• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERPEN BERJUDUL “KATURANGGAN” KARYA SLAMET NURZAENI ANTARA SISWA KELAS XII JURUSAN IPA DAN SISWA KELAS XII JURUSAN BAHASA SMA BRUDERAN PURWOREJO TAHUN AJARAN 20102011 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERPEN BERJUDUL “KATURANGGAN” KARYA SLAMET NURZAENI ANTARA SISWA KELAS XII JURUSAN IPA DAN SISWA KELAS XII JURUSAN BAHASA SMA BRUDERAN PURWOREJO TAHUN AJARAN 20102011 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi S"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

INTRINSIK CERPEN BERJUDUL “KATURANGGAN” KARYA SLAMET NURZAENI ANTARA SISWA KELAS XII JURUSAN IPA DAN

SISWA KELAS XII JURUSAN BAHASA SMA BRUDERAN PURWOREJO TAHUN AJARAN 2010/2011

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra, Indonesia, dan Daerah

Disusun oleh:

Agustina Puji Lestari 061224054

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(2)

i   

INTRINSIK CERPEN BERJUDUL “KATURANGGAN” KARYA SLAMET NURZAENI ANTARA SISWA KELAS XII JURUSAN IPA DAN

SISWA KELAS XII JURUSAN BAHASA SMA BRUDERAN PURWOREJO TAHUN AJARAN 2010/2011

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra, Indonesia, dan Daerah

Disusun oleh:

Agustina Puji Lestari 061224054

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(3)
(4)
(5)

iv   

(6)

v   

Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia

sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan

Allah kepada barang siapa yang mengasihi Dia (Yak. 1: 12)

Allah itu perlindungan dan kekuatan kita, pertolongan-Nya terbukti dalam

kesesakan kita (Mz. 46: 1)

Serahkanlah segala kekhuatiranmu kepada-Nya sebab ia yang memelihara

(7)

vi   

Skripsi sederhana ini, aku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, atas segala kasih, kemurahan, dan karunianya yang tak ternilai.

Kedua orang tuaku, Bapak Ign. Sarjan dan Ibu MM. Mariah, atas segala doa, semangat, bimbingan, dan kasih sayang yang selalu engkau berikan padaku.

Mas Ferry Agung Prabowo, yang selalu mendoakan, mendampingi, membantu, membimbing, dan memberiku semangat.

Kakakku dan adik-adikku yang selalu mendoakan dan memberiku semangat.

(8)

vii   

Puji Lestari, Agustina. 2010. Perbedaan Kemampuan Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara Siswa Kelas XII Jurusan IPA dan Siswa Kelas XII JurusanBahasa SMA Bruderan Purworejo Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi. Program Sarjana (S-1). Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Kedua, mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XI jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Ketiga, mendeskripsikan perbedaan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa kelas XII jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011.

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini mengambil seluruh jumlah populasi, yaitu siswa kelas XII jurusan IPA berjumlah 21 siswa dan siswa jurusan Bahasa berjumlah 22 siswa sehingga keseluruhan sampelnya 43 siswa. Dalam penelitian ini karena terdapat 7 siswa yang tidak hadir maka populasi berkurang menjadi 36 siswa. Data siswa dari jurusan IPA berjumlah 19 dan data siswa dari jurusan Bahasa berjumlah 17.

Teknik analisis data yang dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata siswa (mean), menghitung simpangan baku, mengkonfirmasikan kedalam skala seratus, dan melakukan uji-t. Nilai rata-rata digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa kelas XII jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Uji-t dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa kelas XII jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011.

(9)

viii   

(10)

ix   

Puji Lestari, Agustina. 2010. Differences of Ability to Analyze Intrinsic Elements of Short Story Entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the Twelfth Science Study Program Grade and the Students of the Twelfth Language Study Program Grade Bruderan Purworejo Senior High School in the Academic Year 2010/2011. Thesis. Undergraduate (S-1) Program. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, Sanata Dharma University.

