• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lungsoġ: Terapi Uap Pereda Nyeri Rematik Orang Daya. Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lungsoġ: Terapi Uap Pereda Nyeri Rematik Orang Daya. Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lungsoġ:

Terapi Uap Pereda Nyeri

Rematik Orang Daya

Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan

Titan A Ishartono Lulut Kusumawati

Penerbit

(3)

Titan A, dkk

Lungsoġ :

Terapi Uap Pereda Nyeri

Rematik Orang Daya

Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan

Diterbitkan Oleh

UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97

Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang

Gedung C-15Surabaya

Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598

Email: unipress@unesa.ac.id unipressunesa@yahoo.com

Bekerja sama dengan:

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xv, 199 hal., Illus, 15.5 x 23 ISBN : 978-979-028-959-8

copyright © 2016, Unesa University Press

All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

(4)

SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes

drg. Made Asri Budisuari, M.Kes

dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo

dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK Sekretariat : Mardiyah, SE. MM

(5)

Koordinator Wilayah:

1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala

2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan

3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan

4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru

5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan

6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat

7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng

9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke

10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu

Raijua, Kab. Tolikara

12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna

(6)

KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense

of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam

menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

(7)

Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

(8)

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 6

1.2.1. Tujuan umum penelitian ... 6

1.2.2. Tujuan khusus penelitian ... 7

1.3. Metode ... 7

1.3.1. Penentuan lokasi penelitian ... 7

1.3.2. Pengumpulan data ... 9

1.3.3. Analisa data ... 12

BAB 2 ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU ... 14

2.1. Gambaran umum Kabupaten OKU Selatan ... 14

2.2. Sejarah Jalma Daya Sunur ... 19

2.3. Cerita asal mula Desa Padang Bindu ... 23

2.4. Desa Padang Bindu dan perkembangannya ... 28

2.5. Gambaran Umum Desa Padang Bindu ... 33

2.5.1. Dari Muara Dua ke Desa Padang Bindu ... 39

2.5.2. Desa Padang Bindu di antara dua sungai ... 41

2.5.3. Pemukiman dan rumah adat suku Daya Padang Bindu ... 43

2.6. Agama dan Kepercayaan orang suku Daya Desa Padang Bindu... 48

2.6.1. Sedekahan dalam lingkaran hidup Penduduk Desa Padang Bindu ... 50 2.6.2. Sedekahan ruwahan dan kepercayaanTerhadap

(9)

dunia gaib ... 54

2.6.3. Pesantren, usaha mempertahankan Islam Di Desa Padang Bindu ... 57

2.6.4. Mitos Danau Upungan ... 59

2.7. Bertahan hidup dengan kopi ... 61

2.8. Produksi pertanian di Desa Padang Bindu ... 64

2.9. Petani kopi dan kehidupan baru di Sapo ... 69

2.10. Sakai dalam kehidupan petani Desa Padang Bindu ... 74

2.11. Organisasi sosial dan sistem kekerabatan ... 77

2.12. Adok dalam budaya suku Daya Desa Padang Bindu ... 80

2.13. Adat pernikahan di Desa Padang Bindu ... 82

2.14. Konsep sehat dan sakit ... 87

2.15. Ribang bagi kehidupan penduduk Desa Padang Bindu ... 88

2.16. Bahasa orang Daya Desa Padang Bindu ... 89

BAB III POTRET KESEHATAN JALMA DAYA ... 90

3.1. Status kesehatan ... 90

3.1.1 Menyapa pembaruan ... 90

3.1.1.1. Tiga sumber air………. ... . 90

3.1.1.2. Jamban………... 94

3.1.1.3. Cuci tangan dalam semangkuk air…… ... .95

3.1.2 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)………. ... .97

3.1.2.1 Satu Desa Satu Bidan……… ... 97

3.1.2.2 Mbay, Dukun Bayi Padang Bindu……… ... .99

3.1.2.3 Budaya dan Adat Pada Kehamilan dan Persalinan ... 102

3.1.2.4 Bayi dan Balita……… ... 109

3.1.3 Perilaku Merokok………... 115

3.1.4 Penyakit Menular ... 119

3.1.4.1 Penyakit Kusta dan TBC ... 119

3.1.4.2 Wabah Cikungunya ... 120

(10)

3.1.3. Penyakit Tidak Menular (PTM)……….……… ... .122

3.1.5.1 Rematoid………..……… .... 123

3.1.5.2 Hipertensi dan Stroke……….. .... 124

3.2 Ketersediaan Pelayanan Kesehatan ... 126

3.2.1 Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Formal ... 126

3.2.2 Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Tradisional ... 134

3.3 Pola Pencarian Pengobatan ... 139

BAB IV Lungsoġ Ramuan Pereda Nyeri ... 142

4.1. Lungsoġ ramuan Pereda Nyeri ... 142

4.1.1. Lungsoġ dan Pembagiannya ... 143

4.1.2. Manfaat Lungsoġ ... 143

4.1.3. Ramuan Lungsoġ ... 143

4.2. Lungsoġ Rematik ... 143

4.2.1. Definisi dan Ciri Rematik ... 143

4.2.2. Causa Rematik, Demi Bulir Kopi ... 146

4.2.3. Obat Medis, Pengobatan Praktis Sementara ... 152

4.2.4. Terapi Lungsoġ Rematik ... 155

4.2.5. Rematik dan Lungsoġ Rematik dalam Pandangan Medi s159 4.3. Lungsoġ Moġian ... 163

4.3.1. Moġian, Penyakit Misterius ... 163

4.3.2. Penyebab Moġian ... 166

4.3.3. Moġian Dalam Pandangan Medis ... 168

4.3.4. Lungsoġ Mogian Yang Diturunkan ... 169

BAB V POTENSI DAN TANTANGAN ... 174

5.1. Sakai ... 174

5.2. Talang-Talang ... 175

5.3. Rematik dan Lungsoġ ... 176

(11)

Daftar Pustaka ... 180

Indeks ... 182

Glosarium... 186

Ucapan Terima Kasih ... 192 Komponen SWOT ...

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Gambar 3.1. Pemakaian Vaksin di Puskesmas Buay Runjung

PadaTahun 2014 ... 98 Gambar 3.2. Kunjungan K1 dan K4 di UPTD Puskesmas

Gambar 3.3. Buay RunjungTahun 2014 ... 104 Gambar 3.4. Jumlah Kunjungan Pasien TB di

UPTD Puskesmas Buay RunjungTahun 2014 ... 120 Gambar 3.5. Daftar 10 Penyakit Terbanyak

di Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014 ... 123 Gambar 3.6. Jumlah Pegawai di UPTD Puskesmas

Buay Runjung Tahun 2014 ... 127 Gambar 4.1 Perbandingan Antara Lungsoġ Moġian

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1. Travel Kota Palembang – Kota MuaraDua PP ... 15 Gambar 2.2. Peta Kab.OKU Selatan ... 17 Gambar 2.3. Tugu Walet yang Ada di Taman MuaraDua ... 18 Gambar 2.4. Ciri Fisik Orang Suku Daya, Jari Tangan

yang Agak Sedikit Bengkok ... 21 Gambar 2.5. Bukti Fisik Cerita tentang Sejarah

Desa Padang Bindu ... 22 Gambar 2.6. Silsilah Keturunan Suku Daya Sunur dan

Desa Padang Bindu ... 23 Gambar 2.7. Makam Phuyang Patih Mapak ... 24 Gambar 2.8. Makam Phuyang Mangkubumi

dan Bentuk Makam Jaman Dulu ... 26 Gambar 2.9. Benda-Benda Bersejarah Pedang

dan Kotak Peninggalan Phuyang ... 28 Gambar 2.10. Bekom, Sumber Penerangan Ketika Listrik Padam ... 31 Gambar 2.11. MCK di Desa Padang Bindu yang

Belum Selesai Dibangun MCK di Desa Padang Bindu yang Belum

Selesai Dibangun ... 33 Gambar 2.12. Peta Desa Padang Bindu ... 34 Gambar 2.13. Contoh Tempat Untuk Mendapatkan Signal

dan Alat Penguat Signal... 35 Gambar 2.14. Suasana Hari Kamis Saatnya Belanja

Di Kalangan ... 37 Gambar 2.15. Salah Satu Penjual Obat-obatan

yang Ada di Kalangan ... 38 Gambar 2.16. Sungai Kima, Sumber Pengairan

(15)

di Desa Padang Bindu ... 42

Gambar 2.17. Sungai Semingkap, Sarana MCK Masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu ... 43

Gambar 2.18. Bentuk Rumah ... 44

Gambar 2.19. Kayu Bulat Sebagai Pengunci Bangunan Rumah ... 45

Gambar 2.20. Penahan Lantai Berupa Kayu Bulat Utuh yang Berfungsi Untuk Menahan Goncangan Gempa Atau Tanah yang Bergerak. 46 Gambar 2.21. Masjid desa ... 49

