DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh: Vivi Khairatna 11150130000036
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
Vivi Khairatna, 11150130000036. Motif Dongeng dalam Tiga Cerpen Indonesia dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan motif dongeng yang terdapat dalam tiga cerpen yaitu “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan “Dongeng Hitam” karya Yetti A.ka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif. Subjek penelitian ini, yaitu motif dongeng dalam tiga cerpen Indonesia dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah dan sebagai objek adalah cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan “Dongeng Hitam” karya Yetti A.ka. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat motif dongeng yang muncul sebagai salah satu strategi naratif, yaitu sebagai ciri sosial tokoh yang tampil melalui kebiasaanya berupa mendongeng. Kebiasaan tersebut menimbulkan permasalahan yang mempengaruhi munculnya konflik. Dengan demikian, maka penggunaan motif dongeng dipilih oleh pengarang sebagai strategi penting dan pembangun plot cerita. Penelitian ini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas XI dengan kompetensi dasar yaitu menentukan unsur intrinsik, ekstrinsik, dan nilai-nilai dalam cerpen serta menerapkan nilai-nilai dalam cerpen ke dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: Motif Dongeng, Kajian Todorov, Skema Aktan, Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, Yetti A.ka
ii
Vivi Khairatna, 11150130000036. Motifs Tales of Three Indonesian Short Stories and Their Implications for Literature Learning in Schools. Departement of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum.
This study aims to describe the motifs of fairy tales contained in three short stories, namely "Dongeng Sebelum Tidur" by Seno Gumira Ajidarma, "Dongeng Sebelum Bercinta" by Eka Kurniawan, and "Dongeng Hitam" by Yetti A.ka. The method used in this study is a qualitative description. The subject of this research, namely the motif of fairy tales in three Indonesian short stories and their implications for literary learning in schools and as objects is the short story "Dongeng Sebelum Tidur" by Seno Gumira Ajidarma, "Dongeng Sebelum Bercinta" by Eka Kurniawan, and "Dongeng Hitam" by Yetti A .ka The results of the study indicate that there is a fairytale motive that appears as one of the narrative strategies, namely as a social characteristic of a character who appears through his habit of storytelling. These habits cause problems that affect the emergence of conflict. Thus, the use of fairytale motifs was chosen by the author as an important strategy and story plot builder. This research can be implicated in the learning of Indonesian language and literature in class XI with basic competencies that determine the intrinsic, extrinsic, and values in the short stories and apply the values in the short stories into everyday life.
Keywords: Motifs of Tales, Todorov Study, Actant Scheme, Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, Yetti A.ka
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya sehingga Skripsi yang berjudul “ Motif Dongeng dalam Tiga Cerpen Indonesia dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Salawat dan salam senantiasa dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan skripsi ini, penulis menyadari membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Maka dari itu, penulis sampaikan ucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Sururin, M. Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan dan motivasi;
5. Seluruh Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan;
iv
menjadi orang tua yang hebat dan selalu menjadi guru terbaik di rumah. Kalian adalah emas permata yang sangat bangga aku miliki. 7. Saudaraku, Yuliatun Rahmi, Indah Maikury, Ahmad Dedat, dan
Tengku Fajri. Terima kasih telah menjadi Kakak, dan adik-adik yang selalu menciptakan hal unik dan membahagiakan.
8. Sahabat- sahabatku, Maria Christhina, Nur Rochmah Rahayu, Maudy Ayu dan lainnya. Terima kasih atas semangat dan cinta yang kalian berikan untukku.
9. Sahabat CIS, Fatmah, Eneng, Tamia, Yani, Ara, Riska, Nurel, Nabila Zakia dan Fauziah. Terima kasih karena selalu memberikan kebahagiaan, semangat dan bantuan.
10. Seluruh mahasiswa PBSI angkatan 2015 khususnya kelas A. Terima kasih telah membantuku untuk menjadi manusia yang lebih baik. 11. Keluarga Besar HMJ 2017. Terima kasih telah mengizinkanku untuk
menambah pengalaman dalam berorganisasi.
12. Teman satu bimbinganku, Dina. Terima kasih atas motivasi dan semangatnya. Aku percaya bahwa tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Mungkin inilah salah satu cara sang pencipta mendekatkan kita. Semua berawal dari skripsi.
13. Teman- Teman KKN 194. Terima kasih atas pengalaman dan semangatnya.
14. Terima kasih untuk tokoh dalam dongeng sekaligus teman diskusiku yang selalu memberikan semangat, ilmu dan apapun yang aku pinta. Terima kasih karena selalu ada ketika hatiku memanggilmu. Terima kasih Afriawan Nasrizal. Aku merindukanmu.
v LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...i
ABSTRACT ...ii
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ...v
DAFTAR BAGAN ...vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Identifikasi Masalah ...3 C. Batasan Masalah...4 D. RumusanMasalah ...4 E. Tujuan Penelitian ...4 F. Manfaat Penelitian ...5 G. Metode Penelitian...5
BAB II LANDASAN TEORETIS A. Cerita Pendek ...8
B. Unsur IntrinsikCerpen ...8
C. Dongeng ...16
D. Motif ...16
E. Teori Narasi TzvetanTodorov ...17
F. Teori Model Aktan ...18
G. Hakikat Pembelajaran Sastra di Sekolah...19
vi
B. Seno Gumira Ajidarma ...25
C. Yetti A.ka ...27
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Analisis Unsur Intrinsik ...30
B. Analisis Motif Dongeng dalam Tiga Cerpen ...63
C. Motif Dongeng dalam Tiga Cerpen ...68
D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA...71
BAB V PENUTUP A. Simpulan ...74
B. Saran ...75
DAFTAR PUSTAKA ...76 LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI PROFIL PENULIS
vii
Bagan 4. 1 Skema Aktan Cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” ………64 Bagan 4.2 Skema Aktan Cerpen “DongengSebelumBercinta”..………64 Bagan 4.3 Skema Aktan Cerpen “Dongeng Hitam” ..……….………..65
1 A. Latar Belakang Masalah
Cerpen merupakan salah satu karya sastra yang mengisahkan tentang suatu peristiwa yang memiliki tokoh dan konflik yang tidak sekompleks novel. Cerpen disajikan dengan singkat, namun tidak mengurangi maksud atau pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. Bahkan dengan singkatnya cerita, pembaca dapat lebih cepat memahami pesan yang sedang disampaikan oleh pengarang melalui suatu peristiwa dalam sebuah cerpen.
Pengarang cerpen memiliki ciri khas dan gaya kepenulisannya yang berbeda satu sama lain. Namun, perbedaan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat keterkaitan antara pengarang satu dengan lainnnya. Hal ini karena setiap karya sastra yang lahir pasti memiliki keterkaitan atau hubungan dengan karya sastra yang lainnya. Teuw berpendapat bahwa setiap teks sastera dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lainnya; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaanya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain.1 Keterkaitan ini bisa jadi karena pada zaman dilahirkannya karya sastra tersebut, khususnya dalam hal ini adalah cerpen, terdapat suatu peristiwa atau keadaan yang hangat untuk diperbincangkan. Sehingga, hasil pemikiran seorang pengarang yang satu dengan lainnya bisa jadi memiliki keterkaitan.
