CITRA PEREMPUAN DALAM TIGA CERPEN
MARTIN ALEIDA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh
Nisa Kurniasih
NIM 1110013000105
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
ABSTRAK
NISA KURNIASIH. NIM: 1110013000105. Skripsi “Citra Perempuan dalam
Tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di
SMA,” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum., November 2014.
Cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu menggambarkan perempuan dengan peliknya kehidupan. Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah memperlihatkan citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan
Malam Kelabu karya Martin Aleida yang diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan dalam sastra. Skripsi ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat citra perempuan pada ketiga cerpen Aleida.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tampak citra perempuan dalam cerpen
Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida yang terbagi menjadi: 1) Citra perempuan dalam aspek fisis, terlihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut diwujudkan ke dalam fisik perempuan dewasa. 2) Citra perempuan dalam aspek psikis, telihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan merupakan makhluk yang mampu beraspirasi dan mempunyai perasaan. Citra psikis yang terlihat dalam cerpen tersudut akibat ideologi gender. 3) Citra perempuan dalam aspek keluarga dan masyarakat, telihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan digambarkan sebagai makhluk sosial yang mempunyai hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan yang kecil, yaitu hubungan antara perempuan dan laki-laki, perempuan masih hidup dalam superioritas laki-laki. Perempuan juga berada dalam budaya patriarki, di mana kekuasaan lebih didominasi oleh laki-laki.
Kata Kunci: Citra perempuan, Gender, Cerpen Suara, Cerpen Aku Sepercik Air,
Cerpen Malam Kelabu, Martin Aleida
ABSTRACT
NISA KURNIASIH. NIM: 1110013000105. “Women Image in three short story
by Martin Aleida and its implication on Teaching Literature in Senior High
School,” Departement of Language and Indonesian Literature Education, Faculty
of Tarbiyah and Teaching Sciences Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M.Hum., November 2014
Short story Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu are descriptive women and her complicated live. This study has the purpose to show the women image in short story Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu by Martin Aleida that expectable can extend of knowledge especially in literature area. Thus, this study also expectable become a resourch of teaching learning literature in school. The method used in this study was descriptive qualitative that use to seem the women image in three stories by Aleida.
The result of this study showed that the women image in the short story
Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu by Martin Aleida are: 1) Physical aspect, capture the women image as a matured woman. 2) Psychological aspect, capture the women image as an aspired and sense women, this reflect due the gender of ideology on the story. 3) Women image in family and community aspects, which can be described as a social human that relates to other. Start from close relation; men and women relation, women who lives beneath men superiority. Women in patriarchy culture where men dominated the women.
Keywords: Women Image, Gender, Short Story Suara, Short Story Aku Sepercik
Air, Short Story Malam Kelabu, Martin Aleida
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang tiada henti
memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan
dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak
mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa terima kasih kepada:
1. Dra. Nurlena Rifai, M.A., P.h.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang
telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang
sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan,
bimbingan, serta kasih sayang yang Ibu berikan selama ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu
pengetahuan;
5. Bapak Ayi Fatah dan Ibu Tarwati kedua orang tua penulis, kakak-kakak
serta keponakan-keponakan yang senantiasa mendoakan, memberikan
dorongan moral dan material, serta memotivasi penulis sehingga penelitian
ini dapat terselesaikan dengan baik;
6. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010, terima kasih
atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama
ini;
7. Teman-teman penulis, Deby Rachma Rizka, Mia Nurdaniah, Rizka Amalia
Sapitri, dan Widya C Pratami. Serta rekan PPKT penulis, yaitu Anggraini
Prastikasari. Terima kasih telah mendukung, mengingatkan, membantu,
dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi;
8. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada
penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin.
Jakarta, November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ABSTRAK………………. i
KATA PENGANTAR………... iii
DAFTAR ISI ………... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….. 1
B. Identifikasi Masalah……… 4
C. Pembatasan Masalah………... 5
D. Perumusan Masalah……….... 5
E. Tujuan Penelitian………... 5
F. Manfaat Penelitian………..…. 6
G. Metode Penelitian……… 6
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Cerpen……….….…. 10
B. Citra Perempuan……….……….… 17
C. Penelitian yang Relevan……….……….…… 26
D. Pembelajaran Sastra……….……….….. 28
BAB III PROFIL MARTIN ALEIDA A. Biografi Martin Aleida……… 31
B. Karya Martin Aleida ……….….….. 35
C. Pemikiran Martin Aleida………..…... 35
D. Sinopsis Tiga Cerpen Martin Aleida……… 36
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA
A. Unsur Intrinsik Cerpen……… 38
1. Tokoh dan Penokohan………... 38
2. Tema……….. 43
3. Alur……… 44
4. Latar………... 50
5. Gaya Bahasa……….. 56
6. Sudut Pandang………... 58
7. Amanat………... 59
B. Analisis Citra Perempuan………... 60
1. Citra Wanita dalam Aspek Fisis ……….. 60
2. Citra Wanita dalam Aspek Psikis ………. 66
3. Citra Wanita dalam Aspek Keluarga dan Masyarakat……... 76
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA……… 82
BAB V PENUTUP A. Simpulan……….. 84
B. Saran……… 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cerpen merupakan karya fiksi yang dapat dibaca dengan waktu yang
singkat. Walaupun cerpen lebih pendek dari novel, akan tetapi untuk
memahami cerpen tidak dapat dianggap mudah. Cerpen tidak dapat ruang
lingkup yang besar untuk menggambarkan suatu peristiwa serta aspek di
dalamnya. Pengarang harus pandai dalam pemilihan kata-kata yang akan
dimasukkan, sehingga gagasan pengarang dapat diterima oleh pembaca.
Sebagai suatu karya sastra, cerpen merupakan bentuk komunikasi dari
pengarang yang ingin menyampaikan ide atau gagasan kepada pembacanya.
Gejolak yang timbul dari dalam diri pengarang akan dengan bebas dituangkan
ke dalam suatu karya. Cerpen dijadikan sebagai sarana fiksi yang digunakan
pengarang dalam menghayati permasalahan kehidupan yang telah dialaminya.
Seringkali cerpen menawarkan berbagai masalah kehidupan.
Permasalahan kehidupan dalam sebuah karya sangat erat kaitannya dengan
kehidupan pengarang, Dalam proses kehidupan, setiap kejadian yang terjadi
pada diri pengarang sangat mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra.
