• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712012095 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1 712012095 Full text"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

Oleh:

SANTI ERLANDA MAGDALENA LETELAY 712012095

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi (S.Si-Teol)

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

oleh:

SANTI ERLANDA MAGDALENA LETELAY 712012095

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi (S.Si-Teol)

Disetujui oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, M.Si Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

Ketua Program Studi Dekan

Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

(3)

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Santi Erlanda Magdalena Letelay

NIM : 712012095 Email : shantyletelai@gmail.com Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul tugas akhir : Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

Pembimbing : 1. Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, M.Si 2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.

2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian.

3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh pembimbing.

4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.

Salatiga, 31 Januari 2017

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Santi Erlanda Magdalena Letelay

NIM : 712012095 Email: shantyletelai@gmail.com Fakultas : Teologi Program Studi: Teologi

Judul tugas akhir : Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas – Universitas Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):

a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori PerpustakaanUniversitas, dan/atau portal GARUDA

b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 31 Januari 2017

Santi Erlanda Magdalena Letelay Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Pdt.Dr. Jacob Daan Engel, M.Si PPdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo

* Hak yang tidak terbatashanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang

menyerahkan hak non-ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Santi Erlanda Magdalena Letelay NIM : 712012095

Program Studi : Teologi Fakultas : Teologi Jenis Karya : Jurnal

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya berjudul:

Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

beserta perangkat yang ada (jika perlu).

Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga Pada tanggal: 31 Januari 2017 Yang menyatakan,

Santi Erlanda Magdalena Letelay

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat, kasih dan anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis. Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena tuntunan dan penyertaanNya yang tidak pernah berhenti bagi penulis selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) hingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan Tugas Akhir dengan baik.

Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu warga Gereja dan bagi warga jemaat GPIB Tamansari Salatiga secara khusus yang mana menjadi tempat penelitian penulis, untuk lebih memahami tentang konseling lintas budaya dan mengaplikasikan teori konseling lintas budaya dalam penerapan pada pelayanan khususnya di bidang konseling dengan sebagaimana mestinya sehingga tidak terjadi bias dalam proses konseling. Penulis juga berharap tugas akhir ini dapat berguna di kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan bagi warga jemaat dan pekerja gereja dalam memperlakukan dan memahami peran konseling lintas budaya. Dalam seluruh rangkaian tulisan ini, penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran agar tulisan ini juga dapat terus dikembangkan menjadi lebih baik.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

MOTTO ... xiii

ABSTRAK ... xiv

1. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

2. Konseling Lintas Budaya ... 6

2.1 Definisi Konseling Lintas Budaya ... 7

2.2 Identifikasi hubungan Konselor dan Konseli ... 8

2.3 Bias dalam konseling lintas budaya ...9

2.4 Pendekatan perilaku dalam konseling lintas budaya ...11

2.5 Sensitifitas budaya dalam konseling lintas budaya ...12

2.6 Pengertian, Fungsi, Bentuk dan Peran Keluarga ...13

(8)

3. Peran Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri ... 15

3.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 15

3.2 Konflik Suami Istri Bernuansa Budaya ... 17

3.3 Pandangan Pendeta Mengenai Peran Konseling ... 19

3.4 Pandangan Warga Jemaat Mengenai Peran Konseling ... 23

4.Kesimpulan ...24

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasih dan kemurahan cintaNya yang selalu menolong penulis dalam menjalani studi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana.

2. Kepada kedua Orang Tua terhebat yang sangat penulis cintai dan kasihi dengan segenap hati. Papa dan Mama terima kasih untuk semua doa, nasehat dan dukungan dalam setiap suka maupun duka, terima kasih untuk semua usaha dan kerja keras dari papa dan mama. Anty paling sayang papa dan mama. Doa minta TeteManis kasih umur panjang buat papa dan mama sampe Anty pakai Toga di Mimbar.

3. Kepada anak Tercinta Simon Hentje Letelay (Anangku) yang selalu jadi semangat hidup penulis selama menjalani perjalanan yang panjang di tempat perkuliahan. Cinta untuk Anang seluas dan sebanyak semua jumlah butiran pasir di seluruh muka bumi.

4. Semua keluarga besar, Alm. Tete S.H dan Nene Mia, semua yang dari Amaya, Alm.A.D.Umkeketony, Alm. Simon Petrus Umkeketony. Nene Gonda Umkeketony, Mama Novi Umkeketony, Bapa Tom Kunu, , Kaka Inay, Kaka Oyang, Kaka Nyong, Ade Rudi, Ade Kenna, Ade Koti yang setia menjadi pengawal dan kadang jadi malaikat tak bersayap bagi penulis, Ade Indari, Ade Dinda, Ade Elisa, Ade Kunu, Ade Olin, Ade Bitha yang selalu ada saat suka dan duka dalam rentan waktu serta jarak yang berbeda.

(10)

6. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo selaku dosen wali penulis. Terima kasih untuk segala perhatian, dukungan dan motivasi yang diberikan selama masa perkuliahan hingga penulis mampu untuk menyelesaikan studi.

7. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terima kasih sudah membagi ilmu pengetahuan kepada penulis, mendukung dan memotivasi penulis untuk terus belajar agar penulis dapat terus berkembang. Buat Bu Budi yang selalu setia membantu segala keperluan mahasiswa dan tidak bosan untuk menerima kami dikantornya terima kasih banyak Bu. Kepada ibu dekan, terima kasih ibu sudah bersedia menjadi ibu bagi penulis selama masa perkuliahan di tanah rantau, teriring doa Tuhan Yesus Memberkati bapak dan ibu beserta keluarga.

8. Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Teologi yang sudah memberikan saya kesempatan untuk mengasah kreatifitas dan mental yang lebih baik untuk saya gunakan di kehidupan saya kedepan.

9. Jemaat GPIB Tamansari Salatiga, Ibu Pdt. Miss Pelletimu Sono Bogar yang sangat baik kepad penulis saat proses penelitian tugas akhir, Bapak Sekretaris Gereja, semua responden. Terima Kasih atas bantuannya bagi saya selama masa penelitian. Tuhan memberkati kita semua

10.Midel Selanno pacar kini dan terakhir yang selalu setia untuk mendoakan, memberikan motivasi, mendukung serta menghibur penulis selama masa studi. Mohon maaf apabila dalam kebersamaan kita ada hal-hal yang kurang berkenan, karena nona kadang keras kepala. Sukses untuk masa depannya sayang (masa depan kita) love you.

11.Buat kehadiran Oboss, sukacitaku ,kebahagian serta motivasi yang Tuhan kasih luar biasa baik dan indah pada waktunya. Mutter Liebst Du

(11)

Ivon, Ziel,Mey dan semua teman-teman angkatan 2012 yang penulis sangat kasihi dalam Tuhan Kita Yesus Kristus karena sudah seharusnya kita saling mengasihi. Percayalah aku sangat merindukan masa kuliah dulu bersama kalian. Teologi 2012 SAPIIIIIIIIIIIIII  Teologi 2012 bagian dari warna kehidupanku dulu, kini, dan di masa depan. Terima kasih untuk kebersamaan kita, untuk perkenalan kita dan untuk suka serta duka yang telah kita lewati bersama.

