INTRINSIK CERPEN BERJUDUL “KATURANGGAN” KARYA SLAMET NURZAENI ANTARA SISWA KELAS XII JURUSAN IPA DAN
SISWA KELAS XII JURUSAN BAHASA SMA BRUDERAN PURWOREJO TAHUN AJARAN 2010/2011
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra, Indonesia, dan Daerah
Disusun oleh:
Agustina Puji Lestari 061224054
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
i
INTRINSIK CERPEN BERJUDUL “KATURANGGAN” KARYA SLAMET NURZAENI ANTARA SISWA KELAS XII JURUSAN IPA DAN
SISWA KELAS XII JURUSAN BAHASA SMA BRUDERAN PURWOREJO TAHUN AJARAN 2010/2011
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra, Indonesia, dan Daerah
Disusun oleh:
Agustina Puji Lestari 061224054
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
iv
v
Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia
sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan
Allah kepada barang siapa yang mengasihi Dia (Yak. 1: 12)
Allah itu perlindungan dan kekuatan kita, pertolongan-Nya terbukti dalam
kesesakan kita (Mz. 46: 1)
Serahkanlah segala kekhuatiranmu kepada-Nya sebab ia yang memelihara
vi
Skripsi sederhana ini, aku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, atas segala kasih, kemurahan, dan karunianya yang tak ternilai.
Kedua orang tuaku, Bapak Ign. Sarjan dan Ibu MM. Mariah, atas segala doa, semangat, bimbingan, dan kasih sayang yang selalu engkau berikan padaku.
Mas Ferry Agung Prabowo, yang selalu mendoakan, mendampingi, membantu, membimbing, dan memberiku semangat.
Kakakku dan adik-adikku yang selalu mendoakan dan memberiku semangat.
vii
Puji Lestari, Agustina. 2010. Perbedaan Kemampuan Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara Siswa Kelas XII Jurusan IPA dan Siswa Kelas XII JurusanBahasa SMA Bruderan Purworejo Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi. Program Sarjana (S-1). Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Kedua, mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XI jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Ketiga, mendeskripsikan perbedaan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa kelas XII jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011.
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini mengambil seluruh jumlah populasi, yaitu siswa kelas XII jurusan IPA berjumlah 21 siswa dan siswa jurusan Bahasa berjumlah 22 siswa sehingga keseluruhan sampelnya 43 siswa. Dalam penelitian ini karena terdapat 7 siswa yang tidak hadir maka populasi berkurang menjadi 36 siswa. Data siswa dari jurusan IPA berjumlah 19 dan data siswa dari jurusan Bahasa berjumlah 17.
Teknik analisis data yang dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata siswa (mean), menghitung simpangan baku, mengkonfirmasikan kedalam skala seratus, dan melakukan uji-t. Nilai rata-rata digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa kelas XII jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Uji-t dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa kelas XII jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011.
viii
ix
Puji Lestari, Agustina. 2010. Differences of Ability to Analyze Intrinsic Elements of Short Story Entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the Twelfth Science Study Program Grade and the Students of the Twelfth Language Study Program Grade Bruderan Purworejo Senior High School in the Academic Year 2010/2011. Thesis. Undergraduate (S-1) Program. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, Sanata Dharma University.
The research has three objectives. The first, to describe the student’s ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni of the twelfth Science Study Program grade, Bruderan Senior High School in the academic year 2010/2011. The second, to describe the student’s ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Senior High School in the academic year 2010/2011. The third, to describe the differences of ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011.
The research is a quantitative descriptive research. The sample of this research is taken from all of the entire population, they are the students of the twelfth Science Study Program grade totaling 21 students and the students majoring the twelfth Language Study Program grade totaling 22 students so that the overall sample of the population totaling 43 students. In this research 7 students were absent therefore the population is reduced and totaling 36 students. Data from the students of the twelfth Science Study Program grade totaling 19 students and data from the students of the twelfth Language Study Program grade totaling 17 students.
The data analysis technique by calculating the average value of the students (mean), calculating the standard deviation, confirming the data into a hundred scale, and perform t-test. Average value is used to know the students’ skill in analyzing the intrinsic elements of short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011. T-test conducted to determine the differences of ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011.
x
Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011 is in the medium degree in analyzing the intrinsic elements of short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni. The third, the ability in analyzing the intrinsic elements of short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the Academic Year 2010/2011, the class of Science Study Program is higher than the class of Language Study Program.
xii
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Perbedaan Kemampuan Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Berjudul
“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara Siswa Kelas XII Jurusan IPA dan
Siswa Kelas XII Jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo Tahun Ajaran
2010/2011. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, mengucapakan terimakasih kepada:
1. Dr. B. Widharyanto, M. Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini. 2. Drs. G. Sukadi selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
semangat, bimbingan, dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini. 3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M. Pd selaku Kepala Program Studi
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
xiii
membimbing penulis selama berproses dan belajar sebagai mahasiswa di Prodi PBSID.
6. F.X Sudadi, selaku karyawan secretariat Prodi PBSID yang telah membantu penulis dalam hal administrasi selama penyelesaian skripsi ini.
7. Drs. Waluyo, Y. B selaku kepala sekolah SMA Bruderan Purworejo yang berkenan memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
8. Eka Prasetya, S.Pd selaku guru Bahasa Indonesia SMA Bruderan Purworejo yang telah memberikan arahan selama penelitian berlangsung.
9. Siswa-siswi SMA Bruderan Purworejo yang telah bersedia membantu dan bekerja sama selama penelitian berlangsung.
10. Kedua orang tuaku, Bapak Ign. Sarjan dan Ibu M. M. Mariah, atas segala doa, semangat, nasehat, bimbingan, dan kasih sayang yang selalu engkau berikan padaku.
11. Mas Ferry Agung Prabowo, yang selalu mendoakan, mendampingi, membantu, membimbing, dan memberiku semangat.
xiv
Emillya Retnaningtyas yang selalu mendengarkan keluh kesahku dan memberiku semangat.
