• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan bilateral antara Jepang dengan Korea Selatan memiliki sejarah yang kurang baik. Hal ini dikarenakan Jepang pernah menjajah Korea Selatan selama kurun waktu 35 tahun, yakni dari tahun 1910 sampai tahun 1945. Hubungan antara kedua negara ini semakin merenggang dengan adanya sengketa daerah teritorial pulau Dokdo yang diklaim sebagai milik Korea, sedangkan Jepang mengklaim pulau tersebut sebagai pulau Takeshima (Senn, 2013:17). Sampai sekarang masalah tersebut masih belum terselesaikan, sehingga hubungan keduanya terlihat kurang baik. Kemudian ditambah lagi dengan masalah kekayaan intelektual orang Jepang yang dimanfaatkan Korea, yakni pengembangan elektronik rumah tangga (LCD).

Dari sisi interaksi budaya populer, kedua negara ini menunjukkan hubungan yang semakin membaik. Pada tahun 1945, Korea Selatan secara resmi melarang impor produk budaya Jepang, hingga di tahun 1998, yakni dengan diadakannya penandatanganan kerjasama yang bernama Joint Declaration of the New 21st Century Korea-Japan Partnership, maka hal tersebut menjadi awal dari masuknya budaya Korea ke Jepang dan juga sebaliknya (Chua & Iwabuchi, 2008:3-4). Jepang dan Korea Selatan mengadakan berbagai kerjasama persahabatan dalam bentuk pertukaran budaya, yang meliputi kerjasama dalam memproduksi film dan musik, serta diadakan festival budaya tahunan yang diselenggarakan di kedua negara.

Dengan adanya berbagai kerjasama budaya, baik negara Jepang dan Korea menjadi saling terbuka untuk menerima kebudayaan antar satu sama lain. Kerjasama budaya ini menghasilkan budaya populer, yang meliputi serial drama TV, musik, film, animasi, fashion, game dan lain sebagainya. Menurut Barnouw dan Kirkland dalam Creighton (2009:19), budaya populer memberikan penonton suatu gambaran yang berhubungan dengan sandiwara sosial mengenai karakter, hubungan emosi dan ketertarikan, sehingga di dalam penyebaran budaya populer terdapat persaingan untuk mendapatkan perhatian serta memenangkan hati konsumen.

(2)

Beberapa budaya populer yang diakui dalam tingkat internasional adalah budaya populer Amerika yang disebut juga dengan Hollywood (1948), kemudian budaya populer India yang disebut juga dengan Bollywood (1970) dan akhir-akhir ini yang berhasil mencuri perhatian dunia adalah budaya populer Korea Selatan yang dikenal sebagai Korean Wave (Oh, 2009:427).

Sekitar tahun 2000-an, banyak negara yang terkena dampak dari berkembangnya fenomena Korean Wave. Fenomena ini dikenal dengan sebutan Hallyu dalam bahasa Korea, Kanryu (韓流) dalam bahasa Jepang, dan Korean Wave dalam bahasa Inggris. Korean Wave adalah sebuah istilah yang digunakan untuk tersebarnya budaya populer Korea secara global (Park, 2011:23). Makna kata dari Korean Wave mengacu pada gelombang budaya pop Korea.

Istilah Hallyu pertama kali muncul pada tahun 1999, yang dikeluarkan oleh media China untuk menggambarkan besarnya kepopuleran drama TV Korea di China. Kepopuleran tersebut diawali dengan ditayangkannya drama TV Korea yang berjudul “What is Love” di stasiun TV CCTV. Dengan tema yang berorientasi pada perkembangan budaya, drama ini berhasil menarik perhatian masyarakat China dan dianggap memiliki daya tarik dengan keunikannya tersendiri (Park, 2014:86).

Menurut Osaka (2008:29), Kanryu (韓流) dikenal sebagai istilah dari tren budaya populer Korea seperti drama, film, game, dan animasi yang tersebar di berbagai negara di kawasan Asia pada tahun 1990. Dengan adanya budaya populer tersebut, negara Korea berhasil mempengaruhi pandangan dunia internasional terhadap citra nasional yang dimiliki Korea.

Faktor penyebab meningkatnya citra nasional negara Korea di mata dunia adalah dengan diselenggarakannya Piala Dunia 2002, kemudian kepopuleran serial drama TV, film dan musik populer korea (K-pop) yang terus meningkat, terutama di kawasan Asia Tenggara. Ditambah lagi, kepopuleran para bintang pop Korea yang juga semakin meningkat di luar negeri. Selain Korean Wave, fenomena ini dikenal juga dengan sebutan Korean Boom (韓流ブーム). Penyebaran dari Korean Boom

(韓流ブーム) dimulai melalui media televisi, sehingga kepopulerannya mudah untuk

dilanjutkan (Osaka, 2008:30).

