam 4.07a 4.23a 4.83a 4.90bc 4.53ab

GKG Kontrol 4.27a 4.87a 4.97a 5.27c 4.90b

GKG 3 jam 4.33a 4.50a 4.87a 4.90bc 4.80ab

GKG 4 jam 3.67a 4.43a 4.70a 4.43ab 4.20a

Keterangan: Angka pada kolom sama, kemudian diikuti oleh huruf kecil yang sama menerangkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5% untuk uji lanjut Duncan.

Tingkat kesukaan panelis terhadap warna rata-rata berkisar antara 3.67 (netral) sampai dengan 4.33 (agak suka). Hasil ANOVA menyatakan bahwa perlakuan pratanak tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan warna. Uji lanjut

330 335 340 345 350 355 360 365 370

Energi (Kkal)

(32)

duncan menunjukkan bahwa jenis gabah yang digunakan sertawaktu perendaman tidak menghasilkan perbedaan nyata pada taraf uji 5%. Hal ini menandakan bahwa panelis masih menerima warna dari nasi pratanak.

Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma berkisar antara 4.23 (netral) sampai dengan 4.87 (agak suka). Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pratanak tidak berpengaruh secara nyata terhadap aroma nasi pratanak. Uji lanjut duncan menunjukkan bahwa jenis gabah yang digunakan serta waktu perendaman tidak berpengaruh nyata pada taraf uji 5%. Ini menunjukkan bahwa panelis masih dapat menerima aroma dari nasi pratanak.

Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa berkisar antara 4.70 (agak suka) sampai dengan 5.33 (suka). ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pratanak tidak berpengaruh terhadap perubahan rasa. Uji lanjut duncan menunjukkan bahwa jenis gabah yang digunakan dan waktu perendaman tidak berpengaruh secara nyata pada taraf uji 5%. Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa dari nasi pratanak.

Berdasarkan hasil uji organopeltik, tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur berkisar antara 4.13 (netral sampai dengan 5.27 (suka). Hasil ANOVA menunjukkan bahwa proses pratanak berpengaruh terhadap tekstur yang dihasilkan.

Perubahan tekstur ini dapat disebabkan oleh terjadinya proses retrogradasi.

Retrogradasi pati merupakan proses yang disebabkan oleh pembentukan kembali ikatan-ikatan hidrogen dari molekul amilosa dan amilopektin yang sebelumnya pecah akibat terjadinya gelatinisasi selama pengukusan. Retrogradasi lebih mudah terjadi karena ikatan hidrogen pada amilosa lebih mudah terbentuk dibandingkan dengan struktur linier. Bila suhu diturunkan ikatan hidrogen semakin kuat sehingga struktur pati menjadi padat (Susilo 2013). Hal ini mengakibatkan tekstur nasi menjadi sedikit keras.

Secara keseluruhan tingkat kesukaan panelis terhadap nasi pratanak berkisar antara 4.20 (suka) hingga 5.00 (suka). ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pratanak tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan.

Uji lanjut duncan menunjukkan bahwa jenis gabah yang digunakan serta waktu perendaman tidak berpengaruh nyata pada taraf uji 5% tetapi untuk beras GKG 4 jam berbeda nyata dengan beras kontrol namun tidak dengan beras GKG 3 jam. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur yang diakibatkan proses pratanak. Secara keseluruhan panelis menyukai produk beras pratanak.

Indeks Glikemik Beras Pratanak

Hasil respon glukosa darah pangan uji (beras pratanak GKP dan GKG) dan beras kontrol serta glukosa kontrol disajikan dalam bentuk kurva dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel. Kemudian dihitung luas daerah dibawah kurva untuk menentukan indeks glikemik dari setiap pangan yang

(33)

diuji. Besarnya nilai indeks glikemik dihitung dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva pangan uji dengan luas daerah di bawah kurva glukosa kontrol. Hasil pengukuran respon glukosa darah untuk setiap pangan uji seperti pada gambar berikut.

