HUTAN (KPH) WILAYAH XIV SIDIKALANG SUMATERA UTARA
T E S I S
Oleh
MASRIZAL SARAAN 167004006
SEKOLAH PASCA SARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUTAN (KPH) WILAYAH XIV SIDIKALANG SUMATERA UTARA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
MASRIZAL SARAAN 167004006
SEKOLAH PASCA SARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (PSL) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Telah diuji pada
Tanggal: 29 Januari 2020
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. R Hamdani Harahap, M.Si Anggota : 1. Prof. Rahmawaty, M.Sc, Ph, D
2. Dr. Miswar Budi Mulya, S.Si, M.Si 3. Dr. Bejo Slamet, M.Sc
“PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) WILAYAH XIV SIDIKALANG, SUMATERA UTARA”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Januari 2020 Penulis,
Masrizal Saraan
ABSTRAK
Partisipasi masyarakat ialah salah satu unsur/faktor yang mendukung keberhasilan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah XIV – Sidikalang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk, tingkat dan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam program HKm di KPH Wilayah XIV Sidikalang. Penelitian ini dilakukan pada kurun waktu Juni 2018 hingga September 2019 menggunakan metode survey dan wawancara.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa bentuk partisipasi tertinggi pada 3 (tiga) Kelompok Tani Hutan (KTH) adalah “terlibat dalam kegiatan sosial” yang ditunjukkan oleh 91% responden di Desa Aor Nakan, 85% responden di Desa Kuta Tinggi dan 100% responden di Desa Sibongkaras. Selanjutnya, tingkat partisipasi pada setiap tahap adalah tinggi. Di Desa Aor Nakan, tingkat partisipasi pada tahap perencanaan dan pelaksanaan mencapai 100%. Pada tahap monitoring dan evaluasi 76% dan pada tahap pemanfaatan hasil 67%. Di Desa Kuta Tinggi, partisipasi pada tahap perencanaan dan pelaksanaan 100%, pada tahap monitoring dan evaluasi 78% dan pada tahap pemanfaatan hasil 48%. Di Desa Sibongkaras, tingkat partisipasi pada tahap perencanaan 84%, tahap pelaksanaan 92%, tahap monitoring dan evaluasi 72% serta pada tahap pemanfaatan hasil 68%. Adapun bentuk partisipasi terbaik menurut responden pakar adalah “Penataan Kelembagaan Kelompok Masyarakat” dengan nilai 0,246.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program HKm, atau Perhutanan Sosial pada umumnya, disarankan kepada Pemerintah atau pemangku Kawasan dapat menggunakan pendekatan yang menyentuh sistem sosial dan mengintervensi penguatan kelembagaan kelompok masyarakat melalui peningkatan kapasitas kelembagaan.
Kata kunci: Partisipasi Masyarakat, Hutan Kemasyarakatan, Sosial, Penguatan Kelembagaan.
ABSTRACT
The community participation is one of the factors driving the successful implementation of the Community Forest (HKm) program in the Forest Management Unit (KPH) Region XIV - Sidikalang.
The purpose of this study was to determine the form, level and factors that influence the community participation in the implementation of HKm program in KPH Region XIV Sidikalang. This research was conducted in the period of June 2018 to September 2019 using survey and interview methods.
The results showed that the highest form of participation in 3 (three) Forest Farmer Groups (KTH) was "engaging in social activities" as indicated by 91% of respondents in Aor Nakan Village, 85% of respondents in Kuta Tinggi Village and 100% of respondents in Sibongkaras Village. Furthermore, the level of participation at each stage is high. In Aor Nakan, the level participation at the planning and implementation stage reached 100%, at the monitoring and evaluation stage 76% and at the utilization the results stage are 67%. In Kuta Tinggi, the level participation at the planning and implementation stage is 100%, at the monitoring and evaluation stage 78% and at the utilization the results stage are 48%. In Sibongkaras, the level participation at the planning stage was 84%, at the implementation stage at 92%, at the monitoring and evaluation stage 72%
and at the utilization the result stage was 68%. The best form of participation according to expert respondents is "Community Group Institutional Arrangement" with a value of 0.246.
In order to increase community participation in the HKm or Social Forestry program in general, the Government should use social approaches and intervene in strengthening community group institutions through increasing their capacity.
Keywords: Community Participation, Community Forestry, Social, Institutional Strengthening.
Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini tepat waktu.
Tesis ini merupakan karya yang mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Secara khusus, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si, Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Prof. Rahmawaty M.Sc, Ph, D, Anggota Komisi Pembimbing untuk dukungan, arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Robert Sibarani, MS., Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Miswar Budi Mulya S.Si, M.Si., Ketua Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang konstruktif.
4. Dr. Bejo Slamet, S.Hut, M.Si., Komisi Pembanding untuk saran dan kritik yang diberikan.
5. Ayahanda Drs. Maklum Saraan dan Ibunda Aisyah H Manullang yang telah membesarkan, mendidik dan membimbing penulis hingga dewasa.
6. Istri tercinta Listika F Rizka Nst, S.Sos, untuk dukungan dan pengorbanannya, serta kepada ketiga putra-putri penulis; M. Faqih Muhtadi Saraan, M. Zaydan Mahangga Saraan, dan Hanania Mafaza Saraan.
Penulis menyadari tesis ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin.
Medan, Januari 2020 Penulis,
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Hipotesis Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Perhutanan Sosial ... 7
2.1.1. Hutan Desa ... 10
2.1.2. Hutan Kemasyarakatan ... 11
2.1.3. Hutan Tanaman Rakyat ... 12
2.1.4. Kemitraan Kehutanan ... 13
2.1.5. Hutan Adat ... 14
2.2. Pemberdayaan Masyarakat ... 15
2.3. Partisipasi Masyarakat ... 19
2.3.1. Bentuk Partisipasi Masyarakat ... 21
2.3.2. Tingkat Partisipasi masyarakat ... 23
2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ... 27
2.4. Kondisi Umum KPH Wilayah XIV Sidikalang ... 29
2.4.1. Kondisi Geografis ... 29
2.4.1.1. Letak dan Luas Wilayah ... 29
2.4.1.2. Topografi ... 30
2.4.2. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ... 31
2.4.2.1. Kependudukan ... 31
2.4.2.2. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sekitar Hutan ... 32
BAB III METODE PENELITIAN ... 35
3.1. Lokasi Penelitian ... 35
3.2. Metode Penelitian ... 36
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 36
3.4. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 36
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 39
3.6. Metode Analisis Data ... 40
4.2. Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Program Hutan
Kemasyarakatan ... 55
4.3. Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Program Hutan Kemasyarakatan ... 64
4.4. Faktor-Faktor Yang Mempengrauhi Partisipasi Masyarakat ... 71
4.5. Pemilihan Bentuk Partisipasi Terbaik Menggunakan Expert Choice 11 ... 75
4.6. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
5.1. Kesimpulan ... 82
5.2. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 84
LAMPIRAN ... 89
2.1. Level Partisipasi menurut Arnstein (1969) ... 25
2.2. Daftar Rincian Fungsi Hutan dan Luas pada KPH Unit XV Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 579/MENHUT-II/2014 tahun 2014 ... 30
2.3. Rincian Luas masing-masing kelas Kelerengan pada KPH Unit XV Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara ... 31
2.4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2018 ... 32
3.1. Populasi Penelitian ... 37
3.2. Daftar Responden Pakar ... 38
3.3. Tingkat Kepentingan, Definisi dan Penjelasan ... 44
3.4. Variabel, Definisi dan Indikator ... 46
3.5. Definisi Tingkat Partisipasi ... 47
4.1. Karakteristik responden Sesuai Tingkat Usia ... 49
4.2. Karakteristik Responden Sesuai Jenis Kelamin ... 49
4.3. Karakteristik Responden Sesuai Pendidikan ... 50
4.4. Karakteristik Responden Sesuai Pekerjaan Utama ... 52
4.5. Karakteristik Responden Sesuai Penghasilan ... 52
4.6. Karakteristik Responden Sesuai Komoditas Usaha ... 54
4.7. Karakteristik Responden Sesuai Lama Tinggal ... 55
4.8. Bentuk Partisipasi masyarakat di tiga desa di Pakpak Bharat dalam program Hutan Kemasyarakatan (Hkm) ... 56
4.9. Tingkat Partisipasi masyarakat di tiga desa di Pakpak Bharat dalam Program Hutan Kemasyarakatan (Hkm) ... 65
4.10. Hasil Uji Korelasi ... 71
4.11. Hasil Uji F ... 73
4.12. Koefisien Determinasi (R Square) ... 74
4.13. Ringkasan Model (Model Summary) ... 74
4.14. Ringkasan Hasil Perhitungan Kriteria Terbaik ... 76
4.15. Ringkasan Hasil Perhitungan Alternatif Terbaik ... 77
No Judul Halaman
3.1. Peta Lokasi Penelitian ... 35
4.1. Persentase Partisipasi Buah Pikiran didalam Program Hkm ... 57
4.2. Persentase Partisipasi Tenaga dalam Program Hkm ... 59
4.3. Persentase Partisipasi Harta Benda didalam Program Hkm ... 60
4.4. Persentase Partisipasi Keterampilan didalam Program Hkm ... 61
4.5. Persentase Partisipasi Partisipasi Sosial didalam Program Hkm ... 63
4.6. Pembuatan Rencana di Tiga Desa ... 66
4.7. Pelaksanaan Kegiatan di Tiga Desa ... 68
4.8. Pemantauan dan Evaluasi di Tiga Desa ... 69
4.9. Pemanfaatan Hasil di Tiga Desa ... 70
4.10. Struktur Hierarki Pemilihan Bentuk Partisipasi Terbaik ... 75
No Judul Halaman
1. Populasi Penelitian ... 89
2. Matriks Perbandingan Berpasangan antar kriteria (Pairwise comparison) responden ... 92
3. Prioritas Alternatif Berdasarkan Pengolahan Expert Choice 11 ... 94
4. Prioritas Kriteria Setiap Responden (Hasil Expert Choice 11) ... 96
5. Prioritas Alternatif Setiap Responden (Hasil Expert Choice 11) ... 97
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa hutan merupakan sumberdaya alam (SDA) yang sangat strategis, karena itu hutan harus diselenggarakan secara lestari atau berkelanjutan dalam rangka untuk memperoleh manfaat yang besar bagi rakyat Indonesia.
Mengacu pada data yang dirilis Kementerian Kehutanan, pada kurun waktu antara tahun 1997-2000, angka deforestasi di Indonesia adalah sebesar 2,84 juta hektar setiap tahunnya. SPOT Vegetation mempublikasikan bahwa laju penurunan tutupan hutan Indonesia adalah sebesar 1,08 juta hektar setiap tahunnya dalam kurun waktu tahun 2000-2005. Sedangkan pada kurun waktu tahun 2009-2013, nilai laju deforestasi Indonesia adalah sejumlah 1,1 juta hektar per tahun (Forest Watch Indonesia, 2014).
World Resources Institute (WRI) mengutarakan pada tahun 2018 Indonesia termasuk 1 (satu) diantara 10 (sepuluh) negara di dunia yang memiliki angka tertinggi hilangnya hutan hujan tropis. Disebutkan pula bahwa pada tahun 2018 saja, hutan hujan tropis Indonesia telah berkurang seluas 339.888 ha. Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi ketiga setelah Brasil (1,35 juta ha) dan Kongo (481.248 ha).
Secara global, deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi dalam skala besar, dengan ekstraksi kayu merupakan penyebab yang signifikan. Kondisi ini mengandung keterkaitan yang besar terhadap kelangsungann keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, masyarakat lokal dan ekonomi (Pirard, 2016).
Tingginya konversi hutan untuk penggunaan lain yang tidak sesuai fungsinya seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan dan pembangunan sarana-prasarana wilayah merupakan faktor utama yang mengakibatkan terjadinya deforestasi, sedangkan penebangan liar, perambahan, pembukaan lahan/wilayah, dan kebakaran hutan merupakan faktor utama yang mengakibatkan terjadinya degradasi hutan atau penurunan kualitas hutan (Rahmina, 2012). Akibat kerusakan hutan tersebut dapat terjadi banjir bandang, longsor dan berbagai bencana alam sebagainya.
Deforestasi dan degradasi hutan dipicu oleh banyak faktor, diantaranya adalah relatif rendahnya kondisi sosial/kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan, kurangnya akses masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hutan, penyerobotan lahan yang terjadi karena konflik tenurial, serta tidak proporsionalnya ketersedaan (supply) dan permintaan (demand) kayu.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi secara nyata telah menyebabkan tergesernya kedaulatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada sumberdaya hutan (Hakim et al. 2015).
Pada tahun 2010, Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) mengungkap hasil studi mereka bahwa permasalahan yang paling fundamental dalam penyelenggaraan hutan di Indonesia adalah buruknya tata kelola (penyelenggaraan) kehutanan, tidak sejalannya penataan ruang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, persoalan tenurial, serta terbatasnya kompetensi mengelola hutan (termasuk persoalan hukum) (Forest Watch Indonesia, 2014)
Dewasa ini Pemerintah Indonesia telah melakukan beragam upaya untuk memperbaiki pengelolaan kehutanan dari paradigma penyelenggaraan hutan yang berdasarkan negara menjadi paradigma penyelenggaraan hutan berdasarkan masyarakat, diantaranya melalui Program Perhutanan Sosial.
Konsep Perhutanan Sosial bukanlah hal baru lagi, namun ada minat yang meningkat di kalangan pembuat kebijakan, donor, dan praktisi pembangunan untuk memahami sejauh mana kontribusi kehutanan masyarakat terhadap ekonomi rumah tangga dan bangsa secara umum (Kanel dan Dahal, 2008).
Lahirnya paradigma pembangunan berkelanjutan mengisyaratkan adanya dua sudut pandang yaitu dengan mengikutsertakan masyarakat lokal dalam penentuan, perencanaan, penyusunan dan penerapan (implementasi) program, sehingga cara pandang, cara bersikap, cara pikir dan kaidah-kaidah serta pemahaman masyarakat setempat juga diperhitungkan, berikutnya adalah umpan balik (feedback) yang tidak dapat dipisahkan dari konsep pembangunan berkelanjutan (Mikkelsen, 2001).
Gagasan pembangunan berkelanjutan yang mengikutsertakan partisipasi masyarakat bertujuan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat desa terutama yang menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya hutan melalui melibatkan mereka dalam pengambilan ketentuan atau ketetapan yang akan mempengaruhi mata pencaharian mereka. Proses pelibatan yang bersifat partisipatif serta berpihak kepada masyarakat pedesaan sering disebut sebagai pendekatan populis (Kartodihardjo, 2006).
Program Hutan Kemasyarakatan akan menemui kegagalan jika mengabaikan partisipasi masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan diimplementasikan dengan berbagai pendekatan. Sejauh ini belum ada kajian atau studi yang menganalisis faktor yang mendukung partisipasi serta bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap program HKm. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan melakukan kajian mengenai “Partisipasi Masyarakat Dalam Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) Di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah XIV – Sidikalang, Sumatera Utara”.
1.2. Perumusan Masalah
Perkembangan kebijakan oleh pemerintah dalam konteks perhutanan sosial menunjukkan bahwa pemerintah sedang berbenah dalam hal perbaikan pengelolaan kehutanan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kemudahan dalam kebijakan yang bertujuan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan hak kelola atas sumberdaya hutan yang diikuti dengan upaya pendampingan dan pemberdayaan terhadap masyarakat atau kelompok tani.
Perhutanan sosial tidak sekedar memberikan hak kelola hutan, tetapi juga mengatur pola pengelolaan oleh masyarakat. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan melalui pemberdayaan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan ini. Hal ini berkaitan erat dengan tujuannya untuk mengurangi konflik tenurial. Di dalam pengelolaan kelembagaan, kelompok masyarakat didorong untuk mempunyai perangkat dan aturan main sendiri untuk mengurangi perilaku penyimpangan dari anggotanya.
Banyak faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan. Mitchell et al. (2003) menjelaskan bahwa
partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dikarenakan beberapa alasan penting, yaitu; a).
Memformulasikan permasalahan agar lebih efisien; b). Memformulasikan opsi/pilihan penanganan persoalan yang dapat diterima secara masyarakat; c).
Memperoleh pengetahuan dan keterangan di luar konteks saintifik; d).
Membangun sense of belonging (rasa memiliki) atas rencana, penyelesaian serta mempermudah implementasinya. Selain itu, beberapa hal yang mendorong keterlibatan masyarakat desa biasanya adalah norma dan aturan tak tertulis.
Berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk serta tingkat partisipasi masyarakat dalam program HKm.
2. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam mengikuti program HKm.
3. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat yang terbaik dalam implementasi program HKm.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam mengikuti program HKm;
2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengikuti program HKm
3. Untuk menentukan bentuk partisipasi masyarakat yang terbaik dalam implementasi program HKm.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan pengetahuan, khususnya mengenai pengelolaan hutan melalui pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat.
2. Menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam menyempurnakan kebijakan terkait dengan pelibatan masyarakat dalam program HKm.
3. Memberikan informasi mengenai pertimbangan masyarakat dalam mengikuti program HKm, sehingga dapat menjadi acuan bagi pemerintah.
1.5. Hipotesis
1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung program HKm rendah.
2. Hubungan pendidikan dan penghasilan sangat kuat terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung program HKm.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perhutanan Sosial
Perhutanan Sosial, pertama kali digunakan oleh Mr. Westoby di Kongres Kehutanan Persemakmuran Ke-9 pada tahun 1968 di Delhi. Sesuai definisinya, Perhutanan Sosial adalah perhutanan yang bertujuan untuk secara terus menerus memberikan perlindungan dan manfaat bagi masyarakat (Dongre, 2011).
Perhutanan Sosial umumnya mengacu pada berbagai kegiatan yang terkait dengan hasil hutan, lingkungan pedesaan, dan masyarakat pertanian sub-sisten (Hyde dan Kohlin 2000). Perhutanan Sosial adalah jalan tengah untuk menyelesaikan konflik tenurial yang memberikan hak kelola bagi masyarakat untuk mengelola areal hutan. Status dan fungsi kawasan hutan tidak berubah dengan adanya perhutanan sosial. Pola penguasaan lahan juga tidak menjadikan areal kelola sebagai hak milik bagi pemegang ijin, melainkan hanya sebagai hak kelola dengan segala pemanfaatannya. Pemegang ijin tidak diperkenankan untuk memperjual-belikan, memindah-tangankan atau bahkan dijadikan sebagai agunan.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah areal Perhutanan Sosial jatuh kepada pihak- pihak yang tidak tepat. Pengalihan ijin kelola dapat dilakukan melalui musyawarah dan persetujuan anggota kelompok terlebih dahulu dengan syarat hanya dapat dialihkan kepada sesama anggota kelompok tani dan/atau keluarga kandung (anak dan saudara).
Menurut FAO (1978), Perhutanan Sosial adalah sebuah contoh dari serangkaian partisipasi dan keterlibatan dalam pengelolaan sumber daya dimana masyarakat lokal terlibat dalam kegiatan kehutanan mulai dari pertumbuhan
pohon hingga pengolahan hasil hutan, dan menghasilkan pendapatan melalui industri berbasis hutan kecil. Oleh karena itu, Baig (2008) menjelaskan bahwa Perhutanan Sosial akan berhasil ketika partisipasi masyarakat dipastikan di dalam perencanaan, pelaksanaan, pemilihan area, pengelolaan, pemanenan dan distribusi hasil serta manfaat.
Perhutanan Sosial merupakan sistem penyelenggaraan hutan yang diimplementasikan dengan mengikutsertakan parapihak (beragam elemen sosial).
Di beberapa tempat, perhutanan sosial juga dikembangkan secara tradisional, diantaranya Simpunk di Kalimantan, Kane di Timor, Repong Damar di Sumatera.
Selain itu ada juga konsep yang dipopulerkan pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dan sebagainya. Konsepsi Perhutanan Sosial, selain memperhatikan keterlibatan dan kedaulatan masyarakat juga mempertimbangkan kontribusi dan kepedulian para pihak terhadap penyelenggaraan sumber daya hutan yang mengkombinasikan upaya perlindungan, pemberdayaan masyarakat lokal, dan tujuan produksi yang berkelanjutan (CIFOR, 2003).
Defenisi Perhutanan Sosial sendiri banyak ditafsirkan oleh berbagai pihak.
Perhutanan Sosial merupakan sistem penyelenggaraan hutan yang mengikutsertakan peran para pihak (beragam elemen sosial) yang dapat diimplementasikan dimana saja, baik di lahan pribadi, lahan publik atau di dalam kawasan hutan yang memiliki izin. (Arifandy dan Sihaloho, 2015).
Program Perhutanan Sosial merupakan bagian dari pengembangan desa yang memiliki tujuan untuk menambah kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup manusia, serta penyelesaian persoalan kemiskinan
dengan pemenuhan hajat hidup dasar, pembangunan fasilitas dan infrastruktur desa, peningkatan potensi ekonomi domestik, serta penyelenggaraan sumber daya alam dan lingkungan secara lestari (Undang-Undang RI No.6/2014 tentang Desa).
Jauh sebelumnya, konsep perhutanan sosial telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundangan di Indonesia, diantaranya adalah penjelasan pasal 5 Undang-Undang RI No.41/1999 tentang Kehutanan, yang menjelaskan bahwa hutan kemasyarakatan merupakan hutan milik Negara yang penggunaan utamanya dimaksudkan untuk mengembangkan atau memberdayakan masyarakat. Lalu ada juga beberapa Peraturan Pemerintah (PP), yaitu; P..37/2007, P.18/2009, P.13/2010 dan P.52 /2010 tentang Hutan Kemasyarakatan.
Perhutanan Sosial merupakan bentuk pengelolaan hutan secara lestari di dalam hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilakukan masyarakat sekitar atau masyarakat adat sebagai aktor utama dalam rangka menambah kesejahteraannya serta menyeimbangkan lingkungan dan gairah sosial budaya melalui 5 (lima) bentuk, yaitu; 1) Hutan Desa, 2) Hutan Kemasyarakatan, 3) Hutan Tanaman Rakyat, 4) Hutan Rakyat, 5) Hutan Adat dan Kemitraan
Kehutanan (Peraturan Menteri LHK No.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016).
Kebijakan ini diterbitkan oleh pemerintah dengan beberapa tujuan, diantaranya: (a) mewujudkan serta mempercepat pemerataan jangkauan dan diseminasi kekayaan sumberdaya hutan; (b) memecahkan permasalahan konflik hutan dan lahan di kawasan hutan; (c) menurunkan angka kemiskinan serta meninggikan kesejahteraan kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan hutan.
2.1.1. Hutan Desa
Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan mendefiniskan Hutan Desa sebagai hutan milik negara yang terdapat pada sebuah desa, digunakan oleh desa, untuk kesejahteraan masyarakat desa yang dimaksud. Lebih lanjut, pada Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan dijelaskan bahwa Hutan Desa merupakan hutan negara yang diatasnya belum memiliki izin atau hak, yang kemudian dimanfaatkan oleh desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dapat diusulkan satu atau lebih dari satu lembaga desa serta harus sepengetahuan satu atau lebih dari satu kepala desa terkait.
Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dapat diberikan pada kawasan dengan ketentuan sebagai berikut;
a. Hutan lindung dan/atau hutan produksi yang belum memiliki izin;
b. Hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani; dan/atau c. Kawasan tertentu di dalam areal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Kelembagaan Pengelola Hutan Desa, setidaknya mencirikan hal berikut:
a. Lembaga Pengelola Hutan Desa atau LPHD yang dimandatkan melalui penerbitan kebijakan Peraturan Desa (Perdes).
b. Lembaga Pengelola Hutan Desa merupakan Lembaga Desa atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mendapat amanat melalui Perdes.
c. Pembentukan LPHD harus memperhatikan keberadaan institusi/organisasi masyarakat yang telah ada sebelumnya.
d. Komposisi LPHD memperhatikan keadaan dan keperluan masyarakat.
2.1.2. Hutan Kemasyarakatan
Di dalam Peraturan Menteri LHK No. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial dijelaskan bahwa pengertian Hutan Kemasyarakatan, selanjutnya disingkat dengan HKm, ialah hutan negara yang penggunaan utamanya bertujuan untuk mensejahterakan atau memberdayakan masyarakat.
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dapat diusulkan oleh:
a. Ketua kelompok masyarakat;
b. Ketua gabungan kelompok tani hutan; atau c. Ketua koperasi
Pemerintah akan menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) pada kawasan sebagai berikut:
a. Hutan lindung dan/atau hutan produksi yang belum memiliki izin;
b. Kawasan tertentu di dalam areal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH);
c. Hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani; dan
Kelembagaan Pengelola Izin Usaha Pemanfaatan HKm setidaknya harus bercirikan sebagai berikut;
a. Lembaga pengelola Izin Usaha Pemanfaatan HKm dapat berupa kelompok, gabungan beberapa kelompok dan atau berbentuk koperasi.
b. Sejumlah kelompok tani diperkenankan untuk membuat gabungan kelompok tani atau Gapoktan. Selanjutnya sejumlah Gapoktan bisa membuat koperasi.
c. Kelompok tani memiliki rapat/pertemuan rutin disamping memiliki ketentuan dan peraturan yang disepakati untuk mengelola lahan garapan.
2.1.3. Hutan Tanaman Rakyat
Menurut Peraturan Menteri LHK Nomor: P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial, defenisi Hutan Tanaman Rakyat, selanjutnya disingkat HTR ialah hutan tanaman yang terdapat di dalam kawasan hutan produksi, dikembangkan oleh kelompok masyarakat dalam rangka menambah nilai potensi dan karakteristik hutan produksi melalui penerapan ilmu silvikultur yang akan menjadi jaminan keberlanjutan sumber daya alam.
Permohonan untuk memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) dapat diusulkan oleh:
a. Perseorangan yang memiliki profesi sebagai petani hutan;
b. Kelompok tani hutan;
c. Gabungan kelompok tani hutan;
d. Koperasi tani hutan; atau
e. Perorangan yang mendapatkan pendidikan di aspek kehutanan atau aspek ilmu terkait lainnya dan berpengalaman menjadi penyuluh atau pendamping yang sudah berkarya atau bekerja pada aspek kehutanan serta membantu membentuk/mendirikan kelompok atau koperasi bersama masyarakat setempat.
Pemerintah akan menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan IUP Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat kepada kawasan sebagai berikut;
a. Hutan produksi yang belum memiliki izin dan/atau;
b. Kawasan tertentu di dalam areal Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH
2.1.4. Kemitraan Kehutanan
Pengertian Kemitraan Kehutanan ialah bentuk kerjasama antara kelompok masyarakat setempat dengan pengelola/pemangku hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan (Peraturan Menteri LHK Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial).
Pelaku Kemitraan Kehutanan adalah pemegang izin atau pengelola hutan yang diwajibkan untuk mengimplementasikan kegiatan pemberdayaan bagi masyarakat sekitarnya melalui kemitraan kehutanan. Pemegang izin atau pengelola hutan yang dimaksud mencakup:
a. Kesatuan Pengelolaan Hutan;
b. Balai Besar/Balai Taman Nasional;
c. Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam;
d. Pengelola Kawasan Hutan dengan tujuan khusus;
e. Unit Pelaksana Teknis Daerah Taman Hutan Raya; dan/atau
f. Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah Pengelola Hutan Negara
Beberapa bentuk Izin Usaha di dalam konteks Kemitraan Kehutanan mencakup:
a. Izin usaha pemanfaatan kawasan;
b. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan;
c. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam;
d. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman;
e. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam;
f. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman;
g. Izin usaha pemanfaatan air;
h. Izin usaha pemanfaatan energi air;
i. Izin usaha pemanfaatan jasa wisata alam;
j. Izin usaha pemanfaatan sarana wisata alam;
k. Izin usaha pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung;
l. Izin usaha pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung;
m. Izin penggunaan kawasan hutan; dan/atau n. Izin usaha industri primer hasil hutan
2.1.5. Hutan Adat
Pengertian Hutan Adat ialah hutan negara yang terdapat di dalam areal/wilayah masyarakat hukum adat (PerMen LHK Nomor P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial).
Masyarakat hukum adat dimungkinkan untuk mengusulkan permohonan hutan hak untuk diputuskan sebagai kawasan hutan hak kepada Menteri. Aktivitas pengelolaan hutan di kawasan hutan adat tidak mengijinkan untuk mengganti fungsi hutan melalui pemanfaatan dan penggunaan pemahaman tradisional dalam pengelolaan sumber daya genetik yang terdapat di dalam kawasan hutan hak, dan/atau dalam bentuk hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan dengan fungsi konservasi dan lindung, atau dalam bentuk hasil hutan non kayu, hasil hutan kayu dan jasa lingkungan di fungsi produksi.
2.2. Pemberdayaan Masyarakat
Terdapat konsensus umum bahwa masyarakat harus terlibat dalam proses pengembangan sumberdaya alam untuk memastikan bahwa kebutuhan mereka ditangani, bukan saja selaku penerima keuntungan yang utama, melainkan juga selaku agen pembangunan (Zoysa, 2008).
Rancangan mengenai trickle down effect atau perkembangan untuk pemerataan ternyata tidak secara langsung dapat menaikkan kesejahteraan masyarakat. Alhasil, muncul ketimpangan ekonomi yang berdampak pada ketimpangan kesejahteraan di antara kelompok masyarakat, terutama pada masyarakat yang mempunyai izin pemanfaatan atas fungsi hutan (misalnya korporasi atau pemegang izin konsesi) dan masyarakat umum yang mempunyai ketergantungan saluran/akses terhadap fungsi hutan (Hakim et al., 2010).
Kongres kehutanan sedunia telah mengakomodir penyelenggaraan hutan yang mengutamakan dimensi pengelolaan/manajemen, dimensi ekologi dan dimensi sosial (pelibatan masyarakat). Pada perhelatan Kongres Kehutanan Sedunia VIII tahun 1978 di Jakarta, menghasilkan rumusan mengenai pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat dengan teori “Forest for People”. Teori ini kemudian bertumbuh menjadi sejumlah terminologi (istilah) dan belakangan lebih populer dengan terminology “Forestry for Local Community Development”.
Selanjutnya, Kongres Kehutanan Sedunia XX di Finlandia menghasilkan rumusan yang mengedepankan pengelolaan hutan pada aspek manajemen terutama aspek ekologi (Kartodihardjo 2006).
Pada umumnya, penduduk yang berkedudukan di dalam/sekitar hutan merupakan penduduk miskin dan sensitif atas perkembangan pembangunan serta
diperkirakan sebagai ancaman bagi keberlanjutan lingkungan hidup.
Mengikutsertakan masyarakat yang berkedudukan di dalam/sekitar kawasan hutan pada penyelenggaraan hutan menjadi sangat diperlukan dan sudah pernah diaplikasikan FAO yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melibatkannya dalam mengambil keputusan/kesimpulan yang dapat mempengaruhi sistem pencaharian mereka (Kartodihardjo, 2006).
Pemberdayaan masyarakat dengan cara mengikutsertakan (partisipasi) mereka dalam pengelolaan dan konservasi hutan akan mampu meningkatkan kontrol atas penyelenggaraan sumber daya hutan. Kondisi ini sesuai dengan yang diutarakan Cary (1970) yaitu demi memastikan keberlangsungan sebuah pembangunan, maka keterlibatan (partisipasi) masyarakat mutlak dibutuhkan serta wajib untuk dipertimbangkan.
Robert Chambers (1995), mengartikan pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah teori/rancangan pembangunan ekonomi yang menggabungkan ukuran- ukuran sosial. Teori ini merepresentasikan konsepsi/pola pembangunan yang baru, yakni pembangunan yang memiliki berkarakter “people centred, participatory, empowering, and sustainable”.
Selanjutnya, Chambers juga mengelaborasi paradigma pembangunan yang memiliki bentuk pelibatan masyarakat tidak hanya sekadar untuk mencukupi kepentingan yang mendasar (basic need) masyarakat tetapi juga merupakan ikhtiar untuk mengetahui pilihan-pilihan pertumbuhan ekonomi domestik.
Di dalam paradigma pemberdayaan, metode atau pendekatan yang mengutamakan proses lebih menjamin implementasi pembangunan yang memanusiakan manusia. Gagasan ini mengisyaratkan bahwa peran-serta
masyarakat dalam proses pembangunan cenderung kepada model partisipasi, bukan model pengerahan atau mobilisasi. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat di dalam memformulasikan sebuah program menjadikan masyarakat tidak sekadar berstatus selaku pengguna (konsumen) atau penerima manfaat proyek/program, tetapi juga selaku pembuat (produsen) karena sudah memiliki peran penting sejak proses penyusunan hingga perumusannya, sehingga masyarakat juga ikut merasa memiliki terhada proyek/program yang dimaksud dan memiliki responsibilitas atas kesuksesannya serta mempunyai dorongan yang bertambah untuk berpartisipasi pada fase-fase seterusnya (Soetomo, 2006).
Keberdayaan menurut pemahaman masyarakat adalah kapasitas/kompetensi perseorangan yang bercampur dalam masyarakat untuk membentuk dan mengembangkan keberdayaan masyarakat yang berkepentingan (Kartasasmita,1995).
Irawanti (2010) mengutarakan bahwa memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk membuat masyarakat mampu dan mandiri. Mengacu pada konsep tersebut, maka upaya memberdayakan masyarakat dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu;
1. Membangun kondisi yang memungkinkan kapasitas masyarakat dapat berkembang (enabling). Pangkalnya adalah introduksi bahwa tiap-tiap manusia, mempunyai kapasitas yang dapat diberdayakan. Seluruh masyarakat mempunyai daya, karena kalau tidak mempunyai daya pasti sudah punah.
Pemberdayaan diartikan sebagai usaha mengembangkan daya (kemampuan) yang dilakukan dengan menstimulus, merangsang dan memotivasi pemahaman atas kapasitas dan kemampuan serta berusaha meningkatkannya.
2. Menguatkan kapasitas/kemampuan masyarakat (empowering). Upaya yang dimaksud mencakup pembukaan akses terhadap beraneka ragam kesempatan (opportunities) yang mampu membentuk masyarakat semakin berdaya serta tahapan-tahapan faktual seperti pengadaan beragam informasi (input). Usaha- usaha yang sangat mendasar diantaranya pengembangan tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan jalan masuk bagi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi seperti aktiva, informasi, teknologi, pasar dan lapangan kerja.
Informasi pemberdayaan dapat berupa pengembangan fasilitas yang mendasar baik dalam bentuk materi (fisik) atau dalam bentuk sosial (non- fisik) yang bisa dijangkau serta keberadaan lembaga donor (pendanaan), lembaga pendidikan dan pemasaran di tingkat desa. Maka dari itu, dibutuhkan agenda khusus bagi mereka sebab agenda-agenda umum biasanya tidak menjangkau kelompok ini. Pemberdayaan, selain memperkuat perseorangan masyarakat, juga untuk memperkuat adat dan tradisinya, seperti menancapkan kaidah-kaidah budaya dan melestarikan hutan, pemutakhiran pranata sosial dan ekonomi serta upaya peleburannya ke dalam kegiatan perhutanan sosial.
3. Memberdayakan juga memiliki makna melindungi. Upaya-upaya pemberdayaan harus melindungi orang yang lemah dan diperkuat.
Melindungi, dimaksudkan sebagai usaha untuk menghindari timbulnya kompetisi yang tidak sebanding serta pemanfaatan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Peraturan perundang-undangan yang melindungi kelompok lemah sangat dibutuhkan. Pemberdayaan juga tidak membuat masyarakat menjadi makin bergantung kepada beragam program subsidi (charity), sebab setiap yang dimiliki seharusnya diperoleh dari upayanya sendiri.
2.3. Partisipasi Masyarakat
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, defenisi partisipasi ialah keadaan ikut terlibat pada sebuah kegiatan. Arnstein (1969) menyatakan bahwa partisipasi merupakan kapasitas milik masyarakat dalam memecahkan permasalahannya di waktu sekarang untuk menggapai kondisi yang semakin baik pada masa mendatang. Partisipasi dapat pula dikatakan semacam bentuk redistribusi kekuatan, yang membolehkan kelompok termarginalkan secara politik dan ekonomi untuk diikutsertakan pada tiap perencanaan di masa depan.
Berdasarkan Peraturan Mendagri No.:5/2007, partisipasi merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat secara aktif pada tiap fase perencanaan pembangunan. Lebih lanjut, partisipasi ialah sebuah sistem tatkala warga, selaku perseorangan atau komunitas dan lembaga/institusi, berperan untuk turut-serta dalam memberikan pengaruh terhadap proses perancangan (perencanaan), implementasi (pelaksanaan) dan monitoring (pemantauan) peraturan yang langsung berdampak bagi kehidupan warga tersebut (Sumarto dan Hetifah, 2003).
Pemahaman mengenai partisipasi yang lebih luas lagi diuraikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization-FAO (1989), diantaranya adalah (Khadiyanto, 2007):
a. Peran serta sukarela masyarakat dalam suatu proyek tanpa terlibat di dalam pengambilan atau penentuan keputusan.
b. Sebuah proses yang aktif, artinya adalah seseorang atau komunitas terkait yang memiliki gagasan dan memanfaatkan independensinya dalam menjalankan perihal tersebut.
c. Upaya membuat masyarakat menjadi peka atau sensitif dalam meningkatkan
keinginan memperoleh dan kesanggupan untuk memperhatikan atau merespon pekerjaan-pekerjaan pembangunan
d. Peran serta suka rela masyarakat dalam perubahan diputuskannya sendiri e. Peran serta masyarakat dalam upaya pengembangan diri, lingkungan dan
kehidupan mereka.
Selanjutnya Slamet (1990) dalam Winarto (2003) mengutarakan, partisipasi oleh masyarakat sangat absolut dibutuhkan dalam rangka mencapai suksesnya sebuah pekerjaan pembangunan. Jika tidak ada partisipasi masyarakat, maka tingkat kesuksesan setiap pekerjaan pembangunan akan rendah. Seterusnya, digambarkan juga bahwa keterlibatan (partisipasi) masyarakat dalam rangkaian pekerjaan yang terkait dengan pembangunan, biasanya melewati pembelajaran (proses). Maka dari itu, masyarakat harus melewati pembelajaran agar memahami kemungkinan-kemungkinan berpartisipasi dalam pekerjaan pembangunan.
Bahkan, kadangkala kapasitas dan keahlian mereka masih harus dioptimalkan dalam memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Keberhasilan dalam mendapatkan tujuan-tujuan pembangunan membutuhkan person serta yang aktif dari semua lapisan masyarakat, tidak terbatas pada mereka yang menentukan kebijakan, para perencana, melainkan juga para buruh, nelayan, petani, pedagang kecil, dan sebagainya, peran-serta aktif ini lah yang didefinisikan sebagai partisipasi (Tjokroamidjojo, 1996).
Pada awalnya, ikhtiar menumbuhkembangkan partisipasi di masyarakat dalam pembangunan desa bukanlah urusan (upaya) yang sederhana disebabkan sangat terkait dengan upaya perubahan perilaku dan sikap yang kemungkinan sudah membudaya dalam masyarakat yang bersangkutan (Khairudin, 1992).
2.3.1. Bentuk Partisipasi Masyarakat
Huraerah (2008), menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dapat dibedakan menjadi 5 (lima) bentuk sebagai berikut;
a. Partisipasi Buah Pikiran, disampaikan oleh partisipan pada saat diskusi, musyawarah atau anjang sono;
b. Partisipasi Tenaga, disampaikan oleh partisipan melalui beragam aktivitas/pekerjaan demi perbaikan atau pengembangan desa, bantuan untuk pihak lain, dan lain lain;
c. Partisipasi Harta Benda, disampaikan oleh partisipan melalui beragam aktivitas/pekerjaan demi perbaikan atau pengembangan desa, bantuan untuk pihak lain yang umumnya berbentuk duit, pangan dan lain lain;
d. Partisipasi Ketrampilan dan Kemahiran, disampaikan oleh partisipan dalam mendukung beragam usaha/bisnis;
e. Partisipasi Sosial, disampaikan oleh partisipan demi bentuk kerukunan (keguyuban).
Lebih lanjut, Inoue (1998), menjelaskan bahwa bentuk partisipasi masyarakat pada hutan tergantung dari tipe pengelolaan hutan itu sendiri dan dapat bervariasi bentuknya dari satu tempat dengan tempat lainnya. Secara umum terdapat beberapa bentuk partisipasi atau kerja kelompok sebagai berikut:
a. Partisipasi Individu (individual participation) adalah partisipasi individu dalam aktivitasnya sebagai sukarelawan.
b. Partisipasi Kelompok Temporer (temporary group participation) adalah beberapa orang mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompok yang sifatnya sementara seperti tolong-menolong.
c. Partisipasi Kelompok Tetap (fixed group participation) adalah setiap individu sebagai anggota kelompok mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompoknya.
d. Partisipasi upah kerja (wage labor participation) adalah individu sebagai tenaga kerja berpartisipasi pada suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh upah.
Syahyuti (2006) mengurai partisipasi dalam enam bentuk sebagai berikut:
a. Co-option yaitu tidak ada masukan apapun dari masyarakat dimana masyarakat berperan sebagai subyek.
b. Co-operation yaitu bentuk partisipasi yang menunjukkan adanya insentif, tetapi pekerjaan sudah dirancang oleh pihak eksternal termasuk rencana dan metode dimana masyarakat berperan sebagai tenaga kerja dan sub-ordinat.
c. Consultation yaitu bentuk partisipasi dimana opini masyarakat diperlukan sebagai informasi, namun pihak luar yang menganalisa dan sekaligus menentukan bentuk akhirnya dan peran masyarakat sebagai clients.
d. Collaborative yaitu bentuk partisipasi dimana masyarakat berkolaborasi bersama kelompok eksternal menetapkan preferensi, kelompok eksternal berkewajiban atas mekanisme, masyarakat berperan sebagai collaborators.
e. Co-learning yaitu bentuk partisipasi dimana masyarakat dan pihak luar saling berbagi pemahaman dan berkolaborasi dalam mempersiapkan kegiatan, pihak luar hanya memfasilitasi dimana masyarakat berperan sebagai partner.
f. Collective action yaitu bentuk partisipasi dimana masyarakat mempersiapkan serta mengimplementasikan rencananya, sedangkan pihak eksternal tidak terlibat sama sekali dimana masyarakat berperan sebagai direktor.
2.3.2. Tingkat Partisipasi masyarakat
Para ahli telah mengungkapkan beberapa bentuk dan tingkatan partisipasi, diantaranya menurut Yadov (1980) dalam (Theresia, 2008) yang mengutarakan terdapat 4 (empat) jenis partisipasi masyarakat terkait dengan konsepsi pembangunan, yakni:
1. Partisipasi pada saat penyusunan rencana 2. Partisipasi pada saat penyelenggaraan kegiatan
3. Partisipasi pada saat pemantauan/monitoring dan evaluasi 4. Partisipasi pada saat pemanfaatan (penggunaan) hasil.
Uraian tersebut cukup identik dengan yang dijelaskan oleh Uphoff et al.
(1979) yang memisahkan partisipasi menjadi sejumlah tingkatan, yakni;
1. Tahap pengambilan keputusan, dapat terlihat dari keterlibatan masyarakat dalam pertemuan atau diskusi. Tahap ini merupakan bagian dari persiapan dan implementasi sebuah kegiatan. Mekanisme ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat ketika menilai maupun menetapkan pilihan berdasarkan kebutuhan mereka. Tak jarang, proses pengambilan keputusan oleh para pemangku kepentingan hanya terkonsentrasi pada orang-orang yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan, adapun masyarakat seringkali tidak diikutsertakan. Padahal jika masyarakat dilibatkan selaku subyek apalagi jika dapat mengambil keputusan yang independen maka akan semakin baik terhadap kesinambungan kegiatan atau programnya.
2. Tahap pelaksanaan, ialah tahap paling utama pada saat pembangunan, sebab esensi pembangunan terletak pada saat pelaksanaan. Bentuk konkrit
partisipasi di tahap pelaksanaan dibagi ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu partisipasi berupa sumbangsih gagasan, sumbangsih barang/materi, dan aksi/aktivitas sebagai bagian dari kegiatan. Tahap pelaksanaan, kadangkala dimaksudkan sebagai tahap aplikasi/penerapan dimana partisipasi bukan sekedar aktivitas atau kegiatan faktual, melainkan bisa juga dalam bentuk menyampaikan saran/anjuran demi pembaruan aksi/aktivitas. Tahap pelaksanaan yang partisipatif benar-benar bertentangan dengan pendekatan bottom up dan top down, melainkan bisa berbentuk kombinasi antara dua
pendekatan yang dimaksud, sebagaimana berkolaborasi memformulasikan kepentingan untuk selanjutnya mengembangkan urusan yang dibutuhkan, bukan hanya pihak perusahaan yang bekerja.
3. Tahap evaluasi, merupakan feed back atau umpan balik yang bisa memberikan saran/anjuran dalam rangka pembaruan implementasi aktivitas kedepan. Evaluasi dapat diartikan sebagai kapabilitas masyarakat dalam memperhitungkan layak atau tidak layak, sukses atau gagal, pelaksanaan suatu proyek/program. Pada tahap ini masyarakat sudah lebih menguasai manfaat dan mudarat suatu program, oleh karena itu masyarakat bisa merumuskan serta melaksanakan penyelesaian masalah terhadap evaluasi yang dilakukan. Evaluasi bisa memperhitungkan kesuksesan program yang mereka lakukan untuk membantu menetapkan apakah kegiatan tersebut akan diteruskan atau dihentikan. Evaluasi yang diselenggarakan pihak internal umumnya selaras dengan kerangka kegiatan dibandingkan evaluasi yang diselenggarakan pihak eksternal. Jika evaluasi dilaksanakan pihak eksternal, justru menunjukkan partisipasi dari masyarakat belum muncul.
4. Tahap menikmati hasil, dapat menjadi parameter kesuksesan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Disamping itu, mempertimbangkan kapasitas masyarakat yang merupakan topik pembangunan, kemudian bertambah banyak pula kegunaan proyek, artinya proyek yang dimaksud sukses dan tepat target/tujuan. Di tahap ini, masyarakat telah menikmati kesuksesan atas agenda yang telah diimplementasikan. Masyarakat pun mampu memperhitungkan produk yang akan didapatkan mengacu pada kapabilitas yang mereka miliki.
Arnstein (1969) memperkenalkan rancangan (konsepsi) delapan tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on Ladder of Citizen Participation).
Berdasarkan rancangan tersebut, dideskripsikan bahwa “partisipasi masyarakat yang berbasis pada kapasitas atau kemampuan masyarakat dalam memutuskan produk akhir, setiap tangga dikategorikan dengan mengacu pada sejauh mana kompetensi warga negara dalam menentukan rencana dan/atau program (corresponding to the extent of citizen’s power in determining the plan and/or program). Delapan tangga partisipasi yang dimaksud Arnstein tersebut disajikan
pada Tabel 2.1. berikut;
Tabel 2.1. Level Partisipasi Arnstein (1969)
8 Kendali Warga (citizen control) Derajat Kuasa/Kekuatan Masyarakat
(Degree of Citizen Power) 7 Kuasa yang didelegasi (delegated power)
6 Kemitraan (partnership)
5 Penentraman (placation) Partisipasi Semu
(Tokenism) 4 Konsultasi (consultation)
3 Pemberian Informasi (information
2 Terapi (theraphy) Tidak Partisipatif
(Non Participation) 1 Manipulasi (manipulation)
Sumber: Arnstein SR. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 35 (4).
Pada level manipulasi dan terapi (non level partisipasi) dimana gagasan pembangunan tidak dimaksudkan untuk memperkuat masyarakat tetapi mendorong para pemegang kekuasaan untuk mendidik masyarakat. Pada level selanjutnya, level informasi dan konsultasi yang disebut juga dengan tokenisme dimana masyarakat mendapatkan informasi dan menyampaikan opini tetapi tidak ada jaminan bahwa opini tersebut akan diakomodir. Pada level placation yang merupakan level tertinggi dari tokenisme dimana masyarakat mampu mendapatkan dan memberikan informasi kepada pemangku kedaulatan tetapi kewenangan tetap diputuskan oleh pemegang kedaulatan. Level berikutnya merupakan kemitraan dimana masyarakat dapat berunding atau kompromi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Kemudian pada level terakhir adalah pendelegasian dan kontrol masyarakat dimana masyarakat yang memegang kendali dalam pengambilan keputusan.
Tangga keenam hingga kedelapan dikategorikan sebagai partisipasi yang mengacu pada kekuasaan yang dimiliki masyarakat (citizen power). Partisipasi yang nyata dimulai dari tangga keenam dan dicirikan dengan adanya mekanisme kompromi atau musyawarah. Masyarakat di hierarki ini mempunyai pengaruh dalam tahapan pengambilan ketetapan/keputusan. Selanjutnya, pada tangga ketujuh dan kedelapan, masyarakat memperoleh peluang atau kesempatan selaku mayoritas pada saat mengambil kesimpulan bahkan sangat dimungkinkan mempunyai kekuasaan yang inklusif untuk menyelengarakan suatu kebijakan tertentu yang sekaligus mengarahkan mereka kepada pemberdayaan (Arnstein, 1969).
2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Partisipasi harus didasari oleh cita-cita mendapatkan manfaat untuk yang berpartisipasi dan tidak hanya sekedar didasari kesanggupan mengabdi saja (Slamet, 2003). Sastropoetro (1988) beranggapan bahwa umumnya unsur yang bisa berdampak pada partisipasi masyarakat pada saat aktivitas pembangunan ialah (1) kondisi sosial, (2) aktivitas pembangunan, (3) kondisi lingkungan sekeliling. Selanjutnya dideskripsikan bahwa kondisi sosial dalam bentuk kebiasaan, keadaan keluarga, kemiskinan, pendidikan, pendapatan, derajat sosial, kepemimpinan, dan sebagainya. Wujud agenda pembangunan adalah aktivitas- aktivitas yang diformulasikan serta dikontrol oleh penguasa yang bisa berbentuk lembaga berbasis masyarakat dan aktivitas-aktivitas kebijaksanaan. Adapun kondisi lingkungan sekeliling merupakan aspek fisik kawasan yang terdapat di sekitar daerah tempat tumbuh-kembang masyarakat.
Berdasarkan penjelasan Angell dalam Ross et al. (1967), pemahaman terhadap istilah partisipasi yang berkembang di masyarakat merupakan pengaruh dari berbagai kondisi. Adapun hal-hal yang mempengaruhi partisipasi seseorang diantaranya:
1. Usia
Usia adalah aspek yang berpengaruh terhadap tindakan seseorang atas aktivitas-aktivitas yang dilakukan. Orang-orang yang berada di kategori usia sedang hingga kategori usia atas yang memiliki keterkaitan pandangan hidup terhadap kadar dan kaidah/ketentuan masyarakat yang lebih stabil, umumnya cenderung ikut berpartisipasi dibandingkan dengan orang-orang yang berada pada kategori usia lain.
2. Jenis kelamin
Pandangan yang tertanam sejak lama pada budaya beraneka suku-bangsa mengatakan umumnya posisi atau kedudukan perempuan berada “di dapur”, pemahaman ini mengindikasikan bahwa peran utama perempuan ialah pengelolaan urusan rumah tangga, namun belakangan pandangan tersebut berangsur-angsur beralih sebab masifnya gerakan dan kampanye emansipasi wanita dan tingkat edukasi perempuan yang belakangan bertambah baik.
3. Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek pendidikan ialah satu dari sekian ketentuan absolut untuk dapat berpartisipasi, karena pendidikan dipandang mampu memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang akan lingkungannya, sebuah perilaku yang dibutuhkan untuk meningkatkan ketenteraman rakyat.
4. Penghasilan dan pekerjaan
Penghasilan dan pekerjaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan berhubung pekerjaan seseorang dapat menggambarkan penghasilannya. Pekerjaan dan penghasilan yang memenuhi keperluan harian akan merangsang seseorang berpartisipasi di lingkungannya. Maknanya adalah agar dapat ikut serta pada suatu aktivitas, hendaknya didukung kondisi ekonomi yang mantap.
5. Lamanya (rentang-waktu) tinggal
Lamanya (rentang-waktu) seseorang berdomisili di suatu wilayah serta pengetahuannya dalam berhubungan dengan wilayah tersebut berdampak terhadap partisipasi seseorang dalam mengikuti suatu aktivitas. Semakin lama seseorang berdomisili dalam suatu wilayah, maka rasa memiliki atas wilayah tersebut akan semakin terlihat dalam keterlibatannya di tiap aktivitas di wilayah tersebut.
2.4. Kondisi Umum Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah XIV-Sidikalang Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah XIV – Sidikalang terdiri dari dua unit pengelolaan, yaitu KPH Unit VIII terletak di Kabupaten Dairi dan Unit XV terletak di Kabupaten Pakpak Bharat. Adapun penelitian ini berada di Kawasan KPH Unit XV Pakpak Bharat, Sumatera Utara.
2.4.1. Kondisi Geografis
2.4.1.1. Letak dan Luas Wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan Unit XV terletak di Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara yang secara geografis berada diantara 2015’00”
sampai dengan 2047’00” Lintang Utara dan 98004’00” sampai dengan 98031’00”
Bujur Timur. Secara topografi, kawasan ini berada di ketinggian antara 250 – 1.500 meter diatas permukaan laut.
Pakpak Bharat merupakan salah satu kabupaten yang penduduk aslinya suku Pakpak. Kabupaten ini dibentuk sebagai wujud pemekaran dari Kabupaten Dairi yang ditetapkan melalui Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 2003 mengenai Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara. Undang – Undang tersebut merupakan dasar hukum yang menjadikan Kabupaten Pakpak Bharat sebagai salah satu wilayah independen di Provinsi Sumatera Utara.
Ibukotanya berkedudukan di Salak dengan luas daerah lebih kurang 1.218 Km2 serta merupakan gabungan dari 8 (delapan) kecamatan.
Kesatuan Pemangkuan Hutan Unit XV Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara dibentuk berlandaskan SK Menteri Kehutanan (Menhut) No.
SK.102/Menhut-II/2010 berjudul Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) Unit XV yang diterbitkan tanggal 5 Maret 2010.
Kemudian, apabila mengacu pada SK Menhut RI No. SK.579/Menhut-II/2014, luasan KPHP Unit XV Pakpak Bharat adalah 90.757,41 Ha dengan rincian Hutan Lindung (HL) ± 41.317,13 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) ± 49.389,51 Ha, Hutan Produksi (HP) 50,77 Ha (Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Daftar Rincian Fungsi Hutan dan Luas pada KPH Unit XV Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara berlandaskan SK Menhut No.
579/MENHUT-II/2014
Nomor Fungsi Hutan Luas (dalam ha) Persen (%)
1 Hutan Lindung 41.317,13 45,52
2 Hutan Produksi 50,77 0,06
3 Hutan Produksi Terbatas 49.389,51 54,42
Jumlah 90.757,41 100
Sumber: BPKH Wilayah 1 Medan
Wilayah KPH Unit XV Pakpak Bharat tersebar di 7 (tujuh) kecamatan dan 31 (tiga puluh satu) desa di Kabupaten Pakpak Bharat dengan batas-batas geografis, sebagai berikut:
Sebelah Barat : Kab. Aceh Singkil dan Kota Subulussalam
Sebelah Timur : Kecamatan Siempat Rube (UPT. KPH Wilayah XIII Humbang Hasundutan)
Sebelah Utara : Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Unit VIII Dairi UPT.
KPH Wilayah XIV Sidikalang
Sebelah Selatan : Kab. Tapanuli Tengah dan Kab. Humbang Hasundutan
2.4.1.2. Topografi
Kesatuan Pemangkuan Hutan Unit XV Pakpak Bharat memiliki kondisi bentang alam yang dekat dengan Garis Khatulistiwa, termasuk daerah yang memiliki iklim tropis pada ketinggian 250-1500 m dpl dengan kondisi geografis
berbukit-bukit. Umumnya daerah KPHP Unit XV Pakpak Bharat terletak di areal yang curam dan memiliki kemiringan lereng diatas 40 %. Wilayah KPHP Unit XV ini merupakan 70,87% dari keseluruhan wilayah KPH Wilayah XIV. Kondisi ini menunjukkan bahwa keunikan karakter fisik tanah/lahan di Pakpak Bharat sangat bernilai di bidang kehutanan terutama pada wilayah-wilayah konservasi daerah bawah. Wilayah-wilayah yang memiliki kemiringan lereng antara 0 hingga 15 % hampir tidak ditemukan di wilayah KPH ini. Secara lebih rinci luasan dari masing-masing kelas kelerengan dideskripsikan sebagai berikut
Tabel 2.3. Detail Luas masing-masing kelas Kelerengan pada KPH Unit XV Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara
No Topografi Kemiringan (%) Luas (ha) Persentase (%)
1 Sangat Curam > 40 64.315,50 70,87
2 Curam 25 - 40 26.441,91 29,13
Jumlah 90.757,41 100
Sumber: BPKH Wilayah 1 Medan
2.4.2. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya 2.4.2.1. Kependudukan
Estimasi besaran penduduk Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2018 ialah sejumlah 45.516 jiwa, dimana 23.001 jiwa merupakan laki-laki serta 22.515 jiwa merupakan perempuan. Keseluruhan 45.516 jiwa penduduk tersebut terdistribusi di 8 (delapan) kecamatan dan 52 (lima puluh dua) desa, sebaran paling banyak terdapat di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe yakni sebanyak 10.517 jiwa (23,11%), adapun sebaran paling kecil terdapat di Kecamatan Pagindar yakni sejumlah 1.362 jiwa (2,99%). Detail sebaran penduduk tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Besaran dan Kepadatan Penduduk Berlandaskan Kecamatan Di Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2018
Nomor Kecamatan Luas
(dalam km2)
Penduduk
(dalam Jiwa) Kepadatan
1 Salak 245.57 8.119 33
2 Sitellu Tali Urang
Jehe 473.62 10.517 22
3 Pagindar 75.45 1.362 18
4 Sitellu Tali Urang
Julu 53.02 3.797 72
5 Pergetteng-getteng 66.64 4.201 62
6 Kerajaan 147.61 9.131 62
7 Tinada 74.03 4.084 55
8 Siempat Rube 82.36 4.305 52
Total 1218.30 45.516 37
Sumber: Kab. Pakpak Bharat Dalam Angka 2019
2.4.2.2. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sekitar Hutan Masyarakat di lokasi penelitian dapat digolongkan sebagai masyarakat agraris karena menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian dan perkebunan.
Sebagian besar petani sudah menetap namun sebagian masih menerapkan perladangan berpindah. Pola pertanian yang dikembangkan di tiga desa ini adalah dengan berkebun/berladang.
Komposisi struktur penduduk desa disekitar KPHP unit XV Pakpak Bharat terdiri dari satu suku mayoritas yaitu Suku Pakpak yang menganut sistem patrilineal dalam pewarisan yang mengutamakan anak laki-laki, serta exogami marga yang tidak memperbolehkan perkawinan dengan marga yang sama melainkan harus dari luar marga. Meskipun di dominasi oleh suku Pakpak, namun suku pendatang seperti Batak Toba, Jawa, Melayu, Karo diterima dengan baik dan dapat hidup berdampingan. Mayoritas penduduknya beragama kristen diikuti oleh Islam.
Penduduk Kabupaten Pakpak Bharat dapat dikelompokkan ke dalam masyarakat hukum adat, sebab seluruh desa dan kawasan hutan di sekitarnya merupakan milik marga-marga tertentu yang secara komunal disebut dengan istilah sukut ni talun. Marga-marga yang tergolong kepada Sukut ni talun dapat didefinisikan sebagai marga pemilik hak ulayat. Terdapat puluhan marga yang disebut memiliki hak ulayat di Kabupaten Pakpak Bharat, diantaranya: Marga Padang, Solin, Berutu, Manik, Banurea, Bancin, Cibro, Sinamo, Tinendung, Sitakar, Kabeaken, Padang Batanghari, Angkat, Lembeng, dan marga lainnya.
Dari segi teritorial, batas-batas hak ulayat antara marga yang satu dengan marga lainnya berbeda dengan batas wilayah administrasi pemerintahan. Batas- batas hak ulayat umumnya adalah gunung, bukit, lembah dan sungai. Pada umumnya setiap warga dengan marga tertentu memiliki pengetahuan secara turun-temurun mengenai hak ulayat dan batas-batas hak ulayat dengan marga lainnya. Disamping itu, setiap marga yang dipercaya sebagai pemilik hak ulayat di wilayah tertentu mempunyai kedudukan (sosial) yang tinggi dan sangat dominan dalam beraneka aktivitas sosial maupun dalam mekanisme pengambilan keputusan.
Mayoritas masyarakat Pakpak Bharat berdomisili di sekitar hutan, oleh karena itu kehidupannya banyak berinteraksi langsung dengan hutan. Hutan merupakan sumber kehidupan dan penghidupan dengan berbagai aktivitas hidup.
Hutan juga dijadikan sebagai tempat dan sumber ekonomi, bahan pangan, bahan obat-obatan dan juga terkait dengan hal-hal yang religius. Sebagai sumber ekonomi, areal hutan dikelola menjadi perladangan, perkebunan, untuk mendapatkan kayu dan non kayu. Pendapatan dari non kayu, biotik yang hidup di
hutan dijadikan sebagai sumber bahan pangan dan obat-obatan. Penduduk tempatan mempunyai pengetahuan lokal, baik yang didapatkan secara turun temurun maupun melalui berbagi pengetahuan atau pengalaman pribadi. Interaksi penduduk tempatan dengan lingkungan hutan tidak sekedar hubungan ekonomi tapi juga terkait dengan aspek sosial budaya dan religi. Dengan kata lain mereka memiliki kebudayaan terkait dengan hutan.
Keberadaan sistem adat di masyarakat Pakpak merupakan kearifan lokal yang menguntungkan bagi keberlanjutan hutan. Sistem adat beserta peraturan yang ada di dalamnya mengontrol masyarakat dalam bertindak mengelola alam secara bijak. Namun demikian, seiring perkembangan zaman, sistem nilai adat terutama yang berkaitan dengan lingkungan mulai tergerus. Ritual yang bertujuan menjaga keberlanjutan sumberdaya alam mulai ditinggalkan karena dianggap kurang efisien. Ini terjadi utamanya pada desa yang sudah relatif maju, dilintasi jalan utama, serta mendapat akses informasi dan komunikasi yang baik. Hal ini dikeluhkan oleh tokoh adat karena generasi muda cenderung abai terhadap budaya nenek moyangnya. Meskipun demikian di beberapa wilayah masih banyak desa yang mematuhi hukum adat.
Struktur masyarakat Pakpak yang menjunjung tinggi adat dan tokoh lokal yaitu pemilik hak ulayat berupa marga tertentu perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengelolaan hutan. Dengan menggandeng tokoh lokal dan menghidupkan kembali kearifan lokal yang mulai pudar diharapkan keberlangsungan hutan di wilayah ini akan terjaga, lebih jauh lagi masyarakat memiliki akses dalam mengelola hutan secara lestari yang berimbas pada peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar hutan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Aor Nakan, Kuta Tinggi dan Sibongkaras, yang merupakan penyangga Hutan Lindung Sikulaping (Reg. 71), Kabupaten Pakpak Bharat dan telah mendapatkan SK IUPHKm dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kawasan ini merupakan bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah XIV Sidikalang – Sumatera Utara (Gambar 3.1).
Pengambilan data dilaksanakan bulan Juni sampai dengan bulan September 2018.
Gambar 3.1. Peta Lokasi Wilayah Penelitian