LAPORAN AKHIR
PENELITIAN FUNDAMENTAL
DINAMIKA SISTEM BUNYI BAHASA MELAYU DI BALI:
SEBUAH KAJIAN GENERATIF
TIM PENELITI NIDN
Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum 0010036212 Anggota :
Dr. Anak Agung Putu Putra, M.Hum 0025086015
Dibiayai Oleh
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Sesuai Dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian 139/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, tanggal 3 Maret 2015
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2015
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Dinamika Sistem Bunyi Bahasa Melayu Di Bali : Sebuah
Kajian Generatif
Peneliti/Pelaksana
Nama Lengkap : Prof. Dr. Drs. I NYOMAN SUPARWA M.Hum
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
NIDN : 0010036212
Jabatan Fungsional : Guru Besar
Program Studi : Ilmu Linguistik
Nomor HP : 0817354717
Alamat surel (e-mail) : suparwa_nym@yahoo.co.id
Anggota (1)
Nama Lengkap : Dr., Drs ANAK AGUNG PUTU PUTRA M.Hum
NIDN : 0025086015
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra : -
Alamat : -
Penanggung Jawab : -
Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun
Biaya Tahun Berjalan : Rp 51.000.000,00
Biaya Keseluruhan : Rp 122.500.000,00
Mengetahui, Denpasar, 14 - 11 - 2015
Dekan Fakultas Sastra Unud Ketua,
(Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A) (Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suparwa, M.Hum)
NIP/NIK 15909171984032002 NIP/NIK 196203101985031005
Menyetujui, Ketua LPPM Unud
3
1.2 Perumusan Masalah... 7
1.3 Tujuan/Urgensi Penelitian ... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1 Kajian Pustaka ... 10
2.2 Peta Jalan Penelitian ... 14
BAB III. METODE PENELITIAN... 16
3.1 Lokasi Penelitian ... 16
3.2 Metode Pengumpulan data... 16
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 17
3.4 Instrumen Penelitian ... 3.5 Metode Analisis Data... 17 18 BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
4.1 Dinamika Sistem Prosodi Tekanan ... 4.2 Dinamika Sistem Prosodi Panjang... 4.3 Dinamika Sistem Prosodi Nada/Intonasi... BAB V. SIMPULAN DAN SARAN... 20
Lampiran 3. Laporan Penggunaan Anggaran 100% Lampiran 4. Artikel/Jurnal
4 RINGKASAN
Kajian bahasa Melayu di Bali sebagai warisan sejarah bangsa sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji. Salah satu kantong pengguna bahasa Melayu di Bali yaitu di Desa Loloan Jembrana. Bahasa Melayu Loloan Bali sekarang ini masih digunakan sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Perkembangan bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal yaitu usaha penutur bahasa untuk mempertahankan bahasanya dan sentrifugal yaitu usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Keberadaan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa mayoritas (bahasa Bali) menyebabkan bahasa ini berinteraksi secara ekstralingual.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat pola bunyi prosodi Bahasa Melayu
baik itu dalam tataran kata, kelompok kata/frasa, maupun kalimat, serta menganalisis dinamika perubahan bunyi prosodi yang ada pada bahasa Melayu di Bali. Dengan menggunakan metode observasi partisipasi data yang dikumpulkan berupa data lisan dan hasil wawancara dengan informan di desa Loloan Jembrana Bali. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan bantuan speech analyzer dan dianalisis berdasarkan teori fonetik dan fonologi generatif. Penelitian ini sangat penting untuk dilaksanakan karena dapat memberikan manfaat secara linguistik teoretis, terutama di bidang fonetik dan fonologi. Kajian pola bunyi prosodi akan menerapkan berbagai konsep dalam bidang fonetik, baik yang bersifat ragam maupun yang bersifat semesta. Penerapan konsep (teori) yang bersifat ragam terlihat pada penemuan pola-pola prosodi bahasa Melayu Loloan seperti tekanan, panjang, dan nada. Berbagai ragam temuan tersebut tentu sangat bermanfaat karena merupakan sumbangan terhadap khazanah teori fonetik dan fonologi Indonesia dan linguistik pada umumnya. Bagi linguistik terapan, penelitian ini bermanfaat terutama dalam hal aplikasi pola bunyi prosodi pada pengajaran bahasa, baik bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia. Dengan diketahuinya pola bunyi prosodi dan dinamika perubahan bunyi prosodi dalam bahasa Melayu Loloan, para pengajar bahasa Melayu dapat menyusun cara pengucapan dan penulisan kata bahasa tersebut dengan tepat, serta pola-pola prosodi yang mencirikan identitas dari sebuah bahasa. Pada penelitian pertama, pola bunyi dan dinamikanya merupakan inti dari penelitian tersebut, setelah itu diketahui, maka pada tahun kedua penelitian ini akan dibahas sistem bunyi pada entri posleksikal yang dapat dijadikan pedoman dalam pengucapan bunyi bahasa Indonesia dalam kamus yang dilengkapi dengan transkripsi fonetis mengingat bahasa Melayu adalah asal bahasa Indonesia.
5
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Melayu Loloan digunakan oleh masyarakat Loloan, kelompok Muslim minoritas di Kabupaten Jembrana, Bali. Bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada ranah keluarga, agama, pendidikan dan transaksi lokal. Selama berabad-abad keberadaan bahasa Melayu Loloan tersebut berdinamika di bawah bayang-bayang bahasa Bali, yang digunakan oleh orang Hindu Bali dan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional. Dinamika bahasa tersebut, yang berupa retensi dan inovasi, terekam baik secara makrolinguistik maupun secara mikrolinguistik. Dalam unsur makrolinguistik dapat dilihat antara lain sikap generasi muda Loloan terhadap pemakaian bahasanya yaitu semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia. Dalam unsur mikrolinguistik terlihat pada perubahan internal bahasa terutama kosakata, unsur bunyi, pemakaian afiks, dan struktur kalimatnya.
Berdasarkan bunyi bahasanya, seseorang pun sering bisa dikenali daerah asalnya. Orang Bugis mudah dikenali oleh suku lain di Indonesia karena kecenderungannya menetralisasi nasal ([m,n] [ŋ]) pada posisi akhir kata (Lagousi, 1992:2). Hal itu terlihat seperti pada pelafalan nyoman menjadi ŋ [ŋomaŋ]. Kemudian, orang Bali mudah dikenali oleh suku lainnya di Indonesia karena bunyi retrofleksnya. Contoh lainnya adalah seseorang dinilai tingkat intelektualnya dari pemarkah lafal baku yang digunakannya dalam berbahasa Indonesia (Suparwa, 2006).
6
Bahasa Melayu Loloan memilki kekhasan kebahasaan (mikrolinguistik) terlihat, antara lain, dalam proses pembentukan kata. Fenomena kebahasaan yang menonjol dalam bahasa tersebut adalah pembentukan kata dengan proses kontraksi. Dalam hal ini terjadi proses perubahan (pemendekan) bentuk bahasa akibat pertemuan bentuk bahasa yang satu dengan yang lainnya (Kridalaksana, 1982:94). Dalam proses tersebut juga menonjol terlihat adanya perubahan bunyi yang bersistem.
Perubahan bunyi yang sistematis tersebut menjadi menarik karena terjadi tidak hanya intraleksikal (intern kata), tetapi juga posleksikal (satuan lingual setelah [lebih besar dari] kata; frasa dan klausa). Contoh berikut adalah ilustrasi fenomena tersebut.
(1) Subuh tu die mejalanan ke sunge. ‗Pagi itu dia berjalan ke sungai‘ [subʊh tu diyə məjalanan kə suŋe]
‗pagi itu dia AKT-jalan ke sungai‘
(2) Mereke tu mejalanan kulu.‗Mereka berjalan ke hulu (sungai)‘ [mərekə tu məjalanan kulu]
‗mereka itu AKT-jalan ke hulu‘ (Suparwa, 2006)
Kata ke ‗ke‘ diikuti kata sunge‗sungai‘ tetap ke pada kalimat (1), tetapi ke itu menjadi k dengan pelesapan bunyi e (kalimat 2) jika diikuti kata hulu ‗hulu‘ yang dalam hal ini menjadi ulu ‗hulu‘. Fenomena kebahasaan tersebut merupakan perubahan bunyi yang terjadi pada tataran antarkata atau setelah kata (posleksikal). Untuk itu, kajian bunyi yang tidak hanya dalam kata, tetapi juga setelah kata menjadi menarik untuk dibicarakan pada bahasa ini. Hal itulah yang menarik untuk dibahas lebih detail dalam penelitian ini di samping deskripsi yang mendalam tentang karakteristik bunyi secara fonologis leksikal terlebih lagi karena fenomena tersebut dikaji berlandaskan teori fonologi generatif.