Dongeng dan cerpen merupakan dua hal yang berbeda. Walaupun keduanya merupakan karya sastra yang bersifat fiksi, namun tetap saja, dongeng lebih bersifat fiksi dibandingkan cerpen. Ada beberapa pengarang yang menyatukan kedua karya sastra tersebut, sebut saja Seno Gumira
1
Ajidarma, Eka Kurniawan, dan Yetti A.Ka. Ketiga pengarang tersebut menyebut dongeng dalam judul dan isi cerita yang mereka tulis.
Sebelum ketiga pengarang tersebut menyebut kata dongeng dalam karyanya, Pramoedya Ananta Toer telah menggunakan dongeng dalam karyanya yang berjudul Calon Arang. Jenis dongeng yang terdapat dalam karya Pram adalah legenda yang dikhususkan membahas tentang legenda Calon Arang.
Dongeng dalam beberapa karya seperti cerpen dan novel memunculkan suatu dugaan bahwa ada maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh beberapa pengarang tersebut melalui karyanya. Dongeng bukan lagi sebatas karya namun juga sebagai media dan alat dalam menyampaikan maksud dari para pengarang.Motif dongeng tersebut kemudian membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. Adapun penelitian ini akan berfokus pada tiga cerpen yaitu cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan. dan “ Dongeng Hitam” karya Yetti A.ka.
Penelitian ini akan diteliti menggunakan teori narasi Tvezetan Todorov di mana cerpen akan analisis berdasarkan dua aspek yaitu sintaksis dan semantik . Sejauh ini, penelitian yang menggunakan teori narasi Todorov sudah banyak digunakan, namun yang mengkaji objek yang diteliti oleh peneliti belum ada.
Karya sastra merupakan fenomena yang memuat dunia pengalaman, pemahaman, aspek sosial budaya, maupun citra kehidupan secara imajinatif. Dalam hal demikian, mengapresiasi sastra idealnya dapat membentuk suatu hubungan dialogis antara dunia pengalaman, pemahaman, aspek sosial budaya, maupun citra kehidupan secara imajinatif dengan dunia pengalaman, pemahaman, latar belakang sosial budaya, maupun lingkungan kehidupan yang secara konkret berkaitan dengan kehidupan siswa.2 Berdasarkan hal tersebut, maka pembelajaran
sastra di sekolah sangat bermanfaat bagi siswa karena dapat memberikan gambaran sebuah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan yang nantinya dapat menjadi arahan dalam menjalankan sebuah kehidupan yang baik dan terarah.
Pembelajaran sastra dalam hal ini adalah pembelajaran cerpen dan dongeng di sekolah menuntut para siswa untuk mampu membaca, memahami dan menganalisis unsur-unsur pembangun karya sastra tersebut. Kemampuan membaca yang rendah ditambah dengan metode pembelajaran yang tidak menarik, membuat para siswa akan sulit memahami dan menganalisis unsur-unsur pembangun karya sastra. Maka dari itu, diperlukan media dan metode yang tepat agar pembelajaran sastra dapat terlaksana dengan baik.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Motif Dongeng dalam Tiga Cerpen Indonesia dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
1. Belum ada yang membahas tentang motif dongeng dalam cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan “Dongeng Hitam” karya Yetti A.ka dan menganalisisnya melalui teori narator Todorov.
2. Rendahnya pemahaman mengenai motif dongeng dalam cerpen. 3. Kurangnya pemahaman mengenai cerpen dan unsur pembangunnya. 4. Pemilihan metode dan media yang kurang tepat dalam pembelajaran
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disampaikankan diatas, maka penelitian ini akan dibatasi pada “Motif Dongeng dalamTiga Cerpen Indonesia dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanamotif dongeng dalamcerpen“Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan cerpen “Dongeng Hitam” karya Yetti A. Ka?
2. Bagaimana implikasi motif dongeng dalam cerpen“Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan cerpen “Dongeng Hitam” karya Yetti A. Ka terhadap pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Peneltitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan motif dongeng dalam cerpen“Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan cerpen “Dongeng Hitam” karya Yetti A. Ka
2. Mendeskripsikan impilikasi cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan cerpen “Dongeng Hitam” karya Yetti A. Ka cerpen di Indonesia pada pembelajaran sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian yang dilakukan bermanfaat menambah pengetahuan khususnya mengenai motif dongeng dalam tiga cerpen. Adapun secara praktis, penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat untuk beberapa kalangan yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran untuk para guru mengenai dongeng dan cerpen yang nantinya dapat disampaikan pada siswa. Sehingga memudahkan siswa dalam memahami dongeng, cerpen dan unsur pembangunnya.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menjawab masalah yang telah dirumuskan oleh peneliti dan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk terus memberikan sumbangsih terhadap dunia sastra dan pendidikan.
3. Bagi Pembaca
Penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran pada pembaca dan dapat dijadikan bahan apabila akan dilakukan penelitian lanjutan.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Adapun penelitian kualitatif merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multimetode, bersifat alami dan holistic; mengutamakan kualitas,
menggunakan beberapa cara, serta disajika secara naratif.3 Metode ini digunakan dalam penelitian dikarenakan penelitian ini berusaha memperoleh informasi dari suatu fenomena yang terjadi dalam cerpen. Fenomena itu adalah berupa bentuk representasi dongeng dalam tiga cerpen di Indonesiadengan bentuk penyajiannya adalah berupa deskripsi.
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua sumber yaitu berupa data primer dan sekunder. Adapun sumber data primer adalah berupa cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak
Pernah Mati diterbitkan oleh Galang Press pada tahun 2001,
cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen Corat- Corat di Toiletditerbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014, dan cerpen “Dongeng Hitam” karya Yetti A. Ka dalam Jawa Pos via
daringpada tahun 2014. Sementara itu, sumber sekunder yang
digunakan adalah buku-buku dan artikel pendukung yang berkaitan dengan penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti menggunkan teknik baca, simak dan pustaka. Teknik baca dilakukan dengan membaca ketiga cerpen. Setelah itu, peneliti menyimak isi cerpen dan mencatatnya untuk mencari fungsi dongeng dan realita dalam cerpen tersebut. Selain itu, peneliti
3Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
juga menggunakan teknik pustaka untuk mencari data-data terkait penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis unsur- unsur intrinsik cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan cerpen “Dongeng Hitam” karya Yetti A. Ka.
b. Menganalisis cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan, dan cerpen “Dongeng Hitam” karya Yetti A. Ka dengan menggunakan teori narator Todorov untuk menemukan motif dongeng melalui tiga aspek yaitu sintaksis, semantik dan verbal.
c. Melakukan pembahasan terhadap motif dongeng dalam cerpen.
d. Mengimplikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
8
KAJIAN TEORI
A. Cerita Pendek
Cerita pendek adalah salah satu cerita rekaan atau fiksi yang sudah tua usianya. Sumardjo berpendapat bahwa cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Kependekkan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan dalam sehingga sekali membacanya, kita tidak akan mudah lupa.1Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek, ketimbang menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan watak pada diri tokoh.2 Dengan demikian, cerpen merupakan cerita yang memiliki permasalahan atau konflik yang singkat, sehingga pembaca mampu dengan mudah menarik kesimpulan atau amanat dari cerita tersebut.
