• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Adversity Intelligence Dengan Perilaku Inovatif Pada Wirausaha Etnis Tionghoa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Adversity Intelligence Dengan Perilaku Inovatif Pada Wirausaha Etnis Tionghoa"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Inovasi

1. Pengertian Inovasi

Inovasi memiliki fungsi yang khas bagi wirausahawan. Dengan inovasi

wirausahawan menciptakan baik sumberdaya produksi baru maupun

pengelolahan sumber daya yang ada dengan peningkatan nilai potensi untuk

menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada (Drucker, 1985).

Menurut Adair (1996), inovasi adalah proses menemukan dan

mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang baru.

Sedangkan menurut Raka (2001), inovasi adalah melakukan sesuatu yang baru

yang menambah atau menciptakan nilai atau manfaat (sosial/ ekonomi).

Luecke (2003) menjelaskan inovasi sebagai pengenalan atas sesuatu

atau metode kerja yang baru dan ada usaha untuk memperbarui metode yang

lama. Menurut Suryana (2006), inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan

kreatifitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang (doing new thing).

Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa inovasi adalah proses menemukan dan menambah atau menciptakan

sesuatu yang tidak ada menjadi ada guna untuk memecahkan masalah dan

(2)

2. Pengertian Perilaku Inovatif

Perilaku inovatif menurut Wess & Farr (dalam De Jong & Kemp,

2003) adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk

menghasilkan, memperkenalkan, dan mengaplikasikan hal-hal ‘baru’,

yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi. Beberapa peneliti

menyebutnya sebagai shop-floor innovation (e.g., Axtell et al., 2000 dalam De Jong & Den Hartog, 2003).

Menurut Kleysen & Street (2001), perilaku inovatif merupakan

keseluruhan tindakan individu yang mengarah pada pemunculan,

pengenalan, dan penerapan dari sesuatu yang baru dan menguntungkan

pada seluruh tingkat organisasi. Sesuatu yang baru dan menguntungkan

meliputi pengembangan ide produk baru atau teknologi-teknologi,

perubahan dalam prosedur administratif yang bertujuan untuk

meningkatkan relasi kerja atau penerapan dari ide-ide baru atau

teknologi-teknologi untuk proses kerja yang secara signifikan meningkatkan efisiensi

dan efektifitas mereka (Kleysen & Street, 2001).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa perilaku inovatif adalah keseluruhan tindakan individu yang

memunculkan, mengenalkan, dan menerapkan sesuatu hal yang baru dan

bermanfaat bagi suatu organisasi.

(3)

3. Dimensi Perilaku Inovatif

De Jong (2007) mengemukakan empat dimensi perilaku inovatif

sebagai berikut:

a. Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh kesempatan. Kesempatan akan memicu individu untuk

mencari cara untuk meningkatkan pelayanan, proses

pengiriman, atau berusaha memikirkan sebuah alternatif

baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan.

b. Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan. Idea generation merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep yang telah ada untuk

meningkatkan performansi. Individu yang tinggi dalam level

ini akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan

cara pikir yang berbeda.

c. Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan membangun koalisi, seperti mengajak dan

mempengaruhi karyawan atau manajemen, dan bernegoisasi

mengenai suatu solusi.

d. Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif terhadap suatu hal tapi juga mengaplikasikan ide tersebut ke

(4)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif

Riyanti (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi perilaku inovatif, yaitu :

a. Entrepreneurial traits, yaitu sifat-sifat yang dimiliki wirausaha. Sukardi (1991) menyatakan ada sembilan sifat utama yang merupakan

karakteristik-karakteristik dari wirausaha, yaitu instrumental,

prestatif, fleksibel dalam berteman, bekerja keras, percaya diri, berani

mengambil resiko, kontrol diri, inovatif, dan autonomous. Penelitian Sukardi menemukan bahwa terdapat hubungan antara sembilan trait

wirausaha Indonesia dengan sifat inovatif dan keberhasilan usaha.

b. Entrepreneurial personality, yaitu kepribadian wirausaha, yang terdiri dari : (1) personal achiever, (2) super salesperson, (3) real manager, dan (4) expert idea generator (Miner, 1996). Riyanti (2003) menyebutkan bahwa tipe kepribadian personal achiever merupakan tipe kepribadian Miner yang paling menonjol dalam perilaku inovatif.

c. Adversity personality

Adversity intelligence merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi hambatan atau rintangan dalam hidup (Stoltz, 2000).