Tidak akan pernah ada karya yang terlepas dari kehidupan sosial, baik itu
kehidupan sosial pengarang ataupun kehidupan sosial masyarakat pada saat
karya diciptakan. Karya sastra seringkali menjadi visualisasi atas kritik
pengarang terhadap kehidupan pengarang. Maka, pengarang tidak hanya ingin
memberikan hiburan dan keindahan semata kepada pembacanya. Pengarang
juga ingin mengajak pembacanya ke dalam dunia imajinasinya. Walaupun
cerpen merupakan karya fiksi, namun cerita yang dibangun oleh seorang
pengarang dianggap suatu pesan tentang kebenaran yang ingin disampaikan
kepada pembacanya.
Martin Aleida merupakan salah satu pengarang sekaligus jurnalis.
Pekerjaannya sebagai seorang jurnalis, serta kedekatannya dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (LEKRA) membuatnya ikut ditahan saat terjadi peristiwa
di tahun 1965. Hal ini terjadi karena LEKRA sangat erat kaitannya dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini pula yang membuat sebagian besar
karya Martin adalah kesaksiannya akan peristiwa di tahun 1965 tersebut.
Martin Aleida banyak menyampaikan memoarnya ke dalam cerpen.
Peristiwa 1965 ini juga membawa masalah dalam kehidupan sosial, yaitu
kehidupan perempuan dalam keluarga PKI. Tidak hanya itu, beberapa tokoh
perempuan dalam cerpen Martin Aleida juga menarik perhatian. Perempuan
digambarkan menarik dengan berbagai kekuatannya dalam menjalani peliknya
masalah yang dihadapi. Sebagai suatu karya fiksi, cerpen juga
menggambarkan kehidupan masyarakat. Penggambaran kehidupan dapat
berupa struktur masyarakat, fungsi dan peran yang diemban oleh masing-
masing, dan interaksi yang terjalin dalam masyarakat. Adapun unsur yang
lebih sederhana yaitu kehidupan masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Interaksi antara keduanya merupakan hal yang menarik untuk
dikaji. Hal tersebut menarik sebab terkait hubungan antara dua jenis kelamin
yang pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan dalam sosial dan budaya.
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pengaruh
besar dalam setiap aspek dalam kehidupan. Perbedaan biologis atau jenis
kelamin berkaitan dengan gender. Gender yang merupakan konstruksi sosial
tersebut, menghasikan permasalahan yang cukup luas. Permasalahan timbul
karena adanya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Masalah
gender dapat memasuki ranah politik, ekonomi, hukum, dan sastra.
Selain itu, banyak sekali karya sastra yang diproduksi oleh laki-laki, salah
satunya Martin Aleida. Terkait karya sastra yang sebagian besar diproduksi
oleh laki-laki, maka dapat dikatakan bahwa penggambaran tokoh perempuan
membaca seperti laki-laki, serta mengasingkan diri terhadap pikiran dan emosi
perempuan mereka. Maka, gambaran tokoh perempuan dalam sastra
Indonesia, dapat menciptakan citra umum perempuan dalam masyarakat
Indonesia.
Citra perempuan dalam sebuah karya sastra acapkali menciptakan citra
perempuan dalam kehidupan nyata, bahkan dapat berlaku sebaliknya. Dalam
tiga cerpen karya Martin Aleida, yaitu Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu terdapat banyak gambaran perempuan dengan posisinya dalam masyarakat serta bagaimana perempuan diperlakukan. Martin Aleida
merupakan salah satu pengarang yang menjadi saksi peristiwa 1965, di mana
peristiwa tersebut menjadi masalah dalam bidang sosial. Salah satunya adalah
kehidupan perempuan yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Selain
itu, beberapa cerpen Martin Aleida juga menonjolkan penderitaan yang
dialami oleh perempuan dalam menjadi hidupnya. Melalui kata-kata yang
apik, Martin Aleida mampu menyampaikan kepedihan yang dialami oleh
perempuan.
Cerpen Suara menggambarkan bagaimana kisah seorang perempuan yang mempunyai suara indah dan menjadi keunggulan dalam dirinya, harus
berhenti bangga dengan keunggulannya tersebut karena mempunyai seorang
suami yang melarangnya menyanyi. Lalu, dalam cerpen Aku Sepercik Air
menggambarkan kisah perempuan yang harus menjalani pedihnya hidup
ditinggalkan suami demi perempuan lain, namun pada akhirnya ia mempunyai
keberanian melawan luka hatinya. Kemudian dalam novel Malam Kelabu
menggambarkan kisah perempuan yang tidak mengetahui peristiwa yang
menimpa desanya, kemudian dibunuh. Maka, tiga cerpen inilah yang menjadi
kajian dalam penelitian.
Dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, cerpen
merupakan salah satu sumber yang utama. Berdasarkan kurikulum yang telah
tertera salah satunya bahwa terdapat standar kompetensi yang mencakup
mengenai pemahaman mengenai cerpen. Dengan adanya penelitian yang
mengkaji citra perempuan dalam cerpen yang terdapat dalam cerpen Suara,
Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, maka diharapkan peserta didik dapat menjadikannya sebagai pelajaran sastra Indonesia untuk
lebih memahami unsur intrinsik suatu cerpen, khususnya mengenai tokoh
perempuan. Selain itu, peserta didik dapat menjadikannya sebagai pelajaran
agar lebih menghargai perempuan, tidak membeda-bedakan hak dan peran
antara laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan pemahaman lebih dalam
tentang gender.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis akan meninjau citra
perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dan implikasinya dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah, dengan menggunakan pendekatan objektif. Maka,
penulis akan mengambil judul “Citra Perempuan dalam Tiga Cerpen
Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra
Indonesia di SMA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka timbul beberapa
masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya minat siswa dalam mengapresiasi karya sastra, khususnya
cerpen.
2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik dalam cerpen.
3. Kurangnya pembahasan mengenai citra perempuan dalam cerpen
C. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan yang ada, maka pembatasan masalah yang terdapat
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Membatasi minat siswa hanya pada cerpen.