Gambar 4 Indeks glikemik beras pratanak GKP dan GKG

Nilai indeks glikemik beras pratanak lebih rendah dibandingkan dengan beras kontrol. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan pratanak mampu menurunkan nilai indeks glikemik dari beras. Namun tidak untuk beras pratanak dengan bahan baku GKG yang direndam selama 3 jam. Hal ini dikarenakan perendaman yang dilakukan belum cukup untuk memenuhi kadar air minimum untuk proses gelatinisasi yaitu terbatas 35% (Lestari 2015). Penurunan nilai indeks glikemik dapat dipengaruhi oleh kandungan serat pangan, amilosa, kadar gula, kadar lemak serta protein (Rimbawan 2006). Walter (2005) juga mengatakan bahwa nilai indeks glikemik dapat pula dipengaruhi oleh adanya pati resiten.

Kadar amilosa mempengaruhi nilai indeks glikemik. Kadar amilosa beras pratanak yang dihasilkan mengalami peningkatan setelah melalui proses pratanak.

Menurut Jenie et al (2012), peningkatan kadar amilosa disebabkan oleh adanya pemanasan yang dapat mengakibatkan pemutusan ikatan hidrogen pada fraksi amilopektin dari struktur bercabang menjadi struktur linier atau tidak bercabang seperti amilosa. Struktur amilosa yang tidak bercabang menyebabkan amilosa memiliki ikatan hidrogen yang lebih kuat. Sifat tersebut dapat menghambat laju pemecahan glukosa dalam darah sehingga beras pratanak akan lebih sulit untuk dicerna dan nilai indeks glikemik menurun (Parvin et al 2009).

Kadar serat pangan mempengaruhi nilai indeks glikemik dengan mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran dalam saluran pencernaan sehingga pergerakan enzim melambat dan memperlambat proses pencernaan.

Kadar protein serta lemak yang tinggi pada beras pratanak juga mampu menurunkan nilai indeks glikemik karena lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung sehingga pencernaan terlambat. Hal tersebut mengakibatkan nilai indeks glikemik menurun (Rimbawan 2006).

0 20 40 60 80 100

IG

(34)

Pati resisten merupakan pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim di dalam saluran pencernaan (Setiarto 2015). Menurut Walter et al (2005) konsumsi pangan yang mengandung pati resisten mengakibatkan turunnya respon indeks glikemik dan insulin dimana hal tersebut berkaitan dengan penurunan glukosa darah. Pati resisten yang terdapat pada beras pratanak menurut Susilo (2013) adalah pati resisten jenis III yang terbentuk akibat adanya retrogradasi dari pati setelah mengalami gelatinisasi. Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Retrogradasi menyebabkan amilosa maupun amilopektin yang sebelumnya memiliki struktur amorf berubah menjadi struktur kristalin. Struktur kristalin tersebut lebih resisten terhadap sistem pencernaan (Jenie et al 2012). Karena pati menjadi lebih sulit untuk dicerna, nilai indeks glikemik menurun. Menurunnya indeks glikemik dapat juga dikarenakan suhu penyajian nasi yang agak dingin menyebabkan pati mengalami retrogradasi.

Beban glikemik merupakan sistem peringkat untuk kandungan karbohidrat dalam porsi makanan berdasarkan nilai indeks glikemiknya. Beban glikemik dapat memprediksi nilai glukosa dari berbagai jenis dan jumlah makanan. Nilai beban glikemik diperoleh dengan mengalikan nilai indeks glikemik dengan jumlah karbohidrat persaji kemudian dibagi dengan 100. Makanan dengan beban glikemik rendah cenderung memiliki nilai indeks glikemik yang rendah. Kadar karbohidrat minimum untuk konsumsi beras pratanak adalah sebesar 50 g. Dalam hal ini apabila mengkonsumsi beras pratanak dengan karbohidrat minimal 50 g dalam satu porsi, akan memiliki nilai indeks glikemik seperti pada tabel.