14. Kedua nenekku Mbah Mursini dan Mbah Ana Tukinah yang selalu menasehati dan mendoakan.
15. Louis Edo Kriskelana yang telah membantu dalam menerjemahkan bahasa Inggris abstrak skripsi.
16. Ester Luluk Kristiningrum yang telah membantu dalam menganalisis kesalahan ejaan.
17. Lina Setyaningsih, Hedwigis Risa Verawati, dan teman-teman PBSID angkatan 2006 yang telah memberiku motivasi dalam pengerjaan skripsiku ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 28 Februari 2011 Penulis
xv
HALAMAN JUDUL………...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...…...ii
HALAMAN PENGESAHAN………..iii
HALAMAN KEASLIAN KARYA………..iv
HALAMAN MOTO………...v
HALAMAN PERSEMBAHAN………...vi
ABSTRAK………....vii
ABSTRACT………...iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI………xi
KATA PENGANTAR………...xii
DAFTAR ISI……….……xv
DAFTAR LAMPIRAN………..…..xviii
DAFTAR TABEL………..xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang……….1
1.2Rumusan Masalah………6
1.3Tujuan Penelitian……….7
1.4Manfaat Penelitian………...7
1.5Variabel dan Batasan Masalah 1.5.1 Variabel Penelitian………...8
1.5.2 Batasan Istilah………..9
xvi
2.1Penelitian yang Relevan……….11
2.2Kerangka Teori………..14
1. Kata Menganalisis……….14
2. Pengertian Cerpen………..15
3. Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen………...17
a. Tokoh dan Penokohan………..17
b. Alur………...20
c. Latar………...………...26
d. Latar………..28
e. Sudut pandang………..32
f. Gaya Bahasa……….34
2.3Pembelajaran Sastra di SMA……….35
2.4Jurusan di SMA……….40
2.5Hipotesis Penelitian………...44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian………...45
3.2Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian………....45
2. Sampel Penelitian………..46
3.3Instrumen Penelitian………..47
3.4Teknik Pengumpulan Data……….47
xvii
4.2Analisis Data……….….67
4.3Pengujian Hipotesis Penelitian………...83
4.4Pembahasan Hasil Penelitian………...86
BAB V PENUTUP 5.1Kesimpulan hasil penelitian………...91
5.2Implikasi Hasil Penelitian………..92
5.3Saran-Saran………94
DAFTAR PUSTAKA………...96
xviii
1. Surat Izin Penelitian………...99
2. Cerpen “Katuranggan”………...100
3. Sinopsis Cerpen “Katuranggan”………107
4. Instrumen Penelitian………..110
5. Kunci Jawaban Penelitian………..116
6. Tabel Nila-Nilai Kritis t……….122
7. Contoh Pekerjaan Siswa……….123
8. Surat Keterangan Penelitian………...156
9. Daftar Nilai Siswa………..157
10.Perhitungan Uji-t dengan SPSS……….159
11.Analisis Butir Soal……….162
xix
Tabel Halaman
1.1.1 SK dan KD Kelas X ………... 3
1.1.2 SK dan KD Kelas XII ……….3
2.3.1 Struktur Kurikulum Program IPA ……… 40
2.3.2 Struktur Kurikulum Program Bahasa ………... 42
3.3.1 Kisi-Kisi Soal ………... 47
3.5.1 Aspek Penilaian Hasil Analisis Siswa ………. ….49
3.5.2 Kriteria Penilaian Hasil Analisis Siswa ………... 51
3.5.3 Perhitungan Nilai Rata-Rata Siswa………61
3.5.4 Persiapan Perhitungan Simpangan Baku dari Penyimpangan Tiap Skor Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo……….………..……....62
3.5.5 Pedoman Konversi Angka Seratus……….……....63
3.5.6 Pedoman Patokan dengan Perhitungan Presentase Skala Seratus...63
4.1.1 Populasi, Sampel, Jumlah Siswa yang Mengikuti dan tidak Mengikuti Tes………..………67
4.2.1.1 Perhitungan Nilai Rata-Rata Siswa Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo……….……….69
4.2.1.2 Persiapan Perhitungan Simpangan Baku dari Penyimpangan Tiap Skor Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo………...70
xx
untuk nilai Hasil Tes Siswa Kelas XII Jurusan IPA...73 4.2.2.1 Perhitungan Nilai Rata-Rata Siswa Jurusan Bahasa SMA Bruderan
Purworejo ……….………75 4.2.2.2 Persiapan Perhitungan Simpangan Baku dari Penyimpangan Tiap
Skor Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo………..76 4.2.2.3 Pedoman Konversi Angka Seratus untuk Nilai Hasil Tes Siswa Kelas XII Jurusan Bahasa………...78 4.2.2.4 Pedoman Konversi Angka Seratus untuk Nilai Hasil Tes Siswa Kelas
1
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, variabel dan masalah penelitian, serta
sistematika penyajian.
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil seni kreatif masyarakat sehingga sastra
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Melalui karya sastra
seseorang/pengarang dapat mengungkapkan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan,
pendapat-pendapat, kesan-kesan dan keprihatinan-keprihatinannya baik yang
terjadi atas dirinya, orang lain ataupun lingkungan disekitarnya. Sastra selain
merupakan luapan pikiran dan perasaan pengarangnya juga memiliki fungsi bagi
pembacanya. Fungsi tersebut yaitu menghibur dan bermanfaat, menghibur karena
sastra dalam penyajiannya menggunakan bahasa indah, menarik dan mengandung
makna kehidupan (percintaan, kebahagian, kesedihan, kekecewaan, kemarahan,
kematian, dll). Karya sastra bermanfaat karena sastra menyampaikan pesan
tentang kebenaran, tentang segala sesuatu yang baik dan yang buruk.
Menurut ragamnya, karya sastra dibagi atas prosa, puisi, dan drama. Istilah
prosa dapat mengarah pada pengertian yang luas yaitu menyangkut berbagai karya
yang ditulis dalam bentuk prosa, karya sastra maupun non sastra (Nurgiyantoro,
melalui Hariyanto dalam Gatra, 2003: 105)). Prosa dibagi menjadi dua, yaitu
prosa asli (dongeng, hikayat, epos, parabel, cerita lucu, cerita didaktik, cerita
pelipur lara, dll) (b) prosa pengaruh Hindu, dan (c) prosa pengaruh Islam,
sedangkan prosa baru dibagi menjadi tujuh, yaitu kisah, roman/novel, biografi,
esai, kritik, dan cerita pendek (Zaidan Hendy, 1988:21). Cerpen merupakan cerita
fiksi bentuk prosa yang singkat, padat, yang unsur ceritanya terpusat pada suatu
peristiwa pokok, sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas, dan
keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal. Cerpen memiliki ciri-ciri yang
berbeda dengan novel karena cerpen memiliki bentuk yang singkat dan padat,
ceritanya berpusat pada suatu peristiwa/konflik pokok, jumlah pelaku terbatas,
dan keseluruhan cerita memberikan satu kesan tunggal tetapi walaupun memiliki
ciri-ciri yang berbeda novel dan cerpen tetap memiliki kesamaan yaitu sama-sama
merupakan cerita fiksi yang berbentuk rekaan (Jabrohim, 1994: 165).
Unsur-unsur dalam cerita fiksi (cerpen) bersifat fungsional yaitu
diciptakan pengarang untuk maksud secara keseluruhan dan maknanya ditentukan
oleh keseluruhan cerita itu (Waluyo, 1994:136). Pembaca dalam menangkap
makna dari keseluruhan cerita tersebut memerlukan suatu pemahaman yang
mendalam, apabila pembaca tidak memiliki pemahaman yang baik tentang karya
sastra ia tidak akan mampu mengambil makna yang terkandung dalam
keseluruhan cerita. Maka untuk meningkatkan pemahaman tersebut diperlukan
suatu sarana untuk membantu menganalisis karya sastra dalam hal ini cerpen.
