BAB II
LANDASAN TEORI
A. Inovasi
1. Pengertian Inovasi
Inovasi memiliki fungsi yang khas bagi wirausahawan. Dengan inovasi
wirausahawan menciptakan baik sumberdaya produksi baru maupun
pengelolahan sumber daya yang ada dengan peningkatan nilai potensi untuk
menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada (Drucker, 1985).
Menurut Adair (1996), inovasi adalah proses menemukan dan
mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang baru.
Sedangkan menurut Raka (2001), inovasi adalah melakukan sesuatu yang baru
yang menambah atau menciptakan nilai atau manfaat (sosial/ ekonomi).
Luecke (2003) menjelaskan inovasi sebagai pengenalan atas sesuatu
atau metode kerja yang baru dan ada usaha untuk memperbarui metode yang
lama. Menurut Suryana (2006), inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan
kreatifitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang (doing new thing).
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa inovasi adalah proses menemukan dan menambah atau menciptakan
sesuatu yang tidak ada menjadi ada guna untuk memecahkan masalah dan
2. Pengertian Perilaku Inovatif
Perilaku inovatif menurut Wess & Farr (dalam De Jong & Kemp,
2003) adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk
menghasilkan, memperkenalkan, dan mengaplikasikan hal-hal ‘baru’,
yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi. Beberapa peneliti
menyebutnya sebagai shop-floor innovation (e.g., Axtell et al., 2000 dalam De Jong & Den Hartog, 2003).
Menurut Kleysen & Street (2001), perilaku inovatif merupakan
keseluruhan tindakan individu yang mengarah pada pemunculan,
pengenalan, dan penerapan dari sesuatu yang baru dan menguntungkan
pada seluruh tingkat organisasi. Sesuatu yang baru dan menguntungkan
meliputi pengembangan ide produk baru atau teknologi-teknologi,
perubahan dalam prosedur administratif yang bertujuan untuk
meningkatkan relasi kerja atau penerapan dari ide-ide baru atau
teknologi-teknologi untuk proses kerja yang secara signifikan meningkatkan efisiensi
dan efektifitas mereka (Kleysen & Street, 2001).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku inovatif adalah keseluruhan tindakan individu yang
memunculkan, mengenalkan, dan menerapkan sesuatu hal yang baru dan
bermanfaat bagi suatu organisasi.
3. Dimensi Perilaku Inovatif
De Jong (2007) mengemukakan empat dimensi perilaku inovatif
sebagai berikut:
a. Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh kesempatan. Kesempatan akan memicu individu untuk
mencari cara untuk meningkatkan pelayanan, proses
pengiriman, atau berusaha memikirkan sebuah alternatif
baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan.
b. Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan. Idea generation merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep yang telah ada untuk
meningkatkan performansi. Individu yang tinggi dalam level
ini akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan
cara pikir yang berbeda.
c. Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan membangun koalisi, seperti mengajak dan
mempengaruhi karyawan atau manajemen, dan bernegoisasi
mengenai suatu solusi.
d. Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif terhadap suatu hal tapi juga mengaplikasikan ide tersebut ke
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif
Riyanti (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi perilaku inovatif, yaitu :
a. Entrepreneurial traits, yaitu sifat-sifat yang dimiliki wirausaha. Sukardi (1991) menyatakan ada sembilan sifat utama yang merupakan
karakteristik-karakteristik dari wirausaha, yaitu instrumental,
prestatif, fleksibel dalam berteman, bekerja keras, percaya diri, berani
mengambil resiko, kontrol diri, inovatif, dan autonomous. Penelitian Sukardi menemukan bahwa terdapat hubungan antara sembilan trait
wirausaha Indonesia dengan sifat inovatif dan keberhasilan usaha.
b. Entrepreneurial personality, yaitu kepribadian wirausaha, yang terdiri dari : (1) personal achiever, (2) super salesperson, (3) real manager, dan (4) expert idea generator (Miner, 1996). Riyanti (2003) menyebutkan bahwa tipe kepribadian personal achiever merupakan tipe kepribadian Miner yang paling menonjol dalam perilaku inovatif.
c. Adversity personality
Adversity intelligence merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi hambatan atau rintangan dalam hidup (Stoltz, 2000).