(35)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Proses pengolahan beras secara pratanak mampu memodifikasi komposisi kimia beras yaitu meningkatnya kadar abu, kadar lemak dan serat pangan serta menurunkan kadar protein. Metode pratanak mampu menurunkan indeks glikemik beras dari rata-rata 70 menjadi rata-rata 60. Proses pengolahan pratanak terbukti tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan dari panelis terhadap parameter warna, aroma dan rasa namun berpengaruh terhadap tekstur. Tingkat kesukaan terhadap warna, aroma dan rasa yaitu suka dan tingkat kesukaan untuk parameter tekstur agak suka. Secara keseluruhan panelis dapat menerima produk beras pratanak. Secara umum beras pratanak yang dihasilkan dari bahan baku gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) dengan perendaman 4 jam tidak berbeda nyata sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan baku gabah kering panen (GKP) dapat menghemat energi karena gabah tidak perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum diproses.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai beras pratanak dengan bahan beras merah dari jenis dan varietas lainnya. Selain perlakuan waktu perendaman sebaiknya dilakukan juga perlakuan waktu pengukusan untuk melihat apakah proses pembuatan dapat lebih efisien.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Official Method of Analysis. 960.5. Washington DC (US): AOAC.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Official Method of Analysis. 985.29. Washington DC (US): AOAC.

Akhbar AM. 2015. Analisis Sifat Fisikokimia Dan Sifat Fungsional Beras (Oryza Sativa) Varietas Beras Hitam Dan Beras Merah Asal Cianjur, Solok, Dan Tangerang [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Akhyar. 2009. Pengaruh Proses Pratanak Terhadap Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Berbagai Varietas Beras Indonesia [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Anderson AK, Guraya HF, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting temperature (tm). Starch/Starke 54(2002):401-409.

Apriyantono A, Fardiaz D, Budijanto S, Puspitasari NL. 1989. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2891- 1992. Cara Uji Makanan Minuman. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2346- 2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Badan Standardisasi Nasional. 2015. SNI 01-6128-2015. Mutu Beras. Jakarta:

Badan Standardisasi Nasional.

Buggenhout J, Brijs K, Celus I, Delcour JA. 2013. The breakage susceptibility of raw and parboiled rice: A review. Journal of Food Engineering 117:304- 315

Bulkiya, C. M. 2013. Kajian Mutu Beras pada Berbagai Kadar Air Gabah Kering Giling (GKG) Menggunakan Mesin Penggiling Padi Keliling. [Skripsi].

Aceh (ID): Universitas Syiah Kuala Darussalam

Fibriyanti YW. 2013. Kajian Kualitas Kimia dan Biologi Beras Merah (Oryza nivara) Dalam Pewadahan Selama Penyimpanan [Skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

Gelay DR, Bryant RJ. 2009. Seed physicochemical characteristics of field-grown US weedy red rice (Oryza sativa) biotypes: Contrasts with commercial cultivars. Journal of Cereal Science 49:239-245.

(37)

Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

International Rice Research Institute. 2013. Harvesting Training Manual.

http://www.knowledgebank.irri.org/ [diakses pada tanggal 14 November 2016]

Jenie BSL, Putra RP, Kusnandar F. 2012. Fermentasi kultur campuran bakteri asam laktat dan pemanasan otoklaf dalam meningkatkan kadar pati resisten dan sifat fungsional tepung pisang tanduk (Musa paradisiaca formatypica).

Jurnal Pascapanen. 9(1):18-26.

Labuza TP, Warren RM, Warmbier HC. 1977. The Physical Aspects with Respect to Water and Non-Enzymatic Browning. New York (US): Springer US Lestari O.A, Kusnandar F, Palupi N.S. 2015. Pengaruh heat moisture treated

(HMT) terhadap profil gelatinisasi tepung jagung. Jurnal Teknologi Pertanian. 16(1):75-80.

Muchtadi D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung (ID): Alfabeta.

Ningrum DR, Nisa FZ, Pangastuti R. 2013. Indeks glikemik dan beban glikemik sponge cake sukunsebagai jajanan berbasis karbohidrat pada subyek bukan penyandang diabetes mellitus. Prosiding Seminar Nasional: Food Habit and Degenerative Diseases.

Parvin S, Hasan Q, Knudsen KEB, Ali L. 2009. Effects of parboiling and physicochemical characteristics of rice on the glycemic and insulinemic indices in type 2 diabetic subjects. Ibrahim Medical College Journa.l 2(1):12-16.