B. Unsur Instrinsik Cerpen
Cerpen memiliki unsur-unsur yang berfungsi sebagai pembangun dalam menyampaikan sebuah cerita. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.3 Adapun unsur-unsur intrinsik cerpen adalah sebagai berikut
1Antilan Purba, Sastra Indonesia Kotemporer. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 51. 2 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), h.33.
3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Muda University Press, 2013), h. 30.
a. Tema
Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.4 Sementara itu, Brooks, Purser, dan Warren mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.5 Berdasarkan hal tersebut, tema merupakan ide yang menjadi pembangun sebuah cerita.
b. Tokoh dan Penokohan
Baldic menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menfsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.6 Sementara itu, Suharianto mengemukakan bahwa penokohan yaitu pelukisan mengenai cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa pandangan hidup, sikap, keyakinan, dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, penokohan dapat dikatakan pelukisan atau gambaran mengenai tokoh cerita baik secara lahir maupun batin yang disebut oleh pengarang.7 Berdasarkan hal tersebut maka tokoh merupakan pelaku yang terlibat dalam cerita sedangkan penokohan merupakan cara pengarang dalam menghadirkan pelaku.
4Ibid., h.115-116.
5 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2015),
h.125.
6Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 247.
7 Herman Wijaya & Muh. Jaelani, Konsep Dasar Sastra : Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Dalam menyajikan dan menentukan karakter (watak) para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam karyanya. Pertama, metode langsung (telling) dan kedua, metode tidak langsung (showing). 8 Selain itu, ada beberapa metode penyajian watak tokoh lainnya, yaitu
a. Metode analitis/ langsung/diskursif, yaitu penyajian tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b. Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
c. Metode kontekstual, yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.9
Dalam tokoh fiksi, terdapat beberapa jenis penamaan tokoh diantaranya adalah dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita tersebut yaitu ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh – tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama
cerita (central character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan
atautokoh peripheral (peripheral character).10
c. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
8
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.6.
9 Wijaya, Op.Cit.,h.52-53. 10
berlangsung.11 Sementara itu, menurut Abrams latar atau setting merupakan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan. Stanton mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi.12 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.13 Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa latar merupakan unsur yang menggambarkan tentang tempat, waktu dan suasana. Penggambaran ini dilakukan agar pembaca lebih mudah membangun imajinasi ketika membaca sebuah cerita.
d. Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.14 Alur atau plot menurut Kenny sebagaimana dikutip Burhan Nurgiyantoro mengemukakan bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.15 Berdasarkan hal tersebut maka alur atau plot merupakan urutan peristiwa dalam cerita yang disusun berdasarkan pola sebab akibat. Secara umum, alur terbagi ke dalam bagian-bagian berikut.
11 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 35. 12Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 302.
13Ibid., h. 303.
14Stanton, Op. Cit., h. 26. 15
a. Pengenalan situasi cerita (exposition)
Dalam bagian ini, pengarang memeperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh.
b. Pengungkapan peristiwa (complication)
Dalam bagian ini, disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
c. Menuju pada adanya konflik (rising action)
Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
d. Puncak konflik (turning point)
Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan nasib beberapa tokohnya. Misalnya, apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.
e. Penyelesaian (ending)
Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu.16
Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana suatu insiden mempunyai hubungan dengan insiden lain, bagaimana tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan-tindakan itu, dan bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam
16
suatu kesatuan waktu.17Secara umum, alur terbagi menjadi tiga macam yaitu sebagai berikut.
1. Alur Maju
Alur maju sering juga disebut progresif yaitu sebuah alur yang klimaksnya berada di akhir cerita. Rangkaian peristiwa dalam alur maju berawal dari masa awal hingga masa akhir cerita dengan urutan waktu yang teratur dan runtut.
2. Alur Mundur
Alur mundur atau bisa disebut regresi adalah sebuah alur yang menceritakan masa lampau yang menjadi klimaks di awal cerita. Rangkaian peristiwa dalam alur mundur berawal dari masa lampau ke masa kini dengan susunan waktu yang tidak sesuai dan tidak runtut.
3. Alur Campuran
Alur campuran atau bisa disebut alur maju-mundur adalah alur yang diawali dengan klimaks kemudian menceritakan masa lampau, dan dilanjutkan hingga tahap penyelesaian.18
e. Sudut Pandang
Point of view atau sudut pandang adalah hubungan yang terdapat
antara sang pengarang dengan alam fiktif ceritanya, ataupun antara sang pengarang dengan pikiran dan perasaan para pembacanya.19 Sudut pandang hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan atau cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam cerita
17
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1982), h.148.
18
Ainun Masruroh, Rambu-rambu Menulis Cerpen, (Yogyakarta: Pusat Kajian Bahasa, 2017), h. 14-15.
19
fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita yang sengaja dikreasikan.20 Dengan demikian, sudut pandang adalah posisi di mana pengarang berada dalam suatu cerita. Sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua pola utama, yaitu pola orang pertama dan pola orang ketiga.
a. Pola Orang Pertama
Dalam hal ini, penulis Nampak terlibat dalam bercerita yang dikarangnya. Kedudukan pengarang dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu a) pengarang sbegai tokoh utama, b) pengarang sebagai pengamat tidak langsung, c) pengarang sebagai pengamat langsung.
b. Pola Orang Ketiga
Pola orang ketiga secara eksplisit memakai kata ganti dia, ia, atau nama orang. Pengarang tidak terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam cerita. Pengarang berada jauh di luar jalinan kisah, tidak ikut di dalam segala pola tingkah para tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Dalam pola ini, pengarang dapat diibaratkan sebagai dalang, orang yang bercerita tetapi tanpa harus trelibat dengan peristiwa yang dialami tokoh-tokoh yang diceritakannya. Pola ini dibedakan menjadi dua tipe, yaitu 1) sudut pandang serba tahu, dan 2) sudut pandang terarah.21
f. Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian
20Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 338. 21
menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahilian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk mempergunakan kata-kata secara indah.22
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya.23
Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain metaphor, simile, antithesis, hiperbola dan paradox. Pada umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk mejleaskan orang atau objek.24 Dengan demikian, maka gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa dalam cerpen yang dapat mempengaruhi ciri khas dari pengarang.
g. Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan.25 Berdasarkan hal tersebut, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
22 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006),
h.112.
23
Stanton, Op. Cit., h.61.
24 Minderop, Op. Cit., h.51. 25
pembaca. Pesan ini dapat disampaikan baik secara tersirat maupun tersurat.
C. Dongeng
Dongeng merupakan suatu cerita yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata. Cerita ini kemudian menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya.26 Selain itu, menurut Danandjaja dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran.27 Sementara itu, kemunculan dongeng yang sebagai bagian dari cerita rakyat, selain berfungsi untuk memberikan hiburan, juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat pada waktu itu. Dongeng dan berbagai cerita rakyat yang lain dipandang sebagai sarana ampuh untuk mewariskan nilai-nilai, dan untuk masyarakat lama itu dapat dipandang sebagai satu-satunya cara.28 Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud dongeng adalah cerita rakyat yang bersifat fiksi dan berfungsi sebagai hiburan dan media dalam menyampaikan pesan moral.
