• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Perilaku Agresif pada. Wanita Karier SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Perilaku Agresif pada. Wanita Karier SKRIPSI"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S1 Psikologi

Oleh :

MARTINA KUSUMAWATI 03320190

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

(2)

ii

Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat

Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Pada Tanggal

__________________

Mengesahkan, Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Ketua Program Studi,

Qurotul Uyun, S.Psi, M.Si

Dewan Penguji Tanda Tangan,

1. Thobagus Muh. Nu’man, S.Psi., Psikolog ______________

2. Qurotul Uyun, S.Psi, M.Si ______________

(3)

iii

Bersama ini saya menyatakan bahwa selama melakukan penelitian dan dalam membuat laporan penelitian, tidak melanggar etika akademik seperti penjiplakan, pemalsuan data, dan manipulasi data. Jika pada saat ujian skripsi saya melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima sanksi dari dewan penguji. Apabila kemudian hari saya terbukti melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima konsekwensi berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Yang menyatakan,

(4)

xiv

Martina Kusumawati Thobagus Muh. Nu’man

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara konflik peran ganda dengan perilaku agresif. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara konflik peran ganda dengan perilaku agresif pada wanita karier. Semakin tinggi konflik peran ganda, semakin tinggi perilaku agresif. Sebaliknya semakin rendah konflik peran ganda, semakin rendah perilaku agresif.

Subjek dalam penelitian ini adalah karyawati yang sudah menikah, minimal mempunyai satu orang anak, masa kerja minimal dua tahun, dan berusia 25 tahun - 45 tahun. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah skala konflik peran ganda yang dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Pareek (dalam Widyasari, 1997) dan Kopelman & Burley (Arinta dan Azwar, 1993) dan skala perilaku agresif yang dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Berkowitz (dalam Sari, 2005).

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11.5 for windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara konflik peran ganda dengan perilaku agresif. Korelasi Product Moment dari Pearson one-tiled menunjukkan korelasi sebesar r = 0,589 dengan p = 0,00 (p<0,01) yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara konflik peran ganda dengan perilaku agresif. Jadi hipotesis penelitian diterima.

(5)

iv

Segala puji dan syukur nikmat tercurah hanya pada-Mu ya Allah SWT,

karya sederhana ini dapat terselesaikan

Terima Kasih untuk segala cinta, perhatian, do’a dan dukungan

dari orang-orang terdekat di hati:

Kedua Orang Tua, Kakak dan Adikku

Ayahanda Hasto Waluyo, SH dan Ibunda Hartini tercinta serta Hesty, SE dan

Bagus tersayang atas ketulusan limpahan cinta, kasih sayang yang tiada

terkira yang selalu menyertai langkah ananda, dukungan dan do’a yang takkan

pernah terbalas. Semoga Allah SWT memberkahi dan menyayangi kita semua.

Amin.

Eyang Kakung tersayang

Terimakasih atas semua bentuk dukungan, do’a, perhatian dan bimbingan yang

diberikan.

Teman Terbaikku Iwar

Terima kasih atas segala limpahan kasih sayang, rasa cinta, kesabaran, dukungan

semangat, do’a, pengertian, perhatian dan juga kesedihan, semua yang ada

menjadikanku lebih dewasa dan mengerti tentang hidup. “Thanks for everything”.

(6)

v

Artinya : “ …Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,… Oleh karena itu, jika kamu telah selesai dari suatu tugas, kerjakan tugas lain dengan sungguh-sungguh…” (Q.S. Alam Nasyrah 6-7)























Artinya : “…Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dari Allah dengan kesabaran dan salat, Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar…” (Q.S. Al-Baqarah 153)

“Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, maka ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar untuk percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-bainya perlakuan, maka ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menyayangi diri. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.” (Pepatah Bijak)

(7)

vi

Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Puji syukur Kehadirat Allah SWT, atas petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semata-mata adalah rahmat Yang Maha Pemurah lagi Maha penyayang.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa telah banyak pihak yang memberikan bantuan berupa dorongan, arahan dan data yang diperlukan mulai dari persiapan, tempa dan pelaksanaan penelitian hingga tersusunya skripsi ini. Tidak berlebihan kiranya penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

2. Bapak Thobagus Muh. Nu’man, S.Psi., Psikolog, selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas segala waktu, bimbingan, ilmu dan kesabarannya dalam membimbing penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Emi Zulaifah, Dra., M.Sc., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendampingi penulis dalam menuntut ilmu.

4. Segenap dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia yang telah mengajarkan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis.

(8)

vii

6. Ibu Lilik Mulyani, SE, selaku Pimpinan BKK Kertek Wonosobo, yang telah memberikan ijin penulis untuk mengadakan try out.

7. Ibu Sriwidayati SE, selaku Pimpinan BKK Sapuran Wonosobo, yang telah memberikan ijin penulis untuk mengadakan try out.

8. Bapak Bardal, selaku Pimpinan BKK Kepil Wonosobo, yang telah memberikan ijin penulis untuk mengadakan try out.

9. Ibu Nuraini Ariswari, A.md, selaku Direktur LSM Upipa Wonosobo, yang telah memberikan ijin penulis untuk mengadakan try out.

10. Para responden yang telah bersedia bekerjasama dengan penulis selama proses pengambilan data.

11. Seluruh keluargaku, terimakasih atas semua bentuk dukungan, perhatian dan bimbingan yang diberikan.

12. Farrel dan I’am, sahabat kecilku yang selalu membuat tersenyum dan memberikan keceriaan.

13. Sahabatku Mba’ Citra, Vika, Ria, Mama Neira, terima kasih atas dukungan, do’a, dan persahabatan yang indah.

14. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materiil yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

15. Teman-teman angkatan 2003 yang tidak dapat disebut satu persatu terimakasih atas masukkan dan diskusinya dengan penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

(9)

viii

selama penulisan skripsi ini melakukan kekhilafan dan semoga karya ini memberikan manfaat dan kebaikan bagi kita semua, amin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, September 2007

Penulis

(10)

ix

HALAMAN JUDUL... ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ... ii

HALAMAN PERNYATAAN... ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... ... iv

HALAMAN MOTTO... ... v

PRAKATA... ... vi

DAFTAR ISI... ... ix

DAFTAR TABEL... ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... ... xiv

INTISARI... ... xv

BAB I PENGANTAR... ... 1

A. Latar Belakang Masalah... ... 1

B. Tujuan Penelitian...6

C. Manfaat Penelitian...6

D. Keaslian Penelitian...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... ... 10

A. Perilaku Agresi ... ...10

1. Pengertian Perilaku Agresif... ... 10

(11)

x

1. Pengertian Konflik Peran Ganda Wanita Karier... 25

2. Aspek-aspek Konflik Peran Ganda ... ...28

C. Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Perilaku Agresif pada Wanita Karier……… ... 30

D. Hipotesis Penelitian ……… ... ………35

BAB III METODE PENELITIAN... ... 36

A. Identifikasi Variebel-variabel Penelitian... ... 36

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian...36

C. Subjek Penelitian... . 37

D. Metode Pengumpulan Data... ... .37

1. Skala Konflik Peran Ganda .. ...38

2. Skala Perilaku Agresif... ... 40

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 41

1. Uji Validitas... ... 42

2. Uji Reliabilitas... ... 42

(12)

xi

a. Struktur Organisasi Bank Rakyat Indonesia... 44

b. Sistem Kerja dan Peraturan Bank Rakyat Indonesia... ...47

2. Persiapan Penelitian... ... 49

a. Persiapan Administrasi... ... 49

b. Persiapan Alat Ukur... ... 50

c. Uji Coba Alat Ukur.... ... 51

B. Laporan Pelaksanaan Penelitian... ...55

C. Hasil Penelitian... ... ...56

1. Deskripsi Subjek Penelitian... ... 56

2. Deskripsi Statistik ... 57 3. Uji Asumsi ... 59 a. Uji Normalitas... ... 60 b. Uji Linieritas... ... 60 4. Uji Hipotesis ... 61 D. Pembahasan... ... 61 BAB V PENUTUP... ... 69 A. Kesimpulan ... ...69 B. Saran...69 DAFTAR PUSTAKA...71