Fenomena Korean Boom tersebar di berbagai negara, salah satu negara yang terkena dampak dari penyebaran Korean Boom adalah Jepang. Penyebaran Korean

(3)

Boom di Jepang mampu mengubah perspektif masyarakat Jepang terhadap budaya Korea. Sebelumnya, masyarakat Jepang memiliki persepsi yang negatif terhadap masyarakat dan budaya Korea, hal ini disebabkan dengan adanya berbagai masalah diplomatik diantara kedua negara pada masa yang lampau. Bersamaan dengan masuknya Korean Boom di Jepang, masyarakat Jepang menyadari berbagai aspek yang terdapat dalam masyarakat dan budaya Korea, sehingga mereka mulai tertarik dalam mempelajari bahasa Korea dan terbuka terhadap budaya Korea. Mereka menghargai budaya Korea menjadi sesuatu yang dianggap memiliki nilai yang berharga (Oh, 2009:439).

Menurut Osaka (2008:32), Kepopuleran Korean Boom di Jepang diawali dengan ditayangkannya drama televisi Korea yang berjudul Winter Sonata / Fuyu no Sonata (冬のソナタ) di stasiun TV NHK. Drama ini meraih kesuksesan yang sangat besar di Jepang, sehingga untuk menggambarkan kepopuleran dari drama ini digunakan istilah Fuyu Sona Boom (冬ソナブーム). Penyebab drama ini berhasil meraih kesuksesan di Jepang adalah cerita yang bertemakan pure love. Sedangkan di Korea sendiri, drama dengan tema pure love sudah cukup umum. Sehingga di negara asalnya drama Fuyu no Sonata tidak mendapat kesuksesan seperti di Jepang. Selama dua tahun berturut-turut, drama ini ditayangkan sebanyak 4 kali di Jepang, yakni pada tahun 2013 dan 2014. Bae Yong Joon sebagai pemeran utama pria dalam drama tersebut, juga berhasil meraih kepopuleran yang sangat luar biasa di Jepang, sehingga diberi julukan Yon-sama (ヨン様) oleh para penggemarnya di Jepang.

Selama penyiarannya di Jepang, drama ini mendapat rating yang tinggi, sehingga berhasil memperoleh pendapatan sekitar ¥350.000. Hasil penjualan DVD dari drama ini juga mencapai angka yang fantastik, yakni sebesar 330.000 keping DVD. Kemudian ditambah lagi dengan penjualan buku novel yang mencapai angka 1.220.000 kopi. Kesuksesan Fuyu no Sonata di Jepang mendapatkan perhatian yang besar pula dari berbagai media Jepang, sehingga banyak acara televisi, koran dan majalah Jepang yang mulai membicarakan pengaruh Korean Wave di Jepang (Lee, 2010:13).

Menurut kedutaan besar Korea di Jepang dalam Lee (2010:14), pada tahun 2004 enam koran harian terkemuka di Jepang, setiap harinya paling sedikit mengeluarkan satu berita terkait dengan Korean Wave, sehingga dalam kurun waktu

(4)

satu tahun terdapat sebanyak 386 artikel yang membahas mengenai Korean Wave. Kebanyakan dari artikel-artikel tersebut membahas mengenai “Fuyu Sona Boom” (冬

ソナブーム), termasuk kepopuleran Yon-sama di Jepang.

Mayoritas penonton drama Fuyu no Sonata di Jepang adalah wanita berusia sekitar 30-70 tahun. Hal ini dipicu oleh berbagai faktor salah satunya adalah cerita drama Fuyu no Sonata yang bertema “pure love”. Cerita “pure love” yang dimaksud adalah cerita yang menggambarkan hubungan cinta yang sewajarnya dialami oleh pasangan kekasih. Sehingga membuat para ibu rumah tangga yang berusia diatas empat puluh tahun merasakan nostalgia terhadap cinta pertama mereka (Lee, 2010:19).

Mereka menikah pada saat perekonomian Jepang sedang mengalami pertumbuhan yang pesat. Sehingga setelah menikah, mereka memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Bersama dengan suaminya, mereka berjuang untuk membesarkan anak mereka dan menjadi realistik dalam menjalani kehidupannya. Namun setelah anak mereka besar, mereka menjadi banyak memiliki waktu kosong yang membuat mereka merasa kesepian dan kehilangan. Situasi tersebut membuat mereka merasa terabaikan dalam masyarakat sosial (Lee, 2010:20).