Salah satu sarana itu adalah strukturalisme yang membicarakan karya sastra dari
segi unsur-unsur intrinsik atau unsur-unsur yang membangun dari karya sastra itu
Dalam model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang
disusun oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) untuk mata pelajaran
bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA)
pembelajaran menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen dipelajari di kelas X
semester 1 dan kelas XII semester 1, baik di jurusan Bahasa, jurusan IPS, maupun
jurusan IPA . Berikut standar kompetensi dan kompensi dasarnya.
Tabel 1.1.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Pembelajaran Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Kelas X, Semester 1
Standar kompetensi Kompetensi dasar Membaca
7. Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen
7.2. Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-sehari
Tabel 1.1.2
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Pembelajaran Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Kelas XII, Semester 1
Standar kompetensi Kompetensi dasar Membaca
7. Memahami wacana sastra puisi dan cerpen
7.2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen
Melihat standar kompetensi dan kompetensi dasar di atas dapat
esensi dengan hakikat belajar sastra bahwa belajar sastra adalah belajar
menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya (Depdiknas, 2003: 3).
Namun dalam prakteknya, pembelajaran sastra di sekolah khususnya di SMA
masih kurang diminati siswa, terutama yang bukan jurusan Bahasa. Hal ini
disebabkan oleh anggapan siswa bahwa belajar sastra kurang penting. Selain itu,
dipengaruhi juga oleh alokasi jumlah jam pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia yang berbeda ditiap jurusannya. Berdasarkan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, untuk jurusan Bahasa alokasi waktu pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu sembilan (9) jam pertemuan per minggu
sedangkan untuk jurusan lain hanya empat (4) jam pertemuan per minggu. Hal ini
tentu saja menyebabkan siswa selain jurusan Bahasa kurang mengenal lebih
dalam tentang sastra.
Hal-hal di ataslah yang mendorong peneliti memilih topik kemampuan
menganalisis cerpen. Secara spesifik peneliti hendak meneliti perbedaan
kemampuan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen berjudul “Katuranggan”
karya Slamet Nurzaeni antara siswa XII jurusan IPA dengan jurusan Bahasa SMA
Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan perbedaan kemampuan antara siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa
kelas XII jurusan Bahasa dalam menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen
berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni. Hal ini dimaksudkan agar
ditemukan kemampuan antara dua kelompok siswa yang berbeda jurusan, yang
nantinya diharapkan dapat membantu guru bahasa Indonesia di sekolah dalam
memanfaatkan bahan sastra cerpen yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa
ditiap programnya.
Dalam penelitian ini peneliti memilih SMA Bruderan Purworejo sebagai
obyek penelitian karena berdasarkan fakta yang ada, hanya beberapa SMA saja
yang memiliki jurusan Bahasa di sekolah, salah satunya SMA Bruderan.
Selanjutnya, alasan peneliti memilih cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet
Nurzaeni sebagai cerpen yang harus dianalisis siswa dengan beberapa alasan
berikut. Menurut Lazar melalui Nugraha (2002; 156) pemilihan karya sastra
sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah hendaknya memenuhi dua syarat
berikut, yaitu (1) kesesuaian konteks bahan dengan latar belakang sosial-budaya
siswa dan (2) kesesuaian tingkat kesulitan bahan dengan tingkat pengetahuan dan
pemahaman siswa.
Kesesuaian konteks bahan dengan latar belakang sosial-budaya siswa,
memiliki maksud bahwa bahan sastra yang dipilih dekat dengan latar belakang
kehidupan siswa. Bahan yang dekat dengan kehidupan siswa akan memudahkan
siswa dalam memahami isi bahan sastra tersebut. Cerpen berjudul “Katuranggan”
karya Slamet Nurzaeni, menurut peneliti sangat dekat dengan kehidupan siswa,
khususnya siswa SMA Bruderan, Purworejo, karena berdasarkan latar tempat dan
suasana pengisahan cerita dilukiskan dalam kehidupan sosial budaya Jawa yang
notabenenya sama dengan sosial budaya siswa sebagai subyek penelitian.
Kesesuaian tingkat kesulitan bahan dengan tingkat pengetahuan dan
pemahaman siswa, memiliki maksud bahwa bahan sastra yang dipilih hendaknya
pemahaman dan pengetahuannya, siswa dapat menangkap maksud dari isi cerita.
Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menilai bahwa cerpen berjudul
“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni tidak terlalu sulit untuk dipahami siswa
karena bahasa yang digunakan dalam cerpen menggunakan bahasa Indonesia yang
mudah dimengerti dan menunjukkan latar belakang sosial yang tidak jauh berbeda
dengan sosial budaya siswa, yaitu budaya Jawa. Berdasarkan uraian di atas peniliti
mengambil judul penelitian ini yaitu Perbedaan Kemampuan Menganalisis
Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Berjudul “Katuranggan” Karya Slamet Nurzaeni
antara Siswa Kelas XII Jurusan IPA dan Siswa Kelas XII Jurusan Bahasa SMA
Bruderan Purworejo Tahun Ajaran 2010/2011.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka umusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Seberapa besar kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”
karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan IPA SMA Bruderan
Purworejo tahun ajaran 2010/2011?
2. Seberapa besar kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”
karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan Bahasa Bruderan Purworejo
tahun ajaran 2010/2011?
3. Seberapa besar perbedaan tingkat kemampuan menganalisis cerpen berjudul
“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara siswa kelas XII jurusan Bahasa
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”
karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XI jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo
tahun ajaran 2010/2011.
2. Mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”
karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XI jurusan Bahasa SMA Bruderan
Purworejo tahun ajaran 2010/2011.
3. Mendeskripsikan perbedaan kemampuan menganalisis cerpen berjudul
“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni Siswa kelas XI jurusan IPA dan
jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil penelitian ini
dapat memberi gambaran tentang kemampuan menganalisis cerpen siswanya
serta dapat menjadi masukan untuk meningkatkan kualitas belajar Bahasa
Indonesia.
2. Bagi Siswa kelas XII jurusan Bahasa dan jurusan IPA SMA Bruderan
Purworejo, hasil penelitian ini dapat memberi gambaran kemampuan mereka
3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat memberi gambaran tentang perbedaan
kemampuan menganalisis cerpen antara Siswa kelas XII jurusan IPA dengan
jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo Tahun 2010/2011.
4. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
acuan untuk penelitian selanjutnya sehingga hasilnya akan lebih baik.