(12)

MOTTo

Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,

Amsal 1 : 7a

Roma 8:28

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam

segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi

meeka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang

terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Nyanyian KJ. 40

Ajaib Benar Anugerah pembaruh hidupku! Ku hilang

buta,bercela; olehNya ku sembuh,dst.

Matius 21 : 22

Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh

(13)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan peran konseling lintas budaya dalam menyelesaikan konflik suami istri. Penelitian ini dimotivasi oleh fakta masalah yang saat ini berkembang di jemaat, yaitu konflik suami istri yang berbeda latar belakang budaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data Wawancara dan observasi. Manfaat dari penelitian ini adalah pertama secara teoritis guna memahami dan melengkapi penelitian yang terkait dengan pelayanan konseling lintas budaya pada konteks gereja dalam pengembangan ilmu Konseling. Kedua secara praktis sebagai salah satu upaya penulis dalam memahami dan memberikan kontribusi pemikiran baru dalam upaya memahami dan melakukan konseling lintas budaya bagi kehidupan berjemaat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara teroritis konseling lintas budaya dan konseling pastoral terpisah, namun penelitian ini cenderung menemukan bahwa konseling lintas budaya dan konseling pastoral sering dianggap berhubungan sehingga mengakibatkan bias-bias dalam proses konseling karena hanya memperhatikan sisi spiritualnya saja dan mengabaikan sisi budaya dari konseli. Konseling lintas budaya dipahami sebagai konseling pastoral yang secara umum berperan untuk menguatkan,membimbing, mendamaikan suami istri yang berkonflik. Saran untuk penelitian lanjutan dicantumkan.

Kata Kunci: Konseling Lintas Budaya, Konflik Suami Istri.

I. LATAR BELAKANG

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) merupakan salah satu gereja misioner yang hadir di tengah masyarakat Indonesia.1 Konteks kemiskinan, penderitaan, kerusakan ekologi, pluralitas religius, krisis sosial tentunya juga menjadi bagian dari pergumulan gereja GPIB Taman Sari Salatiga sebagai bagian dari gereja-gereja yang hadir di Indonesia, dan bagian dari masyarakat Indonesia. GPIB Taman Sari Salatiga memiliki jemaat yang multikultural sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa antara jemaat satu dengan lainnya memiliki perbedaan yang sangat prinsip, salah satunya adalah budaya. Perbedaan budaya inilah yang bisa ditemukan pada pasangan suami istri yang juga berbeda latar belakang budayanya, nilai-nilai, keyakinan, serta perilaku .

Padakonteks tersebut yang menjadi permasalahan yang tidak dapat terhindarkan adalah sering terjadi kesalahpahaman antara satu dengan yang lainnya.2 Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya, latar belakang yang berbeda-beda ini cenderung melahirkan konflik-konflik internal yang terjadi dalam jemaat seperti masalah keluarga yaitu konflik antara suami dan istri atau orangtua dengan anak dan lain sebagainya. Ada berbagai faktor yang mendasari konflik-konflik tersebut. Latar belakang yang berbeda tentu menjadi faktor utama konflik.3 Dalam sebuah keluarga pasti memiliki perbedaan-perbedaan tertentu. Perbedaan tersebut dapat dilihat ketika adanya startifikasi sosial dalam keluarga. Secara spesifik lintas budaya yang dimaksudkan bukan hanya berfokus pada perbedaan etnis

1

Pokok-pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan Gereja GPIB Jangka panjang II (2006-2026) hlm. iv

2

Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998),4 3

(14)

melainkan juga perbedaan usia, perbedaan status sosial antara suami dan istri, perbedaaan ekonomi atau penghasilan antara suami dan istri.

Faktor-faktor inilah yang sering menjadi penyebab utama konflik antara suami istri dalam keluarga. Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut para pendeta hadir sebagai konselor yang bertugas untuk mendampingi keluarga atau jemaat yang mengalami konflik. Mengingat suami istri yang berkonflik dalam keluarga di satu sisi mereka adalah makhluk sosial tetapi di sisi lain mereka juga adalah makhluk budaya, oleh karena itu pendekatan konseling yang digunakan perlu memperhatikan sisi budaya juga. Konseling dilakukan sebagai contoh salah satu upaya pendekatan para pendeta dengan jemaat atau keluarga dalam hal ini adalah suami dan istri untuk sebuah pendampingan konseling. 4 Konseling lintas budaya adalah suatu proses konseling antara konselor dan konseli yang dibentuk oleh latar belakang lingkungan budaya yang berbeda, jenis kelamin, ras, usia, ekonomi dan sebagainya.5

Fakta di lapangan, konseling yang digunakan di jemaat GPIB Taman sari Salatiga adalah konseling pastoral. Namun tidak semua konflik suami istri adalah konflik persoalan spiritual sehingga terjadi benturan-benturan dalam proses konseling, karena konflik pastoral adalah persoalan spiritual, akibatnya ada kegagalan dalam proses konseling. Oleh karena itu penulis mau melihat bahwa konselor belum melihat sisi budaya bahwa setiap orang adalah mahkluk yang berbudaya. Dalam teori Paul B Pedersen yang menemukan bahwa konseling lintas budaya menjadi salah satu cara pendampingan terhadap jemaat namun temuan fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejauh ini proses konseling yang dilakukan hanya terbatas pada konseling pastoral dalam mengatasi konflik suami istri.6 Adapun banyak benturan-benturan antara suami istri yang berkonflik karena penghasilan ekonomi, status sosial, usia yang berbeda.7 Bahkan ada juga konflik suami istri yang belum terselesaikan.8

Pada kenyataanya persoalan yang mereka hadapi adalah persoalan yang berhubungan dengan latar belakang budaya, persepsi, pekerjaan yang berbeda contohnya istri punya kedudukan, penghasilan lebih besar dari suami.9 Ketika ada perbedaan persepsi, perbedaan

4

Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),361

5

Pedersen,P.B.The culture inclusiveness of counseling, In P.B.Pedersen. J.G.Draguns, W.J.Lonner & J.E.Trimble(Eds), Counseling across cultures (rev. and expanded ed.), Honolulu: Universitas Press of Hawai,1981,131.

6

MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015, pukul 10.40 WIB 7

FP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015, pukul 16.00 8

MM,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015, pukul 18.00 9

(15)

pandangan mengenai penghasilan, ekonomi, latar belakang persoalan-persoalan ini menempatkan kita pada konseling lintas budaya.

Ada banyak benturan dalam proses konseling karena konseling yang dilakukan lebih dominan pada pastoral yang terlalu menekankan pada spiritualnya saja, contohnya ketika ada suami atau istri yang mengutarakan persoalan mereka kepada konselor dalam hal ini adalah pendeta, selalu menghubungkan dengan ayat-ayat Alkitab (Efesus 5 : 25), atau anjuran untuk saling mengasihi, hanya memberikan kekuatan untuk tetap sabar. Sedangkan persoalan mereka bukan hanya dapat diselesaikan ketika dikuatkan dengan ayat-ayat Alkitab atau sabar dan lainnya, sedangkan persoalan mereka di sini adalah perbedaan persepsi, persoalan lintas budaya bahkan ada yang sampai pada tingkat persoalan yang tidak dapat terselesaikan sehingga ada istri yang mengambil keputusan untuk meninggalkan suaminya.10 Persoalan-persoalan seperti inilah harus diselesaikan dengan pendekatan konseling lintas budaya.

Konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan konseli.11 Keterampilan konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan cara banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan.

Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan.12Konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.13 Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon. Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum.

Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.14 Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melakukan konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen

10

AJ,Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015,pukul 09.00 11

Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998),8 12

Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),83

13

Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998),9 14

(16)

(1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu: kompetensi, pengetahuan dan keterampilan.15Berdasarkan latar belakang inilah maka penulis memilih judul:

“Peran Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri di GPIB Tamansari Salatiga”

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peran konseling lintas budaya dalam konflik suami istri di GPIB Tamansari Salatiga?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Gereja tentang pemahaman mengenai Konseling Lintas Budaya. Sehingga tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menganalisa peran konseling lintas budaya dalam konflik suami istri di GPIB Tamansari Salatiga.

Manfaat Penelitian Secara Teoritis

 Melalui karya ilmiah yang diharapkan dapat menjadi sumber pustaka yang bermanfaat bagi kalangan intelektual, para pendeta dan warga gereja.

Secara Praktis

 Bagi peneliti sendiri hasil penelitian ini menambah pengetahuan kepada gereja yang terkait dengan permasalahan keluarga dalam hal ini konflik lintas budaya antara suami dan istri.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu secara sistematis, faktual dan akurat

15

(17)

mengenai fenomena atau hubungan antara fenomena yang diselidiki.16 Pengumpulan data bertumpu pada dua sumber yaitu hasil wawancara terkait dengan persoalan penelitian dan didukung dengan hasil observasi peneliti. Cara pengambilan sampel dengan menggunakan

purposive sampling dan snowball sampling.17 a. Teknik Wawancara

Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu. Ini merupakan proses tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih saling berhadapan secara fisik. Komunikasi yang dilakukan secara langsung berguna untuk mendapatkan keterangan atau data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.18 Tipe wawancara bersifat terbuka dan intens demi memperoleh informasi yang representatif dan valid tentang pokok penelitian.19Menggunakan purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu untuk memilih informan kunci dalam penelitian ini adalah pendeta atau konselor dan snowball sampling yang adalah teknik penetuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,kemudin membesar. Pertama-tama dipilih satu atau dua keluarga, tetapi karena dengan dua keluarga ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka penulis mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan dua keluarga sebelumnya.20

Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan-mengacu pada perumusan masalah.21 Dalam wawancara ini peneliti memberikan kebebasan kepada informan (subyek penelitian) dan mendorongnya untuk berbicara secara luas dan mendalam.

Unit Analisis dan Unit Pengamatan:

Unit Analisis dalam penelitian ini adalah peran konseling lintas budaya dalam konflik suami istri di GPIB Tamansari Salatiga. Unit pengamatan dalam penelitian ini adalah pendeta atau konselor dan keluarga-keluarga yang bermasalah.

16

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), 136-137.

17

Sugiono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D(Bandung: Penerbit Alfabeta,2016),85 18

Ibid,86 19

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama,1997),129

20

Sugiono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D(Bandung: Penerbit Alfabeta,2016),87

21

(18)

Lokasi penelitian adalah wilayah pelayanan GPIB Taman Sari Salatiga. Alasan penulis memilih GPIB Tamansari Salatiga karena penulis adalah aktivis di jemaat dan juga menjumpai adanya kesulitan dalam proses konseling.

b. Sistematika Penulisan

Penulisan tugas akhir ini dideskripsikan dalam empat bagian yaitu bagian pertama yang berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan yang menjadi tolak ukur dari penulisan tugas akhir ini. Pada bagian kedua tentang peran konseling lintas budaya yang meliputi definisi tentang konseling lintas budaya menurut pemahaman Paul B Pedersen, peran konseling lintas budaya dalam pelayanan menyelesaikan konflik suami istri. Pada bagian ketiga berisi temuan hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi deskriptif dan analisis peran konseling lintas budaya dalam konflik suami istri di GPIB Tamansari Salatiga. Bagian keempat tentang penutup yang meliputi kesimpulan berupa temuan-temuan dari hasil penelitian dan saran yang berupa kontribusi dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan.

II. KONSELING LINTAS BUDAYA

Pada bagian ini membahas tentang definisi konseling lintas budaya, identifikasi hubungan konselor dan konseli dalam konseling budaya, bias konseling dalam konseling lintas budaya, pendekatan perilaku dalam konseling lintas budaya, hambatan-hambatan dalam konseling lintas budaya, sensitivitas budaya dalam konseling lintas budaya, pengertian fungsi dan bentuk keluarga, konseling lintas budaya dalam konflik suami istri.

A. Defenisi Konseling Lintas Budaya

Konseling lintas budaya adalah suatu proses konseling antara konselor dan konseli yang dibentuk oleh latar belakang lingkungan budaya yang berbeda, jenis kelamin, ras, usia, ekonomi dan sebagainya.22 Dalam memahami perbedaan budaya antara konselor dan konseli ini ada hal yang perlu diperhatikan sebagai acuan dalam proses konseling. Konselor dan konseli berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor.

22

(19)

Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula. 23

Konseling Lintas Budaya merupakan suatu proses konseling antara konselor dan konseli dengan latar belakang lingkungan budaya yang berbeda, jenis kelamin, ras, usia, ekonomi dan sebagainya.24 Perbedaan-perbedaan ini menjadi hal terutama yang harus diperhatikan untuk menghindari konsekuensi yang mengakibatkan proses konseling tidak berjalan secara efektif.

Dalam memahami perbedaan budaya antara konselor dan konseli ini ada tiga elemen yang perlu diperhatikan sebagai acuan dalam proses konseling.25Pertama, konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien. Kedua, konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor. Ketiga, konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.

B. Identifikasi Hubungan Konselor dan Konseli dalam Konseling Lintas Budaya Pertama-tama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan proses konseling ialah konselor harus terlebih dahulu mempelajari atau mencari tahu informasi sebanyak mungkin tentang budaya dari klien.26 Sehingga atas pengetahuan konselor terhadap budaya klien ini sangat mempermudah konselor untuk memahami klien. Meskipun dalam kenyataannya budaya bukan hanya sebagai salah satu faktor yang signifikan dapat mempengaruhi proses konseling. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan pengaruh dalam proses konseling seperti keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur, tempat tinggal serta variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta yang penting adalah agama, adat serta sistem nilai.27

Adapun kriteria seorang konselor dalam konseling lintas budaya yang efektif adalah konselor mampu memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan

23

Paul B Pedersen. Counseling Across Cultures. (Madrid: Editorial Trotta, 1998), 10.

