• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. operasi dalam suatu periode dan perubahan posisi keuangan serta catatan terkait laporan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. operasi dalam suatu periode dan perubahan posisi keuangan serta catatan terkait laporan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

II.1. Landasan Teori

II.1.1 Analisis Rasio Keuangan

Laporan keuangan merupakan laporan posisi keuangan pada suatu titik, kegiatan operasi dalam suatu periode dan perubahan posisi keuangan serta catatan terkait laporan keuangan. Untuk mengetahui bagaimana laporan keuangan perusahaan dapat menggunakan analisis laporan keuangan. Sugiono dan Untung (2009:h10) menyebutkan

”perlunya menganalisa laporan keuangan adalah untuk dapat memperluas serta mempertajam informasi”. Sugiono et. al. (2009) juga menyatakan analisis laporan keuangan dipergunakan untuk menilai laporan keuangan perusahaan.

Dengan menggunakan teknik analisis rasio, analis dapat memberikan penilaian kinerja keuangan sebuah perusahaan. Helfert (2003) menjelaskan bahwa rasio keuangan dapat bermanfaat menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau kinerja perusahaan, dan dapat membantu menggambarkan kecenderungan serta pola perusahan tersebut, sehingga dapat menunjukkan peluang ataupun resiko perusahaan yang sedang ditelaah analis.

Analisis rasio keuangan menurut Sugiono et. al. (2009:h56) adalah ”suatu angka yang menunjukkan hubungan antara unsur-unsur dalam laporan keuangan”. Hampir sama dengan Suigiono, menurut Mardiyanto (2009:h51) analisis rasio keuangan adalah

”merupakan peralatan (tools) untuk memahami laporan keuangan”. Mardiyanto juga menambahkan jika pengguna laporan keuangan memahami makna dari analisis rasio

(2)

9 keuangan yang ada, angka pada rasio tersebut dapat dimanfaatkan untuk menilai kinerja keuangan suatu perusahaan.

Selain keuntungan yang dapat menganalis secara cepat, menurut Sugiono et. al.

(2009) menyatakan kelemahan dari analisis rasio keuangan ini adalah objek analisa keuangan hanya didasarkan pada laporan keuangan. Padahal laporan keuangan banyak menggunakan kebijakan dan metode akuntansi yang berbeda-beda sehingga dapat menghasilkan angka yang berbeda. Sebagai contoh metode pencatatan persediaan.

Analisis rasio keuangan menurut Mardiyanto (2009) dapat digolongkan menjadi 3 kelompok. Yang pertama dengan rata-rata industri dan pesaing yang unggul, ini merupakan kelompok cross-sectional (analisis silang), yaitu membandingkan rasio pada waktu (tahun) yang sama. Sedangkan yang kedua adalah analisis dengan data historis dan anggaran serta realisasinya termasuk analisis time-series (runtun waktu), yaitu membandingkan rasio dengan waktu yang berbeda. Yang terakhir adalah kelompok jenis analisis gabungan. Analisis gabungan adalah gabungan dari cross-sectional dan time- series. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan mendapatkan retun on asset (ROA) tahun ini meningkat dibanding tahun lalu tetapi hasil tersebut masih di bawah rata-rata industri tahun ini maka perusahaan tersebut masih memiliki kinerja yang kurang memuaskan dan harus diperbaiki ditahun mendatang.

II.1.2 Rasio Likuiditas

Menurut Brigham & Houston (2010) liquid asset adalah aset yang dapat diperdagangkan atau dijual ke pasar sehingga dapat berubah secara cepat menjadi kas dengan meggunakan harga pasar yang berlaku. Dengan aset likuid atau aset lancar yang tinggi posisi likuiditas perusahaan menjadi baik. Helfert (2003) juga adalah sependapat

(3)

10 dengan hal ini, dengan aset likuid yang tinggi dapat mengasumsikan aset tersebut dapat menjadi pelindung dalam menghadapi kegagalan. Hal tersebut karena aset lancar dapat dikonversikan menjadi kas secara cepat. Menurut Mardiyanto (2009:h54) rasio likuiditas bertujuan ”untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendek tepat pada waktunya”.

1. Acid-Test Ratio

Menurut Brigham et.al. (2010) cara menghitung rasio ini adalah dengan cara mengurangi persediaan dalam aset lancar perusahaan, dan kemudian membagi hasil tersebut dengan kewajiban lancar. Seluruh aset lancar dalam neraca diperhitungkan dalam perhitungan seperti kas, efek yang dapat diperdgangkan, piutang, dan persediaan. Begitupula kewajiban lancar, seluruh kewajiban lancar perusahaan turut menjadi perhitungan seperti hutang usaha, wesel tagih jangka pendek, hutang jangka panjang yang sudah jatuh tempo, pajak dan gaji yang masih harus dibayar.

Perhitungan acid-test adalah mengeluarkan unsur persediaan dari aset lancar.

Helfert (2003) menyatakan konsep utama dari rasio ini adalah untuk menguji kemampuan membayar kewajiban lancar pada saat likuidasi dengan asumsi bahwa tidak ada persediaan sama sekali. Rasio ini berasumsi persediaan tidak likuid sehingga perlu dikeluarkan. Mardiyanto (2009) memberikan alasan persediaan dianggap kompenen aset lancar yang tidak likuid karena persediaan barang dagang pada umumnya dijual secara kredit kemudian menjadi kas setelah tertagih. Dengan kata lain, diperlukan dua tahap persediaan menjadi kas, yaitu tahap piutang usaha dan tahap kas. Sependapat dengan Mardiyanto (2009), Gibson (2011:p225) menyatakan ”the

(4)

11 reason of removing inventory are that inventory may be slow-moving or possibly obsolete”.