1.5 Variabel Penelitian dan Batasan Istilah
1.5.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah permasalahan pokok atau obyek yang akan diteliti (Arikunto
1987:93). Berikut rumusan variabel dari penelitian ini:
a. Variabel bebas
Menurut Soewandi (2008: 18), variabel bebas merupakan variabel yang
memiliki hubungan dan mempengaruhi variabel terikat. Jadi dalam penelitian
ini, variabel bebasnya adalah jurusan IPA dan jurusan Bahasa SMA Bruderan
Purworejo.
b. Variabel terikat
Menurut Soewandi (2008: 18), variabel terikat merupakan variabel yang
dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini, variabel terikatnya
adalah perbedaan kemampuan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen
1.5.2 Batasan Istilah
Untuk menghindari adanya salah pengertian, maka perlu adanya penjelasan
terhadap beberpa istilah yang terdapat pada penelitian ini. Pengertian-pengertian
yang perlu mendapat penjelasan adalah sebagai berikut:
a. Cerpen
Menurut Sudjiman (1984: 15), cerpen adalah kisahan pendek (kurang dari
10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan.
b. Intrinsik
Menurut Sudjiman (1984: 35), instrinsik diartikan sebagai unsure dari dalam,
batiniah; merupakan sifat atau bagian dasar.
c. Katuranggan
Menurut Purwadi (2004: 189), istilah Katuranggan diartikan sebagai
tanda-tanda, lambang, ciri-ciri.
d. Perbedaan
Menurut Depdiknas (2007: 855), perbedaan diartikan sebagai perihal yang
berbeda; perihal yang membuat berbeda.
e. Kemampuan
Menurut Depdiknas (2007: 537), kemampuan diartikan sebagai kesanggupan;
kecakapan; kekuatan.
f. Menganalisis
Menurut Depdiknas (2007: 43), “menganalisis” berasal dari kata “analisis”
perbuatan dan sebagainya untuk mengetahui keadaan sebenarnya, (sebab
musabab, duduk perkara, dan dsb).
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: bab I diawali
dengan pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, rumusan variabel, batasan istilah, dan sistematika
penyajian. Bab II dibahas landasan teori, yang terdiri atas penelitian terdahulu
yang relevan, kerangka teori, pembelajaran sastra di SMA, jurusan di SMA, dan
hipotesis penelitian. Bab III membahas tentang metodologi penelitian, yang terdiri
atas jenis penelitian, populasi dan sampel, instrumen penelitian, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV membahas tentang hasil
penelitian dan pembahasan yang berisi deskripsi data, analisis data, pengujian
hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian. Terakhir bab IV membahas
kesimpulan yang berisi kesimpulan hasil penelitian, implikasi hasil penelitian, dan
BAB II LANDASAN TEORI
Di dalam bab ini, diuraikan landasan teori yang akan digunakan untuk
memecahkan masalah dalam penelitian ini. Pembahasan tentang landasan teori
terdiri dari tiga bagian, yaitu penelitian terdahulu yang relevan, kerangka teori,
pembelajaran sastra di SMA, jurusan di SMA dan hipotesis penelitian.
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dapat menunjukkan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sekarang ini masih relevan. Penelitian itu
adalah penelitian yang dilakukan oleh Nugraeni (2008), Nursantosa (2009) dan
Yuwitisari (2003). Berikut ini akan diuraikan mengenai topik yang diangkat untuk
penelitian, tujuan penelitian, populasi penelitian, metode pengumpulan data, dan
hasil yang didapat.
Pertama, skripsi berjudul “Perbedaan Kemampuan Siswa Kelas XI SMA
Stella Duce 2 Yogyakarta Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dalam Menganalisis
Teks Drama “Arloji” Karya P. Hariyanto” yang bertujuan untuk mendeskripsikan
tingkat kemampuan Menganalisis Teks Drama “Arloji” Karya P. Hariyanto Siswa
Kelas XI SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Populasi
penelitian ini adalah siswa kelas XI Stella Duce 2 Yogyakarta Jurusan IPA, IPS,
dan Bahasa yang berjumlah 113 siswa. Seluruh populasi digunakan sebagai
subjek penelitian. Instrumen yang digunakan adalah tes esai dan hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam menganalisis teks drama “
Arloji” karya P. Hariyanto untuk jurusan IPA berkategori baik, jurusan IPS
berkategori cukup, dan jurusan Bahasa berkategori baik.
Kedua, skripsi berjudul “Perbedaan Kemampuan Siswa Kelas XI Program
IPA dan Program IPS SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan Tahun Ajaran
2008/2009 dalam Mengapresiasi Aspek Isi Film Cerita Pendek “Selembar Kertas
di Persimpangan” Produksi Anak Wayang Indonesia Tahun 2002” yang bertujuan
untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa Kelas XI Program IPA dan Program
IPS SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan dalam Mengapresiasi Aspek Isi Film
Cerita Pendek dan mengetahui seberapa tinggi perbedaan kemampuan antara
kedua program tersebut. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI
SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan yang terdiri atas 83 siswa program IPA
dan 58 siswa program IPS. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel 50
siswa program IPA dan 50 siswa program IPS. Instrumen yang digunakan adalah
tes esai dan tes obyektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
kemampuan dalam mengapresiasi aspek isi film cerita pendek “Selembar Kertas
di Persimpangan” untuk jurusan IPA berkategori cukup, dan jurusan IPS
berkategori sedang sehingga diketahui adanya perbedaan kemampuan antara
siswa program IPA dan program IPS.
Ketiga, skripsi dengan judul “Kemampuan Siswa Kelas I SMU Stella Duce
2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2002/2003 dalam Mengapresiasi Dua Cerpen Karya
Seno Gumira Ajidarma dan Kepekaan Siswa Kelas I SMU Stella Duce 2
Seno Gumira Ajidarma” yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa
kelas I SMU Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2002/2003 dalam
mengapresiasi dua cerpen Karya Seno Gumira Ajidarma dan kepekaan siswa
kelas I SMU Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2002/2003 dalam
mengapresiasi dua cerpen karya Seno Gumira Ajidarma terhadap situasi sosial
yang terjadi dalam masyarakat. Dalam penelitiannya peneliti menggunakan tes
bentuk obyektif dengan empat alternatif jawaban. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemampuan siswa kelas I SMU Stella Duce 2 Yogyakarta dalam
mengapresiasi cerpen masuk dalam kategori cukup, sedangkan kepekaan siswa
terhadap situasi sosial yang terjadi dalam masyarakat juga termasuk dalam
kategori cukup.
