• Tidak ada hasil yang ditemukan

Citra perempuan dalam karya sastra acapkali menciptakan citra perempuan di kehidupan nyata. Akan tetapi, dapat terjadi citra perempuan dalam karya sastra merupakan bayangan dari citra perempuan di kehidupan nyata. Dalam cerpen

Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, terdapat gambaran perempuan yang menarik, karena perempuan digambarkan dengan kehidupan yang begitu pelik sekaligus dianugerahi kekuatan.

Menurut Altenbernd, citraan adalah gambar-gambar angan atau pikiran, sedangkan setiap gambar pikiraan disebut citra atau imaji. Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang menyerupai, atau gambaran yang dihasilkan oleh pengungkapan objek.23

Citraan adalah gambaran-gambaran angan atau pikiran. Setiap gambar pikiran disebut citra. Citra artinya rupa, gambaran; dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Citra wanita ialah diambil dari gambaran- gambaran citraan, yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan, atau pengecapan tentang wanita, karena diantara macam-macam citraan

22

Siswanto, op.cit., h. 162 23

Sugihastuti, Wanita Di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2000), h. 43

itu citra pemikiran tentang wanita yang dominan, citra wanita dapat disebut juga sebagai pemikiran tentang wanita. Citra wanita ini erat dengan pengertian citra diri; citra diri merupakan pengertian yang dapat dihubungkan dengan dua konsep lain yaitu, self concept dan self image.24

Dapat dikatakan bahwa citra merupakan sebuah gambaran. Citra dapat berupa kesan mental yang timbul mengenai suatu objek. Berkaitan dengan citra perempuan dalam sebuah karya sastra, citra perempuan dalam sebuah karya sepenuhnya menjadi hak pengarang dalam pembentukannya. Citra perempuan merupakan bentuk gambaran tentang pemikiran perempuan. Banyak sekali karya sastra tercipta oleh pengarang laki-laki, jadi dapat dikatakan bahwa citra perempuan juga dibentuk oleh laki-laki dan perempuan menjadikan dirinya hanya sebagai pembaca tanpa menuntut emosi-emosi perempuan itu sendiri. Citra perempuan dalam karya sastra dapat menjadi citra umum perempuan sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.

Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan sebagai makhluk sosial, yang beraspek keluarga dan masyarakat. 25 Citra perempuan dalam sebuah karya sastra dapat terlihat sebagai makhluk individu yang mempunyai gambaran fisis tertentu. Dalam aspek psikis, perempuan juga merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, pemikiran, serta aspirasinya sendiri. Sedangkan sebagai makhluk sosial, perempuan mempunyai citra dalam aspek keluarga dan masyarakat. Dalam keluarga, seorang perempuan menjadi istri dan ibu yang nantinya akan mengemban peran dan pekerjaan tertentu. Citra perempuan yang terbagi ke dalam fisis, psikis, dan sosial akan sangat berkaitan satu dengan yang lainnya. Aspek fisis perempuan akan mempunyai pengaruh terhadap perilaku serta psikologinya. Sedangkan pemikiran perempuan tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, baik dalam aspek keluarga maupun masyarakat.

24

Ibid, h. 45

25

Citra wanita dalam aspek fisis dan psikis dikonkretkan dalam kerangka sistem komunikasi sastra, yaitu menempatkannya dalam tegangan antara penyair, teks, pembaca, dan semestaan.26 Citra fisis wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari penyair sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Kedua- duanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tanda-tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas. 27 Dapat dikatakan bahwa meskipun citra fisis perempuan dalam suatu karya sastra sepenuhnya adalah hasil kreatif dari pengarang, namun pembaca mempunyai kesamaan interpretasi dalam melihat fisik perempuan.

Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita.28 Di samping citra wanita dalam keluarga yang tercakup pada citra wanita dalam aspek sosial, citra wanita dalam masyarakat juga muncul. Sikap sosial adalah konsistensi individu dalam memberikan respons terhadap objek-objek sosial, termasuk terhadap pria sebagai pasangan jenis kelaminnya.29

Dapat dikatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran, pikiran, dan kesan yang ditampakkan oleh perempuan. Gambaran itu meliputi aspek fisis, psikis, dan sosial. Bagaimana gambaran perempuan dalam suatu masyarakat dan baik tidaknya gambaran perempuan ketika berperilaku dalam masyarakat juga terbentuk dari budaya dan masyarakat. Hal inilah yang nantinya akan menghasilkan stereotip dalam citra perempuan di kehidupan bermasyarakat. Citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dapat terbentuk dari konsep stereotip

26 Ibid, h. 83 27 Ibid, h. 90-91 28 Ibid, 121 29 Ibid, h.131

yang ada. Konsep yang akhirnya menempatkan perempuan dalam suatu posisi yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan muncul sebagai gambaran dari efek pikiran tentang perempuan.

