• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA A. Unsur Intrinsik Cerpen

B. Analisis Citra Perempuan

1. Citra Wanita dalam Aspek Fisis

Citra fisis wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari pengarang sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Kedua- duanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tanda- tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas.67 Citra fisis wanita tidak digambarkan berbeda dengan realitas yang ada.

64

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 40 65

Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 112 66

Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 38 67

a. Cerpen Suara

Dalam cerpen Suara, terdapat tokoh-tokoh yang berperan dalam tokoh perempuan utama yaitu Marwah Juwita. Selain itu, tokoh Juwita sendiri menggambarkan peran dan pandangannya sebagai perempuan. Dalam aspek fisis, citra yang tergambar dalam tokoh Juwita ialah perempuan yang mempunyai suara indah. Juwita juga merupakan sosok ideal sebagai perempuan. Juwita merupakan biduan yang mempunyai suara dan gaya yang dapat membuat orang lain terlena. Keindahan suara Juwita terlihat dalam kutipan berikut.

“Suara dan gayanya menyanyi yang membuat orang terlena, ditambah nasib yang baik, tentu, dengan cepat melambungkan nya ke puncak kesohoran. Kurang dari setahun dia sudah menjadi bintang radio tingkat nasional. Dia menjadi orang yang paling diburu wartawan.”68 Tidak hanya suara dan gaya yang membuat orang terpesona. Juwita juga mempunyai pesona kecantikan yang mempesona. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Matanya, yang bagaikan bintang yang tak kenal redup, dan bibirnya yang sensual bak delima rekah kematangan, menghiasi berbagai majalah. Sungguhpun warna kulit majalah waktu itu cuma hitam-putih, namun tidak mengurangi kejelitaannya.”69

Kutipan tersebut memperlihatkan kecantikan seorang Juwita. walaupun warna kulit majalah pada saat itu masih hitam-putih, namun tidak mengurangi kejelitaan Juwita sedikit pun. Mata Juwita diumpamakan bagai bintang yang tak kenal redup. Bintang memiliki cahaya yang indah, jika mata Juwita digambarkan bagai bintang yang tak kenal redup maka, mata Juwita memiliki cahaya yang terus bersinar. Bibir Juwita diumpamakan delima rekah kematangan. Delima yang merekah kematangan akan berwarna merah. Bibir Juwita yang sensual dengan warna kemerahan menambah pesona kecantikan Juwita.

68

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 30-31 69

Selain itu, nama Juwita pun sudah menopang kejelitaannya. Nama biasanya adalah lambang pengharapan orang tua terhadap anaknya. Pengharapan dalam nama Juwita membawa kenyataan pada fisik Juwita. Kata Juwita sebenarnya berasal dari juita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, juita mempunyai arti cantik; elok. Sedangkan jelita mempunyai arti cantik sekali; elok. Maka, dapat dikatakan bahwa nama Juwita serupa dengan fisiknya yang jelita. Nama Juwita yang berarti cantik ditopang keindahan fisiknya yang cantik pula.

Secara fisis, pernikahan juga menunjukkan bahwa wanita telah memasuki tahap dewasa. Begitu pun yang dialami oleh Juwita. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Sampai datanglah seorang pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya.”70

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa dalam aspek fisis, Juwita tercitra sebagai wanita dewasa. Juwita memasuki jenjang pernikahan dengan seorang dokter. Pernikahan nantinya akan berkaitan dengan aspek psikis dan sosial.

Dalam cerpen ini digambarkan pula sosok Juwita ketika sudah usia renta. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Kaget. Aku tegak. Di depanku berdiri seorang perempuan dengan senyum yang hampir meledak menjadi tawa. Mulutnya mengulum gigi palsu. Gincu merah yang memoles bibirnya tak bisa menyelamatkan ketuaan yang tergurat dengan nyata pada keriput yang bertumpuk di pojok matanya. Walau tua, namun, matanya tetap berbinar.”71

Dalam cerpen Suara, pada tahap awal hanya dicitrakan Juwita sebagai perempuan yang cantik. Nama sekaligus fisik Juwita menggambarkan kecantikan seorang biduan. Namun, ketika ia sudah renta dicitrakan bahwa Juwita menggunakan gigi palsu dan gincu merah untuk menyelamatkan 70

Ibid, h. 32

71

ketuaannya. Secara fisis, wanita merupakan individu yang suka berdandan. Dalam cerpen ini hanya terlihat Juwita berdandan di masa tua. Maka, dapat dikatakan bahwa terdapat citra perempuan sebagai individu yang suka berdandan. Pada cerita awal, saat Juwita baru datang ke Jakarta dari kota kecil di Sumatera, digambarkan sosok Juwita yang begitu jelita. Lalu, pada saat Juwita sudah renta dan mendatangi Pinora di kafe seberang Gedung Kesenian Jakarta, Juwita digambarkan dengan gigi palsu dan gincu merahnya. Hal ini berkaitan dengan Juwita yang telah terlupakan sebagai biduan. Juwita ingin mengingatkan para seniman akan kejayaannya di masa lalu. Dengan cara ia berdandan, dapat diungkapkan bahwa wanita melakukan aktivitas luar untuk menarik perhatian di luar dirinya. Juwita melakukan cara agar ia tetap terihat menarik. Ia menggunakan gigi palsu untuk menutupi giginya yang telah tanggal. Lalu, ia juga menggunakan gincu merah pada bibirnya untuk menarik perhatian.

b. Cerpen Aku Sepercik Air

Tokoh-tokoh dalam cerpen Aku Sepercik Air memiliki peran dalam pembentukan citra pada tokoh Munah. Selain tokoh-tokoh lain, dalam cerpen ini Munah menampilkan pandangan dan perannya di dalam kehidupan. Munah merasakan kekuatan suaminya tidak sebanding dengan dirinya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Aku tahu dia memiliki tenaga yang tak bisa kuduga kekuatannya. Karena itu aku harus menyambung tenaga dengan sebilah kapak.”72

Sadar akan kekuatan dirinya dan kekuatan yang tidak dapat diduga yang dimiliki suaminya. Munah menggunakan sebilah kapak untuk membantu dirinya sendiri. Kesadaran akan kekuatan yang tidak sebanding dengan laki-laki juga terlihat dalam kutipan berikut.

72

“Malam ini adalah malam penghabisan dari usiaku. Sebab dini hari nanti aku akan pergi menggedor rumah si pendosa itu. Begitu pintu dibukakannya, akan kuayunkan kapakku ke mukanya. Tapi, dia tentu jauh lebih kuat dari aku. Senjataku dielakannya, dirampasnya. Dan tibalah maut itu. Kapakku membelah kepalaku sendiri.”73

Secara fisis, tokoh Munah dicitrakan sebagai perempuan yang sadar akan kekuatan yang tidak bisa menandingi laki-laki. Maka itu, Munah menggunakan sebilah kapak untuk membantunya membalas kesewenang- wenangan suaminya. Walaupun masih ada kecemasan dalam diri Munah akan suaminya yang mempunyai tenaga yang lebih kuat.

Peletakkan sebilah kapak pada diri Munah juga menggambarkan citra fisis Munah. Seperti terlihat pada kutipan berikut.

“Sementara itu aku keluar sebentar, mengambil bungkusan kecil berisi sebilah kapak yang kusembunyikan di bawah kios. Senjata itu kuselipkan di stagen, di balik kebayaku., dibawah susuku yang sudah kisut. Kisut karena umurku, kisut karena penderitaan batinku. Aku masuk lagi.”74

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa Munah meletakkan sebilah kapak di dalam selipan stagen, dibalik kebaya, dan dibawah susunya yang sudah kisut. Hal ini menggambarkan bahwa secara fisis, Munah tidak lagi muda. Selain itu, dalam kutipan tersebut dapat dikatakan pula bahwa munah tidak lagi menarik perhatian suaminya karena kondisi fisiknya yang sudah tua.

c. Cerpen Malam Kelabu

Dalam cerpen Malam Kelabu, citra perempuan terletak sepenuhnya pada narasi laki-laki. Tokoh Partini Mulyoharjo dikisahkan oleh Kamalludin Armada dan Carik dari Kelurahan Laban. Dalam aspek fisis, Partini digambarkan sebagai wanita yang belum memasuki jenjang pernikahan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

73

Ibid, h. 103

74

“Dari Partini. Dari tunanganku. Dari anaknya sendiri,” jawab Armada tenang-tenang. “Dia gadis dari daerah ini. Tapi, dia juga berterus- terang. Dia ceritakan seluruh keadaan keluarganya. Terutama dia ceritakan tentang ayahnya.”75

Partini digambarkan akan memasuki jenjang pernikahan setelah Armada datang ke desanya. Partini merupakan tunangan Armada. Sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, Partini sudah menceritakan seluruh keadaan keluarganya, termasuk ayahnya yang merupakan pimpinan PKI.

Selain itu Partini juga dicitrakan sebagai gadis yang manis. Hal ini terlihat dalam percakapan Armada dan Carik.

“Aku yang bagaikan debu terpelanting di jalan mendapat tempat di hatinya. Dia yang mulia, manis, dan suka berterus terang. Tiada pernah aku bertemu dengan wanita tanpa kepalsuan, tanpa kepura-puraan, kecuali dia.

Maaf, aku bukan menggurui Bapak. Kepalsuan dan kepura-puraan wanita terbaca dari cara mereka berdandan. Apalagi kalau mereka berbicara, sifat itu kedengaran jelas.”76

Armada yang menganggap dirinya hanya debu yang terpelanting sangat bersyukur mendapatkan seorang Partini. Secara fisis, Partini digambarkan sebagai gadis yang manis. Citra fisis perempuan yang ditampilkan melalui tokoh Armada, menggambarkan bahwa kepalsuan dan kepura-puraan perempuan terbaca saat perempuan tersebut berdandan. Dapat dikatakan bahwa secara fisis, Partini bukanlah seorang gadis yang sberlebihan dalam berdandan untuk menarik perhatian luar. Partini dicitrakan sebagai gadis tanpa kepura-puraan.

Dalam uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa citra fisis wanita yang digambarkan oleh Martin Aleida diwujudkan ke dalam fisik wanita dewasa. Aspek fisis wanita dewasa tersebut dikongkretkan dari cirri-ciri fisik wanita dewasa seperti menikah. Seperti yang dicitrkan pada tokoh

75

Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, h. 29 76

Juwita dan Munah, sedangkan Partini diceritakan akan memasuki jenjang pernikahan.

Secara fisis, tokoh Munah dalam cerpen Martin Aleida juga dicitrakan sebagai perempuan yang mempunyai tenaga yang berbeda dengan laki- laki. Seperti dalam kutipan terlihat citra fisis Munah yang menganggap laki-laki lebih kuat darinya. Tokoh Munah menganggap dirinya tidak sekuat laki-laki, sehingga Munah memerlukan sebilah kapak untuk menyambung tenaganya.

Sebagai individu, secara fisis tokoh wanita dalam cerpen Martin Aleida juga digambarkan sebagai perempuan yang suka melakukan aktivitas luar. Pada tokoh Juwita, aktivitas luar seperti berdandan dilakukan olehnya untuk menarik perhatian orang lain. Sedangkan pada tokoh Partini yang ditampilkan melalui tokoh Armada, Partini merupakan perempuan yang tidak berlebihan dalam berdandan, karena kepura-puraan perempuan terbaca dari cara ia berdandan.

Dokumen terkait