Acid-test ratio digunakan untuk mengukur seberapa jauh acid-test ratio hanya memperhitungkan aset yang sudah lebih dekat dengan kas. Aset lancar perusahaan yang telah dikurangi persediaan mampu untuk melunasi kewajiban lancar atau jangka pendeknya, dengan perhitungan:

Acid Test Ratio=

Semakin tinggi jumlah aset lancar yang telah dikurangi persediaan dibandingkan dengan kewajiban lancar maka semakin tinggi acid-test ratio. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat likuiditas perusahaan. Rasio ini berbentuk kali (x). Jika acid- test ratio bernilai 2 kali, perusahaan cukup melunasi seluruh kewajiban lancar perusahaan dengan membayarkan setengah dari aset lancar tanpa persediaan yang dimiliki. Dan jika rasio bernilai kurang dari 1 kali maka berarti ada beberapa kewajiban lancar perusahaan yang tidak terbayarkan walaupun seluruh aset lancar yang tanpa persediaan telah dikonversikan menjadi kas.

Menurut Prihadi (2008) 1 kali atau 1,00 juga disetujui dianggap cukup aman.

Sependapat dengan Prihadi, Gibson (2011:p226) menyatakan ” the guideline for the minimum acid-test ratio is 1.00”. Gibson (2011) menambahkan juga penurunan tingkat likuiditas akan mengakibatkan perusahaan menuju kebangkrutan dan itu akan memperbesar resiko untuk pihak yang berkepentingan seperti pemegang saham.

Menurut Helfert (2003) dan Mardiyanto (2009) jika hasil rasio ini terlalu tinggi menandakan likuiditas terlalu tinggi dan hal ini tidak terlalu baik karena menunjukkan praktek manajemen yang kurang baik seperti banyak jumlah kas yang

(5)

12 tidak terpakai, kebijakan kredit yang keliru yang mengakibatkan piutang usaha berlebihan, dan tingkat persediaan yang berlebihan.

II.1.3 Rasio Solvabilitas

Menurut Darsono et. al. (2005) rasio solvabilitas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar seluruh kewajiban jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Darsono et. al. (2005) menambahkan rasio ini juga disebut rasio pengungkit (leverage) yaitu menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang.

Gibson (2011) menyatakan jumah dari kewajiban juga sebaiknya dianalisis.

Analisis ini akan menunjukkan jumlah dana yang disediakan oleh pihak ketiga dan bukan disediakan oleh pemilik sendiri dengan kata lain meminjam. Gibson (2011:p257) menyatakan ” a large proportion in capital structure increases the risk of not meeting the principal and interest obligation because the company may not generate adequate funds to meet these obligation”. Oleh karena itu, walaupun pemegang saham menginginkan profitabilitas yang tinggi, yang bisa didapat dengan meninjam dana dari pihak ketiga, tetapi harus tetap menganalisis apalah dana dari pihak ketiga tersebut masih masuk akal (tidak terlalu besar proporsinya) karena dapat menimbulkan resiko kewajiban tersebut tidak bisa terbayarkan.

1. Debt Ratio

Rasio mengukur persentase kewajiban yang ada atau dana pinjaman terhadap total aset perusahaan. Prihadi (2008) menyatakan debt ratio atau debt to total capital adalah membandingkan seluruh hutang atau kewajiban yang dimiliki perusahaan, baik jangka

(6)

13 pendek maupun jangka panjang, dengan total aset sebagai sumber dana yang berasal dari hutang dan modal.

Debt ratio menurut Brigham et.al. (2010) memiliki perhitungan:

Debt Ratio=

Jika perusahaan mempunyai rasio 20% maka artinya adalah kewajiban yang dimiliki persentasenya 0,2 dari jumlah total aset atau sumber pendanaan. Dengan kata lain, semakin besar rasio ini, semakin besar pembelian aset perusahaan dengan menggunakan hutang.

Debt ratio yang tinggi berarti proposi peminjaman terhadap pihak ketiga besar. Hal ini tidak terlalu baik untuk perusahaan karena secara struktur pendanaan perusahaan lebih banyak berhutang dibandingkan dengan modal yang dimiliki perusahaan sendiri yang dapat menimbulkan resiko yang besar. Menurut Prihadi (2008) dengan struktur pendanaan lebih besar untuk hutang akan semakin besar resiko kebangkrutan. Karena semakin besar resiko kegagalan untuk membayar. Hal lain yang dapat terjadi yaitu menyebabkan jumlah bunga yang harus dibayarkan semakin besar.

2. Debt to Equity Ratio

Menurut Helfert (2003) debt to equity ratio ini menunjukan proporsi kewajiban atau hutang sebuah perusahaan. Helfert (2003) menambahkan rasio ini adalah membandingkan total hutang terhadap total ekuitas perusahaan. Sependapat dengan Helfert (2003), menurut Prihadi (2008) debt to equity ratio juga mengungkapkan cara lain menghitung solvency yaitu membandingkan hutang (kewajiban) dengan hak kepemilikan atau modal perusahaan.