Gambar 2.22. Musholla yang ada di Dusun 2 ... 50

Gambar 2.23. Sedekahan Petunggu ... 53

Gambar 2.24. Tradisi Ruwahan yang Biasa Dilakukan Menjelang Bulan Puasa ... 55

Gambar 2.25. Pemasangan Tulisan Arab di AtasPintu ... 57

Gambar 2.26. Kegiatan Khataman Murid Pesantren ... 58

Gambar 2.27. Danau Upungan, Tempat yang Dianggap Keramat Oleh Desa Padang Bindu .... 60

Gambar 2.28. Tanjing, Langkah Awal Dalam Proses Penanaman Kopi ... 64

Gambar 2.29. Biji kopi dalam 1 centeng ... 65

Gambar 2.30. Sistem Penanaman Padi Jajar Legowo ... 69

Gambar 2.31. Sapo Panggung ... 70

Gambar 2.32. Sapo Depok ... 71

Gambar 2.33. Aktivitas Didalam Sapo ... 72

Gambar 2.34. Jalan menuju kebun kopi yang becek pada saat musim hujan ... 73

Gambar 2.35. Pakaian adat pernikahan masyarakat Desa Padang Bindu ... 83

Gambar 3.1. Masyarakat Mencuci Piring di Sungai ... 92

Gambar 3.2. Bangunan Peninggalan Pamsimas Yang Tidak Digunakan Oleh Masyarakat ... 93

Gambar 3.3. Peta Santasi yang dimiliki Oleh Desa Padang Bindu... 94

(16)

Gambar 3.4. Bangunan Wastafel yang Tidak Digunakan ... 96

Gambar 3.5. Tali Pusar Bayi Yuk SR yang diobati dengan Air Garam ... 101

Gambar 3.6. Mbay D yang Melakukan Urut Pasca Persalinan 106 Gambar 3.7. Proses Cuci Tangan Penolong Persalinan Pasca Melahirkan ... 108

Gambar 3.8. Langkut, Makanan Pelancar ASI ... 110

Gambar 3.9. Njami Sampot (bisul) Pada Balita ... 112

Gambar 3.10. Dek AU yang Mengenakan Obat Berupa Kalung 114 Gambar 3.11. Ritual Petunggu Dek AU ... 115

Gambar 3.12. Kebiasaan Merokok di Sekitar Balita ... 116

Gambar 3.13. Menikmati Rokok di Sapo ... 117

Gambar 3.14. Penjual Rokok di Kalangan ... 118

Gambar 3.15. Kondisi UPTD Puskesmas Rawat Inap Buay Runjung ... 128

Gambar 3.16. Polindes Desa Padang BIndu yang Hanya digunakan Untuk Posyandu ... 130

Gambar 3.17. Praktik Bidan UM Pada Hari Kalangan ... 133

Gambar 4.1. Tingkatan Nyeri Sendi Menurut Masyarakat Etnik Daya ... 145

Gambar 4.2. Sepatu Karet Untuk Ke Kebun ... 148

Gambar 4.3. Jalanan Yang Biasa di Lalui Warga Desa Menuju Kebun ... 149

Gambar 4.4. Penjual Obat yang Berjualan Bebas di Kalangan 153 Gambar 4.5. Obat Rematik yang Dibeli di Kalangan ... 153

Gambar 4.6. Bahan Bahan Lungsoġ ... 157

Gambar 4.7. Daun Capa ... 158

Gambar 4.8. Mbay SR dan Mbay ASH belungsoġ Sepulang dari Kebun ... 159

Gambar 4.9. Bahan Lungsoġ milik Mbay SR ... 170

Gambar 4.10. Lungsoġ Moġian Milik bu ASR ... 171

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mari mengenal lebih dalam Bumi Sriwijaya, Sumatera Selatan. Budaya Melayu sangat kental disini. Karamahan khas serta kekayaan alam tropis menjadi identitas khusus yang dapat kita temui di salah satu provinsi wilayah Indonesia ini. Ada beberapa kabupaten yang masuk dalam wilayah provinsi ini, salah satunya adalah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan atau lebih mudah menyebutnya dengan OKU Selatan. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu. OKU Selatan dengan ibukotanya Muara Dua merupakan kabupaten yang baru berdiri selama dua Belas tahun terakhir berdasarkan Undang–undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Pada awal pembentukannya, Kabupaten OKU Selatan hanya terdiri dari 10 kecamatan. Kemudian kabupaten ini terus berkembang sampai saat ini menjadi 19 kecamatan dengan 7 kelurahan dan 252 desa (BPS, 2012).

Secara geografis Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan terletak antara 103 21’ BT dan 04 14’ - 04 55 LS. Wilayah Kabupaten OKU Selatan memiliki luas 549.394 Ha. Batas–batas wilayah administratif Kabupaten OKU selatan adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten OKU, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan (Provinsi Bengkulu) dan Kabupaten Muara Enim (Kecamatan Semendo Barat Ulu) dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten OKU Timur (Kecamatan Martapura) dan Kabupaten Way Kanan (Provinsi Lampung) (BPS, 2012).

Penduduk yang tinggal di daerah Kabupaten OKU Selatan ini berasal dari bermacam–macam suku. Ada yang merupakan suku asli Sumatera Selatan dan ada pula yang merupakan suku pendatang

(18)

namun telah menetap di wilayah OKU Selatan. Salah satu suku yang ada di OKU Selatan adalah suku Daya atau Jalma Daya. Kelompok masyarakat ini hidup dan menyebar di sepanjang aliran sungai yang sekarang dikenal dengan nama sungai Komering. Menjadi tantangan yang cukup besar untuk dapat belajar dan memahami lebih dalam salah satu etnis di wilayah Kabupaten OKU Selatan ini. Masyarakat Etnis Daya tersebar di sebagian besar wilayah di Kabupaten OKU Selatan, termasuk di wilayah Kecamatan Buay Runjung, dan khususnya Etnik Daya di Kampung Sunur. Kampung Sunur terdiri dari Desa Nagar Agung, Desa Saung Naga, Desa Padang Bindu, dan Desa Padang Sari, dimana adat istiadat dan budaya masyarakat Suku Daya masih sangat kental di keempat desa itu.

Riset Etnografi Kesehatan dilakukan di Ogan Komering Ulu Selatan atas dasar Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kementerian Kesehatan tahun 2013. Ogan Komering Ulu Selatan menduduki peringkat 413. Riset ini secara umum bertujuan mengangkat potensi budaya yang ada pada etnik Daya di Desa Padang Bindu yang berkaitan dengan kesehatan seperti kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta gambaran perilaku hidup bersih dan sehat. Di desa ini masyarakat masih menjalankan adat istiadat suku Daya, walaupun beberapa adat istiadat sudah berubah karena kemajuan jaman.

Kemajuan jaman yang begitu cepat seringkali memiliki pengaruh negatif bagi masyarakat. Hal ini juga terjadi pada etnik Daya, walaupun tidak semua unsur budaya membawa pengaruh yang negatif bagi masyarakat. Karakter masyarakat yang cenderung mudah menerima kemajuan jaman cenderung tanpa melalui filter tertentu, sehingga dapat dikatakan Etnik Daya mengalami masa transisi yang tidak terkontrol dan tanpa pegangan.

Pelayanan tenaga kesehatan pada masyarakat sudah cukup baik. Ketersedian fasilitas kesehatan dan sarana air bersih yang ada di Desa Padang Bindu sudah mencukupi. Namun hal tersebut didasarkan

(19)

karena alasan kepraktisan semata, bukan serta merta merupakan alasan pandangan masyarakat mengenai penyembuhan medis dan perilaku masyarakat yang hidup bersih dan sehat.

Pertama kali peneliti memasuki wilayah Desa Padang Bindu, kekaguman datang dari deretan rumah yang tersusun apik sepanjang jalan Desa Padang Bindu. Rumah-rumah kayu tersebut mayoritas rumah panggung dan kelihatan sangat khas sekali. Namun, kekhasan tersebut disandingkan dengan wujud kemajuan teknologi informasi yang dilihat dari parabola- parabola yang berdiri tegak di depan hampir setiap rumah. Tradisi dan kemajuan jaman yang bersanding bersamaan seringkali mengaburkan identitas asli dan merubah makna serta fungsi yang terkandung dalam adat istiadat itu sendiri dalam suatu masyarakat.

Masuknya teknologi informasi yang begitu cepat mempunyai dampak yang begitu besar dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat dengan mudahnya menerima unsur–unsur budaya dari luar, termasuk pula dengan terpengaruhnya pola pikir masyarakat itu sendiri. Walaupun sudah banyak hal–hal baru yang mempengaruhi pola pikir masyarakat, namun ada pula suatu adat istiadat yang masih terpendam dan tersimpan yang bahkan tidak di ketahui dan disadari oleh masyarakat itu sendiri.

