• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir TOD Jabodetabek Ibnu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Akhir TOD Jabodetabek Ibnu"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL

MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011 – 2025 (PENPRINAS MP3EI 2011-2025)

Kebijakan dan Strategi Pengembangan Konektivitas Kawasan Jabodetabek dengan

Pendekatan Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Tahun ke-2 dari rencana 3 tahun

Peneliti Utama :

Ibnu Syabri, B.Sc, M.Sc., PhD

NIP: 196002201984031017

Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung

(2)

Halaman Pengesahan

Judul :Kebijakan dan Strategi Pengembangan Konektivitas Kawasan Jabodetabek dengan Pendekatan Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Peneliti/Pelaksana

Nama Lengkap : Ibnu Syabri, B.Sc, M.Sc., PhD

NIDN : 0020026003

Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

ProgramStudi : PWK

NomorHP : 08122049004

Alamatsurel(e-mail) : syabri@pl.itb.ac.id Anggota (1)

Nama Lengkap : Dr. Ir. Iwan P. Kusumantoro, MT PerguruanTinggi : Institut Teknologi Bandung Anggota (2)

Nama Lengkap : Dr. Ir. Petrus Natalivan, MS PerguruanTinggi : Institut Teknologi Bandung Anggota (3)

Nama Lengkap : Puspita Dirgahayani, ST., M.Eng., Dr.Eng PerguruanTinggi : Institut Teknologi Bandung

Mengetahui, Bandung, 31 Desember 2013 Dekan SAPPK ITB Ketua Peneliti,

Prof.Dr. Ir., B. Kombaitan, M. Sc NIP. 19530421981031004

Ibnu Syabri, B.Sc, M.Sc., PhD NIP. 196002201984031017

Menyetujui,

Ketua LembagaPenelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

Prof.Dr.Wawan Gunawan A Kadir,MS NIP. 19591209 199303 1 001

(3)

RINGKASAN

Wilayah metropolitan Jabodetabek saat ini merupakan salah satu simpul dari “Asian Comprehensive Plan”, yaitu jaringan kerjasama pembangunan ekonomi negara-negara maju di Asia. Pertumbuhan Metropolitan Jabodetabek yang cenderung menyebar menyebabkan wilayah ini memiliki berbagai tantangan dari berbagai aspek yang dapat menghambat fungsi sebagai simpul “hub” kerjasama pembangunan ekonomi di Asia, salah satunya adalah kemacetan. Berdasarkan pengalaman pengelolaan kawasan perkotaan di negara maju, antara lain Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Cina, pengurangan tingkat kemacetan, mobilitas kendaraan pribadi, dan pengurangan polusi lingkungan dapat dicapai dengan menggunakan strategi pengembangan kawasan berbasis transit atau Transit Oriented Development (TOD).

Dalam pengembangan kawasan berbasis transit terdapat beberapa hambatan, diantaranya penguasaan lahan, zonasi dan ketentuan pembangunan, lalu lintas dan parkir, serta pembiayaan (Caltrans, 2006). Olehsebab itu penilitian ini bertujuan merumuskan strategi percepatan implementasi kawasan berbasis transit di Jabodetabek.Adapun sasaran dari tujuan tersebut adalah (1) Mengembangkan kerangka kerja kelembagaan penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit; (2) Mengidentifikasi willingness to develop kawasan berbasis transit berdasarkan persepsi sektor swasta (pengembang); (3) Mengeksplor strategi pengembangan kawasan berbasis transit berdasarkan persepsi stakeholder melalui rangkaian Focus Group Discussion.

(4)

PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya Laporan Akhir Kebijakan dan Strategi Pengembangan Konektivitas Jabodetabek dengan Pendekatan Pengembangan Kawasan Berbasis Transit.

Laporan ini berisikan tentang pendahuluan, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, hasil penelitian, rencana tahapan penelitian, dan kesimpulan,

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Kritik dan saran yang membangun terhadap laporan ini sangat diharapkan untuk mencapai hasil yang direncanakan dalam penelitian secara optimal.

Bandung, Desember 2013

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR TABEL ... v BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-1 1.1 LATAR BELAKANG ... 1-1 1.2 RUMUSAN MASALAH ... 1-4 1.3 TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN ... 1-5 1.4 RUANG LINGKUP ... 1-6 1.4.1 RUANG LINGKUP WILAYAH ... 1-6 1.4.2 RUANG LINGKUP SUBSTANSI ... 1-7 1.5 SISTEMATIKA PENULISAN ... 1-8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 2-10

2.1 PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT (TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT) ... 2-10 2.1.1 DEFINISI ... 2-10 2.1.2 TUJUAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT ... 2-15 2.1.3 TIPOLOGI PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT ... 2-16 2.1.4 PRINSIP STRATEGIS PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT

... 2-1 2.2 STAKEHOLDER ... 2-3 2.2.1 JENIS STAKEHOLDER ... 2-5 2.2.2 AKTOR DALAM PENERAPAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS

TRANSIT ... 2-5 2.3 PENGUASAAN LAHAN ... 2-6 2.4 BEST PRACTICE PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT ... 2-8

(6)

2.4.1 KOTA EDMONTON, ALBERTA, CANADA ... 2-8 2.4.2 BAY AREA, CALIFORNIA, AMERIKA SERIKAT ... 2-10 2.4.3 ARLINGTON COUNTY, VIRGINIA, AMERIKA SERIKAT ... 2-15 2.4.4 DALLAS, TEXAS, AMERIKA SERIKAT ... 2-17 2.4.5 ATLANTA, GEORGIA, AMERIKA SERIKAT ... 2-19 2.4.6 SAN JOSE, CALIFORNIA, AMERIKA SERIKAT ... 2-20 BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 3-1 3.1 TUJUAN PENELITIAN ... 3-1 3.2 MANFAAT PENELITIAN ... 3-2 3.2.1 MANFAAT AKADEMIS ... 3-2 3.2.2 MANFAAT PRAKTIS ... 3-2 BAB 4 METODE PENELITIAN ... 4-1 4.1 PENDEKATAN PENELITIAN ... 4-1 4.2 METODE ANALISIS ... 4-1 4.3 TRANSFORMASI DATA ... 4-2 4.4 KODIFIKASI ... 4-2 4.5 ANALISIS DESKRIPTIF ... 4-2 4.6 ANALISIS ISI ... 4-2 4.7 ANALISIS STAKEHOLDER ... 4-3 4.8 ANALISIS HUBUNGAN ANTAR AKTOR : DANA (DYNAMIC ACTOR NETWORK ANALYSIS) ... 4-3 4.9 METODE PENGUMPULAN DATA ... 4-7 4.10 PENENTUAN RESPONDEN ... 4-7 BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 5-1 BAB 6 RENCANA TAHAPAN PENELITIAN ... 6-1 BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 7-1 7.1 KESIMPULAN ... 7-1 7.2 REKOMENDASI ... 7-2 7.3 CATATAN STUDI ... 7-3

(7)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1-1 RUANG LINGKUP WILAYAH STUDI ... 1-7 GAMBAR 2-1 KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT DI STASIUN /PERHENTIAN TRANSIT ... 2-11 GAMBAR 2-2 RADIUS PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT ... 2-12 GAMBAR 2-3 SKEMA TIPOLOGI PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT ... 2-16 GAMBAR 2-4 KONSEP REVITALISASI CENTRAL STATION DI KOTA EDMONTON ... 2-9 GAMBAR 7-1 USULAN KERANGKA KERJA DALAM PENGUASAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT DI DKI JAKARTA ... 7-1

(8)

DAFTAR TABEL

TABEL 2-1 TIPOLOGI PENGEMBANGAN KAWASAN BERBASIS TRANSIT ... 2-18 TABEL 4-1 PERBANDINGA ANTARA SNA DENGAN DANA SNA ... 4-3 TABEL 4-2 TAHAPAN PENGERJAAN DANA ... 4-5 TABEL 6-1 JADWAL ACARA FGD KONSEP PENGEMBANGAN TOD (TRANSIT ORIENTED DEVEOPMENT) DI DKI JAKARTA (9 OKTOBER 2013) ... 6-2

(9)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah metropolitan Jabodetabek merupakan wilayah metropolitan terluas di Indonesia. Wilayah metropolitan Jabodetabek terdiri atas empat kota, tiga kabupaten, dan satu provinsi, dimana hal ini menyebabkan beragamnya kegiatan perekonomian perkotaan di wilayah metropolitan Jabodetabek. Dalam wilayah metropolitan Jabodetabek saat ini memiliki popuasi kurang lebih sekitar 24 juta jiwa. Dengan tingginya jumlah penduduk di dalam wilayah metropolitan Jabodetabek serta beragamnya kegiatan perekonomian di dalamnya, termasuk perindustrian skala internasional, menyebabkan wilayah metropolitan Jabodetabek memiliki peran strategis di dalam pengembangan dan pembangunan Indonesia.

Wilayah metropolitan Jabodetabek saat ini merupakan salah satu simpul dari “Asian Comprehensive Plan”, yaitu jaringan kerjasama pembangunan ekonomi negara-negara maju di Asia. Metropolitan Jabodetabek merupakan salah satu wilayah metropolitan yang memiliki pertumbuhan kawasan perkotaan yang pesat dalam kurun waktu 5 dekade terakhir. Hal ini dapat terlihat dari semakin meluasnya area perkotaan dari Metropolitan Jabodetabek. Pertumbuhan penduduk yang pesat menjadi salah satu dampak tumbuhnya Metropolitan Jabodetabek.