7
Pada tahun pertama, penelitian ini akan memusatkan perhatian utamanya pada dua hal, yaitu menyangkut pola bunyi dan dinamikanya. Setelah diketahui pola bunyi dan dinamikanya maka pada tahun kedua penelitian ini akan dibahas sistem bunyi pada entri posleksikal yang dapat dijadikan pedoman dalam pengucapan bunyi bahasa Indonesia dalam kamus yang dilengkapi dengan transkripsi fonetis mengingat bahasa Melayu adalah asal bahasa Indonesia. Secara sistematis, perumusan masalah pada penelitian kedua sebagai berikut.
1) Bagaimanakah dinamika sistem prosodi tekanan pada bahasa Melayu Loloan Bali?
2) Bagaimanakah dinamika sistem prosodi panjang pada bahasa Melayu Loloan Bali?
3) Bagaimanakah dinamika sistem prosodi nada/intonasi pada bahasa Melayu Loloan Bali?
1.3 Tujuan/Urgensi Penelitian
8
situasi kebahasaan seperti itu, kebertahanan bahasa Melayu Loloan merupakan salah satu fenomena kebahasaan yang menarik pada bahasa tersebut.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam beberapa bidang berikut ini.
a. Linguistik Teoretis
Dalam bidang linguistik teoretis, penelitian ini bermanfaat dalam bidang fonetik dan fonologi. Kajian pola bunyi akan menerapkan berbagai konsep dalam bidang fonetik dan fonologi, baik yang bersifat ragam maupun yang bersifat semesta. Penerapan konsep (teori) yang bersifat ragam terlihat pada penemuan ciri-ciri yang unik bahasa Melayu Loloan. Sementara itu, penerapan konsep (teori) yang bersifat semesta terlihat pada kajian ciri-ciri bahasa Melayu Loloan yang bersifat universal. Berbagai ragam temuan tersebut tentu sangat bermanfaat karena merupakan sumbangan terhadap khazanah teori fonetik dan fonologi Indonesia dan linguistik pada umumnya.
b. Linguistik Terapan
Bagi linguistik terapan, penelitian ini bermanfaat terutama dalam hal aplikasi pola bunyi pada pengajaran bahasa, baik bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia. Dengan diketahuinya bunyi dan pola bunyi bahasa Melayu Loloan, para pengajar bahasa Melayu dapat menyusun cara pengucapan dan penulisan kata bahasa tersebut dengan tepat. Hal itu terkait juga dengan penyusunan ejaan bahasa bersangkutan. Kemudian, pengetahuan bunyi dan pola bunyi bahasa Melayu tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk penyusunan pedoman dalam pengucapan bunyi bahasa Indonesia, terutama bila akan disusun kamus yang dilengkapi dengan transkripsi fonetis mengingat bahasa Melayu adalah asal bahasa Indonesia.
Selain manfaat tersebut di atas, secara aplikatif, penelitian ini juga bermanfaat bagi perencaan pemodernan bahasa Indonesia. Pemodernan bahasa Indonesia pada masa depan sangat memerlukan pengetahuan tentang sistem bunyi bahasa Melayu yang merupakan asal bahasa Indonesia. Dalam hal pemodernan bahasa Indonesia, biasanya banyak terjadi penyerapan istilah-istilah bahasa lain (bahasa daerah lain [bahasa daerah selain bahasa Melayu] dan bahasa asing [terutama bahasa internasional, bahasa Inggris]). Dalam penyerapan itu diperlukan kaidah adaptasi fonologis dari bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal tersebutlah diperlukan pengetahuan tentang kaidah-kaidah fonologis bahasa Melayu.
9
Penelitian bahasa Melayu di Loloan yang masyarakat penuturnya di daerah multikultural dapat bermanfaat bagi penelitian lanjutan yang multidisiplin ilmu. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi penelitian, seperti sosiolinguistik dan etnolinguistik. Pola bunyi bahasa Melayu di Loloan Bali sangat dipengaruhi juga oleh lingkungan pemakaian bahasa tersebut. Pola adaptasi bunyi tersebut merupakan gambaran keadaan sosial budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut. Dengan demikian, gambaran pola interaksi sosial masyarakat penutur bahasa Melayu dengan penutur bahasa non-bahasa Melayu di Bali merupakan sumbangan yang sangat penting bagi kajian ilmu interdisiplin, seperti sosiolinguistik dan etnolinguistik. d. Penutur Bahasa Melayu
Manfaat lain hasil penelitian ini adalah bagi penutur bahasa Melayu. Hasil penelitian ini akan dapat memperkenalkan penutur bahasa Melayu (terutama Melayu
Loloan) ke ―dunia luar‖. Penutur bahasa Melayu, terutama penutur bahasa Melayu di Loloan, akan dikenal oleh masyarakat luar, khususnya masyarakat pemerhati bahasa. Selanjutnya, bahasa Melayu di Loloan akan semakin banyak diteliti dan dianalisis oleh berbagai pakar, baik pakar bahasa maupun pakar nonbahasa. Pada akhirnya, penutur bahasa Melayu di Loloan Bali akan semakin dikenal oleh masyarakat dunia karena pada prinsipnya pendokumentasian dan penyebarluasan informasi penelitian merupakan tanggung jawab moral penelitian bahasa.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.2.1 Kajian Pustaka
Sudah lazim dipakai pegangan, pandangan yang mengatakan bahwa tuturan (bahasa) terdiri atas bunyi (Gussmann, 2002:1; juga Kridalaksana dalam Kentjono, 1982:2) atau bunyi merupakan realitas material bahasa (Sudaryanto, 1996:42). Bunyi yang dimaksud tersebut adalah bunyi dalam rangkaian karena pada prinsipnya bunyi itu muncul dalam suatu kombinasi dalam membentuk morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Sementara itu, dalam hubungannya dengan linguistik, bunyi biasanya dibedakan menjadi dua macam, yaitu bunyi tidak bersistem (tidak terpola) yang secara umum disebut suara dan bunyi bersistem (terpola) yang disebut (bunyi) bahasa. Kelompok bunyi yang disebut pertama termasuk bunyi seperti suara batuk atau suara erangan dan kelompok bunyi yang kedua adalah bahasa.1)
Bunyi bahasa sangatlah berpengaruh dalam sistem komunikasi manusia. Amanat yang disampaikan pembicara kepada seseorang (mitra bicara) dibawa oleh bunyi tuturan. Bunyilah yang pertama-tama memberi kesan dan pesan tentang apa dan bagaimana pesan itu disampaikan oleh pembicara kepada mitra bicaranya. Demikianlah di dalam kehidupan berkomunikasi verbal (berbahasa), bunyi (dalam pengertian bunyi yang terpola/bersistem/bahasa) sangatlah penting. Dengan bunyi, manusia, antara lain, dapat mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya serta mengidentifikasikan dirinya.2)
Sebagai alat aktualisasi dan ekspresi diri, misalnya, bunyi digunakan oleh para seniman dalam pembuatan karya seninya, seperti puisi (baru), pantun, dan kakawin.3) Kemudian, sebagai alat identifikasi diri, misalnya, bunyi digunakan bervariasi, seperti idiolek, dialek, dan sosiolek. Untuk itu, dalam kaitannya dengan struktur bahasa, bunyi dapat diandaikan sebagai salah satu fondasinya.4) Sudaryanto (1996:42) memasukkan unsur bunyi ke dalam kelompok komponen bahasa, khususnya sebagai realitas materialnya.5)
11
meaning) dan lapis lainnya.6) Lebih jauh, Pradopo (1993:15) memberi contoh bahwa kombinasi bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, dan u; bunyi bersuara (voiced): b, d, g, dan j; bunyi likuid: r dan l; serta bunyi sengau: m, n, ng, dan ny menimbulkan bunyi merdu dan berirama (efoni). Bunyi merdu tersebut dapat mendukung suasana mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia. Dalam puisi tersebut, fokus penyair dalam pemakaian bunyi (bahasa) adalah untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan suasana batinnya. Soal pembaca bisa memahami dan menghayati karyanya bukanlah tujuan utamanya.
Sebagai alat identifikasi diri merupakan fungsi lain bunyi bahasa. Orang sering dapat menerka pembicara walaupun ia tidak melihatnya. Hal itu dimungkinkan karena warna ucapan (tinggi rendah, nada, keras lembut, cepat lambat bunyi) setiap manusia tidak sama (Bawa, 1992:2). Pembicara dapat dikenal melalui suaranya dan tiap orang tidak sama penampilannya ketika berbicara (Bloomfield, 1933:45). Keadaan suara yang demikian itu, yang mewarnai bahasa seseorang membentuk bahasa perseorangan yang disebut dengan istilah idiolek.7) Meskipun bahasanya sama, tetap diujarkan berbeda oleh setiap pembicara (penutur), baik yang menyangkut aksen, intonasi, dan lainnya (Pateda, 1987:57). Dengan demikian, idiolek akan menjadi ciri bahasa perseorangan. Bunyi yang diucapkannya itu merupakan ciri identitasnya yang membedakannya dengan orang lain.