The research has three objectives. The first, to describe the student’s ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni of the twelfth Science Study Program grade, Bruderan Senior High School in the academic year 2010/2011. The second, to describe the student’s ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Senior High School in the academic year 2010/2011. The third, to describe the differences of ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011.

The research is a quantitative descriptive research. The sample of this research is taken from all of the entire population, they are the students of the twelfth Science Study Program grade totaling 21 students and the students majoring the twelfth Language Study Program grade totaling 22 students so that the overall sample of the population totaling 43 students. In this research 7 students were absent therefore the population is reduced and totaling 36 students. Data from the students of the twelfth Science Study Program grade totaling 19 students and data from the students of the twelfth Language Study Program grade totaling 17 students.

The data analysis technique by calculating the average value of the students (mean), calculating the standard deviation, confirming the data into a hundred scale, and perform t-test. Average value is used to know the students’ skill in analyzing the intrinsic elements of short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011. T-test conducted to determine the differences of ability to analyze short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011.

(11)

x   

Bruderan Purworejo Senior High School in the academic year 2010/2011 is in the medium degree in analyzing the intrinsic elements of short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni. The third, the ability in analyzing the intrinsic elements of short story entitled “Katuranggan” by Slamet Nurzaeni between the students of the twelfth Science Study Program grade and the students of the twelfth Language Study Program grade, Bruderan Purworejo Senior High School in the Academic Year 2010/2011, the class of Science Study Program is higher than the class of Language Study Program.

(12)
(13)

xii   

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Perbedaan Kemampuan Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Berjudul

“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara Siswa Kelas XII Jurusan IPA dan

Siswa Kelas XII Jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo Tahun Ajaran

2010/2011. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, mengucapakan terimakasih kepada:

1. Dr. B. Widharyanto, M. Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini. 2. Drs. G. Sukadi selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan

semangat, bimbingan, dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini. 3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M. Pd selaku Kepala Program Studi

Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

(14)

xiii   

membimbing penulis selama berproses dan belajar sebagai mahasiswa di Prodi PBSID.

6. F.X Sudadi, selaku karyawan secretariat Prodi PBSID yang telah membantu penulis dalam hal administrasi selama penyelesaian skripsi ini.

7. Drs. Waluyo, Y. B selaku kepala sekolah SMA Bruderan Purworejo yang berkenan memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Eka Prasetya, S.Pd selaku guru Bahasa Indonesia SMA Bruderan Purworejo yang telah memberikan arahan selama penelitian berlangsung.

9. Siswa-siswi SMA Bruderan Purworejo yang telah bersedia membantu dan bekerja sama selama penelitian berlangsung.

10. Kedua orang tuaku, Bapak Ign. Sarjan dan Ibu M. M. Mariah, atas segala doa, semangat, nasehat, bimbingan, dan kasih sayang yang selalu engkau berikan padaku.

11. Mas Ferry Agung Prabowo, yang selalu mendoakan, mendampingi, membantu, membimbing, dan memberiku semangat.

(15)

xiv   

Emillya Retnaningtyas yang selalu mendengarkan keluh kesahku dan memberiku semangat.

14. Kedua nenekku Mbah Mursini dan Mbah Ana Tukinah yang selalu menasehati dan mendoakan.

15. Louis Edo Kriskelana yang telah membantu dalam menerjemahkan bahasa Inggris abstrak skripsi.

16. Ester Luluk Kristiningrum yang telah membantu dalam menganalisis kesalahan ejaan.

17. Lina Setyaningsih, Hedwigis Risa Verawati, dan teman-teman PBSID angkatan 2006 yang telah memberiku motivasi dalam pengerjaan skripsiku ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 28 Februari 2011 Penulis