Empat komponen adversity intelligence yaitu control, ownership and originality, reach, dan endurance. Adversity intelligence dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam menghadapi hambatan dan
rintangan. Karakteristik ini secara umum menggambarkan individu
(2003) ditemukan bahwa variabel adversity personality memiliki pengaruh terhadap perilaku inovatif wirausaha dan keberhasilan
usaha.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku inovatif dapat muncul bila dipengaruhi oleh adversity personality
yang meliputi adversity intelligence yang dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Faktor lain yang mempengaruhi
perilaku inovatif, yaitu entrepreneurial traits (karakteristik-karakteristik wirausaha) dan entrepreneurial personality (kepribadian wirausaha).
B. Adversity Intelligence
1. Pengertian Adversity Intelligence
Adversity intelligence merupakan suatu kemampuan untuk menghadapi kesulitan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki agar bisa terus maju
dalam hidup (dalam Nashori & Kurniawan, 2006).
Menurut Stoltz (2000), adversity intelligence adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup.
Dengan adversity intelligence seseorang dapat diukur kemampuannya dalam mengatasi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa. Stoltz
Lalu ia menyatakan bahwa suksesnya suatu pekerjaan dan hidup seseorang
ditentukan oleh adversity intelligence.
Menurut Stolzt (2000), adversity intelligence tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan.
b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap
kesulitan.
c. Serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk
memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa adversity intelligence adalah suatu kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan, mengubah hambatan menjadi
peluang serta mampu bertahan hidup guna meraih kesuksesan.
2. Dimensi Adversity Intelligence
Adversity Intelligence terdiri atas lima dimensi yaitu Control, Origin, Ownership, Reach, dan Endurance yang nantinya akan dihitung dengan perhitungan Adversity Response Profile (ARP) yang akan menghasilkan skor dari adversity intelligence (Stoltz, 2000) sebagai berikut :
C + O2 + R + E = AQ
a. Control (C)
Dalam dimensi Control akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), berapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang
menimbulkan kesulitan?
Kata yang penting dalam dimensi ini adalah merasakan. Kendali yang
sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Semakin tinggi
adversity intelligence dan skor Control ini, semakin besar kemungkinan seseorang mempunyai kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk,
juga semakin besar kemungkinan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan.
b. Origin (O)
Dalam dimensi Origin akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), apa yang akan menjadi asal usul dari kesulitan?
Seseorang dengan nilai Origin yang rendah akan cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa
buruk yang terjadi, atau sebagai penyebab dari kesulitan tersebut. Rasa
bersalah memiliki dua fungsi penting, yang pertama sebagai alat bantu untuk
belajar atau yang kedua sebagi sebuah penjurusan terhadap penyesalan.
Semakin tinggi skor Origin seseorang, semakin besar kecenderungan seseorang untuk menganggap sumber-sumber kesulitan itu berasal dari orang
lain atau dari luar dan menempatkan peran seseorang sedemikian rupa
sehingga seseorang bisa menjadi lebih cerdik, lebih cepat, lebih baik, atau
c. Ownership (O)
Dalam bukunya Paul Stoltz (2000) menyatakan, semakin tinggi skor
Ownership seseorang, semakin besar orang tersebut mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apa pun penyebabnya. Semakin rendah skor Ownership
seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut tidak mengakui
akibat-akibatnya, apapun penyebabnya. Kecenderungan untuk menepis
peristiwa-peristiwa buruk atau menghindari tanggung jawab ini jelas
merupakan sifat yang tidak diinginkan.
d. Reach (R)
Dalam dimensi Reach akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan
seseorang?
Semakin rendah skor Reach seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut menganggap peristiwa-peristiwa buruk
sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas seraya menyedot
kebahagiaan dan ketenangan pikiran seseorang saat proses berlangsung.
