• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Tingkat Kelelahan pada Radar Controller di Salah Satu Bandara Internasional di Indonesia Tahun 2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Tingkat Kelelahan pada Radar Controller di Salah Satu Bandara Internasional di Indonesia Tahun 2016."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

i

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN TINGKAT KELELAHAN PADA

RADAR

CONTROLLER

DI SALAH SATU BANDARA INTERNASIONAL

DI INDONESIA TAHUN 2016

AYU RATIH UTAMI NARAISWARI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

▸ Baca selengkapnya: salah satu tombol di radar yang di gunakan untuk mengurangi efek radiasi dari ombak

(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN TINGKAT KELELAHAN PADA

RADAR

CONTROLLER

DI SALAH SATU BANDARA INTERNASIONAL

DI INDONESIA TAHUN 2016

AYU RATIH UTAMI NARAISWARI

NIM. 1220025088

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN TINGKAT KELELAHAN PADA

RADAR

CONTROLLER

DI SALAH SATU BANDARA INTERNASIONAL

DI INDONESIA TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

AYU RATIH UTAMI NARAISWARI

NIM. 1220025088

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(4)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa di hadapan

Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 14 Juli 2016

Pembimbing

(5)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan di hadapan

Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 14 Juli 2016

Tim Penguji Skripsi

Penguji I

Dr. dr. Partha Muliawan, M.Sc. (OM)

NIP. 19510922 198003 1 002

Penguji II

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa)

karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikan skripsi yang berjudul

"Gambaran Tingkat Kelelahan pada Radar Controller di Salah Satu Bandara Internasional di Indonesia Tahun 2016" ini tepat pada waktunya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, motivasi, dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, sekaligus sebagai

pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan untuk

penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Made Kerta Duana, S.KM, MPH. sebagai Kepala Bagian Kesehatan

Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan arahan

serta masukan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dr. dr. Partha Muliawan, M.Sc.(OM) sebagai penguji yang telah memberikan

arahan serta masukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf pegawai Program Studi Kesehatan

Masyarakat yang telah memberikan arahan, saran dan bantuannya dalam

penyusunan skripsi ini.

5. General Manager dan seluruh staf pegawai perusahaan terkait yang telah

(7)

vii

6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Kedokteran, Universitas Udayana angkatan 2012 yang telah bersama-sama

saling membantu dan memberikan semangat dalam penyusunan skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis Bapak Nyoman Gede Suatama dan Ibu dr. Ayu

Setiawati Kencana Putri serta saudari Ayu Nanda Krisna Naraiswari yang

selalu memberikan doa dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Para sahabat penulis, Juliana, Yoga, Nanda, Ima, Manda, Komang, Shanti,

Bagas, Nata, dan Dayu Sinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat

kepada penulis.

9. I Gusti Bagus Ananta Wijaya Putra yang selalu memberikan doa, motivasi dan

menemani penulis selama penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar nantinya hasil yang

disampaikan dalam skripsi ini berguna dan dapat dimanfaatkan dengan baik.

Denpasar, Juni 2016

(8)

viii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA Skripsi, Juni 2016

GAMBARAN TINGKAT KELELAHAN PADA RADAR CONTROLLER DI SALAH SATU BANDARA INTERNASIONAL DI INDONESIA TAHUN 2016

ABSTRAK

Mengawasi, memandu, dan mengontrol pergerakan pesawat di udara hingga mendarat di bandara tujuan merupakan tugas dari pemandu lalu lintas penerbangan atau dikenal sebagai Air Traffic Controller (ATC). Tanggung jawab terhadap keselamatan jiwa penumpang merupakan beban tersendiri yang harus dipikul oleh setiap petugas ATC. Beban yang dipikul oleh ATC akan meningkat jika terjadi cuaca yang buruk untuk penerbangan, peralatan navigasi dan komunikasi yang tidak berfungsi dengan baik, serta sistem rotasi shift yang tidak sesuai. Dengan beban kerja yang tinggi tersebut, akan menyebabkan terjadinya kelelahan pada radar controller.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat kelelahan pada radar controller salah satu bandara internasional di Indonesia tahun 2016. Desain penelitian yang digunakan adalah desain cross-sectional dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Populasi sampel adalah seluruh radar controller yang berjumlah 25 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Instrumen yang digunakan terdiri atas Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) dan alat uji waktu reaksi (reaction timer).

Berdasarkan hasil uji t berpasangan, terdapat perbedaan bermakna antara kelelahan subyektif dan obyektif pada shift pagi maupun shift siang. Tingkat kelelahan pada shift siang lebih tinggi dibandingkan dengan shift pagi. Berdasarkan uji korelasi, tidak terdapat perbedaan bermakna antara umur dan masa kerja terhadap kelelahan subyektif dan obyektif pada shift pagi maupun shift siang. Berdasarkan uji chi square, tidak terdapat perbedaan bermakna antara jenis kelamin dan jam kerja terhadap kelelahan subyektif dan obyektif pada shift pagi maupun shift siang.

Bagi perusahaan sebaiknya mempertimbangkan alternatif pengaturan jumlah controller di setiap shift kerja dengan menambahkan jumlah controller pada jam sibuk bandara, yaitu pada shift siang.

(9)

ix

ABSTRACT

OVERVIEW OF LEVEL OF FATIGUE ON RADAR CONTROLLER IN ONE OF THE INTERNATIONAL AIRPORT IN INDONESIA 2016

Overseeing, directing and controlling the movement of aircraft from the sky until it landed on destination airport are the job of Air Traffic Controller (ATC). The responsibilities of the safetyof all passangers are carried by all ATC. This responsibilities increased if the weathers are bad through flights, navigation, and communication equipment that is not working properly and also shift rotation that is not properly managed with such a heavy workload, fatigue will eventually happen on radar controller.

