• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA A. Unsur Intrinsik Cerpen

B. Analisis Citra Perempuan

2. Citra Wanita dalam Aspek Psikis

Wanita sebagai makhluk individu, selain terbentuk dari aspek fisis, juga terbangun oleh aspek psikis. Ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga makhluk psikologis, makhluk yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi. Dengan mengingat aspek fisis dan psikis itu, keduanya ikut mempengaruhi dan menemukan citra perilakunya.77

Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai feminitas. Prinsip feminitas ini dijelaskan oleh Yung sebagai sesuatu yang merupakan kecenderungan yang ada dalam diri wanita; prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut cirri relatedness, receptivity,

77

cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasinya komunal, dan memelihara hubungan interpersonal.78

a. Cerpen Suara

Dalam cerpen Suara, tokoh Juwita sebagai perempuan yang dapat beraspirasi. Seperti dalam kutipan berikut.

“Agaknya tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah dia lakukan untuk membuat suaranya berpetunang, suara yang bagaikan ditumpangi roh yang bisa menambat dan mempesona hati pendengarnya”79

Dengan keindahan suara yang dimiliki oleh Juwita, ia dapat memesona siapapun yang mendengarnya. Dalam kutipan tersebut terlihat aspek psikis Marwah, yaitu pemikiran Marwah untuk berjuang dengan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keindahan suara yang diinginkannya.

“Tak dipedulikannya apa kata orang. Dia kelihatannya hanya mendengar dan mengikuti suara-suara yang selalu bergalau di dalam dirinya. Suara-suara yang tak bisa dijelaskan datang dari mana, namun selalu menggema dan memburunya untuk berbuat sesuatu bagi kemerduan suaranya.”80

Juwita tidak memperdulikan apa kata orang. Suara yang selalu menggema dalam diri menuntutnya untuk melakukan segala cara untuk kemerduan suaranya. Mulai dari mengikuti nelayan yang umumnya laki- laki ber-sinandong, berniat bergabung dalam kelompok paduan suara di gereja walaupun ia anak haji, sampai berniat memakan rio-rio, semacam jangkerik yang bersuara nyaring. Dalam memburu bagi kemerduan suaranya, terlihat bahwa Juwita juga merupakan seorang pemberani. Citra psikis ini terlihat dalam kutipan berikut.

78

Sugihastuti, op. cit., h. 95-96 79

Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 27 80

“Dia hanyut dibawa oleh suara yang berdesakan dari dalam dirinya sendiri dan nekad mengambil keputusan untuk pindah ke Jakarta, mengadu nasib sebagai biduan.”81

Juwita sebagai perempuan berani untuk mengambil sebuah keputusan. Karena pada waktu itu, belum ada gadis yang berniat meninggalkan kota asal untuk keperluan mendesak sekalipun. Akan tetapi, Juwita mampu mendobrak kebiasaan yang sudah ada. Keberanian Juwita juga terlihat jelas saat Juwita bernyanyi seperti para nelayan yang menarik suara, ber-

sinandong ketika pulang. Juwita adalah perempuan pertama yang melagukannya, karena biasanya dilagukan oleh para laki-laki. Keberanian Juwita berhubungan dengan aspek psikisnya dalam melakukan berbagai cara bagi kemerduan suaranya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Dia bukannya benar-benar berniat mau menangkap ikan, tetapi hanya sekedar hendak meresapi bagaimana nelayan-nelayan itu menarik suara, ber-sinandong, ketika pulang menjelang matahari menyuruk di balik kota. Dia terpikat dengan irama sinandong yang dibawakan dengan nada tinggi untuk menitipkan kabar kepada anak-istri lewat angin tentang hasil tangkapan mereka seharian. Lagu itu mulai dilantunkan ketika perahu dikelokkan di tanjung yang kelihatan menjorok dari arus sungai, sekitar dua kilometer dari kota.”82

“Alasan mengapa dia ikut melaut, katanya, karena kelompok kasidah yang berlatih seminggu sekali sudah tak memadai untuk kebutuhan latihannya. Bayangkanlah, bagaimana keras kemauannya mengikuti suara-suara yang muncul dari jiwanya, sehingga dia juga pernah mengutarakan niatnya untuk bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja satu-satu nya yang terdapat di kota kami.”83