Patiwiri AW. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Powell KF, Holt SHA, Brand MJC. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values. Journal of American Society for Clinical Nutrition 76(1):5-56

Ratnawati, Djaeni M, Hartono D. 2013. Perubahan kualitas beras selama penyimpanan. Jurnal Pangan 22(3):199-208

Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks glikemik pangan, cara mudah memilih pangan yang menyehatkan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Rimbawan. 2006. Pengembangan Teknologi Pengolahan Beras Rendah Indeks Glisemik. Prosiding seminar nasional.

Setiarto RHB, Jenie BSL, Faridah DN, Saskiawan I. 2015. Kajian peningkatan pati resisten yang terkandung dalam bahan pangan sebagai sumber prebiotik.

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20(3):191-200.

(38)

Shafwati RA. 2012. Pengaruh Lama Pengukusan dan Cara Penanakan Beras Pratanak Terhadap Mutu Nasi Pratanak. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Susilo N. 2013. Rekayasa proses pengolahan beras pratanak untuk memperbaiki kualitas dan menurunkan indeks glikemik pada gabah cv. Ciherang [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Varshini V. 2013. Brown rice – Hidden nutrients. Journal of Bioscience and Technology 4(1):503-507.

Wang S, Li C, Copeland L, Niu Q, Wang S. 2015. Starch Retrogradation: A comprehesive Review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 14:568-585

Walter M, da Silva LP, Denardin CC. 2005. Rice and resistant starch: different content depending on chosen methodology. Journal of Food Composition and Analysis 18:279-285.

Wariyah C, Supriyadi. 2010. Isoterm sorpsi lembab beras berkalsium. Jurnal Agritech 30(4):199-203

Widowati S. 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Mellitus [Tesis]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Widowati S, Santoso BAS, Astawan M, Akhyar. 2009. Penurunan indeks glikemik berbagai varietas beras melalui proses pratanak. Jurnal Pascapanen 6(1):1-9.

Wordu GO, Banigo EB. 2013. Evaluation of the glycemic index of some cooked variety of rice products in Nigeria. Journal of Agricultural Science 1(2):38-41.

(39)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk kadar air beras pratanak

ANOVA KadarAir

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 34.905 5 6.981 9.573 .000

Within Groups 16.043 22 .729

Total 50.949 27

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

KadarAir Duncana,b

Sampel N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

GKP 3j 6 9.5800

GKP 4j 6 9.7867 9.7867

GKG 3j 6 10.0217 10.0217

GKG 4J 6 10.3600 10.3600

KGKG 2 11.1550

KGKP 2 14.0600

Sig. .274 .060 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.600.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Lampiran 2. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk kadar abu beras pratanak

ANOVA KadarAbu

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .664 5 .133 146.516 .000

Within Groups .020 22 .001

Total .684 27

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Observasi hasil penelitian persentase tingkat kemampuan berbicara siswa meningkat dari 41 orang siswa terdapat 24,4% siswa yang memiliki kemampuan

Musim cumi-cumi di wilayah perairan luar daerah penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan, yaitu pada Musim Peralihan II (September, Oktober, dan November) dan puncak

3. Melakukan eksperimen / percobaan atau memperoleh informasi Belajar dengan mengguanakan pendekatan ilmiah akan melibatkan siswa dalam melakukan aktivitas

Burqa adalah bagian dari tradisi kehormatan mereka, yang mereka sebut sebagai nang dan namus (kebanggaan dan kehormatan). Burqa, kata mereka adalah untuk melindungi perempuan,

doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada

Masalahnya, selama ini petani apel hanya mengukur keuntungan dari usahatani apel berdasarkan penerimaan hasil panen yang dikurangi dengan total biaya yang

Namun kejadian petir pada bulan April, Mei dan November sebagai bulan peralihan musim, dapat mencapai kelas tinggi yaitu diatas 50% untuk daerah Bolaang Mongondow

Sedangkan pada Tahun 2009 telah dirumuskan Strategic Defence Review (SDR) dan ditetapkan pokok-pokok pikiran serta direkomendasikan langkah-langkah strategis