Empat komponen adversity intelligence yaitu control, ownership and originality, reach, dan endurance. Adversity intelligence dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam menghadapi hambatan dan

rintangan. Karakteristik ini secara umum menggambarkan individu

(5)

(2003) ditemukan bahwa variabel adversity personality memiliki pengaruh terhadap perilaku inovatif wirausaha dan keberhasilan

usaha.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku inovatif dapat muncul bila dipengaruhi oleh adversity personality

yang meliputi adversity intelligence yang dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Faktor lain yang mempengaruhi

perilaku inovatif, yaitu entrepreneurial traits (karakteristik-karakteristik wirausaha) dan entrepreneurial personality (kepribadian wirausaha).

B. Adversity Intelligence

1. Pengertian Adversity Intelligence

Adversity intelligence merupakan suatu kemampuan untuk menghadapi kesulitan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki agar bisa terus maju

dalam hidup (dalam Nashori & Kurniawan, 2006).

Menurut Stoltz (2000), adversity intelligence adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup.

Dengan adversity intelligence seseorang dapat diukur kemampuannya dalam mengatasi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa. Stoltz

(6)

Lalu ia menyatakan bahwa suksesnya suatu pekerjaan dan hidup seseorang

ditentukan oleh adversity intelligence.

Menurut Stolzt (2000), adversity intelligence tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan

meningkatkan semua segi kesuksesan.

b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap

kesulitan.

c. Serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk

memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa adversity intelligence adalah suatu kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan, mengubah hambatan menjadi

peluang serta mampu bertahan hidup guna meraih kesuksesan.

2. Dimensi Adversity Intelligence

Adversity Intelligence terdiri atas lima dimensi yaitu Control, Origin, Ownership, Reach, dan Endurance yang nantinya akan dihitung dengan perhitungan Adversity Response Profile (ARP) yang akan menghasilkan skor dari adversity intelligence (Stoltz, 2000) sebagai berikut :

C + O2 + R + E = AQ

(7)

a. Control (C)

Dalam dimensi Control akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), berapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang

menimbulkan kesulitan?

Kata yang penting dalam dimensi ini adalah merasakan. Kendali yang

sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Semakin tinggi

adversity intelligence dan skor Control ini, semakin besar kemungkinan seseorang mempunyai kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk,

juga semakin besar kemungkinan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan.

b. Origin (O)

Dalam dimensi Origin akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), apa yang akan menjadi asal usul dari kesulitan?

Seseorang dengan nilai Origin yang rendah akan cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa

buruk yang terjadi, atau sebagai penyebab dari kesulitan tersebut. Rasa

bersalah memiliki dua fungsi penting, yang pertama sebagai alat bantu untuk

belajar atau yang kedua sebagi sebuah penjurusan terhadap penyesalan.

Semakin tinggi skor Origin seseorang, semakin besar kecenderungan seseorang untuk menganggap sumber-sumber kesulitan itu berasal dari orang

lain atau dari luar dan menempatkan peran seseorang sedemikian rupa

sehingga seseorang bisa menjadi lebih cerdik, lebih cepat, lebih baik, atau

(8)

c. Ownership (O)

Dalam bukunya Paul Stoltz (2000) menyatakan, semakin tinggi skor

Ownership seseorang, semakin besar orang tersebut mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apa pun penyebabnya. Semakin rendah skor Ownership

seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut tidak mengakui

akibat-akibatnya, apapun penyebabnya. Kecenderungan untuk menepis

peristiwa-peristiwa buruk atau menghindari tanggung jawab ini jelas

merupakan sifat yang tidak diinginkan.

d. Reach (R)

Dalam dimensi Reach akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan

seseorang?

Semakin rendah skor Reach seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut menganggap peristiwa-peristiwa buruk

sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas seraya menyedot

kebahagiaan dan ketenangan pikiran seseorang saat proses berlangsung.