The purpose of this research is to see the overview of level of fatigue on radar controller in one of the international airport in Indonesia 2016. Design of this research use cross-sectional with descriptive quantitative approach. The sample population usesball radar controller around 25 people. Sample taking techniques used are total sampling. Instrument used cocsisted of KAUPK2 and reaction timer.

The result of paired t test, it was found that there is a different in subjective and objective fatigue meaning morning shift and noon shift. Level of fatigue is higher on noon shift rather than morning shift. From correlation test, it was found that theres no meaningfull different between age and working hours towards subjective fatigue on morning and noon shift. From chi square test, there was no meaningfull different between gender and working hours towards subjective and objective fatigue on morning and noon shift.

For companies, should consider the alternative of setting the number of controllers in each working shift by adding the number of controllers in the airport peak hours on afternoon shift.

(10)

x

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ………. xvi

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Rumusan Masalah ………... 4

1.3. Pertanyaan Penelitian ………... 5

1.4. Tujuan ………... 5

1.4.1. Tujuan Umum ………... 5

1.4.2. Tujuan Khusus ……… 5

1.5. Manfaat Penelitian ……….. 6

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ……….. 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 7

2.1. Kelelahan Kerja ……….. 7

2.1.1. Pengertian Kelelahan Kerja ………... 7

2.1.2. Jenis Kelelahan ……… 8

2.1.3. Gejala Kelelahan ………... 9

2.1.4. Cara Mengatasi Kelelahan ………... 9

2.1.5. Pengukuran Kelelahan ………. 10

2.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan ………... 13

2.2.1. Karakteristik Individu ………... 13

2.2.2. Jam Kerja ……….………. 15

2.2.3. Shift Kerja ………. 16

2.2.4. Pola Tidur ………. 17

(11)

xi

2.3. Air Traffic Controller ………..……… 19

2.3.1. Pengertian Air Traffic Controller ………. 19

2.3.2. Peranan Air Traffic Controller ………... 20

BAB III. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL.... 22

3.1. Kerangka Konsep ……… 22

3.2. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ………... 23

3.2.1. Variabel Penelitian ………... 23

3.2.2. Definisi Operasional Variabel ……….. 24

BAB IV. METODE PENELITIAN ………... 26

4.1. Desain Penelitian ………. 26

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 26

4.2.1. Populasi ……… 26

4.2.2. Sampel ……….. 26

4.3. Pengumpulan Data ……….. 26

4.3.1. Sumber Data ………. 26

4.3.2. Alur Pengumpulan Data ………... 26

4.3.3. Instrumen Penelitian ………. 27

4.3.4. Langkah-langkah Pengukuran Kelelahan Menggunakan Reaction Timer ……... 27

4.3.5. Pengolahan Data ………….………... 28

4.4. Teknik Analisis Data ………... 29

4.4.1. Analisis Univariat ………. 29

4.4.2. Analisis Bivariat ………... 29

4.5. Etika Penelitian ………... 29

BAB V. HASIL PENELITIAN ………... 30

5.1. Gambaran Umum Penelitian ………..…. 30

5.2. Karakteristik Responden dan Jam Kerja ………..…... 31

5.3. Tingkat Kelelahan Subyektif dan Obyektif pada Shift Pagi dan Shift Siang …….. 32

5.4. Distribusi Kelelahan Subyektif dan Obyektif pada Shift Pagi dan Shift Siang Berdasarkan Karakteristik Responden dan Jam Kerja ...………. 34

BAB VI. PEMBAHASAN ……….. 36

6.1. Karakteristik Responden dan Jam Kerja ………... 36

6.2. Kelelahan Kerja ……… 38

(12)

xii

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN ……… 44

7.1. Simpulan ………... 44

7.2. Saran ………. 44

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel ……….. 24

Tabel 5.1. Karakteristik Responden dan Jam Kerja ………... 31

Tabel 5.2. Proporsi Kelelahan Subyektif dan Obyektif ………. 32

Tabel 5.3. Perbedaan Tingkat Kelelahan Subyektif dan Obyektif pada Shift Pagi dan

Shift Siang ………. 33

Tabel 5.4. Distribusi Kelelahan Subyektif dan Obyektif Berdasarkan Karakteristik

(Umur dan Masa Kerja) ……… 34

Tabel 5.5. Distribusi Kelelahan Subyektif dan Obyektif Berdasarkan Karakteristik

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden Penelitian

Lampiran 3. Jadwal Penelitian

Lampiran 4. Kuesioner Penelitian

Lampiran 5. Pengukuran Kelelahan dengan Reaction Timer

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Subyektif dan Obyektif

Lampiran 7. Dokumentasi

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Daftar Singkatan

ATC : Air Traffic Controller

K3 : Kesehatan dan Keselamatan Kerja

ICAO : International Civil Aviation Organisation

CPC : Certified Proffesional Controllers

NASA : National Aeronautics and Space Administration

KAUPK2 : Kuisioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja

KKR : Kelelahan Kerja Ringan

KKS : Kelelahan Kerja Sedang

KKB : Kelelahan Kerja Berat

Daftar Lambang

% : persen

> : lebih besar dari

< : kurang dari

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor transportasi menjadi salah satu tolok ukur dalam menentukan

perkembangan sebuah negara. Sektor transportasi harus memiliki sistem manajemen

yang sangat baik agar dapat melayani kebutuhan masyarakat penggunanya, sehingga

mendapatkan kepercayaan masyarakat jika alat transportasi yang dipilihnya

merupakan alat transportasi yang aman dan nyaman. Salah satu mode transportasi

yang diminati oleh masyarakat adalah transportasi udara. Pesawat terbang merupakan

alat transportasi komersial yang dapat menampung hingga ratusan penumpang

(Nurina, 2012). Menurut Eichenberger (1995) dalam Nurina (2012), alat transportasi

udara ini dapat menjangkau berbagai wilayah yang jauh dengan waktu yang relatif

singkat apabila dibandingkan menggunakan alat transportasi darat maupun laut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penumpang udara di sejumlah