Pertumbuhan Metropolitan Jabodetabek yang cenderung menyebar menyebabkan wilayah ini memiliki berbagai tantangan dari berbagai aspek yang dapat menghambat fungsi sebagai simpul “hub” kerjasama pembangunan ekonomi di Asia, salah satunya adalah kemacetan. Kemacetan yang terjadi di wilayah Jabodetabek hampir terjadi di seluruh ruas jalan DKI Jakarta sebagai akibat ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sarana dan prasarana transportasi masal. Hal ini semakin memburuk dengan meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, oleh masyarakat pinggiran metropolitan Jabodetabek.

(10)

Selain dari aspek ekonomi, permasalahan yang muncul dalam wilayah metropolitan Jabodetabek berasal dari aspek lingkungan. Tingginya penggunaan kendaraan bermotor pribadi di wilayah Metropolitan Jabodetabek telah menurunkan kualitas udara bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari tingginya kandungan CO2 dan CO dalam udara yang terdapat di wilayah Jabodetabek. Tingginya kandungan polusi dalam udara Jabodetabek dipengaruhi oleh tingginya emisi gas buangan kendaraan bermotor pribadi. Isu mengenai perubahan iklim juga menjadi salah satu agenda lingkungan yang perlu diperhitungkan dalam pengelolaan transportasi di wilayah metropolitan Jabodetabek, mengingat wilayah tersebut merupakan wilayah pesisir dan rentan terhadap perubahan iklim terutama kenaikan air muka laut.

Berdasarkan penjelasan – penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa social behavior dari masyarakat Metropolitan Jabodetabek sangat mempengaruhi kondisi tranportasi yang ada. Van Geenhuizen dan Nijkamp ( Black, 2002) menyatakan bahwa behavior atau perilaku merupakan salah satu dari tiga faktor penting dalam terciptanya sustainable transport. Sustainable transport merupakan salah satu konsep dimana sistem transportasi yang ada memiliki sistem pengelolaan yang dapat menciptakan kondisi berkelanjutan dan dapat adaptif terhadap perubahan lingkungan.

Berdasarkan pengalaman pengelolaan kawasan perkotaan di negara maju, antara lain Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Cina, pengurangan tingkat kemacetan, mobilitas kendaraan pribadi, dan pengurangan polusi lingkungan dapat dicapai dengan menggunakan strategi pengembangan kawasan berbasis transit atau Transit Oriented Development (TOD). Pengembangan kawasan berbasis transit memiliki dua jenis. Pertama adalah pengembangan kawasan berbasis transit dengan moda bus cepat (Bus Rapid Transit) dan kedua adalah berbasis rel atau kereta api ringan (Light Railway Rapid Transit). Akan tetapi, penerapan konsep TOD di kota-kota Indonesia memiliki suatu tantangan yang besar dan unik, mengingat kondisi transportasi kota-kota di Indonesia berbeda dengan kondisi kota-kota di negara maju (Syabri, 2011).

Pengembangan kawasan berbasis transit di Indonesia diarahkan berbasis rel atau kereta api. Hal ini dikarenakan tingkat penurunan mobilitas kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan mobilitas tidak bermotor atau non-motorized lebih signifikan dibandingkan dengan pengembangan kawasan berbasis transit menggunakan bus. Di DKI Jakarta, semenjak tahun 2005 telah menggunakan konsep busway untuk

(11)

busway di Bogota, Kolombia. Namun hingga saat ini, penerapan konsep busway tidak memperlihatkan pengurangan penggunaan pribadi, bahkan jalur khusus busway dalam kondisi tertentu terkena kemacetan akibat digunakan oleh kendaraan pribadi. Oleh karena itu, salah satu alternatif upaya pengurangan kendaraan pribadi serta kemacetan yang terjadi di Jabodetabekadalah pengembangan kawasan berbasis transit menggunakan moda kereta api.

Dalam pengembangan kawasan berbasis transit, terdapat dua prasyarat. Pertama adalah prasyarat berupa fisik, seperti tingkat kepadatan bangunan, tinggi bangunan, adanya jalur bagi pejalan kaki dan sepeda, mixed used development, dan sebagainya. Kedua adalah berupa kelembagaan serta kebijakan yang mendukung pengembangan kawasan berbasis transit sehingga prasyarat-prasyarat berupa kondisi fisik dapat dicapai dalam pelaksanaan pengembangan kawasan berbasis transit.

Konsep pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta saat ini masih dalam tahap pembuatan rencana dan hanya terdapat pada beberapa titik yang merupakan bagian dari jalur MRT tahap pertama dan kedua. Berdasarkan rencana tersebut hanya terdapat aturan zonasi serta aturan bangunan yang terdapat di dalam kawasan tersebut. Salah satu kekurangan dalam pengembangan kawasan berbasis transit yang sudah direncanakan adalah pemetaan peran masing-masing pemangku kepentingan dalam implementasi dan pengelolaan kawasan berbasis transit di wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan pemetaan peran masing-masing pemangku kepentingan, maka dapat diketahui bagaimana tantangan secara kelembagaan dalam pengembangan kawasan berbasis transit. Bentuk kelembagaan dalam pengembangan kawasan berbasis transit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu top-down dan bottom-up (Curtis, 2004). Kelembagaan yang terbentuk secara top-down pada umumnya berupa pemberian kewenangan kepada badan atau dinas tertentu dengan penyesuaian terhadap masterplan pengembangan kawasan berbasis transit. Bentuk kelembagaan seperti ini pada umumnya terdapat pada daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk tidak banyak serta merupakan daerah yang baru berkembang. Bentuk kelembagaan yang lain adalah bottom-up, dimana bentuk kelembagaan seperti terbentuk dari kesadaran masyarakat yang merasa terdapat nilai-nilai lokal yang penting untuk dialamatkan dalam pengembangan kawasan transit.

(12)

Kelembagaan dalam pengembangan kawasan berbasis transit memiliki tantangan tersendiri terutama dalam mengintegrasikan urban development dengan sistem transportasi pada area stasiun yang akan dikembangkan (Curtis, 2004). Area stasiun merupakan “titik” dan “area” (Bertolini dan Spit, 1998 dalam Curtis, 2004), dimana titik karena merupakan bagian dari jaringan sistem transportasi dan area karena merupakan sebuah tempat dalam kota. Secara nyata, tantangan pengembangan ini semakin kompleks dikarenakan beragammnya aktor-aktor yang terlibat, baik dalam konteks sebagai titik maupun sebagai area. Interaksi yang terjadi antar aktor-aktor atau pemangku kepentingan dalam konteks pengembangan kawasan berbasis transit sangat menentukan bagaimana arah pengembangan kawasan berbasis transit ini kedepannya.

Dalam pengembangan kawasan berbasis transit terdapat beberapa hambatan, diantaranya penguasaan lahan, zonasi dan ketentuan pembangunan, lalu lintas dan parkir, serta pembiayaan (Caltrans, 2006). Pengembangan kawasan berbasis transit pada umumnya merupakan kegiatan infill development, dimana kegiatan tersebut sangat berkaitan dengan perubahan kepemilikan lahan sehingga penguasaan lahan menjadi isu hambatan utama pada beberapa tempat yang telah melakukan konsep pengembangan kawasan berbasis transit. Kepemilikan lahan yang berbeda di sekitar stasiun yang akan dikembangkan untuk menjadi kawasan transit sangat sulit untuk menjadi atas satu nama kepemilikan sehingga banyak kasus dimana gagal untuk menerapkan pengembangan kawasan berbasis transit.

1.2 Rumusan Masalah

Pengembangan kawasan berbasis transit atau Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu strategi dalam meningkatkan konsentrasi urban development di sekitar stasiun dalam rangka mendukung kegunaan transit dan mengembangkan sistem transit untuk menghubungkan area-area terbangun eksisting dan yang direncanakan (Curtis, 2004). Dengan melihat penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan dukungan antar stakeholder merupakan unsur terpenting dalam pengembangan kawasan berbasis transit. Hal ini dikarenakan setiap stakeholder memiliki peran masing-masing dalam perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan berbasis transit. Selain itu, hambatan utama dalam pengembangan kawasan berbasis transit, yaitu penguasaan lahan, dapat diatasi dengan memperjelas minta, peran dan

(13)

Hingga saat ini masih terdapat batasan serta sedikitnya studi yang fokus dalam analisis stakeholder, terutama dalam pemetaan minat serta kepentingan para stakeholder dalam pengembangan kawasan berbasis transit di Indonesia. Pemetaan minat serta kepentingan stakeholder dibutuhkan dalam menentukan bagaimana peran dari masing-masing stakeholder serta bagaimana tantangan yang dihadapi dari setiap stakeholder dalam pengembangan kawasan berbasis transit. Lebih lanjut lagi, penelitian tersebut sangat penting dalam bagaimana para stakeholder menanggapi konsep kawasan berbasis transit yang akan dikembangkan dan bagaimana para stakeholder berperan agar terlaksananya konsep tersebut. Analisis terhadap stakeholders sangat penting dilakukan sebagai dasar atau acuan pembuatan usulan strategi atau kebijakan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk merumuskan sebuah usulan strategi kebijakan dalam penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta. Adapun rumusan persoalan dalam penelitian kali ini adalah “Bagaiman dinamika hubungan antar stakeholders dapat dimanfaatkan untuk terbentuknya sebuah kerangka kerja yang kondusif dalam penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta?”