D. Motif
Kaum formalis Rusia dan para peneliti bentuk dari Jerman seperti Dibelius, memperkenalakan istilah “motif” (Prancis: motif; Jerman: motiv) untuk mengacu pada unsur-unsur utama alur. Istilah motif sebagaimana dipakai oleh sejarawan sastra, dipinjam dari istilah ahli-ahli folkor Finlandia yang menganalisis bagian-bagian dari dongeng dan cerita
26Prakoso Bhairawa Putera, Mengenal dan Memahami Ragam Karya Prosa Lama
Hikayat, Dongeng, Tambo, dan Cerita Berbingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), h.37.
27
James Danandjaja, Folklor Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grafitipres, 1966), h. 83.
28 Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak, (Yogyakarta:
rakyat.29 Secara umum, motif berarti sebuah unsur yang penuh arti dan yang diulang-ulang dalam satu atau sejumlah karya. Di dalam satu karya, motif merupakan unsur yang paling kecil dari suatu cerita.30
Boris Tomashevskymenyebut motif sebagai satuan alur terkecil. Ia membedakan motif terikat dengan motif bebas. Motif terikat adalah motif yang sunguh-sunguh diperlukan oleh cerita, sedangkan motif bebas merupakan aspek yang tidak esensial ditinjau dari sudut pandang cerita. Meskipun demikian, motif bebas justru secara potensial merupakan focus seni karena memberikan peluang kepada pengarang untuk menyisipkan unsur-unsur artistik ke dalam keseluruhan alurnya.31
E.
Teori Narasi Tvzetan Todorov
Narasi berasal dari kata latinnarre, yang artinya “membuat tahu”. Dengan demikian, narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu atau peristiwa.32Seorang ahli sastra dan budaya asal Bulgaria, Tzvetan Todorofmengajukan gagasan mengenai struktur dari suatu narasi. Gagasan Todorof menarik karena ia melihat teks mempunyai susunan atau struktur tertentu. Pembuat teks disadari atau tidak menyusun teks ke dalam tahapan atau struktur tersebut, sebaliknya khalayak juga akan membaca narasi berdasarkan struktur tersebut. Bagi Todorov, narasi adalah yang dikatakan, karenanya mempunyai urutan kronologis, motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa.33
Dalam analisis, mesti mempertimbangkan tiga aspek, yaitu: a) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis, b) aspek semantic, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema,
29
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Utama, 2014), h.262-263.
30 Emzir, dkk, Tentang Sastra (Orkestrasi Teori dan Pembelajarannya,( Yogyakarta:
Penerbit Garudhawaca, 2018), h. 95-96.
31Ibid., 96. 32
Eriyanto, Analisis Naratif, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2013), h. 1
33
tokoh, dan latar, dan c) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.34
F. Teori Model Aktan
Greimas menganalogikan narasi sebagai suatu struktur makna (semantic structure). Mirip sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata-kata, setiap kata dalam kalimat menempati posisi dan fungsinya masing-masing (sebagai subjek, objek, predikat dan seterusnya). Kata yang satu juga mempunyai relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheren dan emmpunyai makna. Narasi menurut Greimas juga harus dilihat seperti sebuah semantik dalam kalimat. Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya masing-masing.35
Sebuah narasi dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut Greimas sebagai aktan (actant)- di mana aktan berfungsi mengarahkan jalan cerita. Karena itu, analisis Greimas ini kerap juga disebut sebagai model aktan. Keenam peran tersebut bisa digambarkan sebagai berikut.
Pertama, subjek. Subjek menduduki peran utama dalam sebuah cerita,
tokoh utama yang mengarahkan jalannya cerita. Posisi subjek ini bisa diidentifikasi dengan melihat porsi terbesar dari cerita. Kedua, objek. Objek merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Objek bisa berupa orang, tetapi bisa juga sebuah keadaan atau kondisi yang dicita-citakan. Ketiga, pengirim (destinatir). Pengirim merupakan penentu arah, memberikan aturan dan nilai dalam narasi. Pengirim umumnya tidak bertindak secara langsung, ia hanya memberikan perintah atau aturan-aturan kepada tokoh dalam narasi. Keempat, penerima (receiver). Karakter ini berfungsi sebagai pembawa nilai dari pengirim (destinator). Fungsi ini mengacu kepada objek tempat di mana pengirim menempatan nilai atau aturan dalam cerita. Kelima, pendukung (adjuvant). Karakter ini berfungsi
34
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 137.
35
sebagai pendukung subjek dalam usahanya mencapai objek. Keenam, penghalang (traitor). Karakter ini berfungsi sebaliknya dengan pendukung, di mana karakter ini menghambat subjek dalam mencapai tujuan.36
G. Hakikat Pembelajaran Sastra
Sastra sebagai sesuatu yang dipelajari atau sebagai pengalaman kemanusiaan dapat berfungsi sebagai bahan renungan dan refleksi kehidupan karena sastra bersifat koekstensif dengan kehidupan, artinya sastra berdiri sejajar dengan hidup.37 Hal ini berarti, sastra merupakan cerminan dari sebuah kehidupan. Maka dengan membaca karya sastra sama halnya sedang membaca seluk beluk tentang kehidupan.
Dalam pengajaran sastra dapat dikatakan sebagai wahana untuk belajar menemukan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra yang dibelajarkan, dalam suasana yang kondusif di bawah bimbingan guru atau dosen. Dalam pengajaran sastra dimungkinkan tumbuhnya sikap apresiasi terhadap hal-hal yang indah, yang lembut, yang manusiawi, untuk diinternalisasikan menjadi bagian dari karakter anak didik yang akan dibentuk.38 Oleh karena itu, pengajaran sastra sangat bermanfaat karena dapat menumbuhkan aspek afektif siswa.
Sebagai seni kreatif, karya sastra menggunakan manusia dengan segala macam segi kehidupannya. Oleh karena itu, karya sastra bukan hanya sekedar media untuk menyampaikan ide, teori, atau system berpikir, melainkan merupakan media untuk menampung ide, teori atau sistem berpikir manusia. Sebagai karya kreatif, karya sastra mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan estetika manusia. Oleh sebab itu, seni sastra yang memvisualisasikan pengalaman
36
Ibid.,h. 96.
