• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA A. Unsur Intrinsik Cerpen

B. Analisis Citra Perempuan

3. Citra Wanita dalam Aspek Keluarga dan Masyarakat

a. Cerpen Suara

Dalam cerpen Suara terlihat biduan yang mempunyai ambisi yang sangat kuat. Namun, pada akhirnya ambisi Juwita terhenti karena menjadi seorang istri. Hal ini menggambarkan citra sosial Juwita dalam berkeluarga. Juwita harus menahan egonya dan tunduk pada suami. Seperti terlihat pada kutipan berikut.

“Sampai datanglah seorang pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temannya. Sang suami bertekad untuk menyembuhan sang istri dari penyakit berkepanjangan. Buat dia, istri adalah segala- galanya. Yang lain harus menyingkir, termasuk ketenaran. Untuk meredam suara-suara yang berdentam-dentam dan memburu-buru dirinya, sang suami memutuskan untuk membawanya ke seorang psikiater. Sejak itu hidupnya menjadi bergantung pada obat. Dan,

perlahan-lahan namanya lenyap bersama menuanya generasi yang menjadi pemujanya.”94

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Juwita harus menyerah pada takdirnya sebagai perempuan yang diperistri oleh laki-laki. Ambisi Juwita yang dulu sangat tinggi harus berakhir dalam tali pernikahan. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan masih berada dalam budaya patriarki yang memiliki ideologi gender. Masih terdapat superioritas laki-laki. Superioritas tersebut terlihat dari kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam hubungan sosial suami istri.

Selain citra sosial dalam keluarga, terdapat juga citra sosial dalam bermasyarakat yang berhubungan dengan citra psikis Juwita. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Tak sampai sebulan dia menjadi pengunjung tetap kafe seniman itu, Marwah menumpahkan perasaannya kepadaku. Katanya, betapa mujurnya nasibku memilih menulis puisi dan bisa berkarya terus sampai kini, ketika usiaku sudah 70 tahun. Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin bisa menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, Cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ. Mereka menyebutkan namanya dengan rasa kagum. Tetapi, para seniman muda tak ada yang menghiraukannya. Di depan anak-anak muda itu, dia merasa lebih rendah dari seorang pelayan.”95 Dalam kehidupannya di masa tua, Juwita yang sudah memutuskan untuk berpisah dengan suaminya karena ia ingin bebas, sudah berbeda dengan masa mudanya. Juwita tak lagi banyak dikenal orang banyak. Ia seringkali menunjukkan bahwa ia pernah menjadi penyanyi tenar akhir tahun 1950-an dengan berbagai arsip yang masih dimilikinya. Namun, usahanya sia-sia, Juwita tak lagi dikenal seniman muda.

94

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 32 95

b. Cerpen Aku Sepercik Air

Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat citra sosial Munah, yaitu citra perempuan yang mempunyai peran dalam masyarakat. Munah merasa mempunyai peran dan tanggung jawab untuk memperbaiki lingkungannya.

Walaupun Munah mempunyai padangan sendiri akan kota besar seperti Jakarta. Munah tetap mempertahankan stereotip yang sudah tertanam dalam masyarakat. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Aku hanya seorang perempuan, seorang istri, dan sudah menjadi adat kebiasaan di daerah kami bahwa istri haruslah mengalahkan pikiran- pikirannya dan tunduk pada suami. Semua kita ingin menjadi manusia yang baik, semua perempuan ingin jadi istri yang setia. Demikianlah akhirnya, aku ikuti suamiku, meninggalkan kota kami dan berlayar kemari, ke Jakarta, ke kota sejuta harapan dalam cerita-cerita yang merayu tadi”96

Kutipan tersebut memperlihatkan citra sosial Munah dalam perannya sebagai istri. Munah masih mempertahankan stereotip yang ada, bahwa seorang istri harus mengalahkan pikiran-pikirannya sendiri dan harus tunduk kepada aturan suami. Munah sebagi istri hanya ingin menjadi istri yang setia menemani suaminya kemanapun pergi. Munah mengalahkan pandangannya akan kota Jakarta yang hanya menyuguhkan sejuta rayuan, karena harus mengikuti suaminya yang tergoda akan rayuan tersebut.

Selain itu, dalam cerpen Aku Sepercik Air ditampilkan citra sosial perempuan sebagai individu yang perlu dinafkahi oleh laki-laki. Laki-laki harus bertanggung jawab atas perempuan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Sekarang anak laki-laki inilah yang menghidupi kami. Aku bangga juga punya anak laki-laki yang sudah sanggup mengambil alih kewajiban orang tuanya yang tak bertanggung jawab. Pada mulanyan

96

tidak tega aku melihat dia mengorbankan badanya untuk memberi makan mulutku dan adiknya. Tapi apalah yang bisa kulakukan.”97 Dalam kutipan tersebut dicitrakan bahwa seorang istri memerlukan tanggung jawab dari seorang suami. Ketika suami tidak mampu lagi bertanggung jawab, digambarkan bahwa anak laki-laki Munah yang menafkahi dirinya dan anak perempuannya. Secara sosial, dapat dikatakan bahwa perempuan berada di bawah tanggung jawab laki-laki sepenuhnya. Walaupun suami tidak lagi menafkahi istrinya. Dalam kutipan, tetap saja digambarkan anak laki-laki yang bertanggung jawab atas ibunya. Dapat ditarik kemungkinan bahwa sepenuhnya perempuan adalah tanggung jawab laki-laki.