1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian

Secara luas, penelitian ini bermaksud untuk menemukenali konsep pengembangan kawasan berbasis transit (Transit Oriented Development) yang sesuai dengan konteks di Indonesia. Ruang lingkup wilayah dari penelitian kali ini difokuskan kepada wilayah Jabodetabek, terutama DKI Jakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia yang memiliki peran strategis dalam konektivitas dengan dunia.

Penelitian kali ini dimaksudkan untuk memberikan suatu usulan strategi berdasarkan hubungan antar aktor atau stakeholder yang terkait dalam pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta.. Hal ini dikarenakan menurut Curtis (2004), dalam pengembangan kawasan berbasis transit terdapat sebuah faktor yang menentukan arah dan keberhasilan pengembangan kawasan berbasis transit berupa kelembagaan antar stakeholder yang terbentuk di kawasan tersebut. Usulan strategis tersebut akan melingkupi seluruh aspek penting dalam pengembangan kawasan berbasis transit. Namun penelitian kali ini dibatasi dengan berupa perumusan usulan strategi untuk penguasaan lahan dalam pengembangan kawasan berbasis transit.

(14)

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah terumuskannya suatu usulan strategi atau kerangka kerja alternatif dalam penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa sasaran yang perlu dicapai dalam penelitian sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi kerangka kerja penguasaan lahan dalam pengembangan kawasan berbasis transit secara normatif;

2. Mengidentifikasi hubungan antar stakeholders dalam penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit secara normatif;

3. Memetakan hubungan antar stakeholders dan jejaring aktor dalam penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit; dan

4. Menganalisis relevansi antara peta jejaring antar stakeholders dengan kerangka kerja normatif.

1.4 Ruang Lingkup

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah dari penelitian kali ini adalah Wilayah Metropolitan Jabodetabek. Metropolitan Jabodetabek merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki moda angkutan umum dengan berbagai jenis, termasuk kereta rel listrik komuter dan rencana pengembangan kereta mass rapid transit. KCJ sebagai operator kereta komuter telah mengupayakan berbagai peningkatan pelayanan kereta komuter. Dengan peningkatan pelayanan yang dilakukan, jumlah penumpang kereta komuter mengalami peningkatan dari 400.000 penumpang menjadi 560.000 penumpang. Berdasarkan fakta tersebut, stasiun-stasiun yang beroperasi sangat potensial untuk dikembangkan secara berbasis transit. Dikarenakan banyaknya jumlah stasiun maka dalam penelitian kali ini dilakukan studi kasus untuk melihat bagaimana pengaruh stakholder terhadap konsep pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana kondisi dari tatanan stakeholder yang ada di DKI Jakarta mempengaruhi tercapainya pembangunan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta.

Untuk memperdalam bagaimana hubungan antara para pemangku kepentingan dari sektor publik dan swasta serta masyarakat sekitar, maka dilakukan penelitian lebih

(15)

Manggarai digunakan sebagai ruang lingkup dalam rangka memahami bagaimana hubungan serta dinamika di dalam hubungan tersebut dalam mengembangkan kawasan berbasis transit dengan tipologi sebagai urban neighborhood. Sedangkan Stasiun Sudirman digunakan sebagai ruang lingkup dalam memahami bagaimana hubungan serta dinamika di dalam hubungan antar stakeholder dalam mengembangkan kawasan berbasis transit dengan tipologi urban downotown.

Gambar 1-1 Ruang Lingkup Wilayah Studi

Sumber : Pemprov DKI, 2013 1.4.2 Ruang Lingkup Substansi

(16)

1. Persepsi stakeholders mengenai kebijakan pengembangan kawasan berbasis transit atau TOD di DKI Jakarta. Penelitian ini dikembangkan berdasarkan persepsi stakeholders yang didapat melalui wawancara. Persepsi yang diperoleh bersifat tentatif dikarenakan persepsi dapat berubah sesuai dengan waktu. Tanggapan dari stakeholders mewakili pemahaman narasumber terhadap arena atau permasalahan yang diajukan dan dapat ditemui kemungkinan perbedaan pendapat dari orang lain yang berada dalam institusi atau lembaga yang sama dengan narasumber (Hermans, 2004). Persepsi dari stakeholders akan digambarkan dalam diagram hubungan sebab akibat dan dapat diketahui bagaimana kepentingan dari setiap stakeholder dalam menanggapi isu pengembangan TOD di DKI Jakarta.

2. Persepsi stakeholder dalam penguasaan lahan di DKI Jakarta. Selain persepsi mengenai kebijakan pengembangan kawasan berbasis transit, penelitian ini juga akan ditekankan dalam persepsi penguasaan lahan. Penguasaan lahan merupakan salah satu hambatan utama dalam pengembangan kawasan berbasis transit. Persepsi dari setiap stakeholder atas penguasaan lahan terkait pengembangan kawasan berbasis transit akan digunakan sebagai dasar dari strategi penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan penguasaan lahan dalam implementasi pengembangan berbasis transit.

3. Framework pengembangan TOD berdasarkan persepsi antar aktor. Penelitian ini akan menghasilkan sebuah gambaran mengenai persepsi, tindakan, dan kemungkinan konflik yang terjadi terkait pengembangan TOD. Berdasarkan hasil penelitian ini akan dibuat sebuah rancangan framework pengembangan TOD di DKI Jakarta.

1.5 Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan serta sasaran dari studi yang dilakukan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisikan mengenai tinjauan-tinjauan teori yang dilakukan guna mendapatkan suatu indikator penelitian yang digunakan sebagai dasar analisis.

(17)

Bagian ini menjelaskan tujuan dari penelitian yaitu menemukenali hubungan antar stakeholder dalam isu pengembangan kawasan berbasis transit di DKI Jakarta.

BAB IV : Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai rancangan penelitian yang dilakukan dalam studi kali ini. Rancangan penelitian yang dimaksud termasuk penjelasan mengenai jenis penelitian, metode analisis, metode pengumpulan data, tabel kebutuhan data, dan kerangka berpikir.

BAB V : Hasil Penelitian

Bagian ini menjelaskan temuan studi dari penelitian sebgai jawaban dari sasaran penelitian.

BAB VI : Rencana Tahapan Penelitian

Bagian ini menjelaskan rencana tahapan penelitian yang akan dilakukan selama 5 bulan kedepan.

BAB VII : Kesimpulan dan Saran

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai, yang merupakan jawaban atas tujuan penelitian, kelemahan, serta saran studi atau penelitian lanjutan.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Kawasan Berbasis Transit (Transit Oriented Development)

Pengembangan kawasan berbasis transit merupakan sebuah cara pengembangan alternatif bagi suatu wilayah di sekitar titik pemberhentian angkutan umum yang terlalu didominasi oleh kepemilikan kendaraan pribadi sehingga mengakibatkan berbagai macam masalah transportasi perkotaan. Pengembangan kawasan berbasis transit memiliki desain dimana pada akhirnya akan tercipta sebuah kawasan yang mampu mendukung mixed use activity sehingga menguragni permintaan (demand) untuk melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor dan meningkatkan penggunaan angkutan umum.

2.1.1 Definisi

Pengembangan kawasan berbasis transit (Transit-Oriented Development) merupakan sebuah penggunaan lahan secara mix use, dengan kepadatan beragam, dalam radius setengah mil disekitar tempat pemberhentian angkutan umum, dimana dalam konteks kali ini adalah angkutan umum berbasis rel. Dimensi pengembangan kawasan berbasis transit pada umumnya ditentukan berdasarkan jarak terjauh yang masih memungkinkan dilakukan oleh orang untuk melakukan perjalanan dengan berjalan. Bay Area Rapid Transit Authority (BART) San Fransico, mendefinisikan TOD sebagai pembangunan dengan kepadatan sedang hingga tinggi, terletak dalam suatu lokasi yang mudah dijangkau dengan berjalan kaki dari perhentian angkutan umum, pada umumnya suatu campuraan antara tempat tinggal, tempat bekerja dan memungkinkan untuk berbelanja yang didesain untuk pejalan kaki tanpa menghilangkan penggunaan

(19)

atau pembangunan kembali (redevelopment) dari satu atau lebih gedung yang didesain dan berorientasi kepada penggunaan fasilitas angkutan umum (TCRP, 2004).

Gambar 2-1 Konsep Pengembangan Kawasan Berbasis Transit di Stasiun /Perhentian Transit

Sumber : TRCP, 2004

Menurut Atlanta Regional Commission (2002), pengembangan kawasan berbasis transit merupakan lingkungan (neighborhoods) mixed-use yang saling mendukung dan menguntungkan dari tempat transit secara lokasi, rencana, dan desain. Secara sederhana, pengembangan kawasan berbasis transit dapat dilihat sebagai sebuah usaha untuk merencanakan guna lahan dan mengorganisir pembangunan fisik sehingga orang dapat mencapai tempat mereka tinggal, bekerja, dan rekreasi dengan menggunakan sistem transportasi transit.