Bandara di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 72,6 juta orang, naik 5,6 persen dari

tahun 2013 sebanyak 68,5 juta orang, jumlah penumpang angkutan udara domestik

periode Januari - Desember 2014 mencapai 58,9 juta orang, meningkat 5,81 persen

dari tahun 2013 sebanyak 55,7 juta orang. Jumlah penumpang terbanyak di Bandara

Soekarno - Hatta sebanyak 20,3 juta orang atau 34,40 persen dari seluruh penumpang

domestik diikuti Bandara Juanda Surabaya 7 juta oarang atau 11,86 persen. Sementara

Penumpang di Bandara Kualanamu Medan 3,134 juta orang, Ngurah Rai Bali (4,516

juta). Untuk penumpang internasional baik yang menggunakan penerbangan nasional

maupun asing mencapai 13,7 juta orang, meningkat 5,41 persen dari tahun 2013

(18)

2

Hal tersebut merupakan hal yang positif dalam industri penerbangan. Namun

seiring dengan bertambahnya jumlah pesawat terbang, tentunya diperlukan

pengawasan, pemanduan dan pengontrolan yang ketat terhadap pergerakan

pesawat-pesawat tersebut. Mengawasi, memandu, dan mengontrol pergerakan pesawat-pesawat di udara

hingga mendarat di bandara tujuan merupakan tugas dari pemandu lalu lintas

penerbangan atau dikenal sebagai Air Traffic Controller (ATC).

Bandar udara internasional tersebut merupakan salah satu bandar udara yang sibuk

di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena bandara tersebut berada di kepulauan yang

merupakan destinasi pariwisata tidak hanya bagi wisatawan domestik, namun juga

bagi wisatawan internasional. Terdapat dua bagian controller pesawat yaitu, di bagian

tower yang bertugas untuk mengatur pesawat yang terpantau di jarak pandang tower,

serta bagian radar control bertugas mengontrol lalu lintas pergerakan semua pesawat

di luar jarak pandang tower ATC.

Dalam menjalankan tugasnya, para petugas pengatur lalu lintas udara memantau

pergerakan pesawat dari alat radar control (Haeny, 2009). Sudah barang tentu,

tanggung jawab terhadap keselamatan jiwa penumpang merupakan beban tersendiri

yang harus dipikul oleh setiap petugas ATC. Terjadinya miskomunikasi antara ATC

dan pilot akan menjadi penyebab terjadinya insiden penerbangan.

Jumlah radar controller di bandara internasional tersebut adalah 25 orang dibagi

dalam 4 shift, yaitu shift pagi, siang, malam 1 dan malam 2. Di masing-masing shift,

petugas yang bekerja sebanyak 5-6 orang. Penerbangan yang biasa dilayani mencapai

25 pesawat perjam. Namun pada jam sibuk jumlah penerbangan yang dilayani dapat

mencapai 48 pesawat perjam. Hal tersebut menyebabkan beban kerja radar controller

(19)

3

mengatur, mengawasi, dan mengontrol pesawat, agar penerbangan yang diawasi

terhindar dari insiden kecelakaan di udara.

Beban yang dipikul oleh ATC akan meningkat jika terjadi sesuatu hal, diantaranya

cuaca yang buruk untuk penerbangan, peralatan navigasi dan komunikasi yang tidak

berfungsi dengan baik, serta sistem rotasi shift yang tidak sesuai atau tidak berjalan

sebagaimana mestinya. Di samping itu, petugas ATC harus duduk dengan durasi yang

cukup lama dan hanya memandangi layar monitor serta hanya berkomunikasi dengan

pilot, juga akan menciptakan kondisi lingkungan kerja yang membosankan sehingga

dikhawatirkan dapat menurunkan tingkat kewaspadaan terhadap tugas yang

dilaksanakannya. Walaupun jam kerja sudah diatur, namun, tiap rutinitas pasti

memiliki titik jenuh (Widodo, dkk., 2015). Dengan beban kerja yang tinggi tersebut,

tentunya akan menyebabkan terjadinya kelelahan pada petugas ATC khususnya radar

controller.

Kelelahan merupakan hal yang umum dialami banyak orang. Semakin banyak

aktivitas seseorang, maka kemungkinan seseorang mengalami kelelahan semakin

tinggi. Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan agar tubuh terhindar dari

kerusakan sehingga terjadi pemulihan setelah melakukan istirahat. Masing-masing

individu menunjukkan kondisi atau tingkat kelelahan yang berbeda, yang berakibat

pada berkurangnya efisiensi kerja dan kapasitas kerja hingga ketahanan tubuh.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelelahan yaitu faktor umur, jenis

kelamin, lama bekerja, status kesehatan, shift kerja, waktu kerja, dan pola tidur.

Menurut Suma’mur (2009), faktor-faktor yang berasal dari beban tambahan dapat

mempengaruhi terjadinya kelelahan yaitu faktor fisik seperti cahaya, kebisingan, dan

(20)

4

binatang pengganggu, faktor fisiologis meliputi sikap dan cara kerja, serta faktor

psikologis meliputi suasana kerja, stres kerja maupun hubungan dengan rekan kerja.

Faktor jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap kejadian kelelahan, hasil

penelitian yang dilakukan Cruz, dkk., dalam Serber, dkk. (2010), bahwa ada perbedaan

gender diantara petugas ATC. ATC wanita dilaporkan memiliki kelelahan yang kronis

dibandingkan dengan ATC laki-laki. ATC wanita juga lebih banyak tidur pada

hari-hari libur mereka, ini menunjukkan bahwa mereka memiliki hutang tidur yang lebih

besar pada akhir pekan atau lebih banyak memerlukan waktu tidur. Namun, penelitian

ini tidak mengukur jumlah capaian waktu tidur individu dengan shift kerja mereka.