37
Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h.3.
hidup manusia serta menyangkut sosial budaya, kesenian, dan sistem berpikir selalu menarik minat pembaca untuk memahaminya.39
Selain itu, Effendi dalam Subyantoro berpendapat bahwa pembelajaran apresiasi sastra memiliki tiga tujuan penting, yaitu: (1) siswa hendaknya memperoleh kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan sekitarnya hingga mereka bersikap terbuka, rendah hati, peka perasaan dan pikiran kritisnya terhadap tingkah laku pribadi, orang lain, serta masalah-masalah kehidupan sekitarnya, (2) siswa hendaknya memperoleh kesenangan dari membaca dan mempelajari karya sastra hingga tumbuh keinginan membaca dan mempelajari karya sastra pada waktu senggangnya, dan (3) siswa hendaknya memperoleh pengetahuan dan pengertian dasar tentang karya sastra hingga tumbuh keinginan memadukannya dengan pengalaman pribadinya yang diperoleh di sekolah kini dan mendatang.40
H. Penelitian Relevan
Penelitian terkait cerpen Dongeng Sebelum Tidur karya Seno Gumira Ajidarma yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ferdinandus Moses Tempo, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma tahun 2005 yang berjudul Kekerasan Struktural dan Personal Tujuh Cerpen dalam Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati Karya Seno Gumira Ajidarma. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari tujuh cerpen yang diteliti terdapat dua cerpen yang di dominasi oleh kekerasan struktural, yaitu “Dongeng Sebelum Tidur” dan “Anak-anak Langit”, kemudian ada cerpen yang di dominasi oleh kekerasan personal, yaitu cerpen “Taksi Blues” jenis kekerasan personalnya adalah kekerasan fisiologis, dan “Jakarta Suatu Ketika” jenis kekerasan personalnya adalah kekerasan dengan bentuk organisasi, mulai dengan individu lalu dalam bentuk
39
Warsiman, Sastra dan Pembelajarannya, (Surabaya: Unesa University Press, 2015), h.13.
40
gerombolan massa, kemudian kekerasan anatomis dan kekerasan fisiologis. Kemudian ada tiga cerpen yang di dominasi sekaligus oleh kekerasan struktural dan personal, yaitu cerpen “Clara”, “Partai Pengemis”, dan “Eksodus”, jenis kekerasan personal dari tiga cerpen tersebut adalah kekerasan anatomis dan fisiologis pada cerpen “Clara”, kekerasan anatomis pada cerpen “Partai Pengemis”, dan kekerasan anatomis pada cerpen “Eksodus”.
Sementara itu, terdapat penelitian terkait cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” karya Eka Kurniawan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Faisal, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Hasanuddin tahun 2017 yang berjudul Intertekstualitas dalam Cerpen „Dongeng Sebelum Bercinta‟ dan „Peterpan‟ Karya Eka Kurniawan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa teks cerpen Dongeng Sebelum Bercinta dan Peterpan memiliki hubungan interteks dengan kisah klasik seperti The Arabian
Night dan Peter Pan. Bentuk interteks yang terjadi ialah pemodifikasian
dan pengutipan (ekserp) secara struktur serta nilai-nilai yang terdapat pada teks hipogram.
Sejauh ini, belum ada penelitian terkait ketiga cerpen yang menggunakan teori Tzvetan Todorov. Maka dari itu, peneliti mencari objek lain terkait teori Todorof yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ery Agus Kurnianto yang berjudul Analisis Tiga Tataran Aspek Semiotik Tzevetan Todorov pada Cerpen “Pemintal Kegelepan” Karya Intan Paramaditha dalam jurnal Kandai, Vol 11, no. 2, November 2015. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa dari segi aspek semantik terlihat bahwa alur cerpen “Pemintal Kegelapan” adalah alur progresif. Aspek semantik yang dalam hal ini dikaitkan dengan unsur penokohan tokoh aku dan tokoh Ibu. Tokoh aku memiliki sifat rasa ingin tahu, menghormati, dan menghargai tokoh Ibu. Sedangkan tokoh Ibu memiliki sifat introver, eksplosif, dan misterius. Dari aspek verbal, pengarang menggunakan pencerita luar dan wicara yang dialihkan.
22
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
A. EkaKurniawan
1. BiografiEka kurniawan lahir di Tasikmalaya, 1975, menyelesaikan pendidikan dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1999. Pada tahun itu ia menerbitkan buku yang selesai dari tugas akhir, Pramoedya
Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999).1
Beberapa kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan yakni: "Corat-Coret di Toilet" (2000), "Gelak Sedih" (2005), "Cinta Tak Ada Mati" (2005). Sedangkan novel Eka Kurniawan yang diterbitkan di antaranya; "Cantik Itu Luka" (2002), "Lelaki Harimau" (2004), "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2014), dan "O" (2016).2
Eka dianggap berhasil menarik perhatian dunia dengan menyampaikan sejarah Indonesia alternatif, yang berdampak pada meningkatnya kesadaran dan pemahaman terhadap Indonesia.Sebelum dianugerahi penghargaan
Prince Claus Award 2018, novel pertama Eka yang berjudul Cantik Itu Luka telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Sementara novel keduanya,
Lelaki Harimau, telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Italia, Korea, Jerman dan Prancis. Novel keduanya itu juga berhasil mengantar Eka
Kurniawan ke jajaran sastrawan dunia, sehingga pada 2015 Jurnal Foreign
Policy menobatkannya sebagai salah satu dari 100 pemikir paling
berpengaruh di dunia. Karena berhasil menegaskan posisi Indonesia di peta kesusastraan dunia. Selain itu, pada Maret 2016 Lelaki Harimau berhasil mencatatkan prestasi sebagai buku Indonesia pertama yang dinominasikan di
1
EkaKurniawan, https://ekakurniawan.com/about/diakses 7 Desember 2019. 2
Yohanes Enggar Harususilo,"Eka Kurniawan Raih Penghargaan Sastra Internasional di Belanda", https://edukasi.kompas.com/read/2018/12/07/22212401/eka-kurniawan-raih-penghargaan-sastra-internasional-di-belanda?page=all.
ajang penghargaan sastra bergengsi dunia: The Man Booker International
Prize.3
Eka sempat akan mendapatkan penghargaan dari Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi yang menjanjikannya hadiah Rp. 50 Juta dan plakat untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru yang akan diberikan pada 10 November. Namun saat dihubungi oleh pihak penyelenggara, Eka menolak penghargaan tersebut.Bagi Eka, alasan mendasar yang menggerakkan dirinya menolak pengakuan dari negara tersebut adalah tidak ada bukti nyata negara dan pemerintah melindungi seniman dan kerja-kerja kebudayaan.4
2. Pemikiran
Oka Rusmini menyatakan bahwa cerpen-cerpen Eka Kurniawan membuat pembaca dibelai oleh teror yang mengepung pikiran tokoh-tokohnya. Teror di sini adalah teror yang menyakitkan, penuh luka, borok, tetapi indah. Cerpen-cerpen Eka Kurniawan merupakan realisme magis khas Indonesia karena sebagai manusia Indonesia kita selalu dihidangkan mitos, legenda, dongeng, dan kebohongan yang tidak pernah selesai. Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma menyatakan bahwa cerpen-cerpen Eka Kurniawan ditulis dengan bakat dan semangat pencanggihan yang tinggi, yang pada masa lalu merupakan ruang kosong dalam sastra Indonesia. Menurut Seno, kita pantas meletakkan harapan atas masa depan sastra Indonesia kepada penulis muda seperti Eka Kurniawan.5
Eka merupakan penulis yang kerap menghadirkan tema kekuasaan, kritiksosial, dan juga budaya Indonesia dalam setiap karyanya. Hal demikian juga terlihat pada kumpulan cerpen Corat-coret di Toilet. Dalam kumpulan cerpen tersebut, terdapat dua belascerpen yang terdiri dari cerpen Peter Pan,
3
Agniya Khoiri, https://m.cnnindonesia.com/hiburan/20190216213124-241-369918/kisah-eka-kurniawan-saat-terima-prince-claus-award-di-belandadiakses 1 Agustus 2019.