Jarak dimana seseorang mau untuk berjalan untuk menggunakan transit menentukan area utama dimana TOD sebaiknya terjadi. Jarak ini senilai dengan berjalan kaki 5 menit atau 400-600 meter (City of Calgary, 2004). Pada radius sekitar stasiun ini,

(20)

terdapat lahan potensial seluas 125-250 hektar untuk pengembangan kawasan berbasis transit.

Gambar 2-2 Radius Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Sumber : City of Calgary, 2004

Dalam proyek pengembangan kawasan berbasis transit, pada umumnya terdapat lima tujuan utama (Ditmar, 2004), yaitu sebagai berikut.

1. Efisiensi Lokasi

Dalam term pengembangan kawasan berbasis transit, yang dimaksud efisiensi lokasi adalah pengembangan kawasan berbasis transit membangun sebuah wilayah yang efisien dan setara dalam penempatan tempat tinggal terhadap sistem transit. Pengembangan kawasan berbasis transit diharapkan dapat menciptakan sebuah lingkungan yang menyediakan perumahan yang terjangkau dengan kemudahan mencapai tempat transit dengan berjalan sehingga orang yang memiliki keterbatasan sumber daya dapat berpartisipasi di dalam kegiatan ekonomi wilayah. Komponen yang perlu diperhatikan dalam mencapai efisiensi lokasi adalah sebagai berikut.

(21)

pusat lokasi dari pengembangan kawasan berbasis transit dan melayani pengendara untuk mencapai tempat tujuan secara mudah.

di dalam kawasan transit yang saling terhubungkan dan memiliki kenyamanan bagi pedestrian.

2. Ragam Pilihan Kegiatan

Pilihan kegiatan menentukan lingkungan permukiman. Sebuah lingkungan permukiman yang baik dalam pengembangan kawasan berbasis transit adalah lingkungan yang menawarkan berbagai macam aktifitas bagi masyarakat didalam jarak berjalan kaki. Menyediakan sebuah lingkungan permukiman yang memiliki kegiatan beragam membantu komunitas agar lebih nyaman karena beberapa tujuan dapat diselesaikan dengan sekali perjalanan dan lebih terjangkau karena tidak memerlukan mobil pribadi untuk setiap perjalanan.

3. Menangkap Kenaikan Nilai Ekonomi

Karena transportasi merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah rumah tangga, kesuksesan dalam menciptakan kawasan berbasis transit yang efektif dapat berarti menangkap nilai ekonomi secara substansial. Namun demikian, terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan dalam menciptakan kawasan berbasis transit yang efektif sebagai berikut.

place making

4. Pembuat Tempat Bagi Pejalan Kaki

Batasan utama dalam pengembangan kawasan berbasis transit adalah bagaimana membuat tempat tersebut atraktif dan ramah terhadap pejalan kaki. Berikut ini adalah beberapa elemen yang mempengaruhi desain dari jalur pejalan kaki,

h masyarakat adalah tempat yang aman, nyaman, bervariasi, dan menarik.

(22)

kualitas dari tempat yang telah ada.

baiknya terintegrasi secara fisik dan visual dengan lingkungan sekitar.

antara buatan manusia dengan alam.

Mix uses and form, Tempat yang menstimulasi, menyenangkan, dan aman bertemu dengan variasi dari kebutuhan-kebutuhan dan menyediakan keamanan yang bervariasi agar meningkatkan variasi pengguna.

harus memiliki kemungkinan secara ekonomi dan dikelola serta dipelihara dengan baik. 5. Pembuat Nodal Dan Tempat Jaringan Transportasi

Elemen terakhir dari pengembangan kawasan berbasis transit mempengaruhi penekanan bahwa adanya peran dari sebuah stasiun transit sebagai nodal dalam jaringan transportasi wilayah dan peran sebagai sebuah “tempat” dalam lingkungan permukiman.

Alasan utama munculnya transit dalam kota-kota adalah untuk menyediakan para penumpang sebuah jasa transportasi (Vuchic, 2005). Sebagai utilitas publik dasar, transit memiliki peran penting dalam memfungsikan sebuah kota secara ekonomi dan aktivitas sosial. Peran penting dari transit ini membutuhkan prasyarat dengan melihat kuantitas dan kualitas dari jasa serta harga yang ditentukan untuk para penumpang. Di sisi lain, terdapat prasyarat bahwa transit disediakan dalam dengan cara paling efisien dan cara ekonomi sehingga pendapatan dari penumpang sebanyak jumlah biaya pengadaan transit namun terdapat pengaruh politik di dalamnya.

Kedua aspek dari sistem transit memiliki pengaruh terhadap kepemilikan dan organisasi dari perusahaan atau agensi yang mengoperasikan transit, regulasi pemerintah, dan beberapa aspek finansial dari sistem transit. Public private ownership, tingkat dan bentuk regulasi pemerintah, serta beberapa isu terkait telah menjadi subjek dari diskusi lanjut diantara para profesional transit dan pemerintah, dan mungkin mengalami beberapa perubahan dalam beberapa tahun terakhir.

(23)

2.1.2 Tujuan Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Renne (2005) menyebutkan bahwa pengembangan kawasan berbasis transit bertujuan untuk memusatkan pekerjaan, perumahan, jasa, dan tingkat kenyamanan di sekitar fasilitas transit utama, terutama stasiun kereta api. Pengembangan kawasan transit merupakan contoh dalam megupayakan terbentukan struktur perkotaan yang mendukung dan mengintegrasikan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara berkelanjutan. Selain itu, pengembangan kawasan berbasis transit merupakan sebuah strategi untuk mengurangi tingkat ketergatungan terhadap kendaraan pribadi sementara itu, pengembangan kawasan berbasis transit juga mengupayakan terjadinya sustainable development. Kawasan transit juga merupakan faktor kunci dalam mengelola pertumbuhan perkotaan (Renne, 2005).

Dengan tujuan-tujuan tersebut, pengembangan kawasan berbasis transit berpotensi untuk menyediakan kawasan perumahan dengan peningkatan kualitas kehidupan dan pengurangan biaya transportasi rumah tangga (Ohland, 2001). Pengembangan kawasan berbasis transit dapat menjadi salah satu cara dalam mencegah urban sprawl, kemacetan, dan buruknya kualitas udara. Secara singkat, pengembangan kawasan berbasis transit adalah sebuah alat yang dapat digunakan dalam mengatasi berbagai masalah perkotaan dan menjanjikan sebuah cara hidup yang lebih berkelanjutan. Pengembangan kawasan berbassi transit merupakan cara paling efektif dalam mengintegrasikan berbagai macam pilihan transportasi, kereta, bus, sepeda, dan berjalan, ke dalam perencanaan guna lahan dan dalam urban design, pengembangan kawasan berbasis transit memiliki tujuan mengintegrasikan distrik mixed-use dengan lingkungan perumahan (Atlanta Regional Commission, 2002). Dengan kata lain, pengembangan kawasan berbasis transit berperan dalam menciptakan sebuah kondisi smart growth. Adapun delapan strategis yang menjadi dasar bagi pengembangan kawasan berbasis transit dalam tingkat regional dan lokal sebagai berikut (Atlanta Regional Commission, 2002)

1. Maximizing Ridership 2. Increasing Property Values 3. Increasing Tax Revenue 4. Providing Retail Opportunities

(24)

5. Offering an Alternative to Auto-dependent Development

6. Providing a Stimulus for the Revitalization of Urban Centers and Existing Neighborhoods

7. Providing Choices

8. Supporting Environmental Quality

2.1.3 Tipologi Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Terdapat dua tipe dasar pengembangan kawasan berbasis transit (Curtis, 2004; Atlanta Regional Commission, 2002). Pertama adalah kawasan transit sebagai nodes atau titik. Pada tipe ini, pembangunan fasilitas dilakukan secara intensif di sekitar stasiun transit. Kedua adalah kawasan transit sebagai area. Pada tipe ini, pembangunan fasilitas perkotaan dilakukan sepanjang koridor jalur transit. Selain itu, pada tipe area, pembangunan dapat dilakukan dalam radius 500 – 800 meter.

Reconecting America and the Center for TOD (2008) membagi tipe pengembangan berbasis transit berdasarkan beberapa aspek seperti karakteristik wilayah stasiun, moda angkutan yang melayani, frekuensi pelayanan angkutan, tipe dan kepadatan guna lahan, karakteristik perdagangan yang ada serta tantangan perencanaan dan pembangunan pada stasiun-stasiun angkutan umum, yaitu: Regional Center, Urban Center, Suburban Center, Transit Town Center, Urban Neighborhood, Transit Neighborhood, Special-Use/Employment District, Mixed-Use Corridor. 20

(25)

Gambar 2-3 Skema Tipologi Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Sumber : Reconnecting America, 2008

Berdasarkan Dittmar (2004), terdapat beberapa tipologi pengembangan kawasan berbasis transit sebagai berikut. Pengembangan kawasan berbasis transit adalah sebuah usaha menciptakan dan mengeskploitasi sinergi antara komunitas dan wilayah, antara pekerjaan dan tempat tinggal, antara tingkat kepadatan dan tingkat layanan transit, serta antara generasi, pendapatan, dan orang yang berbeda. Inti dari pengembangan kawasan berbasis transit adalah jalur pedestrian dan mixes uses untuk mendukung lingkungan pejalan kaki. Berdasarkan tipoligi pengembangan kawasan berbasis transit, sebaiknya pengembangan dilakukan secara regional terelbih dahulu lalu berusaha memahami setiap kawasan yang lebih rinci.