(13)

xii

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Konflik Peran Ganda Sebelum Uji Coba...39

Tabel 2 Variasi Jawaban dan Skor Aitem Konflik Peran Ganda ...40

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Perilaku Agresif Sebelum Uji Coba...41

Tabel 4. Variasi Jawaban dan Skor Aitem Perilaku Agresif...41

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Konflik Peran Ganda .... ...52

Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Konflik Peran Ganda Setelah Dilihat Validitas Isi ... .54

Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Perilaku Agresif... ... 55

Tabel 8. Deskripsi Subjek Penelitian... ... 56

Tabel 9. Deskripsi Data Penelitian... ... 57

Tabel 10. Rumus Norma Kategorisasi... ... 57

Tabel 11. Kriteria Kategorisasi Skala Konflik Peran Ganda... ... 58

(14)

xiii

Lampiran 1. Angket Try-out ... ...75

Lampiran 2. Data Try-out ... ...77

Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Data Try-out ... ...89

Lampiran 4. Angket Penelitian ... ...98

Lampiran 5. Data Penelitian ... ...100

Lampiran 6. Data Analisis Penelitian... ... 115

Lampiran 7. Hasil Analisis Penelitian... ... 118

(15)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini terdapat banyak berita-berita di media massa, berita-berita mengenai kriminalitas dan tindakan kekerasan selalu mewarnai dan dalam porsi yang semakin meningkat. Perilaku agresi yang termanifestasi dalam bentuk kekerasan fisik, verbal, seksual, dan ekonomi. Di Indonesia sebagian besar (85%) korban kekerasan dalam keluarga adalah anak-anak dan wanita, sisanya laki-laki. Kekerasan dalam keluarga tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja akan tetapi terdapat sebagian kecil (2%) kekerasan yang dilakukan oleh wanita (Hidayat, 2007).

Menurut Solihin dalam surat kabar harian Kompas, Kamis 23 Mei 2002, kekerasan atau agresivitas domestik atau kekerasan yang terjadi didalam lingkungan keluarga, 80% kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga, 10% terjadi dilingkungan pendidikan, dan sisanya orang tidak dikenal. Dan sebanyak 60% merupakan kekerasan ringan berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedang 40% sisanya mengalami kekerasan fisik. Ketika berusia 10 tahun, Keiza dianiaya oleh ibu kandungnya sampai mendapat 50 jahitan. Keiza anak tunggal dan masih mempunyai ayah yang kurang peduli dengan Keiza dan ibunya. Hal ini terjadi karena ibu Keiza mendapat tekanan, dimana harus menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga dan bekerja diluar rumah untuk mencukupi kebutuhan hidup (www.google.com).

(16)

Dalam Samarinda Pos Online, Selasa 6 Maret 2007, terdapat kasus seperti di atas yang menimpa artis, yaitu Maia Ratu. Maia melakukan aksi pelemparan remote ke wajah suaminya. Hal ini termasuk perilaku agresi yang diakibatkan adanya konflik peran ganda. Disini jelas bahwa Maia Ratu sangat sibuk dengan kegiatan di luar rumah, sedangkan suaminya menuntut Maia untuk sering berada di rumah dan mengasuh anak-anaknya. Selain itu Maia sendiri sedang menghadapi masalah dengan pekerjaanya, pada dasarnya Maia masih ingin berkarier. Dengan demikian kedua perannya saling menghambat satu sama lainnya (www.sapos.co.id). Menurut Koeswara (1988) bahwa ada peningkatan agresivitas pada wanita, hal ini terjadi karena wanita semakin meninggalkan kegiatan-kegiatan tradisionalnya (hanya berperan sebagai ibu rumah tangga) di lingkungan keluarga, dan karena memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Selain itu menurut Gibson (Salimon, 1995) yang melakukan pengkajian atas perbedaan wanita bekerja dan ibu rumah tangga dibeberapa negara menyatakan bahwa ada pandangan wanita bekerja cenderung agresif, suka memberontak, dan menjadi liberal. Hal ini dikarenakan karena wanita dibebankan dengan tugas yang banyak (www.google.com).

Moore dan Fire (Koewara, 1988) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek. Perilaku agresif akan berkembang dan terwujud oleh beberapa sebab yang mempengaruhinya. Ada kalanya perilaku agresif termanifestasi dalam wujud kekuasaan atau dalam bentuk emosi. Menurut Moyer (Koeswara, 1988) agresi

(17)

ketakutan merupakan agresi yang dibangkitkan oleh tertutupnya kesempatan untuk menghindari dari ancaman.

Adapun faktor-faktor pengarah dan pencetus kemunculan agresi menurut Koeswara (1988), adalah frustasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, serta suhu udara. Sementara Berkowitz & Dollard (Faturochman, 2006) menyatakan bahwa frustrasi dianggap sebagai faktor yang paling menonjol memunculkan perilaku agresi. Sementara frustrasi terjadi apabila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu (Mu’tadin, 2002).

Sejalan dengan Miller (Berkowitz, 1995) yang mengemukakan frustasi merupakan faktor pendorong terjadinya perilaku agresif. Hal ini biasanya terjadi jika mendapati diri tidak bisa mencapai tujuan yang diinginkan, kecenderungan awalnya mungkin adalah melakukan sesuatu yang bukan menyerang rintangan yang dihadapi. Akan tetapi jika rintangan itu terus menerus dan atau berulang, perilaku agresif mungkin meningkat intensitasnya.

Sementara Dollard (Sarwono, 2002) mengemukakan bahwa frustrasi akan memicu munculnya perilaku agresi dan individu yang mengalaminya akan memunculkan perilaku agresi. Kemudian Rini (2002) menyatakan salah satu masalah yang seringkali dialami oleh wanita bekerja adalah frustrasi, karena dalam pelaksaan perannya, salah satu peran yang dijalankan menghalangi perlaksanan peran lainnya. Menurut Katz & Kahn (Arinta & Azwar, 1993) kejadian sehari-hari dari dua atau lebih peran yang pemenuhan salah satu peran dapat menghasilkan

(18)

kesulitan atau menghalangi pemenuhan peran lain bagi seseorang semacam ini merupakan konflik peran ganda.

Sosialisasi peran ganda wanita Indonesia berlangsung melalui harapan bahwa wanita adalah pendamping suami, wanita adalah ibu yang bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan anak, wanita adalah manajer rumah tangga, wanita adalah pencari nafkah yang kedua, dan wanita adalah anggota masyarakat. Dengan waktu, tenaga, dan komitmen yang terbatas, mereka harus bisa menyeimbangkan peran mereka di tempat kerja dan di rumah. Hal ini menjadi prinsip sehari-hari, terutama bagi wanita menikah yang bekerja. Namun, sering didengar pernyataan dari mereka bahwa "tanganku ki mung loro", yang dalam bahasa Indonesia berarti "tangan saya hanya dua". Ungkapan ini bermakna bahwa mereka mempunyai keterbatasan tenaga, yang artinya bahwa dengan keterbatasan itu mereka mengalami konflik peran (Hardyastuti, 2001).

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, memainkan dua peran sekaligus menimbulkan konflik peran dalam diri individu. Hal ini disebabkan karena masih ada pandangan tradisional yang menyatakan bahwa seorang istri harus bertanggungjawab penuh terhadap keberesan rumah tangga, kesejahteraan suami dan anak-anaknya. Tidak peduli apakah isteri bekerja diluar rumah atau hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut hasil penelitian, konflik peran lebih banyak dirasakan oleh kaum wanita daripada lelaki (Hardyastuti, 2001). Sementara Budiman (Irvanus, 2002) menyatakan bahwa ada beberapa perempuan yang berperan ganda menerima keadaan untuk menjadi ibu rumah tangga dan sebagai wanita bekerja,

(19)

bahkan menerima peran yang diberikan sebagai sesuatu yang mulia dan harus dijunjung tinggi sehingga tidak menjadi konflik peran ganda.