(16)

xv   

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...…...ii

HALAMAN PENGESAHAN………..iii

HALAMAN KEASLIAN KARYA………..iv

HALAMAN MOTO………...v

HALAMAN PERSEMBAHAN………...vi

ABSTRAK………....vii

ABSTRACT………...iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI………xi

KATA PENGANTAR………...xii

DAFTAR ISI……….……xv

DAFTAR LAMPIRAN………..…..xviii

DAFTAR TABEL………..xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang……….1

1.2Rumusan Masalah………6

1.3Tujuan Penelitian……….7

1.4Manfaat Penelitian………...7

1.5Variabel dan Batasan Masalah 1.5.1 Variabel Penelitian………...8

1.5.2 Batasan Istilah………..9

(17)

xvi   

2.1Penelitian yang Relevan……….11

2.2Kerangka Teori………..14

1. Kata Menganalisis……….14

2. Pengertian Cerpen………..15

3. Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen………...17

a. Tokoh dan Penokohan………..17

b. Alur………...20

c. Latar………...………...26

d. Latar………..28

e. Sudut pandang………..32

f. Gaya Bahasa……….34

2.3Pembelajaran Sastra di SMA……….35

2.4Jurusan di SMA……….40

2.5Hipotesis Penelitian………...44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian………...45

3.2Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian………....45

2. Sampel Penelitian………..46

3.3Instrumen Penelitian………..47

3.4Teknik Pengumpulan Data……….47

(18)

xvii   

4.2Analisis Data……….….67

4.3Pengujian Hipotesis Penelitian………...83

4.4Pembahasan Hasil Penelitian………...86

BAB V PENUTUP 5.1Kesimpulan hasil penelitian………...91

5.2Implikasi Hasil Penelitian………..92

5.3Saran-Saran………94

DAFTAR PUSTAKA………...96

(19)

xviii   

1. Surat Izin Penelitian………...99

2. Cerpen “Katuranggan”………...100

3. Sinopsis Cerpen “Katuranggan”………107

4. Instrumen Penelitian………..110

5. Kunci Jawaban Penelitian………..116

6. Tabel Nila-Nilai Kritis t……….122

7. Contoh Pekerjaan Siswa……….123

8. Surat Keterangan Penelitian………...156

9. Daftar Nilai Siswa………..157

10.Perhitungan Uji-t dengan SPSS……….159

11.Analisis Butir Soal……….162

(20)

xix   

Tabel Halaman

1.1.1 SK dan KD Kelas X ………... 3

1.1.2 SK dan KD Kelas XII ……….3

2.3.1 Struktur Kurikulum Program IPA ……… 40

2.3.2 Struktur Kurikulum Program Bahasa ………... 42

3.3.1 Kisi-Kisi Soal ………... 47

3.5.1 Aspek Penilaian Hasil Analisis Siswa ………. ….49

3.5.2 Kriteria Penilaian Hasil Analisis Siswa ………... 51

3.5.3 Perhitungan Nilai Rata-Rata Siswa………61

3.5.4 Persiapan Perhitungan Simpangan Baku dari Penyimpangan Tiap Skor Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo……….………..……....62

3.5.5 Pedoman Konversi Angka Seratus……….……....63

3.5.6 Pedoman Patokan dengan Perhitungan Presentase Skala Seratus...63

4.1.1 Populasi, Sampel, Jumlah Siswa yang Mengikuti dan tidak Mengikuti Tes………..………67

4.2.1.1 Perhitungan Nilai Rata-Rata Siswa Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo……….……….69

4.2.1.2 Persiapan Perhitungan Simpangan Baku dari Penyimpangan Tiap Skor Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo………...70

(21)

xx   

untuk nilai Hasil Tes Siswa Kelas XII Jurusan IPA...73 4.2.2.1 Perhitungan Nilai Rata-Rata Siswa Jurusan Bahasa SMA Bruderan

Purworejo ……….………75 4.2.2.2 Persiapan Perhitungan Simpangan Baku dari Penyimpangan Tiap

Skor Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo………..76 4.2.2.3 Pedoman Konversi Angka Seratus untuk Nilai Hasil Tes Siswa Kelas XII Jurusan Bahasa………...78 4.2.2.4 Pedoman Konversi Angka Seratus untuk Nilai Hasil Tes Siswa Kelas

(22)

PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, variabel dan masalah penelitian, serta

sistematika penyajian.

