• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL MARTIN ALEIDA

A. Biografi Martin Aleida

Martin Aleida lahir pada 31 Desember 1943 di Tanjung Balai, kota kecil di pantai timur Sumatera. Ia sudah gelisah dengan politik dan keyakinan sejak masih kecil. Kesenjangan sosial yang ia lihat, para buruh dan nelayan di kotanya yang berjuang setiap hari, membentuk ide dan tema untuk setiap cerita pendek yang ia tulis. Martin berasal dari keluarga Muslim yang kolot, dengan ayah yang merupakan pemimpin Masyumi (partai politik Muslim), tapi dikembangkan oleh golongan kiri. Sejak muda, Martin sudah menulis cerita pendek.1

Martin Aleida merupakan satu dari banyak korban tragedi 1965. Para korban biasanyan akan mengganti nama untuk mempertahankan hidupnya. Nama Martin Aleida merupakan pemberian nama oleh dirinya sendiri pada saat ia menjadi penulis di Horisan tahun 1968. Ayah Martin merupakan pengagum Martin Luther. Aleida adalah semacam kata seru sebagai tanda kagum, yang hidup di kalangan penduduk Melayu di pesisir Sumatera Timur yang sudah berasimilasi dengan para pendatang yang berbahasa Mandailing. Lalu, kedua kata tersebut dirangkai sendiri olehnya.2

Ia mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Cerita-ceritanya antara lain diterbitkan di dua harian yang

1

Bodrek Arsana, Writin As A Testimony , Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 2

Ibid

setiap hari memuat cerita pendek: Indonesia Baru yang terbit di Medan dan

Harian Rakyat di Jakarta.3

Martin Aleida menjadi jurnalis di Harian Rakyat, salah satu surat kabar paling berpengaruh pada saat itu. Harian Rakyat mengangkat berita yang mencakup “Istana Presiden”. Saat itu, dikenal sebagai “Masa Afiliasi”: surat kabar, kelompok pemuda, dan lembaga sosial lainnya, masing-masing memihak dengan salah satu partai politik. Harian Rakyat dengan PKI, Bintang Timur dengan Partindo, Kompas dengan Partai Katolik, Duta Masyarakat dengan NU, Suluh Indonesia dengan PNI, dst. Alasan inilah yang membuat konflik di antara kelompok besar politik saat itu terjepit, tidak hanya oleh media, tapi juga oleh banyak perkumpulan di Indonesia. Contohnya, setelah peristiwa 1965, anggota, orang yang dicurigai sebagai anggota, sekalipun simpatisan PKI ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Organisasi dibubarkan dan orang-orang yang sekalipun tidak terlibat dalam pergerakan politik juga ditangkap. Martin, satu dari ribuan yang tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara karena kecondongan politiknya.4

Saat itu, setelah meliput Presiden, Martin mengikuti pelatihan jurnalistik di Semarang, kemudian terjadi peristiwa itu. Pendidikan tidak selesai, kacau, dan bubar. Ia masuk lagi ke Jakarta setelah 2 Oktober 1965. Koran sudah ditutup. Semua orang menyelamatkan diri, termasuk Martin. Tapi, ia ditangkap awal 1966. Setengah tahun ia ditahan. Martin termasuk beruntung, ia tidak sampai dipukul, tidak dikirim ke Salemba, atau ke Pulau Buru. Ia ditangkap bersama lima orang lainnya. Temannya, Putu Oka Sukanta babak belur dihajar karena di dalam kantongnya terdapat surat korespondensi dengan teman di LEKRA, lalu dicurigai ada hubungan dengan PKI. Di kantong Martin terdapat surat dari kekasih dan surat wasiat dari orang tua yang mau naik haji. Ia menerima wasiat sebagai anak bahwa akan menerima bagian tanah di sini. Interogatornya menjadi bingung, sebab pada waktu itu

3

Martin Aleida, Leontin Dewangga, (Jakarta:Kompas, 2003), h.230 4

simpatisan PKI selalu dituduh ateis. Lalu Martin menejelaskan bahwa tidak ada hubungan antara agama dengan kepercayaan politik.5