Menurut Costa dalam Serber, dkk. (2010), beberapa studi terkait umur menunjukkan,

bahwa ATC kurang tahan terhadap stres dan lebih rentan terhadap kelelahan karena

mereka mengalami gangguan circadian rhythm. Dalam survei yang dilakukan FAA

(Federal Aviation Administration) selama tahun 2010, sebanyak 3.268 personil ATC

di Amerika Serikat menyelesaikan secara online “NASA ATC Fatigue Factors Survey.

Berdasarkan actigraphy and sleep logs hasil survei petugas ATC rata-rata memperoleh

waktu tidur selama 5,8 jam per malam selama seminggu. Terkait shift kerja, 78%

survei responden yang telah teridentifikasi, bahwa shift kerja merupakan penyebab

kelelahan pada petugas ATC. (Orasanu, dkk., 2012)

1.2. Rumusan Masalah

Petugas Air Traffic Control (ATC) merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki

tanggung jawab terhadap keselamatan jiwa penumpang pesawat terbang. Bandara

internasional tersebut adalah salah satu bandara yang sibuk di Indonesia, karena

terletak di kepulauan yang merupakan destinasi pariwisata domestik maupun

(21)

5

controller akan bertambah. Jumlah radar controller di bandara internasional tersebut

adalah 25 orang, yang dibagi ke dalam 4 shift, yaitu pagi, siang, malam 1 dan malam

2. Di masing-masing shift petugas yang bekerja sebanyak 5-6 orang. Penerbangan

yang dilayani biasanya berjumlah 25 pesawat perjam. Namun pada jam sibuk,

penerbangan yang dilayani mencapai 48 pesawat perjam. Dengan bertambahnya

jumlah penerbangan menyebabkan petugas harus memiliki konsentrasi yang lebih

tinggi agar tidak terjadi insiden dalam penerbangan. Kondisi tersebut menyebabkan

beban kerja yang tinggi, sehingga berdampak terhadap terjadinya kelelahan.

Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui dan meneliti gambaran tingkat kelelahan

pada radar controller di salah satu bandara internasional di Indonesia tahun 2016.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut,

“Bagaimanakah gambaran tingkat kelelahan pada radar controller di salah satu

bandara internasional di Indonesia tahun 2016?”

1.4. Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat

kelelahan pada radar controller di salah satu bandara internasional di Indonesia tahun

2016.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi kelelahan secara subyektif pada radar controller di

(22)

6

2. Untuk mengetahui distribusi kelelahan secara obyektif pada radar controller di

salah satu bandara internasional di Indonesia tahun 2016.

3. Untuk mengetahui distribusi kelelahan menurut shift kerja pada radar controller

di salah satu bandara internasional di Indonesia tahun 2016.

4. Untuk mengetahui distribusi kelelahan menurut karakteristik radar controller di

salah satu bandara internasional di Indonesia tahun 2016.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi ilmiah

mengenai gambaran tingkat kelelahan pada radar controller.

2. Memberikan masukan pada pihak perusahaan dalam penyusunan kebijakan atau

program K3 dan untuk lebih meningkatkan peran dalam mengurangi tingkat

kelelahan pada radar controller.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja

(K3) pada sektor penerbangan sipil, khususnya kelelahan kerja (fatigue) pada petugas

(23)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelelahan Kerja

Pengertian Kelelahan Kerja

Secara garis besar kelelahan kerja dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang

ditimbulkan dari aktivitas seseorang, sehingga orang tersebut tidak mampu lagi

melakukan atau mengerjakan aktivitasnya. Kelelahan kerja dapat mengakibatkan

terjadinya penurunan kinerja yang dapat berujung pada kecelakaan kerja. Berikut ini

adalah beberapa pengertian kelelahan kerja:

a. Menurut Suma’mur (2009), kelelahan merupakan menunjukkan keadaan tubuh

baik fisik maupun mental yang semuanya berakibat pada penurunan daya kerja

serta ketahanan tubuh.

b. Menurut International Civil Aviation Organization (ICAO), kelelahan adalah

sebuah kondisi fisiologis, dimana kemampuan kinerja mental atau fisik berkurang

yang disebabkan oleh hilangnya waktu tidur atau terjaga dalam waktu yang

panjang, fase sirkadian, atau beban kerja (aktivitas mental dan/atau fisik) yang

dapat mengganggu kewaspadaan anggota sebuah kru dan kemampuan dalam

mengoperasikan pesawat terbang secara aman atau melakukan tugas terkait

(24)

8

Jenis Kelelahan

Menurut Susetyo, dkk. (2008), konsep kelelahan yang sudah dikenal saat ini,

membedakan atas dua jenis kelelahan yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum atau

general fatigue. Kelelahan otot terjadi apabila otot yang beraktivitas tidak lagi dapat

berespon terhadap rangsangan dengan tingkat aktivitas kontraktil yang setara.

Kelelahan umum diartikan sebagai sensasi kelelahan yang dirasakan secara umum

oleh tubuh. Tubuh dirasakan terhambat dalam melakukan aktivitas, kehilangan

keinginan untuk melakukan tugas-tugas fisik maupun mental, merasa berat, ngantuk

dan letih.

Menurut Suma’mur (2009) dan Tarwaka (2014), kelelahan dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu:

1. Kelelahan menurut proses

a. Kelelahan otot, yaitu kelelahan yang ditandai dengan tremor atau perasaan

nyeri pada otot. Kelelahan ini terjadi akibat penurunan kapasitas otot dalam

bekerja karena adanya kontraksi yang berulang, baik karena gerakan statis

maupun dinamis. Sehingga seseorang tampak kehilangan kekuatannya untuk

melakukan pekerjaan.

b. Kelelahan umum, yaitu kelelahan yang ditandai dengan berkurangnya

kemauan dalam bekerja karena pekerjaan yang monoton, intensitas, lama kerja,

kondisi lingkungan, sesuatu yang mempengaruhi mental, status gizi, dan status

kesehatan.