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan hasil seni kreatif masyarakat sehingga sastra

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Melalui karya sastra

seseorang/pengarang dapat mengungkapkan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan,

pendapat-pendapat, kesan-kesan dan keprihatinan-keprihatinannya baik yang

terjadi atas dirinya, orang lain ataupun lingkungan disekitarnya. Sastra selain

merupakan luapan pikiran dan perasaan pengarangnya juga memiliki fungsi bagi

pembacanya. Fungsi tersebut yaitu menghibur dan bermanfaat, menghibur karena

sastra dalam penyajiannya menggunakan bahasa indah, menarik dan mengandung

makna kehidupan (percintaan, kebahagian, kesedihan, kekecewaan, kemarahan,

kematian, dll). Karya sastra bermanfaat karena sastra menyampaikan pesan

tentang kebenaran, tentang segala sesuatu yang baik dan yang buruk.

Menurut ragamnya, karya sastra dibagi atas prosa, puisi, dan drama. Istilah

prosa dapat mengarah pada pengertian yang luas yaitu menyangkut berbagai karya

yang ditulis dalam bentuk prosa, karya sastra maupun non sastra (Nurgiyantoro,

melalui Hariyanto dalam Gatra, 2003: 105)). Prosa dibagi menjadi dua, yaitu

(23)

prosa asli (dongeng, hikayat, epos, parabel, cerita lucu, cerita didaktik, cerita

pelipur lara, dll) (b) prosa pengaruh Hindu, dan (c) prosa pengaruh Islam,

sedangkan prosa baru dibagi menjadi tujuh, yaitu kisah, roman/novel, biografi,

esai, kritik, dan cerita pendek (Zaidan Hendy, 1988:21). Cerpen merupakan cerita

fiksi bentuk prosa yang singkat, padat, yang unsur ceritanya terpusat pada suatu

peristiwa pokok, sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas, dan

keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal. Cerpen memiliki ciri-ciri yang

berbeda dengan novel karena cerpen memiliki bentuk yang singkat dan padat,

ceritanya berpusat pada suatu peristiwa/konflik pokok, jumlah pelaku terbatas,

dan keseluruhan cerita memberikan satu kesan tunggal tetapi walaupun memiliki

ciri-ciri yang berbeda novel dan cerpen tetap memiliki kesamaan yaitu sama-sama

merupakan cerita fiksi yang berbentuk rekaan (Jabrohim, 1994: 165).

Unsur-unsur dalam cerita fiksi (cerpen) bersifat fungsional yaitu

diciptakan pengarang untuk maksud secara keseluruhan dan maknanya ditentukan

oleh keseluruhan cerita itu (Waluyo, 1994:136). Pembaca dalam menangkap

makna dari keseluruhan cerita tersebut memerlukan suatu pemahaman yang

mendalam, apabila pembaca tidak memiliki pemahaman yang baik tentang karya

sastra ia tidak akan mampu mengambil makna yang terkandung dalam

keseluruhan cerita. Maka untuk meningkatkan pemahaman tersebut diperlukan

suatu sarana untuk membantu menganalisis karya sastra dalam hal ini cerpen.

Salah satu sarana itu adalah strukturalisme yang membicarakan karya sastra dari

segi unsur-unsur intrinsik atau unsur-unsur yang membangun dari karya sastra itu

(24)

Dalam model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang

disusun oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) untuk mata pelajaran

bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA)

pembelajaran menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen dipelajari di kelas X

semester 1 dan kelas XII semester 1, baik di jurusan Bahasa, jurusan IPS, maupun

jurusan IPA . Berikut standar kompetensi dan kompensi dasarnya.

Tabel 1.1.1

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Pembelajaran Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Kelas X, Semester 1

Standar kompetensi Kompetensi dasar Membaca

7. Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen

7.2. Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-sehari

Tabel 1.1.2

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Pembelajaran Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Kelas XII, Semester 1

Standar kompetensi Kompetensi dasar Membaca

7. Memahami wacana sastra puisi dan cerpen

7.2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen

Melihat standar kompetensi dan kompetensi dasar di atas dapat

(25)

esensi dengan hakikat belajar sastra bahwa belajar sastra adalah belajar

menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya (Depdiknas, 2003: 3).