Semakin tinggi skor Reach, semakin besar kemungkinan seseorang membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

e. Endurance (E)

(9)

Semakin tinggi adversity intelligence dan skor Endurance, semakin besar kemungkinan seseorang untuk memandang kesuksesan sebagai sesuatu

yang berlangsung lama, atau bahkan permanen, dan mungkin menganggap

penyebab kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan mungkin

tidak akan terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan

kemauan untuk bertindak. Dalam menganalisis adversity intelligence, akan ditemukan bahwa besar adversity intelligence tidak sekadar dikategorikan

sebagai “tinggi” atau “rendah”, karena adversity intelligence terletak dalam

sebuah rangkaian. Semakin tinggi skor adversity intelligence seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang tersebut menikmati manfaat-manfaat

adversity intelligence yang tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada lima

dimensi adversity intelligence yaitu, control, origin, ownership, reach, dan

endurance.

3. Tipe Adversity Intelligence

Stoltz membagi tipe adversity intelligence dalam tiga kelompok, yaitu pertama high- adversity intelligence, kedua low- adversity intelligence, dan yang ketiga adversity intelligence sedang/moderat (Stoltz, 2000).

a. Kelompok pertama adalah seseorang yang mempunyai tingkat

(10)

Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin,

ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi

pendakiannya (Stoltz, 2000).

b. Kelompok kedua adalah seseorang yang mempunyai tingkat

adversity intelligence rendah atau yang dikenal dengan tipe

quitters. Mereka adalah orang-orang yang berhenti dalam pendakian. Mereka menolak kesempatan, mengabaikan, menutupi

dan meninggalkan dorongan-dorongan inti yang manusiawi untuk

mendaki. Dengan demikian berarti mereka juga meninggalkan

banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

c. Kelompok ketiga adalah seseorang yang mempunyai tingkat

adversity intelligence sedang atau moderat yang dikenal dengan tipe campers. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah

mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk

sampai pada tempat dimana mereka berhenti. Meskipun campers

telah mencapai tempat perkemahannya, mereka tidak mungkin

mempertahankan keberhasilan itu tanpa melanjutkan

pendakiannya. Karena yang dimaksud dengan pendakian adalah

pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang

(11)

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan ada tiga tipe adversity intelligence, yaitu tipe climbers (tingkat tinggi), quitters (tingkat rendah), dan

campers (tingkat sedang).

4. Tingkat Kesulitan Adversity Intelligence

Stoltz (2000) mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga

arah, yaitu:

1. Masyarakat

2. Tempat kerja

3. Individu

Bagian pertama menggambarkan social adversity (kesulitan di masyarakat). Kesulitan ini meliputi ketidakjelasan masa depan, kecemasan

tentang keamanan, ekonomi, serta yang lainnya yang dihadapi seseorang ketika

berada dan berinteraksi di dalam masyarakat (Stoltz, 2000).

Kesulitan kedua yaitu kesulitan berkaitan dengan workplace adversity

(kesulitan di tempat kerja), meliputi keamanan di tempat kerja, pekerjaan, jaminan

penghidupan yang layak dan ketidakjelasan mengenai apa yang terjadi. Apabila

terjadi pada mahasiswa, maka terkait dengan tempat ia belajar atau kampus.

Kesulitan ketiga individual adversity (kesulitan individu) yaitu individu menanggung beban akumulatif dari ketiga tingkat, namun individu memulai

(12)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga

tingkatan kesulitan adversity intelligence, yaitu social adversity quotient

(kesulitan di masyarakat), workplace adversity quotient (kesulitan di tempat kerja), individual adversity quotient (kesulitan individu).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Intelligence

Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity intelligence menurut Stoltz (2000) adalah sebagai berikut:

1. Daya Saing

Seligman (dalam Stoltz, 2000) berpendapat bahwa adversity intelligence yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan

untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.

2. Produktivitas

Dalam penelitiannya di Metropolitan Life Insurance Company,

Seligman (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa orang yang

tidak merespon kesulitan dengan baik menjual lebih sedikit kurang

berproduksi dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang

merespon kesulitan dengan baik.

3. Kreatifitas

Inovasi pada pokoknya merupakan tindakan berdasarkan suatu

(13)

sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada. Menurut Barker (dalam

Stoltz, 2000), kreatifitas juga muncul dari keputusasaan. Oleh

karena itu, kreatifitas menuntut kemampuan untuk mengatasi

kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti.