2. Membatasi pemahaman siswa pada unsur intrinsik dalam cerpen.
3. Membatasi pemahaman terhadap citra perempuan dalam cerpen Suara
dalam kumpulan cerpen Dendam Perempuan, cerpen Aku Sepercik Air
pada kumpulan cerpen Leontin Dewangga, dan Malam Kelabu dalam kumpulan cerpen Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah yang telah
dipaparkan, maka masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan
Malam Kelabu karya Martin Aleida?
2. Bagaimana implikasi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dalam pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan
2. Mengetahui implikasi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dalam pembelajaran sastra di SMA
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
maupun praktis. Manfaat teoretis, penelitian yang dilakukan penulis
diharapkan dapat mengembangkan ilmu sastra di tanah air, khususnya dalam
aspek unsur intrinsik dalam cerpen, serta citra perempuan pada karya sastra
dalam bentuk cerpen. penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan
sumbangan pada pembelajaran sastra di sekolah.
Adapun secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk melihat gambaran
kehidupan perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. Selain itu, dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerpen karya Martin Aleida.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,
yaitu metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran
dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Penelitian ini berupaya
memaparkan secara rinci, sistematis, cermat, dan faktual mengenai citra
perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
Metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman.
nilai-nilai, dan sumber datanya merupakan karya, naskah, dan penelitiannya
sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.1
Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Dalam penelitian ini, data yang
dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi objek
penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis
data.
1. Objek Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, yang menjadi
objek penelitian ini adalah “Citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”
2. Data dan Sumber Data Penelitian
a. Data
Data penelitian ini meliputi semua keterangan yang dicari dan
dikumpulkan oleh pengkaji untuk memberikan jawaban terhadap masalah
yang dikaji. Data penelitian ini berupa kutipan-kutipan kata, kalimat, dan
wacana yang terdapat dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
b. Sumber Data
Sumber data adalah subjek penelitian tempat data menempel.
Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder.
1
1) Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data yang diambil secara
langsung, tanpa adanya perantara. Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah cerpen Suara dalam kumpulan cerpen
Dendam Perempuan, Aku Sepercik Air dalam kumpulan cerpen
Leontin Dewangga, dan Malam Kelabu dalam kumpulan cerpen
Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida.
2) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data yang diambil secara
tidak langsung atau melalui perantara. Sumber data sekunder dalam
penelitian ini yaitu buku maupun artikel yang berkaitan dengan
penelitian dan karya-karya Martin Aleida.
3. Teknik Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, yaitu:
a. Membaca secara cermat cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida untuk mencari kata, kalimat, dan wacana yang mengandung unsur citra perempuan.
b. Mencatat hal-hal yang berkaitan dengan citra perempuan dalam cerpen
Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida c. Mengklasifikasikan data citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku
Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
d. Menganalisis data dan melakukan pembahasan dengan interpretasi data
e. Hasil dari analisis digunakan untuk mengimplikasi refleksi citra
perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu
karya Martin Aleida pada pembelajaran sastra.
4. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data yaitu:
a. Menganalisis cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu
karya Martin Aleida dengan menggunakan analisis struktural. Analisis
dilakukan dengan membaca serta memahami data kembali.
b. Mengklasifikasikan teks-teks yang berkaitan dengan citra perempuan
yang terdapat dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
c. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data
dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
d. Mengimplikasi cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu
karya Martin Aleida pada pembelajaran sastra di SMA dilakukan
dengan cara menghubungkan materi pelajaran di sekolah.
BAB II LANDASAN
TEORI
Dalam penelitian ini, akan dikemukakan beberapa teori dan pendapat para
ahli yang sesuai dengan penelitian. Teori-teori tersebut yaitu mengenai hakikat
cerpen, citra perempuan dan pembelajaran sastra.
A. Hakikat Cerpen
Cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yaitu prosa. Sebuah cerpen
merupakan media seorang pengarang yang ingin menyampaikan gagasannya.
Walaupun cerpen merupakan karya fiksi, akan tetapi tidak jarang pengarang
menyampaikan sebuah fakta.
Cerpen ialah cerita pendek.1 Pendapat lain mengatakan bahwa cerpen (cerita
pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antar tokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri
dalam latar dan alur.2 Akan tetapi, ukuran panjang pendek itu memang tidak ada
aturannya, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli.
Edgar Allen Poe (sastrawan kenamaan Amerika) mengatakan bahwa cerpen
adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar
antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan
dalam sebuah novel.3
Pendapat lain menurut B. Mathews mengatakan: “Bukan cerita pendek jika
tidak ada sesuatu yang akan diceritakan…. Suatu cerita pendek yang terjadi
adalah suatu ketidakmungkinan sama sekali.” Henry Scidel Camby, antara lain
mengatakan bahwa “kesan yang satu dan hidup, itulah seharusnya hasil dari cerita pendek.” Ellery Sedgwick mengatakan bahwa “cerita pendek adalah penyajian
1
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keeempet), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 264
2
Heru Kurniawan, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h 59 3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), h. 12
suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan
yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-
hal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with irrelevance.” Nugroho Notosusanto mengatakan bahwa “cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi
rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.” L.A.G. Strong, antara
lain berkata bahwa “singkat dan lengkap” atau brevitywith completeness adalah sifat-sifat pokok cerita pendek. Akhirnya, Ajip Rosidi memberi batasan dan
keterangan bahwa “cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan
merupakan suatu kebulatan ide…. Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen adalah lengkap, bulat, dan singkat. Semua bagian dari sebuah
cerpen harus terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tidak
ada bagian-bagian yang boleh dikatakan “lebih” dan bisa dibuang.”4
Menurut Satyagraha Hoerip, cerita pendek adalah karakter yang “dijabarkan” lewat
rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu. Apa yang
“terjadi” di dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah yang pada hakikatnya disebut cerpen.5
Sastra adalah kegiatan kreatif, sebuah karya seni.6 Sebuah cerpen merupakan
hasil dari proses kreatif seorang pengarang. Pengarang menuangkan segala
imajinasinya ke dalam sebuah cerpen dengan gaya bahasanya tersendiri. Namun,
dalam sebuah cerpen pengarang perlu memadatkan semua imajinasinya dalam
bentuk yang lebih singkat tanpa mengurangi kualitas karyanya. Cerpen akan
membuat pembaca terkesan hanya dalam sekali duduk saja.
Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara
lebih banyak—jadi, secara implisit—dari sekedar apa yang diceritakan. Karena
bentuknya yang pendek, cerpen memiliki karakteristik pemadatan dan pemusatan
terhadap sesuatu yang dikisahkan. Cerita tidak dikisahkan secara panjang lebar
180 4
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 179-
5
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 34 6
sampai mendetil, tetapi dipadatkan dan difokuskan pada satu permasalahan saja.
Sebagai analog sebuah cerita wayang lazimnya dipentaskan semalam suntuk,
namun ia juga dapat dipadatkan dalam 2-3 jam dengan fokus pada cerita inti dan
sekaligus mengurangi hal-hal yang “kurang penting”.7
Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek,
ketimbang menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan pada diri tokoh.
Ia lebih tertarik pada penonjolan atau eksploitasi saat-saat kritis revelasi, baik
internal maupun eksternal. Cerpen jarang menggunakan plot kompleks karena
sekali lagi, ia lebih terfokus pada rangkaian peristiwa.8 Seorang penulis cerpen
akan berupaya membuat sebuah peristiwa dalam cerpen lebih meyakinkan.
Suasana dan situasi yang ditampilkan pun akan lebih terpusat.
Tidak jarang penulis cerpen menggunakan sesuatu seperti taktik kejutan untuk
membuat pembaca berpikir dan merespon, misalnya akhir cerita yang tak terduga,
pembukaan tabir secara dramatis, atau jalinan plot yang mengejutkan.9 Hal inilah
yang akan memberikat kesan mendalam serta efek kepada pembacanya hanya
dengan membaca dengan waktu yang sebentar. Cerita pendek pun mempunyai
klasifikasi tersendiri.
Klasifikasi terhadap cerita pendek dapat dilakukan dari berbagai sudut
pandangan; yang umum yaitu berdasarkan jumlah kata dan nilai. Diantara
berbagai cerita pendek, di antaranya ada yang benar-benar bernilai sastra, yaitu
memenuhi norma-norma yang dituntut oleh seni sastra. Disamping itu, ada pula
beberapa yang tidak bernilai sastra, tetapi lebih ditujukan untuk menghibur saja.
Klasifikasi tersebut masing-masing disebut dengan istilah cerpen sastra dan
cerpen hiburan.10
7
Nurgiyantoro, op.cit., h. 13 8
Furqonal Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),h. 33
9
Ibid., h. 34
10
Panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Cerpen yang panjang yang terdiri dari puluhan ribu kata tersebut, barangkali,
dapat disebut juga sebagai novelette. Sebagai contoh misalnya, Sri Sumarah dan juga Bawuk, serta Kimono Biru buat Istri karya Umar Kayam, walau untuk yang kedua terakhir itu lebih banyak disebut sebagai cerpen panjang.11
Berdasarkan pengertian cerita pendek, ciri khusus dapat dibedakan sebagai
berikut:12
a. Cerita utama cerita pendek adalah singkat, padu, intensif.
b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak. c. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian. d. Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang
konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung.
e. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembacanya bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran.
f. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalampikiran pembaca.
g. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja danyang bisa menimbulkan pertanyaan- pertanyaan dalam pikiran pembaca.
h. Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.
i. Cerita pendek harus mempunyai jalan cerita.
j. Cerita pendek harus mepunyai efek dan kesan yang menarik. k. Cerita pendek bergantung pada situasi.
l. Cerita pendek memberikan impresi tunggal. m. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek. n. Cerita pendek menyajikan satu emosi.
o. Jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah
Dapat dikatakan cerpen haruslah singkat dan jelas. Cerpen juga harus
menyajikan suatu emosi cerita sehingga memberikan efek pada pembacanya. Efek
yang ditimbulkan pun berupa efek perasaan serta pikiran.
Cerpen-cerpen karya Martin Aleida merupakan karya fiksi yang mengandung
unsur fakta. Pengarang memasukkan pengalaman dirinya dan orang lain ke dalam
cerpen. pengalaman inilah yang akhirnya menarik perhatian pembaca untuk
membaca karyanya. Dalam waktu singkat saja, pembaca dapat merasakan
pengalaman yang ada dalam karya pengarang.
Di dalam sebuah cerpen terdapat unsur-unsur yang menopang sebuah karya
sastra. Unsur-unsur tersebut ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik
ialah unsur pembangun dari dalam sebuah karya sastra. Sedangkan, unsur
ekstrinsik ialah unsur pembangun dari luar sebuah karya sastra.
Pendekatan intrinsik membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana
peran tokoh, khususnya tokoh perempuan dalam hubungannya dengan situasi
sosial dan lingkungannya.
Unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra, termasuk di sini cerpen antara lain:
1. Tokoh atau Penokohan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh
utama (protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah
tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk
mengimbangi tokoh utama. Penokohan dapat berupa karikatur atau
idealisasi yang abstrak.13 Penokohan adalah pelukisan gambaran yang
jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.14 Tokoh
merupakan pelaku dalam sebuah cerita. Dalam sebuah cerpen, ruang
untuk tokoh tidak terlalu banyak. Dikarenakan ruang yang sempit
dalam cerpen, penokohan tidak akan terlihat terlalu detail.
13
Wellek dan Warren, op.cit., h. 288 14
2. Tema
Tema dapat didefinisikan sebagai “the central thought in literary
work”. Ia adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra. 15 Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra sebagai struktur semantik dan bersifat abstrak yang secara
berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan
secara implisit.16
Tema merupakan garis besar permasalahan yang ada dalam suatu
karya. Tema yang diangkat dalam suatu cerpen biasanya berhubungan
dengan pesan atau amanat yang ingin disampaikan. Tidak jarang tema
yang disampaikan sesuai dengan waktu penulisan karya sastra
diciptakan. Akan tetapi, adapula karya sastra yang diciptakan sesuai
dengan keinginan pengarang dan pengalaman hidupnya.
3. Alur atau Plot
Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah rangkaian cerita
yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin
sebuah cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam sebuah cerita.17 Alur
atau plot merupakan rangkaian perjalanan peristiwa. Rangkaian
perjalan peristiwa berkaitan dengan urutan waktu. Urutan waktu yang
dibuat oleh pengarang dapat tersirat maupun tersurat.