Berdasarkan bunyi bahasanya, seseorang pun sering bisa dikenali daerah asalnya. Orang Bugis mudah dikenali oleh suku lain di Indonesia karena kecenderungannya menetralisasi nasal ([m,n] [ŋ]) pada posisi akhir kata (Lagousi, 1992:2). Hal itu terlihat seperti pada pelafalan nyoman menjadi ŋ [ŋomaŋ]8). Kemudian, orang Bali mudah dikenali oleh suku lainnya di Indonesia karena bunyi retrofleksnya. Contoh lainnya adalah seseorang dinilai tingkat intelektualnya dari pemarkah lafal baku yang digunakannya dalam berbahasa Indonesia
12
Dalam kaitannya dengan penelitian bahasa, kajian bunyi (bidang fonologi) semestinya mendapat prioritas sebelum penelitian perangkat bahasa lainnya, seperti morfologi, semantik, dan sintaksis. Hal itu dikarenakan oleh kenyataan bahwa bunyi merupakan perangkat yang mendasar dalam suatu bahasa. Apabila tidak demikian, peneliti akan menemukan kesulitan dalam penelitiannya (Saussure, 1966:32). Kesulitan yang dimaksud adalah tidak diketahuinya pola penyusunan bunyi bahasa bersangkutan yang bisa menghambat analisis morfofonemik dan/atau morfosintaktik dan/atau semantik. Lebih-lebih dalam penelitian leksikografi (kamus), pengetahuan tentang sistem bunyi bahasa bersangkutan mutlak diperlukan untuk memudahkan transkripsi, baik fonetis, fonemis, maupun ortografisnya.
Berkaitan dengan hal itulah, para linguis sejak awal sudah tertarik untuk menelaah ihwal bunyi dalam bahasa. Paling tidak sejak akhir abad ke-18 sudah terkenal penelitian tentang bunyi bahasa yang dikenal dengan Hukum Grimm oleh seorang linguis Indo-German, Jacob Grimm, pada sekitar tahun 1785—1863 (Ibrahim, 1985:17). Pada waktu itu penelitian bahasa lebih dikenal sebagai penelitian diakronis-komparatif yang dalam hal ini penelitian bahasa diarahkan pada pencarian hubungan di antara bahasa-bahasa yang ada (sejarah bahasa). Selanjutnya, penelitian tentang bunyi pun tetap berkembang ketika teori linguistik memasuki babak baru yang dikenal dengan linguistik sinkronis (awal abad 20). Kajian ilmiah tentang bahasa pada abad ini berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya, sehingga abad ini dikenal juga dengan sebutan linguistik modern. Linguistik merupakan kajian bahasa yang otonom dalam artian tidak harus dihubungkan dengan bahasa lain atau sejarah bahasa. Bahasa dipandang terdiri atas unit-unit yang masing-masing bisa dibahas sendiri-sendiri. Salah satu unit bahasa itu adalah komponen bunyi yang dibicarakan dalam bidang fonologi, sehingga muncullah kemudian penelitian fonologi berbagai bahasa.
13
perkembangan pembangunan). Profesi penutur bahasa sebagai nelayan (sekaligus pedagang) tersebutlah yang merupakan salah satu faktor penyebab tersebarnya bahasa Melayu dari daerah asalnya (Riau, Sumatra) sampai ke daerah Bali (Bawa, 1981:6).
Secara historis, Orang Loloan berasal dari berbagai daerah, antara lain, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa, sehingga merupakan campuran keturunan berbagai etnis, seperti Bugis, Melayu, Arab, Jawa, dan Bali. Mereka diperkirakan masuk ke Bali pada pertengan abad ke-17 (Reken, t. t.). Saat ini percampuran berbagai etnis itu sudah menyatu dan tidak bisa dikenali lagi asal-usul per keluarga. Mereka umumnya tidak tahu dan tidak membedakan lagi asal etnisnya untuk masing-masing keluarga. Mereka menyebut dirinya sebagai komunitas Masyarakat Loloan yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai etnis serta mendiami daerah terkonsentrasi di Desa Loloan (Loloan Barat dan Loloan Timur), Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
Secara filologis, bahasa Melayu berasal dari daerah Riau (sepanjang pantai timur Sumatra) karena di daerah tersebut ditemukan sebuah sungai yaitu ―Melayu‖. Nama sungai itu dihubungkan dengan kata melaju, deras, atau kencang (Saidi, 2003:22). Dari daerah Sumatra, bahasa tersebut kemudian tersebar ke Singapura, Malaysia, dan daerah-daerah Nusantara. Bahasa Melayu yang tersebar sampai ke Bali itu tergolong ke dalam bahasa Melayu klasik karena bahasa itu datang ke Bali sekitar abad ke-17. Menurut Kridalaksana (1986:50), perkembangan bahasa Melayu dibedakan atas empat periode, yaitu (1) periode bahasa Melayu Kuna (abad ke-7— abad ke-14; (b) bahasa Melayu Tengahan/Klasik (abad ke-14—abad ke-18; (c) bahasa Melayu Peralihan (abad ke-19); dan (d) bahasa Melayu Baru (abad ke-20 sampai sekarang).
Ciri utama bahasa Melayu Klasik adalah telah masuknya unsur-unsur bahasa Arab dan dipakainya bahasa tersebut dalam naskah perjanjian (Kridalaksana, 1986:51). Unsur bahasa Arab banyak ditemukan dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan karena bahasa itu juga digunakan dalam pengajian dan sebagai lambang identitas Islam di Jembrana. Selain itu, bahasa Melayu tersebut juga ditemukan dalam naskah perjanjian, yaitu naskah Encik Ya’qub yang berangka tahun 1268 Hijriah atau 1848 Masehi (Gambar Naskah Perjanjian Encik Ya’qub pada Bab IV, halaman 106). Naskah tersebut berbahasa Melayu dan menggunakan huruf Arab.
14
dengan penghasilannya untuk mesjid Jembrana atau mesjid Baitul Qadim sekarang (Brandan, 1995:22).
Dari sudut itu, kajian bahasa Melayu Loloan Bali sebagai warisan sejarah bangsa sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji. Bahasa Melayu Loloan Bali sekarang ini masih digunakan sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Keterkaitan bahasa Melayu Loloan Bali sekarang dengan bahasa Melayu Kuna dan bahasa Melayu Klasik serta dengan bahasa Indonesia merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas. Perkembangan bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sintripetal dan sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena bahasa Melayu Loloan itu merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Sementara itu, daya sentrifugal merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak bisa dihindari.
2.2 Peta Jalan (Road Map) Penelitian
15
PENELITIAN
TAHUN
II
Kajian Generatif Dinamika Sistem Bunyi Prosodi Bahasa Melayu di Bali
PENELITIAN
TAHUN
I
1. Omong Kampung Sebuah Deskripsi tentang Dialek Melayu di Bali (Jendra, 1970).
2. Kamus Dialek Melayu Bali-Bahasa Indonesia, (Laksana, 1980)
3. I Wayan Karta (1981) dengan judul ―Sistem Morfologi Kata
Benda Dialek Melayu Bali (Karta, 1981)
4. Yudha (1983) dengan judul ―Kata Tugas Dialek Melayu Bali
di Kecamatan Negara (Yudha, 1983)
5. Fonologi Generatif Dialek Melayu Bali di Kecamatan
Negara‖.Suraga (1992)
6. Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal (Suparwa, 2006)
7. Posleksikal Bahasa Melayu Loloan: Sebuah Pendekatan Optimalitas (Malini,2009)
PENELI-
TIAN
SEBE-LUMNYA
(1) Menemukan sistem bunyi vokal dan konsonan Bahasa Melayu di Bali (2) Menganalisis dinamika bunyi bahasa
Melayu di Bali
1. Dihasilkannya kaidah–kaidah sistem bunyi bahasa Melayu di Bali berdasarkan kajian generatif
16
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan pendekatan kualitatif yang menitikberatkan pada kealamiahan observasi, kedalaman data teks, berorientasi pada proses dan penemuan, induktif, deskriptif, eksplanatori, dan realita yang dinamik (bd. Nunan dalam Finch, 1992:4). Langkah-langkah operasional dalam pengumpulan data akan dilakukan dengan metode observasi dan wawancara yang ditunjang dengan teknik perekaman dan teknik pencatatan. Secara umum ada tiga tipe data yang dikumpulkan: a) materi audio-visual, b) dokumen/teks tulis, dan 3) informasi. Dua tipe data pertama didapatkan dengan metode observasi, sedangkan yang terakhir dikumpulkan melalui metode wawancara. Sementara itu, dalam analisis dan interpretasi data, langkah-langkah operasionalnya adalah: a) pemahaman data, b) pengolahan data, c) persiapan analisis, d) analisis awal, e) analisis mendalam, dan f) penyuntingan (bdk. Cresswell 2009: 177—195)
3.1 Lokasi Penelitian
Penutur bahasa Melayu di Bali berada di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Kabupaten Jembrana terdiri atas empat kecamatan, yaitu Kecamatan Melaya, Negara, Mendoyo, dan Pekutatan. Sehubungan dengan karakteristik penutur bahasa Melayu yang beragama islam dan pendatang, mereka terkonsentrasi bertempat tinggal di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Negara sebagai pusat dan kecamatan Melaya sebagai daerah sebar. Khusus di Kecapatan Negara, penutur bahasa Melayu berada di dua desa, yaitu Desa Loloan Barat dan Desa Loloan Timur. Dengan demikian, lokasi penelitian ini adalah dua desa tersebut.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam pendekatan kualitatif terhadap penelitian teks lisan dan tulis, ada empat hal pokok yang mendasari pengumpulan data: a) pemilihan sampel secara selektif yang gayut dengan permasalahan penelitian, b) tempat pengumpulan data, c) apa dan siapa yang akan diobservasi dan diwawancarai, dan d) proses pengambilan data (Creswell 2006: 178—179).