4. Motivasi

Penelitian yang dilakukan Stoltz (2000) menunjukkan bahwa

seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu

menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan

motivasi kuat akan berupaya menyelesaikan dengan menggunakan

segenap potensi.

5. Mengambil resiko

Penelitian yang dilakukan Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz,

2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai adversity intelligence tinggi lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan adversity intelligence tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif. 6. Perbaikan

Seseorang dengan adversity intelligence yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah maju dan melakukan

perbaikan. Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang yang

(14)

7. Ketekunan

Ketekunan adalah kemampuan untuk terus berusaha. Seseorang

yang merespon buruk ketika berhadapan dengan kesulitan, maka ia

akan mudah menyerah. Adversity intelligence menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk bertekun (Stoltz, 2000).

8. Belajar

Menurt Carol Dweck (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa

anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan

lebih berprestasi dibandingkan dengan anak- anak yang memilih

pola pesimistis.

9. Merangkul perubahan

Dalam penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang

yang memeluk perubahan cenderung mnerespon kesulitan secara

lebih konstruktif.

10.Keuletan

Psikolog anak Emmy Werner (dalam Stoltz, 2000) menemukan

anak-anak yang ulet adalah perencana-perencana, mereka yang

mampu menyelesaikan masalah dan mereka yang bisa

memanfaatkan peluang.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

(15)

daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil resiko, perbaikan,

ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan.

C. Kewirausahaan

1. Pengertian Wirausaha

Istilah wirausaha ini berasal dari entrepreneur (bahasa Perancis) yang diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan arti between taker atau go between. Wirausaha bila ditinjau dari segi etiologis berasal dari gabungan kata wira (gagah berani, perkasa) dan usaha. Jadi, wirausaha berarti orang yang

gagah berani atau perkasa dalam usaha.

Machfoedz (dalam Suryana, 2010) berpandangan bahwa wirausaha

adalah orang yang bertanggung jawab dalam menyusun, mengelola, dan

mengukur risiko suatu usaha. Para wirausaha merupakan orang-orang yang

mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis,

mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan

dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan

kesuksesan (Meredith et al., 2005).

Wirausaha menurut Scarborough dan Zimmerer (2005) adalah

seseorang yang membuat bisnis baru untuk menghadapi resiko ketidakpastian

dengan tujuan untuk menerima keuntungan dan pertumbuhan dengan

mengidentifikasi kesempatan dan menggabungkan sumberdaya yang

(16)

Joseph Schumpter (dalam Alma , 2006) menyebutkan wirausaha

adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan

memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk

organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.

Menger dalam Riyanti (2003) berpendapat bahwa wirausaha adalah

orang yang dapat melihat cara-cara ekstrim dan tersusun untuk mengubah

sesuatu yang tak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai

tinggi, dengan cara dan memberikan nilai baru ke barang tersebut untuk

memenuhi kebutuhan manusia.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wirausaha

adalah orang yang membuat, menciptakan, dan mengolah bisnis baru dengan

tujuan mendapatkan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

2. Karakteristik Wirausaha

Wiryasaputra (dalam Suryana, 2010) menyatakan bahwa ada 10

karakter dari wirausaha yaitu :

1. Visionary (visioner) yaitu mampu melihat jauh ke depan, selalu melakukan yang terbaik pada masa kini, sambil membayangkan masa depan yang

(17)

2. Positive (bersikap positif) yaitu membantu seorang wirausaha selalu berpikir yang baik, tidak tergoda untuk memikirkan hal-hal yang bersifat

negatif, sehingga dia mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan

selalu berpikir akan sesuatu yang lebih besar.

3. Confident (percaya diri) sikap ini akan memandu seseorang dalam setiap mengambil keputusan dan langkahnya. Sikap percaya dan tidak selalu

mengatakan “Ya” tetapi juga berani mengatakan “Tidak” jika memang

diperlukan.

4. Genuine (asli) seorang wirausaha harus mempunyai ide, pendapat dan mungkin model sendiri. Bukan berarti harus menciptakan sesuatu yang

betul-betul baru, dapat saja dia menjual produk yang sama dengan yang

lain, nemun dia harus member nilai tambah atau baru.