4. Latar
Latar, yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana
terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat
fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar
adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora,
atau ekspresi tokohnya.
h. 75 15
Furqonal Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
16
Nurgiyantoro, op.cit., h. 115 17
Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan
dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak
dapat dikontrol oleh individu.18
5. Gaya bahasa
Gaya bahasa setiap pengarang mempunyai kekhasan tersendiri.
Gaya bahasa merupakan cara pengarang dalam berbahasa untuk
menyampaikan gagasan dalam sebuah karya sastra.
Bahasa adalah bahan mentah sastrawan. Dapat dikatakan bahwa
setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa
tertentu, sepert halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah
marmer yang dikikis sedikit bagian-bagiannya.19
Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah
terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak dan
jiwa penyair, juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dalam
makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan pembawaan
pribadi. Dengan gayanya ia hendak memberi bentuk terhadap apa yang
ingin dipaparkannya. Dengan gaya tertentu pula seorang pengarang
dapatmenekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya,
serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati
pembacanya.20
6. Sudut pandang
Sudut pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya
fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada
hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. 21 Sudut
pandang dapat dikatakan dengan “si pencerita”. Sudut pandang
merupakan tempat yang digunakan pengarang untuk menampilkan
tokoh dalam karyanya.
7. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 22
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan pandangan hidupnya
kepada pembaca. Pembaca dapat mendapatkan pesan yang dapat
diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
B. Citra Perempuan
Citra perempuan dalam karya sastra acapkali menciptakan citra perempuan di
kehidupan nyata. Akan tetapi, dapat terjadi citra perempuan dalam karya sastra
merupakan bayangan dari citra perempuan di kehidupan nyata. Dalam cerpen
Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, terdapat gambaran perempuan yang menarik, karena perempuan digambarkan dengan
kehidupan yang begitu pelik sekaligus dianugerahi kekuatan.
Menurut Altenbernd, citraan adalah gambar-gambar angan atau pikiran,
sedangkan setiap gambar pikiraan disebut citra atau imaji. Gambaran pikiran ini
adalah sebuah efek dalam pikiran yang menyerupai, atau gambaran yang
dihasilkan oleh pengungkapan objek.23
Citraan adalah gambaran-gambaran angan atau pikiran. Setiap gambar pikiran
disebut citra. Citra artinya rupa, gambaran; dapat berupa gambaran yang dimiliki
orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental (bayangan) visual yang
ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar
yang khas dalam karya prosa dan puisi. Citra wanita ialah diambil dari gambaran-
gambaran citraan, yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan,
perabaan, atau pengecapan tentang wanita, karena diantara macam-macam citraan
22
Siswanto, op.cit., h. 162 23
itu citra pemikiran tentang wanita yang dominan, citra wanita dapat disebut juga
sebagai pemikiran tentang wanita. Citra wanita ini erat dengan pengertian citra
diri; citra diri merupakan pengertian yang dapat dihubungkan dengan dua konsep
lain yaitu, self concept dan self image.24
Dapat dikatakan bahwa citra merupakan sebuah gambaran. Citra dapat berupa
kesan mental yang timbul mengenai suatu objek. Berkaitan dengan citra
perempuan dalam sebuah karya sastra, citra perempuan dalam sebuah karya
sepenuhnya menjadi hak pengarang dalam pembentukannya. Citra perempuan
merupakan bentuk gambaran tentang pemikiran perempuan. Banyak sekali karya
sastra tercipta oleh pengarang laki-laki, jadi dapat dikatakan bahwa citra
perempuan juga dibentuk oleh laki-laki dan perempuan menjadikan dirinya hanya
sebagai pembaca tanpa menuntut emosi-emosi perempuan itu sendiri. Citra
perempuan dalam karya sastra dapat menjadi citra umum perempuan sebenarnya.
Oleh karena itu, karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.
Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis,
dan sebagai makhluk sosial, yang beraspek keluarga dan masyarakat. 25 Citra
perempuan dalam sebuah karya sastra dapat terlihat sebagai makhluk individu
yang mempunyai gambaran fisis tertentu. Dalam aspek psikis, perempuan juga
merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, pemikiran, serta aspirasinya
sendiri. Sedangkan sebagai makhluk sosial, perempuan mempunyai citra dalam
aspek keluarga dan masyarakat. Dalam keluarga, seorang perempuan menjadi istri
dan ibu yang nantinya akan mengemban peran dan pekerjaan tertentu. Citra
perempuan yang terbagi ke dalam fisis, psikis, dan sosial akan sangat berkaitan
satu dengan yang lainnya. Aspek fisis perempuan akan mempunyai pengaruh
terhadap perilaku serta psikologinya. Sedangkan pemikiran perempuan tentunya
akan berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, baik dalam aspek keluarga
maupun masyarakat.
24
Ibid, h. 45
25
Citra wanita dalam aspek fisis dan psikis dikonkretkan dalam kerangka sistem
komunikasi sastra, yaitu menempatkannya dalam tegangan antara penyair, teks,
pembaca, dan semestaan.26 Citra fisis wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua
arah, dari penyair sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Kedua-
duanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas
yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tanda-tanda tertentu yang
sudah mapan dalam realitas. 27 Dapat dikatakan bahwa meskipun citra fisis
perempuan dalam suatu karya sastra sepenuhnya adalah hasil kreatif dari
pengarang, namun pembaca mempunyai kesamaan interpretasi dalam melihat fisik
perempuan.
Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu
peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah
bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku
untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Peran dapat berarti seperangkat tingkat
yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat.
Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita.28
Di samping citra wanita dalam keluarga yang tercakup pada citra wanita dalam
aspek sosial, citra wanita dalam masyarakat juga muncul. Sikap sosial adalah
konsistensi individu dalam memberikan respons terhadap objek-objek sosial,
termasuk terhadap pria sebagai pasangan jenis kelaminnya.29
Dapat dikatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran, pikiran, dan
kesan yang ditampakkan oleh perempuan. Gambaran itu meliputi aspek fisis,
psikis, dan sosial. Bagaimana gambaran perempuan dalam suatu masyarakat dan
baik tidaknya gambaran perempuan ketika berperilaku dalam masyarakat juga
terbentuk dari budaya dan masyarakat. Hal inilah yang nantinya akan
menghasilkan stereotip dalam citra perempuan di kehidupan bermasyarakat. Citra
perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dapat terbentuk dari konsep stereotip
26
Ibid, h. 83
27
Ibid, h. 90-91
28
Ibid, 121 29
yang ada. Konsep yang akhirnya menempatkan perempuan dalam suatu posisi
yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan muncul sebagai gambaran dari
efek pikiran tentang perempuan.