Begitu pula dengan masyarakat Suku Daya yang ada di Desa Padang Bindu. Masyarakat Suku Daya di Desa padang Bindutidak menyadari bahwa selama ini mereka masih menjalankan adat istiadat mulai dari jaman nenek moyang suku Daya. Akan tetapi mereka beranggapan bahwa adat istidat mereka sudah berkurang dengan alasan bahwa orang–orang tua yang masih menjalankan adat istiadat Suku Daya sudah meninggal dan tidak ada yang mau meneruskannya. Faktor masuknya teknologi dan informasi juga ikut mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat Suku Daya itu sendiri. Transformasi pengetahuan masyarakat itu sendiri tidak akan pernah putus dan dilakukan secara turun temurun walaupun wujud nyata

(20)

adat istiadat masyarakat sudah berkurang, seperti halnya upacara adat pernikahan, upacara peringatan hari besar keagamaan, pengobatan–pengobatan tradisional dan mata pencaharian masyarakat Desa Padang Bindu.

Tanah Desa Padang Bindu yang subur sebagian besar diperuntukkan sebagai kebun tanaman kopi, sehingga mayoritas masyarakatnya juga mempunyai mata pencaharian sebagai petani kopi. Mata pencaharian sebagai petani tanaman kopi sudah dilakukan sejak jaman nenek moyang. Tanaman kopi dan kehidupan masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu tidak dapat di pisahkan. Masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari tanaman kopi yang mereka tanam. Tanah kebun kopi yang ada di Desa Padang Bindu merupakan tanah warisan secara turun temurun sehingga sangat sulit untuk ditinggalkan. Beberapa masyarakat tidak pulang ke rumah dan tidur di pondok pada saat musim panen kopi hanya sekedar menjaga tanaman kopi dari binatang ataupun dari manusia yang akan mencuri buah kopi yang siap panen. Namun setiap paginya, sebagian besar masyarakat rela menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki selama berjam–jam dan pulang ke rumah pada sore harinya hanya untuk melakukan perawatan ataupun memanen tanaman kopi yang ada di kebun.

Sumber daya alam yang sesuai untuk tanaman kopi dan terciptanya pekerjaan masyarakat sebagai petani kopi menjadi dua hal yang mendorong munculnya kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Kebiasaan yang timbul dari lingkungan alam tanaman kopi dan petani kopi adalah kebiasaan untuk meminum kopi. Kebiasaan yangdilakukan oleh masyarakat adalah menyeruput sedikitnya tiga gelas kopi dalam satu hari. Kebiasaan minum kopi juga berlaku bagi tamu yang datang ke rumah tetangga atau kerabat. minuman yang wajib disuguhkan pada tamu adalah kopi. Kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Desa Padang Bindu merupakan kewajiban, karena menurut keyakinan masyarakat bahwa ketika bekerja tidak minum kopi seluruh badan

(21)

akan terasa lemas dan minum segelas kopi bisa memulihkan badan menjadi sehat dan segar kembali. Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa kebiasaan meminum kopi akan dapat menambah semangat kerja, akan tetapi pekerjaan masyarakat sebagai petani kopi tanpa disadari membutuhkan tenaga fisik yang kuat. Bila kondisi tubuh tidak sehat dan minum kopi terlalu banyak yang dilakukan masyarakat dapat merugikan kesehatan maka akan dapat dengan mudah terserang penyakit.

Penyakit tersering yang diderita oleh masyarakat di Desa Padang Bindu, menurut keterangan salah satu bidan yang tinggal di Desa Padang Bindu adalah ISPA pada usia anak–anak, sedangkan pada orang dewasa adalah hipertensi, TB dan rematik. Penyakit – penyakit tersebut sesuai dengan data yang ada di Puskesmas Buay Runjung, bahwa penyakit yang paling banyak di derita oleh masyarakat adalah rematik. Gejala utama dari penyakit ini biasanya terjadi nyeri pada sendi terutama ketika di pakai untuk bergerak dan hambatan gerakan sendi. Penyebab penyakit ini belum di ketahui secara pasti, tetapi menurut pendapat masyarakat penyebab timbulnya penyakit rematik ini yaitu karena mengkonsumsi makanan sejenis kacang – kacangan,cuaca dingin di desa serta aktifitas fisik yang tinggi sebagai petani kopi.

Beberapa anggota masyarakat membeli obat–obatan sejenis pil yang di jual secara bebas di Kalangan (sebutan untuk pasar tradisional) ataupun menggunakan pengobatan secara tradisional untuk menghilangkan rasa nyeri pada sendi. Masyarakat hanya sekadar membeli dan meminum obat tersebut tanpa mengetahui efek samping dari minum obat tersebut. Cara minum atau aturan minum obat tersebut hanya di dapat sekedarnya dari pedagang obat. Pengobatan secara tradisional yang digunakan masyarakat adalah

Lungsoġ ( baca : Lungsorgh ). Lungsoġ adalah semacam pengobatan

dengan menggunakan ramuan atau rempah–rempah yang direbus. Rempah-rempah direbus sampai mendidih dan mengeluarkan uap.

(22)

Uap tersebut kemudian dipakai untuk mengurangi nyeri sendi pada kaki yang terkena rematik.

Pengobatan penyakit rematik secara tradisional dengan menggunakan Lungsoġ tersebut sangatlah menarik. Cara penggunaanya sangatlah mirip dengan mandi uap atau Spa yang ada di kota–kota besar. Pengobatan rematik secara tradisional ini yang membuat peneliti ingin mengetahui dan mempelajari secara lebih mendalam tentang Lungsoġ, mulai dari proses peracikan rempah– rempah yang digunakan sampai dengan penggunaannya. Dari hasil rasa ingin tahu tentang pengobatan tradisional penyakit rematik itulah, maka peneliti mempunyai pemikiran bahwa Lungsoġ yang kemudian dijadikan tematik dalam Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini. Peneliti menemui kesulitan dalam mengidentifikasi konsep emik tentang Lungsoġ selama melakukan pengumpulan data. Terdapat perbedaan konsep tentang Lungsoġ dari keterangan yang di berikan oleh informan sehingga peneliti sering melakukan triangulasi. Beberapa informan menyebutkan bahwa Lungsoġ adalah pengobatan tradisional untuk mengurangi nyeri sendi dan beberapa informan lain menyebutkan Lungsoġ untuk mengobati penyakit ibu pasca persalinan sampai anak berumur 3 tahun. Dari perbedaan tentang konsep tersebut, maka pada akhirnya peneliti memutuskan bahwa tematik tetap Lungsoġ. Dalam bahasan tentang tematik, akan diberikan gambaran keseluruhan tentang Lungsoġ, baik pengobatan tradisional untuk penyembuhan rematik maupun untuk mengobati ibu pasca persalinan sampai anak berusia 3 tahun.

1.2. Tujuan Penelitian

1.2.1. Tujuan Umum Penelitian

Tujuan Riset Etnografi Kesehatan tahun 2015 adalah untuk mengidentifikasi secara holistik mengenai unsur–unsur kebudayaan dalam masyarakat dan termasuk juga identifikasi profil kesehatan masyarakat Suku Daya Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan di

(23)

Provinsi Sumatera Selatan. Unsur–unsur kebudayaan dalam masyarakat yang terdiri dari sistem religi, mata pencaharian, bahasa, pengetahuan, alat dan teknologi, organisasi sosial dan kemasyarakatan, dan kesenian. Identifikasi profil kesehatan masyarakat berisi tentang konsep sehat dan sakit, Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular, Penyakit menular dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, serta permasalahan kesehatan dan cara mengatasinya sesuai dengan pemahaman yang di miliki oleh masyarakat Suku Daya. Hal ini diharapkan nantinya dapat menciptakan rekomendasi intervensi dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Suku Daya.

1.2.2. Tujuan Khusus Penelitian

Tujuan khusus dari riset ini adalah mengidentifikasi unsur-unsur budaya suku Daya di Desa Padang Bindu yangmempengaruhi pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan. Peneliti akan menggali lebih dalam tentang pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam upaya penyembuhan penyakit secara tradisional atau secara biomedikal, dan keterkaitannya dengan kehidupan sosial budaya msyarakat. Hasil identifikasi ini diharapkan nantinya akan memicu penelitian lain yang berupa suatu intervensi yang dapat merubah pengetahuan dan pola perilaku masyarakat.

