1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan adalah suatu masalah besar dan serius yang sedang terjadi
ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Kemiskinan membuat jutaan anak-anak tidak
mengenyam pendidikan yang berkulitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan
dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan
pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga. Bahkan lebih parah
lagi, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuan pangan, sandang, dan
papan secara terbatas.1
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2011 sebesar 29,89 juta orang
(12,36%) dari jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada
Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta (12,49%), jumlah penduduk miskin berkurang 0,13
juta orang selama enam bulan tersebut.2
Gustavo Guiterrez menjelaskan bentuk-bentuk dan yang menyebabkan kemiskinan
tersebut, yaitu individual dan struktural; dan material dan spiritual.3 Bentuk kemiskinan individual adalah kemiskinan yang disebabkan oleh malas, tidak kreatif, dan tidak kompetitif,
tidak tekun dan tidak disiplin. Bentuk kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
disebabkan oleh penghisapan dan penindasan dimana adanya penyimpangan-penyimpangan
struktur dan yang cenderung korup dan adanya praktek pengabaian hak-hak rakyat.
Sedangkan kemiskinan material ialah kemiskinan yang mengalami ketiadaan barang-barang
yang mutlak perlu demi kelangsungan hidup. Kemiskinan spiritual ialah sikap seseorang yang
1
Agust inus Pengarapent a Purba, M enuju Kemandirian Dana GBKP, Kabanjahe: Abdi Karya, 2010, 55
2
Berit a Resm i St at istik No. 06/ 01/ Th. XV, 2 Januari 2012 diunduh t anggal 16 Juni 2012
3
2
secara aktif terbuka dan terarah kepada pewahyuan Kerajaan Allah. Kemiskinan spiritual juga
berarti sikap miskin dihadapan Allah, dan bisa juga berarti terikat kepada barang-barang
duniawi.
Sementara J.B. Banawitratma, SJ dan J. Muller, SJ menjelaskan pembagian
kemiskinan yang terdiri dari kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif.4 Kemiskinan mutlak berarti kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan,
kerja yang wajar dan pendidikan dasar yang tidak terpenuhi; apalagi kebutuhan sekunder
seperti misalnya partisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan. Jadi,
orang-orang miskin hidup dalam kemelaratan yang sangat jelas, sehingga kemiskinan mutlak harus
diberantas bagaimana pun caranya. Kemiskinan relatif menyangkut pembagian pendapatan
nasional dan berarti bahwa ada perbedaan yang mencolok antara berbagai lapisan atau kelas
dalam masyarakat.
Melihat realita perekonomian warga jemaat dan masyarakat yang semakin sulit seperti
itu Gereja terpanggil untuk melakukan tugas panggilan Gereja yakni Marturia, Koinonia, dan
Diakonia dalam menyatakan cinta kasih Allah kepada ciptaanNya.5 Tugas panggilan Gereja, bukan hanya memberitakan Berita Kesukaan secara verbal akan tetapi harus secara holistik.
Tugas panggilan Gereja yang sangat dibutuhkan oleh jemaat dan masyarakat dalam realita
perekonomian sekarang adalah Diakonia (Pelayanan). Pada umumnya cara berdiakonia dapat
dibagi 3 (tiga), yaitu diakonia karitatif, diakonia reformatif (developmentalist-pembangunan)
dan diakonia transformatif (pembebasan).6
Diakonia karitatif merupakan bentuk diakonia paling tua yang dipraktekkan oleh
Gereja dan pekerja sosial yang sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian
4
J.B. Banaw itratm a, SJ dan J. M uller, SJ, Bert eologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakart a:Kanisius, 1993, 126
5
Jusden Sinaga, Sola Ekonom ika.htm di unduh t anggal 2 m aret 2012
6
3
untuk orang miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan amal kebajikan lainnya.7 Diakonia ini mendapat dukungan dari Gereja khususnya sebelum tahun 1950 karena dapat memberikan
manfaat langsung yang dapat dilihat, memberikan penampilan yang baik terhadap sipemberi,
memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, bisa menarik seseorang yang dibantu menjadi
anggota Gerejanya, menciptakan hubungan subjek-objek (ketergantungan).