(7)

14 Debt to equity ratio dibaca dengan cara persentase (%). Semakin tinggi rasio ini berarti semakin buruk kondisi solvency perusahaan tersebut. Prihadi (2008) juga menambahkan jika rasio 233% atau dengan kata lain 70% hutang dan 30% modal adalah indikator yang layak dijadikan pedoman. Tetapi dalam kondisi tertentu seperti dalam project financing, ada beberapa perusahaan yang memiliki persentase di atas 70%.

Rasio ini menunjukkan seberapa besar jumlah seluruh kewajiban perusahaan dengan total modal yang dimiliki, yang dinyatakan sebagai berikut :

Debt Ratio=

Jika perusahaan mempunyai rasio 20% maka artinya adalah total kewajiban yang dimiliki persentasenya 0,2 dari jumlah total ekuitas. Seperti penjelasan pada debt ratio sebelumnya, debt to equity ratio yang teralu tinggi juga tidak terlalu baik untuk perusahaan karena secara struktur pendanaan perusahaan lebih banyak berhutang dibandingkan dengan modal yang dipuyai perusahaan sendiri. Hutang yang terlalu besar dapat meyebabkan jumlah bunga yang harus dibayarkan semakin besar.

Menurut Helfert (2003) kepentingan minoritas (minority interest) masuk dalam peritungan total ekuitas pada perhitungan. PSAK No. 4 tentang laporan keuangan konsolidasi menyatakan kalau hak minoritas adalah “bagian hasil usaha dan bagian aset neto dari anak perusahaan yang tidak dimiliki, baik secara lagsung maupun tidak langsung oleh induk perusahaan.” Sedangkan dalam PSAK No. 4 paragraf 24 menyatakan bahwa “hak minoritas (minority interest) harus disajikan tersendiri dalam neraca konsolidasi antara kewajiban dan modal.” Beams, Anthony, Clement, dan Lowensohn (2006) menyatakan bahwa walaupun banyak praktek minority interest

(8)

15 yang diklasifikasikan sebagai liability, tapi secara konsep klasifikasi minority interest sebagai liability tidak konsisten, karena secara konsep minority interest tersebut menunjukkan ekuitas investasi dalam aset bersih yang dikonsolidasikan (consolidated net asset) dari pemegang saham selain struktur afiliasi. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan utama debt to equity ratio yang membandingkan lebih banyak debt dengan ekuitas dalam membiayai total aset perusahaan, maka penelitian ini memasukkan unsur minority interest dalam ekuitas.

3. Times Interest Earned

Times Interest Earned (TIE) merupakan rasio untuk mengetahui seberapa jauh laba dapat digunakan untuk menutup bunga. Menurut Prihadi (2008) ide dasar dari rasio ini adalah ” untuk mengetahui sejauh mana EBIT (laba sebelum bunga dan pajak) digunakan untuk membayar bunga dibandingkan dengan bunga pinjaman”. Menurut Prihadi (2008) pengertian bunga yang digunakan sebaiknya dengan perhitungan biaya bunga dengan pendapatan bunga dikeluarkan.

Menurut Helfert (2003) rasio ini dikembangkan dengan harapan bahwa EBIT atau laba operasi perusahaan tahunan sebagai sumber dana pokok dapat digunakan untuk menutupi biaya bunga hutang.

Rasio ini menunjukkan seberapa besar EBIT yang diperoleh untuk menutupi beban bunga pinjaman, yang dinyatakan sebagai berikut :

Times interest earned=

Semakin tinggi persentase yang didapat perusahaan semakin tinggi perusahaan tersebut dalam membayarkan beban bunga dari keuntungan operasional perusahaan.

(9)

16 Jika perusahaan mempunyai nilai 20 maka artinya adalah laba operasi atau EBIT yang dimiliki perusahaan dapat membayarkan dua puluh kali lipat dari beban bunga yang ada. Oleh karena itu Sugiono et. al. (2009) mengatakan rasio ini berbentuk kali (x).

Jika hasilya 20x, maka perusahaan dapat membayarkan beban bunga sebesar 20 kali dari hasil EBIT atau laba operasi.

Mardiyanto (2009) menyatakan sekalipun rasio persentase hutang tidak berubah atau bahkan menurun, menurunnya TIE akan lebih mengkhawatirkan karena turunnya TIE menunjukkan semakin rendahnya kemampuan perusahaan membayar hutangnya, yaitu beban bunga. Hal ini juga ditegaskan oleh Brigham et al. (2010) karena mengalami kegagalan dalam membayar hutang, para kreditor apat melakukan tindakan hukum dan kemungkinan berakhir dengan kebangkutan.

II.1.4 Rasio Profitabilitas

Tujuan didirikannya perusahaan adalah memperoleh laba, sehingga menjadi hal yang umum apabila laba merupakan perhatian penting untuk investor. Prihadi (2008) menyebutkan bahwa tujuan perusahaan adalah memperoleh laba, sehingga tingkat profitabilitas yang tinggi dan konsisten untuk menjadi perhatian untuk analis dan pemegang saham. Oleh karena itu, tingkat profitabilitas dapat dijadikan alat ukur bagaimana perusahaan mampu bertahan dalam bisnisnya dengan memperoleh laba yang memadai.

Menurut Gibson (2011) profitabilitas itu sendiri merupakan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba. Gibson (2011) menambahkan kalau analisis profitabilitas ini menjadi penting untuk pemegang saham karena berkaitan dengan pendapatan yang mereka dapat jika berinvestasi di sebuah perusahaan, yaitu deviden.