Berbeda dengan kaum pria, pada wanita karier lebih-lebih yang telah menikah, seringkali terpaksa dihadapkan pada suatu dilemma ataupun konflik di dalam memilih peran. Disatu sisi wanita dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang selalu siap mengasuh dan melayani segala kebutuhan suami dan anak-anaknya. Disisi yang lain wanita juga dituntut untuk menjalankan pekerjaan sebagai wanita karier dengan baik. Dengan demikian wanita dihadapkan pada pilihan yang sulit, menjadi ibu rumah tangga yang baik atau menjadi wanita karier. Kondisi semacam ini akan dinamakan konflik peran ganda.

Kemudian Gibson (Widyasari, 1997) menyatakan konflik peran ganda akan terjadi ketika individu memainkan beberapa peran dan diantaranya memiliki harapan yang bertentangan atau salain menghalangi. Sementara Chaplin (2002) menyatakan bahwa adanya rintangan dan penggagalan untuk mencapai sesuatu dapat menyebabkan frustrasi. Frustrasi sendiri dinyatakan sebagai pengarah atau pencetus munculnya perilaku agresif.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif yang muncul pada wanita berperan ganda dipicu atau didorong oleh adanya kemungkinan terjadinya frustasi. Frustasi yang menyebabkan munculnya perilaku agresif dapat terjadi jika ada sebuah rintangan. Wanita berperan ganda seringkali menemui rintangan atau hambatan dalam menjalankan perannya. Seperti diketahui, konflik peran ganda terjadi ketika satu peran yang dimainkan bertentangan atau menghalangi peran yang lain. Hal semacam ini terjadi karena adanya hambatan

(20)

maupun terkanan yang muncul dari lingkungan keluarga dan lingkungan kerja terhadap pelaksanaan tugas atau peran pada wanita berperan ganda.

Mengingat hal ini telah demikian merebak dalam kehidupan saat ini, dimana banyak wanita yang memainkan peran gandanya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita karier, maka rumusan pokok permasalahan penelitian ini adalah apakah ada hubungan konflik peran ganda dan perilaku agresif pada wanita karier?.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan positif antara konflik peran ganda dengan perilaku agresif pada wanita karier.

C. Manfaat Penelitian

Di samping tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dan teoritis.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan memperkaya wawasan dalam bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial sebagai usaha menetapkan, menguji teori-teori tentang agresi dalam hubungannya dengan konflik peran ganda pada wanita karier.

(21)

2. Secara Praktis

a. Bagi wanita karier yang melakukan peran ganda agar dapat mengembangkan potensi-potensinya namun tidak meninggalkan kodrat kewanitaannya dan dapat menempatkan sebaik-baiknya apa yang menjadi prioritas tugasnya berdasarkan tempat dan waktu dimana dirinya berada, sehingga terwujud keserasian antara peran sebagai wanita karier dan sebagai ibu rumah tangga.

b. Bagi wanita karier yang mengalami konflik peran ganda agar supaya lebih mampu mengatasi ketidakmampuan dalam pembagian peran, sehingga tidak menimbulkan frustasi yang dapat memicu munculnya perilaku agresif.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk lebih mempertegas pilihan sebagai wanita karier atau sebagai ibu rumah tangga ataupun keduanya, sehingga dapat mengantisipasi konflik yang mungkin timbul dengan pilihan tersebut.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berhubungan dengan konflik peran ganda wanita karier yang sejenis yang pernah dilakukan antara lain adalah :

1. Penelitian Arinta yang dilakukan di Indonesia dengan judul Peran Jenis Androgini Dan Konflik Peran Ganda Pada Ibu Bekerja, pada tahun 2003. Subjek penelitian tersebut dilakukan terhadap karyawati PT. Telkom Kandatel Semarang dan Kandatel Yogyakarta. Dengan hasil penelitian yang diperoleh adalah wanita yang berperan ganda, semakin tinggi tingkat androginitas akan semakin rendah kemungkinan timbulnya konflik peran ganda dan sebaliknya.

(22)

2. Penelitian Diansari Everina yang dilakukan di Indonesia dengan judul Hubungan Antara Konflik Pada Wanita Peran Ganda Dengan Aspirasi Karier, pada tahun 2006. Subjek penelitian tersebut dilakukan terhadap wanita yang berumah tangga dan aktif bekerja pada Rumah Sakit Umum Kabupaten Belitung. Dengan hasil penelitian yang diperoleh ada hubungan negatif yang signifikan antara konflik pada wanita peran ganda dengan aspirasi karier.

3. Penelitian Ashari Vonna yang dilakukan di Indonesia dengan judul Hubungan Pemahaman Jender Dan Dukungan Suami Dengan Konflik Peran Ganda Pada Wanita Karier, pada tahun 2005. Subjek penelitian tersebut dilakukan terhadap yang wanita berumah tangga, memiliki anak dan aktif bekerja dikantor otoritas Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam di Batam. Dengan hasil penelitian yang diperoleh ada hubungan pemahaman jender dengan konflik peran ganda wanita dan ada hubungan dukungan suami dengan konflik peran ganda ditolak.

Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini dapat dikatakan orisinil dengan alasan dilihat dari:

1. Keaslian Topik

Banyak penelitian mengenai peran ganda wanita karier sebagai variabel bebas yang telah dilakukan dengan variabel tergantung yang berbeda. Penelitian ini menhubungankan konflik peran ganda dan perilaku agresif. Konflik peran ganda merupakan kejadian sehari-hari dari dua atau lebih peran, yang pemenuhan salah satu peran dapat menghasilkan kesulitan pemenuhan peran lain bagi seseorang. Sedangkan perilaku agresif adalah tindakan individu yang ditujukan

(23)

untuk melukai dan mencelakakan individu lain secara sengaja. Semakin tinggi konflik peran ganda, maka semakin tinggi perilaku agresif, dan sebaliknya. 2. Keaslian Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sintesa dari beberapa teori. Konflik peran ganda menggunakan beberapa teori dari Pareek, Kopelman dan Burley. Sedangkan perilaku agresif menggunakan beberapa teori dari Freud, Dollard & Miller, dan Berkowitz.

3. Keaslian Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam skala yang dibuat sendiri oleh peneliti. Skala ini terdiri dari skala konflik peran ganda wanita karier dan skala perilaku agresif.

4. Keaslian Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini karakteristiknya adalah karyawati yang sudah menikah, minimal mempunyai satu anak, berusia 25 tahun - 45 tahun (yang merupakan usia produktif) dan masa kerja minimal dua tahun.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Agresif 1. Pengertian Perilaku Agresif

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, agresi diartikan sebagai perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan, kegagalan dalam mencapai pemuas atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda. Agresi merupakan konsep yang familiar tetapi nampaknya tidak mudah untuk mendefinisikannya. Aronson (Koeswara, 1988) mengemukakan agresi adalah tingkah laku yang dijalankan individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Menurut Baron (Koeswara, 1988) agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai dan mecelakakan individu lain yang tidak menginginkan datanganya tingkah laku tersebut. Definisi agresi dari Baron ini mencakup empat faktor, tingkah laku, tujuan untuk melukai atau mencelakakan (termasuk mematikan atau membunuh), individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi koban, dan ketidakinginan korban menerima tingkah laku pelaku.

Sementara itu Moore dan Fine (Koeswara, 1988) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek. Sejalan dengan Myers (Sarwono, 2002) menyatakan perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Selain itu Atkinson (1983) menyatakan agresi

(25)

sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain (secara fisik maupun verbal) atau merusak harta benda.

Agresi (Agression) yaitu siksaan yang diarahkan secara sengaja dari berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain (Baron, 2005). Sedangkan Manstead dan Hewstone (Faturochman, 2006) menyatakan agresi merupakan segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan melukai dan pihak yang dilukai tersebut berusaha menghindarinya. Selain itu Breakwell (1998) mendefinisikan agresi secara tipikal sebagai bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang tersebut, berarti menyakiti orang lain secara sengaja, bukanlah agresi, apabila pihak yang dirugikan menghendaki hal tersebut terjadi.