Suara-suara dalam pikiran Juwita membuat dirinya tidak terkendali. Sehingga Juwita sempat mempunyai keinginan untuk mengikuti kelompok paduan suara di gereja. Juwita merupakan seorang Melayu dan anak seorang haji. Tidak hanya itu, Juwita juga sempat mempunyai keinginan untuk memakan rio-rio, semacam jangkerik karena mendengar kabar bahwa guru mengaji yang mempunyai suara merdu memakan binatang

81 Ibid, h. 30 82 Ibid, h. 28 83 Ibid, h. 28-29

tersebut. Walaupun keinginan-keinginannya tersebut dibenamnya, ambisi Marwah tidak pernah padam.

Pada akhirnya, ambisi Juwita harus terhenti dalam tali pernikahan. Walaupun Juwita berada dalam superioritas laki-laki. Dalam aspek psikis, citra perempuan dalam tokoh Juwita merupakan sosok individu yang mampu menyampaikan aspirasinya sebagai perempuan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Dari dia sendiri jugalah kuketahui bahwa perkawinannya dengan dokter itu akhirnya kalah juga menghadapi suara-suara yang terus berdesakan dari dalam relung jiwanya. Suara-suara itu tidak mengenal usia. Ketergantungan pada obat penenang ternyata tak kuasa mempertahankan tali perkawinannya. Dia memilih menyerah pada desakan suara daripada terus menjadi seorang istri pingitan.”84

Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa Juwita merupakan perempuan yang berperasaan dan berpikir. Juwita lebih memilih untuk mewujudkan perasaan yang selama ini dipendamnya daripada harus menjadi istri pingitan. Terlihat pula bahwa pada perempuan, aspek untuk memilih tidak hanya terletak pada pikiran akan tetapi menggunakan perasaan juga. Perempuan menggunakan akal sekaligus perasaan dalam memutuskan sesuatu dalam hidupnya.

Terliat pula citra psikis Juwita yang terpukul akan dirinya yang terlupakan oleh para seniman muda. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Ketika itu Teluk Jakarta sedang pasang. Air kali di bawah kakiku mengalir dengan berat. Tiba-tiba aku melihat dua lembar kertas yang putih bersih mengapung diseret air mendekati undakan batu di bawah kafe. Aku bangkit, menuruni undakan batu di bawah kafe. Lembar pertama merupakan foto kopi dari satu halaman penuh majalah Star Weekly tahun 1952, dengan tanggal dan bulan yang sudah terbaca. Walaupun halamannya sudah kabus, namun laporan lengkap majalah itu dari kejuaraan nasional seriosa masih bisa dibaca. Di tengah halaman terpampang foto Marwah Juwita, sang kampiun, dan dua penyanyi yang kurang mujur di kiri-kanannya. Sedangkan pada lembar yang satu lagi, dijepitkan pada klipping tersebut., terbaca tulisan

84

tangan “Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apakah aku. Hanya seorang biduan…”85

Juwita yang merasa sedih akan perjuangannya yang terlupakan, menyesalkan seniman-seniman muda yang tak kenal dirinya. Pinora, teman Juwita sering mengatakan bahwa bangsa ini sering melupakan sejarah. Namun, Juwita tidak mampu lagi hidup sebagai biduan yang terlupakan. Dalam hal ini terlihat bahwa citra psikis Juwita sebagai perempuan yang mempunyai pikiran dan perasaan. Perempuan cenderung menggunakan perasaannya dalam bertindak. Juwita akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena perasaan sedih menjadi biduan yang terlupakan.

b. Cerpen Aku Sepercik Air

Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat aspek psikis yang tercitrakan pada tokoh Munah.

Ketidakpastian wajah alam mini pun melamur-warnai perasaan orang dengan kecemasan, karena satu hari dari usia mereka akan tenggelam ditelan remang senja ini. Remang senja yang kurasakan bagai tangan ajaib, meraba dan meremas-remas hatiku.”86

Dalam kutipan tersebut, terlihat citra psikis Munah. Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa Munah menyamakan pemandangan yang dilihat dengan apa yang dirasakannya. Perasaan yang membuat hatinya merasa di belenggu. Munah merasakan senja itu terjadi pula pada dirinya. Dirinya yang memasuki usia tidak muda lagi.

Munah juga merasakan kecemasan yang melanda tidak dapat dikalahkan oleh dirinya sendiri. Kecemasan yang hanya membelenggu dan

85

Ibid, h. 39-40 86

tidak dapat terlepas darinya. Gambaran tentang kecemasaannya itu pun terlihat dalam kutipan berikut.

“Jika engaku seorang yang berbahagia di atas bumi ini, seorang yang memiliki kekayaan yang menimbulkan iri hati orang-orang yang sengsara, kau juga tak trkecuali diburu kecemasan di senja begini. Hanya saja kau bisa memerangi kecemasan dengan pergi ke tempat pesiar, ke tempat-tempat yang bagus, bioskop-bioskop yang mewah, pantai-pantai hiburan yang merangsang. Di sana tentu dengan gampang kecemasan itu bisa kau kalahkan. Tapi, orang-orang seperti aku ini hanya bisa termenung dan jadi bodoh dalam lamunan mengenangkan kegagalan-kegagalan yang telah kami lakukan siang tadi. Gaduh dengan ratusan pikiran dan rencana yang bakal kami laksanakan esok.

Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakkan pikiranku. Lebih dari empat puluh aku sekarang. Anakku cuma dua. Yang tertua laki-laki, jadi duda sekarang. Yang satu lagi gadis yang sedang ranum remaja.”87

Dalam kutipan tersebut terlihat bagaimana kecemasan yang membuat sengsara diri Munah. Kesengsaraan yang mungkin akan dapat dikalahkan oleh orang lain, namun tidak pada Munah. Nasib Munah yang tidak memiliki kekayaan, membuatnya merasa tidak sanggup mengalahkan kecemasan itu. Munah merasa menyesal akan kehidupan di masa muda, yang akhirnya menyebabkan kehidupaannya sekarang tidak tenang. Kecemasan juga tidak hanya tentang dirinya sendiri. Dalam kutipan tersebut tersirat bahwa Munah mencemaskan kedua anakknya. Mencemaskan anak laki-lakinya yang menjadi duda dan mencemaskan anak gadis yang sedang ranum remaja. Dapat diketahui bahwa ada kecemasan orang tua ketika mempunyai anak remaja, apalagi anak perempuan. Orang tua harus selalu memberikan pengawasan dan pengertian kepada anak remajanya. Karena pada saat remaja, anak-anak mulai ingin mencoba segala hal dengan kondisi yang belum matang dalam pemikiran. Terlihat citra Munah sebagai seorang ibu yang mencemaskan anak-anaknya.

87

Citra sebagai perempuan yang peka pada Munah pula, akan membentuk citra psikis. Seperti dalam kutipan berikut.

“Kemudian menjalar cerita ke tengah-tengah penduduk. Sebenarnya lebih tepat kalau kunamakan rayuan yang muluk-muluk tentang Medan, Singapura dan Jakarta. Tentang Jakarta, demikianlah cerita itu mendongeng; seorang pendatang yang hanya membawa sepasang pakaianyang melekat di tubuhnya bisa menjadi kaya-raya. Pemungut puntung rokok bisa membangunn pabrik rokok kretek. Pendeknya, Jakarta kota sejuta kemungkinan. Orang-orang jadi tergoda oleh rayuan kota-kota harapan ini. Suamiku pun turut gila karena godaan itu.

Orang, jangankan diajak berbuat baik buat sesamanya, berbuat untuk kepentingan dirinya sendiri pun tak mau. Cobalah bayangkan barang sejenak. Andainya penduduk kota yang berbilang ribuan itu saban pagi menjemput segenggam pasir gosong dan menimbunkannya ke tepian, kupikir mata pencahariaan mereka yang sama sekali tergantung pada sungai itu tentulah akan tertolong. Asahan tertolong.”88

Dalam kutipan terlihat bahwa kepekaan Munah akan lingkungaannya membentuk pandangan Munah akan kota-kota besar yang menjadi tempat hijrah warga kotanya. Kota besar yang dianggapnya sebagai kota sejuta kemungkinan. Apapun dapat terjadi di kota seperti Jakarta. Munah pun menganggap suaminya sudah gila karena tergoda dengan rayuan-rayuan yang ditawarkan kota besar.