Relevansi penelitian dengan penelitian terdahulu adalah pertama,
sama-sama bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam hal menganalisis karya
sastra. Kedua, sama-sama ingin menemukan perbedaan kemampuan antar dua
kelompok siswa yang berbeda program dalam menganalisis karya sastra. Dari
penelitian terdahulu tersebut peneliti mendapat inspirasi untuk melakukan
penelitian yang sama dibidang sastra yaitu dengan mengukur kemampuan
menganalisis unsur-unsur instrinsik cerpen namun dengan obyek yang berbeda
yaitu siswa kelas XII jurusan Bahasa dan jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo
dan berusaha membandingkan kemampuan antara siswa jurusan Bahasa dan
2.2 Kerangka Teori
Pembahasan tentang kerangka teori diuraikan atas tiga bagian, yaitu kata
menganalisis, pengertian cerpen, dan unsur-unsur instrinsik cerpen.
2.2.1 Kata Menganalisis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “menganalisis” berasal
dari kata “analisis” yang berarti penyelidikan terhadap terhadap suatu peristiwa,
karangan, perbuatan dan sebagainya untuk mengetahui keadaan sebenarnya,
(sebab musabab, duduk perkara, dsb) sedangkan dalam taksonomi Bloom
“menganalisis” termasuk kedalam kegiatan belajar ranah kognitif. Menurut Bloom
melalui Nurgiyantoro (2001: 24), dalam penilaian ranah kognitif terdiri atas enam
tingkatan yang disusun dari tingkatan yang lebih sederhana ke yang lebih
kompleks, dari aspek kognitif yang hanya menuntut aktivitas intelektual
sederhana ke yang menuntut aktivitas intelektual tingkat tinggi. Keenam tingkatan
yang dimaksud adalah tingkat ingatan (C1), tingkat pemahaman (C2), tingkat
penerapan (C3), tingkat analisis (C4), tingkat sintesis (C5), dan yang paling tinggi
tingkat evaluasi (C6). Hasil belajar kognitif ini dapat diukur dengan
mempergunakan berbagai bentuk tes obyektif ataupun esai, secara lisan ataupun
tertulis yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam proses pengajaran (tes
formatif) atau pada akhir pengajaran (tes sumatif).
Dari keenam tingkatan ranah kognitif di atas, kegiatan menganalisis
termasuk ke dalam tingkatan kognitif keempat, yaitu tingkat analisis. Menurut
Nurgiyantoro (2001: 335-336) pada tingkat analisis, khususnya analisis kesastraan
diharapkan mampu melakukan analisis yang disertai sikap kritis agar dapat
memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan. Sehingga dalam
tingkat analisis, kata-kata kerja operasional (action verb) yang dapat digunakan
untuk menyarankan aktivitas belajar yang dapat dilakukan siswa, diantaranya:
memerinci, mendiagramkan, membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasikan,
menyimpulkan, menghubungkan, menunjukkan, memilih, memisahkan, dan
membagi.
2.2.2 Pengertian Cerpen
Menurut Edgar Allan Poe melalui Nurgiyantoro (1995: 10), cerpen adalah
sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara
setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk
membaca sebuah novel. Sedangkan menurut Sumardjo dan Saini (1986: 37),
cerpen merupakan cerita yang berbentuk prosa fiksi yang relatif pendek, tidak
sepanjang novel, panjangnya hanya tiga sampai empat halaman, dapat selesai
dibaca dalam waktu setengah sampai dua jam, namun mengandung makna yang
dalam, bersifat rekaan, dan bersifat naratif atau penceritaan. Karena bentuknya
yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada
detil-detil khusus yang kurang penting, yang lenih bersifat memperpanjang cerita.
Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih
banyak, jadi secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.
Sumardjo dan Saini (1986: 36-37), menyebutkan tiga ciri yang mendasar
dan (3) bersifat naratif atau cerita rekaan. Hal yang membedakan antara cerpen
dengan cerita fiksi yang lain menurut Nurgiyantoro (1995: 12-16) adalah
penampilan intensitas unsur intrinsik. Dalam hal penokohan, tokoh-tokoh dalam
cerpen lebih terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri
tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan sehingga pembaca harus
merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh itu. Dalam hal
latar, cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang keadaan latar, misalnya
yang menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan
pelukisan secara garis besar saja, asal telah mampu memberikan suasana tertentu
yang dimaksudkan. Dalam hal plot, plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya
terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai peristiwa berakhir. Urutan
peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah
meningkat, tidak harus bermula pada tahap pengenalan tokoh atau latar. Dalam
hal tema, karena ceritanya pendek, cerpen hanya berisi satu tema. Hal itu
berkaitan dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas. Dalam
hal kepaduan, cerpen yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan, unity
artinya, segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema
utama. Penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang berbentuk plot,
walau tidak bersifat kronologis namun harus tetap berkaitan secara logika.
Jadi secara umum pengertian cerpen dapat disimpulkan sebagai cerita fiksi
yang relatif pendek, hanya ada satu peristiwa, dan hanya menimbulkan satu efek
2.2.3 Usur-unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik adalah unsur utama pembangun cerpen. Unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik tersebut
meliputi: tokoh dan penokohan, alur, latar, tema, sudut pandang, serta gaya bahasa
yang digunakan pengarang. Dalam kegiatan menganalisis unsur-unsur intrinsik
cerpen seorang pembaca untuk dapat memahami karya sastra secara lebih
mendalam haruslah secara urut dipahami terlebih dahulu tokoh dan penokohan
(perwatakan), alur peristiwa, dan latar sebelum ia menafsirkan suatu tema. Hal ini
disebabkan tema pada umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit, tema
bersembunyi dibalik cerita sehingga penafsirannya haruslah dilakukan
berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu
(Nurgiyantoro, 2007: 85). Berikut uraian satu per satu secara urut unsur-unsur
intrinsik cerpen.
a. Tokoh dan Penokohan
Tokoh menurut Wiyatmi (2006: 30) adalah para pelaku yang terdapat
dalam sebuah fiksi. Tokoh menurut Sudjiman (1988: 16) merupakan individu
rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam
cerita. Sedangkan, tokoh menurut Abram melalui Nurgiyantoro (1995: 165)
adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
Sedangkan, penokohan menurut Abram adalah sikap, ketertarikan, keinginan,
emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut.
Tokoh jika dilihat dari perannya dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama
dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran pimpinan
(Sudjiman, 1992: 61), atau tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya
sastra cerita pendek yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995: 176). Tokoh ini
selalu muncul di dalam setiap cerita. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh
bawahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam keseluruhan cerita lebih
sedikit, ia hadir apabila ada kaitannya dengan tokoh utama baik secara langsung
maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 1995: 177).
Tokoh deilihat dari fungsi penampilannya, dapat dibedakan ke dalam
tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Altenbernd dan Lewis melalui
Nurgiyantoro, (1995: 178-179) mengatakan tokoh protagonis adalah tokoh yang
kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero. Hero yakni
tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal
bagi kita, sedangkan tokoh antagonis menurutnya adalah tokoh yang
menyebabkan timbulnya konflik.