2. Kelelahan menurut waktu

a. Kelelahan akut, merupakan kelelahan yang ditandai dengan kehabisan tenaga

(25)

9

bekerja. Kelelahan ini muncul secara tiba-tiba karena organ tubuh bekerja

secara berlebihan.

b. Kelelahan kronis, juga disebut dengan kelelahan klinis yaitu kelelahan yang

diterima secara terus-menerus karena faktor atau kegiatan yang dilakukan

berlangsung lama dan sering. Kelelahan ini sering terjadi sepanjang hari

dalam jangka waktu yang lama, serta kadang muncul sebelum melakukan

pekerjaan dan menimbulkan keluhan seperti sakit kepala, sulit tidur, hingga

masalah pencernaan.

Gejala Kelelahan

Berikut ini adalah gejala-gejala kelelahan atau perasaan yang berhubungan dengan

kelelahan menurut Suma’mur (2009), antara lain perasaan berat di kepala, lelah di

seluruh badan, kaki terasa berat, menguap, mengantuk, pikiran terasa kacau, mata

terasa berat, kaku dalam bergerak, tidak seimbang dalam berdiri, dan merasa ingin

berbaring, merasa sulit berpikir, lelah berbicara, gugup, tidak dapat berkonsentrasi,

kurang memiliki perhatian terhadap sesuatu, tidak dapat mengontrol sikap, dan tidak

dapat tekun dalam bekerja, sakit kepala, bahu terasa kaku, nyeri di punggung, nafas

terasa tertekan, suara serak, haus, pening, spasme dari kelopak mata, tremor, dan

merasa kurang sehat.

Cara Mengatasi Kelelahan

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi kelelahan, antara lain:

a. Menyediakan asupan kalori yang cukup untuk tubuh.

b. Menggunakan metode yang baik dalam bekerja, misalnya bekerja dengan

(26)

10

c. Memperhatikan kemampuan tubuh dengan tidak mengeluarkan tenaga

melebihi pemasukannya.

d. Memperhatikan waktu kerja, dengan melakukan pengaturan jam kerja, waktu

istirahat, rekreasi, dan lain-lain.

e. Mengurangi bekerja secara monoton maupun ketegangan akibat kerja,

misalnya dengan mengatur dekorasi dan warna ruangan kerja, menyediakan

waktu olahraga, dan lain-lain.

Pengukuran Kelelahan

Hingga saat ini belum ada metode pengukuran kelelahan yang akurat, hal itu

disebabkan karena kelelahan adalah suatu perasaan yang subyektif dan sulit diukur.

Menurut Grandjean (1997) banyak metode yang dapat digunakan untuk mengukur

kelelahan kerja antara lain: kualitas dan kuantitas hasil kerja, uji hilangnya kelipan

(flicker-fusion test), Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang,

Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2), dan uji psikomotor

(psychomotor test).

1. Kualitas dan kuantitas hasil kerja

Kuantitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja yaitu waktu yang

digunakan setiap item atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu.

Namun demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti target

produksi, faktor sosial, dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas

output (kerusakan produk, penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat

menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan

causal factor. Kuantitas kerja dapat terlihat dari prestasi kerja yang dinyatakan

(27)

11

dengan penilaian kualitas pekerjaan, misalnya jumlah yang ditolak, kerusakan

material, dan lain-lain (Tarwaka, 2014).

2. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusion test)

Saat seseorang dalam kondisi lelah, kemampuan seorang pekerja untuk melihat

kelipan akan berkurang. Semakin lelah seorang pekerja, maka semakin panjang

waktu yang diperlukan untuk melihat jarak antara dua kelipan. Di samping untuk

mengukur kelelahan, uji kelipan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan pekerja

(Tarwaka, 2014).

3. Pengukuran kelelahan secara subyektif

Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC)

Jepang yang merupakan salah satu kuesioner yang dapat digunakan dalam

mengukur tingkat kelelahan secara subyektif. Skala kelelahan IFRC yang didesain

untuk pekerja dengan budaya jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga

puluh macam perasaan kelelahan. Kelemahan skala ini yaitu perasaan yang

dirasakan seorang pekerja dan tiap butir pernyataan dalam skala IFRC tidak dapat

dievaluasi hubungannya (Setyawati, 2010).

4. Alat ukur perasaan kelelahan kerja (KAUPK2)

KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja) merupakan

parameter yang digunakan dalam pengukuran perasaan kelelahan kerja sebagai

gejala subyektif yang dialami pekerja dengan perasaan yang tidak menyenangkan.

Parameter ini didesain oleh Setyawati (2010) khusus bagi pekerja di Indonesia dan

telah teruji kesahihan dan kehandalannya untuk mengukur perasaan kelelahan pada

pekerja. Instrumen pengukuran perasaan kelelahan kerja ini dipersiapkan untuk

penelitian masal pada pekerja di unit-unit kerja, sehingga bersifat sederhana, sahih,

(28)

12

Kuesioner ini terdiri dari 17 pertanyaan tentang keluhan subyektif yang dapat

diderita oleh tenaga kerja, antara lain: sukar berpikir, lelah berbicara, gugup

menghadapi sesuatu, tidak pernah berkonsentrasi mengerjakan sesuatu, tidak

punya perhatian terhadap sesuatu, cenderung lupa, kurang percaya diri, tidak tekun

dalam melaksanakan pekerjaan, enggan menatap orang lain, enggan bekeja dengan

cekatan, tidak tenang bekerja, lelah seluruh tubuh, lamban, tidak kuat berjalan,

lelah sebelum bekerja, daya pikir menurun dan cemas terhadap sesuatu (Zuraida,

dkk., 2013).