Semakin tinggi skor Reach, semakin besar kemungkinan seseorang membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.
e. Endurance (E)
Semakin tinggi adversity intelligence dan skor Endurance, semakin besar kemungkinan seseorang untuk memandang kesuksesan sebagai sesuatu
yang berlangsung lama, atau bahkan permanen, dan mungkin menganggap
penyebab kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan mungkin
tidak akan terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan
kemauan untuk bertindak. Dalam menganalisis adversity intelligence, akan ditemukan bahwa besar adversity intelligence tidak sekadar dikategorikan
sebagai “tinggi” atau “rendah”, karena adversity intelligence terletak dalam
sebuah rangkaian. Semakin tinggi skor adversity intelligence seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang tersebut menikmati manfaat-manfaat
adversity intelligence yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada lima
dimensi adversity intelligence yaitu, control, origin, ownership, reach, dan
endurance.
3. Tipe Adversity Intelligence
Stoltz membagi tipe adversity intelligence dalam tiga kelompok, yaitu pertama high- adversity intelligence, kedua low- adversity intelligence, dan yang ketiga adversity intelligence sedang/moderat (Stoltz, 2000).
a. Kelompok pertama adalah seseorang yang mempunyai tingkat
Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin,
ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi
pendakiannya (Stoltz, 2000).
b. Kelompok kedua adalah seseorang yang mempunyai tingkat
adversity intelligence rendah atau yang dikenal dengan tipe
quitters. Mereka adalah orang-orang yang berhenti dalam pendakian. Mereka menolak kesempatan, mengabaikan, menutupi
dan meninggalkan dorongan-dorongan inti yang manusiawi untuk
mendaki. Dengan demikian berarti mereka juga meninggalkan
banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.
c. Kelompok ketiga adalah seseorang yang mempunyai tingkat
adversity intelligence sedang atau moderat yang dikenal dengan tipe campers. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah
mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk
sampai pada tempat dimana mereka berhenti. Meskipun campers
telah mencapai tempat perkemahannya, mereka tidak mungkin
mempertahankan keberhasilan itu tanpa melanjutkan
pendakiannya. Karena yang dimaksud dengan pendakian adalah
pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan ada tiga tipe adversity intelligence, yaitu tipe climbers (tingkat tinggi), quitters (tingkat rendah), dan
campers (tingkat sedang).
4. Tingkat Kesulitan Adversity Intelligence
Stoltz (2000) mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga
arah, yaitu:
1. Masyarakat
2. Tempat kerja
3. Individu
Bagian pertama menggambarkan social adversity (kesulitan di masyarakat). Kesulitan ini meliputi ketidakjelasan masa depan, kecemasan
tentang keamanan, ekonomi, serta yang lainnya yang dihadapi seseorang ketika
berada dan berinteraksi di dalam masyarakat (Stoltz, 2000).
Kesulitan kedua yaitu kesulitan berkaitan dengan workplace adversity
(kesulitan di tempat kerja), meliputi keamanan di tempat kerja, pekerjaan, jaminan
penghidupan yang layak dan ketidakjelasan mengenai apa yang terjadi. Apabila
terjadi pada mahasiswa, maka terkait dengan tempat ia belajar atau kampus.
Kesulitan ketiga individual adversity (kesulitan individu) yaitu individu menanggung beban akumulatif dari ketiga tingkat, namun individu memulai
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga
tingkatan kesulitan adversity intelligence, yaitu social adversity quotient
(kesulitan di masyarakat), workplace adversity quotient (kesulitan di tempat kerja), individual adversity quotient (kesulitan individu).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Intelligence
Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity intelligence menurut Stoltz (2000) adalah sebagai berikut:
1. Daya Saing
Seligman (dalam Stoltz, 2000) berpendapat bahwa adversity intelligence yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan
untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
2. Produktivitas
Dalam penelitiannya di Metropolitan Life Insurance Company,
Seligman (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa orang yang
tidak merespon kesulitan dengan baik menjual lebih sedikit kurang
berproduksi dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang
merespon kesulitan dengan baik.