Konsep stereotip menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Suatu stereotip terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang dilebih-lebihkan, dan biasanya negatif. „Pen-stereotip-an mereduksi, mengesensialkan, mengalamiahkan, dan mematri perbedaan. 30

Stereotip merupakan pelabelan negatif terhdap perempuan, kendati lebih bernuansa mitos daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia. 31 Pada hakikatnya, stereotip yang ada akan menimbulkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pun akan terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan, akan terjadi pemberian posisi yang lebih kuat. Pada akhirnya, perempuan akan menempati posisi yang berbeda dari laki-laki.

Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki (pemerintahan ayah), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial. Dengan demikian, perempuan bukan inferior karena nature, melainkan karena diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturisasi ke dalam inferioritas. Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. 32 Menurut Beauvoir, budaya patriarkat cenderung menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua

dalam tatanan masyarakatnya. Dengan kata lain, perempuan cenderung untuk dinomorduakan dalam masyarakat patriarkat. Dalam masyarakat tersebut tubuh dan identitas perempuan tidak dianggap sebagai suatu yang bebas. Budaya

30

Chris Barker (penerjemah Nurhadi), Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), h. 263

31

Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008), h. 14 32

Adib Sofia, Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009), h.12

patriarkat telah menjadikan tubuh perempuan sebagai penghalang untuk mengaktualisasi, mencipta, dan mentransedensi diri. Dengan begitu rupa, secara konkret budaya patriarkat membuat perempuan menghidupi tubuhnya bukan sebagai suatu kekuatan persepsi yang integratif, melainkan sebagai kekuatan asing yang melawan dirinya, bertentangan dengan dirinya sendiri.33

Konsepsi mengenai gambaran perempuan dibangun oleh budaya yang lahir sejak dulu. Perempuan cenderung menempati posisi kedua dalam masyarakat. Posisi di mana dianggap bahwa perempuan inferior sedangkan laki-laki superior. Hal tersebut tidak hanya didukung oleh sikap superioritas laki-laki. Akan tetapi, perempuan menjadikan dan menghidupi dirinya sendiri sehingga sesuai dengan konsep stereotip yang dibangun oleh budaya. Perspektif terhadap perempuan tersebut akhirnya mengakar dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi konsep stereotip yang berlebihan, yaitu menganggap perempuan lemah. Citra perempuan dalam kehidupan sosial erat kaitannya dengan gender.

Citra perempuan berkaitan dengan gambaran mengenai perempuan dalam kehidupan. Bagaimana ditampakkan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat berhubungan dengan peran gender yang diemban oleh perempuan. Gender merupakan atribut, sehingga citra perempuan dapat terlihat oleh atribut tersebut.

Gender masih identik dengan perempuan. Oleh karena itu, persoalan gender juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik kehidupan ranah domestik maupun publik.34

Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk menunjukkan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang

33

Arriyanti, Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra Feminis,

(Padang: Balai Bahasa Padang, 2007), h.13 34

berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin secara biologis. 35 Gender ialah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki- laki atau perempuan.36 Gender mengacu kepada asumsi dan praktik kultural yang mengatur kontruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Gender adalah konstruk kultural, maka ia tidak digambarkan sebagaimana gambaran biologi.37 Menurut Karl Marx, yang juga mendapat dukungan Friedrich Engels, relasi jender yang terjadi di dalam masyarakat sepenuhnya merupakan rekayasa masyarakat (social construction).38

Konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laiki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan cirri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.39

Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali tidak ada alasan biologis yang dapat menjelaskan mengapa para laki-laki harus membusung atau, mengapa perempuan harus memakai kutek di kakinya, sedangkan laki-laki tidak.40

Kate Millet dan Shulamit Firestone menyodorkan pemikiran gender kontemporer yang lebih radikal. Dalam Dialectic of Sex Firestone menyatakan

35

Stevi Jacson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer,

(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.225 36

Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007), h.177 37

Barker (penerjemah Nurhadi), op.cit., h. 249 38

Nasarudin Umar, dkk, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 7-8

39

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 8-9

40

Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 5

bahwa gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan kita dengan kerangka yang tak terbantah. Pembedaan tersebut adalah bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan. Dia menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi laki-laki.41

Gayle Rubin menyatakan bahwa gender adalah produk relasi sosial berkaitan dengan seksualitas karena sistem hubungan persaudaraan berdasarkan perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu ideologi atau sistem kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan kategori gender sebagai hal yang sudah mapan.42

Dapat dikatakan bahwa gender merupakan hasil dari konstruksi sosial. Gender terbentuk karena adanya pengaruh budaya dan masyarakat dan bukan sesuatu yang kodrati. Gender merupakan atribut yang dibangun oleh masyarakat untuk laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terjadi ketimpangan antara peran laki- laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk kedua. Pada akhirnya gender menghadirkan konsep yang hidup dalam masyarakat. Konsep yang menganggap laki-laki kuat, sedangkan perempuan lemah. Hal yang sudah terbangun sejak dahulu itulah, yang menyebabkan peran wanita lebih lemah dalam masyarakat menjadi hal yang normal. Walaupun pada kenyataannya, sewaktu- waktu konsep tersebut dapat berubah dan dipertukarkan.

Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan, sesuatu yang kita tampilkan. 43 Jadi, dapat dikatakan bahwa gender terbangun karena diajarkan, dilakukan, dan kemudian dihidupkan selalu.

The hormone puzzle (tokoh-tokoh hormonal) adalah salah satu istilah yang sering disebutkan oleh para pakar jender di dalam menjelaskan hubungan antara anatomi biologi dan perilaku manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa perbedaan laki-laki dengan perempuan masih menyimpan beberapa masalah mendasar, baik

41

Humm, op.cit., h.178 42

Humm, op.cit., h. 179 43

dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang timbul sebagai akibat dari perbedaan itu memunculkan perdebatan karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.44

Perbedaan biologis yang terjadi antara laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai efek. Efek inilah yang akhirnya menjadi berbagai konsep yang dianggap lazim. Konsep budaya terhadap laki-laki dan perempuan menjadi konsep yang sudah sangat hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang alamiah yang diberikan oleh Tuhan. Gender merupakan sesuatu yang ditampilkan dalam masyarakat. Namun, kemudian gender dianggap menjadi sesuatu yang alamiah.

Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena menjadi bagian dari anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat (genderless). Akan tetapi, secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, pada saat itu juga konstruksi budaya mulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi, peran, dan status dalam masyarakat.45

Walaupun secara biologis alat kelamin menjadi bagian yang alamiah yang dimiliki manusia sejak lahir. Namun, perbedaan jenis kelamin akan memciptakan perbedaan atribut antara laki-aki dan perempuan. Perbedaan tersebut akan menentukan peran, status, dan kewajiban dalam masyarakat. Perempuan yang menyandang peran istri dan ibu secara tidak langsung akan mempunyai kewajiban wilayah domestik, seperti mengurusi anak, membersihkan rumah, serta kewajiban

44

Umar, op. cit.,, h. 3 45

domestik lainnya. Sebaliknya, laki-laki akan mempunyai kewajiban di luar rumah, sepperti mencari nafkah.

Tentang seberapa besar peranan perbedaan jenis kelamin (seks) menentukan perbedaan jender, tidak cukup lagi diterangkan dalam teori nature dan nurture,

tetapi sudah menuntut adanya teori-teori yang lebih canggih sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, seperti teori psikoanalisi, teori fungsioalis struktural, teori konflik, berbagai teori feminis, dan teori sosiobiologis. Teori

nature merupakan sebuah teori umum yang beranggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan alamiah, seperti yang tercermin dalam perbedaan anatomi biologi kedua jenis kelamin tersebut. Menurut teori nurture, perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor budaya dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini banyak digunakan ketika isu jender belum dirasakan sebagai suatu fenomena universal

(cross culture).46

Berbagai macam teori tentang gender pun dikemukakan. Pembagian peran perempuan yang terjadi saat ini bukan dikarenakan faktor biologis semata. pembagian ini terbentuk turun-temurun dari dahulu karena konstruksi budaya. Gender telah melahirkan perbedaan peran, status, dan tanggung jawab antara laki- laki dan perempuan. Hal ini sudah dianggap alamiah dalam masyarakat sebagaimana perbedaan biologis yang tercipta antara laki-laki dan perempuan.

Gender juga jarang dibicarakan sebab merupakan isu yang secara sosial dan politik sensitif. Corak gender yang berlaku sekarang seolah tak mungkin diubah (dianggap merupakan kodrat/alamiah). Menurut Zeindenstein dan Moore, pengaruh nilai kemasyarakatan yang amat mendalam mengenai seksualitas individual berasal dari peran gender. Peran gender ditentukan oleh norma dan

46

nilai yang mendasari tanggung jawab dan kekuasaan serta perilaku laki-laki dan perempuan.47

Pengaruh mendalam yang ada pada budaya dan masyarakat menjadikan peran laki-laki dan perempuan sudah melekat seakan-akan menjadi suatu yang alamiah. Peran itupun akhirnya terkotak-kotak. Banyak faktor yang menyebabkan peran perempuan terkonsep sampai saat ini. Tidak hanya budaya dan masyarakat, agama pun secara tidak langsung bersinggungan dengan peran gender.

Ketika pemikiran agama terlanjur memberikan legitimasi terhadap sistem kekerabatan patriarki dan pola pembagian kerja secara seksual, dengan sendirinya wacana jender akan bersentuhan dengan masalah keagamaan. Selama ini agama dijadikan sebagai dalil untuk menolak konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahkan, agama dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan langgengnya status quo perempuan sebagai the second sex. 48

Berdasarkan paparan teori tersebut, maka peneliti menggunakan citra perempuan yang diklasifikasikan oleh Sugihastuti. Citra perempuan terbagi menjadi citra fisis, citra psikis, dan citra sosial. Selain itu, peneliti juga menggunakan konsep gender yang terdapat dalam teks.

Dokumen terkait