Konsep stereotip menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan.
Suatu stereotip terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter
yang dilebih-lebihkan, dan biasanya negatif. „Pen-stereotip-an mereduksi,
mengesensialkan, mengalamiahkan, dan mematri “perbedaan”. 30
Stereotip
merupakan pelabelan negatif terhdap perempuan, kendati lebih bernuansa mitos
daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai
media budaya Indonesia. 31 Pada hakikatnya, stereotip yang ada akan
menimbulkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pun akan
terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam interaksi antara laki-laki
dan perempuan, akan terjadi pemberian posisi yang lebih kuat. Pada akhirnya,
perempuan akan menempati posisi yang berbeda dari laki-laki.
Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada
karena patriarki (pemerintahan ayah), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan
laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial. Dengan
demikian, perempuan bukan inferior karena nature, melainkan karena diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturisasi ke dalam inferioritas. Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman
itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil
dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. 32 Menurut Beauvoir, budaya
patriarkat cenderung menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua
dalam tatanan masyarakatnya. Dengan kata lain, perempuan cenderung untuk
dinomorduakan dalam masyarakat patriarkat. Dalam masyarakat tersebut tubuh
dan identitas perempuan tidak dianggap sebagai suatu yang bebas. Budaya
30
Chris Barker (penerjemah Nurhadi), Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), h. 263
31
Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008), h. 14 32
patriarkat telah menjadikan tubuh perempuan sebagai penghalang untuk
mengaktualisasi, mencipta, dan mentransedensi diri. Dengan begitu rupa, secara
konkret budaya patriarkat membuat perempuan menghidupi tubuhnya bukan
sebagai suatu kekuatan persepsi yang integratif, melainkan sebagai kekuatan asing
yang melawan dirinya, bertentangan dengan dirinya sendiri.33
Konsepsi mengenai gambaran perempuan dibangun oleh budaya yang lahir
sejak dulu. Perempuan cenderung menempati posisi kedua dalam masyarakat.
Posisi di mana dianggap bahwa perempuan inferior sedangkan laki-laki superior.
Hal tersebut tidak hanya didukung oleh sikap superioritas laki-laki. Akan tetapi,
perempuan menjadikan dan menghidupi dirinya sendiri sehingga sesuai dengan
konsep stereotip yang dibangun oleh budaya. Perspektif terhadap perempuan
tersebut akhirnya mengakar dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi konsep
stereotip yang berlebihan, yaitu menganggap perempuan lemah. Citra perempuan
dalam kehidupan sosial erat kaitannya dengan gender.
Citra perempuan berkaitan dengan gambaran mengenai perempuan dalam
kehidupan. Bagaimana ditampakkan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat
berhubungan dengan peran gender yang diemban oleh perempuan. Gender
merupakan atribut, sehingga citra perempuan dapat terlihat oleh atribut tersebut.
Gender masih identik dengan perempuan. Oleh karena itu, persoalan gender
juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender adalah
problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi, dan
relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik kehidupan ranah domestik maupun
publik.34
Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk menunjukkan
feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang
33
Arriyanti, Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra Feminis,
(Padang: Balai Bahasa Padang, 2007), h.13 34
berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin secara biologis. 35 Gender ialah
kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-
laki atau perempuan.36 Gender mengacu kepada asumsi dan praktik kultural yang
mengatur kontruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Gender
adalah konstruk kultural, maka ia tidak digambarkan sebagaimana gambaran
biologi.37 Menurut Karl Marx, yang juga mendapat dukungan Friedrich Engels,
relasi jender yang terjadi di dalam masyarakat sepenuhnya merupakan rekayasa
masyarakat (social construction).38
Konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara
laiki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan
sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah
lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.
Perubahan cirri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat.39
Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian
melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama
sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali tidak ada alasan biologis yang dapat
menjelaskan mengapa para laki-laki harus membusung atau, mengapa perempuan
harus memakai kutek di kakinya, sedangkan laki-laki tidak.40
Kate Millet dan Shulamit Firestone menyodorkan pemikiran gender
kontemporer yang lebih radikal. Dalam Dialectic of Sex Firestone menyatakan
35
Stevi Jacson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.225 36
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007), h.177 37
Barker (penerjemah Nurhadi), op.cit., h. 249 38
Nasarudin Umar, dkk, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 7-8
39
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 8-9
40
bahwa gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan kita dengan kerangka
yang tak terbantah. Pembedaan tersebut adalah bagaimana masyarakat
memandang laki-laki dan perempuan. Dia menyatakan bahwa perbedaan gender
merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi laki-laki.41
Gayle Rubin menyatakan bahwa gender adalah produk relasi sosial berkaitan
dengan seksualitas karena sistem hubungan persaudaraan berdasarkan
perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu ideologi atau sistem
kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan kategori gender
sebagai hal yang sudah mapan.42
Dapat dikatakan bahwa gender merupakan hasil dari konstruksi sosial. Gender
terbentuk karena adanya pengaruh budaya dan masyarakat dan bukan sesuatu
yang kodrati. Gender merupakan atribut yang dibangun oleh masyarakat untuk
laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terjadi ketimpangan antara peran laki-
laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk kedua. Pada akhirnya
gender menghadirkan konsep yang hidup dalam masyarakat. Konsep yang
menganggap laki-laki kuat, sedangkan perempuan lemah. Hal yang sudah
terbangun sejak dahulu itulah, yang menyebabkan peran wanita lebih lemah dalam
masyarakat menjadi hal yang normal. Walaupun pada kenyataannya, sewaktu-
waktu konsep tersebut dapat berubah dan dipertukarkan.
Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga
sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan, sesuatu yang kita
tampilkan. 43 Jadi, dapat dikatakan bahwa gender terbangun karena diajarkan,
dilakukan, dan kemudian dihidupkan selalu.