3. Kreatifitas
Inovasi pada pokoknya merupakan tindakan berdasarkan suatu
sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada. Menurut Barker (dalam
Stoltz, 2000), kreatifitas juga muncul dari keputusasaan. Oleh
karena itu, kreatifitas menuntut kemampuan untuk mengatasi
kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti.
4. Motivasi
Penelitian yang dilakukan Stoltz (2000) menunjukkan bahwa
seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu
menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan
motivasi kuat akan berupaya menyelesaikan dengan menggunakan
segenap potensi.
5. Mengambil resiko
Penelitian yang dilakukan Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz,
2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai adversity intelligence tinggi lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan adversity intelligence tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif. 6. Perbaikan
Seseorang dengan adversity intelligence yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah maju dan melakukan
perbaikan. Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang yang
7. Ketekunan
Ketekunan adalah kemampuan untuk terus berusaha. Seseorang
yang merespon buruk ketika berhadapan dengan kesulitan, maka ia
akan mudah menyerah. Adversity intelligence menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk bertekun (Stoltz, 2000).
8. Belajar
Menurt Carol Dweck (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa
anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan
lebih berprestasi dibandingkan dengan anak- anak yang memilih
pola pesimistis.
9. Merangkul perubahan
Dalam penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang
yang memeluk perubahan cenderung mnerespon kesulitan secara
lebih konstruktif.
10.Keuletan
Psikolog anak Emmy Werner (dalam Stoltz, 2000) menemukan
anak-anak yang ulet adalah perencana-perencana, mereka yang
mampu menyelesaikan masalah dan mereka yang bisa
memanfaatkan peluang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil resiko, perbaikan,
ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan.
C. Kewirausahaan
1. Pengertian Wirausaha
Istilah wirausaha ini berasal dari entrepreneur (bahasa Perancis) yang diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan arti between taker atau go between. Wirausaha bila ditinjau dari segi etiologis berasal dari gabungan kata wira (gagah berani, perkasa) dan usaha. Jadi, wirausaha berarti orang yang
gagah berani atau perkasa dalam usaha.
Machfoedz (dalam Suryana, 2010) berpandangan bahwa wirausaha
adalah orang yang bertanggung jawab dalam menyusun, mengelola, dan
mengukur risiko suatu usaha. Para wirausaha merupakan orang-orang yang
mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis,
mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan
dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan
kesuksesan (Meredith et al., 2005).
Wirausaha menurut Scarborough dan Zimmerer (2005) adalah
seseorang yang membuat bisnis baru untuk menghadapi resiko ketidakpastian
dengan tujuan untuk menerima keuntungan dan pertumbuhan dengan
mengidentifikasi kesempatan dan menggabungkan sumberdaya yang
Joseph Schumpter (dalam Alma , 2006) menyebutkan wirausaha
adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan
memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk
organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.
Menger dalam Riyanti (2003) berpendapat bahwa wirausaha adalah
orang yang dapat melihat cara-cara ekstrim dan tersusun untuk mengubah
sesuatu yang tak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai
tinggi, dengan cara dan memberikan nilai baru ke barang tersebut untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wirausaha
adalah orang yang membuat, menciptakan, dan mengolah bisnis baru dengan
tujuan mendapatkan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2. Karakteristik Wirausaha
Wiryasaputra (dalam Suryana, 2010) menyatakan bahwa ada 10
karakter dari wirausaha yaitu :
1. Visionary (visioner) yaitu mampu melihat jauh ke depan, selalu melakukan yang terbaik pada masa kini, sambil membayangkan masa depan yang
2. Positive (bersikap positif) yaitu membantu seorang wirausaha selalu berpikir yang baik, tidak tergoda untuk memikirkan hal-hal yang bersifat
negatif, sehingga dia mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan
selalu berpikir akan sesuatu yang lebih besar.
3. Confident (percaya diri) sikap ini akan memandu seseorang dalam setiap mengambil keputusan dan langkahnya. Sikap percaya dan tidak selalu
mengatakan “Ya” tetapi juga berani mengatakan “Tidak” jika memang
diperlukan.