1.3. Metode

1.3.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini dilakukan di 23 Provinsi dan 30 Kabupaten di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan adalah salah satu tempat yang terpilih dalam Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai 14 Kabupaten/Kota, tetapi yang terpilih menjadi lokasi penelitian adalah di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Ogan

(24)

Komering Ulu Selatan yaitu berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat ( IPKM ). IPKM di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan yang paling rendah diantara Kabupaten/Kota yang lain di Provinsi Sumatera Selatan___( IPKM Kemenkes, 2013 ).

Lokasi penelitian yang terpilih di Kabupaten OKU Selatan berdasarkan data Komunitas Adat Terpencil dari Kementerian Sosial berada di Desa Mehanggin Kecamatan Muara Dua. Namun kepastian lokasi penelitian ditentukan pada saat kegiatan persiapan daerah. Kegiatan persiapan daerah di lakukan sebagai langkah awal untuk melakukan Riset Etnografi Kesehatan. Kegiatan persiapan daerah meliputi yaitu mengumpulkan data awal tentang profil kesehatan, meminta ijin penelitian ke Bakesbang Provinsi dan Bakesbang Kabupaten serta melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten. Peneliti juga mengadakan koordinasi dan berdiskusi dengan Bapak Arson Abadi selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan. Menurut keterangan Bapak Kepala Dinas Kesehatan, desa-desa di Kabupaten OKU Selatan sudah mempunyai tenaga kesehatan di masing-masing desa, seperti Bidan Desa, dan fasilitas kesehatan sudah cukup memadai walaupun akses menuju ke desa mempunyai faktor kesulitan yang sama. Desa Mehanggin tidak lagi menjadi desa yang terpencil , karena akses menuju ke desa sudah bisa di lalui dengan menggunakan kendaraan roda empat. Selain itu yang tinggal di desa ini bukan masyarakat suku asli OKU Selatan melainkan heterogen dari berbagai suku. Dengan pertimbangan itu maka Bapak Arson Abadi selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan akhirnya mengarahkan Riset Etnografi Kesehatan ini dilakukan di Kecamatan Buay Runjung, di tempat ini mayoritas masyarakatnya adalah suku asli OKU Selatan yaitu Suku Daya. Namun setelah sampai di Kecamatan Buay Runjung, Kepala Dinas Kesehatan menyarankan Peneliti untuk bertemu dengan Kepala Puskesmas Buay Runjung karena Kecamatan Buay Runjung

(25)

terbagi menjadi 15 desa dan nantinya Kepala Puskesmas yang akan menentukan desalokasi penelitian.

Peneliti menemui Kepala Puskesmas, sesuai dengan petunjuk dari Kepala Dinas Kesehatan, untuk melakukan koordinasi dan berdiskusi tentang pemilihan desa lokasi penelitian dilakukan. Kepala Puskesmas menerangkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Buay Runjung merupakan etnis Daya. Namun penduduk di beberapa desa sudah campuran antara Etnis pendatang dari Jawa dan Etnis Daya. Pada akhirnya Desa Padang Bindu dipilih menjadi lokasi penelitian. Mayoritas penduduk Desa Padang Bindu adalah masyarakat Suku Daya dan mereka masih memegang teguh adat istiadat dan budaya.

1.3.2. Pengumpulan Data

Peneliti Riset Etnografi Kesehatan 2015 terdiri dari dua orang yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda. Satu orang dari disiplin ilmu sosial dan satu orang lagi dari disiplin ilmu kesehatan masyarakat. Peneliti dari disiplin ilmu sosial dan ilmu kesehatan masyarakat ini diharapkan memperoleh gambaran budaya kesehatan Suku Daya. Sebelum melakukan pengumpulan data di lokasi penelitian, peneliti melakukan kegiatan persiapan daerah. Persiapan daerah dilakukan untuk melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten serta melakukan koordinasi dengan Bakesbang Provinsi dan Kabupaten, Pengumpulan data Riset Etnografi Kesehatan 2015 di lakukan selama 35 hari. Peneliti tinggal dan menetap di rumah salah satu penduduk untuk mengamati dan berinteraksi dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Selain itu juga melakukan wawancara dengan penduduk. Riset Etnografi Kesehatan ini merupakan kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari–hari (Symon dan Cassel,1998). Riset Etnografi ini bertujuan untuk mengamati fenomena yang menjadi kebiasaan

(26)

sehari–hari masyarakat etnis Daya di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan teknik-teknik pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Penelitian ini juga untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif menggunakan istilah– istilah yang di gunakan oleh Suku Daya dan kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa peneliti. Riset Etnografi ini akan menggambarkan bagaimana pola perilaku, adat istiadat dan keseharian yangterjadi dalam masyarakat serta pengetahuan dalam masyarakat etnik Daya, khususnya pengetahuan mengenai kebiasaan terkait kesehatan.

Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara In-dept interview atau wawancara mendalam, observasi atau

pengamatan, penelusuran dokumen dengan menggunakan foto maupun video. Hal ini dilakukan supaya data yang terkumpul benar-benar akurat dan terpercaya. Beberapa cara pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut ini.

a. In-dept Interview

Cara pengumpulan data pertama adalah dengan in-dept

interview dengan menggunakan pedoman wawancara (Guiden Interview). Pedoman wawancara berguna untuk mengarahkan

wawancara agar lebih terfokus dan dibuat sebelum melakukan wawancara sesuai dengan informasi yang di butuhkan. Cara ini dilakukan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dari informan dan untuk mendapatkan informasi yang mendalam terkait informasi yang kita butuhkan. In-dept interview dilakukan dengan informan yang dianggap bisa memberikan gambaran yang jelas dan mendalam terkait dengan kebudayaan Suku Daya, perilaku dan kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan yang nantinya dapat dipelajari dari informan. Ini penting dilakukan agar data yang didapatkan lebih valid. Kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi, kepala puskesmas, pemegang program kegiatan, tokoh adat, tokoh

(27)

agama, aparat desa dan tokoh masyarakat serta Bidan Desa menjadi sumber informasi (informan) dalam penelitian ini . Pemilihan informan disesuaikan dengan jenis informasi yang dibutuhkan atau pokok pertanyaan penelitian. Seandainya informasi yang diberikan oleh informan terpilih masih dianggap kurang, maka Peneliti akan mencari informasi yang kurang tersebut dari informan yang lain. Peneliti akan meminta informan pertama untuk memberitahu kepada Peneliti siapa yang dapat memberikan informasi yang kurang tersebut. Cara tersebut dikenal dengan metode snowball sampling.

Peneliti akan menulis semua data yang telah diperoleh dari hasil in-dept interview tersebut dalam catatan harian dan melakukan pemeriksaan catatan harian tersebut untuk memastikan tidak ada informasi yang kurang. Apabila ada informasi yang dirasa kurang, Peneliti akan menanyakan pada informan yang sama atau informan lain yang memahami. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Data yang telah diperoleh segera diproses untuk menghindari kesalahan persepsi dari data yang telah diperoleh. Dalam in-dept interview , alat yang digunakan selain panduan wawancara adalah voice recorder digital.

b. Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian ini guna mendapatkan gambaran umum penelitian. Observasi dilakukan terhadap masalah-masalah kesehatan sesuai dengan topik penelitian yang akan diambil. Pengamatan dilakukan atas dasar pengalaman langsung, yakni peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat maupun memotret dan merekam kejadian yang terjadi sebagai keadaan yang sebenarnya di lapangan. Alat yang digunakan dalam observasi ini adalah kamera digital dan handycam untuk mendapatkan gambaran secara visual kegiatan di lokasi penelitian.

(28)

c. Penelusuran Dokumen

Peneliti juga mencari data-data sekunder untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari elain pengumpulan data di lokasi penelitian. . Data-data tersebut berupa data statistik yang di dapatkan melalui Biro Pusat Statistik (BPS) OKU Selatan ataupun Profil Desa , data-data kesehatan secara umum yang berupa profil kesehatan, buku, maupun penelusuran informasi melalui internet yang dapat menunjang kelengkapan data yang berkaitan dengan suku Daya di Desa Padang Bindu Kecamatan Buay Runjung Kabupaten OKU Selatan Provinsi Sumatera selatan.

d. Foto dan Video

Foto dan video merupakan data lain yang juga penting untuk dikumpulkan. Data visual ini diambil untuk memperkuat dan menunjang bagi data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Data visual ini diharapkan dapat memperjelas gambaran fenomena atau peristiwa yang terjadi, yang tidak cukup hanya digambarkan dalam bentuk tulisan.

e. Studi Kepustakaan

Teknik pengambilan data terakhir adalah dengan melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah cara memperoleh informasi atau data mengenai topik permasalahan yang dibahas dari buku-buku maupun dari internet.

1.3.3. Analisa Data

Data yang telah terkumpul akan ditelaah pada tahap selanjutnya yaitu melakukan analisa data. Analisa data dilakukan sebagai upaya untuk mencari dan menata secara sistematis catatan-catatan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini.