Pendapat lain Chalpin (2002) mengartikan agresivitas adalah kecenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memancarkan permusuhan, pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri, pengejaran penuh dengan semangat suatu cita-cita, dominasi sosial, khususnya secara ekstrem. Pola agresif dicirikan dengan tindakan atau sikap-sikap agresif yang bertujuan menghilangkan perasaan inferior, artinya yang terjadi adalah kompleks superioritas.

Sementara Sarason (Dayakisni, 2001) menyatakan agresi sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh organisme terhadap organisme lain, objek lain, atau bahkan pada dirinya sendiri. Sejalan dengan Murray (Anshari, 1996) menyatakan agresi merupakan keinginan untuk menyerang atau melukai orang lain, memerangi, memfitnah, menghakimi, atau melangsungkan praktek kesadisan.

(26)

Berkowitz (Koeswara, 1988) menyatakan bahwa frustasi mengakibatkan terangsangnya suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab frustasi. Selain itu Berkowitz membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yakni agresi instrumental (instrumental aggression) dan agresi benci (hostile aggression) atau disebut juga agresi impulsive (impulsive aggression). Yang dimaksud dengan agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan agresi benci atau agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif merupakan tingkah laku kekerasan fisik maupun verbal yang ditujukan kepada orang lain atau objek-objek (benda) yang bersifat mencelakakan, merugikan atau merusak yang mengandung unsur kesengajaan serta adanya usaha menghindar yang dilakukan oleh pihak yang dilukai atau dirugikan.

2. Teori-teori Tentang Perilaku Agresi

Menurut Sarwono (2002) teori-teori tentang perilaku agresi terbagi ke dalam beberapa kelompok yang antara lain, adalah:

a. Teori Naluri dan Biologi

1) Teori Naluri dan Psikoanalisa

Menurut teori psikoanalisa milik Freud (1955), agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri agresi atau tanatos merupakan pasangan dari

(27)

naluri seksual atau eros. Jika naluri seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan, sementara naluri agresi berfungsi untuk mempertahankan jenis dan keduanya berada dalam alam ketidaksadaran. Selain itu Breakwell (1998) menjelaskan teori instink milik Freud bahwa individu melakukan tindakan agresi karena tidak ada tindakan lainnya yang mungkin dilakukan, hal ini dikaitkan bahwa orang tidak mengendalikan tindakan-tindakannya sendiri, serta menganggap agresi adalah suatu kebutuhan dan memiliki nilai survival. Selain itu Wrighsman dan Deaux (Dayakisni, 2001) yang merupakan suatu revisi yang dilakukan pengikut-pengikut Neo Freudian menyatakan dorongan agresi adalah sehat, karena merupakan usaha untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang nyata dari manusia. Kemudian pendapat Lorenz (1976) tentang naluri agresi yang menjelaskan bahwa tingkah laku naluriah tertentu ada atau bertahan pada organisme karena memiliki nilai survival bagi organisme tersebut, kesimpulannya adalah agresi dianggap bagian dari naluri pada organisme yang diperlukan untuk survival (bertahan) dalam proses evolusi, dan bersifat adaptif (menyesuaikan diri terhadap lingkungan) bukan destruktif (merusak lingkungan).

2) Teori Biologi

Moyer (1976) berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi diotak dan susunan syaraf pusat, selain itu hormon pada laki-laki (testoteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif. Sementara Brigham (Helmi, 1998) menyatakan bahwa hormon testosteron saja tidak

(28)

memunculkan perilaku agresif secara langsung, namun harus ada pemicu dari luar.

b. Teori Lingkungan

1) Teori Frustrasi-Agresi Klasik

Teori yang dikemukakan Dollard dkk (1939) dan Miller (1941) pada intinya menjelaskan bahwa agresi dipicu oleh frustrasi, frustrasi sendiri diartikan sebagai hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan, sehingga agresi merupakan bentuk pelampiasan dari perasaan frustrasi. Dollard & Miller (Baron, 2005) mengemukakan teori dorongan atas agresi, dalam bentuk aslinya hipotesis frustasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) terdapat dua pernyataan penting yaitu frustasi selalu memunculkan bentuk tertentu dari agresi dan agresi selalu muncul dari frustasi. Secara singkat, teori ini memandang bahwa orang yang frustasi selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan semua tindakan agresi. Sejalan dengan pendapat Gloria (Baron, 2005) frustasi merupakan perjalanan yang tidak menyenangkan, dan frustasi dapat menyebabkan agresi. Frustasi kadang mengahasilkan agresi karena adanya hubungan mendasar antara efek negatif (perasaan tidak menyenagkan) dengan perilaku agresif. Selain itu Dollard & Miller (Baron, 2005) menyatakan bahwa teori dorongan atas agresi merupakan perilaku agresi yang didesak dari dalam oleh dorongan untuk menyakiti dan melukai orang lain. Dorongan-dorongan ini muncul dari berbagai kejadian eksternal seperti frustasi. Kemudian Berkowitz (Baron, 2005) menyatakan bahwa frustasi mengakibatkan terangsangnya suatu dorongan yang tujuan

(29)

utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab frustasi.

2) Teori Frustrasi-Agresi Baru

Modifikasi terhadap teori frustrasi-agresi klasik dilakukan oleh Burnstein dan Worchel, yang membedakan antara frustrasi dan iritasi. Iritasi terjadi jika hambatan terhadap pencapaian tujuan dapat dimengerti alasannya, sedangkan frustrasi adanya pandangan bahwa seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam usaha pencapiannya. Kemudian Berkowitz (1988) menyatakan bahwa frustrasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah yang memicu agresi. Selain itu frustrasi lebih disebabkan oleh keadaan subjektif daripada keadaan objektif, yang dimaksud dengan keadaan subjektif atau depriviasi (kekurangan) adalah adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga orang yang bersangkutan merasa kekurangan.

3) Teori Belajar Sosial

Penelitian Bandura (Krahé, 2005) tentang pembentukan agresivitas pada anak-anak yang menyatakan bahwa agresi dapat dipelajari dan terbentuk pada individu hanya dengan meniru atau mencontoh agresi yang dilakukan individu lain. Selain itu penelitian yang dilakukan White & Humphrey (Krahé, 2005) yang menyatakan bahwa wanita-wanita yang agresif, telah mengalami sendiri perlakuan agresif terhadap dirinya, baik yang dilakukan oleh orang tua ataupun teman prianya.

(30)

c. Teori Kognisi

Menurut Kawakami & Dion (Krahé, 2005) teori kognisi ini berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian, dan pembuatan keputusan. Sejalan dengan Johnson & Rule (Krahé, 2005) yang menyatakan kesalahan atau penyimpangan dalam pemberian atribusi dapat memunculkan agresi, sebagai contoh ada seorang (orang pertama) yang melihat kearah orang lain (orang kedua), orang kedua merasa bahwa orang pertama melototinya dengan pemberian atribusi yang salah mengakibatkan orang kedua merasa bahwa orang pertama ingin memusuhi orang kedua. Peristiwa semacam ini dapat memunculkan perilaku agresif.

Dari uraian di atas, terdapat beberapa teori agresi namun penelitian akan menggunakan teori frustrasi agresi pada penelitian ini karena sesuai dengan penelitian yang dilakukan untuk mengungkap hubungan konflik peran ganda dengan perilaku agresi. Dimana teori frustrasi agresi menjelaskan bagaimana perilaku agresi muncul dikarenakan adanya frustrasi yang dialami oleh individu atau dapat dikatakan adanya hambatan terhadap pencapaian tujuan yang dilakukan individu.

3. Aspek-aspek Perilaku Agresif

Medinus dan Johnson (Dayakisni, 2001) menyebutkan aspek-aspek perilaku agresif, sebagai berikut:

a. Menyerang fisik, yang termasuk dalam penyerangan fisik adalah memukul, mendorong, menendang, menggigit, meninju, meludahi dan merampas.

(31)

b. Menyerang suatu objek, yang dimaksud disini adalah menyerang benda mati atau binatang.

c. Secara verbal atau simbolis, yang termasuk di dalamnya adalah mengancam secara verbal memburuk-burukkan orang lain, sikap mengancam dan sikap menuntut.

d. Pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain.