(26)

Tabel 2-1 Tipologi Pengembangan Kawasan Berbasis Transit Tipe Pengembanga n Kawasan Berbasis Transit

Land Use Mix Kepadatan Rumah

Minimal Tipe Rumah Skala

Konektivitas

Wilayah Moda Transit Frekuensi Contoh Urban

Downtown Didominasi oleh pusat perkantoran, hiburan,

perumahan (multi family), dan perdagangan

>60 unit/hektar Multifamily Loft Tinggi High Hub of

Radial System Semua Moda <10 menit Printers Row (Chicago) Lodo (Denver) South Beach (San Fransisco) Urban

Neighborhood Perumahan, Perdangangan komersial kelas B

>20 unit/hektar Multifamily Loft

Keluarga Tunggal

Townhome

Medium Akses medium ke Downtown Subregional Circulation

Light – Rail Streetcar

Bus (Cepat & Lokal) 10 menit pada peak hour 20 menit pada offpeak Mockingbird (Dallas) Fullerton (Chicago) Suburban

Center Didominasi oleh pusat perkantoran, hiburan,

perumahan (multi family), dan perdagangan

>50 unit/hektar Multifamily Loft

Townhome Tinggi Akses tinggi ke pusat hub subregional

Kereta

Streetcar

Bus (Cepat dan Lokal) Paratransit 10 menit pada peak hour 10-15 menit pada offpeak Arlington County (Virginia) Suburban

Neighborhood Perumahan, perdagangan lokal, dan perkantoran lokal

>12 unit/hektar Multifamily Loft

Keluarga Tunggal

Moderat Akses medium ke akses pusat suburban untuk pusat kota

Light-rail

Bus (Cepat & Lokal) Paratransit 20 menit pada peak hour 30 menit pada offpeak Crossing (Mountain View, CA) Neighborhood

Transit Zone Perumahan dan perdagangan lokal >7 unit/hektar Keluarga Tunggal

Townhome

Akses rendah ke

pusat rendah Bus Lokal Paratransit 25-30 menit, tergantung permintaan Commuter

Town Center Perumahan, pusat perdagangan >12 unit/hektar Multifamily Loft Keluarga Tunggal

Townhome

rendah Akses rendah ke

pusat kota Kereta komuter Bus cepat Pada saat puncak tergantung permintaan

Prairie Crossing (Illinois)

(27)

2.1.4 Prinsip Strategis Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Pengembangan kawasan berbasis transit membutuhkan sebuah komitmen dalam pengembangan kawasan pusat kegiatan dan sistem transit secara bersamaan. Membangun sebuah pusat kegiatan yang terhubung dengan sistem transit membutuhkan sebuah kerangka kerja perencanaan strategis sebagai sebuah alat kebijakan untuk membantu mengimplementasi pengembangan kawasan berbasis transit (Newmann, 2004 dalam Curtis, 2004). Adapun alat perencanaan strategis untuk pengembangan kawasan berbasis transit sebagai berikut :

1. Sebuah kerangka kerja kebijakan strategis yang menyatakan dimana kawasan pusat kegiatan masyarakat perlu dikembangkan serta menentukan tingkat kepadatan dan tingkat keragaman atas kegiatan tersebut.

2. Sebuah kerangka kerja kebijakan strategis yang menghubungkan kawasan pusat kegiatan masyarakat dengan rapid transit base, pada umumnya berupa electric rail. 3. Sebuah perencanaan statutori dasar yang membutuhkan pengembangan untuk menciptakan kepadatan bangunan serta desain yang diinginkan.

4. Sebuah mekanisme pembiayaan yang berupa public-private mechanism.

Dalam mengatur rencana pengembangan pengembangan kawasan berbasis transit, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dan merupakan tiga dimensi yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan kawasan berbasis transit. Tiga dimensi ini harus tertuang di dalam dokumen rencana serta regulasi pengembangan lahan. Ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut (Dittmar, 2004):

1. Active, walkable streets: tempat dimana orang menggunakan transit adalah tempat dimana orang berjalan. Setiap trip transip mulai dan berakhir dengan berjalan kakai dan tempat dimana orang dapat berjalan dengan nyaman. Secara meningkat, penggunaan zonasi digunakan untuk menciptakan jalan yang dapat dilalui serta aktif, yang dihubungkan dengan desain bangunan serta penggunaan lahan yang beragam. 2. Building Intensity and scale: peraturan mengenai intensitas bangunan melalui standar untuk floor area ratio, minimum lot area per unit, dan tinggi atau kepadatan dari bangunan yang ditetapkan pada peraturan zonasi.

Menunjuk dan melokasikan kepadatan serta skala merupakan hal yang kurang dipahami oleh perencana dan pembuat peraturan. Kedua hal ini dapat mendukung

(28)

penumpang transit serta terciptanya jalan yang walkable. Konsentrasi dari aktivitas yang berkorelasi dengan bangunan dan perluasan dari distrik/wilayah yang transit-oriented adalah faktor kunci yang mendukung transit dan penggunaan aktif dari bangunan-bangunan yang ada di sekitar transit.

3. Careful transit integration: ketika jalur kereta, stasiun, atau rute merupakan bagian dari kawasan, zonasi harus mengarahkan bagaimana mereka akan terintegrasi secara sukses dalam proyek pengembangan kawasan berbasis transit. Ketika transit merupakan bagian yang tepat menghubungkan proyek, peraturan sebaiknya memperhitungkan hubungan antara proyek dan fasilitas yang diperlukan. Kondisi ini menciptakan kebutuhan yang khususu karena mereka diperhitungkan sebagai private land uses dan points of public interface with transit system.

2.1.5 Hambatan dan Manfaat Dari Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Pengembangan berbasis transit memiliki keuntungan bagi masing-masing stakeholder. Pengembangan kawasan berbasis transit memiliki sebuah karakteristik berupa desain kawasan kegiatan yang terintegrasi dengan sistem transportasi lokal dan regional. Dengan memiliki desain perkotaan yang baik, terdapat beberapa keuntungan yang dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kawasan berbasis transit. Berikut ini adalah keuntungan-keuntungan dari good urban design yang dirasakan oleh setiap stakeholder, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.. Pengembangan kawasan berbasis transit memiliki beberapa hambatan dalam tahapan perencanaan dan implementasi. Caltrans (2006), sebuah agensi transit di California, mendeskripsikan terdapat enam hambatan dalam pengembangan kawasan berbasis transit. Berikut ini adalah penjelasan dari hambatan-hambatan tersebut.

1. Hak pembangunan. Isu ini telah muncul dari pertama kalinya konsep pengembangan berbasis transit dicanangkan. Isu ini menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan berbasis transit terutama ketika akan menyusun rencana pengembangan. Hal-hal yang termasuk kedalam isu iniantara lain, kode guna lahan yang tidak sesuai, standar pembangunan yang tidak cocok, dan proses perizinan yang terlalu lama.

2. Lalu lintas dan lahan parkir. Ketika kawasan transit telah siap untuk dikembangkan, maka hambatan selanjutnya adalah bagaimana memperhitungkan bangkitan

(29)

meningkatkan pergerakan kendaraan bermotor lebih banyak atau meningkatkan pergerakan tidak bermotor lebih banyak.

3. Penguasaan lahan. Karena kebanyakan proyek pengembangan kawasan berbasis transit adalah proyek infill development, maka biasanya berhadapan dengan masalah pola persil lahan yang tidak teratur dan bangunan-bangunan yang sudah ada. Oleh karena itu, pengembangan berbasis transit akan lebih mahal jika skala pengembangannya hanya skala mikro.

4. Pendanaan. Pendanaan menjadi masalah bagi pihak pengembang dan privat untuk membangun kawasan transit menjadi lebih beragam penggunaan lahannya. Hal ini dikarenakan biaya yang dibutuhkan sangat besar dan di sisi lain terdapat tuntutan dari pihak pemerintah agar pengembang membangun perumahan terjangkau di kawasan transit agar masyarakat yang ada di kawasan transit tersebut memiliki beragam pendapatan. Hal ini dirasa sulit karena harga perumahan terjangkau yang jauh di bawah harga normal rumah membuat pengembang berifikir dua kali untuk membangun kawasan tersebut (profit oriented).

5. Biaya infrastruktur. Pengembangan kawasan berbasis transit pada umumnya dilakukan pada area yang telah terbangun. Infrastruktur yang telah ada belum tentu mendukung sepenuhnya kegiatan yang akan ada di kawasan transit tersebut. Oleh karena itu perlu sebuah pembangunan infrastruktur pendukung di kawasan tersebut yang dilakukan oleh pemerintah agar investor tertarik untuk menanamkan modalnya di kawasan tersebut.

6. Kurangnya ahli dalam pengembangan berbasis transit dan informasi. Pengembangan berbasis transit masih merupakan produk baru di dalam konsep pengembangan perkotaan. Hal ini menyebabkan masih kurangnya ahli yang dapat memberikan masukan-masukan serta saran bagi pemerintah lokal dalam pengembangan kawasan berbasis transit.