17
(wawancara) penggunaan bahasa dengan hanya mengandalkan pendengaran peneliti bahasa dan bunyi diinterpretasikan menurut perkiraan alat ucapnya (fonetik organis). Akan tetapi, dalam penelitian ini, selain digunakan metode penyimakan dengan pencatatan serta interpretasi fonetik organis, juga digunakan metode penyimakan dengan perekaman serta interpretasi bunyi lewat fonetik akustik. Program yang digunakan adalah Speech Analyzer (SIL, 2001). Dengan program tersebut bunyi bisa digambarkan sehingga interpretasinya tidak hanya mengandalkan pendengaran, tetapi juga pengamatan dan dibandingkan dengan khazanah bunyi internasional, yaitu IPA (International Phonetic Association). Dengan demikian, keakuratan dan kualitas data lebih tinggi.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penerapan metode wawancara semi-terstruktur. Metode ini tepat digunakan pada penelitian kualitatif karena dalam kegiatan wawancara hanya diperlukan elisitasi terhadap pandangan dan pendapat informan (Creswell 2009: 181).
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian ini akan digunakan jenis data lisan dan data tulis. Data lisan berupa tuturan langsung penggunaan bahasa, seperti ceritra, dialog, dan lain-lain. Kemudian, data tulis dapat berupa karya tulis berbahasa Melayu, seperti naskah ceramah agama, karya sastra (cerpen atau puisi), dan lain-lain.
3.4 Instrumen Penelitian
18
instrumen penelitian karena dia dapat memahami, mengidentifikasi, mengklasifikasi dan mengolah data sesuai kebutuhan penelitian. Ketiga, dalam pengumpulan data sekunder yang berbentuk informasi mengenai pendapat, kebijakan kebahasaan, dan wawasan informan tentang pengetahuan kebahasaan; peneliti menyiapkan instrumen dalam bentuk daftar tanyaan untuk wawancara semi-terstruktur. Daftar tanyaan tersebut bersifat terbuka, tetapi harus tetap dipandu oleh tema dan permasalahan penelitian sehingga informasi yang didapatkan dapat menunjang keberadaan data primer. Dalam instrumen wawawancara semi-terstruktur itu, walaupun kegiatan wawancara didukung dengan daftar tanyaan yang telah disiapkan, urutan pertanyaan dapat berubah sesuai arah wawancara (Kajornboon 2005:5).
3.5 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif eksplanatori yang berarti pendeskripsian fenomena yang ditemukan disertai penjelasan yang cukup. Pencapaian gambaran itu didasari oleh analisis metode agih dan metode padan (Sudaryanto, 1993;14—15). Dua metode tersebut dioperasionalkan dengan membagi unsur-unsur bahasa sampai ke tingkat fitur dan diklasifikasi dan identifikasi. Urutan kerja analisis, antara lain, penentuan morfem, pendaftaran varian, penentuan kaidah, pengujian kaidah, dan penyusunan kaidan yang ditemukan.
19 PENELITIAN
SEBELUMNYA
PENELITIAN TAHUN I
LUARAN :
Kaidah sistem bunyi bahasa Melayu
Publikasi Jurnal Nasional Terakreditasi
Artikel Ilmiah untuk seminar
Draft Buku Ajar
Data: tulis dan lisan
Lokasi: Loloan Jembrana, Bali
Pengumpulan data: observasi lapangan Analisis Data
Ditemukannya sistem bunyi vokal dan konsonan Bahasa Melayu di Bali
Ditemukannya proses (termasuk kaidah) fonologis bahasa Melayu di Bali Prosodi Bahasa Melayu di Bali
20
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Dinamika Sistem Bunyi Prosodi/Suprasegmental Tekanan
Tekanan (stress, accent) merupakan kekuatan yang lebih besar dalam artikulasi pada salah satu bagian ujaran yang membuatnya lebih menonjol daripada bagian ujaran yang lain atau disebut juga dengan keras lembutnya pengucapan bagian ujaran (Kridalaksana, 1982:164). Dalam sebuah kata realisasi tekanan mengacu pada suku kata (silabel) yang menonjol dalam ucapan lisan. Penonjolan itu dilakukan oleh pembicara sebagai alat untuk tujuan pemfokusan perhatian pada informasi penting dalam ujaran. Jika mengacu pada pengertian yang lebih spesifik, Bolenger (1958:109) membedakan bahwa stress merupakan istilah yang mengacu kepada ciri abstrak sebuah kata yang merupakan tempat untuk accent. Dengan pengertian tersebut berarti accent adalah tekanannya, sedangkan stress merupakan tempat tekanan tersebut di dalam kata.
Penempatan tekanan dalam suku kata menyebabkan suku kata tersebut menjadi lebih menonjol daripada suku kata yang lainnya. Malahan, di dalam beberapa kata, tekanan tersebut bisa menimbulkan kontras. Misalnya, dalam bahasa Melayu Loloan Bali yang juga berlaku dalam bahasa Indonesia, kata ekor ‗ekor‘ diberi tekanan yang berbeda menimbulkan makna kalimat yang berbeda pula. Dalam konteks Berape ekor ayam tu ? ’Berapa ekor ayam itu ?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ekor dari ayam. Sementara itu, apabila kara ekor digunakan dalam konteks
Berape ek or ayam tu ? ‘Berapa ek or ayam itu ?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ayam. Suku kata yang mendapat tekanan tersebut disebut suku kata bertekanan, sedangkan yang lainnya disebut suku kata tidak bertekanan.
Secara spesifik istilah tekanan (stress), ton (tone), dan intonasi (intonation) mengacu kepada konsep linguistik (emik). Bukan fenomena secara fisik yang bisa diteliti dan diukur secara langsung. Tinggi dan rendahnya nada (tones), tekanan pada awal atau akhir kata, dan naik atau turunan kontur merupakan elemen-lemen yang berperan dalam deskripsi sistem bahasa. Sebuah sistem bahasa merupakan sesuatu yang dikenal secara umum oleh pembicara/pemakai bahasa. Akan tetapi, hal itu bukanlah sesuatu yang bisa diteliti secara langsung.
21
bunyi yang merambat di udara dan didengar oleh telinga pendengar merupakan sesuatu yang terukur dan nyata. Dengan demikian, analisis fonetik eksperimental yang mampu mengobservasi getaran akustik gelombang bunyi (yang digunakan dalam analisis ini) sangat relevan digunakan. Untuk itu, perbedaan linguistik dari tekanan, ton, dan intonasi (ton tidak dibahas dalam penelitian ini karena bahasa yang diteliti bukan bahasa ton; intonasi akan dibicarakan pada bagian lain tulisan ini) terlihat refleksinya dalam konfigurasi yang berbeda dari tinggi nada (pitch), panjang (length), dan kenyaringan (loudness). Dengan kata lain, tekanan dalam analisis ini akan terlihat di dalam gambaran tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara, dan keras lemahnya suara dalam fonetik akustik.
Dalam data BML ditemukan bahwa tekanan pada kata dasar satu suku terletak pada bunyi vokal baik itu pada suku tertutup maupun terbuka, contoh: b́r
‗ayah‘. Secara grafik, tekanan dalam kata tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Grafik 4.1 Tekanan pada Kata Dasar Satu Suku
22
Grafik 4.2 Tekanan pada Kata Dasar Dua Suku
Pada data BML berupa kata-kata bersuku dua memperlihatkan bahwa tekanan pada kata tersebut terletak pada silabel kedua, baik yang terbuka maupun yang tertutup. Fenomena tersebut dapat dikaidahkan dalam pola penempatan tekanan sebagai berikut.
(K-T 2)
Tekanan pada kata dasar dengan tiga suku terletak pada bunyi vokal pada suku kedua baik itu pada kata dua suku dengan suku terbuka maupun tertutup. Misalnya, pada kata dasar dua tiga suku yang diawali dengan bunyi konsonan, dan diakhiri oleh bunyi vokal (suku terbuka), contoh: gekmane ‘bagaimana/seperti‘
23
Grafik 4.3 Tekanan pada Kata Dasar Tiga Suku
Kaidah penempatan tekanan pada kata dasar tiga silabel dapat dirumuskan sebagai berikut.