Diakonia Reformatif lebih dikenal sebagai diakonia pembangunan.8 Selama dekade pembangunan, diakonia ini banyak dipakai oleh banyak Gereja. Secara sepintas,
pembangunan ini seolah-olah memberikan harapan pada orang miskin dan negara dunia
ketiga tetapi nyatanya harapan itu hanyalah impian. Kata pembangunan bisa menjadi ideologi
untuk merampas hak asasi rakyat kecil untuk bersuara dan berserikat, dan mengusir mereka
dari tempat asalnya. Diakonia reformatif/pembangunan bisa dikatakan tidak mampu
menyelesaikan kemiskinan rakyat, sebab diakonia ini hanya memberi perhatian pada
pertumbuhan ekonomi, bantuan modal dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan
yaitu ketidakadilan dan pemerataan.
Diakonia Transformatif/pembebasan adalah diakonia yang bertujuan membebaskan
rakyat kecil dari belenggu struktur yang tidak adil, bukan sekedar diakonia yang berfungsi
sebagai palang merah yang menolong korban tanpa berusaha mencegah dan mengurangi
sebab terjadinya korban sosial.9 Diakonia transformatif dimaksudkan agar terjadi perubahan total dalam fungsi-fungsi dan penampilan dalam kehidupan bermasyarakat, suatu perubahan
sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Metode diakonia transformatif antara lain adalah pengorganisasian masyarakat.
Dengan menggunakan pengorganisasian masyarakat dalam melayani orang miskin dan
7
Ibid, 109
8
Ibid, 112
9
4
tersisih, maka fokus dari diakonia transformatif adalah masyarakat sebagai subjek dari
sejarah bukan objek, tidak karitatif melainkan preventif, tidak didorong oleh belas kasihan
tetapi keadilan, menstimulir partisipasi rakyat, dan memakai analisis sosial dalam memahami
sebab-sebab kemiskinan.
Tanah Karo merupakan sebuah kabupaten yang mempunyai sumber daya alam yang
sangat melimpah dan tanah yang sangat subur. Adanya sumber daya alam yang melimpah
dan tanah yang subur tidak dibarengi oleh sumber daya manusia yang memadai dan juga
modal yang cukup dalam mengolah sumber daya alam dan tanah yang subur. Sehingga
menyebabkan adanya masyarakat Karo yang berada dalam situasi kemiskinan. Selain tidak
adanya sumber daya manusia yang memadai dan modal yang kurang, kemiskinan yang ada
dalam masyarakat Karo juga disebabkan oleh adanya struktur yang salah dalam pemerintahan
serta ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat yang berada dalam situasi kemiskinan.
Dilihat dari statistik yang ada, masih banyak masyarakat Karo yang berada dalam
situasi kemiskinan. Berdasarkan statistik daerah kabupaten Karo tingkat kemiskinan di
Kabupaten Karo pada tahun 2009 tercatat 41,82 ribu jiwa (14,2 %) dari jumlah penduduk
Karo hasil Sensus Penduduk tahun 2000 berjumlah 283.713 jiwa dan diperkirakan pada
pertengahan tahun 2009 mencapai 370.619 jiwa.10
Situasi kemiskinan seperti ini ternyata dimanfaatkan oleh sebagian pihak. Kurangnya
modal untuk melakukan usaha menyebabkan masyarakat miskin meminjam dari rentenir
(ijon) yang memberlakukan bunga yang tinggi. Hal ini tidaklah membantu masyarakat untuk
keluar dari kemiskinan, melainkan menciptakan kemisikinan yang baru. Sehingga tercipta
yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Melihat realita seperti ini, GBKP yang merupakan Gereja yang terbesar dan berpusat
di Tanah Karo tidak dapat lepas tangan. Gereja perlu membangun sebuah lembaga keuangan
10
5
yang membangun kehidupan perekonomian jemaat dan masyarakat yang tidak mengikuti
sistem kapitalis, melainkan bersifat kemitraan dan memberdayakan. Untuk mewujudkan
pelayaan Gereja yang diakonal sudah saatnya Gereja turut aktif dalam pemberdayaan
ekonomi jemaat. Kepedulian Gereja kepada kehidupan ekonomi masyarakat tidak hanya
retorika tetapi harus ada wujud nyata yang dilakukan di tengah-tengah warga Gereja dan
masyarakat sebagai keikutsertaan dalam membangun dan peningkatan ekonomi masyarakat
untuk menuju kehidupan yang sejahtera.