5. Uji psikomotor (psychomotor test)

Metode uji psikomotor ini menggunakan fungsi persepsi, interpretasi, dan

reaksi motorik. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan pengukuran waktu

reaksi. Waktu reaksi merupakan jangka waktu dari pemberian suatu rangsangan

hingga sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji

waktu reaksi biasanya menggunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit,

atau goyangan badan. Jika terjadi perpanjangan waktu reaksi, hal tersebut

menunjukkan adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot (Grandjean,

1997).

Di Indonesia sendiri telah berkembang alat ukur waktu reaksi dengan

menggunakan nyala lampu dan denting suara sebagai stimuli, yaitu reaction timer.

Dalam penelitian ini menggunakan alat reaction timer agar hasil pengukuran

tingkat kelelahan terhadap responden bernilai kuantitatif. Berikut ini merupakan

kriteria kelelahan menurut Balai Hiperkes (2004):

(29)

13

- Kelelahan Kerja Berat (KKB) : ≥580 milidetik

Sehingga dalam penelitian ini, penulis menggunakan KAUPK2 untuk mengukur

kelelahan secara subyektif dan reaction timer untuk mengukur kelelahan secara

obyektif.

2.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja

Karakteristik Individu

1. Umur

Grandjean (1988) menyatakan, kondisi umur berpengaruh terhadap kemampuan

kerja fisik atau kekuatan otot seseorang. Kemampuan fisik maksimal seseorang

dicapai pada umur antara 25-39 tahun dan akan terus menurun seiring dengan

bertambahnya umur.

Penelitian yang dilakukan Eraliesa (2009), sebanyak 61,5% pekerja yang berusia

di atas 41 tahun mengalami kelelahan, dengan 50% menyatakan sangat lelah dan

11,5% menyatakan lelah. Umyati (2010) menyatakan pekerja yang berusia lanjut akan

merasa cepat lelah dan tidak mampu lagi untuk bekerja dengan cepat. Oleh karena itu,

dapat disimpulkan, jika seseorang yang berusia lebih muda akan sanggup mengerjakan

sebuah pekerjaan yang lebih berat dibandingkan dengan pekerja yang berusia lebih

tua.

2. Jenis kelamin

Jenis kelamin dapat berpengaruh pada kelelahan, pada pekerja wanita biasanya

(30)

14

dapat berpengaruh terhadap turunnya kondisi fisik dan psikisnya. Sehingga tingkat

kelelahan wanita lebih besar daripada pekerja laki-laki (Krisanti, 2011).

Oginska dan Pokorski (2006) dalam Maurits dan Widodo (2008) menyatakan

bahwa wanita memiliki kecenderungan mudah mengalami kelelahan, perubahan mood

dan masalah kognitif.

3. Masa kerja

Masa kerja adalah akumulasi dari waktu dimana pekerja telah memegang

pekerjaan tersebut. Semakin banyak informasi yang disimpan, maka semakin banyak

keterampilan yang dipelajari serta semakin banyak pekerjaan yang dikerjakan

(Rohmert, 1988 dalam Andiningsari, 2009). Pengalaman kerja berpotensi

mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja. Semakin lama seseorang bekerja dalam

suatu perusahaan, maka perasaan seseorang terhadap rasa jenuh dalam bekerja akan

mempengaruhi tingkat kelelahan.

Umyati (2010) menyatakan bahwa masa kerja yang lebih lama akan

mempengaruhi kelelahan. Kelelahan kerja yang paling banyak dialami oleh pekerja

dengan masa kerja lebih dari 8 (delapan) tahun sebesar 69,7%.

4. Status kesehatan

Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992, kesehatan adalah

keadaan kesejahteraan dari badan, jiwa, dan sosial, memungkinkan setiap orang hidup

produktif secara sosial dan ekonomi (Aryani, 2013). Maka dari itu, kesehatan

merupakan hal yang harus diutamakan terutama bagi para pekerja. Jika pekerja berada

dalam kondisi sehat, maka mereka akan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik

(31)

15

Riwayat penyakit juga memiliki hubungan terhadap kelelahan kerja. Penyakit yang

dialami oleh seorang pekerja mungkin saja berasal dari pekerjaannya tersebut dan

berasal dari riwayat keturunan. Penyakit yang berasal dari riwayat keturunan memang

tidak bisa dihindari seperti penyakit diabetes, jantung koroner, obesitas dan lain-lain.

Namun penyakit yang berasal dari jenis pekerjaan bisa dicegah. Penyakit yang berasal

dari jenis pekerjaan disebut dengan penyakit akibat kerja. Penyakit ini muncul karena

beberapa faktor risiko yaitu, kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang

digunakan, proses produksi, cara kerja, limbah serta hasil produksinya (Buchari,

2007).

Jam kerja

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jam

kerja yang berlaku adalah 8 jam perhari atau 40 jam selama seminggu. Sedangkan jam

kerja untuk lembur, waktu yang dianjurkan adalah 3 jam perhari atau 14 jam selama

seminggu (Wijoyo, 2003).