Namun dalam prakteknya, pembelajaran sastra di sekolah khususnya di SMA

masih kurang diminati siswa, terutama yang bukan jurusan Bahasa. Hal ini

disebabkan oleh anggapan siswa bahwa belajar sastra kurang penting. Selain itu,

dipengaruhi juga oleh alokasi jumlah jam pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia yang berbeda ditiap jurusannya. Berdasarkan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, untuk jurusan Bahasa alokasi waktu pelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu sembilan (9) jam pertemuan per minggu

sedangkan untuk jurusan lain hanya empat (4) jam pertemuan per minggu. Hal ini

tentu saja menyebabkan siswa selain jurusan Bahasa kurang mengenal lebih

dalam tentang sastra.

Hal-hal di ataslah yang mendorong peneliti memilih topik kemampuan

menganalisis cerpen. Secara spesifik peneliti hendak meneliti perbedaan

kemampuan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen berjudul “Katuranggan”

karya Slamet Nurzaeni antara siswa XII jurusan IPA dengan jurusan Bahasa SMA

Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011. Penelitian ini bertujuan untuk

menemukan perbedaan kemampuan antara siswa kelas XII jurusan IPA dan siswa

kelas XII jurusan Bahasa dalam menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen

berjudul “Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni. Hal ini dimaksudkan agar

ditemukan kemampuan antara dua kelompok siswa yang berbeda jurusan, yang

nantinya diharapkan dapat membantu guru bahasa Indonesia di sekolah dalam

(26)

memanfaatkan bahan sastra cerpen yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa

ditiap programnya.

Dalam penelitian ini peneliti memilih SMA Bruderan Purworejo sebagai

obyek penelitian karena berdasarkan fakta yang ada, hanya beberapa SMA saja

yang memiliki jurusan Bahasa di sekolah, salah satunya SMA Bruderan.

Selanjutnya, alasan peneliti memilih cerpen berjudul “Katuranggan” karya Slamet

Nurzaeni sebagai cerpen yang harus dianalisis siswa dengan beberapa alasan

berikut. Menurut Lazar melalui Nugraha (2002; 156) pemilihan karya sastra

sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah hendaknya memenuhi dua syarat

berikut, yaitu (1) kesesuaian konteks bahan dengan latar belakang sosial-budaya

siswa dan (2) kesesuaian tingkat kesulitan bahan dengan tingkat pengetahuan dan

pemahaman siswa.

Kesesuaian konteks bahan dengan latar belakang sosial-budaya siswa,

memiliki maksud bahwa bahan sastra yang dipilih dekat dengan latar belakang

kehidupan siswa. Bahan yang dekat dengan kehidupan siswa akan memudahkan

siswa dalam memahami isi bahan sastra tersebut. Cerpen berjudul “Katuranggan”

karya Slamet Nurzaeni, menurut peneliti sangat dekat dengan kehidupan siswa,

khususnya siswa SMA Bruderan, Purworejo, karena berdasarkan latar tempat dan

suasana pengisahan cerita dilukiskan dalam kehidupan sosial budaya Jawa yang

notabenenya sama dengan sosial budaya siswa sebagai subyek penelitian.

Kesesuaian tingkat kesulitan bahan dengan tingkat pengetahuan dan

pemahaman siswa, memiliki maksud bahwa bahan sastra yang dipilih hendaknya

(27)

pemahaman dan pengetahuannya, siswa dapat menangkap maksud dari isi cerita.

Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menilai bahwa cerpen berjudul

“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni tidak terlalu sulit untuk dipahami siswa

karena bahasa yang digunakan dalam cerpen menggunakan bahasa Indonesia yang

mudah dimengerti dan menunjukkan latar belakang sosial yang tidak jauh berbeda

dengan sosial budaya siswa, yaitu budaya Jawa. Berdasarkan uraian di atas peniliti

mengambil judul penelitian ini yaitu Perbedaan Kemampuan Menganalisis

Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Berjudul “Katuranggan” Karya Slamet Nurzaeni

antara Siswa Kelas XII Jurusan IPA dan Siswa Kelas XII Jurusan Bahasa SMA

Bruderan Purworejo Tahun Ajaran 2010/2011.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka umusan masalah yang akan

dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Seberapa besar kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”

karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan IPA SMA Bruderan

Purworejo tahun ajaran 2010/2011?