4M. Andika Putra, “Anggap Negara Arogan, Eka Kurniawan Tolak Anugerah Kebudayaan”, https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20191010094523-241-438290/anggap-negara-arogan-eka-kurniawan-tolak-anugerah-kebudayaandiakses 7 Desember 2019.
5
Dongeng Sebelum Bercinta, Corat-coret di Toilet, Teman Kencan, Rayuan Dusta untuk Marietje, Hikayat Si Orang Gila, Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam, Siapa Kirim Aku bunga?, Tertangkapnya Si bandit Kecil Pencuri Roti, Kisah dari Seorang Kawan, Dewi Amor, dan KandangBabi.
Dalam kumpulan cerpen Corat- coret di Toilet, Eka menggambarkan kekuasaan dengan menceritakan penderitaan rakyat kecil yang kalah oleh penguasa dan aspirasi rakyat yang tidak didengar oleh penguasa. Sementara kritik sosial digambarkan Eka dengan menceritakan tentang rakyat kecil yang kelaparan dan mencuri untuk bertahan hidup serta tentang kepedulian terhadap sesama yang mulai kurang diperhatikan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, budaya Indonesia yang digambarkan Eka terlihat dengan penggunaan tempat, kebiasaan, serta nama tokoh yang mayoritas menggunakan segala sesuatu yang sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Hal ini seperti yang terlihat di cerpen
Dongeng Sebelum Bercinta yang menggunakan latar tempat seperti Bali dan
Yogyakarta.
Terkait dengan kumpulan cerpen Corat-coret di toilet, Anderson menyatakan alasannya menerjemahkan kumpulan buku ini adalah karena muatan yang terdapat dalam setiap ceritanya. Salah satu alas an tersebut adalah karena buku ini merupakan kumpulan cerpen Eka yang paling terkenal sekaligus juga karena komedinya yang terasa gelap. Kumpulan cerpen tersebut dapat menangkap dengan sempurna atmosfer kehidupan mahasiswa di Indonesia di permulaan abad yang baru, sebagaimana janji reformasi yang tertutupi oleh
gangsterisme,sinisme, keserakahan, korupsi, kebodohan, dan pengasingan. Pada
akhirnya, buku tersebut menunjukkan perumpamaan mengejutkan, perubahan nada penceritaan yang tajam dan tak terduga, serta simpati penulis untuk generasi pasca-Soeharto.6
6
Asri Furoidah dan Alberta Natasia Adji, Bentuk Komunikasi Teks Pada Kumpulan Cerpen
Corat-coret di Toilet Karya Eka Kurniawan, Retorika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan pengajarannya, vol. 12, nomor
B. Seno GumiraAjidarma
1. BiografiDikenal juga dengan nama Mira Sato, Seno lahir di Boston, AS tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Kegiatan berkesenian dimulainya saat berusia 17 tahun dengan bergabung bersama grup Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Sejak itu, ia terlibat serius di dunia kesenian, khususnya kesusasteraan dengan menghasilkan karya tulis dalam bentuk puisi, cerita pendekl, dan esai. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik “ Puisi Lugu” majalah Aktuil.7
Kumpulan sajaknya: Granat dan Dinamit (bersama Ajie Sudarmaji Muksin, 1975), Mati Mati Mati (1975), Bayi Mati (1978), dan Catatan-
Catatan Mira Sato (1978). Buku novel yang telah diterbitkan: Jazz, Parfum, dan Insiden (novel, 1996), Negeri Senja (2003), Biola tak Berdawai (2004), Kitab Omong Kosong (2004), dan Kalatidha (2007). Kumpulan cerpennya Manusia Kamar(1987), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta
(1996), Negeri Kabut (1996), Matinya Seorang Penari Telanjang (1999), Iblis
Tidak Pernah Mati (1999), Atas Nama Malam (1999), Dunia Sukab (2001), Kematian Donny Osmund (2001), Sepotong Senja Untuk Pacarku (2002), Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian (2004), Linguse (2007).8
Atasprestasinya di bidang penulisan cerita pendek, SGA mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan
Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas (1991). Selain itu, SGA juga memperoleh Penghargaan
Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk
7
Dewan Redaksi Ensiklopedia Sastra Indonesia, Op. Cit., h. 866. 8
kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia ( S.E.A.) Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar
Mandi (1997). Novel Seno yang berjudul Negeri Senja(2003) berhasil
mendapatkan Khatulistiwa Literary Award (2004), dan satu tahun kemudian Seno juga mengulang sukses yang sama lewat novelnya Kitab Omong Kosong (2004) mendapat Khatulistiwa (2005).9 Selain itu, Seno juga mendapat penghargaan dari Ahmad Bakrie Award (tapi dia menolak) tahun 2012. Cerpennya "Cinta di Atas Perahu Cadik" terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2007 sekaligus menjadi judul antologi Cerpen Kompas Pilihan 2007.10
2. Pemikiran
Kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati (ITPM) merupakan karya Seno yang berusaha mengangkat kondisi sosial saat kerusuhan 1998. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Budi Darma di dalam majalahTempo (1999) yang menyimpulkan bahwa cerpen ITPM mengerikan dan mengharukan. Hal tersebut seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.
Bahwasanya Seno Gumira Ajidarma pengarang cerpen, dan rata-rata cerpennya enak dibaca, kita semua tahu. Maka, berhadapan dengan Iblis Tidak Pernah Mati, kumpulan cerpen terbaru Seno, kita bias menduga bahwa kumpulan ini juga enak dibaca. Seno memilih kerusuhan sekitar Mei 1998 sebagai tali pengikat ke- 15 cerpen. Kendati tidak eksplisit, penjarahan, pemerkosaan, pembakaran gedung, dan lain-lain menjadi fokus. Sebagaimana halnya membaca cerita, membaca cerpen Seno pun biasa dilakukan cepat-cepat. Halaman pertama sampai
9
Ricky A. Manik, Pengaruh Karya Seno Gumira Ajidarma Pada Cerpen Agus Noor, Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan&Kesastraan, vol.12, Nomor 2, Desember 2016, h.524.
10
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Seno_Gumira_Ajidarmadiunduh 7 Desember 2019.
halaman terakhir buku bisa cepat habis. Yang tersisa adalah kesan: mengerikan dan mengharukan.11
Adapun kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati terdiri dari 15 cerpen yang terbagi menjadi empat bagian yaitu sebelum, ketika, sesudah dan selamanya. Selain mengangkat peristiwa kerusuhan 1998, kumpulan cerpen
ITPM berusaha mengangkat tentang peristiwa yang pernah terjadi di
Indonesia di antaranya tentang kekuasaan yang ada ditangan pemerintah, kasus penculikan aktivis, dan kritik sosial laninnya.