Terdapat gambaran pula bahwa, walaupun Munah mengalahkan seluruh pikiran-pikirannya akan kota besar, mengikuti serta tunduk pada suaminya. Munah tetap memiliki angan-angan terhadap kota kelahirannya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Ibu. Semua kita mencintai ibu. Dan kota kelahiran bagiku adalah ibu yang kedua. Dalam angan-anganku, biarlah aku mati tenggelam bersama kotaku itu, kalau suatu ketika nanti Sungai asahan sudah menghendakinya. Atau kalau aku ingin hidup terus bukankah aku bisa menyingkir ke pinggir dan bercocok tanam di sana untuk mendukung hidupku? Aku mengerti gosong yang menggila itu takkan bisa kutaklukan dengan tenagaku yang lemah ini.”98

Munah tetap memiliki angan-angan akan kota kelahirannya. Kecintaan akan kota kelahirannya membuat Munah ingin menghabiskan sisa hidupnya di kota itu. Walaupun Munah harus mengikuti suaminya ke Jakarta, tetapi angan-angan Munah untuk kembali selalu ada.

c. Cerpen Malam Kelabu

Dalam cerpen Malam Kelabu digambarkan juga bagaimana posisi perempuan ketika memasuki kehidupan rumah tangga. Hal ini terkait citra

97

Ibid, h. 103

98

sosial Partini dalam aspek keluarga. Jika nanti Partini menjadi seorang istri, maka Armada sudah membayangkan bahwa tanggung jawab berada penuh di tangannya. Beban yang dipikul oleh seorang istri akan ditanggung oleh sang suami. Hal ini menggambarkan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam kehidupan sosial di ranah rumah tangga. Tanggung jawab yang spenuhnya akan diemban oleh Armada terlihat dalam kutipan berikut.

“Aku kawin. Menjadi kepala rumah tangga. Akulah nanti yang bakal memikul tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan itu, Pak. Beban rumah tangga yang dulu dipikul oleh ayah dan istriku akan kupikul sendiri. Kupikir, di sinilah terletak kebahagiaanku. Memikul tanggung jawab itulah kebahagiaan…”99

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa kebahagiaan seorang suami ialah bertanggung jawab atas istrinya. Dengan kata lain, ketika laki-laki merasa dirinya lebih superior dari perempuan, maka laki-laki akan merasa bahagia. Laki-laki menganggap dirinya mempunyai kekuatan lebih dibanding perempuan.

Sebagai makhluk sosial, Partini yang menyandang sebagai anak dan keponakan komunis harus merasakankan perbedaan di lingkungan masyarakat. Keluarga Partini dikucilkan dan dimusuhi. Bahkan, masyarakat tanpa akal sehat membenci keluaga Partini. Tidak hanya ayah dan pamannya yang menyandang status komunis. Ibu, Partini, dan adik- adiknya yang tidak tahu menahu pun harus menelan kebencian yang diluapkan oleh masyarakat. Sperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Karena akulah orang pertama membawa kabar yang bakal merobek- robek hati saudara. Seminggu yang lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari Yogya, kakak dari Mulyoraharjo. Orang itu di cincang rakyat sampai mati. Rumah dibakar jadi abu.”100

“Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama

99

Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, h. 33 100

terpendam. Hal itu bisa kita maklumi. Pikiran berada di bawah, amarah dan dendam, menjadi raja ketika itu. Partini, ibu dan adik-adiknya jadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi paman mereka, seorang komunis. Seperti juga di daerah-daerah lain, keluarga komunis itu ikut hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.”101

Status sosial Partini yang menjadi anak seorang komunis harus mengalami kemalangan. Perempuan seperti ibu dan Partini yang buta politik harus terbunuh karena mengemban status keluarga komunis. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada kekuatan perempuan saat peristiwa G30S. Sudah menjadi budaya bahwa perempuan itu lemah,. Bukan hanya laki-laki yang melegitimasi sattus seperti itu, namun perempuan itu sendiri menjadikan dirinya terbentu oleh budaya yang ada. Dalam cerpen ini, ibu dan Partini sama sekali tidak melakukan perlawanan dan pilihan lain selain rela nyawanya dihabiskan warga. Partini menganggap sudah tidak ada lagi laki-laki dalam keluarganya yang dapat member kekuatan kepadanya. Jelas terlihat bahwa perempuan akan selalu membutuhkan perlindungan dari laki-laki.

Dari uraian tersebut tercitrakan apek sosial dalam 3 tokoh dalam cerpen Martin Aleida. Ketiga tokoh digambarkan sebagai makhluk sosial yang mempunyai hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan yang kecil, yaitu hubungan antara wanita dan laki-laki. Wanita masih hidup dalam superioritas laki-laki. Citra wanita dalam aspek sosial juga terbentuk dari pengalaman-pengalaman pribadi. Wanita juga berada dalam budaya patriarki, di mana kekuasaan lebih didominasi oleh laki-laki.

Dalam tokoh Juwita dan Munah terlihat bahwa ambisi harus dipendam karena ia hidup dalam budaya patriarki. Suami merupakan sumber kepatuhan yang dimiliki oleh kedua tokoh wanita ini. Sedangkan pada tokoh Partini, politik dapat mempengaruhi kedudukan seseorang dalam

101

masyarakat. Partini dan ibunya tidak mampu melakukan perlawanan karena ayahnya adalah seorang komunis.

Selain itu, pada tokoh Munah dan Partini ditampilkan citra sosial bahwa perempuan adalah tanggung jawab seorang suami. Suami mempunyai kewenangan serta tanggung jawab penuh terhadap istrinya. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan perlu laki-laki yang bertanggung jawab atas dirinya.

Dokumen terkait