5. Goal Oriented (berpusat pada tujuan) selalu berorientasi pada tugas dan hasil. Seorang wirausaha ingin selalu berprestasi, berorientasi pada laba,

tekun, tabah, bekerja keras dan disiplin untuk mencapai sesuatu yang telah

ditetapkan.

6. Persistent (gigih) harus maju terus, mempunyai tenaga dan semangat yang tinggi, pantang menyerah, tidak mudah putus asa dan kalau jatuh segera

bangun kembali.

7. Ready to face a risk (siap menghadapi resiko) risiko yang paling berat adalah bisnis gagal dan uang habis. Siap sedia untuk menghadapi risiko,

persaingan , harga turun-naik, kadang untung atau rugi, barang tidak laku

(18)

perkiraan dan perencanaan yang matang, sehingga tantangan dan risiko

dapat diminimalisasi.

8. Creative (kreatif menangkap peluang) peluang selalu ada dan lewat didepan kita. Sikap yang tajam tidak hanya mampu melihat peluang, tetapi

juga mampu menciptakan peluang.

9. Healthy Competitor (menjadi pesaing yang baik). Kalau berani memasuki dunia usaha, harus berani memasuki dunia persaingan. Prsaingan jangan

membuat stress, tetapi harus dipandang untuk membuat kita lebih maju

dan berpikir secara lebih baik. Sikap positif membantu untuk bertahan dan

unggul dalam persaingan.

10.Democratic leader (pemimpin yang demokratis) memiliki kepemimpinan yang demokratis, mampu menjadi teladan dan inspirator bagi yang lain.

Mampu membuat orang lain bahagia, tanpa kehilangan arah dan tujuan

dan mampu bersama orang lain tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sepuluh

karakteristik wirausaha, yaitu visionary (visioner), positive (berpikir positif),

confident (percaya diri), genuine (asli), goal-oriented (berorientasi pada tujuan), persistent (gigih), ready to face a risk (siap menghadapi resiko),

creative (kreatif), healthy competitor (competitor yang baik), democratic leader (pemimpin yang demokratis).

(19)

3. Sifat – sifat Wirausaha :

Sukardi (dalam Riyanti, 2003) mengemukakan sembilan sifat yang

ada pada wirausaha sebagai berikut:

1. Sifat instrumental yaitu tanggap terhadap peluang dan kesempatan

berusaha maupun yang berkaitan dengan perbaikan kerja.

2. Sifat prestatif yaitu selalu berusaha memperbaiki prestasi, selalu menyukai

tantangan dan berupaya hasil kerjanya selalu lebih baik dari sebelumnya.

3. Sifat keluwesan bergaul yaitu selalu aktif bergaul dengan siapa saja,

membina kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai

situasi.

4. Sifat kerja keras yaitu tidak mudah menyerah sebelum pekerjaannya

selesai.

5. Sifat keyakinan diri yaitu penuh optimisme bahwa usahanya akan berhasil.

6. Sifat pengambilan resiko yang diperhitungkan yaitu tidak khawatir akan

menghadapi situasi yang serba tidak pasti dimana usahanya belum tentu

membuahkan keberhasilan.

7. Sifat swa-kendali yaitu menentukan apa yang harus dilakukan dan

bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

8. Sifat inovatif yaitu selalu bekerja keras mencari cara–cara baru untuk

memperbaiki kinerjanya.

9. Sifat mandiri yaitu apa yang dilakukan merupakan tanggung jawab

(20)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sembilan

sifat-sifat wirausaha, yaitu sifat-sifat instrumental, prestatif, keluwesan bergaul, kerja

keras, keyakinan diri, pengambilan resiko, swa-kendali, inovatif, dan mandiri.

4. Pengelompokan Kewirausahaan

Zimmerer (1996) mengelompokkan profil kewirausahaan menjadi

empat, yaitu :

1. Part Time Enterpreneur, yaitu wirausaha yang melakukan usahanya hanya sebagian waktu saja sebagai hobi. Kegiatan bisnis biasanya hanya bersifat

sementara.