K-T 3)
Kaidah tersebut merumuskan bahwa vokal penultimat bertekanan pada kata dasar tiga silabel. Dalam hal ini vokal tersebut bisa didahului oleh konsonan maksimal 2 dan minimal 0 serta diikuti oleh konsonan maksimal 2 dan minimal 0 juga. Kata dasar tiga silabel tersebut bisa diawali oleh konsonan dan bisa juga tidak serta bisa juga diakhiri oleh konsonan dan bisa juga tidak diakhiri oleh konsonan.
Yang terakhir adalah kata dasar empat silabel yang merupakan kata dasar dengan jumlah silabel maksimal yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali Tekanan pada kata dasar dengan empat suku terletak pada bunyi vokal pada suku ketiga baik itu pada kata dua suku dengan suku terbuka maupun tertutup. Misalnya, pada kata dasar dua empat suku yang diawali dengan bunyi konsonan, dan diakhiri oleh bunyi vokal (suku terbuka), contoh: sementare ‘sementara‘
Grafik 4.4 Tekanan pada Kata Dasar Empat Suku
24
Kaidah penempatan tekanan pada kata dasar empat suku dapat dirumuskan sebagai berikut.
(K-T 4)
Kaidah penempatan tekanan di atas merumuskan bahwa tekanan utama terletak pada silabel kedua dari akhir yang diikuti oleh konsonan maksimal dua dan minimal kosong serta diawali oleh konsonan maksimal dua dan minimal kosong. Di depan vokal bertekanan tersebut terdapat dua buah vokal yang dapat diawali dan diakhiri oleh maksimal dua konsonan dan minimal kosong, kecuali vokal pertama yang diawali oleh maksimal satu konsonan dan minimal kosong. Vokal silabel akhir kata juga diikuti oleh maksimal satu konsonan dan minimal kosong.
Lebih lanjut, untuk tekanan pada frasa/kelompok kata dibedakan menjadi dua, yaitu frasa eksosentris dan frasa endosentris. Pada data, ditemukan bahwa tekanan frasa terjadi pada bunyi vokal pada kata kedua. Misalnya frasa di kebon berikut:
Grafik 4.5 Tekanan pada Frasa
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa tekanan terjadi pada kata
kedua, ‗kebon’. Lebih spesifik lagi, pada kata kedua tersebut, senada dengan tekanan pada kata dasar dua suku, pada kata kebon, tekanan terletak pada bunyi vokal pada suku kedua, yaitu vokal [o].
25
Bahasa Melayu Loloan juga memiliki bentuk-bentuk turunan dari kata-kata dasar yang mendapat imbuhan, atau yang dikenal dengan istilah kata jadian. Kata-kata jadian dalam bahasa Melayu Loloan terbagi atas Kata-kata berprefiks, Kata-kata bersufiks, kata berprefiks dan bersufiks, serta kata berkonfiks. Data kata-kata jadian yang ditemukan di antaranya.
1. Kata Berprefiks
Penempatan tekanan pada kata jadian, khususnya kata berprefiks dapat dilihat pada contoh kata mebini‗beristri‘ berikut ini.
Grafik 4.6 Tekanan pada Kata Jadian
Spektrogram di atas memperlihatkan bahwa penempatan tekanan utama terletak pada silabel akhir kata bersangkutan. Jika diperhatikan dengan saksama terlihat bahwa vokal silabel akhir berfrekuensi sekitar 240 Hz, sedangkan vokal silabel kedua berfrekuensi sekitar 210 Hz dan vokal silabel pertama berfrekuensi sekitar 230 Hz. Hal itu berarti bahwa silabel akhir merupakan tempat tekanan utama, lalu silabel kedua merupakan tempat tekanan kesatu dan silabel pertama merupakan tempat tekanan kedua.
2. Kata Bersufiks:
No Kata bersufiks Padan Makna 1. [naməɲə] namanya 2. [pokɔɁan] pojokan 3. [jalanɲə] jalannya
26
5. [səbətulɲə] sebetulnya
6. [mikiri] memikirkan
7. [kamarɲə] kamarnya 8. [ləmpɛyan] lelah
Kaidah perubahan penempatan tekanan pada kata bersufiks terlihat sebagai berikut.
Kaidah tersebut menyatakan bahwa tekanan utama pada kata bersufiks terjadi pada vokal silabel sufiks pada akhir kata. Silabel sufiks tersebut didahului oleh kata dasar (X) yang dalam hal ini adalah kata dasar dua silabel dengan tekanan utama pada silabel akhir kata dasar bersangkutan. Penambahan sufiks di akhir kata dasar menyebabkan tekanan utama pindah ke belakang (ke silabel sufiks) dan tekanan sekunder terletak pada silabel awal kata dan silabel akhir kata dasar yang sebelumnya bertekanan utama menjadi bertekanan tertier.
3. Kata Berprefiks dan Bersufiks
No Kata berprefiks dan bersufiks Padan Makna 1. [pərkənalkən] perkenalkan
2. [məsəbʊt səbʊtan] memanggil - manggil 3. [ŋocɛhi] berceloteh berprefiks dan bersufiks terdapat pada vokal silabel sufiks sebagai tekanan utama. Selanjutnya, vokal silabel prefiks bertekanan sekunder dan vokal silabel pertama kata dasar bertekanan tertier dan vokal silabel kedua kata dasar bertekanan kuarter.
V [tekanan] / X + __ K1o #
27
Penempatan tekanan seperti itu ternyata tidak sama dengan penempatan tekanan pada kata dasar empat silabel walaupun kedua bentuk kata tersebut sama-sama empat silabel. Seperti sudah dibahas sebelumnya, kata dasar empat silabel memiliki tekanan utama pada vokal silabel penultimat dan tekanan sekunder pada vokal silabel akhir kata, lalu vokal silabel pertama bertekanan tertier dan vokal silabel kedua bertekanan kuarter.
4. Kata Berkonfiks:
No Kata berkonfiks Padan Makna 1. [ɲadiɁi] menjadikan 8. [ɲələseɁkən] menyelesaikan 9. [ŋərjəɁi] mengerjakan
4.2 Dinamika Sistem Bunyi Prosodi/Suprasegmental Panjang
Bunyi ucapan (speech) adalah sesuatu yang terjadi atau terbentuk dan terobservasi secara nyata. Getaran alat ucap seseorang, gelombang bunyi yang merambat di udara dan didengar oleh telinga pendengar merupakan sesuatu yang terukur dan nyata. Dengan demikian, analisis fonetik eksperimental yang mampu mengobservasi getaran akustik gelombang bunyi (yang digunakan dalam analisis ini) sangat relevan digunakan. Untuk itu, perbedaan linguistik dari tekanan terlihat refleksinya dalam konfigurasi yang berbeda dari tinggi nada (pitch), panjang (length), dan kenyaringan (loudness). Dengan kata lain, tekanan dalam analisis ini akan terlihat di dalam gambaran tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara, dan keras lemahnya suara dalam fonetik akustik. Dengan kata lain, bunyi panjang prosodi terlihat dalam realisasinya menyertai tekanan dalam pemakaian bahasa.
28
Berape ekor ayam tu? ’Berapa ekor ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ekor dari ayam. Sementara itu, apabila kara ekor digunakan dalam konteks Berape ek or ayam tu? ‘Berapa ek or ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ayam. Suku kata yang mendapat tekanan tersebut disebut suku kata bertekanan, sedangkan yang lainnya disebut suku kata tidak bertekanan.
Sama halnya dengan bentuk prosodi panjang dalam bahasa Melayu Loloan Bali. Dalam menganalisis bunyi panjang yang terjadi tersebut digunakan teori mengenai durasi. Durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua (durasi) sebelah kanan bunyi yang diucapkan (...:) tanda ini yang disebut mora.
Pada data bahasa Melayu Loloan, ditemukan bunyi panjang, baik pada bunyi vokal maupun konsonan. Panjang terjadi pada tataran kalimat dan pada dasarnya tidak mengubah makna secara literal, tetapi lebih bermakna secara pragmatis, seperti penyampaian emosi tertentu dan penegaskan maksud tuturan, dan faktor kebahasaan lainnya. Penjelasan lebih lanjut diuraikan sebagai berikut.
4.2.1 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Beda Generasi
Pada data dalam tataran kalimat, ditemukan bunyi panjang pada bunyi vokal. Panjang umumnya terjadi pada tataran kalimat deklaratif, terutama tuturan-tuturan ketika informan menanggapi atau menjawab pertanyaan. Salah satu contoh yang ditemukan adalah tuturan deklaratif tu di bawah talanan ‗itu di bawah talenan‘ (papan untuk mengiris bahan makanan), yang merupakan jawaban atas pertanyaan dimane wak tarok pisaunye? ‗dimana pisaunya bapak letakkan?‘. Pada kalimat tersebut, terjadi pemanjangan bunyi vokal [a] pada suku kedua kata ‘bawah’. Secara fonetis, tuturan dapat dijabarkan sebagai berikut:
(6) Tu di bawah talanan [tu di bawa:h talanan] ‗itu di bawah talenan‘
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara fonetis, tanda mora digunakan untuk memarkahi bunyi panjang dalam satu tuturan, baik itu dalam satuan kata, frasa, maupun kalimat. Pada contoh 4.1 di atas, pemanjangan terjadi pada frasa ‗di
29
Grafik 4.7 Panjang pada Bunyi Vokal
Motivasi terjadinya panjang pada bunyi vokal di atas tersirat secara pragmatis, dan tidak mengubah makna literalnya. Panjang terjadi pada kata bawah, secara pragmatis dituturkan penutur untuk lebih menekankan tuturannya pada posisi dari benda yang ditanyakan (pisau). Dengan demikian, si penanya dapat dengan mudah menemukan pisau yang dicari.
