• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri)

Program bantuan simantri diperuntukkan bagi petani dan program ini pertama kali dicanangkan oleh Gubernur Bali pada tahun 2009. Kegiatan Simantri yang dimaksud dapat mendukung rencana kerja pembangunan daerah dan nasional (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010), yaitu:

a. Mendukung Rencana Kerja Pembangunan Nasional 2009, antara lain: peningkatan kesejahteraan rakyat dan daya saing nasional.

b. Mendukung Pembangunan Nasional 2009, antara lain: percepatan pengurangan kemiskinan dan penataan kelembagaan sistem perlindungan sosial.

c. Mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Bali 2008 – 2013 dengan visi: terwujudnya Bali MANDARA (Maju, Aman, Damai, dan Sejahtera), dengan prioritas percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran dalam rangka pemerataan kesejahteraan. d. Mengembangkan empat pilar keterkaitan dalam mengembangkan simantri

yaitu : (1) keterkaitan kelembagaan merupakan pilar utama; (2) keterkaitan horizontal dalam bentuk diversifikasi usaha pada tingkat usaha tani dengan mengintegrasikan tanaman dan ternak serta komoditi lainnya yang dikelola tanpa limbah; (3) keterkaitan vertikal yang mampu menciptakan nilai tambah dalam pola pengembangan agro-proses dan agro-industri; (4) keterkaitan

(2)

7

regional dengan memanfaatkan keunggulan komperatif dan kompetitif melalui perwilayahan komoditas dan cabang usaha yang berdaya saing tinggi dalam era menghadapi pasar bebas.

Tujuan dikembangkannya program tersebut adalah untuk mendukung berkembangnya diversifikasi usaha pertanian secara terpadu dan berwawasan agribisnis, sebagai salah satu upaya menekan kemiskinan, pengurangan pengangguran, mendukung pembangunan pertanian ramah lingkungan mewujudkan “Bali Organik” serta visi “Bali Mandara”, menciptakan lapangan perkerjaan dan tambahan sumber pendapatan melalui integrasi tanaman-ternak dengan kelengkapan: unit pengolah kompos, pengolah pangan, instalasi bio urine dan biogas serta pemanfaatan pupuk organik padat maupun cair hasil pengolahan limbah simantri pada pengembangan pangan dan perkebunan; meningkatkan pendapatan petani pelaksana minimal 2 (dua) kali lipat dalam 4-5 tahun ke depan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Dalam menentukan sasaran tersebut, ditetapkan kriteria lokasi kegiatan yaitu desa yang memiliki potensi pertanian dan memiliki komoditas unggulan dan terdapat gabungan kelompok tani (gapoktan) yang mau dan mampu melaksanakan kegiatan simantri.

Simantri Pejeng Kangin merupakan Simantri yang dikelola oleh Poktan Andog yang tergabung dalam Gapoktan Buana Sari. Gapoktan Buana Sari terdiri dari kumpulan 8 poktan (kelompok tani ternak), yaitu: Poktan Andog, Poktan Siang Cuka, Poktan Jero Kuta, Poktan Pangsut, Poktan Umalawas, Poktan Umakuta, Poktan Umadawa, Poktan Sampan, sedangkan Simantri Pejeng Kelod merupakan Simantri yang dikelola oleh poktan Sawa Gunung. Gapoktan Sri Sedana Mumbul yang terdiri

(3)

8

dari gabungan 5 poktan, yaitu: Poktan Gepokan, Poktan Gepokan Bawah, Poktan Sawa Gunung, Poktan Kelusu, Poktan Suganti.

2.2 Penerapan Sapta Usaha Ternak Sapi dalam Program Simantri

Dalam program simantri di lokasi penelitian dipelihara sapi bali perbibitan dengan menggunakan teknologi sapta usaha ternak sapi Bali Perbibitan adalah teknik atau cara beternak yang baik dengan cara memilih bibit indukan yang berkualitas, pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan fisiologis, perkandangan yang sehat, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi pengelolaan pasca panen, dan pemasaran atau manajemen usaha pemasaran.

2.2.1 Bibit sapi bali

Dinyatakan oleh Hardjosubroto, (1994) Sapi Bali mempunyai ciri-ciri khusus antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam. Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis hitam yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak

congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu

membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada yang betina bentuk tanduk yang ideal yang disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke

(4)

9

bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam.