Tokoh berdasarkan perwatakannya, cerita dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu simple (flat character) yang biasanya disebut dengan tokoh sederhana, dan
complex (round character) yang biasa disebut dengan istilah tokoh bulat. Tokoh
sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualiotas pribadi tertentu, satu
sifat ataupun satu watak. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan
dirinya. Ia dapat memiliki watak dan tigkah laku yang bermacam-macam,
sehingga sulit dideskripsikan secara tepat (Forster melalui Nurgiyantoro, 1995:
181-184).
Tokoh berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, dapat
dibedakan menjadi tokoh statis (tokoh berkembang) atau satatic character dan
tokoh berkembang atau developing character. Tokoh statis adalah tokoh cerita
yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan
sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh
berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan
(Altenbernd dan Lewis via Nurgiyantoro, (1995: 188).
Tokoh berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap
sekelompok manusia dari kehidupan nyata, dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal
dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit itampilkan
keadaan individualitasnya, dan hanya lebih ditinjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya, sedangkan tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi
demi cerita itu sendiri. Ia hadir semata-mata hanya demi cerita, dan bahkan
sebenarnya dialah yang empunya cerita, pelaku cerita dan yang diceritakan
(Altenbernd dan Lewis via Nurgiyantoro, (1995: 190-191). Walaupun tokoh dapat
dilihat dari berbagai segi, ia haruslah seorang tokoh yang hidup secara wajar,
sewajar kehidupan manusia yang memiliki pikiran dan perasaan. Hal itu
disebabkan tokoh menempati posisi yang strategis sebagi pembawa dan
kepada pembaca. Karena pentingnya, maka tokoh perlu digambarkan ciri-ciri
lahirnya serta sikap batinnya, agar pembaca juga mengenal watak tokoh.
Penyajian dan watak tokoh inilah yang disebut dengan penokohan. Ada beberapa
metode penokohan, yaitu: 1) metode langsung atau analitis, yaitu pengarang
langsung mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya; 2)
metode tak langsung atau dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari
pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga
tampilan fisik, serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh; 3) metode
kontekstual, yaitu watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan
pengarang mengacu pada sang tokoh (Sudjiman, 1992: 23).
b. Alur
1) Pengertian Alur atau Plot
Alur atau plot merupakan unsur yang penting, bahkan tak sedikit orang
yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur yang lain.
Hal itu cukup beralasan sebab kejelasan plot, kejelasan tentang kaitan
antarperistiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman
kita terhadap cerita yang ditampilkan pengarang. Menurut Luxemburg melalui
Wiyatmi (2006: 49), alur merupakan deretan peristiwa dalam hubungan logik dan
kronolik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau yang dialami oleh para
pelaku. Sedangkan menurut Sumardjo (1984: 55) alur didefinisikan sebagai dasar
atau alasan yang menyebabkan terjadinya perkembangan peristiwa dalam sebuah
dikemukan oleh para tokoh. Berikut ini beberapa pengertian alur atau plot dari
beberapa tokoh yang dikutip Nurgiyantoro:
Stanton (1965: 14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Kenny (1996: 14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-pristiwa yang ditampilkan
dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun
peristiwa-pristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Jauh sebelumnya, seperti ditunjukkan
di atas, Forster juga telah mengemukakan hal yang senada. Plot, menurut Forster
(1970 (1927): 93) adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan
pada adanya hubungan kausalitas.
2) Tahapan Plot
Plot sebuah cerita tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik
dikemukan secara eksplisit maupun implisit. Menurut Nurgiyantoro (1995:
142-146), secara teoritis plot dapat diurutkan kedalam tahap-tahap tertentu secara
kronologis. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut.
a) Tahap Awal.
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan.
Tahap perkenalan umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan
dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap ini
misalnya, berupa penunjukkan latar, pengenalan tokoh, deskripsi fisik tokoh, dll.
Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan
b) Tahap Tengah
Tahap tengah cerita juga disebut tahap pertikaian, menampilkan
pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya,
menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Bagian tengah cerita
merupakan bagian terpanjang, terpenting, dan merupakan klimaks dari karya fiksi
yang bersangkutan. Pada bagian inilah inti cerita disajikan oleh pengarang.
c) Tahap Akhir
Tahap akhir sebuah cerita atau disebut tahap peleraian, menampilkan
adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan
cerita atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Nurgiyantoro
(1995: 148), juga mengemukakan bahwa penyelesaian sebuah cerita dapat
dikategorikan ke dalam dua golongan, yaitu penyelesaian tertutup dan
penyelesaian terbuka. Penyelesaian yang bersifat tertutup jika keadaan akhir
sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan
tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Sedangkan penyelesaian yang bersifat
terbuka jika menunjuk pada keadaan akhir cerita yang sebenarnya masih belum
berakhir. Berdasarkan tuntutan dan logika cerita, cerita masih potensial untuk
dilanjutkan, konflik belum sepenuhnya diselesaikan. Tokoh-tokoh belum
semuanya ditentukan nasibnya sesuai peran yang diembannya.
Pentahapan plot yang lain juga dikemukan oleh Tasrif melalui
Nurgiyantoro (1995: 149-150). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh
cerita. Tahap ini juga merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi
awal, dll.
(2) Tahap Generating Circumstances: Tahap pemunculan Konflik.
Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu
sendiri akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
(3) Tahap Rising Action: Tahap Peningkatan Konflik
Pada tahap ini konflik yang telah muncul pada tahap sebelumnya semakin
berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik
yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan.
(4) Tahap Climax: Tahap Klimaks
Merupakan tahap dimana konflik atau pertentangan yang terjadi, yang
diakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas
puncak.
(5) Tahap Denouement: Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian.
Ketegangan-ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik lain diberi jalan keluar, dan
cerita diakhiri.
1) Pembedaan Plot atau Alur
Menurut Nurgiyantoro (1995: 153-163), plot dapat dikategorikan ke dalam
beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan. Pembedaan plot
a)Berdasarkan Kriteria Urutan waktu
Urutan waktu, dalam hal ini berkaitan dengan logika cerita. Dengan
mendasari pada logika cerita pembaca akan dapat menentukan peristiwa mana
yang terjadi lebih dahulu dan mana yang terjadi berikutnya, terlepas dari
penempatannya yang mungkin berada di awal, tengah, atau pada akhir teks. Dari
sinilah secara teoritis plot dibagi ke dalam dua kategiri plot kronologis (plot lurus,
maju, progresif) dan plot tak kronologis (plot sorot balik, mundur, flash-back,
disebut juga regresif).