Namun petugas ATC memiliki peraturan jam kerja tersendiri yang mengacu pada

aturan yang ditetapkan ICAO yang telah diadaptasi oleh Peraturan Direktur Jenderal

Perhubungan Udara No. KP 287 Tahun 2015 menyatakan jumlah jam kerja yang

dimaksud adalah jumlah jam kerja dalam satu hari tidak lebih dari 8 jam, dan jumlah

jam kerja dalam 1 minggu tidak lebih dari 32 jam. Batas memandu pesawat dalam

sehari adalah 6 jam. Menurut Suma’mur (2009), jika jam kerja diperpanjang melebihi

aturan yang telah ditetapkan, hanya akan mengakibatkan kelelahan kerja yang

berdampak pada penurunan produktivitas kerja dan hasil kerja yang kurang

(32)

16

Shift kerja

Menurut Maurits dan Widodo (2008), shift kerja merupakan periode waktu dimana

suatu kelompok pekerja dijadwalkan bekerja pada tempat kerja tertentu. Di samping

memiliki segi positif yaitu memaksimalkan sumber daya yang ada, shift kerja akan

memiliki risiko dan mempengaruhi pekerja pada aspek psikologis berupa stres akibat

shift kerja akan menyebabkan kelelahan (fatigue) yang dapat menyebabkan gangguan

psikis pada pekerja, seperti ketidakpuasan dan iritasi. Ada dua model shift konvesional

yang umum dilakukan:

1. Kontinental Rota: 2-2-3(2)/2-3-2(2)/3-2-2(3)

2. Metropolitan Rota: 2-2-2(2)

Rotasi yang digunakan pada penulisan di atas menunjukkan: pagi-siang-malam

(libur).

Arnvig (2006) dalam Serber, dkk. (2010) melakukan kajian literatur untuk

mengevaluasi sistem shift kerja pada ATC. Arnvig menyimpulkan bahwa tidak ada

satu sistem shift terbaik untuk ATC, karena banyak faktor yang berperan dalam

mendesain sistem shift, seperti situasi kerja, organisasi politik, beban kerja, distribusi

spasial dan temporal, serta kondisi individu itu sendiri. Banyak tempat menggunakan

rapidly rotating schedules yaitu sistem 2-2-1, dimana ATC bekerja dengan sistem 2

hari shift pagi, 2 hari shift sore, dan 1 hari shift tengah malam.

Selama tahun 2010, sebanyak 3.268 personel ATC di Amerika Serikat telah

menyelesaikan “NASA ATC Fatigue Factors Survey” secara online. Survei tersebut

menyatakan 78% dari survei responden yang telah teridentifikasi menyatakan shift

kerja sebagai penyebab kelelahan mereka. 70% dari responden survei yang bekerja

shift tengah malam telah menyadari diri mereka akan tertidur saat aktif bekerja

(33)

17

adanya hubungan yang bermakna antara lama waktu bekerja dengan kejadian

kelelahan kerja, dengan sebanyak 13,2% pekerja yang bekerja shift pagi mengalami

kelelahan dengan kategori sangat lelah, sedangkan pekerja pada shift malam pada

kategori yang sama memiliki tingkat kelelahan sebanyak 21%.

Pola tidur

Pola tidur adalah bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu yang relatif menetap,

meliputi jadwal mulai tidur dan bangun, irama tidur, frekuensi tidur dalam sehari,

mempertahankan kondisi tidur, dan kepuasan tidur. Jika pola tidur seseorang

berantakan, maka dapat menimbulkan gangguan tidur.

Menurut Serber, dkk. (2010), jenis-jenis gangguan tidur yang digambarkan dalam

populasi Air Traffic Controller yaitu insomnia, sleep related breathing disorders (tidur

terkait gangguan pernapasan), hypersomnias of central origin not due to a circadian

rhythm sleep disorder, sleep related breathing disorder, or other cause of disturbed

nocturnal sleep (hypersomnia sentral bukan karena gangguan ritme sirkadian tidur,

gangguan pernapasan terkait dengan tidur, atau penyebab lain dari gangguan tidur

malam hari), circadian rhythm sleep disorders (gangguan tidur ritme sirkadian),

parasomnia, sleep related movement disorders (gangguan gerak yang terkait dengan

tidur), dan gangguan tidur lainnya. Gangguan tidur tersebut biasanya disebabkan oleh

shift kerja ATC, terutama akibat dari adanya shift malam. Gangguan tidur

mengakibatkan penurunan konsentrasi maupun gangguan kesehatan sehingga

menyebabkan terjadinya kelelahan pada tubuh seseorang.

Menurut hasil “NASA ATC Fatigue Factors Survey” secara online, rata-rata ATC

(34)

18

seminggu bekerja, dengan 5,4 jam diperoleh sebelum shift pagi dan 3,25 jam yang

diperoleh sebelum shift tengah malam (Orasanu, dkk., 2012).

Faktor lingkungan

Menurut Irianto (2014), pekerja sering atau kadang-kadang memikul beban

tambahan yang berupa kondisi atau lingkungan yang tidak menguntungkan bagi

pelaksanaan pekerjaan. Disebut beban tambahan karena lingkungan tersebut

mengganggu pekerjaan, dan harus diatasi oleh pekerja atau karyawan yang

bersangkutan. Beban tambahan ini dapat dikelompokkan menjadi 5 faktor yakni:

1. Faktor fisik, misalnya penerangan/pencahayaan yang tidak cukup, suhu,

kelembaban yang tinggi atau rendah, kebisingan, dan sebagainya.

2. Faktor kimia yaitu bahan-bahan kimia yang menimbulkan gangguan kerja,

misalnya asap, uap, dan sebagainya.

3. Faktor biologis, yaitu binatang atau hewan penggangu, dan tumbuhan yang

menyebabkan pandangan mengganggu, misalnya nyamuk, lumut, taman yang

tidak teratur, virus, dan bakteri.

4. Faktor sosial-psikologis, yaitu suasana kerja yang tidak harmonis, misalnya adanya

konflik di tempat kerja, stres kerja, dan sebagainya.