2. Seberapa besar kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”

karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XII jurusan Bahasa Bruderan Purworejo

tahun ajaran 2010/2011?

3. Seberapa besar perbedaan tingkat kemampuan menganalisis cerpen berjudul

“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni antara siswa kelas XII jurusan Bahasa

(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka

tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”

karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XI jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo

tahun ajaran 2010/2011.

2. Mendeskripsikan kemampuan menganalisis cerpen berjudul “Katuranggan”

karya Slamet Nurzaeni siswa kelas XI jurusan Bahasa SMA Bruderan

Purworejo tahun ajaran 2010/2011.

3. Mendeskripsikan perbedaan kemampuan menganalisis cerpen berjudul

“Katuranggan” karya Slamet Nurzaeni Siswa kelas XI jurusan IPA dan

jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo tahun ajaran 2010/2011.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil penelitian ini

dapat memberi gambaran tentang kemampuan menganalisis cerpen siswanya

serta dapat menjadi masukan untuk meningkatkan kualitas belajar Bahasa

Indonesia.

2. Bagi Siswa kelas XII jurusan Bahasa dan jurusan IPA SMA Bruderan

Purworejo, hasil penelitian ini dapat memberi gambaran kemampuan mereka

(29)

3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat memberi gambaran tentang perbedaan

kemampuan menganalisis cerpen antara Siswa kelas XII jurusan IPA dengan

jurusan Bahasa SMA Bruderan Purworejo Tahun 2010/2011.

4. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

acuan untuk penelitian selanjutnya sehingga hasilnya akan lebih baik.

1.5 Variabel Penelitian dan Batasan Istilah

1.5.1 Variabel Penelitian

Variabel adalah permasalahan pokok atau obyek yang akan diteliti (Arikunto

1987:93). Berikut rumusan variabel dari penelitian ini:

a. Variabel bebas

Menurut Soewandi (2008: 18), variabel bebas merupakan variabel yang

memiliki hubungan dan mempengaruhi variabel terikat. Jadi dalam penelitian

ini, variabel bebasnya adalah jurusan IPA dan jurusan Bahasa SMA Bruderan

Purworejo.

b. Variabel terikat

Menurut Soewandi (2008: 18), variabel terikat merupakan variabel yang

dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini, variabel terikatnya

adalah perbedaan kemampuan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen

(30)

1.5.2 Batasan Istilah

Untuk menghindari adanya salah pengertian, maka perlu adanya penjelasan

terhadap beberpa istilah yang terdapat pada penelitian ini. Pengertian-pengertian

yang perlu mendapat penjelasan adalah sebagai berikut:

a. Cerpen

Menurut Sudjiman (1984: 15), cerpen adalah kisahan pendek (kurang dari

10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan.

b. Intrinsik

Menurut Sudjiman (1984: 35), instrinsik diartikan sebagai unsure dari dalam,

batiniah; merupakan sifat atau bagian dasar.

c. Katuranggan

Menurut Purwadi (2004: 189), istilah Katuranggan diartikan sebagai

tanda-tanda, lambang, ciri-ciri.

d. Perbedaan

Menurut Depdiknas (2007: 855), perbedaan diartikan sebagai perihal yang

berbeda; perihal yang membuat berbeda.

e. Kemampuan

Menurut Depdiknas (2007: 537), kemampuan diartikan sebagai kesanggupan;

kecakapan; kekuatan.

f. Menganalisis

Menurut Depdiknas (2007: 43), “menganalisis” berasal dari kata “analisis”

(31)

perbuatan dan sebagainya untuk mengetahui keadaan sebenarnya, (sebab

musabab, duduk perkara, dan dsb).