(29)

Data yang akan dianalisa adalah data-data yang telah ditriangulasikan, yaitu uji silang terhadap hasil wawancara dan observasi untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara hasil wawancara dengan observasi. Hasil wawancara dengan informan juga perlu diteliti lagi dengan informan-informan sebelumnya. Triangulasi data dilakukan setiap saat, tanpa menunggu data terkumpul. Hal ini penting dilakukan agar data yang didapatkan dapat segera dilakukan cross cek sehingga diharapkan dapat memperoleh data yang benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tahapan analisis tematik dalam Riset Etnografi kesehatan ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Tahap pertama Peneliti membaca dan memahami data yang diperoleh di lapangan, baik melalui kegiatan

in-dept interview, observasi, catatan lapangan maupun data visual.

Tahap kedua, Peneliti memilah-milah data yang diperoleh dan mengambil hal yang pokok terkait dengan topik penelitian setelah semua data telah dipahami oleh peneliti Tahap ketiga, Peneliti menyusun data yang telah diperoleh dan mengklasifikasikan data tersebut. Beberapa tahapan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menyajikan data secara sistematis dan terstruktur, sehingga memudahkan Peneliti untuk menarik kesimpulan. Penyajian data penelitian ini dilakukan secara naratif yaitu bersifat deskriptif.

(30)

BAB 2

ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU

2.1 Gambaran Umum Kabupaten OKU Selatan

Ogan Komering Ulu Selatan, yang disingkat menjadi OKU Selatan, secara resmi menjadi kabupaten baru pada tanggal 16 Januari 2004. Kabupaten OKU Selatan masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan, walaupun sebenarnya secara geografis wilayahnya lebih dekat ke dalam Provinsi Lampung dan Provinsi Bengkulu. Jarak Ibukota Provinsi yaitu Kota Palembang dengan Kota Muara Dua sebagai Ibukota Kabupaten OKU Selatan sekitar 271 km.

Pada saat persiapan daerah, Peneliti sangat kesulitan untuk memperoleh informasi tentang transportasi reguler yang melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua. Dari informasi yang Peneliti dapatkan dari salah satu Kepala Bidang yang bertugas di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, transportasi reguler yang melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua lebih mudah dengan menggunakan travel. Dan dari informasi itu Peneliti akhirnya memanfaatkan salah satu travel yang melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua dan juga rute sebaliknya dari Kota Muara Dua ke Kota Palembang. Namun jasa travel ini tidak bisa menjemput penumpang satu persatu, melainkan penumpang harus datang sendiri ke kantor travel itu dan kemudian berangkat dari kantor tersebut tetapi bisa mengantar penumpang sampai di tempat tujuan. Travel ini melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua hanya dua kali dalam satu hari, yaitu pada pagi hari jam 08.00 wib dan sore hari sekitar jam 16.00 Wib. Sedangkan dari Kota Muara Dua ke Kota Palembang juga melayani dua kali dalam satu hari, yaitu pagi jam 08.00 WIB dan siang hari pada pukul 14.00 WIB.

(31)

Gambar 2.1 Travel Kota Palembang – Kota Muara Dua PP. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Pada saat persiapan daerah, Peneliti melakukan perjalanan pada waktu malam hari dari Kota Palembang. Pada saat pengumpulan data, Peneliti melakukan perjalanan pagi hari dari Kota Palembang agar tidak tertinggal dan dapat menumpang bus yang ke lokasi penelitian di Desa Padang Bindu. Perjalanan pada malam hari membutuhkan tenaga penglihatan ekstra dari sopir, karena ada beberapa ruas jalan yang belum dilengkapi dengan lampu penerangan sehingga hanya mengandalkan penerangan dari mobil. Selain itu akses jalan dari Kota Palembang menuju ke Kota Muara Dua tidak terlalu baik, banyak sekali lubang dan beberapa ruas jalan aspalnya sudah mulai mengelupas. Apalagi kondisi tubuh yang mulai lelah, sehingga sedikit saja lengah dapat menyebabkan kecelakaan. Dan ketika di jalan, sangat jarang sekali bertemu dengan kendaraan yang lain dari satu arah maupun dari arah yang berlawanan. Ada beberapa ruas jalan yang tidak ada pintu perlintasan kereta api, hanya dijaga oleh beberapa orang dengan membawa kaleng untuk meminta bantuan secara sukarela. Perjalanan dari Kota Palembang ke Kota Muara Dua pada saat itu memakan waktu sekitar 7 jam, sedangkan kalau dengan

(32)

istirahat maka memakan waktu sekitar 8 jam perjalanan. Sedangkan perjalanan dari Kota Muara Dua ke Kota Palembang dilakukan pada pagi hari. Waktu yang di tempuh pada saat perjalanan pagi hari relatif lebih lama sekitar 1 jam, karena di beberapa tempat ada yang macet terutama ketika memasuki Kota Palembang.

Di Provinsi Sumatera Selatan ada beberapa suku asli yang menetap di tempat ini. Suku yang mendiami provinsi Sumatera Selatan menurut Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia antara lain Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Daya, Musi Banyuasin, Ogan, Enim, Kayu Agung, Kikim, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, Kisam, Palembang, Pasemah, Padamaran, Pegagan, Rambang Senuling, Lom, Mapur, Meranjat, Musi, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo, Pegagan Ilir, Pegagan Ulu, Penesak dan Pemulutan. Suku-suku itu menyebar di beberapa Kabupaten termasuk di Kabupaten OKU Selatan.

Suku yang berdiam di OKU Selatan adalah Suku Daya, Suku Ogan, Suku Komering, Suku Kisam dan Suku Ranau. Suku Daya dan Suku Komering memiliki bahasa yang hampir mirip, sehingga sangat sulit membedakan antara suku Komering dengan Suku Daya. Sumber informasi yang relevan untuk membedakan kedua suku itu sangat sulit didapat oleh Peneliti, begitu pula dengan asal mula sejarah suku Daya di OKU Selatan tidak terlalu banyak didapatkan. Menurut Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, orang Daya adalah salah satu kelompok masyarakat asli di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah penyebarannya meliputi Kecamatan Baturaja Timur, Baturaja Barat, Simpang, dan Muara Dua. Tidak dapat diketahui secara pasti jumlah orang Daya, tetapi diperkirakan lebih dari 50.000 jiwa.

Pembentukan Kabupaten OKU Selatan merupakan salah satu bagian dari perjuangan dan keinginan dari masyarakat OKU bagian selatan. Sesuai dengan aspirasi dan semakin kuatnya kemauan masyarakat untuk membentuk kabupaten yang terpisah dari

(33)

kabupaten induknya, maka tokoh masyarakat OKU bagian selatan membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (P3KOS) yang diketuai oleh Bapak H. Muhtadi Sera’I (Bapak Bupati yang sekarang).

Gambar 2.2 : Peta Kab.OKU Selatan Sumber : Balitbangnovdasumsel.com

Kabupaten OKU Selatan memiliki moto “Serasan Seandanan”. Kata Serasan mempunyai makna seiya sekata setujuan, sedangkan

Seandanan mempunyai makna saling asih saling asuh. Berdasarkan

arti kata tersebut, moto Serasan Seandanan dapat diartikan bahwa masyarakat Kabupaten OKU Selatan dalam mencapai tujuan untuk menyukseskan pembangunan di berbagai bidang selalu didasari musyawarah dan dilaksanakan secara gotong royong.

Kabupaten OKU Selatan memiliki luas wilayah 5.493,34 km2. Wilayahnya sebagian besar merupakan dataran tinggi yang membentuk bukit-bukit dan gunung-gunung. Ketinggian wilayahnya berkisar antara 45 sampai dengan 1.643 mdpl. Wilayah tertinggi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan adalah Gunung Seminung di

(34)

Kecamatan Banding Agung, dengan ketinggian 1.888 mdpl (BPS OKU Selatan, 2012).

Gambar 2.3 Tugu walet yang ada di Taman Muara Dua Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dialiri oleh dua sungai besar yaitu Sungai Selabung dan Sungai Saka yang bermuara ke Sungai Komering. Bertemunya dua sungai yang bermuara di sungai Komering inilah yang menjadi sumber inspirasi masyarakat untuk menjadikan nama kecamatan yaitu Muara Dua. Di Muara Dua ini akhirnya diputuskan sebagai tempat Ibukota Kabupaten. OKU Selatan juga dikenal dengan sebutan Kota Walet karena merupakan salah satu potensi unggulan sehingga menjadikan inspirasi sebagai lambang resmi Kabupaten OKU Selatan.