2. Home Based New Ventures, yaitu usaha yang dirintis berdasarkan asal tempat tinggal.

3. Family Owned Business, yaitu usaha yang dilakukan beberapa anggota keluarga secara turun-temurun.

4. Corpreneurs, yaitu usaha yang dilakukan oleh dua orang wirausaha yang bekerja sama sebagai pemilik bersama.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan terdapat empat

(21)

D. Etnis Tionghoa

1. Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia

Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan

satu kelompok yang asal dari satu daerah di negara China, tetapi terdiri dari

beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan

Kwantung, setiap imigran membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiribersama dengan berbedaan bahasanya. Ada empat bahasa China di

Indonesia, yaitu Hokkien, TeoChiu, Hakka, dan Kanton yang kesemuanya sangat besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak

dapat mengerti pembicara dari yang lain (Koentjaraningrat, 1982).

Imigrasi bangsa Tionghoa secara besar-besaran ke Indonesia mulai

pada abad ke 16 Masehi sampai pertengahan abad ke-19 Masehi, mereka

berasal dari suku bangsa Hokkien berasal dari provinsi Fukien bagian selatan. Daerah Fukien merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini

walau telah terendap selama berabad-abad namun masih tampak jelas pada

orang Tionghoa dari suku bangsa ini di Indonesia. Orang Tionghoa dari suku

Teo-Chiu berasal dari pantai selatan negeri Cina di daerah pedalaman Swatow

di sebelah timur propinsi Kwantung. Orang-orang Tionghoa dari suku Hakka

berasal dari pedalaman propinsi Kwantung yang umumnya tandus dan berkapur. Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di provinsi

(22)

bangsa, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka

hanya terbagi ke dalam dua golongan, yaitu: peranakan dan totok

(Koentjaraningrat, 1982).

Penggolongan orang Tionghoa menjadi peranakan dan totok

berdasarkan pada sebab kelahiran dan derajat penyesuaian serta akulturasi dari

para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesiayang ada di sekitar

mereka dan perkawinan campuran antara para perantau Tionghoa dengan

orang Indonesia (Koentjaraningrat, 1982).

Kelompok minoritas Tionghoa tumbuh dalam mayoritas pribumi yang

memberi merk dan cap bahwa semua orang Tionghoa adalah negatif, tertutup,

mementingkan diri sendiri, egois, pelit, jahat dan memandang rendah pribumi

(Tan, 1981). Ketidaksukaan pribumi terhadap Tionghoa semakin parah ketika

golongan Tionghoa mampu mengembangkan ekonomi mandirinya, sehingga

mereka berhasil menguasai kehidupan perekonomian mikro dan makro

dimana pun mereka berada.

Kejayaan ekonomi golongan Tionghoa dengan tingkat kesejahteraan

yang relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok pribumi semakin

memposisikan golongan Tionghoa sebagai kelompok yang paling tidak

disukai, walau pun ada kelompok etnis Tionghoa yang memiliki kedekatan

dengan rakyat kecil/ penduduk pribumi. Kelompok minoritas Tionghoa

(23)

mementingkan kehidupan dan kepentingan dagang dari pada bersosialisasi

dan berhubungan dengan penduduk pribumi (Kwartanada, 1996).

Setelah Indonesia merdeka orang-orang Tionghoa yang bergerak di

bidang ekonomi masih tetap eksis menguasai bidang ekonomi di Indonesia,

mereka berada di tengah gelora bangsa yang baru merdeka yang sedang

menata dan menyusun identitas nasionalnya. Golongan minoritas Tionghoa

kemudian berada di posisi yang sudah tidak mendapatkan hak istimewa dan

perlindungan harus mampu bertahan untuk tetap hidup di tanah air baru

dengan bangsa yang baru merdeka. Terpaan badai krisis ekonomi sebagai

negara yang baru merdeka, kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak

minoritas Tionghoa membuat orang-orang Tionghoa harus mencermati setiap

peluang bisnis yang ada (Kompas, 2012).

2. Bahasa dan Budaya Etnis Tionghoa

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kaum peranakan adalah

keturunan imigran laki-laki China yang datang sebelum akhir abad ke-19 M

dari perkawinan dengan wanita setempat atau keturunan dari perkawinan

semacam itu. Sedangkan kaum totok adalah keturunan imigran yang datang

setelah akhir abad ke-19, biasanya dengan istrinya. Kebudayaan orang

peranakan cenderung sangat teralkulturasi dengan kebudayaan setempat,

sedangkan kebudayaan orang totok lebih kentara akar kebudayaannya

(24)

pemerintahan Chang Chow (Ciang Ciu) di provinsi Fuhkien. Suku bangsa

Fuhkien (Hokkien) merupakan gelombang imigran China yang pertama datang ke Hindia Belanda dalam jumlah besar. Sifat kuat berdagang melekat kuat

dalam diri suku bangsa ini (Tan, 1981).

Suku bangsa Hakka berasal dari daerah Kia Ying di sebelah utara provinsi Kanton, Tiang Chow, dan Leong Yen hingga sebelah selatan provinsi

Fuhkien. Kelompok imigran Hakka bermigrasi ke Kalimantan Barat, Bangka, Belitung, dan Deli. Suku bangsa Kwongfu berasal dari provinsi Kanton di selatan Kwantung bermigrasi ke Jawa. Suku bangsa Kwongfu merupakan nenek moyang suku Hakka. Suku Tio Cu berasal dari pedalaman Chaochow

(Swatow) sebelah timur Kwangtung. Sebagian besar suku Tio Cu di Indonesia bermukim di sepanjang pantai Timur Sumatera, Riau, Kalimantan Barat

terutama di Pontianak (Tan, 1981).

Bahasa-bahasa daerah Tionghoa yang ada di Indonesia: Hokkian, Hakka (Kheq), Kanton (Kuongfu), Hokcia, Hokciu, dan Hinghua terutama dituturkan oleh para imigran generasi pertama, yang lahir di Tiongkok, dan

kadang-kadang olrh imigran generasi kedua dalam berkomunikasi dengan

orang tuanya. Bahasa Tionghoa Mandarin dituturkan oleh kaum totok dan

sedikit kaum peranakan yang pernah mendapat pendidikan berbahasa

(25)

F. Hubungan Antara Adversity Intelligence Dengan Perilaku Inovatif Pada Wirausaha Etnis Tionghoa

Dunia wirausaha masih ditakuti oleh sebagian orang karena dianggap

beresiko dengan pendapatan yang fluktuatif, kadang naik, kadang turun, dan

bisa saja bangkrut. Padahal tidak sedikit wirausaha yang sukses, bahkan

kebanyakan orang kaya di Indonesia saat ini adalah wirausahawan (Soetadi,

2011).

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan

dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Sesuatu

yang baru dan berbeda adalah nilai tambah barang dan jasa yang menjadi

sumber keunggulan untuk dijadikan peluang. Jadi, kewirausahaan merupakan

suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses

pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda (Suryana, 2006).

Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu

yang baru dan berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk

menciptakan peluang (Suryana, 2006). Berkaitan dengan perilaku manusia,

maka inovasi lebih dikenal sebagai perilaku inovatif yaitu sebagai intens untuk

memunculkan, meningkatkan dan menerapkan ide-ide baru dalam tugasnya,

kelompok kerjanya atau organisasinya (West & Farr, 1989).

Tidak semua inovasi yang dilakukan oleh wirausahawan berhasil,

beberapa diantaranya ada yang mengalami hambatan/kesulitan. Bukan hanya

(26)

perusahaan lain dalam berinovasi. Hal ini akan menjadi tantangan bagi para

wirausahawan untuk mempertahankan perusahaannya. Pada umumnya, ketika

dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti

berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji

(Stoltz, 2000).

Untuk menghadapi hambatan/kesulitan, bukan hanya kecerdasan

intelegensi saja yang diperlukan, akan tetapi wirausahawan memerlukan suatu

kecerdasan yang disebut dengan adversity intelligence. Adversity intelligence

adalah kemampuan seseorang untuk melihat dan mengubah suatu persoalan

menjadi sebuah kesempatan (Stoltz, 2000). Stoltz juga mengatakan bahwa

adversity intelligence adalah seperangkat ukuran untuk mengetahui respon terhadap tantangan kerja yang dihadapi.

Penelitian Stoltz (2000) di Metropolitan Life Insurance Company

membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik

menjual lebih sedikit, kurang berproduksi dan kinerjanya lebih buruk daripada

mereka yang merespon kesulitan dengan baik. Dalam penelitian Rahastyana &

Rahma (2010) dinyatakan bahwa adversity quotient dan emotional quotient

berhubungan secara signifikan dengan kewirausahaan.