Credit Union (CU) merupakan salah satu bentuk pelayan GBKP yang
bertanggungjawab melakukan pelayanan secara lebih luas dan menyentuh kehidupan
anggotanya untuk membebaskan jemaat dan masyarakat dari kemiskinan, kesengsaraan,
kejahatan, penyakit, kebodohan, ketidakadilan, keputusasaan dan ketidaksejahteraan.11 Credit
Union (CU) menjadi salah satu alternatif yang dapat diakses oleh jemaat dan masyarakat
miskin yang membutuhkan modal, keterampilan, dan jaringan pemasaran produksi untuk
mengembangkan usaha.12 Program pembentukan dan pengembangan Credit Union (CU) masih perlu terus dilakukan karena masih banyak jemaat dan masyarakat membutuhkan
modal meningkatkan usaha karena masih tergantung pada rentenir, lintah darat, tidak
tersedianya anggaran/dana Gereja untuk dimanfaatkan jemaat dan masyarakat dalam
pengadaan modal, tidak tersedianya lembaga keuangan formal yang dapat diakses masyarakat
miskin dan memberikan pinjaman dengan bunga yang rendah.
Credit Union (CU) pada awalnya dibentuk oleh Friedric Wilhelm Raiffeisen seorang
Walikota Flammersfeld di Jerman Barat pada tahun 1849 karena masyarakatnya mengalami
kesulitan ekonomi akibat revolusi industri.13 Buruh-buruh pabrik yang di PHK dengan terpaksa berusaha menciptakan pekerjaan baru sebagai petani yang awalnya tidak mempunyai
11
Agust inus Pengarapent a Purba, M enuju Kemandirian Dana GBKP, 56
12
Ibid, 58
13
6
modal usaha. Situasi dan kondisi petani Jerman yang demikian itu menggugah hati F.W.
Raiffeisen untuk memberikan bantuan. Ia berusaha menghimpun dana dari para dermawan
untuk menolong kaum miskin.
Dana yang terkumpul dijadikannya sebagai modal usaha bagi kaum miskin-para
petani Jerman. Namun uang yang dibagikannya itu tidak pernah cukup karena
penggunaannya tidak terkontrol. Raiffeisen kemudian mengumpulkan roti dari pabrik dan
membagikannya kepada kaum melarat. Tetapi usaha ini pun gagal karena hanya menciptakan
ketergantungan bagi kaum miskin.
Pengalaman tersebut membawa F.W. Raiffeisen berkesimpulan:
Derma tidak akan menolong manusia tetapi merendahkan martabat manusia yang
menerimanya.
Kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh si miskin itu sendiri.
Gagasan Credit Union (CU) oleh Friedric Wilhelm Raiffeisen berhasil menghapuskan
usaha-usaha lintah darat (rentenir) yang pada masa itu sudah merajalela melakukan
pemerasan terhadap petani. Credit Union (CU) menjadi salah satu gerakan pemberdayaan
masyarakat dengan mengembangkan swadaya kemampuan/potensi yang ada.
Berdasarkan kesimpulan tersebut F.W. Raiffeisen bersama dengan kaum buruh
mencetuskan Tiga prinsip utama Credit Union (CU) yaitu:
1. Tabungan hanya diperoleh dari para anggotanya (asas swadaya).
2. Pinjaman hanya diberikan pada para anggota (asas dari, oleh, dan untuk anggota).
7
Ketiga prinsip tersebut dianut karena mencerminkan adanya usaha swadaya dari
kelompok masyarakat yang senasib sepenanggungan, berdasarkan naluri kerjasama, karena
dilakukan “DARI, OLEH dan UNTUK ANGGOTA”. Usahanya adalah melalui simpan
pinjam berdasarkan kerjasama dan saling percaya. Filosofi yang harus dipahami oleh seluruh
anggota adalah Credit Union bukan mencari keuntungan semata, bukan untuk tujuan
amal/derma tetapi adalah untuk pelayanan.
Pemahaman tentang Credit Union (CU) GBKP dan upaya peningkatan ekonomi
masyarakat Karo (suatu tinjauan dalam perspektif Diakonia Transformatif) berdasarkan teori
diakonia yang ada dalam Gereja khususnya Diakonia Transformatif.
Credit Union (CU) juga melakukan diakonia kepada jemaat GBKP dan masyarakat
yang mengalami permasalahan ekonomi. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis
mengambil judul :
Credit Union (CU) GBKP dan Upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Karo
(Suatu Tinjauan dalam Perspektif Diakonia Transformatif)
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, akhirnya pertanyaan yang timbul adalah:
1. Apa falsafah Credit Union (CU) GBKP dalam memberdayakan ekonomi jemaat
dan masyarakat.