Setelah keluar dari tahanan, apa saja dikerjakan oleh Martin Aleida. Ia menjual bensin di pinggir jalan, berdagang di Pasar Baru dan dikejar-kejar polisi, serta menjadi pelayan di restoran Padang. Setelah kerja serabutan, Martin diberi pekerjaan oleh JS Hadis, Sekretaris Jenderal PWI Pusat dan wartawan Berita Yudha. Ia menjalankan took yang baru buka di Pasar Jembatan Lima dengan gaji waktu itu 250 rupiah per hari. Lalu, Martin meminta izin kepada JS Hadis untuk melamar di majalah yang baru dibuka oleh Goenawan Mohammad (GM). JS menyetujui. Martin masuk ke TEMPO

tanggal 15 Januari 1971 sebelum majalah ini terbit 6 Maret 1971.6

Separuh dari usianya dia habiskan di Jakarta, di mana dia memperoleh pengalaman yang luas, terutama di bidang jurnalistik. Dia mengerjakan

assignment dalam berbagai bidang, namun di kalangan rekan-rekannya dia lebih dikenal sebagai wartawan olahraga dan masalah-masalah kesehatan untuk majalah berita mingguan TEMPO. Dia bekerja di majalah ini selama 13 tahun sebelum mengundurkan diri tahun 1984. Beberapa waktu lamanya dia menjadi kontributor jurnal olahraga BOLA.7

Dia percaya olahraga memberikan kesempatan yang luas bagi seseorang penulis untuk mengasah dan mempertajam kepekaan pada detail dan gerak yang membuat kehidupan ini begitu dinamis. Untuk menemukan “roh”

seorang pelari jarak jauh, dan untuk membuat laporannya lebih hidup, dia turut serta dalam lima lomba marathon yang masing-masing berjarak lebih kurang 40 km.8

Martin Aleida berhenti dari TEMPO karena mula-mula semua sepaham. GM bilang, cita-cita kita dalam jurnalistik sama. Tapi begitu majalah maju,

5

Doddi Ahmad Fauji, Sastra, Kata Martin Aleida , Jakarta: Jurnal Nasional, 2007. 6

ibid

7

Aleida. op. cit.

8

mulailah timbul friksi, dan like or dislike. Waktu diberikan mobil misalnya, itu ditentukan sesuai jabata, bukan fungsi. Syubah Asa misalnya, karena dia dibelikan Hartop, akhirnya harus kekurangan tiap bulan. Martin mulai stress, kemudian mobil hanya dipakai dua hari dalam seminggu karena biaya bensin yang mahal.9

Setelah selesai dari TEMPO, Martin Aleida bekerja setahun di TV NHK

milik Jepang. Selesai dari NHK, ia dipanggil oleh kantor penerangan PBB untuk bekerja di sana. Karena atasan Martin adalah orang Jepang, dan ia pernah kerja di NHK, maka ia dianggap mengerti mentalitas orang Jepang. Ternyata, atasan Martin di kantor berita PBB sangat gila kerja. Tapi, atasannya itu memberikan pelajaran yang luar biasa. Kantor masuk jam 7 pagi, atasannya sudah bekerja. Martin pulang jam setengah delapan malam, atasannya pun masih bekerja. Apa yang dikerjakan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan ia tidak bisa bahasa Indonesia. Hal tersebutlah yag menjadi bagian Martin.10

Martin pensiun dari kantor PBB tahun 2001. Ia pikir sudah terlalu lama bekerja untuk di luar dirinya. Sudah waktunya bekerja bekerja untuk diri sendiri. Ia kembali menulis. Tahun 1969, tiga cerpen Martin dimuat di

Horison. Tapi setelah bekerja di TEMPO, ia tidak bisa menulis lagi. Untuk melatih menulis, saat itu bekerja di TEMPO sangat tepat, karena saat itu banyak penulis. Sebenarnya sejak tahun 1998 ia kembali lagi menulis karena waktunya memungkinkan untuk menulis tema-tema yang ia sukai.11

Berakhirnya kekuasaan yang otoriter selama 32 tahun telah memanggil dirinya untuk menulis cerita-cerita pendek sebagai kesaksian terhadap ketidakadilan maupun kekejaman yang diderita para korban kebengisan kekuasaan, mereka yang malang, yang oleh kekuasaan diharamkan untuk

9

Fauji,. op. cit.

10

Ibid

11

dilukiskan, karena itu berarti mencoreng hasil perburuan pembangunan yang diilhami oleh kerakusan akan kekayaan yang nista: pemberhalaan materi.12

Dokumen terkait