Lebih lanjut, bila kajian diperdalam dengan melihat dinamika yang terjadi pada bunyi panjang tersebut, perlu dilakukan perbandingan dalam realitanya. Berdasarkan atas data yang ditemukan di lapangan, ditunjukkan bahwa terjadi dinamika dalam panjang bunyi vokal pada bahasa Melayu Loloan Bali yang didasarkan atas faktor golongan usia pemakai bahasa tersebut. Faktor yang pertama adalah ketika diperbandingkan antara dua penutur dengan usia yang berbeda. Penutur satuan lingual yang ditunjukkan oleh grafik 4.1 di atas adalah penutur golongan tua (usia + 70 tahun) dengan durasi panjangnya ucapan bunyi mencapai sekitar 589,98 milidetik, terlihat pada gambar berikut ini.
30
Pada penutur usia muda, terjadi juga bunyi vocal panjang, tetapi jika dibandingkan dengan panjang vokal pada penutur usia tua, durasi pada penutur usia muda cenderung lebih pendek. Pada penutur usia muda (umur + 20 tahun), durasinya sekitar 107,39 milidetik. Grafiknya adalah sebagai berikut.
Grafik 4.9 Durasi pemanjangan bunyi vokal pada penutur usia muda
Pada grafik, dapat dilihat bahwa terjadi dinamika pada pemanjangan bunyi vokal antara penutur tua dengan muda. Grafik di atas menunjukkan bahwa jika dilihat dari durasinya, pemanjangan pada penutur usia muda cenderung lebih pendek jika dibandingkan dengan penutur usia tua, yaitu dengan selisih yang cukup signifikan sekitar 482, 59 ms.
Senada dengan panjang pada bunyi vokal, bunyi konsonan pada data bahasa Melayu Loloan Bali juga ditemukan, khususnya dalam tataran kalimat yang di dalamnya terdapat bunyi konsonan likuid (l atau r) pada akhir kata, dan diikuti oleh bunyi vokal pada kata setelahnya. Contohnya dapat dilihat pada kalimat berikut.
(7) Tu telor ayam [tu təlɔr rayam] ‗itu telor ayam‘
Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan ape tu? ‗apa
31
(8) Apak nyual ikan di pasar [apaɁ ɲuwal likan di pasar] ‗paman menjual ikan di pasar‘
Sama halnya dengan contoh pertama, kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan ape kerjaan apak kau tu? ‗apa pekerjaan pamanmu itu?‘. Pada tuturan tersebut terjadi panjang pada bunyi konsonan [l] pada kata ‗nyual‘ yang dipanjangkan ketika bunyi yang mengikutinya adalah bunyi vokal (bunyi vokal [i] pada ikan]. Selain, panjang bunyi konsonan ditemukan pada bunyi konsonan nasal
[n, m, ŋ] pada akhir kata apabila bunyi setelahnya diawali dengan bunyi vokal. Contoh:
(9) Nak dare tu kawan akak [naɁ darə tu kawan nakaɁ]
‗gadis itu kawan kakak (perempuan)‘
Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan sape nak dare tu? ‗siapa gadis itu?‘. Pada tuturan tersebut terjadi panjang pada bunyi konsonan [n]
pada kata ‗kawan‘ yang dipanjangkan ketika bunyi yang mengikutinya adalah bunyi vokal (bunyi vokal [a] pada kata akak).
32
Grafik 4.10 Pemanjangan Konsonan pada Penutur Usia Tua
Pada grafik di atas, panjang konsonan [r] pada penutur tua bahasa Melayu Loloan Bali berdurasi sekitar 73,70 milidetik. Durasi tersebut memperlihatkan perbedaan dengan penutur muda, setelah diuji dengan kalimat yang sama. Perbedaan itu secara lebih konkrit ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
33
Grafik di atas menunjukkan durasi panjang konsonan [r] pada penutur muda bahasa Melayu Loloan Bali berdurasi sekitar 49,21 ms. Jika dibandingkan dengan grafik panjang bunyi konsonan pada penutur usia tua, grafik di atas menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, yaitu sekitar 24,49 milidetik. Dari grafik di atas juga menunjukkan bahwa durasi panjang konsonan pada penutur usia muda lebih pendek daripada penutur usia tua. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa analisis bunyi panjang bila dilihat dalam dinamika base lame (bahasa Melayu Lama) dan base karang ni (bahasa Melayu sekarang) terlihat kecenderungan bunyi panjang tersebut menjadi lebih pendek.
4.2.2 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Dialek
Ketika berbicara tentang dialek dalam bahasa Melayu Loloan Bali, terdapat beberapa dialek yang berkembang mengingat penuturnya tersebar di beberapa wilayah. Dua di antaranya adalah dialek Loloan Timur dan Loloan Barat. Pada grafik 4.1 penutur berasal dari Loloan Timur. Sementara, pada tuturan yang sama dengan penutur dari Loloan Barat, dapat dilihat pada grafik berikut.
Grafik 4.12 Panjang pada Bunyi Vokal pada Penutur Loloan Barat
34
dibandingkan dengan penutur dengan dialek Loloan Barat (grafik 4.6/4.7). Secara sistematis, dapat dilihat pada perbandingan grafik durasi di bawah ini.
Grafik 4.13 Durasi Panjang Bunyi Vokal [a] antara Loloan Timur dan Barat
Pada grafik di atas, dapat dilihat bahwa pemanjangan pada penutur dengan dialek Loloan Timur berdurasi sekitar 589, 98 milidetik. Sementara itu, pada penutur dengan dialek Loloan Barat, panjang terjadi lebih pendek yaitu sekitar 90, 39 milidetik. Terdapat selisih yang cukup signifikan, yaitu sekitar 499, 59 milidetik. Perbedaan ini dapat terjadi karena tuturan dituturkan oleh dua penutur dengan dua dialek berbeda. Hal itu disebabkan walaupun keduanya sama-sama menggunakan bahasa Melayu, tetapi kedua daerah memiliki perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang cukup berbeda.
35
perkawinan campur antara penduduk asli dengan pendatang. Hal tersebut pada akhirnya juga memengaruhi perkembangan bahasa Melayu yang digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara itu, penduduk Loloan Timur digambarkan cenderung lebih tertutup, sehingga pada perkembangannya, sebagian besar masyarakatnya merupakan penduduk asli keturunan Melayu. Dari sana dapat diperoleh simpulan bahwa keaslian bahasa Melayu Loloan lebih bertahan di Loloan Timur dibandingkan dengan Loloan Barat, termasuk di dalamnya adalah alunan ketika menuturkan tuturannya. Salah satu bentuk alunannya tercermin pada pemanjangan pada bunyi vokal dan konsonannya. Itulah mengapa penutur dengan dialek Loloan Timur cenderung menuturkan bunyi panjang dengan durasi yang lebih lama daripada penutur dengan dialek Loloan Barat
4.3 Dinamika Sistem Bunyi Prosodi/Suprasegmental Nada/Intonasi
Sebuah tuturan bukanlah sekadar deretan bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan secara linear, melainkan sebuah kontinum (kelanjutan). Persepsi orang terhadap bunyi segmental yang dipadu menjadi satu kontinum sangat bervariasi bergantung pada unsur suprasegmental yang menyertai kontinum itu dan aspek sosio-pragmatis yang menyertai interaksi. Selain persyaratan keapikan struktur leksikal (well formed), dalam pendengaran normal sebuah tuturan dapat dipersepsi secara baik apabila persyaratan akustis tertentu – baik segmental maupun suprasegmental dapat dipenuhi. Dengan demikian, setiap tuturan merupakan paduan struktur leksikal dengan faktor segmental dan suprasegmental (Sugiyono, 2003: 2).
36
Berbeda dengan penelitian Suparwa (2008), kajian mengenai aspek intonasi dalam bahasa Melayu Loloan Bali ini tidak hanya pada satuan kalimat, melainkan dimulai dari kata, frase, dan kalimat. Pada satuan kata, analisis akan dilakukan dari kata bersuku satu sampai empat. Sementara itu, pada tataran frase dipilah menjadi dua kelompok yakni frase endosentris dan eksosentris. Sedangkan pada bagian kalimat, akan difokuskan pada tiga tipe kalimat yaitu kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif. Tipe kalimat interogatif akan dirinci lagi menjadi kalimat interogatif informatif, konfirmatoris, dan ekoik. Dengan memperluas cakupan satuan bahasa yang menjadi tempat nada penelitian ini, diharapkan dapat melengkapi hasil deskripsi mengenai kajian fonologi segmental yang telah dilakukan terhadap bahasa ini.