Dikatakan plot lurus, jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat
kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa
kemudian atau berikutnya. Plot sorot balik atau flash back merupakan plot yang
urutan kejadiannya dikisahkan secar tidak kronologis, cerita tidak dimulai dari
awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru
kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Dalam sebuah karya tidak semuanya
secara mutlak berplot lurus atau sebaliknya berplot sorot balik. Secara garis besar
suatu karya mungkin progeresif tetapi didalamnya betapapun kadar kejadiannya,
sering terdapat adegan sorot balik. Plot yang semacam ini biasanya disebut
dengan plot campuran.
b) Berdasarkan Kritera Jumlah
Kriteria jumlah dimakudkan sebagai banyaknya plot cerita yang terdapat
dalam sebuah karya fiksi. Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah dibagi
menjadi dua, yaitu plot tunggal dan plotsub-subplot. Plot tunggal jika dalam
sebagai hero. Cerita pada umumnya hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh
tersebut, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya sedangkan
disebut plot sub-subplot, jika dalam sebuah karya fiksi memiliki lebih dari satu
alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang
dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
c). Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Kriteria kepadatan dimaksudkan sebagai padat tidaknya pengembangan
dan perkembangan cerita pada sebuah karya fiksi. Berdasarkan kriteria kepadatan
plot dapat dibedakan menjadi plot padat dan plot longgar. Plot padat terjadi jika
cerita disajikan secara cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat, dan
pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus menerus mengikutinya. Dalam
plot ini, antara peristiwa yang satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan atau
dihilangkan salah satunya. Cerita yang berplot longgar terjadi jika, pergantian
peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat dan hubungan antar
peristiwa tidak erat. Artinya, antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain
diselai oleh berbagai peristiwa tambahan.
d). Berdasarkan Kriteria Isi
Kriteria isi dimaksudkan sebagai sesuatu, masalah, kecenderungan
masalah, yang diungkapkan dalam cerita. Friedman via Nurgiyantoro (1995:
162-163) membedakan plot ke dalam tiga golongan, yaitu plot peruntungan, plot
tokohan, dan plot pemikiran.
Plot Peruntungan. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang
bersangkutan. Friedman membagi plot peruntungan menjadi: 1) plot gerak, 2) plot
sedih, 3) plot tragis, 4) plot penghukuman, 5) plot sentimential, dan 6) plot
kekaguman.
Plot Tokohan. Plot tokohan lebih menyoroti keadaan tokoh daripada
kejadian-kejadian yang ada atau berurusan dengan pemplotan. Friedman membagi
plot tokohan menjadi: 1) plot pendewasaan, 2) plot pembentukan, 3) plot
pengujian, dan 4) plot kemunduran.
Plot Pemikiran. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi
bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dan hal-hal lain
yang menjadi masalah hidup dalam kehidupan manusia. Friedman membagi plot
pemikiran menjadi: 1) plot pendidikan, 2) plot pembukaan rahasia, 3) plot afektif,
dan 4) plot kekecewaan.
c. Latar
Latar atau setting merupakan tempat, waktu, dan lingkungan terjadinya
peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan
jelas. Latar merupakan tempat dan masa terjadinya peristiwa (Sumardjo, 1984:
58). Menurut Sudjiman (1988: 44), latar merupakan segala keterangan, petunjuk,
pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa
dalam suatu karya sastra. Abram via Nurgiyantoro (1995: 216), juga
mendefinisikan latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita)
sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca
secara faktual jika membaca cerita fiksi.
Berkaitan dengan latar, berkaitan dengan latar fisik, latar spiritual, latar
sosial, latar netral, dan latar tipikal. Latar fisik adalah segala keterangan atau
keadaan mengenai lokasi atau tempat tertentu (nama kota, desa, jalan, hotel,
kamar) dan berkenaan dengan waktu (abad, tahun, tanggal, pagi, siang, saat bulan
purnama, ketika hujan deras). Latar spiritual adalah segala keterangan atau
keadaan mengenai tata cara, adat istiadat, kepercayaan, nilai-nilai yang
melingkupi kehadiranya bersama dengan latar fisik, berusaha memperkuat
kehadiran latar fisik tersebut. Latar sosial (keterangan atau keadaan yang
berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial (kebiasaan hidup, tradisi,
kepercayaan) termasuk didalam pengertian latar spiritual. Latar netral adalah latar
yang tidak memiliki sifat khas yang menonjol. Latar semacam ini cenderung
bersifat umum yang dapat berlaku pada suatu waktu dan tempat dimana saja,
sedangkan latar tipikal adalah latar yang menonjolkan sifat khas. Latar jenis ini
cenderung bersifat khusus, berlaku pada suatu waktu dan tempat dimana saja
(Hariyanto, 2000:42).
Berbeda dengan pendapat Nurgiyantoro (1995: 227-233), ia membedakan
latar kedalam tiga unsur pokok, yautu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama jelas yang dapat dijumpai
dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarata, dll.
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” itu
biasanya dihubungkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi
pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba
masuk kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati,
cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita
yang bersangkutan.
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat
mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa;
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir,
bersikap, dll.
d. Tema
Tema adalah gagasan dasar yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan menyangkut
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1988: 142).
Sumardjo dan Saini (1986: 56), mengatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita.
Sudjiman (1988: 39) mengatakan hal yang sama bahwa tema merupakan gagasan
yang mendasari sebuah cerita. Harymawan melalui Wiyatmi (2006: 49) juga
sedangkan menurut Stanton dan Kenny melalui Nurgiyantoro (1995: 67), tema
didefinisikan sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema menjadi
dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian
cerita itu. Tema sebagai makna pokok karya fiksi tidak disembunyikan karena
justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa tema adalah gagasan dasar yang mendasari sebuah cerita.
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda
tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Menurut Nurgiyantoro (1995: 77-84)
pengkategorian tema dapat digolongkan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu
penggolongan dikhatomis yang bersifat tradisional dan nontradisional,
penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan
penggolongan dari tingkat keutamaannya. Berikut ini uraian mengenai
macam-macam tema menurut Nurgiyantoro:
1) Tema tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema
yan hanya itu-itu saja atau telah lama digunakan dan dapat ditemukan dalam
berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema yang dapat dipandang bersifat
tradisional misalnya, berbunyi: a) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan,
b) tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga, c) tindak
kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya, d) kawan sejati
pasti kawan dikala duka, dll. Nurgiyantoro (1995: 78) berpendapat bahwa:
Pada umumnya tema-tema tradional merupakan tema yang digemari orang
dasarnya setiap orang cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang
sebaliknya, (bahkan mungkin) termasuk orang yang sebenarnya tak baik
sekalipun. Hal ini terlihat misalnya, pada cerita pewayangan, Mahabarata dan
Ramayana, yang amat digemari orang sejak zaman dahulu.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya sastra mungkin
mengangkat sesuatu yang tidak lazim atau sesuatu yang bersifat nontradisional.