Sementara Berkowitz (dalam Sari, 2005) mengelompokkan perilaku agresif ke dalam tiga aspek, yaitu:

a. Agresi fisik, merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang secara fisik, misalnya menendang, memukul, dan sebagainya.

b. Agresi verbal, merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang sebagai umpatan bahkan ancaman, misalnya memaki, mengancam, dan sebagainya.

c. Agresi pasif, merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti tidak secara fisik maupun verbal, misalnya menolak bicara, bungkam, dan tidak peduli.

Selain itu Buss (Dayakisni, 2003) mengelompokkan agresi manusia ke dalam delapan aspek, yaitu:

a. Agresi fisik aktif langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti memukul, mendorong, menembak, dan sebagainya.

(32)

b. Agresi fisik pasif langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok kerja, aksi diam, dan sebagainya. c. Agresi fisik aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan

individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukuang pukul, dan sebagainya.

d. Agresi fisik pasif tidak langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh dan sebagainya. e. Agresi verbal aktif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan individu

atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain, seperti menghina, memaki, marah, mengumpat, dan sebagainya. f. Agresi verbal pasif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan individu

atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak berbicara, bungkam, dan sebagainya.

g. Agresi verbal aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individi atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba, dan sebagainya.

(33)

h. Agresi verbal pasif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak menggunakan hak suara, dan sebagainya.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang merupakan aspek-aspek perilaku agresif adalah agresi fisik, agresi verbal, dan agresi pasif.

4. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Agresif

Konsep motivasi menerangkan bahwa, sebagaimana umumnya tingkah laku, agresi bukanlah variabel yang muncul secara kebetulan atau otomatis, melainkan variabel yang muncul karena terdapat kondisi-kondisi atau faktor-faktor tertentu yang mengarahkan atau mencetuskannya, yang sering dibedakan ke dalam dua jenis faktor, yakni faktor-faktor yang berasal dari dalam (internal) dan faktor-faktor yang berasal dari luar individu (eksternal). Menurut Koeswara (1988) faktor-faktor pengarah dan pencetus kemunculan agresi, yakni:

a. Frustrasi

Gagasan bahwa frustasi bisa mengarahkan individu kepada agresi adalah gagasan yang pertama kali dikemukakan oleh Dollard, dkk. Yang dimaksud dengan frustasi itu sendiri adalah situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam berusaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Pada saat individu mengalami frustrasi, maka akan lebih cenderung melakukan perilaku

(34)

agresif karena tujuan yang ingin dicapai mengalami hambatan bahkan kegagalan.

b. Stress

Menurut Selye (1946) stress sebagai reaksi, respon, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal atau perubahan lingkungan. Dalam hal ini efek stress merupakan efek behavioral berupa kemunculan agresi.

c. Deindividuasi

Deindividuasi mempunyai peran memperbesar keleluasaan melakukan agresi atau memperbesar terjadinya agresi, karena deindividuasi suatu usaha menyingkirkan atau mengurangi peran beberapa aspek yang terdapat pada individu, yaitu identitas diri atau personalitas individu pelaku maupun identitas diri korban agresi, dan keterlibatan emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya (Dunn dan Rogers, 1979; Diener, 1980; Mann, Newton dan Innes, 1982).

d. Kekuasan dan kepatuhan

Lord Acton (Koeswara, 1988) menyatakan kekuasaan itu sering disalahgunakan. Dalam penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa (coercive), memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi seperti ditunjukkan oleh tindakan-tindakan Nero, Hitler, Mussolini, Stalin, Triumvirat militer Argentina, Somosa, Baby Doc, Marcos, dan sejumlah manipulator kekuasaan lainnya. Kekuasaan diartikan sebagai kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang untuk merealisasikan keinginan-keinginannya dalam tindakan komunal bahkan

(35)

meskipun harus berhadapan dengan perlawanan dari seseorang atau sekelompok orang yang lainnya berpartisipasi dalam tindakan komunal tersebut. Sedangkan agresi manusia adalah suatu cara yang dilakukan individu untuk mencapai tujuannya dengan cara apapun bahkan berusaha menggunakan kekuasaannya sebagai alat atau cara pencapaian tujuan.

e. Efek senjata

Menurut Koeswara (1988) senjata memainkan peran dalam agresi tidak saja karena fungsinya mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga karena efek kehadirannya. Beredarnya senjata api dan syarat –syarat kepemilikan yang begitu longgar, mengakibatkan tingginya kecenderungan perilaku agresif pada masyarakat yang menggunakan senjata api.

f. Provokasi

Provokasi bisa mencetuskan agresi karena provokasi itu sering merupakan serangan terhadap sesuatu yang oleh setiap orang selalu dipelihara keutuhannya, yakni rasa harga diri (self-esteem) (Geen, 1968).

g. Alkohol dan obat-obatan

Dari hasil penelitian Taylor dan Schmut (1982), seseorang yang menerima alkohol dalam takaran yang tinggi menunjukkan taraf agresivitas lebih tinggi dibanding dengan subjek-subjek yang menerima alkohol dalam takaran yang rendah. Selain itu banyak kasus-kasus yang muncul dari tindakan agresi dengan pelaku yang mengkonsumsi alkohol atau yang mempunyai kebiasaan mabuk.

(36)

h. Suhu udara

Dibandingkan dengan faktor-faktor yang lainnya, suhu udara adalah faktor yang jarang diperhatikan oleh peneliti agresi meski sesungguhnya sejak lama ada dugaan bahwa suhu udara memiliki pengaruh terhadap tingkah laku, termasuk tingkah laku agresif (Koeswara, 1988). Namun di Amerika Serikat, perilaku agresif banyak sekali memunculkan kasus-kasus kriminal pada musim panas, dengan alasan pada musim panas hari-hari “lebih panjang” dan individu mempunyai keleluasaan bertindak dibandingkan pada musim-musim yang lainnya.

Sedangkan menurut Baron (2005) faktor-faktor penyebab munculnya perilaku agresi adalah, sebagai berikut:

a. Faktor sosial 1) Frustrasi

Frustrasi selalu munculkan bentuk tertentu dari agresi (Dollard, 1939). Disini frustrasi dinyatakan sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan, individu akan melakukan perilaku agresif jika merasa berada pada keadaan yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan.

2) Provokasi

Provokasi adalah tindakan oleh orang lain yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima provokasi, serta seringkali tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud yang jahat.

(37)

3) Pemaparan terhadap kekerasan di media

Banyaknya gambaran aksi kekerasan dimedia, memicu munculnya perilaku agresif. Menurut Botha (1990) makin banyak film atau program televisi dengan kandungan kekerasan yang ditonton pada masa kanak-kanak, makin tinggi tingkat agresi ketika remaja atau dewasa.

4) Keterangsangan

Keterangsangan yang meningkat dapat menimbulkan perilaku agresi, jika keterangsangan masih tetap ada setelah melalui kejadian atau situasi yang tidak menyenangkan dan salah diinterpretasikan sebagai rasa marah.

b. Faktor pribadi 1) Pola perilaku

Pola perilaku terdiri dari dua tipe, tipe A menunjukkan karakteristik individu yang tingkat kompetitif, urgensi waktu, dan hostility yang tinggi, sedangkan tipe B menunjukkan karakteristik yang berlawanan dengan tipe A. Tipe A lebih cenderung melakukan agresi hostile dibanding tipe B, namun sebaliknya tipe A lebih cenderung untuk tidak melakukan agresi instrumental. 2) Bias atribusional hostile

Bias atribusional hostile merupakan kecenderungan untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam tindakan orang lain ketika tindakan itu dirasa ambigu.

3) Gender

Perbedaan gender dalam agresi menjadi lebih besar dengan ada atau tidaknya provokasi. Pria lebih cenderung agresif dibandingan wanita, namun

(38)

adanya provakasi yang intens menunculkan persamaan agresif yang sama pada pria dan wanita (Betancourt & Miller,1996).

c. Faktor situasional 1) Suhu udara

Agresi meningkat pada suhu udara pertengahan 80 derajat Fahrenheit, namun agresi mengalami penurunan pada suhu yang lebih tinggi (Bell & Baron, 1976). Artinya suhu panas meningkatkan agresi, namun hanya pada batas titik tertentu.