2. Apa upaya dan dampak Credit Union (CU) dalam memberdayakan ekonomi
8
I.3. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:
1. Mendeskripsikan falsafah Credit Union (CU) GBKP dalam memberdayakan
ekonomi jemaat dan masyarakat
2. Mendeskripsikan upaya dan dampak Credit Union (CU) dalam memberdayakan
ekonomi jemaat dan masyarakat.
I.4. Signifikansi Penulisan
1. Membangkitkan motivasi Gereja dan jemaat dalam melakukan pembebasan bagi
sesama.
2. Memberikan konsep dasar bagi para teolog untuk membangun Teologi
Pembebasan di Indonesia.
3. Memberikan sumbangan pemikiran akademik dalam hal ini lembaga fakultas
Teologi UKSW terkhususnya mata kuliah Teologi Kontekstual.
I.5. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif,
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala
dan gejala lain dalam masyarakat.14 Penulis menggunakan kualitatif agar penelitian tentang
Credit Union (CU) GBKP dan Upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Karo (Suatu
Tinjauan dalam Perspektif Diakonia Transformatif) dapat dijelaskan secara mendalam.
14
9
Teknik pengumpulan data di lapangan yang dipakai penulis adalah dengan
menggunakan metode wawancara dan Focus Group Discussion ( FGD ). Wawancara
merupakan salah satu metode pengumulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui
kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data
(informan). Komunikasi tersebut dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara
tidak langsung menggunakan daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden, dan
responden menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Secara langsung, wawancara
dilakukan dengan “face-to-face”, artinya pewawancara berhadapan langsung dengan
responden untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan, dan jawaban responden
dicatat pewawancara.15 Dalam menggunakan metode ini saya menggunakan model wawancara terbuka, yaitu responden menyadari dan mengetahui tujuan wawancara.16
Untuk melakukan wawancara, terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara,
namun pada situasi tertentu, wawancara dilakukan secara spontan, seperti dalam
pembiacaraan sehari-hari tetapi tetap terfokus pada masalah penelitian. Fasilitas
telekomunikasi seperti handphone juga menjadi salah satu alat penting yang mendukung
terjalinnya komunikasi yang baik antara peneliti dengan informan, disamping wawancara
langsung yang lebih dominan. FGD yang dimaksud adalah peneliti melakukan Wawancara
secara bersama atau kelompok dengan beberapa informan agar lebih terfokus kepada
permasalahan penelitian.
Selain menggunakan teknik wawancara dan Focus Group Discusion (FGD), penulis
juga mengunakan metode studi pustaka. Studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan dari
berbagai buku dan dokumen lainnya, yang dapat mendukung dan membantu dalam proses
penelitian ini.
15
Riant o Adi, M etodologi Penelit ian Sosial & Hukum, Jakart a: Ranit , 2004, 72
16
Burhan Bungin, M et odologi penelitian Kualitat if : Aktualisasi M et odologis ke Arah Ragam Varian
10
Dalam penyusunan dan penulisan karya ini, penulis mendapatkan informasi dengan
membaca, lalu menganalisa sebuah bahan. Kemudian analisa-analisa yang didapatkan akan
dibanding-bandingkan dan akhirnya akan ditarik sebuah kesimpulan. Informasi-informasi
diperoleh dari wawancara, buku-buku, majalah, artikel di perpustakaan. Selain itu,
bahan-bahan informasi juga diperoleh penulis dari pencarian di internet.
I.6. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : Tanggungjawab Gereja Terhadap Kemiskinan
Dalam bagian ini akan dibicarakan secara teoritis tentang tanggungjawab gereja
terhadap kemiskinan diakonia Gereja
BAB III : Credit Union (CU) GBKP
Pada bagian ini, penulis akan meneliti Credit Union (CU) yang ada dalam GBKP
dalam upaya GBKP memberdayakan Ekonomi masyarakat Karo.
BAB IV : Credit Union (CU) dalam Perspektif Diakonia Transformatif
Pada bagian ini penulis akan menganalisa hasil dari penelitian terhadap Credit
Union (CU) yang ada dalam GBKP. Selanjutnya akan dikaitkan dengan teori diakonia
transformatif, untuk menemukan hubungan Credit Union (CU) GBKP dan Upaya
Peningkatan Ekonomi Masyarakat Karo (Suatu Tinjauan dalam Perspektif Diakonia
11
BAB V : Penutup
Pada bagian ini, penulis akan menyimpulkan apa yang telah dideskripsikan
pada bab-bab terdahulu dan memberikan saran-saran praktis baik itu bagi Gereja maupun