4. Genuine (asli) seorang wirausaha harus mempunyai ide, pendapat dan mungkin model sendiri. Bukan berarti harus menciptakan sesuatu yang
betul-betul baru, dapat saja dia menjual produk yang sama dengan yang
lain, nemun dia harus member nilai tambah atau baru.
5. Goal Oriented (berpusat pada tujuan) selalu berorientasi pada tugas dan hasil. Seorang wirausaha ingin selalu berprestasi, berorientasi pada laba,
tekun, tabah, bekerja keras dan disiplin untuk mencapai sesuatu yang telah
ditetapkan.
6. Persistent (gigih) harus maju terus, mempunyai tenaga dan semangat yang tinggi, pantang menyerah, tidak mudah putus asa dan kalau jatuh segera
bangun kembali.
7. Ready to face a risk (siap menghadapi resiko) risiko yang paling berat adalah bisnis gagal dan uang habis. Siap sedia untuk menghadapi risiko,
persaingan , harga turun-naik, kadang untung atau rugi, barang tidak laku
perkiraan dan perencanaan yang matang, sehingga tantangan dan risiko
dapat diminimalisasi.
8. Creative (kreatif menangkap peluang) peluang selalu ada dan lewat didepan kita. Sikap yang tajam tidak hanya mampu melihat peluang, tetapi
juga mampu menciptakan peluang.
9. Healthy Competitor (menjadi pesaing yang baik). Kalau berani memasuki dunia usaha, harus berani memasuki dunia persaingan. Prsaingan jangan
membuat stress, tetapi harus dipandang untuk membuat kita lebih maju
dan berpikir secara lebih baik. Sikap positif membantu untuk bertahan dan
unggul dalam persaingan.
10.Democratic leader (pemimpin yang demokratis) memiliki kepemimpinan yang demokratis, mampu menjadi teladan dan inspirator bagi yang lain.
Mampu membuat orang lain bahagia, tanpa kehilangan arah dan tujuan
dan mampu bersama orang lain tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sepuluh
karakteristik wirausaha, yaitu visionary (visioner), positive (berpikir positif),
confident (percaya diri), genuine (asli), goal-oriented (berorientasi pada tujuan), persistent (gigih), ready to face a risk (siap menghadapi resiko),
creative (kreatif), healthy competitor (competitor yang baik), democratic leader (pemimpin yang demokratis).
3. Sifat – sifat Wirausaha :
Sukardi (dalam Riyanti, 2003) mengemukakan sembilan sifat yang
ada pada wirausaha sebagai berikut:
1. Sifat instrumental yaitu tanggap terhadap peluang dan kesempatan
berusaha maupun yang berkaitan dengan perbaikan kerja.
2. Sifat prestatif yaitu selalu berusaha memperbaiki prestasi, selalu menyukai
tantangan dan berupaya hasil kerjanya selalu lebih baik dari sebelumnya.
3. Sifat keluwesan bergaul yaitu selalu aktif bergaul dengan siapa saja,
membina kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai
situasi.
4. Sifat kerja keras yaitu tidak mudah menyerah sebelum pekerjaannya
selesai.
5. Sifat keyakinan diri yaitu penuh optimisme bahwa usahanya akan berhasil.
6. Sifat pengambilan resiko yang diperhitungkan yaitu tidak khawatir akan
menghadapi situasi yang serba tidak pasti dimana usahanya belum tentu
membuahkan keberhasilan.
7. Sifat swa-kendali yaitu menentukan apa yang harus dilakukan dan
bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
8. Sifat inovatif yaitu selalu bekerja keras mencari cara–cara baru untuk
memperbaiki kinerjanya.
9. Sifat mandiri yaitu apa yang dilakukan merupakan tanggung jawab
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sembilan
sifat-sifat wirausaha, yaitu sifat-sifat instrumental, prestatif, keluwesan bergaul, kerja
keras, keyakinan diri, pengambilan resiko, swa-kendali, inovatif, dan mandiri.
4. Pengelompokan Kewirausahaan
Zimmerer (1996) mengelompokkan profil kewirausahaan menjadi
empat, yaitu :
1. Part Time Enterpreneur, yaitu wirausaha yang melakukan usahanya hanya sebagian waktu saja sebagai hobi. Kegiatan bisnis biasanya hanya bersifat
sementara.