24

Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001) ,5

25

Paul B Pedersen. Counseling Across Cultures. (Madrid : Editorial Trotta, 1998), 10

26

Paul B.Pedersen. Counseling Across Cultures(Madrid : Editorial Trotta, 1998),128 27

(20)

mengenali bahwa tiap manusia berbeda.28 Menurut penulis dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai-nilai yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Pedersen menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.29 Menyadari hal tersebut, konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berbeda pula.30 Kebudayaan sebagai latar belakang kehidupan keluarga tentu sangat mempengaruhi perkembangan keluarga tersebut.31 Sehingga kompetensi yang dikehendaki untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi tertentu.

C. Bias dalam Konseling Lintas Budaya

Lintas budaya bukan lagi menjadi sesuatu yang baru karena isu-isu tentang antara atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya telah meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya menjadi dasar kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula.32 Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia dalam abad 21.

Dengan demikian dalam memasuki situasi konseling, yang menjadi perhatian utama adalah individu, bukan budayanya; dan oleh karena itu konselor tidak berurusan dengan

28

Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. Preparing Culturally Effective Counselors. (The Presonnel and Guidance Journal. 1980), 6.

29

McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 131

30

McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1) :135

31

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan(Yogyakarta: Kanisius, 2005), 259

32

Hansen, L. S. Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career Development and Changing Life Patterns

(21)

budaya klien, tidak juga budaya konselor, melainkan dengan individu klien.33 Hal ini disebabkan karena mereka terlalu percaya pada universalitas dan generalisasi teori-teori dan prinsip-prinsip konseling yang dapat melintasi batas-batas kultur. Cara pandangan ini sangat berbahaya bagi proses konseling, karena akan melahirkan konselor yang tidak peka-budaya (culturally insentive counselor), tidak empatik, dan sangat mungkin untuk memaksakan nilai-nilai budaya sendiri kepada klien yang dilayaninya.34 Dengan demikian pandangan ini terlalu menekankan segi etikdalam konseling dan mengabaikan budaya. Namun perlu diingat bahwa pada sisi lain ada yang terlalu percaya pada keunikan klien dan budayanya yang berbeda satu sama lain, sehingga mengabaikan adanya kesamaan di antara klien. Tetapi pandangan ini pun mengandung kelemahan, karena terlalu menekankan segi kebudayaan dan mengabaikan etika dalam konseling.35 Perlu diperhatikan bahwa dalam proses konseling ada batasan-batasan etika yang perlu diperhatikan oleh konselor.

Mengingat kembali bahwa konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, oleh karena itu proses konseling sangat rawan terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif.36 Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.

Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.37Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan dan bagaimana konselor dapat memahami perbedaan tersebut. Apalagi terutama dalam konteks suami istri pada proses konseling. Seluruh unsur budaya akan meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap kepercayaan, harapan, pendapat, presepsi, stereotipe dan sebagainya.

Adanya keragaman budaya merupakan realitas hidup yang tidak dapat dipungkiri mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia, yang termasuk di dalamnya adalah aktivitas konseling.38 Ketika konselor menyadari nilai-nilai yang berlaku secara umum

33

Howard Clinebell,Tipe-tipe Dasar pendampingan dan konseling pastoral: sumber-sumber untuk pelayanan penyembuhan dan pertumbuhan(Yogyakarta : Kanisius,2002),125

34

Davenport,Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues.Journal of Counseling & Development. 70 (1) :64-71

35

Davenport,Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues.Journal of Counseling & Development. 70 (1) : 72

36

Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid :Editorial Trotta,1998),10

37

Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya Isu-Isu dan Relevansinya di Indonesia (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001),6

38

(22)

yaitu nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar atau tanpa dipikirkan yang semuannya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.39

Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Maka untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya.40 Pertama, latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, Kedua, asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan ketiga nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.

D. Pendekatan Perilaku dalam Konseling Lintas Budaya

Dengan dapat dipahami bahwa proses-proses konseling yang demikian akan juga dilihat dari perilaku. Pendekatan perilaku kognitif yang memungkinkan individu mengembangkan pola perilaku untuk menangani berbagai masalah.41 Tujuan utama dari pemecahan masalah adalah menemukan alternatif yang paling efektif untuk menangani situasi permasalahan dan memberikan latihan yang sistematik tentang keterampilan-keterampilan kognitif dan perilaku yang dapat membantu klien untuk secara mandiri menangani situasi permasalahan dalam dunia yang sesungguhnya.42

Konselor pertama-tama berusaha membantu klien mengalihkan perubahan yang telah diperoleh klien kepada keadaan yang sebenarnya dalam lingkungan sehari-hari (self-detachment).43 Dalam proses konseling perlu melaksanakan pendekatan perilaku. Suami istri diajak untuk mengenal lebih dalam perasaan mereka pribadi, merefleksikan setelah itu meminta untuk mencoba memahami perasaan pasangan mereka atau perasaan anggota keluarga. Kemudian konselor memberikan kesempatan bagi suami istri untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan sebagai titik permasalahan dalam keluarga.

39

Alo Liliweri, M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya(Yogyakarta: Lkis,2002), 8

40

Yeo Anthony.Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan-Masalah(Jakarta: GunungMulia,2007),89

41

A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media Perintis,2010), 117

42

Mulyarto, Teori dan Praktik dari Konseling dan Psikoterapi(Semarang: IKIP Semarang Press,1995), 419

43

(23)

E. Hambatan-Hambatan dalam Konseling Lintas Budaya

Adapun setelah suami istri mampu menemukan titik permasalahan yang mereka hadapi, terdapat faktor-faktor yang dapat menjadi hambatan dalam proses konseling.44 Konseling lintas budaya relatif belum memiliki konsep, teknik dan praktik yang mapan seperti gerakan konseling sebelumnya sehingga sering dijumpai berbagai masalah dan kendala dalam pelaksanaannya.45 Betapa pentingnya untuk memisahkan perbedaan atas latar belakang budaya dengan perbedaan kemiskinan ataupun status sehingga menghindari salah persepsi dan reaksi masyarakat sebagai diskriminasi berpola kultural. Sumber hambatan dan kegagalan dalam konseling lintas budaya antara lain:46

1. Program pendidikan dan latihan konselor

Umumnya program pendidikan dan latihan konselor yang masih memiliki kekurangan, sehingga para konselor kurang memiliki pemahaman, kesadaran, ketrampilan dan pengalaman konseling yang memiliki budaya berbeda.

2. Kesehatan mental

Program pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor yang cultur encapsulation. Mereka berpandangan monokultural tentang kesehatan mental dan pandangan stereotype yang negatif terhadap budaya lain.