The hormone puzzle (tokoh-tokoh hormonal) adalah salah satu istilah yang sering disebutkan oleh para pakar jender di dalam menjelaskan hubungan antara
anatomi biologi dan perilaku manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa perbedaan
laki-laki dengan perempuan masih menyimpan beberapa masalah mendasar, baik
41
Humm, op.cit., h.178 42
Humm, op.cit., h. 179 43
dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat.
Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang
timbul sebagai akibat dari perbedaan itu memunculkan perdebatan karena ternyata
perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep
budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut
jender.44
Perbedaan biologis yang terjadi antara laki-laki dan perempuan menimbulkan
berbagai efek. Efek inilah yang akhirnya menjadi berbagai konsep yang dianggap
lazim. Konsep budaya terhadap laki-laki dan perempuan menjadi konsep yang
sudah sangat hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, gender sebenarnya bukanlah
sesuatu hal yang alamiah yang diberikan oleh Tuhan. Gender merupakan sesuatu
yang ditampilkan dalam masyarakat. Namun, kemudian gender dianggap menjadi
sesuatu yang alamiah.
Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena menjadi bagian
dari anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung berkaitan dengan keadaan
sosial budaya masyarakat (genderless). Akan tetapi, secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Begitu
atribut jenis kelamin kelihatan, pada saat itu juga konstruksi budaya mulai
terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki
atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan
hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi, peran, dan status dalam
masyarakat.45
Walaupun secara biologis alat kelamin menjadi bagian yang alamiah yang
dimiliki manusia sejak lahir. Namun, perbedaan jenis kelamin akan memciptakan
perbedaan atribut antara laki-aki dan perempuan. Perbedaan tersebut akan
menentukan peran, status, dan kewajiban dalam masyarakat. Perempuan yang
menyandang peran istri dan ibu secara tidak langsung akan mempunyai kewajiban
wilayah domestik, seperti mengurusi anak, membersihkan rumah, serta kewajiban
44
Umar, op. cit.,, h. 3 45
domestik lainnya. Sebaliknya, laki-laki akan mempunyai kewajiban di luar rumah,
sepperti mencari nafkah.
Tentang seberapa besar peranan perbedaan jenis kelamin (seks) menentukan
perbedaan jender, tidak cukup lagi diterangkan dalam teori nature dan nurture,
tetapi sudah menuntut adanya teori-teori yang lebih canggih sesuai dengan
perkembangan dalam masyarakat, seperti teori psikoanalisi, teori fungsioalis
struktural, teori konflik, berbagai teori feminis, dan teori sosiobiologis. Teori
nature merupakan sebuah teori umum yang beranggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan alamiah, seperti
yang tercermin dalam perbedaan anatomi biologi kedua jenis kelamin tersebut.
Menurut teori nurture, perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor budaya dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini banyak
digunakan ketika isu jender belum dirasakan sebagai suatu fenomena universal
(cross culture).46
Berbagai macam teori tentang gender pun dikemukakan. Pembagian peran
perempuan yang terjadi saat ini bukan dikarenakan faktor biologis semata.
pembagian ini terbentuk turun-temurun dari dahulu karena konstruksi budaya.
Gender telah melahirkan perbedaan peran, status, dan tanggung jawab antara laki-
laki dan perempuan. Hal ini sudah dianggap alamiah dalam masyarakat
sebagaimana perbedaan biologis yang tercipta antara laki-laki dan perempuan.
Gender juga jarang dibicarakan sebab merupakan isu yang secara sosial dan
politik sensitif. Corak gender yang berlaku sekarang seolah tak mungkin diubah
(dianggap merupakan kodrat/alamiah). Menurut Zeindenstein dan Moore,
pengaruh nilai kemasyarakatan yang amat mendalam mengenai seksualitas
individual berasal dari peran gender. Peran gender ditentukan oleh norma dan
46
nilai yang mendasari tanggung jawab dan kekuasaan serta perilaku laki-laki dan
perempuan.47
Pengaruh mendalam yang ada pada budaya dan masyarakat menjadikan peran
laki-laki dan perempuan sudah melekat seakan-akan menjadi suatu yang alamiah.
Peran itupun akhirnya terkotak-kotak. Banyak faktor yang menyebabkan peran
perempuan terkonsep sampai saat ini. Tidak hanya budaya dan masyarakat, agama
pun secara tidak langsung bersinggungan dengan peran gender.
Ketika pemikiran agama terlanjur memberikan legitimasi terhadap sistem
kekerabatan patriarki dan pola pembagian kerja secara seksual, dengan sendirinya
wacana jender akan bersentuhan dengan masalah keagamaan. Selama ini agama
dijadikan sebagai dalil untuk menolak konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Bahkan, agama dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan
langgengnya status quo perempuan sebagai the second sex. 48
Berdasarkan paparan teori tersebut, maka peneliti menggunakan citra
perempuan yang diklasifikasikan oleh Sugihastuti. Citra perempuan terbagi
menjadi citra fisis, citra psikis, dan citra sosial. Selain itu, peneliti juga
menggunakan konsep gender yang terdapat dalam teks.
C. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukakan tidak akan terlepas dari unsur-unsur lainnya.
Sebuah penelitian membutuhkan referensi sebagai acuan untuk menopang
berjalannya penelitian. Berikut adalah hasil penelitian sebelumnya yang terkait
dengan topik penelitian yang akan dilakukan.
Edy Sambodo, Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia, “Citra
Perempuan dalam Novel Jendela-Jendela Karya Fira Basuki”, tahun 2007. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian
mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah
47
Irwan Martua Hidayana, dkk, Seksualitas: Teori dan Realita,. (Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerja sama dengan The Ford Foundation, 2004), h. 55-56
48
berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah tokoh utama
perempuan adalah perempuan yang berani untuk bebas dalam menentukan
pilihannya. Tokoh itu berani untuk mencari tujuan hidupnya yang sebenarnya
merombak stereotip perempuan yang ada. Tokoh ini tidak menampilkan orientasi
untuk menyetarakan gender. namun dari keberaniannya dalam lepas dari stereotip
yang dibentuk oleh kekuasaan patriarkis telah menunjukkan ia adalah sosok
perempuan yang dapat dijadikan contoh bagi perempuan modern.