4.3.1 Kata
Ditinjau dari banyaknya suku kata, dialek bahasa Melayu Loloan mempunyai beberapa macam bentuk kata dasar. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh bahasa Melayu Loloan dimulai dari kata dasar bersuku satu, dua, tiga, dan empat yang selanjutnya akan diberikan analisis nadanya.
4.3.1.1 Kata dasar bersuku satu
Kata dasar bersuku satu yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali tidak begitu produktif. Di bawah ini disajikan spektogram kata dasar bersuku satu untuk mengamati aspek intonasinya secara lebih konkret.
37
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku satu wak [waʔ]
‗ayah‘ dalam satu kelompok intonasi. Gambaran pola intonasi pada kata dasar
bersuku satu di atas dapat dirumuskan sebagai berikut. 1 2 1 #
wak
‗ayah‘
4.3.1.2 Kata dasar bersuku dua
Berbeda halnya dengan kata dasar bersuku satu yang jumlahnya terbatas, kosakata bersuku dua yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali cenderung melimpah. Berikut ini disajikan spektogram kata dasar bersuku dua ade [adǝ] ‗ada‘ untuk melihat penggambaran aspek intonasi kata itu secara lebih konkret.
Grafik 4.15 Intonasi pada Kata Dasar Bersuku Dua
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku dua ade [adǝ] ‗ada‘ dalam dua kelompok intonasi, yaitu a dan dǝ. Dengan demikian, gambaran pola intonasi kalimat berita di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 – 1 # ade
38 4.3.1.3 Kata dasar bersuku tiga
Kata dasar bersuku tiga yang dittemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali juga cukup produktif. Berikut ini disajikan spektogram kata dasar bersuku tiga untuk melihat penggambaran aspek intonasi kata tersebut secara lebih konkret.
Grafik 4.16 Intonasi pada Kata Dasar Bersuku Tiga
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku dua kepale
[kǝpalǝ:] ‗kepala‘. Dengan demikian, gambaran pola intonasi kalimat berita di atas
dapat dirumuskan sebagai berikut. 2 1 3
kepale [kǝpalǝ]
‗kepala‘
4.3.1.4 Kata dasar bersuku empat
39
Grafik 4.17 Intonasi pada Kata Dasar Bersuku Empat
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku empat selorogan
[sǝlɔrɔgan] ‗laci‘. Dengan demikian, gambaran pola intonasi kalimat berita di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
1 - 2 3
selorogan [sǝlɔrɔgan]
‗laci‘
4.3.2 Frase
Frase lazimnya diartikan kelompok kata yang tidak melebihi fungsi subjek dan predikat. Sementara itu, Kridalaksana mendefiniskan frase sebagai kelompok kata atau gabungan kata yang tidak predikatif (2008: 66). Nada dalam penelitian ini akan ditinjau dari dua jenisnya yakni frase endosentrik dan frase eksosentrik. Di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh frase dalam bahasa Melayu yang kemudian dilanjutkan dengan analisis nadanya.
4.3.2.1 Frase Eksosentris
40
Grafik 4.18 Intonasi pada Frasa Eksosentris
Gambaran pola intonasi kalimat berita di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
1 2 3
di kebon [di kɔbɔn] ‗di kebun‘
4.3.2.2 Frase Endosentris
Frase yang keseluruhannya mempunyai perilaku sintaktis yang sama dengan salah satu konstituennya (Kridalaksana, 2008: 66). Hasil spektogram terhadap frase endosentris bahasa Melayu Loloan tersebut akan disajikan di bawah ini.
41
Gambar di atas menunjukkan intonasi pada frase endsosentrik pokok jepun [pokɔʔ jǝpun] ‗pohon. Dengan demikian, gambaran pola intonasi kalimat berita di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 - 1 3
pokok jepun [pokɔʔjǝpʊn] ‗pohon jepun‘
4. 3.3 Kalimat
Tinjauan nada dalam satuan kalimat pada penelitian ini akan dititikberatkan pada tiga tipe kalimat yakni (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat interogatif, dan (3) kalimat imperatif. Secara lebih rinci akan dijelaskan di bawah ini.
4.3.3.1 Kalimat Deklaratif
Kalimat deklaratif atau disebut juga kalimat berita biasanya digunakan untuk membuat pernyataan sehingga isinya merupakan berita bagi pendengar/pembaca (Alwi, 1993: 398). Dalam penelitian ini digunakan kalimat deklaratif yang terdiri dari satu kata yaitu kata tidur [tedʊr] ‗tidur‘. Kata itu merupakan jawaban dari pertanyaan Akila lagi dimane? [akila lagi dimanǝ] ‗Akila lagi dimana?‘, yang kemudian mendapatkan jawaban tidur [tedʊr] ‗tidur‘. Di bawah ini disajikan intonasi pada kalimat deklaratif tersebut.
Grafik 4.20 Intonasi pada Kalimat Deklaratif
42
semula naik sampai sekitar 300 Hz, yang disusul dengan penurunan sampai pada 270 Hz. Dengan demikian pola intonasi kalimat deklaratif tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 1 2 1 tidur [tedʊr] ‗tidur‘
4.3.3.2 Kalimat Interogatif
Kalimat interogatif yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tipe yaitu kalimat interogatif informatif dan kalimat interogatif ekoik. Kalimat interogatif informatif ditandai dengan kata tanya yang berposisi di awal klausa. Sementara itu, kalimat interogatif ekoik adalah kalimat interogatif yang tidak menggunakan pemarkah leksikal berupa kata tanya. Berikut ini akan disajikan data intonasi yang terkandung dalam kedua tipe kalimat interogatif tersebut dengan contoh masing-masing (1) siape yang berangkat sekarang? ‘siapa yang berangkat
sekarang‘ dan (2) di dapur Bu? ‗di dapur ibu?‘
Grafik 4.21 Intonasi pada Kalimat Interogatif W/H
Gambar di atas menunjukkan intonasi kalimat siape yang berangkat
43
Dengan demikian pola intonasi kalimat interogatif tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 2 3 2- 2- 2 2- 2- 1 siape yang berangkat sekarang?
‘siapa yang berangkat sekarang‘
Di samping menggunakan data kalimat interogatif informatif, penelitian ini juga menggunakan kalimat interogatif ekoik. Berikut ini disajikan data kalimat interogatif ekoik tersebut dalam bentuk spektogram.
Grafik 4.22 Intonasi pada Kalimat Interogatif Ekoik
Gambar di atas menunjukkan intonasi kalimat di dapur? ‘di dapur‘ dimulai
dengan śfrekuensi sekitar 210 Hz pada suku di, yang kemudian mengalami penaikan sekitar 280 Hz pada suku kata da. Serta mengalami penaikan secara tajam hingga mencapai sekitar 380 Hz pada suku kata ur. Dengan demikian, pola intonasi kalimat interogatif ekoik itu dapat dirumuskan seperti di bawah ini.
1 2 3 di dapur?
‗di dapur?‘
44
penurunan. Sementara itu, analisis data pada kalimat interogatif ekoik menunjukkan penaikan.
4.3.3.3 Kalimat Imperatif
Kalimat imperatif adalah kalimat yang mengandung intonasi imperatif dan pada umumnya mengandung makna perintah atau larangan. Dalam kaitannya dengan ragam bahasa tulis, kalimat imperatif ditandai oleh tanda (.) atau (!) (Kridalaksana, 2008: 104). Penelitian intonasi yang terdapat dalam kalimat ini digunakan dua tipe kalimat yakni kalimat imperatif yang terdiri dari satu kata sesuai dengan contoh di atas, dan kalimat deklaratif yang terdiri atas kalimat tunggal sebagai penguat generalisasi.
Grafik 4.23 Intonasi pada Kalimat Imperatif
Gambar di atas menunjukkan intonasi kalimat dengeri kate orang tue tu
‗dengarkan kata orang tua itu‘ dimulai dengan frekuensi sekitar 170 Hz pada suku
de, yang kemudian mengalami penaikan sekitar 210 Hz pada silabel ri. Selanjutnya, mengalami penurunan yang cukup tajam pada silabel tu sekitar 90 Hz. Dengan demikian, pola intonasi pada kalimat di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 2 3 2 - 2 2 2 1
dengeri kate orang tue tu [dǝŋǝri katǝ oraŋ tue tu]
45
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.2 Simpulan
Dalam bahasa Melayu Loloan Bali ditemukan dinamika dalam aspek prosodinya. Dinamika tersebut di antaranya, pada tataran tekanan, panjang, dan nada/intonasi. Pada dinamika sistem bunyi tekanan, kaidah penempatan tekanan yang ditemukan adalah pada vokal dalam kata dasar satu silabel, pada vokal silabel kedua dalam kata dasar dua silabel, pada vokal silabel penultimat dalam kata dasar tiga silabel, dan pada vokal silabel penultimat dalam kata dasar empat silabel. Tidak tertutup kemungkinan adanya penempatan tekanan tipe lain sebagai akibat adanya pemfokusan silabel tertentu oleh pembicara. Sementara itu, pada dinamika sistem bunyi panjang dapat dilihat berdasarkan dua faktor, faktor dialek antara Loloan Timur dan Barat, serta faktor usia penutur, yaitu antara penutur tua dengan muda. Berdasarkan dialeknya, tuturan dari penutur dialek Loloan Timur cenderung memiliki durasi yang lebih panjang daripada penutur dengan dialek Loloan Barat. Begitu juga dengan penutur tua, vokal dan konsonan yang dituturkan cenderung lebih panjang daripada penutur muda seperti yang dibuktikan grafik di atas. Salah satu faktor yang menyebabkan kecenderungan adanya dinamika pemanjangan dalam bahasa Melayu Loloan, dikarenakan adanya keinginan pragmatis penutur muda untuk lebih mengefisienkan ujarannya dalam suatu tuturan.