2. Home Based New Ventures, yaitu usaha yang dirintis berdasarkan asal tempat tinggal.
3. Family Owned Business, yaitu usaha yang dilakukan beberapa anggota keluarga secara turun-temurun.
4. Corpreneurs, yaitu usaha yang dilakukan oleh dua orang wirausaha yang bekerja sama sebagai pemilik bersama.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan terdapat empat
D. Etnis Tionghoa
1. Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan
satu kelompok yang asal dari satu daerah di negara China, tetapi terdiri dari
beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan
Kwantung, setiap imigran membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiribersama dengan berbedaan bahasanya. Ada empat bahasa China di
Indonesia, yaitu Hokkien, TeoChiu, Hakka, dan Kanton yang kesemuanya sangat besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak
dapat mengerti pembicara dari yang lain (Koentjaraningrat, 1982).
Imigrasi bangsa Tionghoa secara besar-besaran ke Indonesia mulai
pada abad ke 16 Masehi sampai pertengahan abad ke-19 Masehi, mereka
berasal dari suku bangsa Hokkien berasal dari provinsi Fukien bagian selatan. Daerah Fukien merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini
walau telah terendap selama berabad-abad namun masih tampak jelas pada
orang Tionghoa dari suku bangsa ini di Indonesia. Orang Tionghoa dari suku
Teo-Chiu berasal dari pantai selatan negeri Cina di daerah pedalaman Swatow
di sebelah timur propinsi Kwantung. Orang-orang Tionghoa dari suku Hakka
berasal dari pedalaman propinsi Kwantung yang umumnya tandus dan berkapur. Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di provinsi
bangsa, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka
hanya terbagi ke dalam dua golongan, yaitu: peranakan dan totok
(Koentjaraningrat, 1982).
Penggolongan orang Tionghoa menjadi peranakan dan totok
berdasarkan pada sebab kelahiran dan derajat penyesuaian serta akulturasi dari
para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesiayang ada di sekitar
mereka dan perkawinan campuran antara para perantau Tionghoa dengan
orang Indonesia (Koentjaraningrat, 1982).
Kelompok minoritas Tionghoa tumbuh dalam mayoritas pribumi yang
memberi merk dan cap bahwa semua orang Tionghoa adalah negatif, tertutup,
mementingkan diri sendiri, egois, pelit, jahat dan memandang rendah pribumi
(Tan, 1981). Ketidaksukaan pribumi terhadap Tionghoa semakin parah ketika
golongan Tionghoa mampu mengembangkan ekonomi mandirinya, sehingga
mereka berhasil menguasai kehidupan perekonomian mikro dan makro
dimana pun mereka berada.
Kejayaan ekonomi golongan Tionghoa dengan tingkat kesejahteraan
yang relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok pribumi semakin
memposisikan golongan Tionghoa sebagai kelompok yang paling tidak
disukai, walau pun ada kelompok etnis Tionghoa yang memiliki kedekatan
dengan rakyat kecil/ penduduk pribumi. Kelompok minoritas Tionghoa
mementingkan kehidupan dan kepentingan dagang dari pada bersosialisasi
dan berhubungan dengan penduduk pribumi (Kwartanada, 1996).
Setelah Indonesia merdeka orang-orang Tionghoa yang bergerak di
bidang ekonomi masih tetap eksis menguasai bidang ekonomi di Indonesia,
mereka berada di tengah gelora bangsa yang baru merdeka yang sedang
menata dan menyusun identitas nasionalnya. Golongan minoritas Tionghoa
kemudian berada di posisi yang sudah tidak mendapatkan hak istimewa dan
perlindungan harus mampu bertahan untuk tetap hidup di tanah air baru
dengan bangsa yang baru merdeka. Terpaan badai krisis ekonomi sebagai
negara yang baru merdeka, kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak
minoritas Tionghoa membuat orang-orang Tionghoa harus mencermati setiap
peluang bisnis yang ada (Kompas, 2012).