Karena sifatnya yang nontradisional, tema ini mungkin tidak sesuai dengan
harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, mengecewakan, bahkan
mengesalkan. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang
mengharapkan yang baik, yang jujur atau tokoh protagonis, akhirnya mengalami
kemenangan atau kejayaan. Sebaliknya, dalam tema ini justru tokoh baik yang
dikalahkan tokoh jahat, pembaca mungkin akan menggugat cerita tersebut
padahal, dalam realitas kehidupan hal tersebut banyak terjadi.
2) Tingkatan Tema Menurut Shipley
Menurut Shipley via Nurgiyantoro (1995: 80-82) tema dibedakan kedalam
lima tingkatan. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul.
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyarankan atau ditunjukkan
pada banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan pada
mobilitas fisik daripada kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as
mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktifitas yang hanya dilakukan oleh
makhluk hidup. Berbagai persoalan seksualitas manusia mendapat penekanan
dalam sastra dengan tema ini, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang,
misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri.
Ketiga, tema sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious.
Kehidupan masyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia
dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan,
dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as
individualism. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun
mempunyai banyak permasalahan dan konflik, antara lain berupa masalah
egoistis, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang
umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang
belum tentu setiap manusia mengalami atau mencapainya. Masalah yang
menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan pencipta,
masalah regiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti
pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
3) Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema atau makna cerita dalam sebuah karya fiksi, dapat lebih dari satu
interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya untuk menentukan
dalam sebuah cerita. Tema pokok atau tema utama merupakan makna pokok
cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Makna pokok cerita
tersirat dalam sebagian besar cerita bukan makna yang hanya terdapat dalam
bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian
tertentu cerita dapat diindentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan.
Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan,
atau tema minor.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view memasalahkan siapa yang bercerita
(Wiyatmi, 2006: 40). Sudut pandang biasa disebut dengan bagaimana cara
pengarang menempatkan dirinya dalam sebuah karya fiksinya. Abram dalam
Nurgiyantoro (1995: 248), mendefinisikan sudut pandang sebagai cara dan atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,
teknik siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya. Definisi yang hampir sama juga disampaikan Booth dalam
Nurgiyantoro (19995: 249), ia mendefinisikan sudut pandang sebagai teknik yang
dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna
artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
Menurut Nurgiyantoro (19995: 256-264), berdasarkan pembedaan yang
pandang persona ketiga “dia” third-person atau, sudut pandang persona pertama
“aku” atau first-person dan sudut pandang campuran. Dalam sudut pandang
persona ketiga, pengarang menyebutkan sang tokoh dengan menyebut nama, atau
kata ganti; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap
atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan
mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang dibicarakan dan
tokoh mana yang bertindak. Sudat pandang persona ketiga “dia” dapat dibedakan
menjadi dua golongan berdasarkan tingkat kebebebasan dan keterikatan
pengarang terhadap bahan ceritanya. Dua golongan tersebut adalah “dia”
mahatahu dan “dia” terbatas. Bersifat mahatahu jika pengarang, narator, dapat
bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, ia
bebas bergerak dari “dia” yang satu ke “dia” yang lain, sedangkan bersifat terbatas
jika pengarang memiliki keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang
diceritakan.
Dalam sudut pandang persona pertama, pengarang atau narrator adalah
seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah,
mengisahkan dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui,
didengar, dilihat, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada
pembaca. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan kedalam dua golongan
berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita. “aku” mungkin
menduduki tokoh utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki
tokoh tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi,
sudut pandang dimana pengarang dalam pengisahan tokoh dengan menggunakan
sudut pangang persona ketiga “dia” dan sudut pandang persona pertama “aku”
secara bergantian.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
merupakan cara seorang pengarang dalam menggambarkan tokoh-tokohnya agar
pembaca mengenali, mengerti, dan memahami setiap tindakan yang dilakukan
oleh tokoh yang diceritakannya.
f. Gaya Bahasa
Gaya (gaya bahasa) adalah cara pengungkapan seorang yang khas bagi
seorang pengarang (Wiyatmi, 2006: 42). Cara bagaimana pengarang memilih
tema, persoalan dan menceritakannya di dalam sebuah cerpen. Dengan kata lain,
gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri (Sumardjo dan Saini, 1995: 92),
sedangkan Abram dalam Nurgiyantoro (1995: 276) gaya bahasa disamakan
dengan style yang merupakan cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.
Gaya bahasa ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur
kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dll.
Gaya bahasa pada hakikatnya adalah pemilihan ungkapan kebahasaan
yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri
dilain pihak merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada
bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya
dalam karya sastra, biasanya sangat dipengaruhi oleh kepribadian pengarang itu
sendiri (Rahmanto, 1988: 74).
Gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah apakah bahasa yang
digunakan pengarang mudah dipahami, kata-kata tidak berbelit-belit, mudah
dimengerti oleh pembaca atau justru sebaliknya.
2.3 Pembelajaran Sastra di SMA
Pembelajaran sastra khususnya yang membahas tentang unsur-unsur
instrinsik cerpen dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
sebenarnya sudah diajarkan pada kelas X semester 1 namun diperdalam lagi
dikelas XII semester 2. Adapun tujuan dari pembelajaran sastra di SMA menurut
Nurgiantoro (2001: 321) adalah untuk mewujudkan kemampuan siswa dalam
mengapresiasi sastra secara lebih memadai. Sedangkan Rahmanto (1988: 15)
mengatakan, jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka
pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan
masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.
Hal ini disebabkan karena sastra memiliki relevansi dengan masalah di dunia
nyata, sehingga agar tujuan pembelajaran sastra ini dapat tercapai dengan baik,
Rahmanto (1988: 26-31) menyarankan beberapa prinsip penting yang harus
dipenuhi dalam pengajaran sastra. Prinsip penting tersebut, adalah bahan
pengajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan
siswanya pada suatu tahapan pengajaran tertentu. Oleh karena itu, pemilihan
bahasa, aspek psikologi, dan aspek latar belakang budaya. Berikut akan disajikan
singkat ketiga aspek tersebut.
1. Bahasa
Penguasaan suatu bahasa tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap
yang sangat jelas pada setiap individu, sedangkan perkembangan karya sastra
melalui tahap-tahap yang meliputi banyak aspek kebahasaan, misalnya cara
penulisan yang digunakan pengarang, ciri-ciri karya itu pada waktu penulisan
karya, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Oleh karena itu,
agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan
ketrampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang bahasanya sesuai
dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya.
2. Psikologi
Perkembangan psikologis mulai dari anak-anak hingga dewasa tentu
melewati tahap-tahap tertentu yang cukup jelas untuk dipelajari. Dalam memilih
bahan pengajaran sastra, tahap-tahap psikologis ini hendaknya diperhatikan
karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan
anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis juga sangat
berpengaruh pada daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja
sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang
dihadapi.
3. Latar Belakang Budaya
Sastra berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan manusia dan alam