Silvia arma Indah, Universitas Negeri Medan, Jurusan Bahasa dan sastra
Indonesia dengan judul skripsi Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tanah Tabu
Karya Anindita Thayf: Kajian Sastra Feminis, tahun 2013. Penelitian ini
berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra
perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah berbeda dengan
yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah citra perempuan Papuan dalam
Novel tanah Tabu diwakili oleh delapan tokoh perempuan Papua. Dari kedelapan
tokoh perempuan Papuan inilah analisis citra fisik, citra psikis, dan citra sosial
perempuan Papua terpaparkan. Tinjauan dari segi feminism terhadap citra
perempuan direpresentasikan dalam novel Tanah Tabu ini jelas bahwa di setiap
segi kehidupan, perempuan masih menduduki kelas bawah dan bersifat inferior,
serta pencitraan terhadap diri perempuan masih disampaikan secara negatif.
Dewi hermawati, Universitas Gajah Mada, Jurusan Sastra Indonesia dengan
judul skripsi “Citra Perempuan Suku Dani dalam Novel Etnografi Sali Kisah
Seorang Wanita Suku Dani Karya Linggasari, tahun 2014. Penelitian ini
berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra
perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian berbeda dengan yang
peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah novel etnografi SKSWD mengangkat
problematika hidup perempuan di tengah system patriarki. Tokoh perempuan
dalam novel telah bergerak melakukan tindakan yang memprotes ketidakadilan
gender yang diterimanya, tidak hanya sebatas idea tau wacana feminism.
Peneliti sendiri melakukan penelitian yang berjudul “Citra Perempuan dalam
tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran sastra”. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perempuan dalam karya
sastra. Peneliti akan melakukan penelitian terhadap citra perempuan dalam aspek
fisik, psikis, dan sosial.
D. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra di sekolah sudah diajarkan dari tingkat yang paling
dasar, namun masih terdapat kurangnya pemahaman akan pembelajaran sastra.
Pengajaran sastra dengan tepat, sangat membantu dalam bidang pendidikan di
Negara ini. Dalam pembelajaran sastra di sekolah, cerpen dapat diterapkan pada
tingkat SMA kelas XI semester dua pada pertemuan yang akan membahas
pemahaman pembacaan cerpen.
Namun, masalah yang dihadapi sekarang adalah menentukan bagaimana
pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan
secara utuh. Maka, agar tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai, diharapkan
pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya
meliputi empat manfaat, yaitu:49
1. Membantu Keterampilan Berbahasa
Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berari akan
membantu siswa berlatih keterampilan membaca, menyimak, bicara,
dan menulis yang masing-masing erat hubungannya.
2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Sastra, tidak seperti ilmu kimia atau sejarah, tidaklah
menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan
erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya.
Setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan
semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.
49
Pengajaran sastra, jika dilakukan dengan bijaksana, dapat
mengantar para siswa berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-
pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke
zaman.
3. Mengembangkan Cipta dan Rasa
Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan
adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang
bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta yang bersifat religius.
Karya sastra sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karenanya,
dapatlah ditegaskan, pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar
akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan
kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh
mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat
lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti sesungguhnya.
4. Menunjang Pembentukan Watak
Dalam pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan
sehubungan dengan watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya
mampu membina perasaan yang lebih tajam. Disbanding pelajaran-
pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk
mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup
manusia. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan
bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian
siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian,
dan penciptaan.
Dalam penelitian ini, pembelajaran sastra berfokus pada analisis unsur
intrinsik sastra. dalam menganalisis dan mengapresiasi suatu karya sastra,
diperlukan aspek-aspek dalam keterampilan berbahasa. Adapun empat aspek
dapat menafsirkan suatu teks sastra dengan membaca, agar mendapat pemahaman
yang utuh akan suatu karya. Setelah itu siswa dapat mengungkapkan pemahaman
yang didapatkannya lalu menganalisis dengan menulis.
Pengajaran sastra di sekolah sangat bermanfaat. Adapun tujuan pengajaran
sastra adalah agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga
sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca
karya sastra diharapkan mereka mempunyai pengertian yang baik tentang manusia
dan kemanusiaan, mengenal nilai, dan mendapatkan ide-ide baru.50
Dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah, siswa dapat mempunyai
kepekaan serta mendapakan pengalaman baru. Pengalaman batin saat membaca
dapat membuat siswa mengerti pada nilai-nilai yang tertanam dilingkungaannya.
Selain itu, siswa juga mendapatkan ide-ide baru dan memperbanyak kosa kata
untuk dirinya.
50
BAB III
PROFIL MARTIN ALEIDA
Dalam pengajaran sastra di Indonesia, nama sastrawan Martin Aleida
jarang sekali ditemukan. Oleh karena itu, penulis hanya menemukan profil Martin
Aleida dalam profil penulis di tiap karyanya dan beberapa artikel dari Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
A. Biografi Martin Aleida
Martin Aleida lahir pada 31 Desember 1943 di Tanjung Balai, kota kecil di
pantai timur Sumatera. Ia sudah gelisah dengan politik dan keyakinan sejak
masih kecil. Kesenjangan sosial yang ia lihat, para buruh dan nelayan di
kotanya yang berjuang setiap hari, membentuk ide dan tema untuk setiap
cerita pendek yang ia tulis. Martin berasal dari keluarga Muslim yang kolot,
dengan ayah yang merupakan pemimpin Masyumi (partai politik Muslim),
tapi dikembangkan oleh golongan kiri. Sejak muda, Martin sudah menulis
cerita pendek.1
Martin Aleida merupakan satu dari banyak korban tragedi 1965. Para
korban biasanyan akan mengganti nama untuk mempertahankan hidupnya.
Nama Martin Aleida merupakan pemberian nama oleh dirinya sendiri pada
saat ia menjadi penulis di Horisan tahun 1968. Ayah Martin merupakan
pengagum Martin Luther. Aleida adalah semacam kata seru sebagai tanda
kagum, yang hidup di kalangan penduduk Melayu di pesisir Sumatera Timur
yang sudah berasimilasi dengan para pendatang yang berbahasa Mandailing.
Lalu, kedua kata tersebut dirangkai sendiri olehnya.2
Ia mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di kelas dua sekolah
menengah atas. Cerita-ceritanya antara lain diterbitkan di dua harian yang
1
Bodrek Arsana, Writin As A Testimony , Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 2
Ibid