Apabila dihubungkan fenomena dinamika bunyi segmental dengan suprasegmental (prosodi), ditemukan hal yang saling mendukung. Dalam hal ini, perubahan bunyi segmental dari struktur batin ke struktur lahir didukung oleh perubahan bunyi prosodi dari penutur golongan tua ke penutur golongan muda serta dari penutur dialek Loloan Timur ke penutur dialek Loloan Barat. Hal itu menggambarkan dinamika perubahan base lame ‘bahasa lama‘ ke base karang ni
‘bahasa sekarang‘, yaitu struktur batin (bentuk asal), bahasa penutur golongan tua,
dan dialek Loloan Timur sebagai base lame ‘bahasa lama‘ serta struktur lahir (bentuk turunan), bahasa penutur golongan muda, dan bahasa Melayu dialek Loloan Barat sebagai base karang ni‘bahasa sekarang‘.
46
kepanjangan silabel akhir, dan peninggian/penurunan bunyi. Sementara itu, penempatan inti (nukleus) ditandai oleh aksen silabel yang biasanya dipakai untuk penanda fokus (penanda informasi baru). Akhirnya, penyeleksian ton inti berkaitan dengan penaikan dan penurunan nada yang merupakan faktor penentu melodi. Dari data didapat bahwa pada kalimat deklaratif, interogatif W/H, dan dan imperatif cenderung turun. Kemudian, pada kalimat interogatif ekoik cenderung naik.
5.2 Saran
47
DAFTAR PUSTAKA
Gussmann, Edmund. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Cambridge: University Press.
Hawkins, Peter. 1984. Introducing Phonology. London: Hutchinson.
Kridalaksana, Harimurti. 1995. ―Pendayagunaan Potensi Intern dan Ekstern dalam Pengembangan Bahasa Indonesia dan Peningkatan Budaya Bangsa‖;
makalah dalam Seminar Nasional Sejarah Bahasa Indonesia dalam Perjalanan Bangsa, 27—28 Juli 1995. Denpasar: FS Unud dan Program Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lapoliwa, H. 1981. ―A Generative Approach to the Phonology of Bahasa Indonesia‖,
in Pasific Linguistics Series D- No.34. Canberra: Departement of Linguistics Research School of Pasific Studies, The Australian National University.
Lass, Roger. 1984. Phonology: An Introduction to Basic Concepts. Cambridge: Cambridge University Press.
Ledefoged, P. 1982. A Course in Phonetics. Second Edition. San Diego, New York, Chicago, Washington D.C. Atlanta, London, Toronto: Harcourt Brace Javanovich Publisher.
Roca, Iggy and Wyn Johnson. 1999. A Course in Phonology. Oxford USA: Blackwell Publishers Inc.
Rogers, Henry. 2000. The Sounds of Language: An Introduction to Phonetics. Harlo: Longman.
Schane, Sanford A. 1973. Generative Fonology. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice- Hall.
Sudaryanto. 1993. Metode Linguistik (Bagian Pertama dan Kedua). Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suparwa, I Nyoman. 2007. ―Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal‖. Disertasi Program Doktor Linguistik
48
LAMPIRAN 1.LEMBAR PENGAMATAN
META DATA Catatan Pewawancara :
Pelaksanaan Wawancara
1 Tanggal
2 Tempat/Latar
3. Waktu berlangsungnya wawancara Menit/jam
4 Jumlah orang yang hadir pada saat wawancara (sebutkan hubungannya dengan yang diwawancara)
5 Suasana ketika wawancara
6 Alat bantu yang digunakan selama wawancara
7 Kendala yang dihadapi selama wawancara
8 Nama lengkap pewawancara
9 - Nama Informan
- Umur
- Pendidikan terakhir - No. telepon
- Alamat
BUNYI PROSODI/SUPRASEGMENTAL
Meliputi
49 2. Panjang
3. Nada : -- suku kata -- kata -- frasa
-- kalimat/intonasi
Tekanan
(1) Kata Dasar a. Satu suku b. Dua suku c. Tiga suku d. Empat suku e. Lima suku f. Enam suku g. Tujuh suku (2) Kata Jadian
a. Kata berprefiks b. Kata bersufiks c. Kata berinfiks
d. Kata berprefiks + bersufiks e. Kata berkonfiks
(3) Kata Konotatif/Kata Majemuk (4) Kelompok kata/Frasa
Panjang
a. Vokal b. Konsonan
Nada
1. Kata
50 a. Deklaratif
(1a) Saya Nyoman (1b) Dia ibu saya
(1c) Rambut saya kriting (1d) Asal saya dari Tabanan (1e) Baju ibu saya hitam (1f) Baju adik saya banyak
(2a) Ibu sedang tidur (2b) Adik bermain di jalan (2c) Ayah membaca koran
(2d) Ibu membelikan adik sepatu baru
(3a) Adik tidak mau makan (3b) Paman tidak suka memancing
(4a) Bibi tidak diundang dalam pesta kemarin (4b) Telor itu dimakan anjing
(5a) Bibi tidak datang ke pesta itu karena tidak diundang (5b) Paman tidak makan waktu ia sakit
(5c) Ketika adik datang ke sini, ia bertemu paman (5d) Ibu membeli baju dan tas kemarin
(5e) Adik tidak mau makan, tetapi ia mau minum
51 Silahkan minum teh ini! Pola 4 : Tolong pergi!
Tolong ambilkan saya obat itu! 2. Larangan: Jangan pergi!
Jangan makan di sini! Jangan ambil buku itu!
3. Ajakan: Ayo (kita) pergi!
Ayo makan buah itu sama-sama! Mari (kita) pergi dari sini! c. Interogatif
Instrumen Penelitian 2
‘UNSUR-UNSUR PROSODI DALAM BAHASA MELAYU LOLOAN BALI’
Frasa
Frasa Eksosentris : Frasa yang salah satu pembentuknya adalah preposisi
No. Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Loloan
52
48. dengan sendok makan 49. di seberang jalan 50. di belakang
Frasa Endosentrik : Frasa yang mempunyai induk.
No. Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Loloan
1. kucing hitam 2. kelapa muda 3. ayah ibu 4. sangat cantik
5. guru bahasa indonesia 6. dua ekor
54
Kalimat
a. Kalimat Deklaratif
No. Kalimat Bahasa Melayu Loloan
1. Saya memasak Aku masak
Saya memasak nasi Aku metanak nasi
Saya memasak nasi di dapur Ak u metanak nasi di dapur
Saya memasak nasi di dapur dengan
tungku
Aku nanak nasi di dapur makek tungku
Saya memasak nasi di dapur dengan
tungku pada pagi hari
Aku nanak nasi di dapur makek tungku pagi-pagi
2. Kamu mencuci Kau nyabun
Kamu mencuci baju Kau nyabun baju
Kamu mencuci baju di sungai Kau nyabun baju di sunge
Kamu mencuci baju di sungai pada hari
minggu
Kau nyabun baju di sunge hari minggu
3. Dia membaca Diye mace
Dia membaca buku Diye mace buku
Dia membaca buku cerita Diye mace buku cerite
Dia membaca buku cerita di dalam kelas Diye mace buku cerite dalem kelas
Dia membaca buku cerita di dalam kelas
bersama temannya
Diye mace buku cerite dalem kelas same kawannye
4. Mereka bermain Diye-diye maenan
Mereka bermain bola Diye diye maen bal
Mereka bermain bola voli Diye-diye maen bal poli
Mereka bermain bola voli di lapangan Diye-diye maen bal poli di lapangan
Mereka bermain bola voli di lapangan
sejak tadi pagi
Diye-diye maen bal poli di lapangan mule‘i tadi pagi
5. Kami mencuri mangga Kite maling empo
Kami mencuri mangga manis Kite maeng empo manis
Kami mencuri mangga manis di kebun Kite maleng empo manis di kebonan
Kami mencuri mangga manis di kebun
tetangga
Kite maleng empo manis di kebonan tetangge
Kami mencuri mangga manis di kebun
tetangga di malam hari
Kite maleng empo manis di kebonan tetangge malem-malem