(10)

17 Hal ini dikarenakan jika perusahaan mendapatkan laba yang tinggi, maka akan menghasilkan deviden yang tinggi pula.

Menurut Sugiono et al. (2009:h70) rasio profitabilitas bertujuan untuk “mengukur efektivitas manajemen yang tercermin pada imbalan hasil investasi melalui kegiatan perusahaan atau dengan kata lain mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan dan efisiensi dalam pengelolaan kewajiban dan modal”. Selain hal tersebut, Sugiono et. al.

(2009) juga menambahkan bila rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur efisiensi aktivitas perusahaan dan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba.

Menurut Darsono et. al. (2005) berpendapat bahwa profitabilitas adalah kemampuan manajemen untuk memperoleh laba. Untuk memperoleh laba di atas rata- rata, manajemen harus mampu meningkatkan pendapatan (revenue) dan meminimalisasi beban (expense). Dengan kata lain, manajemen harus memberdayakan sumber daya seefisien mungkin sehingga dapat menciptakan laba yang optimal.

1. Return on Asset

Return on asset (ROA) menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan untuk setiap aset yang digunankan. Dengan mengetahui rasio ini menurut Darsono et. al. (2005), analis bisa mengetahui apakah perusahaan efisien dalam memanfaatkan asetnya untuk kegiatan perusahaan dalam mencapai laba.

Sependapat dengan Darsono, Prihadi (2008) menjelaskan ROA digunakan untuk mengukur tingkat laba terhadap aset yang digunakan dalam menghasilkan laba tersebut.

Prihadi (2008) menambahkan jika ROA bertujuan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan aset untuk memperoleh laba dan

(11)

18 mengukur hasil total untuk seluruh kreditor dan pemegang saham selaku penyedia sumber dana. Sugiono et al. (2009) juga menyebutkan hal yang sama yaitu ROA dapat menggambarkan efisiensi pada dana yang digunakan perusahaan.

Rasio ini menunjukkan persentase tingkat pengembalian laba atas seluruh total aset, yang dinyatakan sebagai berikut :

Return on asset=

Semakin tinggi persentase yang didapat perusahaan semakin semakin tinggi efisiensi perusahaan tersebut dalam memanfaatkan aset perusahaan dalam kegiatan operasional perusahaan. Jika perusahan mempunyai rasio 20% maka artinya adalah setiap aset yang dimiliki, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar Rp0,2 dengan kata lain perusahaan mampu mengelola setiap aset Rp1 untuk mengasilkan keuntungan 0,2.

Laba bersih yang dimaksud adalah laba bersih yang tersedia untuk pemegang saham yang merupakan earning after tax and interest (EAT) atau net income. Sugiono et al. (2009) menjelaskan semakin tinggi ROA semakin tinggi perusahaan semakin tinggi penggunaan aset secara baik dan efisien untuk memperoleh keuntungan.

Untuk menilai kinerja keuangan perusahaan dengan return on asset (ROA), menurut Darsono et al. (2005) dapat membandingkan rasio ROA tersebut dengan rata- rata tingkat pengambalian pada indutri yang sama. Jika memperoleh ROA lebih tinggi dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap baik karena memperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi atas aset yang diinvestasikan. Sebaliknya, jika memperoleh ROA lebih rendah dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap

(12)

19 kurang baik karena memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah atas aset yang diinvestasikan.

Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengembalian yang rendah menurut Brigham et al. (2010) adalah dapat diakibatkan dari kemampuan untuk menghasilkan laba bersih perusahaan yang rendah dan/atau beban bunga yang tinggi yang disebabkan oleh banyaknya hutang perusahaan dibandingkan rata-rata dalam industrinya.

2. Return on equity

Rasio return on equity (ROE) ini merupakan yang paling umum digunakan untuk mengukur hasil pengembalian atas investasi pemilik. Sugiono et al. (2009) menjelaskan bahwa rasio ini menggambarkan tingkat pengembalian laba atas seluruh modal yang ada. Hal ini juga disebutkan oleh Darsono et al. (2005) yaitu analis bisa mengetahui pengembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap modal dari pemilik. Sugiono et al. (2009) menambahkan ROE menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan kinerja perusahaan.

Menurut Mardiyanto (2009) rasio return on equity (ROE) digunakan untuk mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham. Oleh karena itu, ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau nilai perusahaan.

Menurut Brigham et al. (2010) ROE ini merupakan rasio akuntansi paling penting dan dianggap menjadi bottom line. Disebut bottom line karena menggunakan laba bersih sebagai pembilang. Laba bersih digunakan untuk tujuan perhitungan yang

(13)

20 mencerminkan hasil bisnis perusahan yang sepenuhnya dimiliki oleh pemilik modal, yaitu pemegang saham.

Rasio ini menunjukkan persentase tingkat pengembalian laba terhadap ekuitas, yang dinyatakan sebagai berikut :

Return on equity=

Semakin tinggi persentase yang didapat perusahaan semakin tinggi pengelolaan modal perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari modal tersebut. Jika perusahaan mempunyai rasio 20% artinya perusahaan dapat memberikan pengembalian atas modal (ekuitas) sebesar 20% dari modal yang ditanamkan ke perusahaan.