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: bab I diawali

dengan pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, rumusan variabel, batasan istilah, dan sistematika

penyajian. Bab II dibahas landasan teori, yang terdiri atas penelitian terdahulu

yang relevan, kerangka teori, pembelajaran sastra di SMA, jurusan di SMA, dan

hipotesis penelitian. Bab III membahas tentang metodologi penelitian, yang terdiri

atas jenis penelitian, populasi dan sampel, instrumen penelitian, teknik

pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV membahas tentang hasil

penelitian dan pembahasan yang berisi deskripsi data, analisis data, pengujian

hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian. Terakhir bab IV membahas

kesimpulan yang berisi kesimpulan hasil penelitian, implikasi hasil penelitian, dan

(32)

BAB II LANDASAN TEORI

Di dalam bab ini, diuraikan landasan teori yang akan digunakan untuk

memecahkan masalah dalam penelitian ini. Pembahasan tentang landasan teori

terdiri dari tiga bagian, yaitu penelitian terdahulu yang relevan, kerangka teori,

pembelajaran sastra di SMA, jurusan di SMA dan hipotesis penelitian.

2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dapat menunjukkan bahwa

penelitian yang dilakukan oleh peneliti sekarang ini masih relevan. Penelitian itu

adalah penelitian yang dilakukan oleh Nugraeni (2008), Nursantosa (2009) dan

Yuwitisari (2003). Berikut ini akan diuraikan mengenai topik yang diangkat untuk

penelitian, tujuan penelitian, populasi penelitian, metode pengumpulan data, dan

hasil yang didapat.

Pertama, skripsi berjudul “Perbedaan Kemampuan Siswa Kelas XI SMA

Stella Duce 2 Yogyakarta Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dalam Menganalisis

Teks Drama “Arloji” Karya P. Hariyanto” yang bertujuan untuk mendeskripsikan

tingkat kemampuan Menganalisis Teks Drama “Arloji” Karya P. Hariyanto Siswa

Kelas XI SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Populasi

penelitian ini adalah siswa kelas XI Stella Duce 2 Yogyakarta Jurusan IPA, IPS,

dan Bahasa yang berjumlah 113 siswa. Seluruh populasi digunakan sebagai

subjek penelitian. Instrumen yang digunakan adalah tes esai dan hasil dari

(33)

penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam menganalisis teks drama “

Arloji” karya P. Hariyanto untuk jurusan IPA berkategori baik, jurusan IPS

berkategori cukup, dan jurusan Bahasa berkategori baik.

Kedua, skripsi berjudul “Perbedaan Kemampuan Siswa Kelas XI Program

IPA dan Program IPS SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan Tahun Ajaran

2008/2009 dalam Mengapresiasi Aspek Isi Film Cerita Pendek “Selembar Kertas

di Persimpangan” Produksi Anak Wayang Indonesia Tahun 2002” yang bertujuan

untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa Kelas XI Program IPA dan Program

IPS SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan dalam Mengapresiasi Aspek Isi Film

Cerita Pendek dan mengetahui seberapa tinggi perbedaan kemampuan antara

kedua program tersebut. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI

SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan yang terdiri atas 83 siswa program IPA

dan 58 siswa program IPS. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel 50

siswa program IPA dan 50 siswa program IPS. Instrumen yang digunakan adalah

tes esai dan tes obyektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

kemampuan dalam mengapresiasi aspek isi film cerita pendek “Selembar Kertas

di Persimpangan” untuk jurusan IPA berkategori cukup, dan jurusan IPS

berkategori sedang sehingga diketahui adanya perbedaan kemampuan antara

siswa program IPA dan program IPS.