2. Bahasa dan Budaya Etnis Tionghoa
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kaum peranakan adalah
keturunan imigran laki-laki China yang datang sebelum akhir abad ke-19 M
dari perkawinan dengan wanita setempat atau keturunan dari perkawinan
semacam itu. Sedangkan kaum totok adalah keturunan imigran yang datang
setelah akhir abad ke-19, biasanya dengan istrinya. Kebudayaan orang
peranakan cenderung sangat teralkulturasi dengan kebudayaan setempat,
sedangkan kebudayaan orang totok lebih kentara akar kebudayaannya
pemerintahan Chang Chow (Ciang Ciu) di provinsi Fuhkien. Suku bangsa
Fuhkien (Hokkien) merupakan gelombang imigran China yang pertama datang ke Hindia Belanda dalam jumlah besar. Sifat kuat berdagang melekat kuat
dalam diri suku bangsa ini (Tan, 1981).
Suku bangsa Hakka berasal dari daerah Kia Ying di sebelah utara provinsi Kanton, Tiang Chow, dan Leong Yen hingga sebelah selatan provinsi
Fuhkien. Kelompok imigran Hakka bermigrasi ke Kalimantan Barat, Bangka, Belitung, dan Deli. Suku bangsa Kwongfu berasal dari provinsi Kanton di selatan Kwantung bermigrasi ke Jawa. Suku bangsa Kwongfu merupakan nenek moyang suku Hakka. Suku Tio Cu berasal dari pedalaman Chaochow
(Swatow) sebelah timur Kwangtung. Sebagian besar suku Tio Cu di Indonesia bermukim di sepanjang pantai Timur Sumatera, Riau, Kalimantan Barat
terutama di Pontianak (Tan, 1981).
Bahasa-bahasa daerah Tionghoa yang ada di Indonesia: Hokkian, Hakka (Kheq), Kanton (Kuongfu), Hokcia, Hokciu, dan Hinghua terutama dituturkan oleh para imigran generasi pertama, yang lahir di Tiongkok, dan
kadang-kadang olrh imigran generasi kedua dalam berkomunikasi dengan
orang tuanya. Bahasa Tionghoa Mandarin dituturkan oleh kaum totok dan
sedikit kaum peranakan yang pernah mendapat pendidikan berbahasa
F. Hubungan Antara Adversity Intelligence Dengan Perilaku Inovatif Pada Wirausaha Etnis Tionghoa
Dunia wirausaha masih ditakuti oleh sebagian orang karena dianggap
beresiko dengan pendapatan yang fluktuatif, kadang naik, kadang turun, dan
bisa saja bangkrut. Padahal tidak sedikit wirausaha yang sukses, bahkan
kebanyakan orang kaya di Indonesia saat ini adalah wirausahawan (Soetadi,
2011).
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan
dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Sesuatu
yang baru dan berbeda adalah nilai tambah barang dan jasa yang menjadi
sumber keunggulan untuk dijadikan peluang. Jadi, kewirausahaan merupakan
suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses
pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda (Suryana, 2006).
Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk
menciptakan peluang (Suryana, 2006). Berkaitan dengan perilaku manusia,
maka inovasi lebih dikenal sebagai perilaku inovatif yaitu sebagai intens untuk
memunculkan, meningkatkan dan menerapkan ide-ide baru dalam tugasnya,
kelompok kerjanya atau organisasinya (West & Farr, 1989).
Tidak semua inovasi yang dilakukan oleh wirausahawan berhasil,
beberapa diantaranya ada yang mengalami hambatan/kesulitan. Bukan hanya
perusahaan lain dalam berinovasi. Hal ini akan menjadi tantangan bagi para
wirausahawan untuk mempertahankan perusahaannya. Pada umumnya, ketika
dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti
berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji
(Stoltz, 2000).