Menurut Darsono et. al. (2005), sama seperti ROA, rasio return on equity (ROE) dapat dibandingkan dengan rata-rata tingkat pengambalian pada industri yang sama. Jika memperoleh ROE lebih tinggi dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap baik karena pemegang saham dapat memperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata industri. Sebaliknya, jika memperoleh ROE lebih rendah dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap kurang baik karena pemegang saham memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah.

II.1.5 Market Value Added

Laporan keuangan tidak mencerminkan nilai pasar sehingga tidak memadai untuk tujuan evaluasi kinerja manajer. Untuk mengisi kekosongan ini, dalam Brigham et al.

(2010) dapat menggunakan konsep market value added (MVA). Konsep MVA ini dikembangkan oleh Joel Stern dan Bennett Stewart dalam bukunya The Quest of Value.

(14)

21 Brigham et al. (2010:h111) menyatakan bahwa nilai tambah pasar (MVA) yaitu

“perbedaan antara nilai pasar ekuitas suatu perusahaan dengan nilai buku seperti yang disajikan dalam neraca, nilai pasar dihitung dengan mengalikan harga saham dengan jumlah saham yang beredar”.

Market value added (MVA) diperlukan untuk mengetahui apakah perusahaan sudah memaksimalkan kekayaan untuk pemegang sahamnya. Selain itu MVA juga dapat membantu mengetahui apakah perusahaan telah mengalokasikan sumber daya yang dimiliki secara efisien sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomis. Sehingga perhitungan MVA dalam buku Brigham et al. (2010) adalah total ekuitas perusahaan yang dimana termasuk saldo laba. Saldo laba merupakan hasil kinerja manajer perusahaan dalam mengalokasikan sumber daya. Dengan kata lain, MVA bukanlah agio saham yang sebatas membandingkan harga pasar saham beredar dengan harga buku saham.

Menurut Brigham et al. (2010) MVA menunjukkan selisih dari nilai pasar saham dan jumlah modal ekuitas, yang dinyatakan sebagai berikut:

MVA = Nilai pasar dari saham – ekuitas modal

= Saham beredar x Harga saham – Total ekuitas

Jika terdapat selisih, selisih tersebut merupakan perbedaan antara dana yang diinvestasikan pemegang saham. Jika MVA positif maka manajer dapat membuat kekayaan shareholder bertambah. Semakin tinggi (positif) MVA, semakin baik kinerja yang telah dilakukan manajer perusahaan untuk pemegang saham. Sebaliknya, semakin rendah MVA semakin buruk kinerja manajer perusahaan untuk pemegang saham.

(15)

22 Brigham et al. (2010) menambahkan tidak ada aturan baku yang mengatur bagaimana seharusnya perlakukan terhadap saham preferen dalam perhitungan market value added ini. Saham preferen sendiri dapat memiliki bentuk berbeda-beda, tetapi pada umumnya dibayarkan dengan jumlah yang sama setiap tahunnya seperti hutang tetapi sifatnya sama seperti saham biasa dalam artian jika perusahaan gagal membayar deviden preferen maka tidak bisa langsung dikatakan perusahaan tersebut bangkrut. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan. Tetapi sepanjang melakukan perhitungan secara konsisten dengan salah satu perlakuan tersebut, memasukkan saham preferen atau tidak diperkenankan.

II.1.6 Teori Statistika

Dalam buku Supranto (2000), Andersen dan Bancrof mendefinisikan statistik adalah ”ilmu dan seni pengembangan dan penerapan metode yang paling efektif untuk kemungkinan salah dalam kesimpulan dan estimasi dapat diperkirakan dengan menggunakan penalaran berdasarkan probabilitas matematika”. Supranto (2000) juga menambahkan statistik digunakan untuk membantu mengidentifikasi dan memahami suatu hubungan dan menjawab hipotesis dengan jawaban yang rasional.

Perangkat statistik yang digunakan untuk menjawab hipotesis dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda dengan uji coefficient multiple determination, uji koefisien beta dengan distribusi t dan uji multiple correlation dengan distribusi F.

Sebelumnya, untuk mengetahui data pada regresi bias atau tidak dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji normalitas, uji multikolinieritas, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas.

(16)

23 1. Uji Normalitas, Uji Autokorelasi, Uji Multikoliniearitas, dan Uji

Heteroskedastisitas

Uji asumsi klasik ini harus dilakukan sebelum regresi untuk menguji hipotesis. Hal ini dilakukan agar penelitian tidak menjadi bias atau membuat perhitungan model regresi tidak stabil. Uji asumsi klasik dalam penelitian ini adalah uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikoliniearitas, dan uji heteroskedastisitas.

Menurut Wijaya (2009) uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah dalam model regresi variabel dependen dan variabel independen mempunyai distribusi yang normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah yang terdisribusi normal. Dengan data terdistribusi normal data menjadi tidak bias.

Selain itu Wijaya (2009) menyatakan model regresi yang baik selayaknya tidak terjadi multikolinearitas antara variabel independen. Asumsi dasar multikolinearitas mengharuskan variabel independen harus terbebas dari masalah multikolinearitas. Jika terjadi multikolinearitas yang tinggi pada model regresi, maka koefisien pada masing- masing variabel dapat menjadi bias. Sehingga uji multikolinearitas ini menguji apakah pada model regresi ditemukan ada atau tidaknya korelasi antara variabel independen.