5. Faktor fisiologis, yaitu peralatan kerja yang tidak ergonomis.

Untuk jenis pekerjaan seperti radar controller, faktor lingkungan kerja yang paling

diperhatikan adalah stres kerja karena ATC dituntut memiliki konsentrasi serta

kewaspadaan yang tinggi agar dapat memandu pesawat dengan baik dan pesawat

terhindar dari insiden. Menurut Tarwaka (2014), banyak hal yang dapat menjadi faktor

(35)

19

menghadapi stres itu sendiri. Jika stres tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan

beberapa efek samping, seperti depresi, gangguan tidur, dan gangguan mental.

2.3. Air Traffic Controller

Pengertian Air Traffic Controller

Air Traffic Controller (ATC) merupakan pemandu atau pengatur lalu lintas udara

sejak pesawat tersebut akan terbang hingga sampai pada tujuan. Pilot harus membuat

rencana penerbangan yang harus diajukan ke unit ATC sebelum melakukan

penerbangan. Rencana penerbangan tersebut meliputi bahan bakar yang dibawa,

kemudian alternatif pendaratan atau pendaratan darurat. Dari sinilah pelayanan dari

Air Traffic Control dimulai.

Menurut International Virtual Aviation Organisation (2015), unit Air Traffic

Control terdiri dari:

1. Aerodrome Control Tower (TWR) merupakan unit pengaturan hanya sebatas jarak

pandang ATC di tower, apabila pesawat diluar jarak pandang ATC maka ruang

udara perlu ditingkatkan menjadi APP.

2. Approach Control Unit (APP) merupakan unit pengaturan lalu lintas udara apabila

di luar jarak pandang tower ATC.

3. Area Control Centre (ACC) merupakan unit pemantauan ruang udara lapis atas

dari mulai ketinggian Fl 245 (Flight Level) sampai dengan Fl 460.

Namun pada Air Traffic Control di bandara internasional tersebut terdapat dua unit

kontrol yaitu bagian kontrol tower (tower control) dan bagian kontrol radar (radar

control), pada dasarnya unit tersebut memiliki tanggung jawab yang sama terhadap

(36)

20

yang berbeda, pada ruang kontrol tower bertugas untuk mengontrol pesawat dalam

jarak pandang tower. sedangkan ruang kontrol radar bertugas mengontrol pesawat

yang berada di luar jarak pandang tower.

Tujuan pelayanan lalu lintas udara yang diberikan oleh ATC berdasarkan

Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil bagian 170 antara lain (Menteri

Perhubungan, 2009):

1. Mencegah tabrakan antar pesawat

2. Mencegah tabrakan antar pesawat di area pergerakan rintangan di area tersebut

3. Mempercepat dan mempertahankan pergerakan lalu lintas udara

4. Memberikan saran dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi

pengaturan lalu lintas udara

5. Memberitahukan kepada organisasi yang berwenang dalam pencarian yang

memerlukan pencarian dan pertolongan sesuai dengan organisasi yang

dipersyaratkan.

2.3.2. Peranan Air Traffic Controller

Peranan ATC yang paling penting adalah dalam hal pemberian pelayanan navigasi,

namun di samping itu ATC juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya, baik di

udara maupun di darat. 1. Peran ATC di darat

Berikut adalah peran ATC di darat:

a. Peran ATC dalam memberikan informasi dan instruksi kepada pesawat.

Dalam hal ini pilot dan awak pesawat harus mendapatkan informasi yang

benar, jelas dan lengkap sepanjang runway dan taxiway sebelum melakukan

(37)

21

b. Peran ATC dalam menanggulangi jam sibuk di bandara.

Hal ini dilakukan dengan cara mengatur jadwal penerbangan. Jam sibuk

bandara berkaitan dengan arus penumpang. Pada saat jam sibuk merupakan saat

dimana beban tugas ATC akan terasa, karena mereka diwajibkan memandu

suatu penerbangan sejak keberangkatan hingga kedatangan pesawat ke bandara

dengan selamat.

c. Peranan ATC dalam pengendalian kebisingan di bandara.

Peran ATC diperlukan dalam strategi pengendalian kebisingan, yaitu melalui

penggunaan landasan pacu tertentu, banyak jenis pesawat udara yang tidak

begitu dipengaruhi oleh cross wind atau tail wind ketika tinggal landas atau akan

mendarat.

2. Peran ATC di udara

Peran ATC di udara lebih mengatur rute-rute penerbangan yang akan dilalui

pesawat. Pilot harus mengikuti instruksi ATC, karena semua pesawat yang akan

terbang dari take-off hingga landing, dan sampai tempat tujuan selalu dipantau oleh

ATC. Informasi yang diberikan kepada pilot sangat membantu dalam

penerbangan, misalnya informasi mengenai cuaca maupun bencana alam yang

sedang terjadi, sehingga pilot dapat mengambil inisiatif dalam penerbangan untuk

Referensi

Dokumen terkait

desain pengendalian pada two wheels inverted pendulum mobile robot atau robot beroda dua dengan pendulum terbalik dengan metode Pengendali Modus Luncur atau Sliding Mode Control

Konsistensi dalam hal pembagian tugas, pemberian reward dan punishment serta pelatihan kemandirian sedari kecil dengan cara mengambil makanan sendiri, membereskan mainan

Fitur Kinemaster yang satu ini memungkinkan sobat untuk membuat sebuah project video step by step, mulai dari memilih video yang akan diedit, memilih tema, memasukan filter,

Air yang mengalir pada lingkungan yang tercemar akan terkontaminasi dengan zat-zat kimia yang mengendap pada tanah, akibatnya air yang tadinya aman untuk di

Mahasiswa praktikan harus melaksanakan observasi pra-PPL sebelum pelaksanaan PPL dimulai dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi sekolah dan proses pembelajaran

Tahapan-tahaan tersebut harus dilakukan secara benar, agar model dapat di -running (proses perhitungan yang dilakukan olah komputer). Beban yang digunakan pada pemodelan

This book introduces a selection of communications network modelling disciplines such as network planning for transmission systems, modelling of SDH transport network structures