Wilayah di Kabupaten OKU Selatan pada umumnya beriklim tropis dan basah. Kecamatan yang mempunyai temperatur udara rendah umumnya merupakan daerah pegunungan, antara lain Kecamatan Banding Agung, Pulau Beringin, Muara Dua Kisam, dan Kisam Tinggi. Hanya 3 kecamatan, dari 19 Kecamatan yang ada, yang

(35)

memiliki alat penakar hujan. Ketiga kecamatan tersebut mempunyai curah hujan yang sangat berbeda. Curah hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Banding Agung yang mencapai 4.411 mm pada bulan Desember 2004, sedangkan curah hujan terendah terdapat di Kecamatan Muara Dua Kisam yang hanya mencapai 64 mm pada bulan yang sama (BPS OKU Selatan, 2012).

2.2. Sejarah Jalma Daya Sunur

Menurut keterangan tokoh masyarakat dan tokoh agama yang tinggal di Desa Padang Bindu, Sunur merupakan sebutan dari masyarakat Daya untuk 4 desa yang ada di Kecamatan Buay Runjung. Keempat desa itu adalah Nagar Agung, Saung Naga, Padang Bindu dan Padang Sari. Ada cerita yang berkembang di orang Daya tentang istilah Sunur yang dikenal sebagai sebutan untuk 4 desa itu. Sejarah asal mula 4 desa itu diberi nama Sunur yaitu berdasarkan sejarah

Kepuhyangan (Kepuyangan) atau keturunan bahwa orang Daya di 4

desa itu berasal dari 1 keturunan yang sama. Asal mula pemberian nama Sunur berawal dari cerita bahwa dulunya wilayah di 4 desa itu padang alang–alang yang pada musim kemarau dibakar oleh Puhyang untuk dijadikan tempat tinggal. Ketika padang rumput itu dibakar memancarkan cahaya yang menyilaukan mata, sehingga disebut dengan istilah Sunor.

Asal mula Kepuhyangan (Kepuyangan) atau nenek moyang masyarakat Daya Sunur adalah Pusma yang berasal dari daerah Batanghari Sembilan. Anak Pusma yang paling bungsu inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari orang Jalma Daya di Sunur. Dikisahkan bahwa anak yang paling bungsu, atau orang Daya Sunur menyebutnya dengan Riya Dendam, merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tuanya sehingga pergi dari rumah dan berkelana. Dia berkelana dengan menggunakan perahu menyusuri sungai Komering sampai di Kali Kemung dan menemukan sisa batang pohon (Punghoh) yang habis ditebang. Dia duduk di atas sisa batang

(36)

pohon yang habis ditebang itu dan bertapa. Proses bertapanya memakan waktu bertahun–tahun, sampai pohon itu tumbuh kembali dan menutupi seluruh tubuh Riya Dendam, kecuali wajahnya saja yang kelihatan.

Tidak berapa lama waktupun berlalu, ada seorang pencari kayu dengan ditemani anjing. Anjing pencari kayu itu menggonggong terus menerus kearah pohon yang menutupi tubuh Riya Dendam. Gonggongan anjing yang terus menerus menarik perhatian pencari kayu, sehingga pencari kayu mencari sesuatu yang membuat anjing itu menggonggong terus menerus. Perhatian pencari kayu tertuju pada sebatang pohon yang lebat, namun alangkah kaget dan terkejutnya pencari kayu setelah melihat wujud pohon itu. Ternyata di dalam pohon itu ada sesosok manusia yang seluruh tubuhnya tertutup oleh ranting-ranting, dan yang kelihatan hanya wajahnya saja.Pencari kayu itu memotong ranting-ranting dan batang pohon yang menutup seluruh tubuh manusia tersebut dengan kapak yang dibawanya. Setelah selesai memotong ranting dan batang pohon, maka terbebaslah tubuh Riya Dendam yang ada dalam batang pohon tersebut. Tubuh manusia itu seluruhnya tampak hitam tertutup oleh

lali (daki) karena sudah terlalu lama di dalam pohon dan tidak mandi.

Tidak berapa lama, Riya Dendam pun mengambil rotan dan menyelam ke dalam air untuk membersihkan daki yang menempel di seluruh tubuhnya. Beberapa saat kemudian Riya Dendam pun keluar dari dalam air. Ada perubahan yang sangat drastis ketika Riya Dendam keluar dari dalam air. Seluruh tubuhnya yang semula hitam dipenuhi oleh daki tampak sudah bersih dari daki dan tubuhnya berubah warna menjadi putih ketika keluar dari dalam air. Begitu pula dengan rotan yang semula masih utuh sebelum masuk ke dalam air, kini berubah menjadi sabut karena untuk membersihkan daki dari tubuhnya.

(37)

Selain itu jari-jari tangan Riya Dendam yang semula lurus berubah agak bengkok, karena terlalu lamanya jari tangan tersebut memegang rotan untuk menggosok daki di seluruh tubuh.

Gambar 2.4. Ciri fisik orang Suku Daya, jari tangan yang agak sedikit bengkok Sumber : Dokumentasi peneliti

Dari cerita ini, dipercaya oleh masyarakat suku Daya bahwa nantinya seluruh keturunan dari Riya Dendam memiliki ciri fisik bahwa jari tangannya agak sedikit bengkok dibandingkan dengan orang lain yang bukan dari keturunan Riya Dendam.

Riya Dendam telah terbebas dari pohon dan tubuhnya menjadi

bersih, maka orang lebih mengenalnya dengan nama Semaġno. Si pencari kayu yang membebaskan Riya Dendam merupakan Puhyang dari Desa Nambak, atau yang dikenal dengan Si Berani Sakti. Semaġno kemudian menetap dan membakar hutan untuk dijadikan tempat tinggal, yang kemudian disebut dengan Kampung Sunur. Semaġno mempunyai tiga orang putra di Kampung Sunur ini. Tiga putra

Semaġno inilah yang menjadi cikal bakal Kampung Sunur. Anak

pertama bernama Patih Gajahmada, yang kemudian menjadi nenek moyang masyarakat di Desa Nagar Agung (Naga Agung). Anak kedua bernama Patih Peneleh, yang menjadi nenek moyang masyarakat di Desa Saung Naga (Sawong Naga/Sangkar Naga). Anak ketiga bernama Patih Mapak, yang menjadi nenek moyang masyarakat di Desa Padang

(38)

Bindu. Berdasarkan cerita tentang Kepuhyangan tersebut, maka penduduk di Kampung Sunur merupakan satu garis keturunan yang disebut dengan Buay Semaġno.

Gambar 2.5. Bukti fisik cerita tentang sejarah Desa Padang Bindu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Pada perkembangannya dan semakin banyaknya keturunan dari Buay Semaġno, maka yang awalnya terdiri dari tiga desa yaitu Desa Saung Naga, Desa Nagar Agung dan Desa Padang Bindu berubah menjadi empat desa ditambah dengan Desa Padang Sari. Desa Padang Sari merupakan pemekaran dari Desa Padang Bindu yang semakin banyak penduduknya. Pemekaran Desa Padang Bindu tidak diketahui dengan pasti waktu terjadinya, karena ketika melakukan wawancara dengan informan yang sudah berusia 80 tahun pun tidak ada yang mengetahui secara pasti.

(39)

Gambar 2.6 : Silsilah keturunan Suku Daya Sunur dan Desa Padang Bindu Sumber : Ilustrasi Peneliti, 2015.

2.3. Cerita Asal Mula Desa Padang Bindu

Menurut cerita dari tokoh masyarakat dan tokoh agama di Desa Padang Bindu adalah salah satu desa yang penduduknya merupakan keturunan dari Phuyang (Puyang) Buay Semaġno. Dari tiga orang keturunan dari Buay Semaġno, Desa Padang Bindu merupakan garis keturunan yang paling akhir atau paling bungsu yang bernama Patih Mapak. Dikisahkan bahwa pada mulanya sebelum terbentuknya Desa Padang Bindu, wilayahnya merupakan suatu hutan yang ditanami pohon Bendo. Pada saat itu Patih Mapak mempunyai niat untuk menetap dan mendirikan tempat tinggal di hutan tersebut. Pohon–pohon Bendo itu kemudian oleh Patih Mapak ditebangi untuk dijadikan tempat tinggal, karena semakin berkembangnya keturunan dari Patih Mapak maka semakin banyak tempat tinggal yang didirikan di hutan pohon Bendo tersebut. Semakin banyaknya penghuni dan tempat tinggal di hutan Bendo itu, maka tempat itu dinamakan dengan sebutan Desa Padang Bindu.