Uji autokorelasi juga harus dilakukan karena menurut Wijaya (2009) uji autokorelasi bertujuan untuk menguji ada tidaknya korelasi antara kesalahan pengganggu atau eror pada satu periode dengan periode lainnya pada penelitian.

Model regresi yang baik adalah yang bebas dari autokorelasi. Seringkali masalah korelasi sering timbul disebabkan data penelitian yang merupakan time series.

Sedangkan untuk uji heteroskedastisitas menurut Wijaya (2009:h124) adalah

”model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas”. Sehingga uji heteroskedastisitas menurut Wijaya (2009) untuk

(17)

24 mengetahui apakah data dalam model mengalami heteroskedastisitas, yaitu dari residual (eror) dalam regresi tidak sama atau tersebar. Sering kali masalah heteroskedastisitas timbul disebabkan data penelitian yang merupakan crosssection.

2. Uji Coefficient Multiple Determination, Uji Koefisien Beta Dengan Distribusi t dan Uji Multiple Correlation Dengan Distribusi F

Setelah data tidak menunjukkan masalah dari uji asumsi klasik, maka akan dilakukan regresi linier berganda. Fungsi regresi menurut Martono (2010:h163) adalah

”untuk memprediksi atau meramalkan besarnya nilai variabel Y bila nilai variabel X ditambah beberapa kali”. Dengan kata lain, pengujian regresi ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dan peran perubahan variabel independen dalam perubahan variabel dependen. Dalam menganalisis regresi linier berganda dilakukan pengujian coefficient multiple determination, koefisien beta dengan distribusi t dan multiple correlation dengan distribusi F.

Menurut Atmaja (2009) uji determinasi dilakukan untuk mengetahui perubahan variabel dependen yang dapat dijelaskan atau dipengaruhi oleh peran variabel independen. Menurut Nugroho (2005), kuat atau lemahnya nilai coefficient multiple determination dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi (R). Nugroho (2005) menambahkan koefisien korelasi ini menunjukkan hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian. Nilai ini antara – atau +. Jika memiliki nilai yang negatif maka korelasi memiliki hubungan yang terbalik. Dan jika memiliki nilai yang positif memiliki hubungan yang lurus. Dengan kriteria korelasi sebagai berikut:

- Sangat lemah jika 0,00 < R < 0,20.

- Lemah jika 0,21 < R < 0,40.

(18)

25 - Kuat jika 0,41 < R < 0,70.

- Sangat Kuat jika 0,71 < R < 0,90.

- Kuat jika 0,91 < R < 0,99 - Sempurna jika R = 1,00.

Sedangkan untuk uji koefisien beta dengan distribusi t dilakukan untuk menguji apakah variabel independen dapat mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

Menurut Martono et. al. (2010) kegunaan uji ini adalah untuk menguji signifikansi model linear secara parsial.

Uji multiple correlation dengan distribusi F dilakukan untuk menguji variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Berbeda dengan uji koefisien beta dengan distribusi t, fungsi dari uji multiple correlation dengan distribusi F adalah untuk menguji signifikansi antara kedua variabel tersebut secara bersama-sama.

II.2. Pengembangan Hipotesis

Dalam menilai kinerja keuangan perusahaan, para pihak berkepentingan terutama pemegang saham yang mempertimbangkan tingkat likuiditas, solvabilitas maupun profitabilitas perusahaan sebagai indikator penentu. Rasio likuiditas menjadi hal penting karena indikator tersebut mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendeknya. Tentu saja secara logika para pemegang saham tidak ingin perusahaan yang mereka tanamkan modalnya adalah perusahaan yang illikuid, tidak bisa secara cepat mencairkan asetnya dalam bentuk kas sehingga tidak dapat membayar kewajiban jangka pendeknya.

Rasio solvabilitas atau leverage juga penting karena mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajiban perusahaan baik jangka panjang maupun

(19)

26 jangka pendek. Tidak hanya kewajiban saja, solvabilitas juga mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar bunga dari pinjaman jangka panjang. Alasan solvabilitas dan likuiditas menjadi penting untuk pemegang saham adalah untuk mengetahui apakah perusahaan dalam posisi baik yaitu dapat menjamin kewajiban yang ada sehingga ketakutan akan going concern dapat diatasi. Karena sesuai dengan pernyataan Gibson (2011) bahwa proporsi hutang yang besar akan mengakibatkan resiko hutang tersebut tidak dibayarkan.

Indikator penting lainnya adalah dengan melihat profitabilitas. Profitabilitas mengukur tingkat laba yang dihasilkan oleh perusahaan selama periode tertentu.

Profitabilitas menjadi hal penting karena pada dasarnya, tujuan didirikannya perusahaan adalah memperoleh laba (profit). Dengan laba yang memadai diharapkan perusahaan mampu bertahan dalam bisnisnya.

Sugiono et. al. (2009) mengungkapkan bahwa likuiditas, tingkat leverage dan profitabilitas saling berhubungan. Sebagai contoh, jika perusahaan memiliki profitabilitas tinggi tetapi memiliki likuiditas rendah, maka perusahaan akan menghadapi pailit dalam waktu dekat karena tidak mampu membayar kewajiban.

Jika perusahaan memiliki tingkat leverage yang tinggi akan mempengaruhi profitabilitas. Karena semakin besar hutang, semakin besar biaya bunga yang harus dibayarkan perusahaan dan akan mengakibatkan profitabilitas perusahan menurun.