Sebelum film Fuyu no Sonata disiarkan di Jepang, perusahaan penyiaran Jepang tidak memproduksi drama televisi untuk para ibu rumah tangga. Target konsumen dari sponsor pada masa itu adalah kaum remaja, sehingga mereka hanya memproduksi drama yang berorientasi dengan kaum remaja. Namun, kaum remaja biasanya tidak memiliki waktu untuk menonton drama televisi. Pada kenyataannya, penonton dari drama televisi Jepang adalah para ibu rumah tangga, tetapi mereka tidak mendapatkan program yang sesuai dengan selera mereka (Lee, 2010:21).

Dengan adanya berbagai situasi tersebut, para ibu rumah tangga merasa “kosong” dan terabaikan dari lingkungannya. Namun, setelah menonton film Fuyu no Sonata, mereka merasakan nostalgia yang membuat mereka berhasil menemukan kembali identitas diri mereka yang telah “hilang” dan kembali merasa “terpenuhi”. Karakter Yon-sama dalam film tersebut, mampu membuat mereka merasa jatuh hati dan terhubung kembali dengan perasaan emosional yang dahulu pernah mereka rasakan (Ho, 2012:172).

(5)

Istilah nostalgia berasal dari bahasa Yunani, yang terbentuk dari kata notos dan algia. Menurut Hofer dalam Horiuchi (2007:197), kata notos memiliki arti “pulang ke rumah”, dan algia yang berarti “sakit” atau “kerinduan”. Sehingga gabungan kata nostalgia mengacu pada kerinduan akan rumah atau sering juga disebut sebagai homesick. Namun, pengertian ini diluruskan oleh para ahli, sehingga nostalgia tidak berhubungan dengan penyakit melainkan dengan emosi seseorang. Nostalgia merupakan sebuah emosi yang merindukan masa lalu dan merupakan kunci yang menghubungkan antara pembelajaran di masa lalu dan kebutuhan di masa sekarang (Wilson, 2005:36).

Selain itu, drama Fuyu no Sonata juga mengingatkan mereka pada beberapa drama televisi Jepang yang dahulu pernah ada. Salah satu contohnya adalah drama televisi Jepang yang berjudul Akai Unmei (赤い運命). Drama ini dibuat pada tahun 1970 dan memiliki alur cerita yang cukup mirip dengan drama Fuyu no Sonata, yakni hilangnya ingatan, tokoh utama yang tidak mengetahui identitas orang tuanya dan hubungan cinta segitiga (Lee, 2010:20).

Perasaan nostalgia yang dirasakan oleh ibu rumah tangga Jepang setelah menonton drama Fuyu no Sonata dilatarbelakangi oleh disharmonisasi yang dialami dalam keluarga. Dari berbagai latar belakang tersebut, penulis tertarik meneliti tema ini sebagai bahan penelitian.

1.2 Masalah Pokok

Dalam skripsi ini, penulis akan menganalisa masalah disharmonisasi keluarga dalam hubungan suami-istri di Jepang melalui beberapa studi kasus yang menggambarkan keadaan ibu rumah tangga Jepang menjadi penggemar drama Fuyu no Sonata.

1.3 Formulasi Masalah

Formulasi masalah dalam penulisan skripsi ini adalah penulis akan menganalisa pengaruh disharmonisasi keluarga Jepang terhadap munculnya perasaan natsukashisa atau nostalgia yang dialami oleh para ibu rumah tangga setelah menonton drama Fuyu no Sonata.

(6)

1.4 Ruang Lingkup Permasalahan

Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada kasus-kasus disharmonisasi keluarga yang mengakibatkan muculnya perasaan natsukashisa pada ibu rumah tangga Jepang yang bernama Toyonaga Ayaka (56 tahun), Kawabata Keiko (59 tahun) dan Toyota Mayumi (49 tahun) setelah mereka menonton drama Fuyu no Sonata (冬のソナタ).

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh disharmonisasi keluarga sebagai faktor penyebab perasaan natsukashisa yang dirasakan oleh para ibu rumah tangga Jepang setelah menonton drama Fuyu no Sonata. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengetahuan tambahan untuk para pembelajar budaya Jepang.

1.6 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku yang berjudul Idol and Celebrity in Japanese Media Culture karya Patrick W. Galbraith dan Jason G. Karlin (2012), buku ini berisi kumpulan artikel-artikel. Salah satu judul subbab dalam buku tersebut adalah Emotions, Desires, and Fantasies: What Idolizing Means for Yon-sama Fans in Japan karya Ho Swee Lin, yang menjelaskan bahwa penyebab dari penggemar merasakan nostalgia adalah hilangnya semangat sosial yang ada, sebelum terjadinya bubble economy Jepang pada awal tahun 1990. Ho melakukan wawancara terhadap penggemar Yon-sama di Jepang yang merasa menyesal terhadap lemahnya ikatan dalam keluarga, serta mereka juga melihat karakter Yon-sama dalam film Fuyu no Sonata sebagai “kerinduan” (natsukashii). Mereka adalah para ibu rumah tangga yang merasa telah “kehilangan” kemampuan untuk merasakan dan mengekspresikan emosi mereka. Namun, untuk dapat mengekspresikan kembali emosi mereka, banyak penggemar berusaha menghidupkan perasaan mereka dengan cara berfantasi, sehingga mereka memperoleh kembali jati diri mereka sebagai seorang wanita.

Penulis juga menggunakan junal penelitian yang berjudul Hallyu: The Rise of Transnational Cultural Consumers in China and Japan, yang dibuat oleh Oh In Gyu (2009). Dalam jurnalnya, Oh menjelaskan bahwa “middle-aged Japanese women” (wanita Jepang setengah baya) memiliki peran penting dalam penyebaran budaya

(7)

Korea, serta mengarahkan budaya konsumen terhadap produk-produk budaya Korea. Middle-aged Japanese women ini meliputi wanita Jepang baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan yang berusia 40-60 tahun. Mereka tertarik dalam pembelajaran retrospektif (berhubungan dengan hal yang lampau) sebagai simbol kebebasan yang terlepas dari arus budaya dan dominasi pria. Pembelajaran retrospektif ini, mereka dapatkan melalui budaya Korea yang masuk ke Jepang. Budaya Korea mengingatkan mereka dengan pengalaman yang pernah mereka alami terhadap dunia hiburan Jepang pada tahun 1970-1980, yang tidak dapat diulang kembali, jika melihat media massa Jepang pada saat ini. Jurnal ini juga membahas wawancara yang dilakukan oleh Hirata terhadap Middle-aged Japanese women. Dalam wawancara tersebut, mereka mengatakan bahwa sekarang ini, film seperti Fuyu no Sonata sudah tidak ada lagi di Jepang, dengan menonton film tersebut mereka dapat menemukan kembali nilai tradisi dari budaya populer Jepang yang telah lama hilang.

Selanjutnya pada tahun 2010, Lee Jong Hoon melakukan penelitian mengenai penyebab drama Fuyu no Sonata berhasil mempengaruhi wanita “middle-aged” dan “elderly” di Jepang. Dalam jurnal ini, seorang jurnalis yang bernama Hayashi mengungkapkan bahwa, rentan usia penonton drama Fuyu no Sonata di Jepang berkisar dari 30 sampai 70 tahun dan responden yang mengisi kuisioner sebagai penggemar dari film Fuyu no Sonata; 97 persen dari responden merupakan wanita. Lee menjelaskan penyebab drama Fuyu no Sonata berhasil mempengaruhi wanita “middle-aged” dan “elderly” di Jepang adalah cerita yang bertemakan pure love dan penggambaran nilai-nilai tradisi yang masih dipegang kuat. Mayoritas penggemar film ini berada pada kondisi sebagai wanita yang berusia lebih dari 30 tahun dan telah menikah serta memiliki anak, kemudian merasakan nostalgia terhadap perasaan asmara yang pernah dialaminya. Tema pure love ini membuat mereka berfantasi sebagai pemeran utama dalam drama dan membayangkan diri mereka untuk kembali merasakan pengalaman cinta pertamanya. Kemudian, ikatan yang kuat dalam keluarga dan rasa hormat terhadap orang tua yang digambarkan dalam drama Fuyu no Sonata, perlahan sudah mulai menghilang dalam masyarakat Jepang, sehingga mereka merasa nostalgia terhadap nilai-nilai tradisional tersebut.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

pembiayaan tetep akan diberikan dengan jumlah pembiayaan di.. kurangi, hal ini tentunya akan berdampak kepada pihak BPRS Haji Miskin tersebut, yang mana nantinya

Kenaikan indeks harga terjadi pada subkelompok tembakau dan minuman beralkohol sebesar 1,04 persen, minuman yang tidak beralkohol sebesar 0,09 persen, serta makanan

value Teks default yang akan dimunculkan jika user hendak mengisi input maxlength Panjang teks maksimum yang dapat dimasukkan. emptyok Bernilai true jika user dapat tidak

Kemudian Anda juga harus menyatakan bahwa karena Anda mengajukan permohonan terhadap Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang

Sebelumnya dikatakan bahwa Kecamatan Reok lolos untuk menjadi Pusat Kegiatan Lokal dikarenakan memiliki pelabuhan kelas III dan jalan areteri yang mendukung

Lokasi tersebut dipilih secara purposif dengan alasan (a) ja- lan lintas Papua merupakan jalan yang mengikuti garis perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea

1.1 PERSIAPAN YANG PERLU DIPERHATIKAN Ada beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan sebagai seorang pengajar sebelum mengakses E-learning UPU diantaranya yaitu

Rencana ini menggambarkan arah, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program dan kegiatan penyelenggaraan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan yang sesuai dengan tugas