Semaġno

Patih Gajahmada

( Phuyang Desa Nagar Agung )

Patih Penilih

( Phuyang Desa Saung Naga )

Patih Mapak

( Phuyang Desa Padang Bindu dan Desa Padang

Sari )

Ġak Sanga Tahu

Patih Penilih Phuyang Mangkubumi ( Kampung Talang )

Ġadja Penanggungan

Phuyang Umpun Singaji

( Kampung Renog )

Phuyang Umpun Kaġija (

Kampung Ngaġaja Wai/Jalan ke air )

Phuyang Umpun Pati

(40)

Gambar 2.7 : Makam Phuyang Patih Mapak Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Padang Bindu semakin lama semakin berkembang, dari seorang Patih Mapak memiliki banyak keturunan sampai saat ini. Penyebaran keturunan dari Puhyang Patih Mapak menyebar sampai ke Padang Sari. Dari Puhyang Patih Mapak yang tinggal di Padang Bindu, mempunyai tiga orang putra. Putra yang pertama mempunyai nama Ġak Sanga Tahu, putra yang kedua diberi nama Puhyang Patih Penilih (nama yang sama dengan putra yang kedua dari Semaġno) dan putra yang ketiga atau yang bungsu diberi nama Puhyang Ġadja Penanggungan. Ketiga putra tersebut masing–masing juga mempunyai keturunan. Namun dari ketiga putra Patih Mapak, hanya dari Puhyang Ġadja Penanggungan sebagai putra paling Bungsu yang dapat diketahui cerita sejarah keturunannya. Cerita sejarah garis keturunan

Puhyang Ġadja Penanggungan diperoleh dari informan maupun

catatan dari para Ketua Adat terdahulu. Berdasarkan catatan dari Ketua adat terdahulu bahwa putra dari Puhyang Ġadja Penanggungan ada tiga yaitu Puhyang Umpun Singaji adalah putra yang tertua, putra yang kedua yaitu Puhyang Umpun Kaġija dan putra yang paling bungsu adalah Puhyang Umpun Pati. Sedangkan putra Patih Mapak yang paling tua yaitu Ġak Sanga Tahu, tidak diketahui secara pasti garis keturunannya. Garis keturunan putra yang kedua yaitu Patih Penilih, informan juga tidak ada yang tahu sampai garis keturunan

(41)

sampai ke Puhyang Mangkubumi. Puhyang Mangkubumi merupakan cikal bakal adanya penduduk Kampung Talang pada saat ini.

Masing–masing putra dari Patih Mapak memiliki satu garis keturunan, kecuali putra yang paling tua tidak diketahui secara pasti cerita garis keturunannya dan putra yang kedua yaitu Patih Penilih yang garis keturunannya sempat terputus dan cerita garis keturunannya tersambung kembali mulai dari Puhyang Mangkubumi sehingga tidak ada yang tahu Puhyang Mangkubumi ini merupakan garis keturunan yang keberapa. Garis keturunan dari masing–masing putra Patih Mapak itu yang kemudian disebut dengan Kampung Adat. Kampung adat di Desa Padang Bindu ada empat, dan masing–masing Kampung Adat terbentuk dari empat garis keturunan. Garis keturunan dari putra Patih Penilih anak kedua dari Patih Mapak yang dimulai dari

Puhyang Mangkubumi, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung

Talang. Seperti diceritakan oleh Bapak Aliyidin sebagai berikut,

“…Phuyang Mangkubumi adalah phuyang kami dari Kampung Talang,

Phuyang Mangkubumi namanya Setajim. Gelarnya adalah Mangkubumi.

Istrinya ada dua, yang satu dari Desa Air Baru dan yang satunya dari Kota Karang. Setelah itu saya kurang paham, kalau dari situ sampai sini terlalu panjang. Kalau Cik Raden dari Kota Karang, kalau saya dari Air Baru. Salah satu penemuan Phuyang kami adalah sarang walet…”

Makam Phuyang Mangkubumi ada di desa yang lama dan saat ini masih terpelihara dengan baik. Menurut kepercayaan beberapa penduduk Kampung Talang keturunan dari Phuyang Mangkubumi, bila punya keinginan mereka akan datang ke makam Phuyang. Bila keinginannya terkabul maka penduduk itu membeli kelambu dan ditaruh di makam Phuyang Mangkubumi.

(42)

Gambar 2.8 Makam Phuyang Mangkubumi dan bentuk makam jaman dulu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Garis keturunan dari Ġadja Penanggungan, putra yang tertua yaitu Puhyang Umpun Singaji adalah merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Renog. Putra yang kedua yaitu Puhyang Umpun Kaġija, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Ngaġaja Wai yang berarti jalan ke air. Putra yang paling bungsu yaitu Puhyang Umpun Pati, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Tengah. Masing–masing Kampung Adat itu dipimpin oleh seorang Ketua Adat.

Pada awal terbentuknya Kampung Adat, masing–masing Kampung Adat tinggal secara mengelompok yang disebut dengan Way

Tupak. Kampung–kampung Adat itu tempatnya berada di dalam

hutan, karena pada saat itu di dalam hutan merupakan sumber makanan. Kampung Adat Padang Bindu berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai Kima dan Sungai Semingkap. Untuk bertahan hidup pada saat itu, Puhyang mendirikan tempat tinggal. Tempat tinggal masyarakat suku Daya Desa Padang Bindu pada awalnya terbentuk dari kayu batang pohon dan bambu. Untuk menghindar dari binatang buas, tempat tinggal dibuat di atas dalam bentuk rumah panggung.

Semakin berkembangnya waktu, maka semakin padat penghuni di kampung adat itu. Dalam proses kehidupan manusia ada yang lahir dan ada yang meninggal. Di kehidupan masyarakat Suku

(43)

Daya Padang Bindu, bagi orang yang meninggal akan dimakamkan di sekitar rumah tempat tinggal. Makamnya ditandai dengan nisan dari batu, tanpa ada pemberian nama di nisannya. Seiring dengan perkembangan waktu dan semakin padatnya penduduk di Kampung

Way Tupak, maka penduduk bergeser dan mendirikan tempat tinggal

yang dekat dengan aliran sungai Semingkap. Pada awalnya hanya sekitar tujuh rumah yang berada di sekitar sungai Semingkap. Namun karena perkembangan waktu, semakin banyak yang mengikuti dan mendirikan tempat tinggal di sepanjang aliran sungai Semingkap. Pada akhirnya, penduduk Kampung Adat Desa Padang Bindu meninggalkan kampung yang lama atau Tiu Taha sampai tidak berpenghuni. Setelah itu mereka mendirikan rumah–rumah baru di sepanjang aliran sungai Semingkap mulai dari hulu sampai hilir, sehingga menjadi Desa Padang Bindu sekarang yang letak rumahnya berada di sepanjang aliran sungai Semingkap.

Phuyang Desa Padang Bindu pada jaman dulu tidak

meninggalkan bukti-bukti berupa tulisan. Bukti tulisan dibuat oleh Ketua Adat sebelum generasi yang sekarang. Walaupun tidak meninggalkan bukti berupa tulisan, namun Phuyang jaman dulu mempunyai benda-benda atau alat-alat hasil kebudayaan yang dipergunakan pada saat masih hidup. Benda-benda tersebut pada saat ini masih ada yang disimpan oleh para Ketua Adat, dan ada yang sudah tidak ada lagi. Benda-benda yang masih ada dan tersimpan yaitu seperti kotak dari kayu, sebilah pedang, dan beberapa perlengkapan makan. Ada juga sebuah piring besar yang dapat juga menyembuhkan penyakit mata. Namun ada juga yang sudah tidak ada, menurut cerita dari beberapa masyarakat bahwa dulu ada sebuah mangkuk makanan. Bila mangkuk itu diisi makanan, makanan itu tidak akan pernah basi. Namun mangkuk makanan dan alat kesenian tradisional itu sekarang sudah tidak ada lagi. Hampir semua tokoh adat atau tokoh masyarakat tidak ada yang mengetahui di mana keberadaan benda-benda peninggalan Phuyang tersebut. Ada juga

(44)

alat kesenian tradisional yaitu gong dan gamelan yang biasa dipakai pada saat ada pernikahan. Alat musik tradisional gamelan dan gong pada tahun 1975 masih ada yang menggunakan, tetapi pada tahun 1980 sudah mulai hilang.

Gambar 2.9 Benda-benda bersejarah pedang dan kotak peninggalan phuyang Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

2.4. Desa Padang Bindu dan Perkembangannya

Awal pemerintahan Desa Padang Bindu, pemimpin yang tertinggi dipegang oleh Sirah. Kalau pada saat ini, Sirah adalah setingkat dengan Camat. Untuk pemegang kekuasaan yang tertinggi di tingkat desa bukan Kepala Desa seperti pada saat ini. Pemimpin desa pada awal pemerintahan disebut dengan Kriyo, dan wakilnya adalah

Punggawo. Pada saat ini jabatan punggowo sama dengan Kepala

Dusun, sedangkan pada jaman Kriyo belum ada Kepala Dusun tetapi Ketua Adat. Pada jaman pemerintahan Kriyo, masa jabatannya tidak dibatasi. Bagi siapa yang ingin menjabat menjadi Kriyo dan kebetulan belum ada yang ingin menggantikan, maka tetap akan menjadi Kriyo.