2) Alkohol

Alkohol memberi pengaruh munculnya perilaku agresif pada individu yang mempunyai kecenderungan agresi rendah, tetapi berbeda dengan individu yang mempunyai kecenderungan agresi tinggi akan sedikit berkurang dalam pengaruh alkohol.

3) Belief budaya dan nilai-nilai

Breakwell (1998) menjelaskan ada penilaian sub-kultural terhadap agresi yang berbeda pada masyarakat, misalnya pada masyarakat tertentu agresi diharapkan diekspresikan secara fisik namun masyarakat lain secara verbal, selain itu perbedaan antara cara atau bentuk agresi yang diekspresikan pada kaum pria atau wanita.

Sementara Harris (Baron, 2005) menyatakan bahwa pria lebih banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita. Ini menjelaskan bahwa perbedaan gender dalam agresi lebih kompleks. Pria secara umum lebih cenderung dari wanita untuk melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari perilaku tersebut. Namun

(39)

pendapat lain Penrod (Koeswara, 1988) bahwa ada peningkatan perilaku agresi yang dilakukan wanita. Peningkatan perilaku agresi ini terjadi karena adanya gerakan wanita yang menuntut kebebasan dan persamaan hak serta banyaknya kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang menjadi penyebab atau pencetus perilaku agresif, yaitu frustrasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, suhu udara, pemaparan terhadap kekerasan di media, keterangsangan, pola perilaku, bias atribusional hostile, gender, belief budaya dan nilai-nilai serta pada wanita karena adanya gerakan yang menuntut kebebasan dan persamaan hak dan banyaknya kesempatan melakukan kegiatan di luar rumah. Dimana faktor-faktor tersebut menpunyai pengaruh yang berbeda terhadap munculnya perilaku agresif, namun faktor yang dianggap paling menonjol adalah frustrasi.

B. Konflik Peran Ganda Wanita Karier 1. Pengertian Konflik Peran Ganda Wanita Karier

Konflik secara umum merupakan suatu proses dimana individu atau kelompok mempersepsikan bahwa orang lain telah atau akan segera mengambil tindakan yang tidak sejalan dengan kepentingan pribadi individu tersebut (Baron, 2005). Selain itu Webster (Pruitt, 2004) mengartikan konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak berkonflik tidak dapat dicapai. Sedangkan peran diartikan seperangkat

(40)

patokan yang membatasi perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang, yang menduduki suatu posisi (Suhardono, 1994).

Kemudian Pareek (dalam Widyasari, 1997) yang menyatakan bahwa konflik peran terjadi karena adanya harapan-harapan yang saling bertentangan pada waktu yang sama. Selain itu Newcomb (1981) menyatakan konflik peran berasal dari kumpulan-kumpulan harapan yang bertentangan, hal ini dirasakan individu jika salah satu dari dua kumpulan harapan-harapan peran salaing bertentangan, dalam keadaan ini akan menimbulkan konflik karena menghadapi harapan-harapan yang tidak dapat disatukan sekaligus. Sementara Gibson (1990) menyatakan konflik peran terjadi apabila seseorang menghadapi suatu situasi dimana terdapat dua atau lebih persyaratan untuk melaksanakan peran yang satu dapat menghalangi pelaksanaan peran yang lain khususnya dalam hal ini adalah peran ganda.

Peran ganda adalah peran yang sekaligus harus dimainkan seseorang sebab orang tersebut menduduki banyak jabatan, seperti seorang wanita yang berperan sebagai karyawati suatu perusahaan dan sebagai ibu rumah tangga (Gibson, 1990). Pendapat lain Arinta & Azwar (1993) menyatakan peran ganda adalah suatu pandangan yang menekankan bahwa urusan dalam lingkup rumah tangga tidak boleh dilupakan oleh perempuan, meskipun aktif di luar rumah. Hal ini terjadi karena banyak peran berbeda yang diduduki dalam berbagai organisasi dan dalam tiap-tiap organisasi mencoba untuk menduduki dan menampilkan peran tertentu, jadi kebanyakan orang melakukan peran ganda. Selain itu Arinta & Azwar (1993) menjelaskan bahwa konflik peran ganda bersifat psikologis dengan gejala antara lain, rasa bersalah, gelisah, tergantung, dan frustrasi. Konflik peran ganda muncul

(41)

karena peran dengan orientasi berbeda sama-sama membutuhkan pengabdian yang baik.

Wanita karier adalah seseorang wanita yang melaksanakan suatu tugas pada waktu dan tempat tertentu menjadi pekerja atau karyawan (Vuuren, 2001). Selain itu Wolfman (1995) menyatakan wanita karier adalah wanita yang bekerja di luar rumah. Pendapat lain Anoraga (2006) menyatakan wanita karier adalah wanita yang memperoleh atau mengalami perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain. Sementara pengertian karier itu sendiri adalah sikap dan perilaku yang berhubungan dengan pengalaman dan kegiatan kerja sepanjang hidup orang tersebut (Gibson, 1990). Definisi ini sejalan dengan pengertian karier yang dikemukakan Flippo (1990) bahwa karier adalah rangkaian kegiatan kerja yang terpisah tetapi berkaitan, yang memberi kesinambungan, ketentraman dan arti dalam hidup seseorang.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda wanita adalah suatu konflik atau pertentangan batin yang dialami wanita yang sudah berkeluarga dan bekerja diluar rumah, dimana wanita kurang mampu mengkoordinasi secara efektif perannya, baik sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita karier, sehingga menghadapi kondisi dimana tiap-tiap peran yang memang mengandung persyaratan tertentu dan menghalangi pelaksanaan peran satu sama lain.

(42)

2. Aspek-aspek Konflik Peran Ganda Wanita Karier

Menurut Pareek (dalam Widyasari, 1997) yang aspek-aspek konflik peran ganda berdasarkan role stress scale adalah sebagai berikut:

a. Berkarier sepenuhnya, yang diwujudkan sebagai pandangan terhadap keberhasilan kerja.

b. Keinginan hanya sebagai ibu dan istri, diwujudkan sebagai perasaan bersalah mengabaikan tangguang jawab.

c. Tuntunan kedua peran, diwujudkan dengan kebinggungan dan keraguan dalam melaksanakan peran sebagai wanita karier dan sebagai ibu rumah tangga. d. Pembagian tugas rumah tangga, diwujudkan kurang adanya toleransi dari suami

dalam mengatur rumah tangga dan mendidik anak.

e. Mendampingi suami berkarier, diwujudkan dengan mendorong suami baik secara moril maupun dengan berbagi kegiatan ditempat suami bekerja namun terbentur dengan kurangnya waktu.

f. Memperhatikan kebutuhan anak, diwujudkan dengan rasa ragu dan cemas tidak mampu memenuhi segala tuntutan dari kenginan anak, baik yang menyangkut sekolah maupun rekreasi.

g. Perbedaan jenis kelamin, diwujudkan dengan pandangan bahwa wanita kurang mampu dalam menyelesaikan tugas kantor.

h. Rekan sekerja, diwujudkan dengan rekan sekerja merasa terganggu.