Ciri-ciri bibit jantan yang baik yaitu: pertumbuhan bagus, skrotum tumbuh dengan baik dan testisnya dua buah, warnanya coklat mengkilap, sehat dan lincah, tidak cacat, berasal dari induk dan pejantan yang baik. Ciri-ciri betina yang baik yaitu: pertumbuhan bagus, ambing besar dan elastis, puting dua pasang, sehat dan tidak cacat, berasal dari induk dan pejantan yang baik.

Sapi yang dikembangkan dalam program simantri adalah perkembangan bibit ternak sapi betina produktif yang bertujuan untuk menambah populasi ternak di desa atau lokasi tersebut. Selain itu pengembangan sapi dalam kandang koloni dapat melestarikan kemurnian sapi bali. Kandang koloni untuk 20-24 ekor sapi bali dibangun dengan ukuran yang sesuai dengan spesifikasi teknis dari Dinas Peternakan. Sistem pemeliharaan oleh kelompok simantri ada bermacam-macam seperti ada yang dikelola langsung oleh kelompok, ada yang dipelihara perorangan dengan sistem kadas, sistem persentase. Ternak sapi yang dikembangakan dalam simantri di Pejeng kangin dan kelod dikatagorikan cukup baik. Berdasarkan pengamatan, sapi yang di pelihara di simantri tersebut bobotnya tinggi (rata-rata 350 kg), ambing besar dan elastis, sehat dan tidak cacat.

2.2.2 Perkandangan

Tatalaksana perkandangan merupakan salah satu faktor produksi yang belum mendapat perhatian dalam usaha peternakan sapi potong khususnya peternakan rakyat. Konstruksi kandang yang belum sesuai dengan persyaratan

(5)

10

teknis dapat mengganggu produktivitas ternak, kurang efisien dalam penggunaan tenaga kerja dan berdampak terhadap lingkungan sekitarnya. Kondisi kandang yang tidak leluasa, tidak nyaman dan tidak sehat akan menghambat produktivitas ternak. Beberapa persyaratan yang diperlukan dalam mendirikan kandang antara lain (1) memenuhi persyaratan kesehatan ternak, (2) mempunyai ventilasi yang baik, (3) efisien dalam pengelolaan (4) melindungi ternak dari pengaruh iklim dan keamanan seperti pencurian (5) serta tidak berdampak buruk terhadap lingkungan sekitarnya. Konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama, penataan dan perlengkapan kandang hendaknya dapat memberikan kenyamanan kerja bagi petugas dalam proses produksi seperti memberi pakan, pembersihan, pemeriksaan birahi dan penanganan kesehatan. Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroklimat, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak.

Perkandangan merupakan suatu lokasi atau lahan khusus yang diperuntukkan sebagai sentra kegiatan peternakan yang di dalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan penunjang (kantor, gudang pakan, kandang isolasi) dan perlengkapan lainnya (Sugeng, 1998). Kandang sapi terdiri atas kandang untuk sapi induk, kandang pejantan, kandang pedet serta kandang isolasi (Williamson dan Payne, 1993). Kandang sapi induk dewasa dan sapi dara yang telah berumur lebih dari satu tahun dan mempunyai bentuk dan ukuran yang sama dengan induk memerlukan kandang dengan ukuran panjang 1,6 m dan lebar 1,35 m (Siregar, 1995). Kandang adalah tempat yang disediakan bagi ternak untuk istirahat, makan, tidur,

(6)

11

perlindungan dari terpaan angin, sengatan sinar matahari, hujan, dan kegaduhan lingkungan, kemudian pengelolaan seperti pemberian pakan, minum, pengawasan kesehatan, keamanan, kebersihan lingkungan dan memberi keamanan.

Penerapan komponen perkandangan sapta usaha ternak teridentifikasi belum memadai dari segi kriteria bentuk dan ukuran kandang serta perlengkapan kandang. Petani yang tergabung dalam sistem kandang koloni masih menyimpan keraguan tentang berkelanjutan sistem tersebut. Mereka lebih terbiasa memelihara sapi secara terpencar tanpa dibalut aturan main yang membatasi ruang geraknya.