Kriyo yang memimpin Desa Padang Bindu pertama kali adalah Gilang. Kriyo ini tidak diketahui berapa lama masa jabatannya. Kriyo yang

kedua adalah Kriyo Tuni. Kriyo ini memegang jabatan selama 10 tahun. Kriyo yang ketiga adalah Kriyo Murot. Kriyo ini memegang jabatannya selama 2 tahun. Yang terakhir adalah Kriyo Anwar, yang

(45)

memegang masa jabatannya selama 18 tahun. Walaupun dapat diketahui masa jabatan yang dipegang oleh Kriyo di Desa Padang Bindu, akan tetapi tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa

Kriyo–Kriyo itu memegang pimpinan. Setelah masa jabatan Kriyo

berakhir, maka jabatan Kriyo berubah nama menjadi Kepala Desa. Perubahan nama kepemimpinan desa dari Kriyo menjadi Kepala Desa ini merupakan dampak dari pengesahan UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam UU No. 5 tahun 1979 itu di dalam pasalnya berisi tentang pembentukan desa, pemerintahan desa dan juga tentang masa jabatan kepala desa. Dalam Pasal 7 UU No. 5 tahun 1979 itu menerangkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Adanya UU tentang pemerintahan desa itu juga berlaku bagi pemerintahan di Desa Padang Bindu, kemudian setelahnya Kepala Desa memegang masa jabatannya selama 8 tahun.

Kepala Desa yang pertama di Desa Padang Bindu adalah Bapak Cik Mas, beliau memimpin Desa Padang Bindu sekitar tahun 1985 – 1993. Sebelum beliau menjadi Kepala Desa, kondisi desa masih sangat sepi dan akses penghubung antar desa masih sulit. Di desa belum ada listrik dan sebelum tahun 1980 jalan masih setapak, dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Jalan penghubung antara Desa Padang Bindu dengan Desa Simpang Saga masih dipisahkan oleh sungai, sehingga akses antar desa dengan berjalan kaki. Pada tahun 1981, dibangun jembatan penghubung antara Desa Padang Bindu dengan Desa Simpang Saga. Jembatan pada waktu itu masih berupa kayu, dan sudah bisa dilalui oleh sepeda motor. Pada tahun 1982 jalan di Desa Padang Bindu mulai dilebarkan, mobil sudah bisa masuk tetapi jalan masih berupa tanah. Kemudian jalan tersebut sudah diberi batu dan koral. Setelah Bapak Cik Mas tiga tahun menjadi Kepala Desa, pada tahun 1987 jalan desa mulai diperbaiki dan diaspal. Lima tahun kemudian masa jabatan Bapak Cik Mas berakhir dan digantikan oleh

(46)

Bapak Cik Raden. Bapak Cik Raden memegang jabatan sebagai Kepala Desa sekitar tahun 1993 sampai dengan 2001. Pembangunan yang telah dicapai pada masa kepimpinan Bapak Cik Raden adalah listrik masuk desa pada tahun 1995, walaupun pada saat itu hanya bisa digunakan pada malam hari. Dua tahun kemudian listrik sudah masuk secara penuh. Dengan sudah adanya listrik di desa, ada salah seorang penduduk yang membeli televisi dan memasang parabola. Bagi yang menonton pada saat itu diwajibkan membayar seharga seratus rupiah. Setelah itu semakin banyak yang mempunyai televisi dan memasang parabola seperti pada saat ini. Namun yang sungguh memprihatinkan adalah kondisi jaringan sumber listrik. Walaupun sejak tahun 1997 jaringan listrik sudah masuk, namun jaringannya tidak terlalu stabil. Pada saat ini, setiap hari jaringan listrik pasti pernah mati. Jaringan listrik dalam satu hari bisa mati dan nyala lagi sampai sembilan kali, dan kadang juga listrik mati sampai dua hari. Untuk menghindari kerusakan pada alat-alat elektronik, biasanya penduduk memasang alat untuk menetralkan jaringan listrik yang biasa disebut dengan

stavolt. Untuk membantu penerangan kalau jaringan listrik mati,

biasanya penduduk Desa Padang Bindu menyalakan bekom dan setiap rumah sudah menyiapkan bloor. Kondisi itu sempat dirasakan oleh Peneliti ketika tinggal di Desa Padang Bindu. Suatu ketika listrik mati dari jam 21.00 WIB dan baru menyala pada keesokan paginya sekitar jam 10.00 WIB.

(47)

Gambar 2.10 Bekom. Sumber penerangan ketika listrik padam. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Pada masa era kepimpinan setelah Cik Raden, masa jabatan Kepala Desa hanya 5 tahun dan dibatasi dalam masa dua periode saja sesuai dengan pasal 96 UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Kepala Desa selanjutnya setelah Cik Raden yaitu Bustari, Bapak Bustari memimpin Desa Padang Bindu pada masa periode 2001 sampai dengan 2006. Namun sebelum masa jabatannya berakhir, Bapak Bustari meninggal dunia karena sakit. Untuk menggantikan sisa masa jabatan sebagai Kepala Desa, digantikan oleh Pemegang Jabatan Sementara yaitu Bapak Sayuti. Setelah masa jabatan Bustari benar-benar berakhir, jabatan Kepala Desa sepenuhnya digantikan oleh Bapak Sayuti. Pada masa kepemimpinan Bapak Sayuti, ada berbagai peristiwa yang terjadi di Desa Padang Bindu. Di Desa Padang Bindu ada wabah penyakit kusta yang terjadi tahun 2005, tetapi bisa diberantas oleh Dinkes OKU Selatan. Pada saat itu laporan dari Dinkes Kab. OKU Selatan disampaikan kepada Dinkes Provinsi. Dinkes Provinsi meneruskan laporan kepada WHO. Proses itu terjadi dalam waktu 2 bulan. Setelah selama dua tahun dilakukan rehabilitasi dan pengobatan terhadap penderita kusta, 19 warga yang menderita kusta berhasil disembuhkan. Keberhasilan lain adalah adanya pembangunan infrastruktur yaitu pembangunan 8 jembatan. Jembatan yang paling

(48)

panjang sekitar 17 meter dan yang lain merupakan jembatan penghubung antar dusun. Pembangunan infrastruktur yang lain yaitu perbaikan pasar kalangan dan jalan–jalan setapak yang dilakukan pada tahun 2009 oleh program PNPM Mandiri. Ada juga pembangunan fasilitas umum di desa yang dananya berasal dari swadaya masyarakat, yaitu pembangunan masjid yang dananya dari

patungan warga atau pupuan. Dan setelah pembangunan masjid itu

berjalan, ada anggaran dari bagian Kesejahteraan Rakyat Kabupaten senilai sembilan belas juta rupiah untuk memperbaiki fasilitas masjid . Pada pertengahan tahun 2011, masa jabatan Bapak Sayuti telah berakhir. Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan Kepala Desa Padang Bindu,maka ditunjuklah Bapak Iskandar Bin Mustopa sebagai pemegang jabatan sementara. Bapak Iskandar menjabat selama 6 bulan, dan setelah itu jabatan Kepala Desa dipegang oleh Bapak Mustakim. Bapak Mustakim menjadi Kepala Desa Padang Bindu sebagai calon tunggal pada saat pemilihan Kepala Desa. Bapak Mustakim masih memegang masa jabatannya sampai saat ini. Pada masa peralihan dari Bapak Iskandar ke Bapak Mustakim yaitu sekitar tahun 2012, ada pembangunan fasilitas sarana air bersih dari program Pamsismas (Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Pembangunan itu berupa pemasangan pipa dari mata air yang disalurkan ke rumah–rumah penduduk. Namun setelah tiga tahun, fasilitas sarana air bersih itu sudah jarang dimanfaatkan oleh penduduk karena air yang kadang-kadang tidak keluar. Selain pembangunan pipanisasi, juga ada pembangunan sarana mandi-cuci-kakus (MCK) umum di Desa Padang Bindu. Ada dua MCK umum yang akan dibangun, satunya dibangun di masjid dan satu lagi dibangun di dekat tempat kalangan. Namun pembangunan MCK umum yang berasal dari program Pamsismas itu sampai saat ini belum selesai.

Gambar

Gambar 2.3  Tugu walet yang ada di Taman Muara Dua  Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Gambar 2.6 : Silsilah keturunan Suku Daya Sunur dan Desa Padang Bindu  Sumber : Ilustrasi Peneliti, 2015
Gambar 2.8  Makam Phuyang Mangkubumi dan bentuk makam jaman dulu  Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Gambar 2.9  Benda-benda bersejarah pedang dan kotak  peninggalan phuyang  Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait