• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut seluas 64,85% dari

luas wilayah Indonesia atau 3.544.743,9 km² (Kementerian Kelauatan dan

Perikanan, 2011). Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai produsen

hasil kelautan terbesar nomor 5 di dunia (Adam, 2015). Sehingga dalam

menunjang produksi yang sedemikian rupa, industri kelautan membutuhkan

tenaga kerja yang tinggi.

Dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di dunia maritim,

pelaku-pelaku produksi tidak hanya memanfaatkan usia-usia produktif (15-60 tahun) saja,

namun pelaku-pelaku produksi juga menyerap tenaga kerja yang masih berusia

sekolah atau kanak-kanak. Seperti fenomena yang terjadi pada Desa Bogak. Para

nelayan tidak hanya membutuhkan orang-orang dewasa saja, namun mereka juga

memakai tenaga anak-anak untuk membantu pekerjaan mereka.

Desa Bogak memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.974 orang. Jumlah

penduduk tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin adalah 2.478

laki-laki dan 2.495 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1251

KK. Berdasarkan data yang ditemukan di kantor kepala desa bahwa terdapat 579

KK penduduk miskin dan yang mendapat kartu sehat sebanyak 550 jiwa (Kantor

(2)

Mayoritas pekerjaan penduduknya adalah nelayan dengan presentase 90%

dari total penduduk. Masyarakat tersebut mayoritas memiliki tingkat

kesejahteraan yang rendah dikarenakan perekonomian mereka sebagian besar

bergerak disektor nelayan yang pendapatannya dipengaruhi dari hasil

penangkapan ikan serta sangat dipengaruhi oleh keadaan alam. Hal ini dibuktikan

oleh data kependudukan desa tahun 2013 bahwa pendapatan perkapita masyarakat

setempat hanya mencapai rata-rata 35 ribu/hari. Tentu saja pendapatan tersebut

masih tergolong rendah jika harus memenuhi biaya kehidupan sehari-hari seperti

makan, pendidikan, serta biaya hidup lainnya. Sehingga pendidikan anak-anak

yang ada di desa tersebut sangat rendah, bahkan sebagian dari mereka harus putus

sekolah karena lebih mementingkan membantu orang tua daripada melanjutkan

pendidikan.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak). Anak merupakan tunas bangsa yang merupakan generasi

penerus di masa depan. Dalam diri seorang anak terdapat hak-hak manusia

seutuhnya. Berbeda dengan kategori dewasa, anak-anak memiliki hak-hak lebih

daripada kewajibannya.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi pekerja

atau buruh. Menurut Endrawati (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

(3)

Tabel 1.1

Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab

NO Faktor Penyebab Bekerja Jumlah Pekerja Anak

di sektor informal dikarenakan ajakan dari teman bermain. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pekerja anak-anak tersebut banyak menghabiskan waktu

bersama dengan teman sebaya mereka. Dalam hal ini, mereka banyak mengganti

waktu bermain mereka menjadi waktu bekerja.

Masa kanak-kanak yang seyogyanya diisi dengan masa bermain dan

belajar bersama teman dan mengembangkan kreatifitasnya setinggi tingginya. Hal

tersebut merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak asasi anak

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 pasal

28A sampai 28J, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak

pasal 16 dan Undang-Undang Perlindungan aanak No. 23 Tahun 2002 Bab III

pasal 4 sampai pasal 19 mengenai Hak Anak.

Di perdesaan maupun di perkotaan, perlakuan terhadap individu dipicu

dengan adanya status sosial dan kelas. Perlakuan masyarakat terhadap kelompok

atau individu yang memiliki status sosial dan kelas sosial yang lebih tinggi

tentunya berbeda dengan yang lebih rendah. Perbedaan tersebut

diimplementasikan melalui berbagai bentuk simbol dan sikap masyarakat.

(4)

banyak menggambarkan perbedaan status. Bahkan tidak jarang ada individu yang

diberikan julukan atau predikat oleh masyarakat sesuai dengan status serta prestise

yang ada pada individu tersebut.

Masyarakat perdesaan maupun masyarakat perkotaan memiliki nilai serta

norma yang berlaku untuk menjaga keseimbangan sistem masyarakat. Nilai serta

norma yang ada antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan berbeda satu sama

lain. Seperti yang telah dijelaskan di atas, antara perdesaan dengan perkotaan

memiliki perbedaan yang krusial pada sistem solidaritasnya.

Seiring dengan keanekaragaman budaya di desa dan kota seperti yang

telah dijelaskan di atas. Masyarakat memiliki istilah tersendiri untuk individu

yang memiliki predikat serta prestise tertentu dalam masyarakat. Di kota-kota

besar seperti di Medan, Jakarta dan Bandung, masyarakat menyebut anak-anak

yang hidup di kelas menengah atas dan tinggal dengan kekayaan yang melimpah

dari orang tuanya biasa disebut sebagai “anak gedongan”. Berbeda dengan

masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat pesisir di beberapa daerah seperti di

Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara. Masyarakat

memberikan julukan “anak itik” kepada anak-anak yang membantu nelayan.

Fenomena “anak itik” tersebut merujuk pada pekerja anak-anak. “Anak

itik” biasanya membantu nelayan dalam hal membersihkan kapal dan jaring,

bahkan tidak jarang “anak itik” juga ikut melaut bersama nelayan untuk mencari

ikan atau hasil laut lainnya. Dengan kata lain, “anak itik” merupakan pekerja di

(5)

“Anak itik” di Desa Bogak merupakan bagian dari budaya yang ada di

Desa Bogak. “Anak itik” juga merupakan bentuk sosialisasi pendewasaan dari

masyarakat melalui ranah pekerjaan dengan harapan nantinya para pekerja anak

tersebut menjadi individu yang sukses dan mandiri. Dengan kata lain, “anak itik”

merupakan bagian dari kearifan lokal yang ada di Desa Bogak.

Selain itu, faktor ekonomi dari keluarga serta kebutuhan tenaga kerja dari

nelayan yang ada sering kali mengakibatkan hak-hak anak tereksploitasi

dikarenakan pekerjaan mereka. Tidak hanya dari orang yang mempekerjakan

mereka saja, namun juga pihak keluarga sendiri mengabaikan hak-hak anak

tersebut untuk dapat bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman

sebaya mereka. Hukum perlindungan hak asasi manusia khususnya anak-anak

telah ditetapkan, fenomena di masyarakat baik di perkotaan maupun di desa masih

banyak yang mengabaikan aturan-aturan tersebut. Lebih jauh lagi, fenomena

tersebut nampaknya telah menjadi kebiasaan tersendiri di beberapa daerah.

Sebagai contoh adalah masyarakat di Desa Bogak, Kabupaten Batubara. “Anak

itik” merupakan manifestasi dari pekerja anak di desa pesisir tersebut.

Pekerja anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap

anak. Menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, usia yang

digolongkan sebagai anak-anak adalah usia 18 tahun kebawah. Kemudian lebih

lanjut dalam pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan kehidupan

yang layak sesuai dengan usia mereka. Kenyataan yang terjadi pada pekerja anak

(6)

jauh lagi, “anak itik” merupakan pekerja anak yang dilarang dalam hukum positif

dan tentunya melanggar undang-undang tersebut.

“Anak itik” di Desa Bogak dipekerjakan oleh toke dan nelayan untuk

membantu mereka dalam berbagai jenis pekerjaan dari yang sulit hingga yang

mudah seperti mengutip ikan di sampan. Terjadi perubahan konsep pada “anak

itik” di Desa Bogak ketika mereka ikut melaut bersama nelayan. Ketika mereka

ikut melaut maka mereka dikategorikan sebagai anak buah kapal (ABK). Maka

ketika “anak itik” berada di kapal dan ikut melaut bersama nelayan, pekerjaan

yang mereka lakukan tentu berbeda dari hanya sekedar membersihkan kapal di

pelabuhan.

Fenomena “anak itik” yang ada di Desa Bogak merupakan bentuk nyata

dari mutualisme antara eksploitasi industrial dan kearifan lokal yang ada pada

masyarakat tersebut. Orang-orang yang mempekerjakan mereka tidak jarang

adalah orang tua mereka sendiri yang bekerja sebagai nelayan. Adanya keinginan

“anak itik” untuk membantu orang tua mengakibatkan “anak itik” ikut membantu

nelayan dengan banyak mengabaikan hak-hak mereka serta memenuhi keinginan

masyarakat sebagai salah satu bentuk kearifan lokal diri bagi mereka. Lebih jauh

lagi, kearifan lokal tersebut bertentangan dengan hukum positif yang ada,

dikarenakan hak-hak anak yang tidak dipenuhi oleh keluarga maupun masyarakat.

Hal tersebut adalah salah satu dari bentuk kekerasan simbolis yang

dirasakan oleh “anak itik” di desa tersebut. Secara tidak sadar “anak itik” telah

(7)

hak-hak mereka, serta korban dari mutualisme antara eksploitasi masyarakat

industri dengan kearifan lokal. Pengabaian hak-hak mereka yang tidak mereka

sadari dengan jelas merupakan kekerasan simbolis yang dialami oleh pekerja anak

di Desa Bogak tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial, dimana anak-anak yang

seharusnya mengisi waktu mereka dengan bermain dan berkreatifitas bersama

teman-teman sebaya. Ada sebuah kearifan lokal yang mengikat mereka secara

implisit untuk menjadi “anak itik” sebagai fase pertumbuhan untuk menjadi orang

yang sukses nantinya. Sedangkan pada dasarnya, anak-anak dilarang dipekerjakan

karena melanggar hak asasi. Maka peneliti menyimpulkan perumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sosialiasi “anak itik” yang dilakukan oleh keluarga dan

toke mereka?

2. Bagaimanakah kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak itik” di Desa

Bogak?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana sosialisasi “anak itik” yang dilakukan oleh

(8)

2. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak

itik” di Desa Bogak.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis: penelitian ini diharapkan dapat menawarkan wacana baru

dalam studi anak dan pengembangan ilmu pengetahuan secara umum, khususnya

dalam bidang ilmu sosiologi keluarga.

Manfaat praktis: penelitian ini diharapkan akan memberikan solusi pada

fenomena sosial yang terkait hak-hak anak agar terwujud masyarakat yang lebih

peka terhadap hak-hak asasi manusia, terutama anak-anak. Fenomena yang

dimaksud adalah adanya paradoks antara hukum positif dengan kearifan lokal

yang ada pada masyarakat. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat menjadi

pertimbangan bagi lembaga pemerintahan kedepannya dalam menetapkan hukum

dan mengambil kebijakan.

1.5. Definisi Konsep

Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai

berikut:

1. “Anak itik”

“Anak itik” merupakan anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun (UU

No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1) yang mendapat upah dari

toke atau nelayan yang mempekerjakan mereka untuk berbagai keperluan di areal

(9)

membersihkan jaring. Dalam penelitian ini, anak-anak adalah orang laki-laki atau

perempuan yang berusia 6-18 tahun.

2. Eksploitasi

Eksploitasi merupakan perlakuan yang memanfaatkan daya guna dari

individu /kelompok penguasa terhadap individu /kelopok yang dikuasai dengan

maksud mencari keuntungan.

3. Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan

setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan

diikuti oleh anggota masyarakatnya.

4. Nelayan

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan

ikan di perairan umum. Nelayan dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan “tekong”

dan nelayan perorangan.

5. Toke/ “tekong”/ juragan

Toke merupakan pemilik dari sampan atau kapal, baik bekerja sendiri

maupun memiliki pekerja dengan tujuan untuk mencari keuntungan dan sebagai

Gambar

Tabel 1.1 Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

Katanya, beberapa pegawai dari pejabat Pelajaran Daerah Miri menemui pengurusan sekolah berkenaan apabila beberapa pelajar yang dipercayai terbabit dalam insiden itu sudah

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-4/W3, 2013 ISPRS/IGU/ICA Joint Workshop on Borderlands Modelling

 Guru bersama siswa merefleksi proses pembelajaran yang telah berlangsung, meliputi; kelemahan dan kelebihan, perasaan dan kesulitan yang dihadapi siswa  Guru memberi

Major obstacles for a better development can be identified in an all but market-conform agriculture, in the Schengen regime cutting Transcarpathia off especially from Slovakia

Dengan pelbagai andaian serta spekulasi tentang punca kemerosotan makanan utama iaitu padi kita seharusnya mengambil iktibar bahawa sesebuah negara yang kuat ialah negara yang

In addition to the many fan souvenirs also found key types of keychains and magnetic patches, the shape of the keychain is very diverse ranging from Shushi Japanese food shapes,

2) Penyelenggaraan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Peneliti. Dengan kewenangan ini, LIPI melalui Pusbindiklat Peneliti harus dapate. merumuskan akreditasi penilaian