2.2.3 Manajemen pakan

Pemberian pakan pada induk sapi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya adalah dihasilkannya berat badan yang optimal yang dibutuhkan pada saat menjelang perkawinan pertama. Kelebihan ataupun kekurangan akan dapat merugikan fungsi reproduksi baik pada induk muda maupun induk tua. Kerugian tersebut dapat berupa ternak steril maupun terjadinya siklus estrus yang tidak teratur. Pola pemberian pakan pada usaha peternakan rakyat yang terkesan seadanya, terlebih pada musim kemarau yang memberikan rumput dalam jumlah yang sangat terbatas tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak (Ranjhan, 1981). Yusran,dkk. (1998) menginformasikan bahwa kebutuhan protein pada induk sapi pada usaha peternakan rakyat hanya terpenuhi 55-65% dari standar NRC. Semakin sulitnya penyediaan pakan berkualitas oleh peternak, antara lain disebabkan karena luas lahan untuk penanaman hijauan semakin sempit sedangkan harga pakan konsentrat semakin mahal maka sebagai upaya efsiensi maka pakan yang digunakan adalah yang sesuai dengan potensi daerah terutama limbah pertanian.

(7)

12

Limbah pertanian pada umumya nilai nutrisinya rendah (misalnya jerami) namun ada pula yang nilai nutrisinya masih tinggi (misalnya dedak, molasses, daun ketela), Yang nilai nutrisinya rendah banyak digunakan sebagai sumber serat sedang yang bernilai gizi tinggi digunakan sebagai sumber energi dan protein (Schiere, 1987).

Bahar dan Rakhmat (2003) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi Bali yang digembalakan dengan pakan hijauan lokal pada musim kemarau berkisar antara 0,05-0,1 kg/ekor/hari, sedangkan pada musim hujan antara 0,2-0,4 kg/ekor/hari, sehingga untuk meningkatkan produktivitas sapi Bali khususnya di musim kemarau perlu pemanfaatan secara maksimal limbah pertanian seperti jerami padi, jerami kacang dan jerami ubi jalar, serta pemanfaatan daun leguminosa untuk perbaikan nutrisi ternak.

2.2.4 Pengendalian Terhadap Penyakit

Hamson dan Hamson (1983) menyatakan bahwa model penanganan penyakit disesuaikan dengan situasi sebenarnya dan alami dan setiap orang yang terlibat harus menyadari kegunaan data yang dikumpulkan sehingga hasilnya bermanfaat untuk pengendalian dan pemberantasan penyakit. Sanitasi merupakan usaha menjaga kesehatan melalui kebersihan agar ternak bebas dari suatu infeksi penyakit baik bakteri, virus dan parasit antara lain : (a) Menjaga kebersihan dengan mencuci peralatan kandang, (b) Kebersihan kulit ternak yang dipelihara, (c) Menjaga kebersihan di dalam dan di luar kandang, (d) Mengubur dan membakar bangkai, (e) Kebersihan petugas, dan (f) Kebersihan pakan dari kandungan racun (Sugeng, 1998). Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan ternak dengan

(8)

13

menggunakan tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit. Sanitasi dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan kebersihan ternak.

Kebersihan harus selalu dijaga, kotoran sapi harus selalu dibuang pada tempat yang telah disediakan, genangan air dalam kandang harus dikeringkan untuk menghindari berkembang biaknya kuman, bakteri maupun jamur dan diupayakan tidak ada lalat atau serangga lain yang dapat menggangu ternak di kandang (Siregar, 2000). Lebih lanjut dinyatakan ternak dimandikan minimal satu kali sehari atau dua kali sehari apabila tersedia air, sapi sangat perlu dimandikan pada pagi hari karena biasanya pada malam hari telah penuh dengan kotoran yang menempel pada tubuhnya. Kebersihan kandang dan ternak harus selalu diperhatikan demikian juga dengan peralatan yang digunakan seperti sekop, ember, sarung tangan dan peralatan lainnya agar ternak tidak terserang penyakit (Bandini, 1999).

2.2.5 Pengelolaan produksi

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994). Produktivitas sapi biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978). Wodzicka-Tomaszewska et al. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efisiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efisiensi reproduksinya. Menurut Djanuar (1985) bahwa produktivitas sapi perbibitan dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya,

(9)

14

namun dalam prakteknya adalah kombinasi antara kedua alternatif di atas. Yang termasuk dalam komponen performans produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan.