Dalam penelitian Putra (2008) yang berjudul “Analisis Hubungan

adversity quotient dengan intensi berwirausaha” didapat hasil bahwa terdapat

(27)

berwirausaha. Suwarno (2012) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa

adversity quotient merupakan modal dasar wirausaha sukses.

Seorang individu yang memiliki adversity intelligence diduga akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki

kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang (Stoltz, 2000).

Individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan akan memiliki

kemampuan untuk menangkap peluang usaha (wirausaha) karena memiliki

kemampuan menanggung resiko, orientasi pada peluang/ inisiatif, kreativitas,

kemandirian dan pengerahan sumber daya, sehingga adversity intelligence

dalam diri individu memiliki pengaruh terhadap keinginan untuk

berwirausaha.

Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Riyanti (2003), yaitu

konsep adversity quotient terkait erat dengan keberhasilan wirausaha dalam melakukan proses kewirausahaan karena menjalankan usaha pribadi

memerlukan keberanian untuk menghadapi kegagalan dan kemauan untuk

mencoba terus menerus sampai berhasil.

Keberhasilan dalam berwirausaha dapat diperoleh apabila berani

mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan dari waktu ke waktu.

Berani mengadakan perubahan dalam usahanya disebut inovasi. Inovasi

memiliki fungsi yang khas bagi wirausahawan. Dengan adanya inovasi,

wirausahawan menciptakan sumberdaya produksi baru maupun pengelolaan

sumber daya yang ada dengan meningkatkan nilai potensi untuk menciptakan

(28)

Firmansyah (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan

Antara Perilaku Inovatif Wirausaha dengan Keberhasilan Usaha Kecil”,

didapat hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dimana perilaku inovatif

wirausaha dengan keberhasilan usaha kecil. Dalam penelitian tersebut juga

menyatakan bahwa sebagian besar keberhasilan usaha, sangat ditentukan oleh

faktor wirausaha. Meskipun faktor-faktor lainnya juga turut mendukung

keberhasilan usaha kecil namun faktor wirausaha, seperti kepribadian dan

kemampuan wirausaha yang diwujudkan dalam perilaku inovatif wirausaha

telah memberikan kontribusi yang sangat penting sebagai penggerak dalam

mencapai keberhasilan usaha kecil.

Di Indonesia, sektor usaha dengan skala besar didominasi oleh

wirausaha keturunan etnis Tionghoa. Bisnis usaha Tionghoa di Asia

diperkirakan mencapai 80% perusahaan, baik yang berskala menengah sampai

berskala besar. Menurut Widyohartono (dalam Susetyo, 2007), orang-orang

Tionghoa memiliki prinsip seperti sistem nilai untuk bertahan hidup dengan

segala kondisi.

Setyorini (2002) menyatakan bahwa wirausaha etnis Tionghoa lebih

berani memanfaatkan peluang yang ada. Selain itu, dalam berwirausaha

mereka menjual barang-barang yang lebih variatif serta berani mengambil

resiko. Adicondro (dalam Setyorini, 2007) mengatakan bahwa keberhasilan

etnis Tionghoa dalam berwirausaha karena etos kerja yang mereka miliki yang

(29)

Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat diasumsikan bahwa

terdapat hubungan positif antara adversity intelligence dengan perilaku inovatif pada wirausaha etnis Tionghoa.

G. Hipotesis penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam

penelitian ini adalah: “Ada hubungan positif antara adversity intelligence

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat sekitar objek wisata dengan cara Memberi pembinaan-pembinaan untuk. menjaga dan melestarikan objek wisata yang

dengan penelitian pembuatan kamus elektronik Indonesia – Arab, yaitu

[r]

Untuk metode yang digunakan dalam penilaian kelayakan investasi adalah : Pertama, metode Payback period, diperoleh waktu yang dibutuhkan untuk menutup pengeluaran investasi selama

[r]

Perhitungan analisa dari skala Likert 0.69 % dari jawaban responden sudah dapat dikatakan Cukup Puas dan analisa dari Chi kuadrat ( X² ) sebesar 46.20829 lebih besar dari chi

[r]

Menyatakan bahwa naskah tersebut telah diterima oleh tim redaksi jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik (JKMP) dan akan ditindaklanjuti untuk diterbitkan sesuai dengan hasil review