(43)

Pendapat lain Kopelman dan Burley (Arinta dan Azwar, 1993) dalam konflik peran ganda terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi yaitu:

a. Masalah pengasuhan anak, pada umumnya wanita peran ganda mencemaskan kesehatan jasmani dan emosi anak-anaknya. Ini berarti menuntut perhatian, tenaga dan pikiran mereka di rumah sewaktu berada di tempat kerja.

b. Bantuan pekerjaan rumah tangga, wanita berperan ganda membutuhkan bantuan dari berbagai pihak baik dari suami, anak maupun pembantu untuk turut serta dalam urusan pekerjaan rumah tangga.

c. Komunikasi dan interaksi dengan keluarga, komunikasi merupakan sarana untuk untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Dengan komunikasi dapat mengutarakan kebutuhan, keinginan bahkan keluhan pada seseorang.

d. Waktu untuk keluarga, wanita peran ganda sering merasa kekurangan waktu untuk suami, anak-anak bahkan untuk dirinya sendiri.

e. Penentu prioritas, prioritas disusun tergantung pada kepentingan individu yang bersangkutan agar tidak menimbulkan pertentangan antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain.

f. Tekanan karier dan keluarga, dalam bekerja akan terdapat banyak masalah yang menuntut para pekerja untuk menyelesaikannya. Begitu juga dirumah, akan terdapat banyak pekerjaan rumah yang menuntut untuk diselesaikan. Tuntutan tersebut dapat menjadi sebuah tekanan bagai seseorang yang kemudian akan menjadi konflik dalam diri wanita peran ganda.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan aspek-aspek konflik peran ganda adalah masalah pengasuhan anak, masalah pembagian tugas rumah tangga,

(44)

tuntutan kedua peran, berkarier sepenuhnya, keinginan hanya sebagai ibu rumah tangga, mendampingi suami berkarier, perbedaan jenis kelamin, hubungan dengan rekan sekerja, hambatan promosi, dan waktu untuk keluarga. Dimana wanita peran ganda seringkali mengalami kesulitan dalam penyesuaian dengan permasalahan-permasalahan tersebut. Aspek-aspek tersebut dipilih dan digabungkan dengan tujuan untuk saling melengkapi, pada aspek yang diungkapkan oleh Pareek (dalam Widyasari, 1997) tidak terdapat aspek waktu untuk keluarga padahal hal ini dianggap cukup penting dalam mengungkap konflik peran ganda yang dialami wanita karier, begitu juga sebaliknya aspek yang dikemukakan oleh Kopelman dan Burley (Arinta dan Azwar, 1993) tidak terdapat aspek mengenai hubungan dengan rekan sekerja, perbedaan jenis kelamin dan hambatan promosi.

C. Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Perilaku Agresif pada Wanita Karier

Pada dasarnya peran seorang wanita yang telah menikah sangat penting dalam perkembangan dan pembinaan anak dan keluarga. Dalam sebuah keluarga inti peran utama wanita adalah sebagai isteri, ibu rumah tangga, dan sebagai pengurus rumah tangga (Munandar, 1985). Ketiga peran tersebut memberi pengertian bahwa wanita diberikan diri yang sepenuhnya guna kesejahteraan keluarga. Namun, zaman yang terus berkembang menyebabkan peran wanita bergeser dari sektor domestik menjadi sektor publik. Ini berarti, wanita memiliki dua peran yang harus dijalankan secara bersamaan dalam kehidupannya.

(45)

Saat ini banyak wanita berkarier tetapi tetap mendapatkan porsi yang sama dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sehingga peran ganda bagi wanita yang telah berkeluarga sama dengan beban ganda. Wanita dengan peran ganda seringkali dihadapakan dengan situasi yang mengharuskan memilih dan mengorbankan salah satu kepentingan, karena tidak jarang tuntutan dari tugas kantor saling bertentangan dengan tugas rumah tangga.

Menjalankan dua peran sekaligus secara tidak langsung memberikan dampak baik bagi wanita itu sendiri maupun bagi lingkungan keluarga dan lingkungan kerja. Wanita berperan ganda dituntut untuk berhasil dalam dua peran yang bertentangan, dirumah wanita dituntut untuk berperan subordinat (memiliki kedudukan dibawah suami) dan menunjang kebutuhan keluarga dengan mengurus suami dan anak-anak. Sementara ditempat kerja mereka dituntut untuk mampu bersikap mandiri dan dominan (Munandar, 1985). Disebutkan juga untuk memuaskan tuntutan dari satu atau dua peran tertentu, individu membutuhkan sebagian besar waktu dan usahanya.

Memadukan kehidupan rumah tangga dan pekerjaan membutuhkan penyesuaian diri agar berhasil (Hurlock, 1992). Keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau dapat terpenuhinya segala sesuatu yang dibutuhkan, akan mendatangkan kepuasan. Demikian pula didunia kerja, apabila seorang wanita karier dapat mencapai dan mendapatkan apa yang diharapkan, maka individu akan merasa puas dan wanita akan merasa dirinya diperlakukan adil dalam lingkungan kerjanya. Adanya rasa keadilan dan tercapainya suatu harapan akan membawa pengaruh terhadap perilakunya kearah yang positif, baik yang menyangkut

(46)

hubungan dengan keluarga, hubungan sosial dengan rekan kerja serta lingkungan kerjanya.

Namun sebaliknya, konflik yang dialami wanita peran ganda akan lebih dirasakan sebagai suatu beban apabila pada saat wanita berkeluarga menerjunkan dirinya dalam dunia kerja, perusahaan kurang memberikan kesempatan bagi pengembangan kariernya. Jika demikian konflik bisa terjadi dan akan membawa dampak perilaku yang negatif terhadap tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Selain itu dengan bekerja wanita akan merasa bersalah jika menelantarkan urusan rumah tangga, yang oleh Rini (2002) dikatakan bahwa perasaan bersalah mempengaruhi tindakan atau perilaku individu tersebut.

Disatu sisi wanita peran ganda menginginkan dirinya untuk mendapatkan keberhasilan dalam pekerjaanya. Sebagai wanita karier harus melakukan pekerjaan dengan sepenuhnya atau sungguh-sungguh untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sedyono & Hasibuan (1998) menyatakan tantangan terbesar wanita karier dalam mencapai sebuah keberhasilan adalah masalah kekurangan waktu, dimana ada perbedaan besar antara waktu yang dimiliki dengan jumlah tugas yang harus dikerjakan. Dengan demikian wanita peran ganda mengalami kesulitan dalam mencapai keberhasilan dalam berkarier, hal ini berkaitan dengan permasalahan dalam rumah tangga tidak kalah penting dengan masalah pekerjaan di luar rumah yang harus ditangani oleh wanita peran ganda. Menurut Munandar (1985) pada dasarnya, perhatian wanita adalah terutama terhadap keluarganya dan cinta kasih, sedangkan profesi dan “komepetisi” bagi wanita baru pada tempat kedua. Sebagai ibu rumah tangga, wanita peran ganda mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi

(47)

tuntutan dari keinginan anak serta suami dan yang paling utama adalah tanggung jawab terhadap pembinaan dan perkembangan mental anak. Kemudian tuntutan kedua peran yang dijalankan wanita peran ganda akan memunculkan kebingungan atau keraguan dalam melaksanakan peran, baik sebagai ibu rumah tangga dan wanita karier, hal itu merupakan akibat dari keterbatasan kemampuan dan waktu yang dimiliki oleh wanita peran ganda Ray & Miller (Hardyastuti, 2001).

Selain itu masalah yang dihadapi wanita peran ganda bukan hanya tuntutan kedua peran yang dijalankan, akan tetapi masalah kurangnya toleransi serta bantuan yang diberikan oleh orang lain khususnya suami. Rini (2002) menyatakan jika suami kurang memberikan tolerasi karena merasa terancam, tersaingi, cemburu dengan status “bekerja” wanita peran ganda, maka kedua peran yang dijalankan menimbulkan beban ganda, bahkan menganggap suami tidak mengerti dengan keadaan wanita peran ganda. Kemudian adanya hambatan promosi menjadi permasalahan pada wanita peran ganda karena muncul pandangan bahwa wanita yang telah berkeluarga dianggap kurang mampu menjalankan pekerjaan dengan baik, karena selain tugas kantor, ada tugas lain yang harus dikerjakan (sebagai ibu rumah tangga) meskipun pada dasarnya mampu dan berprestasi. Hal semacam ini membuat wanita peran ganda merasa diperlakukan tidak adil dalam tempat kerjanya, sehingga dengan masalah-masalah yang muncul mengakibatkan konflik peran ganda pada wanita karier. Dimana konflik peran ganda secara umum dikatakan sebagai konflik antara dua peran yang bertentangan. Sementara (Atkinson, 1983) menyatakan konflik antara dua motif yang bertentangan dapat menjadi sumber utama frustrasi.