2.2.6 Pasca panen

Pemerintah juga telah berupaya untuk meningkatkan mutu genetik ternak sapi bali antara lain melalui seleksi yaitu program pengembangan pusat perbibitan ternak di daerah perdesaan (“village breeding centre”), sedangkan untuk pengembangan usaha peternakan sapi bali, pemerintah menerapkan pola pengembangan peternakan rakyat melalui dua model, yaitu Pola Swadaya dan Pola Kemitraan. Pola swadaya merupakan pola pengembangan peternakan rakyat yang mengandalkan swadaya dan swadana peternak, baik secara individu maupun kelompok, sedangkan pola kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai plasma. Dijelaskan pula bahwa dalam kerjasama atau kemitraan ini, seluruh kegiatan pra-produksi, produksi hingga pasca produksi dilakukan dengan kerjasama antara plasma dan inti (Bank Indonesia, 2003).

(10)

15

2.2.7 Pemasaran dan manajemen usaha pemasaran

Pemasaran dianggap efisien apabila mampu menyampaikan hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya murah. Tinggi rendahnya margin pemasaran dan bagian yang diterima peternak merupakan indikator dari efisiensi pemasaran, semakin rendah margin pemasaran dan semakin besar bagian yang diterima peternak, maka sistem pemasaran tersebut dikatakan efisien (Mubyarto, 1995). Yusuf dan Nulik (2008) menyatakan bahwa margin pemasaran adalah perbedaan harga yang diterima peternak dengan pedagang dalam pemasaran ternak potong. Keuntungan yang diterima oleh masing-masing pedagang berbeda-beda tergantung dari tingkat usahanya. Sistem pemasaran dikatakan efisien apabila dapat memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada semua pelaku pemasaran yang terlibat yaitu peternak, pedagang perantara dan konsumen akhir (Azzaino, 1983).

Untuk menangani pemasaran perlu dibentuk kelompok petani peternak, semua rencana kelompok diarahkan secara terbuka dan administrasi organisasi dilaksanakan secara tertib dan teratur (Anonimus, 1987).

2.3 Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sapta Usaha Ternak Sapi

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi yang akan dibahas berikut ini adalah umur, tingkat pendidikan, intensitas komunikasi, pengetahuan, sikap dan keterampilan.

(11)

16 2.3.1 Umur

Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan faktor umur dan usia kerja sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi baru. Petani muda akan lebih cepat mengadopsi suatu inovasi, karena mereka lebih berani menanggung risiko. Selanjutnya Soekarwati (1988) menyatakan makin muda petani, biasanya mempunyai semangat ingin tahu apa yang belum mereka ketahui. Karenanya mereka ingin berusaha lebih cepat melakukan adopsi inovasi, walaupun sebenarnya mereka belum berpengalaman dalam hal adopsi tersebut dari pada mereka yang setengah tua. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Suparta (1992) bahwa pada usia kerja produktif petani memiliki semangat dan kemampuan yang lebih tinggi untuk menerapkan teknologi usaha tani yang menguntungkan.

Lionberger dan Gwin (1960) menyatakan bahwa semakin tua petani (di atas 50 tahun) biasanya semakin lamban mereka mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini diperkuat oleh Sari, dkk (2009) bahwa variabel umur berpengaruh negatif terhadap kecepatan adopsi, hal ini menunjukkan orang yang muda umurnya lebih inovatif dari pada mereka yang berumur lebih tua.

Hasil penelitian Lestari, dkk (2009) menunjukkan umur peternak yang produktif mempengaruhi kemampuan fisik dan pola pikir sehingga sangat potensial dalam mengembangkan usaha ternaknya. Jika petani tergolong pada umur produktif (25-45 tahun), maka dapat dikatakan bahwa proses penerimaan (“adoption”) cukup baik bila dibandingkan dengan umur yang lebih muda atau yang lebih tua. Jadi umur

(12)

17

petani peternak mempengaruhi tingkat penerapan petani peternak dalam menerapkan suatu inovasi.

2.3.2 Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan (Gonzales, 1988). Holle (2000) menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku. Proses pembentukan watak terjadi karena adanya interaksi antara potensi yang dimiliki seseorang, lingkungan dan pendidikan. Lebih lanjut, Lumentha (1997) menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengembangan kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Pendidikan formal maupun non formal merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan formal seseorang yang semakin tinggi semakin cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan dapat mempercepat cara berpikir seseorang (Lumentha, 1997). Pendidikan non formal dapat dilakukan sebagai usaha untuk menambah wawasan, pengalaman, keterampilan dan pengetahuan. Pendidikan ini dapat berupa seminar-seminar, kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan.

