• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA A. Unsur Intrinsik Cerpen

3. Alur atau Plot

a. Suara

1. Tahap Pengenalan

Tahap ini adalah tahap peristiwa untuk memperkenalkan tokoh dan latar. Dalam cerpen Suara, alur yang digunakan adalah alur maju. Tahap awal dari segala pengisahan dalam cerpen ini menampilkan tokoh Marwah Juwita dengan suaranya yang indah. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Agaknya tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah dia lakukan untuk membuat suaranya berpetunang, suara yang bagaikan ditumpangi roh yang bisa menambat dan mempesona hati pendengarnya.”24

2. Konflik atau tikaian

Tahapan ini merupakan tahap ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau

23

Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 39 24

drama.25 Tahap konflik dalam novel ini terjadi ketika pernikahan harus menjadi anak tangga terakhir bagi karir Juwita. Juwita yang rela melakukan segala cara untuk menambah kemerduan suaranya akhirnya harus meninggalkan karirnya karena suaminya tidak lagi memperbolehkannya menyanyi. Seperti dalam kutipan berikut.

“Sampai datanglah seorang pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temannya.”26

3. Komplikasi atau rumitan

Tahapan adalah bagian tengah yang mengembangkan konflik. Pada tahap ini terjadi peningkatan konflik sehingga alur cerita meninggi. Komplikasi terjadi ketika Juwita bertemu Pinora, lalu menjadi pengunjung tetap kafe di seberang Gedung Kesenian Jakarta. Seperti dalam kutipan berikut.

“Setelah pertemuan itu, boleh dikatakan Marwah menjadi pengunjung tetap kafe yang terletak di seberang gedung pertunjukan di tepi Kali Ciliwung itu, tempat dimana para seniman dari berbagai bidang sering bertemu.”27

4. Klimaks adalah puncak ketegangan

Klimaks dalam cerpen ini terjadi ketika para seniman muda tidak menghiraukan keberadaan Juwita sebagai penyanyi tenar akhir tahun 1950-an. Seperti dalam kutipan berikut.

“Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, Cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ.”28

25

Aminuddin dalam Dr, Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 159

26

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 32 27

Ibid, h. 34

28

5. Penyelesaian

Tahap penyelesaian merupakan tahap akhir dalam sebuah karya. Tahap penyelesaian terjadi ketika Juwita mengakhiri hidupnya. Juwita yang tidak mampu menerima bahwa dirinya telah terlupakan menjadi putus asa dan mengakhiri hidupnya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Hari ketiga setelah klipping yang dihanyutkan itu kuterima, pelayan kafe menyerahkan sebuah amplop berprangko kepadaku. Di dalam nya terselip dua lembar kertas yang sama seperti kupungut dari permukaan Ciliwung. Bedanya pada kata-kata “Hanya seorang

biduan…,” stabilo merah tua digariskan dengan tegas oleh

tarikan tangan dari seseorang yang menyesali diri.”29

b. Aku Sepercik Air

1. Tahap Pengenalan

Alur yang digunakan dalam cerpen Aku Sepercik Air adalah alur maju. Tahap awal dari segala pengisahan menampilkan tokoh Munah dan kecemasan yang dialaminya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh hidupku kujalani dengan aman dan tenang, tentulah senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakan pikiranku.”30 2. Konflik atau tikaian

Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Konflik dalam cerpen ini terjadi ketika usaha Nizam gulung tikar, lalu ia meninggalkan Munah untuk perempuan lain. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Jatuhnya usaha suamiku ini tiada memberikan pengaruh apa-apa terhadap diriku. Aku tak mengejek dia karena dia 29

Ibid, h. 41

30

gagal. Tak mempertahankan sikapku bahwa biar bagaimanapun janganlah kita meninggalkan kota kelahiran sebagaimana yang pernah kukatakan dulu. Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih bersatu dengan aku dan anak-anak kami. Penyakit lamanya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Agama, menurut pengertiannya, mengizinkan dia mempermadu aku. Tapi, tuhan tentu tidak membiarkan dia menyakiti hatiku.”31

3. Komplikasi

Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah yang mengembangkan konflik. Komplikasi terjadi ketika Munah meminta ijin kepada anak-anaknya untuk menemui Nizam agar membiayai biaya ke Asahan. Fadilla tidak menyetujui ide ibunya untuk menemui sang ayah. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Jangan Ibu! Jangan kesana, ayah hanya akan menghina Ibu. Sepeser pun takkan dia beri. Biarlah aku yang menabung serupiah ke serupiah, sampai kita bertiga bisa pulang. Kan aku sudah bekerja.”32

4. Klimaks

Klimaks adalah puncak ketegangan. Klimaks dalam cerpen ini terjadi ketika akhirnya Munah mendatangi rumah Nizam. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Sesudah lebih kurang satu jam berjalan kaki, aku, Fadilla, dan Lailan hanum sampai di Rajawali, di dekat rumah suamiku. Di depan rumah terdapat empang. Kedua anakku menunggu di atas pematang di seberang rumah.