Untuk menghadapi hambatan/kesulitan, bukan hanya kecerdasan
intelegensi saja yang diperlukan, akan tetapi wirausahawan memerlukan suatu
kecerdasan yang disebut dengan adversity intelligence. Adversity intelligence
adalah kemampuan seseorang untuk melihat dan mengubah suatu persoalan
menjadi sebuah kesempatan (Stoltz, 2000). Stoltz juga mengatakan bahwa
adversity intelligence adalah seperangkat ukuran untuk mengetahui respon terhadap tantangan kerja yang dihadapi.
Penelitian Stoltz (2000) di Metropolitan Life Insurance Company
membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik
menjual lebih sedikit, kurang berproduksi dan kinerjanya lebih buruk daripada
mereka yang merespon kesulitan dengan baik. Dalam penelitian Rahastyana &
Rahma (2010) dinyatakan bahwa adversity quotient dan emotional quotient
berhubungan secara signifikan dengan kewirausahaan.
Dalam penelitian Putra (2008) yang berjudul “Analisis Hubungan
adversity quotient dengan intensi berwirausaha” didapat hasil bahwa terdapat
berwirausaha. Suwarno (2012) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa
adversity quotient merupakan modal dasar wirausaha sukses.
Seorang individu yang memiliki adversity intelligence diduga akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki
kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang (Stoltz, 2000).
Individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan akan memiliki
kemampuan untuk menangkap peluang usaha (wirausaha) karena memiliki
kemampuan menanggung resiko, orientasi pada peluang/ inisiatif, kreativitas,
kemandirian dan pengerahan sumber daya, sehingga adversity intelligence
dalam diri individu memiliki pengaruh terhadap keinginan untuk
berwirausaha.
Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Riyanti (2003), yaitu
konsep adversity quotient terkait erat dengan keberhasilan wirausaha dalam melakukan proses kewirausahaan karena menjalankan usaha pribadi
memerlukan keberanian untuk menghadapi kegagalan dan kemauan untuk
mencoba terus menerus sampai berhasil.
Keberhasilan dalam berwirausaha dapat diperoleh apabila berani
mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan dari waktu ke waktu.
Berani mengadakan perubahan dalam usahanya disebut inovasi. Inovasi
memiliki fungsi yang khas bagi wirausahawan. Dengan adanya inovasi,
wirausahawan menciptakan sumberdaya produksi baru maupun pengelolaan
sumber daya yang ada dengan meningkatkan nilai potensi untuk menciptakan
Firmansyah (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan
Antara Perilaku Inovatif Wirausaha dengan Keberhasilan Usaha Kecil”,
didapat hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dimana perilaku inovatif
wirausaha dengan keberhasilan usaha kecil. Dalam penelitian tersebut juga
menyatakan bahwa sebagian besar keberhasilan usaha, sangat ditentukan oleh
faktor wirausaha. Meskipun faktor-faktor lainnya juga turut mendukung
keberhasilan usaha kecil namun faktor wirausaha, seperti kepribadian dan
kemampuan wirausaha yang diwujudkan dalam perilaku inovatif wirausaha
telah memberikan kontribusi yang sangat penting sebagai penggerak dalam
mencapai keberhasilan usaha kecil.
Di Indonesia, sektor usaha dengan skala besar didominasi oleh
wirausaha keturunan etnis Tionghoa. Bisnis usaha Tionghoa di Asia
diperkirakan mencapai 80% perusahaan, baik yang berskala menengah sampai
berskala besar. Menurut Widyohartono (dalam Susetyo, 2007), orang-orang
Tionghoa memiliki prinsip seperti sistem nilai untuk bertahan hidup dengan
segala kondisi.
Setyorini (2002) menyatakan bahwa wirausaha etnis Tionghoa lebih
berani memanfaatkan peluang yang ada. Selain itu, dalam berwirausaha
mereka menjual barang-barang yang lebih variatif serta berani mengambil
resiko. Adicondro (dalam Setyorini, 2007) mengatakan bahwa keberhasilan
etnis Tionghoa dalam berwirausaha karena etos kerja yang mereka miliki yang
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat diasumsikan bahwa
terdapat hubungan positif antara adversity intelligence dengan perilaku inovatif pada wirausaha etnis Tionghoa.
G. Hipotesis penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini adalah: “Ada hubungan positif antara adversity intelligence