3. Praktik Konseling

Pelaksanaan konseling profesional yang selama ini dilakukan menggunakan pendekatan ilmiah, yang mengacu pada budaya empiristik, individualistik, kebebasan dan sebagainya, dan kurang memperhatikan aspek-aspek budaya lain dari subyek yang dilayani, sehingga terjadi ketidakefektifan, saling berlawanan, dan ketidakcocokan dengan budaya klien.47 Dengan demikian bekerjanya faktor-faktor tersebut juga dapat menjadi penghambat konseling lintas budaya. Berikut dijelaskan secara rinci faktor-faktor tersebut. Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas-budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling. Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaannya

44

A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media Perintis,2010), 120

45

Glading, Samuael T. Konseling Profesi yang Menyeluruh(Jakarta: Indeks, 2012),7 46

A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media Perintis,2010),126

47

(24)

kurang, miskin dalam kosa kata, miskin dalam ungkapan-ungkapan, atau menggunakan dialek yang berbeda.48

F. Sensitivitas Budaya dalam Konseling Lintas Budaya

Dengan penekanannya ada pada komunikasi dan bahasa dalam pemaknaannya ditemukan adanya sensitivitas secara umum dalam konseling lintas budaya. 49Konseling antar budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3 dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan, dan sikap pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan konseli antar budaya yang akan dilayani. Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien yang latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompok sosial ekonomi tertentu, akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya atau bahkan multibudaya. Perlu mengingat bahwa kebudayaan memiliki 3 tingkatan perbedaan yaitu: (1) budaya tingkat interpersonal,(2) budaya dalam tingkat kelompok etnis, dan yang ke (3) adalah sosial budaya yang terdapat didalam satu etnis terkecil dan ada 5 macam sumber hambatan yang nuncul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antar budaya di antaranya (1). Sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa (2). komunikasi non verbal (3). Stereotipe (4). Kecenderungan menilai, dan (5) Kecemasan.

Supaya konseling bisa berjalan efektif konselor hendaknya mempunyai kompetensi atau kemampuan yang luas dan karakteristik sebagai berikut:50 Pertama, konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi-asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Kedua, konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. Ketiga, konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan suami istri, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Keempat, konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor), Kelima, konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik.

G. Pengertian, Fungsi, Bentuk dan Peran Keluarga

Keluarga adalah suatu sistem atau unit. Orang tua yang menjadi poros dari sistem tersebut.51 Keluarga merupakan persekutuan sosial yang paling kecil. “The familly is the

48

Yeo Anthony.Konseling: suatu pendekatan pemecahan-masalah(Jakarta: GunungMulia,2007),102

49

Ibid,103 50

A B M Luddin, Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media Perintis,2010),173

51

(25)

basic social institution”. Keluarga adalah sekelompok manusia yang terdiri, dari suami, istri, anak-anak (bila ada) yang terkait dan didahului dengan pernikahan.52 Keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah, perkawinan atau adopsi. Kendatipun pengertian keluarga dikemukakan dengan cara dan gaya yang berbeda-beda, namun di antara berbagai rumusan itu terdapat beberapa kesamaan.

Kesamaan itu menyangkut ciri-ciri pokok berikut ini: Pertama, keluarga merupakan persekutuan sosial yang paling kecil. Kedua, keluarga terbentuk apabila ada ikatan darah, perkawinan atau adopsi. Ketiga, keluarga itu suatu persektuan yang awalnya dari dua orang yang berbeda jenis kelamin.53 Sebuah keluarga perlu mendapatkan bimbingan konseling keluarga yang merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh pembimbing atau konselor secara sengaja dan terencana untuk membantu anggota dan atau keluarga agar mampu menghadapi serta memecahkan permasalahan psikologis keluarga sehingga akhirnya semua anggota keluarga merasakan kebahagiaan.54 Dalam proses konseling lintas budaya yang diterapkan di dalam keluarga, perlu melihat peranan keluarga yang menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.55 Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut:56 Peranan Ayah: sebagai suami dari istri dan bapa dari anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga. Sebagai anggota dari kelompok sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Peranan Ibu: Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu anggota kelompok dari peranan sosial serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya jika diperlukan. Peranan Anak: Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Anak-anak yang sudah dewasa juga bisa membantu pekerjaan ibu atau ayah di rumah, sehingga adanya kerja sama yang terjalin antara semua anggota keluarga.

52

Kristiana Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga:Terapi Keluarga (Salatiga: Widya Sari Press ,2004),7

53

Kristiana Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga:Terapi Keluarga (Salatiga: Widya Sari Press ,2004) ,8

54

Julianto Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor (Tangerang:Layanan Konseling Keluarga dan Karir,2007),75

55

Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),81

(26)

H. Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri

Kaitan antara Konseling Lintas Budaya dalam keluarga adalah keluarga dibentuk dalam sebuah kebudayaan tertentu, sehingga jika ingin melakukan konseling lintas budaya yang efektif, maka perlu seorang konselor memiliki keahlian-keahlian yang harus diperhatikan seperti bahasa dan prosedur pendekatan lainnya yang seperti telah dijelaskan dalam konteks fungsi-fungsi konseling keluarga. 57 Konselor memerlukan penggunaan keterampilan manajemen perilaku yang tepat, seperti yang dibutuhkan saat satu atau kedua pasangan berhenti mendengar, gagal untuk berusaha saling memahami satu sama lain, dan sebagai gantinya jatuh ke dalam pola-pola interaksi yang sudah terbiasa dan bermasalah.58

Konselor harus mengetahui bahwa pada saat satu atau kedua pasangan membuat keputusan untuk datang ke konseling, relasi mereka biasanya frustasi oleh ketidakmampuan mereka dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.59Jika kebutuhan masing-masing pasangan tidak dipenuhi akan ada ketegangan dalam relasi.60 Bagi sebagian besar pasangan, agar kebutuhan inti tiap pasangan terpenuhi, penghargaan untuk kebersamaan dan independensi harus ada dalam relasi. Mendorong komunikasi langsung di antara pasangan adalah suatu strategi yang digunakan oleh konselor atau pendamping yang berguna dalam proses konseling.61 Dalam proses konseling di gereja, pendeta atau pendamping perlu mampu mengenali problem-problem keluarga serta apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan inti masing-masing pasangan suami istri. Konselor menyediakan sarana atau strategi komunikasi

yang efektif, memberi label “eksperiment” kepada keputusan-keputusan dalam mengubah perilaku serta mengabaikan perasaan gagal dari setiap pasangan suami istri.

III. HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN ANALISA

Pada bagian ini menguraikan hasil penelitian yang terdiri atas gambaran umum tempat penelitian, pandangan pendeta mengenai peran konseling lintas budaya dalam menyelesaikan konflik suami istri dan pandangan warga jemaat tentang peran konseling lintas budaya dalam menyelesaikan konflik suami istri.

57

Julianto Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor (Tangerang: Layanan Konseling Keluarga dan Karir,2007),82

58

A.B.M.Luddin, Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media Perintis,2010),174

59

A.B.M.Luddin, Dasar-dasar konseling: Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media Perintis,2010),175

60

Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),107

61

(27)

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kota Salatiga meskipun kecil, keadaan sekitarnya indah dan berhawa sejuk sehingga dipilih sebagai tempat pemukiman dan dikenal

sebagai “De Schoonste Stad Van Midden Java” (kota termudah di jawa tengah).62 Kota yang dikelilingi perkebunan ini pada posisi seolah-olah dipagari oleh Gunung Merbabu, Pegunungan Telomoyo, Gajah Mungkur dan Gunung Ungaran. Kota yang terletak pada ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut dan berhawa sejuk ini tidak hanya dipilih sebagai kota pemukiman, tetapi juga sebagai tempat istirahat. Di pusat Kota Salatiga inilah terdapat gedung gereja yang dibangun pemerintah Hindia Belanda dengan nama De Indische Kerk (Gereja Hindia) atau De Protestant Kerk in Indonesia (Gereja Protestan di Indonesia).