Kepekaan yang menimbulkan kepedulian Munah pun terlihat dalam kutipan tersebut. Munah menganggap bahwa sekarang rasa peduli orang- orang pun sudah hilang. Tidak hanya peduli untuk kepentingan bersama, peduli untuk kepentingan diri sendiri pun banyak yang sudah hilang dari orang-orang zaman sekarang. Hal tersebut menggambarkan citra Munah dalam aspek psikis, yaitu pemikiran dan perasaan yang dirasakaannya akan lingkungan di hidupnya.

Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat pula citra psikis yang terlihat pada tokoh Munah. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

88

“Jatuhnya usaha suamiku ini tiada memberikan pengaruh apa-apa terhadap diriku. Aku tak mengejek dia karena dia gagal. Tak mempertahankan sikapku bahwa biar bagaimanapun janganlah kita meninggalkan kota kelahiran sebagaimana yang pernah kukatakan dulu. Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih bersatu dengan anak-anak kami. Pengakit lamanya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Agama, menurut pengertiannya mengizinkan dia mempermadu aku. Tapi, Tuhan tentu tidak membiarkan dia menyakiti hatiku.

Saudaraku, (jika engkau seorang istri) adakah siksa dunia yang lebih pedih daripada dimadu? Kalaupun engkau tak percaya akan neraka di akhirat nanti, baiklah. Tapi, di dunia ini? Akan kau rasakan panasnya bara neraka bila satu ketika kau dimadu.

Aku bukan tak mengizinkan dia untuk kawin lagi. Aku mengerti. Aku memahami kebutuhannya. Namun, aku minta diceraikan dan supaya dia mengongkosi aku pulang. Ceraikan dan aku mau pulang. Cuma itu. Tidakkah permintaanku itu masuk akal.”89

Dalam kutipan tersebut terlihat citra psikis yang dialami tokoh Munah. Ia menggambarkan kepatuhannya terhadap suami, walaupun ia tidak ingin pergi ke Jakarta dulu kala. Namun di tengah kesetiaannya, lelaki yang dianggapnya mempunyai suatu penyakit yang melekat, penyakit yang diperbudak birahi telah menyerang suaminya. Munah merasakan penderitaan yang dianggapnya sebagai neraka di dunia. Munah hanya ingin hubungannya berakhir dengan baik.

Walaupun Munah menganggap dirinya sendiri lemah, ia masih mampu berpikir bahwa pengkhianatan suaminya harus dilawan oleh dirinya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Melawan, untuk menghancurkan si pendosa. Aku tahu dia memiliki tenaga yang tak bisa kuduga kekuatannya. Karena itu aku harus menyambung dengan sebilah kapak. Adil bukan? Tetapi, aku tak yakin bahwa aku akan menang dan dia akan menggeletak di ujung kaki istrinya. Barusan saja aku seakan-akan mendapat firasat untuk membatalkan niatku itu. Pergulatan itu hanya akan membawa maut

89

bagiku. Tapi, sekalipun aku akan mati, kesewenang-wenangan suami itu harus kulawan. Aku tak mau berputih mata.”90

Munah merasakan kesewenang-wenangan telah menimpa dirinya. Walaupun ia merasa kekuatannya tidak dapat disandingi dari laki-laki, ia tetap berpikir untuk melakukan perlawanan apapun akibatnya kelak.

c. Cerpen Malam Kelabu

Sebagai tokoh perempuan, secara psikis Partini digambarkan sebagai tokoh yang suka berterus terang. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Dari Partini. Dari tunanganku. Dari anaknya sendiri,” jawab Armada tenang-tenang. “Dia gadis dari daerah ini. Tapi, dia juga berterus- terang. Dia ceritakan seluruh keadaan keluarganya. Terutama dia ceritakan tentang ayahnya. Ayahnya yanga adalah seorang komunis. Dia ceritakan bukan sebagai tanda kagum, tapi sebagai kenyataan buat kupertimbangkan. Dia berterus-terang. Inilah satu sifatnya yang kusenangi. Itu pulalah yang menambah besar cintaku padanya.”91

Partini menjelaskan kepada Armada bagaimana keadaan keluarganya, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Partini pun sudah mengetahui bahwa ayahnya ialah seorang komunis. Pada saat itu, orang-orang tidak ingin terlibat dengan hal yang berbau komunis. Maka, Partini sudah menjelaskan dari awal kepada tunangannya agar menjadi suatu pertimbangan untuk menjalani hubungan ke jenjang selanjutnya.