(13)

18 2.3.3 Intensitas komunikasi

Effendi (2002) mengemukakan bahwa komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan aktivitas komunikasi merupakan semua aktifitas yang ditunjukkan untuk memperoleh informasi (Siahaan, 2002). Intensitas komunikasi adalah banyaknya kontak komunikasi yang terjadi di kalangan petani ternak (Rogers dan Shoemaker, 1971). Intensitas komunikasi akan mendukung kebersamaan pengertian dan menyebabkan terjadinya tindakan yang sama. Rogers dan Kincaid (1981) menyatakan bahwa intensitas komunikasi cenderung berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani. Selanjutnya dikatakan bahwa pertemuan yang dilandasi oleh adanya pribadi yang erat akan memperbaiki interaksi komunikasi, sehingga petani lebih termotivasi untuk meniru dan menerapkan teknologi. Intensitas komunikasi berhubungan dengan tingkat interaksi petani dengan seseorang dalam menunjang keberhasilan usahanya. Semakin besar jumlah responden dalam kategori yang rendah frekuensi interaksi dengan penyuluh, berarti rendah tingkat persepsinya karena terbatasnya kemampuan dan kesempatan peternak untuk berinteraksi dengan penyuluh.

2.3.4 Pengetahuan

Menurut Wahyu (1986) pengetahuan merupakan produk dari kegiatan berpikir manusia. Di lain pihak Soedijanto (1980) menyatakan bahwa pengetahuan petani sangat menunjang kelancaran petani dalam mengadopsi sesuatu inovasi untuk kelanggengan usaha taninya. Lebih lanjut Lunadi (1987) mengemukakan bahwa

(14)

19

petani melakukan sesuatu, setelah ia memperoleh pengetahuan tambahan tentang inovasi dan dibarengi dengan penyediaan material yang mendukungnya.

Pengetahuan seseorang tentang suatu inovasi serta sikapnya terhadap inovasi menentukan kesiapan seseorang untuk melaksanakan inovasi tersebut. Dengan demikian adanya pengetahuan yang memadai, serta sikap yang lebih positif lebih bisa diharapkan dari seseorang untuk menerapkan suatu inovasi (Sutrisna dan Nuraini, 1987). Berdasarkan uraian di atas maka pengetahuan petani peternak terhadap suatu inovasi sangat menunjang dalam mengadopsi inovasi tersebut.

2.3.5 Sikap

Sikap seseorang terhadap inovasi pada umumnya digunakan untuk memprediksi perilaku berkenaan dengan inovasi tersebut (Krech, 1962, Rogers dan Shoemaker, 1971, serta Effendi dan Praja, 1984). Menurut Williams (1977) sikap adalah kesiapan seseorang atau individu merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap obyek atau situasi. Sikap tumbuh karena stimulus yang terbentuk dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebudayaan. Sedangkan menurut Sarwono (2010) sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. Sesuatu itu bisa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok.

Ma'rat (1981) menyatakan bahwa sikap merupakan produk dari proses sosialisasi jika seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Sikap merupakan kumpulan dari proses berpikir, keyakinan dan pengetahuan. Lebih lanjut

(15)

20

Mar'at (1981) dan Munandar (1986) menyatakan bahwa sikap mempunyai tiga komponen antara lain:

a. Kognitif, seseorang memiliki pengetahuan mengenai obyek, terlepas dari pengetahuan benar atau salah.

b. Afektif, sikap akan selalu mempunyai evaluasi emosional mengenai obyek, terlepas dari setuju atau tidak setuju.

c. Konatif, kecenderungan bertingkah laku menerima atau menolak bila bertemu dengan obyek.

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa petani kecil lamban mengubah sikapnya terhadap perubahan. Hal ini karena sumberdaya yang mereka miliki khususnya lahan terbatas, sehingga mereka sulit untuk mengubah sikapnya dalam menerapkan inovasi. Mereka kawatir kalau hal ini ternyata gagal, akan menyulitkan mereka mendapatkan atau mencukupi kebutuhan anggota keluarga mereka.

Sikap dan kepercayaan merupakan faktor yang ikut mempengaruhi pandangan dan perilaku petani di dalam menerima suatu inovasi (Swasta, 1987). Selanjutnya Rahmat (1986) menyatakan bahwa penyesuaian terhadap sikap terhadap perkembangan teknologi merupakan satu-satunya faktor yang terpenting untuk mendorong dan mengembangkan perkembangan ekonomi masyarakat perdesaan. Jadi sikap umumnya digunakan untuk memprediksi perilaku petani peternak berkenaan dengan inovasi tersebut, melalui respon yang diberikan baik itu respon positif maupun respon negatif dan proses pembentukan sikap dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebudayaan.