(48)

Frustrasi sendiri diartikan sebagai situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan (Koeswara, 1988). Selain itu Gerungan (2002) menjelaskan bahwa orang-orang yang mengalami frustrasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginannya yang diperjuangkan dengan intensif mengalami kegagalan, sebagai akibat dari frustrasi mungkin akan timbul perasan jengkel atau perilaku agresif. Sementara Berkowitz (1995) mengatakan bahwa frustasi dan agresi sangat berkaitan erat. Artinya, frustasi dapat mengarahkan individu kepada tindakan agresif karena frustasi bagi individu merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan ingin mengatasi atau menghindarinya dengan berbagai cara termasuk cara agresif. Biasanya individu akan memilih tindakan agresif sebagai rekasi atau cara untuk mengatasi frustasi.

Selain itu Koeswara (1988) yang menyatakan bahwa peningkatkan agresivitas pada wanita terjadi karena wanita semakin meninggalkan kegiatan-kegiatan tradisionalnya (hanya berperan sebagai ibu rumah tangga) di lingkungan keluarga, dan karena memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Sesuai dengan wanita peran ganda yang harus membagi waktunya untuk urusan atau masalah rumah tangga dan pekerjaan di luar rumah, bahkan peran yang dijalankan dirasa saling menghambat, maka wanita peran ganda mudah mengalami frustrasi dan berpotensi untuk melakukan agresi. Kemudian Atkinson (1983) menyatakan agresi sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain (secara fisik maupun verbal) atau merusak harta benda.

(49)

Pada individu yang mengalami frustrasi, mungkin untuk melakukan perilaku agresif untuk mengurangi atau meghilangkan frustrasi (Dayakisni, 2001). Hal ini sejalan dengan individu yang mengalami konflik antara dua peran yang dijalankan sehingga menimbulkan frustrasi dan memungkinkan untuk memunculkan perilaku agresif, seperti munculnya perasaan jengkel dan marah.

Dari uraian diatas, dapat disimpulakan bahwa konflik peran ganda pada wanita karier sangat berpengaruh pada pelaksanaan tugas, memungkinkan timbulnya frustrasi jika banyak hambatan atau rintangan dalam menjalankan kedua peran, baik sebagai ibu rumah tangga maupun wanita karier. Untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan frustrasi, maka wanita peran ganda dapat memunculkan perilaku agresif atau mencoba berusaha untuk mencari sasaran terhadap pihak atau sumber yang dirasa sebagai penghambat dalam pencapaian tujuannya.

D. Hipotesis Penelitian

Dari uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara konflik peran ganda dengan perilaku agresif pada wanita karier. Semakin tinggi konflik peran ganda, maka semakin tinggi pula perilaku agresif dan sebaliknya.

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian

Sesuai dengan hipotesa yang diajukan, maka variabel pada penelitian ini adalah :

1. Variabel Bebas : Konflik Peran Ganda 2. Variabel Tergantung : Perilaku Agresif

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Konflik peran ganda pada wanita karier adalah suatu konflik atau pertentangan batin yang dialami wanita yang sudah berkeluarga dan bekerja diluar rumah, dimana wanita kurang mampu mengkoordinasi secara efektif perannya, baik sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita karier, sehingga menghadapi kondisi dimana tiap-tiap peran yang memang mengandung persyaratan tertentu dan menghalangi pelaksanaan peran satu sama lain. Tinggi rendahnya konflik peran ganda diukur dengan menggunakan skala yang dibuat peneliti berdasarkan teori Pareek (dalam Widyasari, 1997) dan Kopelman & Burley (Arinta dan Azwar, 1993). Aspek-aspek yang akan diukur dalam penelitian ini adalah masalah pengasuhan anak, masalah pembagian tugas rumah tangga, tuntutan kedua peran, berkarier sepenuhnya, keinginan hanya sebagai ibu rumah tangga, mendampingi suami berkarier, hubungan dengan rekan sekerja, hambatan promosi, perbedaan jenis kelamin, dan waktu untuk keluarga. Konflik peran ganda pada wanita karier diketahui

(51)

dengan skor yang diperoleh subjek setelah mengisi skala konflik peran ganda wanita karier. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi juga konflik peran ganda wanita karier.

Perilaku agresif adalah tingkah laku yang merupakan kekerasan fisik maupun verbal yang ditujukan kepada orang lain atau objek-objek (benda) yang bersifat mencelakakan, merugikan atau merusak yang mengandung unsur kesengajaan serta adanya usaha menghindar yang dilakukan oleh pihak yang dilukai atau dirugikan. Tinggi rendahnya perilaku agresif diukur dengan menggunakan skala perilaku agresif yang dibuat peneliti berdasarkan teori Berkowitz (dalam Sari, 2005). Aspek yang akan diukur dalam penelitian ini adalah fisik, agresi verbal dan agresi pasif. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi juga perilaku agresif.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan ciri-ciri tertentu yang erat dengan karakteristik penelitian. Adapun karakteristik subjek penelitian ini adalah karyawati yang sudah menikah, minimal mempunyai satu anak, berusia 25 tahun - 45 tahun (yang merupakan usia produktif) dan masa kerja minimal 2 (dua) tahun.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala konflik peran ganda dan skala perilaku agresif, dimana subjek diminta untuk mengisi skala tersebut. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode purposive sampling. Aitem-aitem skala dibuat bervariasi antara pernyataan yang

(52)

bersifat favorable dan unfavorable untuk menghindari stereotipe jawaban. Pernyataan favorable adalah pertanyaan yang memihak objek penelitian, sedangkan unfavorable adalah pernyataan yang tidak mendukung atau tidak memihak pada objek penelitian. Skala pada penelitian ini menggunakan metode likert yang memberikan empat alternatif jawaban, yaitu sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), setuju (S), dan sangat setuju (SS). Alternatif jawaban yang terdiri dari empat dilakukan agar tidak terjadi kekaburan perbedaan antara jenjang alternaif yang ada serta meghindari ketidakpekaan subjek apabila terlalu banyak alternatif jawaban. Kemudian jawaban netral (N) atau “tidak menentukan pendapat” sengaja ditiadakan, hal ini bertujuan untuk menghindari jawaban yang ragu-ragu oleh subjek serta kecenderungan subjek untuk memilih alternatif jawaban hanya pada satu pilihan tersebut (Azwar, 2004). Skala pengukuran yang akan digunakan adalah:

1. Skala Konflik Peran Ganda

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Variabel konflik peran ganda diukur berdasarkan jumlah skor yang diperoleh individu atas respon yang diberikan terhadap skala tersebut. Jumlah aitem pada skala konflik peran ganda adalah 43 aitem yang terdiri dari 32 aitem favorable dan 11 aitem unfavorable. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka konflik peran ganda pun semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Aspek-aspek konflik peran ganda berdasarkan teori Pareek (dalam Widyasari, 1997) dan Kopelman & Burley (Arinta dan Azwar, 1993) yang akan diukur adalah sebagai berikut:

a. Masalah pengasuhan anak,

Referensi

Dokumen terkait

Pempek lajang merupakan inovasi pempek berbahan dasar ikan lele dan isi buah jamblang dengan nilai tambah dari keunikan produk, gizi, dan manfaat kesehatan.. Sasaran pasar untuk

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa pemilihan warna pada suatu produk tidak dapat detentukan serta merta hanya dengan keinginan desainernya saja, tetapi juga

[r]

Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dari penyesuai parameter pada tahap kalibrasi dengan nilai GW_Delay selama 178 hari 4 jam 48 menit yang menunjukkan bahwa untuk

Dengan melihat kelebihan strategi pembelajaran diatas maka mendorong penulis mengangkat masalah tersebut menjadi skripsi dengan judul : penerapan strategi

Demikian disampaikan, kepada peserta pelelangan umum diberi kesempatan menyanggah secara elektronik melalui aplikasi SPSE kepada Panitia dalam waktu 5 (lima) hari

Untuk mengevaluasi kinerja fasilitas kerb kedatangan sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh IATA, maka diperlukan data penumpang yang tiba di area kerb keberangkatan

Berdasarkan analisa multiple regression diketahui bahwa idealized influence, intellectual stimulation, dan laissez-faire berpengaruh signifikian pada cognitive dan relational