Pada aspek psikis, Partini juga digambarkan sebagai perempuan yang sangat menyayangi keluarganya. Karena Partini sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang komunis, maka ia yang hidup jauh dari desanya pun khawatir akan keadaan keluarganya saat itu. Kecemasannya itu membuat dirinya harus kembali kepada keluarganya di desa. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, dia merasa

90

Ibid, h. 102 91

kuatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi. Aku membantunya sedikit-sedikit. Tapi, sampai kemanalah kemampuan seorang pedagang kaki lima seperti aku ini. Dia kembali kemari. Berkumpul dengan keluarganya. Di tengah-tengah Ibu dan adik-adiknya yang sudah tak berayah. Alangkah paitnya kepulangan Dik Partini waktu itu. Disambut ibu yang sudah jadi janda, diterima adik-adiknya yang sudah jadi piatu.“92

Kekuatiran Partini yang membuatnya harus kembali ke desa harus disambut dengan kepedihan. Ayah Partini yang seorang PKI akhirnya harus tewas dan membuat Partini dan adik-adiknya menjadi piatu.

Selain itu, aspek psikis yang tergambar dari Partini ialah seorang perempuan yang jujur. Partini tidak pernah berbicara dengan kepura- puraan apalagi mengada-ada. Ia juga digambarkan sangat manis dan mulia. Hal tersebutlah yang membuat Armada jatuh cinta pada Partini. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Aku yang bagaikan debu terpelanting di jalan mendapat tempat di hatinya. Dia yang mulia, manis, dan suka berterus terang. Tiada pernah aku bertemu dengan wanita tanpa kepalsuan, tanpa kepura-puraan, kecuali dia.

“Maaf, aku bukan menggurui Bapak. Kepalsuan dan kepura-puraan wanita terbaca dari cara mereka berdandan. Apalagi kalau mereka berbicara, sifat itu kedengaran jelas.”93

Dari uraian tersebut, dapat diketahui aspek psikis yang digambarkan dalam tiga cerpen Martin Aleida. Dalam aspek psikis, wanita digambarkan sebagai perempuan yang mampu beraspirasi dan mempunyai perasaan, seperti Juwita yang melakukan segala cara agar mempunyai suara indah. Ia berani mengemukakan apa yang dirasakannya. Juwita juga digambarkan sebagai individu dengan aktivitasnya ke luar untuk menarik pihak lain seperti berhias.

Aspek psikis yang tercitrakan pada tokoh Munah, yaitu wanita yang mempunyai sisi feminim. Terlihat bahwa Munah lebih peka dan peduli 92

Ibid, h. 30 93

terhadap lingkungan. Munah juga digambarkan dengan perasaan kecemasannya. Citra fisis yang menganggap dirinya sebagai wanita lebih lemah, mampu dilawan oleh pikirannya sendiri. Sedangkan pada Partini tercitrakan wanita yang mampu beraspirasi dengan segala keterusterangannya. Namun, walaupun wanita mampu beraspirasi, wanita secara psikis menggunakan perasaan pula untuk membuat keputusan. Dalam aspek psikis, ketiga tokoh juga menggambarkan kejiwaan wanita dewasa yang bertanggung jawab, Juwita dan Munah sebagai ibu dan Partini sebagai anak yang mempunyai orang tua. Ketiga tokoh ini mempunyai tanggung jawab masing-masing. Hal lain yang dirasakan oleh kejiwaan wanita ialah sistem patriarki dalam kehidupan mereka. Citra psikis yang tergambar sebagai wanita yang tersudut akibat ideologi gender terlihat pada Juwita dan Munah yang harus menutupi perasaan dan pikirannya, dengan patuh terhadap ketentuan-ketentuan suami.

Dokumen terkait