2.2 Stakeholder

Definisi klasik dari stakeholder adalah sebuah kelompok atau seorang individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian dari tujuan kelompok atau orang tersebut (Freeman, 1984 dalam Friedman, 2006). Organisasi dari kelompok itu

(30)

sendiri dianggap sebagai kumpulan dari stakeholder dan tujuan pembentukan organisasi seharusnya dapat untuk mengelola kepentingan, kebutuhan, dan sudut pandang dari masing-masing stakeholder. Prinsip berorganisasi antar stakeholder adalah sebagai berikut (Evan dan Freeman, 1993 dalam Friedman, 2006). `

1. Principle of Corporate Legitimacy

Prinsip dari bekerjasama antar stakeholder, dimana bentuk kerjasama atau berorganisasi tersebut seharusnya dapat dikelola untuk mendapatkan keuntungan bagi masing-masing stakeholder.

2. The Stakeholder Fiduciary Principle

Merupakan prinsip dasar dalam bekerjasama atau berorganisasi. Prinsip ini menyatakan bahwa masing-masing stakeholder memiliki tugas masing-masing, dimana tugas tersebut dibebankan berdasarkan kepercayaan dan transparansi.

3. The Stakeholder-Enabling Principle

Merupakan prinsip dasar yang menyatakan bawa setiapbentuk kerjasama atau korporasi sebaiknya diatur berdasarkan minat dari masing-masing stakeholder. Hal ini dikarenakan setiap stakeholder memiliki peran tertentu yang dapat mendukung hubungan kerjasama atau korpporasi tersebut.

4. The Principle of Director Responsibility

Direktur dari korporasi seharusnya memiliki sebuah tugas untuk menangani penggunaan penilaian beralasan untuk mendefinisikan dan mengarahkan hubungan dari korporasi sebagai bentuk lanjutan dari prinsip stakeholder enabling. Hal ini dimaksudkan setelah masing-masing stakeholder mengetahui peran yang dapat dia lakukan, maka sebaiknya ada seorang direktur atau pimpinan, dimana pimpinan tersebut bertugas memberikan arahan agar hubungan atau korporasi yang telah terbentuk tidak hilang begitu saja.

5. The Principle of Stakeholder Recourse

Berdasarkan prinsip ini, stakeholder mungkin membawa sebuah aksi yang melawan arahan direktur untuk menjatuhkan performa dari direktur tersebut. Dengan kata lain, prinsip ini menyatakan bahwa walau sudah terdapat arahan, masih terdapat kemungkinan adanya konflik antara pemberi arahan dan yang diarah. Hal ini wajar

(31)

ketika pemberi arahan atau direktur tersebut tidak mampu memberikan performa yang baik untuk keberlangsungan hubungan kerjasama atau korporasi tersebut.

2.2.1 Jenis Stakeholder

Menurut Friedman (2006), elaborasi dari hubungan antar stakeholder memungkinkan adanya berbagai konsep atas jenis-jenis stakeholder. Berdasarkan jenis ini, setiap stakeholder, memiliki peran masing-masing. Berikut ini adalah penjelasan untuk setiap jenis stakeholder.

1. Normative stakeholder

Normative stakeholder merupakan stakeholder yang menggunakan teori dalam mengelola hubungan antar stakeholder dan terkadang menggunakan teori dalam bagaimana seharusnya bertindak dan memandang atas kepentingan organisasi yang didasari atas prinsip-prinsip etis.

2. Descriptive stakeholder

Berbeda dengan normative stakeholder yang menggunakan teori dan prinsip etis dalam bertindak, descriptive stakeholder adalah konsep dimana manager dan stakeholder sebenarnya bertingkah dan melakukan suatu tindakan dan peran tanpa berdasarkan teori dan prinsip-prinsip etis.

3. Instrumental stakeholder

Adapun konsep lain untuk jenis stakeholder adalah instrumental stakeholder. Menurut konsep ini, manager sebaiknya bertindak pada minat masing masing atau minat organisasi atau minat tertentu. Hal ini dimasudkan agar adanya keuntungan maksimal atau maksimalnya nilai dari setiap stakeholder.

2.2.2 Aktor Dalam Penerapan Pengembangan Kawasan Berbasis Transit Dalam mengembangkan sebuah kawasan berbasis transit melibatkan banyak aktor di dalamnya, dimana para aktor tersebut memiliki fokus yang berbeda-beda. Transit agencies bertanggung jawab atas bangunan transit, lebih sering dengan turut serta dari multiple public agencies, seperti operator publik yang sering terlibat dalam pembangunan pengembangan kawasan berbasis transit dengan memaksimalkan pendapatan dan meminimalisasi subsisdi. Pemerintah lokal bertanggung jawab untuk perencanaan, fasilitasi, dan mengatur pembangunan sementara itu pihak swasta dan

(32)

Bentuk kelembagaan dari pengembangan kawasan berbasis transit sangat bergantung kepada besarnya cakupan atau skala pelayanan dari pengembangan kawasan berbasis transit. Dalam pengembangan kawasan berbasis transit tidak terdapat aktor tunggal. Pada umumnya terdapat beberapa aktor yang saling berhubungan satu sama lain. Dittmar (2004) menyatakan bahwa pengembangan kawasan berbasis transit sering kali mengalami permasalahan dari skala pelayanan yang berdampak kepada bagaimana masing-masing aktor mencapai tujuan, proiritas, serta kepentingan yang ada. Dengan adanya ketidaksamaan pandangan antar aktor, terdapat perbedaan pendapat apakah sebaiknya pengembangan kawasan berbasis transit dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan atau meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi, apakah sebaiknya pengembangan kawasan berbasis transit didesain untuk meningkatkan penumpang atau merevitalisasi area sekitar stasiun. Berikut ini adalah beberapa tujuan yang dimiliki oleh masing-masing aktor terkait pengembangan kawasan berbasis transit.

2.3 Penguasaan Lahan

Pengusahaan Lahan adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomis dari lahan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang terlibat di dalam pengusahaan lahan dapat berasal dari pemerintah, masyarakat, maupun individu atau sektor swasta. (Baskara, 2012). Adapun alasan pengusahaan lahan sebagai berikut :

1. Memperoleh pendapatan atas lahan 2. Menata kembali daerah perkotaan

3. Meningkatkan penampilan fisik dari lahan 4. Meningkatkan nilai lahan

5. Menertibkan dan pendayagunaan tanah terlantar

6. Mencegah tercabutnya hak atas laha akibat tidak diusahakan

Penguasaan lahan mempunyai keterkaitan yang erat dengan beberapa asas pengelolaan lahan. Adapun penjelasan antara penguasaan lahan dengan asas pengelolaan lahan sebagai berikut :

(33)

bangunan, hak pakai, hak sewa, hak pengelolaan, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain (hak tanggungan).

2. Police power, berdasarkan pasal 2 UUPA bahwa pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan lahan. Sehingga police power menjadi landasan pelaksanaan kegiatan pengusahaan lahan. Penggunaan police power tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi masyarakat umum, melindungi kepentingan umum serta menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat.

3. Spending power, berdasarkan kewenangan membelanjakan dana publik, maka pemerintah dapat menggunakannya untuk mengarahkan pembangunan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, serta dapat mengatasi dampak yang mungkin timbul dari kegiatan pembangunan, melalui kegiatan pengusahaan lahan. Dengan membelanjakan dana publik untuk kegiatan pengusahaan lahan, maka pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperbaiki performa lahan dan ruang publik, dan mengurangi ongkos dari harga lahan yang terlalu tinggi.

Penguasaan lahan juga memiliki empat kriteria. Kriteria ini sangat menentukan apakah penguasaan lahan dapat berhasil atau tidak. Berikut ini adalah kriteria-kriteria dalam penguasaan lahan :

1. Penjualan Lahan. Bentuk pengusahaan lahan yang paling sederhana dimana pihak penjual mendapatkan nilai ekonomis dari lahan yang dijualnya

2. Sewa Lahan. Kegiatan mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa tanpa disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan

3. Bagi Hasil. Kondisi dimana pemilik lahan karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri lahan tersebut tetapi ingin tetap mendapatkan hasilnya sehingga memperkenankan orang lain menyelenggarakan usaha di atas lahan tersebut yang hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan sebelumnya 4. Land Sharing. Teknik yang dipergunakan dalam pengusahaan lahan di mana terjadi kesepakatan antara si pemilik lahan dan masyarakat yang menempati lahan tersebut. (Kitay, 1985). Menurut Angel (1988) Land Sharing merupakan sebuah pendekatan

(34)

yang unik untuk penyelesaian konflik penggusuran daerah kumuh telah berkembang di Bangkok. Terdapat lima syarat dalam melakukan land sharing, yaitu:

pembagian/plot tanah. Biasanya pemilik tanah mendapatkan jatah persil tanah dil lokasi yang paling potensial

menuntut kepadatan hunian meningkat

tindakan rekonstruksi (rebuilding)

transformasi dari kumuh ke permanen

2.4 Best Practice Pengembangan Kawasan Berbasis Transit

Pengembangan kawasan berbasis transit belum diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan pembelajaran dari kasus-kasus di Indonesia. Untuk mendapatkan pembelajaran tersebut, dalam penelitian kali ini, digunakan tinjauan terhadap best practice untuk pengembangan kawasan berbasis transit di negara lain. 2.4.1 Kota Edmonton, Alberta, Canada

Kota Edmonton, melalui perencanaanya, mendukung integrasi transit dan guna lahan. Hal ini mengoptimasiskan penggunaan transportasi publik, meningkatkan mobilitas masyarakat, dan menciptakan semangan dan perbedaan neighborhoods untuk mendukung sustainable transit system dan mengkonsentrasikan bentuk perkotaan Edmonton di masa yang akan datang.

(35)

Gambar 2-4 Konsep Revitalisasi Central Station di Kota Edmonton

Sumber : www.edmonton.ca

Kota Edmonton mendukung TOD yang :

karakteristik dari sekitar area dan setiap stasiun atau peran pusat dalam jaringan

employment) di sekitar stasiun LRT

transportasi

lui kolaborasi, kooperasi, kemitraan, informasi publik, dan program

pribadi

Untuk memunculkan TOD, Kota Edmonton akan :

(36)

2.4.2 Bay Area, California, Amerika Serikat

Bay Area merupakan salah satu wilayah yang memiliki sistem transportasi publik yang maju, dimana terdapat beberapa lingkungan perumahan yang mengelilingi koridor publik transit. Menyadari adanya kebutuhan untuk perumahan yang terjangkau disekitar transit, perwakilan dari komunitas nonprofit, organisasi advokasi, dan pendonor “dermawan” bertemu bersama untuk membentuk GCC (Great Communities Collaborative). Kelompok ini melakukan pendekatan terhadap pemerintah, CDFI (community development financial institution), dan investor pada sektor privat untuk membantu mencapai tujuan GCC.

Mereka menyadari bahwa lahan yang dekat dengan transit lebih bernilai dibandingkan lokasi yang relatif lebih jauh dari transit. Hal ini akan mengakibatkan pengembangan perumahan terjangkau akan lebih sedikit (unit). Oleh karena itu kondisi yang ada sangat membutuhkan kebijakan yang sangat kuat, seperti property acquisition fund yang ditujukan bagi investasi perumahan terjangkau di lokasi transit-oriented.

MTC (Metropolitan Transportation Commission) memutuskan untuk memberikan dana sebesar $10-50 juta untuk dana TOAH (Transit-Oriented Affordable Housing). MTC memiliki mandat untuk merencanakan, mendanai, dan mengkoordinasi transportasi di Bay Area, juga untuk meng-update Regional Transportation Plan dan menjamin proyek transportasi baru “sejalan” dengan kondisi yang sudah ada.

Sementara itu, partner “dermawan” seperti Ford Foundation, Living Cities, the San Francisco Foundation, dan Silicon Valley Community Foundation, merefleksikan tujuan mereka untuk mengelola perubahan sosial, menggunakan hibah dan program-program terkait investasi untuk memaksimalkan kondisi sosial dibandingkan financial return. Private sector, Morgan Stanley dan Citigroup, bergabung untuk membantu mendanai agar para partner tersebut memiliki resiko yang rendah. (ikut memberikan bantuan untuk pengembangan perumahan terjangkau).

Oleh karena itu, struktur pendanaan TOAH mengalamatkan ekspektasi dan minat seluruh kepentingan, menarik nilai kapital secara signifikan dan memungkinan semuah untuk berhasil. Dengan struktur ini, TOAH Fund dapat menyediakan pinjaman dalam

(37)

jumlah besar dengan kondisi/jangka waktu yang lama dan bunga rendah dibandingkan dengan yang lain.

Pemerintah memiliki kemampuan untuk menyediakan kebijakan-kebijakan dan menyediakan bentuk hukum, zonasi, dan penyiapan kondisi pendukung, seperti infrastruktur dan penguasaan lahan. Yayasan dan provider lain yang mission-driven memiliki teori perubahan inovatif untuk mengkatalisasi inovasi dan meningkatkan hasil secara sosial. Sektor privat memiliki model bisnis, kemampuan analitik dan siap secara kapital untuk mempercepat perubahan positif. Dengan kemitraan kolaboratif, tidak hanya mengendalikan komunikasi yang efektif antara stakeholder yang berbeda, tapi juga dapat mengendalikan tujuan tertentu dan membangun komunitas yang solid. Regional Agencies

Association of Bay Area Governments (ABAG)

ABAG, pemerintahan dewan wilayah, menuntun guna lahan, perumahan, pengembangan ekonomi, dan perencanaan lingkungan. Keputusan guna lahan lokal dan zonasi diberikan kepada pemerintahan lokal (individual municipalities) dan ABAG tidak memiliki kekuatan untuk mengubah guna alahn atau ketentuan kepadatan. ABAG memiliki wewenang untuk membentuk visi kolektif regional yang menempatkan Bay Area menjadi lebih berkelanjutan dan berada pada jalur “Smart Growth”.

Pada tahun 2000, ABAG memulai pada proses visioning dengan lima agensi regional lainnya : the Bay Area Air Quality Management District, the Bay Conservation and Development Comission, the Metropolitan Transportation Commission, the Regional Water Quality Control Board, and the Bay Area Alliance for Sustainable Communities. Memlalui workshop-workshp dengan penghuni dan stakeholder pada 9 wilayah yang ada di Bay Area, sebuah serial kebijakan “Smart Growth” telah disepakati, termasuk promosi TOD.

Metropolitan Transportation Commission (MTC)

Dibentuk pada tahun 1970 bersamaan dengan ABAG. MTC adalah metropolitan planning organization untuk wilayah Bay Area, mengontrol alokasi dari dana federal dan negara bagian untuk proyek transportasi di Bay Area.

Pada tahun 1998, MTC membuat TLC (Transportation for Livable Communities) program untuk menyediakan pendaanan bagi proyek yang “menguatkan hubungan

(38)

antara transportasi, tujuan komunitas, dan guna lahan”. TLC program telah berubah selama lima tahun terakhir untuk memasukan tiga komponen : dana hibah kapital, hibah perencanaan, dan program insentif perumahan. TLC mengalokasi $27 Juta per tahun untuk proyek lokal dan county yang memenuhi “Smarth Growth” kriteria yang didefinisikan oleh MTC. Program ini telah meningkatkan aktivitas TOD di Bay Area dengan menyediakan dana untuk perencanaan strategis dan konstruksi perbaikan tambahan di sekitar stasiun, termasuk kenyamanan bersepeda dan berjalan kaki serta perumahan yang kompak.

MTC, dengan program TLC, memiliki beberapa pendekatan untuk melakukan investasi secara langsung, salah satunya adalah penguasaan lahan dan penataan lahan. Investasi tersebut berupa pendanaan unuk peralihan hak atas lahan dan menata lahan dengan waktu sekitar 5-10 tahun. Bentuk investasi berupa hibah (yang bisa berubah menjadi pinjaman) kepada kuasa hukum lokal dan atau developer. Contoh investasi untuk penguasaan lahan adalah NCTCOG Landbanking Program.

Keuntungan potenssial yang didapat dengan menguasai lahan adalah sebagai berikut: • Mencegah pengembangan non-TOD pada lahan penting

• Mengurangi biaya untuk pengadaan lahan dan penataan lahan di masa yang akan datang

• Dapat digunakan untuk mendorong adanya hak atas proyek

Walau memiliki beberapa keuntungan, pertanyaan yang akan muncul dari penguasaan lahan untuk pengembangan kawasan berbasis transit adalah dapatkan jenis sumber dana cukup bersabar untuk mengetahui hasil dari investasinya. Oleh karena itu, pada umumnya, program penguasaan lahan memiliki skala dana moderat ke tinggi tapi memiliki dampak yang sangat besar untuk keberlangsungan pengembangan kawasan berbasis transit.

Congestion Management Agencies (CMAs)

CMA bertanggungjawab secara statutori untuk mengkoordinasi perencanaan transportasi countywide dan mendanai melalui Congestion Management Plan (CMP). CMP adalah rencana jangka pendek yang menyatakan bagaimana pendapatan pajak dari bbm dihabiskan pada proyek transportasi. Hukum yang berlaku di California

(39)

mengharuskan seluruh daerah yang memiliki penduduk lebih dari 50.000 untuk menyiapkan CMP.

CMA pada Bay Area telah mengambil berbagai macam pendekatan untuk mendukung TOD, termasuk menciptakan sliding-scale untuk proyek yang mengurangi perkiraan traffic-generation untuk proyek yang dekat dengan tempat perberhentian kereta. Transit Agencies

Santa Clara County Valley Transportation Authority (VTA)

VTA memulai mencari partner untuk joint-development ketika sedang menyelesaikan 21-mil, 30-stasiun light rail system. Agensi ini telah memisahkan dari Santa Clara County Government dan bergabung dengan CMA lokal, dengan demikian mengambil alih tanggung jawab untuk mereduksi lalu lintas dan menganalisis dampak dari keputusan guna lahan lokal pada sistem transportasi regional.

Sebagai bentuk tugas/tanggung jawab, VTA berkoordinasi dengan kota San Jose untuk menstimulasi investasi pada sekitar stasiun. Agensi ini menguasai banyak lahan parkir yang bersebelahan dengan stasiun dan agensi mulai menyiapkan rencana area stasiun yang menyediakan data market dan konsep desain untuk pengembangan lebih lanjut. Sejak tahun 1998, VTA telah memnciptakan sebuah program in-house joint development untuk memunculkan potensi pembangunan.

BART (Bay Area Rapid Transit)

Stasiun Suburban BART, diperkirakan untuk memunculkan pusat-pusat baru dari pengembangan komunitas di sekitar stasiun dan memandu pertumbuhan suburban sepanjang koridor stasiun. 10 tahun dari munculnya jasa BART, kebanyakan dari komunitas ini tetap atau tidak berubah, dikelilingi oleh area terbuka dan rumah-rumah keluarga tunggal yang bersebaran.

Saat ini BART telah mendekatkan TOD dan joint-developmen secara hati-hati. Dibanding dengan membuat kesepakatan kerja sama, agensi telah memilih untuk co-participate dengan lokal dan kepentingan developer dalam mempromosikan transit-supportive development di berbagai stasiun.

Setelah 2 dekade, kegiatan BART joint development telah ditiadakan. Total dari seluruh kegiatan joint development, BART telah investasi sebesar $1 Miliar pada proyek-proyek joint development, sebagian masih dalam konseptualisasi, dan sebagin telah mulai

(40)

dibangun dan dalam tahap penyelesaian. Untuk mengakomodasi joint-development antara Kota Hayward dan pengembang privat untuk membangun aula kota baru dan multifamily housing, BART menukar lahan yang dikuasai kepada kota. Kemudian pihak kota menjual kavling dari lahan yang ditukar tersebut kepada developer yang membangun 77 townhomes. Pihak pemerintah kota tidak menuliskan berapa biaya lahan akibat transit oriented, mixed-use development telah cukup menambahkan nilai properti dan pajak properti.

Tanpa beban dari kebijakan mengganti lahan parkir, VTA telah dapat untuk mengambil langkah enterpreneur, dimana VTA bekerja dengan kepentingan privat untuk membangun proyek mixed-used pada lahan parkir yang tersedia. BART lebih ketat dalam kebijakan lahan parkir telah secara historis mengikatkan kewenangan dalam mencapai TOD pada lahan yang dimiliki oleh agensi. Hanya ketika adanya kelebihan sumber daya, maka dapat ditempuh sebuah penggantian lahan parking dengan struktur yang mahal akan mengintimasi koneksi/hubungan antara stasiun suburban dengan komunitas sekitar.

Peran Pasar dan Developer Privat

Pada beberapa keadaan, developer mampu untuk membayar seluruh biaya yang tinggi terkait dengan pengembangan kawasan berbasis transit yang semakin menguntukan jika para developer membuat proyek bangunan di lokasi dengan pasar real-estate yang kuat. Pasar yang kuat berlokasi dimana orang-orang mau untuk membayar harga jual atau sewa (rumah) yang tinggi. Pada Bay Area, selama 10 tahun terakhir, telah terjadi boom development dan akitvitas real esatet. Pasar-pasar yang baru muncul ini dimana ekspektasi tingkat pengembalian yang besar mungkin tidak cukup untuk menstimulai adanya aktivitas, baik karena harga lahan yang sama atau biaya infrastruktur yang meningkat.

Transit merupakan salah satu faktor yang dapat membuat lokasi perumahan menjadi diinginkan oleh penduduk, tapi hanya sebagai salah satu faktor dari banyak faktor dan biasanya bukan menjadi fakta penting untuk menjadi bahan pertimbangan. Walau demikian peran pengembangan kawasan berbasis transit dalam memunculkan pasar sangat terlihat.

(41)

Pendapatan bagi agensi, developer, dan pengembang pun akan meningkat. Hal ini dapat menjadi sebuah peluang bagi komunitas setempat untuk menangkap keuntungan-keuntungan dari pengembangan kawasan berbasis transit.

2.4.3 Arlington County, Virginia, Amerika Serikat

Pemerintah dari Arlington County menjadi salah satu pihak yang mengusulkan pengembangan kawasan berbasis transit sebagai sebuah strategi yang dapat digunakan untuk memperkuat koridor sepanjang tiga mil, sebah pusat komersial yang tidak pernah bergabung atau bersatu dengan kota, sebagai bentuk untuk membalikan penurunan populasi dan aktivitas komersial. Ketika konsensus rencana re-development menjangkau seluruh stakeholder, pihak county menerbitkan rencana tersebut dan kemudian memperbaiki secara konsisten dan suportif atas kerangka kerja kebijakan. Dimana hal tersebut menciptakan stabilitas dan prediktabilitas atas proyek yang diajukan. Proses ini dimulai tahun 1972 hingga tahun 2002 (30 tahun).

Kemungkinan terjadinya pengembangan mixed-use di kawasan tersebut sangat penting, dan koridor tersebut telah menjadi kawasan yang memiliki kepadatan populasi sebagaimana kota-kota lain di Amerika Serikta. Dari tahun 1972 hingga 2002 telah terdapat peningkatan pembangunan sebanyak 11.000 unit perumahan, 16 juta kaki persegi (± 4,8 juta meter persegi) area perkantoran, 950.000 kaki persegi kawasan pertokoan (±300.000 meter persegi), 1900 kamar hotel, dan meningkatkan nilai lahan sebesar 81%. Pengembangan koridor ini tidak menimbulkan bangkitan kendaraan/lalu lintas karena adanya tingkat penggunaan moda transit yang tinggi pada koridor ini. Adapun aktor-aktor yang terlibat dalam proyek di Arlington County adalah sebagai berikut.

Lima anggota dari Badan Pemerintahan Arlington County, menentukan kebijakan dan menyediakan kepemimpinan pada isu pembangunan dan investasi seara kapita. Badan ini menerbitkan kerangka kerja re-development.

Departemen yang ikut andil dalam proyek ini adalah departemen perencanaan komunitas, departemen perumahan dan pembangunan departemen pengembangan ekonomi, dan deparetemen pekerjaan umum. Tim yang terbentuk atas staff-staff dari

(42)

departemen-departemen tersebut memiliki peran penting sebagai manajer dan penasehat dalam proyek.

Komisi masyarakat mereview proyek pembangunan dan infrastruktur, memberikan komentar atas inisiatif kebijakan baru, dan membantu dalam membentuk konsensus di tingkat komunitas pada isu-isu yang sulit

) dan pemilik properti

Developer telah memainkan peran penting dalam mendorong pembangunan terjadi di sepanjang koridor. Terdapat dua pilihan ketika developer mengajukan proyek. Pertama adalah developer mengajukan proyek dengan ketentuan zonasi yang telah ditetapkan. Kedua adalah ketika developer ingin menegosiasi zonasi tersebut, developer dipersilahkan untuk bernegosiasi dengan pemerintah, komisi masyarakat, dan komunitas yang terkait dengan proyek pengembangan tersebut untuk menegosiasikan desain dan keuntungan untuk masing-masing pihak. Kepadatan bangunan yang diperbolehkan General Land Use Plan lebih tinggi dibandingkan dengan zonasi yang berlaku pada koridor tersebut. Hal ini menciptakan insentif bagi developer untuk berpartisipasi dalam proses tinjauan lahan.

Dalam pengembangan koridor Rosslyn-Ballston di Arlington County terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sebagai berikut :

-development.

ng terprediki dan proses review sangat penting bagi developer dan komunitas.

untuk sistem transportasi

an pengetahuan dan informasi mengenai proyek redevelopment tersebut.

Gambar

GAMBAR 1-1 RUANG LINGKUP WILAYAH STUDI ...................................................
Gambar 1-1 Ruang Lingkup Wilayah Studi
Gambar 2-1 Konsep Pengembangan Kawasan Berbasis Transit di Stasiun  /Perhentian Transit
Gambar 2-2 Radius Pengembangan Kawasan Berbasis Transit
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan Judul “ Rancang Bangun Alat Pengering Tipe Tray Dengan Media Udara Panas Ditinjau Dari Lama Waktu Pengeringan Terhadap Exergi Pada Alat Heat..

3HQHOLWLDQ LQL EHUWXMXDQ XQWXN PHPSHODMDUL PDUND PROHNXOHU \DQJ WHUSDXW GHQJDQ VLIDW WROHUDQVL WDQDPDQ SDGL JRJR KDVLO SHUVLODQJDQ 6LWX 3DWHQJJDQJ [ % ) - 7% WHUKDGDS $O

13 Pondok pesantren yang di maksud dalam peneliti adalah pondok Pesantren lembaga mitra kampus yang mana para mahasiwa di tuntut untuk mondok agar lulusnya

Bagi siswa, penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II dengan Model Pembelajaran Search Solve Create and Share (SSCS) dalam kegiatan belajar mengajar yang

BERHAD (“Pos Malaysia”), dengan memberi notis yang bertulis dalam masa 14 hari kepada Pemegang permit jika Pemegang permit melanggar mana-mana syarat yang

Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk

Selama dalang memainkan tokoh wayang satu persatu dalam adegan kundur kedhaton iringan garap tetap dengan iringan Ladrang puspita panca warna laras pelog pathet nem yang dimulai

Spektrum FT-IR dari produk oksidasi D- sorbitol (Gambar 1) menunjukkan pita serapan pada derah 3600-3200 cm -1 yang melebar ( broad ) menunjukkan adanya gugus OH alkohol sekunder dan