(16)

21 2.3.6 Keterampilan

Keterampilan adalah serangkaian gerakan otot yang menyelesaikan tugas dengan berhasil. Keterampilan memiliki tiga karakteristik yaitu menunjukkan ikatan respon motorik, koordinasi gerakan tangan dan mata, menuntut kaitan-kaitan organisasi menjadi pola-pola respon yang kompleks. Meskipun sifatnya motorik, namun keteramnpilan ini memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Keterampilan proses merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah yang dapat digunakan untuk mengembangkan suatu konsep untuk melakukan penyangkalan. Keterampilan proses adalah keterampilan yang diperoleh dari latihan kemampuan mental, fisik dan sosial yang menjadi dasar penggerak kemampuan - kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan-kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama kelamaan akan menjadi suatu keterampilan (Nasution, 2007). Menurut Slameto (2003) bahwa belajar merupakan suatu proses untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang akan menghasilkan sesuatu kemampuan pemecahan sesuatu bagi seseorang dalam menghadapi keadaan tertentu.

Selanjutnya Rahmadianti (2003) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang. Proses perubahan tingkah laku seseorang yang terjadi melalui pengalaman akan menentukan hasil belajar. Keterampilan merupakan teknik melakukan sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Bertambahnya keterampilan dapat meningkatkan kemampuan peternak dalam meningkatkan usahanya (Nuri, 2012).

(17)

22 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian

Kegiatan pengembangan usaha pertanian terintegrasi adalah program usaha agribisnis dengan mengintegrasikan tanaman, ternak dan usaha agribisnis pendukung lainnya sesuai potensi sumber daya yang ada, dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan yang berorientasi pada pertanian ekologis dengan mengoptimalkan pemanfatan sumberdaya lokal dengan sentuhan inovasi teknologi tepat guna dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan setempat.

Kerangka berpikir pada penelitian ini dikembangkan pada pelaksanaan program simantri dengan memberdayakan masyarakat petani di dalam mengelola usaha taninya secara lebih optimal dengan menerapkan tekonogi sapta usaha ternak sapi agar terwujudnya tujuan simantri. Tujuan simantri yang dilakukan dapat dicapai adalah: Tingkat penerapan sapta usaha ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, tingkat pendidikan, intensitas komunikasi, pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Petugas Bimbingan

Simantri

PETERNAK

Teknologi Sapta Usaha Ternak Sapi 1. Bibit 2. Kandang 3. Pakan Ternak 4. Pengendalian Penyakit 5. Pengelolaan Produksi 6. Pasca panen 7. Pemasaran Tujuan Simantri

Faktor – Faktor yang mempengaruhi 1. Umur 2. Tingkat Pendidikan 3. Intensitas Komunikasi 4. Pengetahuan 5. Sikap 6. Keterampilan 6. Intensitas Komunikasi

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sapi Bali merupakan ras atau bangsa sapi asli berasal dari negara Indonesia dan memiliki ciri-ciri pada jantan yaitu berwarna bulu badan hitam (kecuali kaki dan pantat),

Tersedianya hijauan pakan ternak yang cukup jumlah dan mutunya, merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan usaha dalam pengembangan ternak sapi

Beberapa keuntungan usaha ternak sapi perah adalah peternakan sapi perah termasuk usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai kelayakan finansial usaha perbibitan sapi bali dengan menerapkan sistem integrasi tanaman-ternak

Penelitian mengenai pengukuran daya saing usaha ternak sapi perah yang diukur atau dilihat dari komoditas yang dihasilkan yakni susu segar masih terbatas dilakukan oleh para

Balai Perbibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Bali Pulukan selama ini mendapatkan pasokan sapi Bali calon bibit dari wilayah Instalasi Populasi Dasar (IPD), oleh

Faktor karakteristik petani-peternak, pendampingan YMTM dan teknik sapta usaha peternakan sapi potong berpengaruh nyata terhadap efektivitas kemitraan usaha ternak sapi

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai kelayakan finansial usaha perbibitan sapi bali dengan menerapkan sistem integrasi tanaman-ternak