Pemegang saham ingin bisnis perusahaan berkembang sehingga dapat meningkatkan laba karena dengan profitabilitas yang tinggi akan meningkatkan pendapatan pemegang saham. Oleh karena itu seharusnya penilaan kinerja keuangan dengan rasio likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas mempengaruhi pemegang saham untuk berinvestasi.

(20)

27 Berkaitan dengan penilaian kinerja perusahaan, Joel Stern dan Bennett Stewart mengembangkan konsep untuk menilai kinerja perusahaan dengan indikator yang mereka sebut market value added. Menurut mereka dengan menggunakan market value added para analis khususnya pemegang saham yang sudah maupun yang akan menanamkan modalnya ke perusahaan dapat menilai kinerja perusahaan dan dapat menilai apakah perusahaan mampu memberikan keutungan ekonomis dengan memperhitungkan selisih nilai pasar atas jumlah modal ekuitas.

Baik metode likuiditas, solvabilitas, dan profitablilitas maupun market value added memberikan peniliaian kinerja perusahaan untuk menilai kinerja yang dapat memberikan keuntungan ekonomis. Dari keuntungan ekonomis ini dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa apabila jika ada kenaikan likuiditas, solvabilitas, dan profitablilitas maka akan ada kenaikan market value added pada perusahaan. Karena secara logika jika perusahaan dengan kenaikan likuiditas, solvabilitas, dan profitablilitas tinggi akan membuat pemegang saham ingin berinvestasi di perusahaan tersebut. Dan hasilnya akan meningkatkan market value added pada perusahaan. Begitu juga sebaliknya jika ada penurunan kenaikan likuiditas, solvabilitas, dan profitablilitas maka akan ada penurunan market value added pada perusahaan. Dengan kata lain, likuiditas, solvabilitas, dan profitablilitas dapat mempengaruhi market value added sebuah perusahaan.

Hal ini juga diperkuat oleh beberapa jurnal yang penulis dapatkan. Salah satunya dari Ottemoesoe (2009) yang mengkaji market value added perusahaan yang memakai internet (internet firms) dengan yang tidak memakai internet pada perusahaan di Nekkei (indeks saham di Jepang). Dalam jurnalnya Ottenmoesoe menyatakan kalau market

(21)

28 value added (MVA) dipengaruhi banyak hal, antara lain termasuk likuiditas dan solvabilitas perusahaan.

Wibowo dan Berasategui (2008) menyatakan market value added memiliki hubungan yang signifikan dengan reported earning (laba bersih) pada perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia. Dalam jurnalnya, Wibowo dan Berasategui melakukan pengujian Pearson Correlation. Hasilnnya dari pengujian tersebut mendapatkan korelasi yang kuat secara positif (strong posistive correlation) antara market value added dan reported earnings.

Disamping itu penelitian Airlangga (2009) yang juga menjadi acuan utama penelitian ini, telah membuktikan bahwa return on asset (ROA) mempunyai pengaruh terhadap market value added pada perusahaan manufaktur. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa variabel ROA mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap market value added (MVA). Dengan kata lain, semakin baik perusahaan dalam memperoleh ROA semakin baik pula market value added.

Penelitian Equilibrilla (2008) pada industri telekomunikasi dan transportasi juga telah membuktikan bahwa return on asset (ROA), return on equity (ROE), earning per share (EPS) dan economic value added (EVA) secara bersama-sama mempengaruhi market value added (MVA). Tetapi secara individual hanya ROA mempengaruhi MVA.

Sedangkan menurut penelitian Equilibrilla, ROE, EPS dan EVA tidak mempengaruhi MVA secara signifikan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengembangkan penelitian sebelumnya untuk mengukur seberapa besar pengaruh likuiditas, solvabiitas, dan profitabilitas terhadap market value added. Karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas dapat saling mempengaruhi. Penulis akan

(22)

29 meneliti perusahaan pada LQ 45 karena LQ 45 terdiri dari saham-saham perusahaan dengan likuiditas serta kapitalisasi pasar yang tinggi dan terus dipantau dan akan diadakan review setiap enam bulan sekali. Dengan kata lain, perusahaan dalam LQ 45 merupakan perusahaan unggulan yang memiliki market value yang baik di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Indikator likuiditas yang digunakan adalah acid-test ratio. Indikator solvabilitas yang digunakan adalah debt ratio, debt to equity ratio,dan times interest earned. Dan indikator profitabilitas yang digunakan adalah return on asset dan return on equity.

Sehingga variabel independen dalam penelitian ini berjumah 6 variabel, yaitu acid-test ratio, debt ratio, debt to equity ratio, times interest earned, return on asset dan return on equity.

Menurut Sugiyono (2008:h93) hipotesis adalah ”jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan“. Hipotesis merupakan jawaban sementara sebab perlu pengujian untuk membuktikan kebenaran dari jawaban tersebut.

Ditambahkan oleh Sugiyono (2008) bahwa jawaban sementara adalah jawaban yang berasal dari teori-teori yang sesuai dan bukan dari pengujian dari fakta yang ada di lapangan dengan cara pengumpulan data. Dengan kata lain, hipotesis merupakan jawaban teoritis terhadap rumusan penelitian bukan jawaban yang empiris.