Sementara itu, “Dongeng Sebelum Tidur” merupakan cerpen yang mengangkat tentang budaya mendongeng sebelum tidur dan kondisi masyarakat yang merasakan penggusuran dan harus kehilangan rumah yang telah ditinggali selama bertahun-tahun. Adapun Kris Budiman berpendapat bahwa cerpen “Dongeng Sebelum Tidur”, misalnya mengajak pembaca pergi kepada teks lain (berita di surat kabar) yang pada gilirannya mengacu kepada sebuah peristiwa aktual (dunia ekstra-tekstual), yakni peristiwa penggusuran di Bendungan Hilir Jakarta (1994); juga pembredelan beberapa media cetak di sekitar tahun yang sama.12 Hal tersebut berarti bahwa Seno berusaha menghadirkan sebuah peristiwa dengan tetap membungkusnya dengan sesuatu hal yang sederhana agar pembaca dapat dengan mudah memahaminya.
C. Yetti A. Ka
1. BiografiYetti A. Ka adalah seorang penulis perempuan yang lahir dan besar di Bengkulu. Sejak tahun 1999, istri penyair Sumatera Barat, Sondri B. S ini hijrah dan berkeativitas di Sumatera Barat. Tulisannya berupa cerita pendek, puisi, dan artikel pernah dimuat di beberapa media massa: Koran Tempo,
Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Nova, Koran Jurnal Nasional, Suara
11
Ferdinandus Moses Tempo, Kekerasan Personal Dalam Cerpen “Jakarta,
SuatuKetika” Karya Seno Gumira Ajidarma, Jurnal Madah, Volume 4, Nomor 1, Edisi April 2013, h.26. 12
Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Perempuan, Gong, Waspada Medan, Lampung Pos, Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, dan Riau Pos.
Cerita pendeknya tergabung dalam sejumlah antologi bersama ;Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809 (GPU, 2009), Pipa Air Mata ( Yayasan Sagang, 2008), Rahasia Bulan (GPU, 2006), Mencintaimu (Logung Pustaka, 2004), Kalau Julies Sedang Rindu (Logung Pustaka dan Akar Indonesia, 2004), Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003), dan lain sebagainya. Buku kumpulan cerita pendek tunggal yang telah terbit; Numi( LogungPustaka, Jogjakarta, 2004) danMusim yang Menggugurkan Daun (PenerbitAndi, Yogyakarta, 2010). SuatuHariBukan di Hari Minggu ini merupakan kumpulan cerpen ketiganya.13
2. Pemikiran
Cerpen “DongengHitam” merupakan salah satu cerpen Yetti A. Ka yang diterbitkan pada media massa Jawa Pos. Adapun cerpen“Dongeng Hitam”merupakan karya Yetti A.ka yang didasarkan pada kisah masa kecilnya yang membuatnya ketakutan dalam waktu yang lama. Maka dari itu, untuk menghilangkan ketakutan hal tersebut, Yetti menulis dan menjadikannya karya yaitu cerpen berjudul “Dongeng Hitam”. Adapun alasannya tetap menggunakan konsep dongeng dalam cerpennya adalah karena Ia ingin tetap menjadikan karyanya tetap didasarkan pengalaman masa kecilnya.
Yetti yang mulai menulis sejak dua SMP ini mulai serius menulis dan mengirim karyanya ke media massa saat kuliah semester 4. Beberapa karyanya kerap mengangkat tokoh perempuan. Hal ini karena Yetti berpendapat bahwa perempuan merupakan makhluk kelas dua (subordinat) dalam system masyarakat patriaki. Itu artinya perempuan sering menjadi korban dari system itu (misalnya menjadi korban kekerasan dan pelecehan). Dan isu- isu semacam itu harus disuarakan oleh penulis perempuan, sebab tak ada yang benar-benar
13
Dessy Wahyuni, Perempuan Dengan Segala Luka Dalam Kumpulan Cerpen Suatu Hari Bukan
tahu dan paham bagaimana perasaan dan pikiran perempuan selain perempuan itu sendiri.14
14
30
A. Analisis Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema adalah ide yang menjadi pembangun sebuah cerita. Tema yang diangkat oleh ketiga cerpen memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Tema dalam cerpen ―Dongeng Sebelum Tidur‖ adalah mengenai tokoh Ibu yang menceritakan tentang penggusuran pada anaknya. Akibat dari tindakan Ibu, anaknya yang seharusnya tidur karena sudah didongengkan malah tidak dapat tidur. Hal ini seperti pada kutipan berikut:
Dongeng- dongeng sebelum tidur yang diceritakan ibunya biasanya sangat romantis, indah, dan membayangkan suatu alam yang tenang. Tapi kini debu mengepul dalam bayangan Sari, bulldozer menggasak-gasak rumah penduduk, dalam waktu singkat satu kampong menjadi rata dengan tanah. Ibu- ibu diseret, anak-anak menangis, dan bapak-bapak berkelahi melawan petugas. Sari memejamkan mata, namun ibunya terus bercerita tentang kebakaran yang berkobar-kobar, jeritan orang-orang yang kehilangan rumah, dan terik matahari yang seakan menjadi lebih menyengat dari biasanya.1
Alasan tokoh Ibu menggunakan berita penggusuran di koran sebagai dongeng pengantar tidur adalah karena tokoh Ibu kehabisan dongeng untuk diceritakan pada anaknya.
Ah, sudahlah, yang jelas aku ini bingung, kehabisan cerita buat Sari. Anak itu kok ya hafal semua cerita yang sudah aku ceritakan.Bingung aku. Coba, semua versi cerita Asal Mula Padi dari
1
Jawa, Bali, Lombok, sampai Irian sudah kuceritakan, aku tidak bisa mengingat cerita apa-apa lagi sekarang. Katak Hendak Jadi Lembu sudah. Burung Pungguk Merindukan Bulan sudah. Calon Arang sudah.
Sangkuriang sudah. Asal Mula Gunung Balok juga sudah. Aku sudah
tidak punya cerita lagi, sudah lupa, sudah tua, apa kuputerin laser-disc saja, kuputerin Beauty and the Beast begitu?2
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kebingunan ini karena tokoh ibu kerap menceritakan dongeng pada anaknya. Kebiasaan mendongeng membuat anaknya mudah mengingat setiap cerita dan akhirnya tokoh ibu kehabisan cerita dan terpaksa menceritakan berita mengenai penggusuran.
Selanjutnya, tema dalam cerpen ―Dongeng Sebelum Bercinta‖ adalah mengenai aktivitas mendongeng untuk menutupi kebohongan. Adapun aktivitas tersebut merupakan permintaan Alamanda kepada calon suaminya sebelum pernikahan.
Beberapa saat sebelum pernikahannya, Alamanda meminta kepada calon suaminya untuk mendengarkan dongeng sebelum bercinta di malam pertama. Dan karena begitu jatuh cinta kepada Alamanda, sang calon suami mengabulkan permintaan itu. Ia bahkan menambahkan permohonan aneh tersebut sebagai mas kawinnya. 3 Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Alamanda memang sengaja menjadikan permintaannya untuk mendongeng sebelum bercinta sebagai mahar pernikahannya, agar permintaan tersebut diingat dan dijalankan oleh suaminya. Walaupun tanpa dijadikan mahar pernikahan sang calon suami tetap mengabulkannya, namun apabila dijadikan mahar pernikahan, maka suaminya mau tidak mau tidak boleh melanggar permintaan itu.