Pelan tanganku mengetuk pintu. Kuketuk lagi. Kedengaran sepasang kaki mendekat. “Assalamu’alaikum,” seruku. Terdengar jawaban. Pintu dikuakan tangan. Di bawah

31

Ibid, h. 100

32

cahaya lampu yang tergantung di halaman, tampak wajah suamiku yang gagah, tapi menjijikan. Menjijikan!”33

5. Penyelesaian

Tahap penyelesaian dalam cerpen ini terjadi ketika Munah mengambil sebilah kapak di balik kebayanya dan mengayunkannya ke kepala Nizam. Nizam akhirnya terbunuh oleh Munah yang menderita kesewenang-wenangan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Betapa gagahnya dia melangkah menghindari silaunya lampu. Dia membalik sedikit, mencari anbak-anakku itu. Inilah saatnya, hatiku memekik. Kuhunus kapak dari pinggang. Aku rasa seakan-akan ada kekuatan gaib yang membantu tenagaku yang sudah tua ini. Begitu ringan kapak itu dalam genggaman. Kuayun secepat kilat dan bersarang di kepalanya. Dia tersungkur. Dan tak sempat meraung kesakitan.”34

c. Malam Kelabu

1. Tahap Pengenalan

Tahap pengenalan merupakan tahap awal dari segala pengisahan. Tahap pengenalan dalam cerpen Malam Kelabu

menampilkan tokoh Kamalludin Armada dalam perjalanan menuju Soroyudan. Alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah alur maju. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Untuk pertama kali Kamal menginjakkan kaki di situ. Tujuannya Soroyudan. Desa yang dia tak tahu entah berapa jauh dari sini. Kalau berdiri di tebing ini dan menghadap ke timur, di manakah letak desa itu? Dia pun tak tahu. Tapi, Partini Mulyoharjo anatara lain menulis di suratnya beberapa hari yang lalu.”35

33

Ibid, h. 110-111 34

Ibid, h. 112

35

2. Konflik atau tikaian

Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Konflik dalam cerpen ini terjadi ketika Armada bertemu dengan seorang carik dari Kelurahan Laban. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Orang itu memandang Armada dengan mata menghormat. Mata yang juga minta dimaafkan jika keingintahuannya ini menyinggung perasaan. Tapi, apa yang harus dimaafkan, karena rasa ingin tahu bukanlah kesalahan. Air muka dan mata orang itu juga berkata, bahwa dia tak minta jawaban dengan segera. Dia masih ingin meneruskan. Dan, katanya,

“Laban adalah satu kelurahan, Soroyudan termasuk dalam lingkungannya. Aku carik dari kelurahan Laban.”36

3. Komplikasi

Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah yang mengembangkan konflik. Komplikasi terjadi ketika Carik mengetahui bahwa Armada ingin bertemu anak dari Mulyoraharja (Pimpinan PKI di Solo). Hal tersebut terlihat dalamkutipan berikut.

“Mulyoraharjo…..,” ulang carik itu dengan tenang. Setenang permukaan air mukanya sekarang.

“Mengapa?” desak Armada.“Pernah berjumpa dengan dia?” “Belum.”

“Dia orang terkenal. Bukan saja di desanya. Bukan saja di Laban ini. Dia dikenal di seluruh Kabupaten Sukoharjo, malah dikenal sampai ke Kota Solo. Dia pimpinan Partai Komunis Indonesia. Di Solo dia dikenal sebagai pengacara, pembela Barisan Tani Indonesia dalam penyerobotan- penyerobotan tanah. Dia dicintai oleh orang-orang yang dia pimpin. Tapi, dia juga musuh bebuyutan dari rakyat banyak. Dia juga musuhku. Musuhku…. Di pengadiulan dia membela BTI yang menyerobot tanahku. Dia kalah sebelum hakim menjatuhkan vonis. Gerakan Tiga Puluh

36

September meletus. Dia ikut hilang. Dia dihabisi di bacem, dilemparkan ke bengawan seperti bangkai ayam.”37

4. Klimaks

Klimaks adalah puncak ketegangan. Klimaks dalam cerpen ini terjadi ketika Armada mengetahui bahwa kekasihnya, Partini telah dibunuh warga. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam. Hal itu bisa kita maklumi. Pikiran berada di bawah, amarah dan denda, menjadi raja ketika itu. Partini, ibu dan adik-adiknya jadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi paman mereka, seorang komunis. Seperti juga di daerah-daerah lain, keluarga komunis itu ikut hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.”38

5. Penyelesaian

Tahap penyelesaian dalam cerpen ini terjadi ketika Armada memutuskan untuk bunuh diri di jembatan Bacem. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

“Selang beberapa saat, Kammaludin Armada menyelipkan tangan ke balik bajunya. Tiba-tiba dia mencabut sebilah pisau dari pinggang. Menikam lengan kiri, membuat luka panjang memotong urat nadi di pergelangan tangannya. Darah cepat menyembur. Dia rejamkan pisau berdarah itu ke tengkuk, menarik pisau itu ke bawah, memotong urat nadi lehernya, dan melukai tulang iganya. Leher itu koyak. Darah menyembur dari lehernya, menyembur dari lengannya. Dua urat nadi di mana darah mengalirkan hidup sudah putus. Diputus. Tikaman ketiga jatuh di perut. Isi perutnya terjurai keluar. Darah menyembur sejadi-jadinya dari ketiga luka yang menganga itu.”39

37 Ibid, h. 27-28 38 Ibid, h. 36 39 Ibid, h. 41

4. Latar

Latar Waktu

a. Suara

Latar waktu merupakan waktu terjadinya peristiwa yang terdapat dalam cerpen. latar waktu memberikan gambaran pada masa itu. Latar waktu dalam cerpen Suara ialah sekitar tahun 1950- an dan sekitar kurang lebih 50 tahun-an setelah itu.

“Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin bisa menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada satu- dua seniman tua yang kadang-kadang mampir ke situ.”40

b. Aku Sepercik Air

Latar waktu dalam cerpen Aku Sepercik Air ialah masa senja seorang perempuan.

“Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh hidupku kujalani dengan aman dan tenang, tentulah senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakkan pikiranku. Lebih dari empat puluh aku sekarang. Anakku Cuma dua. Yang tertua laki-laki, jadi duda sekarang. Yang satu lagi gadis sedang ranum remaja.41

c. Malam Kelabu

Latar waktu dalam cerpen Malam Kelabu ialah setelah peristiwa G30S/PKI.

“Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama,

40

Martin Aleida, Dendam Perempuan, , h. 36 41

dia merasa khawatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi.”42

Latar Tempat

Latar tempat merupakan lokasi terjadinya sebuah peristiwa dalam sebuah cerpen. Dengan adanya latar tempat, pembaca dapat membayangkan suasana tempat di mana peristiwa berlangsung.

a. Suara

Selat Malaka

Latar tempat dalam cerpen suara antara lain saat Juwita hendak meresapi bagaimana nelayan-nelayan menarik suara, ber-

sinandong, ketika pulang menjelang matahari menyuruk di balik kota.

“Suatu ketika, kota nelayan kami gempar ketika dia bergabung dengan serombongan nelayan dan pergi melaut mendekati pinggang Selat Malaka.”43

Gedung Kesenian Jakarta (GKJ)

Gedung Kesenian Jakarta menjadi saksi akan ketenaran Juwita. Setelah berpuluh-puluh tahun akhirnya Juwita bertemu Pinora di kafe seberang GKJ, kemudian Juwita menjadipengunjung tetap kafe itu.

“Ketika tampil di Gedung Kesenian, presiden republik dan seluruh keluarganya datang menyaksikan.”44

Kali Ciliwung

Kali Ciliwung merupakan kali yang terletak di dekat kafe yang sering dikunjungi Pinora dan Juwita. Di kali ini juga Pinora menemukan kertas peninggalan Juwita.

“Hari ketiga setelah kliping yang dihanyutkan itu kuterima, pelayan kafe menyerahkan sebuah amplop berperangko 42

Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 30 43

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 28 44

kepadaku. Di dalamnya terselip dua lembar kertas yang sama seperti yang kupungut dari permukaan Ciliwung. Bedanya pada kata-kata “Hanya seorang biduan…,” stabile merah tua digariskan dengan tegas oleh tarikan tangan dari seorang yang menyesali diri.”45

b. Aku Sepercik Air

Latar dalam cerpen Aku Sepercik Air antara lain, yaitu:

Jalan Raya Gunung Sahari dan Kali Ciliwung

Di atas tebing Sungai Ciliwung, Munah dan Nizam membangun kios untuk berjualan bensin. Namun sayang, usaha itu tidak berjalan lama. Nizam harus kalah dengan persaingan yang ada, lalu gulung tikar.

“Di tepi jalan raya Gunung sahari, di atas tebing Ciliwung, suamiku mendirikan tempat berjualan bensin.”46 “Langit tiba-tiba kuning menembaga, menyepuh jalan raya, menyepuh puncak-puncak bangunan yang menjulang langit, melamur riak Kali Ciliwung di depan mataku.”47

Jakarta

Jakarta merupakan tempat Nizam mengajak istrinya hidup. Di Jakarta pula lah nasib Munah menjadi lebih menderita.

“Jakarta tersungkup senja, terapit antara keremang- remangan penghujung siang dan pangkal malam.”48

Tanjung Balai

Tanjung Balai ialah tempat asal Munah dan Nizam, namun pada akhirnya Nizam memutuskan merantau ke Jakarta dan Munah sebagai istri harus mengikuti suaminya.

“Dari hulu air Sungai Asahan mengasah kedua tebingnya, menyeret lumpur, pasir dan bangkai dedaunan dan menimbunkannya di depan kota kecil kami, Tanjung Balai.”49

45

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 41 46

Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 100 47 Ibid, h. 96 48 Ibid, h. 96 49 Ibid, h. 97

c. Malam Kelabu

Latar tempat dalam cerpen Malam Kelabu antara lain, saat Armada baru saja tiba di Solo.

Stasiun Kereta Api Balapan dan Mojo, Bengawan Solo

“Satu jam setelah turun di Stasiun Kereta Api Balapan, sekarang Kamaluddin Armada sudah berada di atas tebing Bengawan Solo, di satu daerah bernama Mojo, menunggu perahu tambang yang akan menyeberangkannya ke tebing sebelah sana.”50

Soroyudan

Soroyudan merupakan tempat tinggal Parttini Mulyoraharjo. Tempat yang menjadi tujuan Armada pula, namun menjadi tempat Armada berputus asa.

“Jika jalan ini terus diikuti, tentu akan sampailah aku ke satu gerbang tua, sebagaimana ynag ditulis Partini, dia berbisik di dalam hati. Pintu gerbang itu pastilah pintu Soroyudan, kata hatinya pula.”51

Bacem

Jembatan Bacem merupakan tempat Armada mengakhiri hidupnya. Armada sudah sangat putus asa karena ditinggal oleh Partini. Partini yang menjadi korban karena ayahnya adalah seorang PKI.

“Matahari menghilang ke dalam bumi tiga jam yang lalu. Jembatan Bacem, kira-kira lima kilometer di selatan Soroyudan, mulai sepi.”52

Latar Suasana

50

Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 21 51

Ibid, h. 29 52

Latar suasana atau latar sosial merupakan kehidupan sosial yang terjadi dalam sebuah karya.

a. Suara

Dalam cerpen Suara, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan bangsa Indonesia yang memasuki tahun 2000-an, dimana dapat dikatakan sebagai era moderen. Hal tersebut terlihat jelas dengan usia Juwita yang sudah cukup tua pada tahun itu. Pada masa itu, orang lebih mementingkan dirinya sendiri bahkan melupakan sejarah yang pernah ada. Seperti dalam kutipan berikut.

““Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…”53

b. Aku Sepercik Air

Dalam cerpen Aku Sepercik Air, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan perantau di kota besar. Sebagai perantau, tentulah harus berusaha lebih keras agar dapat bertahan hidup di kota rantauan. Sperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Di tepi jalan raya Gunung Sahari, di atas tebing Ciliwung, suamiku mendirikan tempat berjualan bensin. Sebelum kami datang kemari, sudah berpuluh-puluh kios yang didirikan orang di sepanjang jalan ini. Mereka semua seperti kami, sama-sama pendatang. Sebagaimana orang-orang lain yang memberikan nama untuk usahanya, suamiku pun memberikan sebuah nama yang cocok untuk kios ini, Torsere, yang kira-kira berarti segerelah menjadi emas, atau makmurlah dengan segera.”54

c. Malam Kelabu

53

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 40 54

Dalam cerpen Malam Kelabu, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan bangsa Indonesia peristiwa setelah G30S. Setelah peristiwa G30S, banyak sekali perubahan hidup yang terjadi dalam masyarakat. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, dia merasa khawatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi. Aku membantunya sedikit-sedikit. Tapi, sampai kemanalah kemampuan seorang pedagang kaki lima seperti aku ini. Dia kembali kemari. Berkumpul dengan keluarganya. Di tengah-tengah Ibu dan adik-adiknya yang sudah tak berayah. Alangkah paitnya kepulangan Dik Partini waktu itu. Disambut ibu yang sudah jadi janda, diterima adik-adiknya yang sudah jadi piatu. “55

Dokumen terkait