Untuk membuktikan hipotesis atau jawaban sementara pada penelitian ini, penulis akan menguji beberapa variabel independen dan variabel independen. Berikut merupakan variabel-variabel yang akan digunakan dalam penyusunan hipotesis:

(23)

30 a. Variabel independen (X) :

1. Acid Test Ratio sebagai X1

2. Debt Ratio sebagai X2

3. Debt to Equity Ratio sebagai X3

4. Times Interest Earned (TIE) sebagai X4

5. Return on Asset (ROA) sebagai X5 6. Return on Equity (ROE) sebagai X6

b. Variabel dependen (Y) :

- Market Value Added sebagai Y c. Variabel kontrol

Menurut Sugiyono (2008:61) variabel kontrol adalah ”variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga hubungan variabel independen terhadap dependen tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti“. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah krisis global pada tahun 2008. Akibat resesi global ini mengakibatkan IHSG turun. Dengan turunnya IHSG, harga saham perusahaan LQ45 juga tidak terlepas dari imbas krisis global tersebut.

Terjadinya krisis global yang berimbas pada harga saham di Indonesia diperkuat dengan pernyataan Wibowo (2008) dalam vivanews.com, dengan judul 2008, ”IHSG Antiklimaks, IHSG melemah 50 persen setelah enam tahun berturut-turut dalam tren menguat“. Dalam beritanya Wibowo mengatakan berdasarkan data 30 Desember 2008, IHSG turun 50,75 persen menjadi 1.352,23 dan melemahnya pasar modal terlihat dari kelanjutan krisis subprime mortgage yang mencapai puncak pada pertengahan September saat salah satu bank investasi terbesar di Amerika Serikat (AS), Lehman Brothers, mengumumkan pailit.

(24)

31 Variabel kontrol ini dibuat karena market value added sangat berhubungan dengan harga saham. Brigham et. al (2010) menyatakan angka pada market value added tidak sepenuhnya diakibatkan oleh manajemen. Salah satu unsur market value added adalah harga saham. Jadi naik turunnya harga saham dapat mempengaruhi market value added. Hal ini dipaparkan juga oleh Ottemoesoe (2009) dalam jurnalnya, yang menyatakan market value added sangat berkaitan dengan harga saham. Jika market value added tinggi dikarenakan harga saham perusahaan tinggi. Hal lain juga perkuat jurnal Thenmozhi (2000) yang juga menyatakan performa market value added sangat memiliki keterkaitan (korelasi) dengan harga saham sampai dengan 87,79%.

Hipotesis 1: Bagaimana pengaruh acid-test ratio terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan?

H01 : Acid-test Ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Ha1 : Acid-test Ratio memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan Market market value added (MVA) perusahaan.

Hipotesis 2: Bagaimana pengaruh debt ratio terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan?

H02 : debt ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Ha2 : debt ratio memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Hipotesis 3: Bagaimana pengaruh debt to equity ratio terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan?

(25)

32 H03 : Debt to equity ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan

market value added (MVA) perusahaan.

Ha3 : Debt to equity ratio memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Hipotesis 4: Bagaimana pengaruh times interest earned (TIE) terhadap perubahan Market Value Added perusahaan?

H04 : Times interest earned (TIE) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Ha4 : Times interest earned (TIE) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Hipotesis 5: Bagaimana pengaruh return on asset (ROA)terhadap perubahan Market Value Added perusahaan?

H05 : Return on asset (ROA)tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Ha5 : Return on asset (ROA)memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Hipotesis 6: Bagaimana pengaruh return on equity (ROE) terhadap perubahan Market Value Added perusahaan?

H06 : Return on equity (ROE) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Ha6 : Return on equity (ROE) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

(26)

33 Hipotesis 7: Acid-test Ratio, debt ratio, debt to equity ratio, times interest earned (TIE), return on asset (ROA), dan return on equity (ROE) erhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan?

H07 : Acid-test Ratio, debt ratio, debt to equity ratio, times interest earned (TIE), return on asset (ROA), dan return on equity (ROE) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Ha7 : Acid-test Ratio, debt ratio, debt to equity ratio, times interest earned (TIE), return on asset (ROA), dan return on equity (ROE) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan market value added (MVA) perusahaan.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah barang diterima, 2 hari kemudian, suplier akan mengirim PO pembelian, kwitansi, surat jalan asli ( rangkap 2) ke bagian accounting , bagian accounting akan membuat kontra

Dari latar belakang tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : apakah ada pengaruh kompensasi, motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi, dan beberapa arahan yang harus diperhatikan dari RTRW Provinsi

It's up to you to discover more about compute shader features such as shared memory access for the work items inside a work group or how to use buffers with complex data structures

Demikian riwayat hidup ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat digunakan sebagai bukti pemenuhan persyaratan bakal calon Anggota DPRD Kabupaten sebagaimana dimaksud

Fungsi utama selulosa pada nutrisi ialah untuk menyediakan bahan bulky dan tidak dapat dicerna yang dapat meningkatkan efisiensi kerja saluran usus yang dapat disamakan

Pada Gambar 8b dapat dilihat defleksi maksimum pada chassis dengan material JIS G 3445 sebesar 0,61 mm pada node 8761 atau terletak pada posisi depan chassis yang terkena

Hubungan Resiliensi dengan Kesejahteraan Psikologis pada Lansia di Pondok Lansia Al-Islah Kota Malang Berdasarkan beberapa konsep dari variabel- variabel yang telah disampaikan