Sebenarnya Alamanda tak mahir mendongeng. Tapi setidaknya ia pernah mendengar dongeng dan mencoba meniru cara seseorang mendongeng. 4
Berdasarkan kutipan tersebut, Alamanda terpaksa mendongeng walau tidak mahir. Keterpaksaan seseorang dalam melakukan sesuatu merupakan indikator bahwa ada maksud atau tujuan tersembunyi yang hendak dicapai.
2
Ibid., h.16. 3
Eka Kurniawan, Corat-Coret di Toilet, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 11. 4
Adapun tujuan Alamanda mendongeng sebelum bercinta adalah untuk menutupi kebohongannya yang sudah tidak lagi perawan.
Takut apa?
Takut ia tahu kalau aku tidak perawan.5
Sementara itu, tema dalam cerpen ―Dongeng Hitam‖ adalah mengenai seorang perempuan bernama Namili yang kehilangan jalan cerita dongeng hitamnya. Kehilangan jalan cerita membuat dirinya kembali mengenang masa lalu bersama ayahnya. Hal ini seperti pada kutipan berikut:
Namili menyukai dongeng burung hitam sebesar ia menyukai malam dan kegelapan. Saking sukanya, sampai berusia dua puluh sembilan tahun kurang tiga hari dongeng itu ia ingat dengan baik dan sering ia ceritakan untuk dirinya sendiri di pertiga malam sebelum memaksa dirinya tidur karena harus berangkat kerja pada pukul tujuh pagi. Namun sesuatu terjadi, Namili kehilangan jalan cerita dongeng itu pada suatu malam ketika ia memandang ke luar jendela dan itu merupakan saat tergelap dari semua malam. Tidak itu saja, tiba-tiba kepala Namili juga dipenuhi burung-burung hitam dengan jumlah yang berlipat dari yang seharusnya— tentu menurut ingatan dia yang juga mendadak kabur.6
Dalam kutipan tersebut terungkap bahwa Namili sangat menyukai dongeng hitam yang dulu selalu diceritakan oleh ayahnya. Kini, setelah umur dua sembilan tahun, ia kehilangan jalan cerita dongeng hitamnya. Hal itulah yang membuatnya gusar dan tidak tenang. Selain kehilangan jalan cerita dongeng burung hitam, mendadak banyak burung yang memenuhi pikiranya. Burung- burung dimaknai sebagai masa lalu yang datang secara tiba-tiba tanpa dikehendaki kehadirannya dan membuat Namili menjadi tidak tenang. Kegusaran dan tidak tenang itulah yang kemudian membuat Namili berusaha untuk mencari obat penawar dari masalah yang terjadi.
Berdasarkan analisis tiga tema cerpen tersebut, maka terdapat persamaan, di mana terdapat penggunaan dongeng sebagai dasar dalam memunculkan suatu konflik.
5
Ibid., h. 21. 6
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku yang terlibat dalam suatu peristiwa dalam cerita. Sementara penokohan merupakan cara pengarang dalam memunculkan tokoh dalam sebuah cerita. Dalam cerpen ―Dongeng Sebelum Tidur‖, terdapat empat tokoh yang terlibat dalam peristiwa yaitu Ibu, Sari, Supir dan Ayah.
a. Ibu
Ibu merupakan tokoh utama dalam cerpen ―Dongeng Sebelum Tidur‖ karena dari awal hingga akhir terlibat dalam cerita. Ibu secara sosiologisdigambarkan sebagai wanita karier yang sibuk namun masih tetap mempunyai waktu untuk anaknya. Hal ini seperti pada kutipan berikut:
Ibunya, seorang wanita karier yang sibuk, sesibuk-sibuknya akan sebuah dongeng kepada anaknya sebelum tidur. Jika ia berada di luar kota, atau di luar negeri, ia menelpon tepat pada waktunya untuk bercerita. Kalau ia mesti mengadakan perjalanan panjang, dengan pesawat terbang semalam suntuk misalnya, ia meninggalkan dongengnya dalam rekaman. Ibunya itu bias bercerita dengan menarik, habis dulunya suka main sandiwara sih. Sari sungguh beruntung.7
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa walaupun tokoh Ibu sibuk bekerja hingga harus ke luar kota ataupun luar negeri, Ibu Sari tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang Ibu yaitu mendidik anaknya. Latar belakang Ibu Sari yang seorang pemain sandiwara memudahkannya untuk bercerita sebagai salah satu bentuk kewajibannya dalam mendidik anaknya.
Ibu memiliki status sosial yang tinggi. Ini dibuktikkan dengan pakaian yang digunakan serta dirinya yang memilki supir. Hal ini seperti pada kutipan berikut:
Lho jangan Nyonya, dongeng seorang ibu sebelum tidur
itu lain dengan laser-disc yang mekanis, diputar untuk siapapun keluarnya sama, Nyonya boleh saja canggih,tapi harus tetap jadi manusia. Bercerita kepada anak tetap harus ada hubungan personal.8
7
Ajidarma, Op. Cit., h. 14. 8
Ketika ia meletakkan Sari di tempat tidur, sambil mencopot sepatu tinggi, dan membuka blazer-nya, sebuah berita menempel di kepalanya.9
Berdasarkan kutipan tersebut, Ibu memiliki supir dan dipanggil Nyonya oleh supirnya. Ini mengisyaratkan bahwa Ibu memiliki status sosial yang tinggi. Penggunaan sepatu tinggi dan blazer juga memperkuat bahwa Ibu merupakan wanita karier.
Ibu juga digambarkan sebagai perempuan Jawa. Hal ini terlihat pada ucapan tokoh Ibu ketika sedang berbicara dengan supirnya seperti pada kutipan berikut:
Hmmmhh! Orasudi10 O, dasar gemblung!11
Selain itu, secara fisiologis ibu digambarkan sebagai wanita yang menarik walaupun sudah mulai tua. Hal ini seperti kutipan berikut:
Barangkali aku sudah mulai tua, keluhnya pada sopir. Ah, tua bagaimana sih Nyonya, yang menaksir juga masih
banyak bagitu kok.12
Dalam kutipan tersebut, Ibu sedang bertutur kata dengan sopirnya.Ia menganggap bahwa ketidakmampuannya menemukan cerita untuk Sari disebabkan karena dirinya yang mulai tua. Namun supirnya menyanggah karena masih banyak yang menyukai Ibu Sari.
Secara psikologis, Ibu digambarkan sebagai wanita yang memiliki prinsip berpikir sebelum bertindak. Ini terlihat pada kutipan berikut:
Ia masih mempertimbangkan, apakah berita itu akan disulapnya menjadi cerita.13
Kata ―masih‖ mengisyaratkan bahwa tokoh Ibu terus berpikir mengenai keputusannya untuk mendongengkan berita di koran kepada anaknya.
9 Ibid., h. 19. 10 Ibid., h. 15. 11 Ibid., h. 16. 12 Ibid., h. 15. 13 Ibid., h.19.