Setelah pemerintahan Hindia Belanda, termasuk jemaat De Indische Kerk kembali ke Belanda 1949, gedung gereja tersebut digunakan untuk kegiatan kurcaci atau kepanduan (sekarang pramuka) selama setahun.63 Pada tahun 1950, karena gedung tersebut tidak digunakan untuk ibadah, ada upaya memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Menghadapi situasi semacam ini, Pdt Probowinoto (pada waktu itu menjabat sebagai ketua DPRD Salatiga) berhasil meyakinkan Walikota Salatiga, bahwa gereja tersebut masih digunakan untuk ibadah umat Kristen. Untuk itu, Pdt Probowinoto mengajak keluarga Martodirjo, keluarga Th.A.Van Emmerick dan beberapa dari luar pulau Jawa untuk beribadah di gereja tersebut dan upaya ini ternyata membuahkan hasil.64

Setelah segala sesuatu yang menjadi syarat pembentukan jemaat GPIB di Salatiga, disiapkan dan disetujui oleh klasis GPIB Jawa Tengah, termasuk di dalamnya Majelis Jemaat sebagai pimpinan jemaat baru tersebut, maka diadakanlah ibadah peresmian jemaat GPIB Tamansari Salatiga dan pelantikan Majelis Jemaat baru pada tanggal 15 Februari 1956.65 Seiring berjalannya waktu, jumlah jemaat GPIB Tamansari Salatiga semakin bertambah. Kemudian majelis-majelis pada saat itu diangkat dari tentara-tentara dari Indonesia bagian Timur yang sedang ditempatkan di Salatiga. Sebelum pendewasaan, GPIB Tamansari terdiri dari tiga sektor atau jemaat yaitu, jemaat Ambarawa, Tambakrejo dan Kebondowo atau yang lebih sering disingkat dengan nama ATK. Jemaat ATK ini sudah ada sejak 30 tahun yang

62

Joel Ch.Zacharias,GPIB Jemaat TamanSari Salatiga menuju jemaat Misioner (Salatiga: Widya Sari Press,2012), 12.

63

Joel Ch.Zacharias,GPIB Jemaat TamanSari Salatiga menuju jemaat Misioner (Salatiga: Widya Sari Press,2012),21

64

Ibid, 22

65

(28)

lalu.66 Namun jemaat ini telah dilembagakan pada tanggal 14 januari 2007, sehingga sekarang mereka telah berdiri sendiri. Pelayanan Kategorial yang diadakan antara lain Pelayanan BPK PA (Sekolah Minggu), PT (Persekutuan Taruna), Gerakan Pemuda, PKP (Persekutuan Kaum Perempuan), PKB (Persekutuan Kaum Bapak), dan Lansia. Secara khusus untuk ibadah minggu GPIB Tamansari Salatiga saat ini dilayani oleh ketua Majelis Jemaat Ibu Pdt. Miss Pelletimu-Sono Bogar, Vikaris Nicholas F. Napitupulu dan beberapa pendeta dari denominasi gereja lainnya yang berdomisili di Salatiga.67

B. Konflik Suami Istri Bernuansa Budaya di GPIB Tamansari Salatiga ....Konflik antara suami dan istri....68

Alasannya, karena beberapa permasalahan keluarga yang diketahui konselor tetapi sejauh ini belum mampu memberikan pendampingan yang baik bagi keluarga-keluarga tersebut. Ada keluarga yang sebagai sampel dari keluarga yang berbeda latar belakang budaya, suami yang berasal dari Maluku dan istri yang berasal dari Semarang. Latar belakang budaya inilah yang membuat sering terjadi beda pendapat.69 Ada juga keluarga yang sering mengalami konflik karena suami dan istri tidak satu agama, meskipun mereka tetap tinggal serumah tetapi beda keyakinan ini sering menjadi pemicu mereka tidak mau mengalah dalam berpendapat.

Selain itu, ada juga konflik antara suami dan istri karena faktor ekonomi, suami yang adalah kepala keluarga namun karena harus pensiun dini sehingga mempengaruhi kebutuhan ekonomi keluarga. Istri sering menuntut apa yang kebutuhan keluarga. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor ketidakharmonisan dalam keluarga yang mengakibatkan konflik antara suami istri. Dalam proses konseling lintas budaya sangat rentan mengalami bias karena konselor hanya menerapkan konseling pastoral sehingga tidak memahami bahwa sebenarnya permasalahan yang terjadi ini bukan masalah spiritual tetapi mengenai permasalahan beda persepsi, nilai-nilai dan budaya yang mengakibatkan konseling lintas budaya tidak berjalan dengan efektif.70Dengan demikian, konselor atau pendeta dalam proses konseling tidak bisa

66

Data diperoleh dari Laporan Akhir PPL 1 Christian Petrus Ohoirat mahasiswa teologi berdasarkan wawancara dengan Pnt. Alex da Costa (Majelis Jemaat GPIB Tamansari periode 2007-2012).

67

Data diperoleh berdasarkan wawancara dengan Miss Pelletimu-SonoBogar (Ketua Majelis Jemaat Tamansari Salatiga). Tahun 2015

68

MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB

69

Paul B.Pedersen,Counseling Across Cultures(Madrid:Editorial Trotta 1998),7 70

(29)

hanya memperhatikan sisi pastoral tetapi budaya daripada jemaat atau suami istri juga perlu diperhatikan.

.... Suami selalu bicara dengan suara yang besar, nada tinggi dan suka membentak istri....71

Melalui pernyataan di atas maka konseptual pandangan ini menitikberatkan pada identifikasi latar belakang budaya yang berbeda antara suami istri. Dalam teori Pedersen yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai latar belakang kehidupan keluarga tentu sangat mempengaruhi perkembangan keluarga tersebut.72 Meskipun budaya tidak semata-mata menjadi alasan konflik.

....akibat pensiun dini, istri selalu marah bahkan meninggalkan suami....73

Pernyataan ini menjadi fokus utama kepada konselor bahwa masalah seperti ini harus diselesaikan sesuai dengan pendekatan konseling lintas budaya dimana telah dikatakan bahwa faktor ekonomi juga bisa menjadi salah satu penyebab konflik antara suami istri. Pandangan ini sejalan dengan Luddin yang berpendapat bahwa betapa pentingnya memisahkan perbedaan latar belakang budaya dengan perbedaan kemiskinan ataupun status sosial sehingga menghindari salah persepsi dan reaksi masyarakat sebagai diskriminasi berpola kultural.74Pemahaman ini, secara langsung membenarkan bahwa pendekatan konseling lintas budaya sangat penting dalam menyelesaikan konflik suami istri karena perbedaan persepsi.

... Malu karena istri yang menjadi kepala keluarga...75

Adapun perubahan status sosial juga dapat menjadi faktor pemicu konflik. Istri yang menjadi kepala keluarga, memiliki kedudukan dan jabatan terkadang ingin menjadi penguasa di dalam keluarga, tidak menghargai suami dan kurang memberikan waktu serta kasih kasih sayang kepada keluarga. Pada keadaan seperti inilah peran konselor untuk berusaha membantu klien mengalihkan perubahan yang telah diperoleh klien kepada keadaan yang sebenarnya dalam lingkungan sehari-hari. Pandangan ini lebih menekankan pada peran keluarga yaitu istri atau ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah dalam keluarga jika diperlukan.76

71

RM, Salatiga,wawancara pada tanggal 13November 2015,pukul 15.00 WIB 72

Paul B Pedersen,Counseling Across Cultures(Madrid:Editorial Trotta 1998), 8 73

PF,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 16.20 WIB 74

A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling:Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:Citapustaka Media Perintis,2010),126

75

YH,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.00 WIB 76

(30)

C. Pandangan Pendeta dan Warga Jemaat Mengenai Peran Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri.

…Pelayanan konseling lintas budaya merupakan salah satu bentuk pelayanan gereja yang sudah lama ada namun tidak berjalan secara efektif...77

Melalui pernyataan di atas maka pada tataran konseptual pandangan ini menitikberatkan pembagiannya secara teoritis dan praktiknya sehingga hal ini dipahami sebagai sebuah kendala dalam pelayanan. Tentu menjadi konselor dalam hal ini pendeta harus mampu memiliki kemampuan dan keterampilan dalam proses konseling.78 Adapun ketidakefektifan ini dapat menjadi hambatan dalam proses konseling.79Pendeta dalam hal ini bertindak sebagai konselor harus mengikuti pelatihan program konseling serta mendalami latar belakang budaya dari jemaatnya. Sehingga konselor di sini dapat mengerti sifat atau tradisi jemaat tertentu guna mempermudah proses konseling.

....Pelayanan konseling lintas budaya belum diberdayakan secara maksimal....80

Menurut responden, pelayanan konseling lintas budaya adalah salah satu bentuk pelayanan dari sekian banyak aspek pelayanan yang ada namun masih belum mendapat perhatian khusus dalam pelayanan bergereja. Dengan cara diwartakan kepada anggota jemaat yang membutuhkan pelayanan konseling dapat datang ke kantor gereja sesuai jam kerja.81Konseling di gereja belum berjalan secara efektif, karena ini hanya satu dari banyak cara. Tampak jelas bahwa bias-bias budaya terjadi pada proses konseling lintas budaya dikarenakan ada jemaat yang bisa terbuka tetapi ada juga yang tidak bisa terbuka untuk datang dan menceritakan permasalahan kehidupan mereka.82 Oleh karena itu, gereja perlu memikirkan tentang bagaimana proses konseling ini dapat dilakukan secara efektif, mengingat dalam kehidupan berjemaat ada kepelbagaian budaya dan identitas jemaat yang multikultural yang dapat menjadi salah satu hambatan dalam proses konseling lintas budaya.83

77

OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.30 WIB 78

McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1) :135

79

Glading, Samuael T, Konseling Profesi yang Menyeluruh(Jakarta: Indeks, 2012),7

80

OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.30 WIB

81

OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.30 WIB

82

OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015,pukul 17.30 WIB 83

(31)

....Meskipun pelayanan konseling lintas budaya sudah diwartakan, respon dari jemaat hanya sedikit yang datang ke gereja....84

Alasannya, karena tidak semua jemaat memiliki sifat terbuka atas permasalahan atau pergumulan yang sedang dihadapi. Untuk itu perlu tinjauan kembali berdasarkan teori Pedersen maka konselor harus benar-benar memperhatikan latar belakang budaya dari jemaat atau konseli.85 Dengan demikian konselor yang memiliki kemampuan mampu berkreatifitas menciptakan ide-ide atau teknik dalam melaksanakan proses konseling sehingga konseling dapat terlaksana dengan baik.86

....Sejauh ini pendeta ataupun konselor belum langsung mendalami proses konseling lintas budaya itu sendiri sehingga tidak terlalu memahami kondisi atau permasalahan keluarga dalam jemaat...87

Pandangan ini, menekankan pada kesadaran konselor yang dilihat dari perannya.88 Seorang pelayan mempunyai tugas untuk membimbing, menasihati, serta menopang secara etis. Peran itu dalam praktiknya melalui pelayanan konseling karena ini merupakan sebuah kesadaran akan tanggungjawab dalam melayani serta membantu jemaat untuk menemukan jalan keluar atas permasalahan atau pergumulan jemaat. Kurangnya fokus pelayanan di bidang konseling ini sehingga mengakibatkan kurangnya informasi permasalahan konflik suami istri.

Pandangan warga jemaat merupakan bagian penting guna memperkuat peran konseling lintas budaya dalam menyelesaikan konflik suami istri.

....Wadah pelayanan menjadi tempat untuk membagi sebagian pergumulan hidup antara suami istri....89

Pernyataan di atas inilah yang dapat dicermati sebagai kesempatan atau ruang untuk saling berbagi. Inilah yang menjadi moment di mana sebagian ibu-ibu dapat berani untuk mencurahkan isi hati, keluh kesah mereka.90 Mereka bercerita tentang masalah keluarga, masalah antara suami dan anak-anak. Namun adapun juga yang masih tertutup dan tidak bisa berbagi cerita pengalaman kehidupan mereka atau masalah yang sedang digumuli. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman tentang hambatan dalam konseling lintas budaya yang perlu

84

MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB 85

Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid :Editorial Trotta,1998),10 86

A.B.M.Luddin, Dasar-dasar konseling:Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:Citapustaka Media Perintis,2010),126

87

MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB 88

Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. Preparing Culturally Effective Counselors. (The Presonnel and Guidance Journal. 1980), 6

89

MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB

90

(32)

diperhatikan guna akan membuat konseling lintas budaya dapat meyakinkan dan menarik perhatian.91

....Dalam ibadah , selain menyampaikan firman Tuhan, ada juga diberikan kesempatan untuk bapak-bapak agar bisa memberikan pendapat mereka tentang firman Tuhan, apakah sudah sesuai dengan

perbuatan mereka sehari-hari...92

Nampaknya para pelayan hanya fokus kepada pemberitaan Injil saja sehingga mengesampingkan pelayanan konseling yang mengakibatkan terjadi bias-bias dalam proses konseling lintas budaya. Konseling yang diterapkan hanya berfokus kepada spiritual sedangkan permasalahan-permasalahan yang sedang dialami keluarga-keluarga ini tidak hanya dapat diselesaikan dengan doa ataupun firman Tuhan tetapi menggunakan pendekatan konseling lintas budaya.93

...Pelayanan di rumah Jemaat menjadi sarana menuju konseling lintas budaya...94

Adapun jemaat-jemaat tertentu yang karena sakit sehingga meminta kehadiran Pelayan: Pendeta dan atau Majelis untuk memimpin ibadah di rumah mereka. Dalam kesempatan inilah sering mereka : suami dan atau istri mengungkapkan apa yang menjadi beban pergumulan kehidupan rumah tangga mereka.95 Pada proses ini tentu akan ada benturan-benturan yang dihadapi dalam proses konseling. Hal ini disebabkan oleh cara melakukan konseling yang hanya berpusat pada pastoral yang menekankan aspek spiritual sehingga mengabaikan nilai-nilai budaya yang ada, perbedaan persepsi dan faktor-faktor lain yang adalah penyebab konflik suami istri.96

....Perlu ada Program Konseling lintas budaya secara khusus....97

Konseling lintas budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan di jemaat yang multikultural dan bukan hanya itu konseling lintas budaya juga mampu memahami dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan suami istri.98

91

A.B.M.Luddin. Dasar-dasar konseling:Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:Citapustaka Media Perintis,2010),127

92

MK.Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015, pukul 19.20 WIB. 93

Davenport,Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues. Journal of Counseling & Development. 70 (1) :64-71

94

MK,Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015, pukul 19.20 WIB

95

MK,Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015, pukul 19.20 WIB 96

Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid :Editorial Trotta,1998),11 97

IL, Salatiga, wawancara pada tanggal 19 November 2015, pukul 18.00 WIB 98

(33)

....dibutuhkan seorang pendamping khusus di bidang konseling untuk dapat menjadi pengontrol berjalanlah konseling lintas budaya dalam keluarga dan berjemaat dengan baik dan efektif....99

Melalui pernyataan di atas dapat dipahami bahwa kurangnya tenaga konselor dapat menjadi satu alasan konseling tidak berjalan dengan efektif. Seorang konselor dalam pelayanan konseling lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.100 Pandangan ini menekankan kepada pendamping konseling yang terdiri dari pendeta dan majelis jemaat.101 Pendamping konseling atau konselor haruslah memiliki kemampuan untuk bisa mengerti konselinya. Mengerti budaya dan latar belakang kehidupan keluarga juga adalah faktor utama.102 Pendamping mempunyai fungsi, yaitu fungsi kontrol dan pendampingan. Fungsi ini diberikan oleh gereja kurang maksimal, karena hanya memberikan tugas pendampingan yaitu kepada pendeta dan majelis pendamping.

Dalam hal ini dilihat dari teori Paul Pedersen yang memberikan pemikiran bagaimana seorang pendamping atau konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.103 Dalam hal ini gereja yang siap menerima anggota jemaat yang datang untuk konseling dan tugas ini seuntuhnya diberikan kepada Pendeta jemaat. Lebih lanjut seharusnya, koordinasi yang dilakukan dalam pendampingan seharusnya dibangun dalam perannya sebagai pendamping terutama untuk memberikan perhatian kepada keluarga dalam hal ini suami istri yang sedang mengalami konflik, agar dapat sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Pedersen mengenai pendampingan dalam pendekatan konseling lintas budaya.104

IV. PENUTUP

Bagian ini meliputi kesimpulan berupa temuan-temuan dari hasil penelitian secara keseluruhan dan saran berupa kontribusi dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan dan untuk gereja GPIB Jemaat Taman Sari Salatiga.

99

IL, Salatiga, wawancara pada tanggal 19 November 2015, pukul 18.00 WIB

100

McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 136.

101

TH,Salatiga,wawancara pada tanggal 22 November 2015,Pukul 10.20 WIB

102

TH,Salatiga, wawancara pada tanggal 22 November 2015, pukul 10.20 WIB

103

McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 131-135.

104

(34)

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisa, penulis mendapatkan temuan-temuan baru dalam proses konseling lintas budaya. Adapun temuan-temuan baru yang dimaksudkan adalah dalam proses konseling lintas budaya terdapat bias-bias karena dalam pelaksanaannya yang pendeta terapkan adalah konseling pastoral. Pendeta belum memahami bahwa sebenarnya permasalahan yang sedang dihadapi pasangan suami istri bukan masalah spiritualnya tetapi masalah permahaman persepsi yang berbeda, nilai-nilai, ras, usia, status sosial, pendapatan ekonomi yang berbeda sehingga jika konseling lintas budaya diterapkan dalam program pelayanan gereja maka dapat menjawab konflik antara suami dan istri dalam keluarga.

Dalam hal ini gereja kurang memberikan perhatian yang khusus untuk pelayanan dan pendampingan konseling di jemaat GPIB Tamansari Salatiga hanya mengontrol dan mewartakan. Sedangkan hal pendampingan atau konseling menjadi tanggung jawab pendeta jemaat GPIB Tamansari Salatiga. Konseling perlu diperhatikan bahwa tidak hanya berfokus kepada pastoral yang berdimensi spiritual saja melainkan mempertimbangkan sisi budaya dari konseli.

B. Saran

Saran, dalam hal ini penulis ingin memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait:

Bagi Gereja GPIB Taman Sari Salatiga

Dapat memberi perhatian khusus pada pelayanan konseling lewat program pelayanan di gereja. Mempersiapkan tenaga konselor yang baik sebagai pendamping konseling di jemaat. Konseling dapat dilaksanakanakan dengan cara yang kreatif dan inovatif.

Bagi fakultas Teologi

Agar dapat mengembangkan integrasi ilmu konseling, dengan memperhatikan konteks budaya melalui penelitian ini.

Bagi Penelitian Lanjutan

Referensi

Dokumen terkait

gerakan melempar sebuah pin melalui belakang badan seseorang tersebut, di mana dalam animasi penulis terdapat adegan di mana Jodi menjahili Choky dengan melempar sepatu dari

Pada pelaksanaannya praktikan mengalami kendala yang diantaranya, fasilitas sarana dan prasarana dalam menggandakan surat yang terbatas, komunikasi yang kurang pada

Pada jurnal Hasan dan Putra (2019), Sharon dan Santoso (2017) dan Aminah dkk (2017) menuliskan metode SERVQUAL sebagai ldanasan digunakan dalam mengukur kualitas

MEORUAM ESPIRITU SANCTO MITAM BENEDICTUS EGOSUM ESPIRITUS SANCTUS GRATIAM SANCTUM DEO SANCTUS, SANCTUS SANCTUS DOMINUS, DEUS SANCTUS SABAOTH PLENI SUNT CAELI ET TERRAE

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul

Kecuali pada FN 76 disinter selama 60 menit, nilai induksi remanennya lebih tinggi daripada paduan yang disinter pada waktu yang sama, hal ini dapat dijelaskan di Gambar 4.5b

Sebagai penelitian awal dilakukan analisis kuantitatif merkuri dalam sampel dilakukan dengan tiga cara, yaitu sebagai berikut : menggunakan pereaksi KI, NaOH dan kawat

The Jacatra Secret | 40 oleh Belanda, namun yang sesungguhnya terjadi, di saat sekarang pun simbol-simbol itu terus bermunculan, bukan saja di dalam tata ruang kota namun