Ketiga, skripsi dengan judul “Kemampuan Siswa Kelas I SMU Stella Duce

2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2002/2003 dalam Mengapresiasi Dua Cerpen Karya

Seno Gumira Ajidarma dan Kepekaan Siswa Kelas I SMU Stella Duce 2

(34)

Seno Gumira Ajidarma” yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa

kelas I SMU Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2002/2003 dalam

mengapresiasi dua cerpen Karya Seno Gumira Ajidarma dan kepekaan siswa

kelas I SMU Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2002/2003 dalam

mengapresiasi dua cerpen karya Seno Gumira Ajidarma terhadap situasi sosial

yang terjadi dalam masyarakat. Dalam penelitiannya peneliti menggunakan tes

bentuk obyektif dengan empat alternatif jawaban. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kemampuan siswa kelas I SMU Stella Duce 2 Yogyakarta dalam

mengapresiasi cerpen masuk dalam kategori cukup, sedangkan kepekaan siswa

terhadap situasi sosial yang terjadi dalam masyarakat juga termasuk dalam

kategori cukup.

Relevansi penelitian dengan penelitian terdahulu adalah pertama,

sama-sama bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam hal menganalisis karya

sastra. Kedua, sama-sama ingin menemukan perbedaan kemampuan antar dua

kelompok siswa yang berbeda program dalam menganalisis karya sastra. Dari

penelitian terdahulu tersebut peneliti mendapat inspirasi untuk melakukan

penelitian yang sama dibidang sastra yaitu dengan mengukur kemampuan

menganalisis unsur-unsur instrinsik cerpen namun dengan obyek yang berbeda

yaitu siswa kelas XII jurusan Bahasa dan jurusan IPA SMA Bruderan Purworejo

dan berusaha membandingkan kemampuan antara siswa jurusan Bahasa dan

(35)

2.2 Kerangka Teori

Pembahasan tentang kerangka teori diuraikan atas tiga bagian, yaitu kata

menganalisis, pengertian cerpen, dan unsur-unsur instrinsik cerpen.

2.2.1 Kata Menganalisis

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “menganalisis” berasal

dari kata “analisis” yang berarti penyelidikan terhadap terhadap suatu peristiwa,

karangan, perbuatan dan sebagainya untuk mengetahui keadaan sebenarnya,

(sebab musabab, duduk perkara, dsb) sedangkan dalam taksonomi Bloom

“menganalisis” termasuk kedalam kegiatan belajar ranah kognitif. Menurut Bloom

melalui Nurgiyantoro (2001: 24), dalam penilaian ranah kognitif terdiri atas enam

tingkatan yang disusun dari tingkatan yang lebih sederhana ke yang lebih

kompleks, dari aspek kognitif yang hanya menuntut aktivitas intelektual

sederhana ke yang menuntut aktivitas intelektual tingkat tinggi. Keenam tingkatan

yang dimaksud adalah tingkat ingatan (C1), tingkat pemahaman (C2), tingkat

penerapan (C3), tingkat analisis (C4), tingkat sintesis (C5), dan yang paling tinggi

tingkat evaluasi (C6). Hasil belajar kognitif ini dapat diukur dengan

mempergunakan berbagai bentuk tes obyektif ataupun esai, secara lisan ataupun

tertulis yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam proses pengajaran (tes

formatif) atau pada akhir pengajaran (tes sumatif).

Dari keenam tingkatan ranah kognitif di atas, kegiatan menganalisis

termasuk ke dalam tingkatan kognitif keempat, yaitu tingkat analisis. Menurut

Nurgiyantoro (2001: 335-336) pada tingkat analisis, khususnya analisis kesastraan

(36)

diharapkan mampu melakukan analisis yang disertai sikap kritis agar dapat

memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan. Sehingga dalam

tingkat analisis, kata-kata kerja operasional (action verb) yang dapat digunakan

untuk menyarankan aktivitas belajar yang dapat dilakukan siswa, diantaranya:

memerinci, mendiagramkan, membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasikan,

menyimpulkan, menghubungkan, menunjukkan, memilih, memisahkan, dan

membagi.

2.2.2 Pengertian Cerpen

Menurut Edgar Allan Poe melalui Nurgiyantoro (1995: 10), cerpen adalah

sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara

setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk

membaca sebuah novel. Sedangkan menurut Sumardjo dan Saini (1986: 37),

cerpen merupakan cerita yang berbentuk prosa fiksi yang relatif pendek, tidak

sepanjang novel, panjangnya hanya tiga sampai empat halaman, dapat selesai

dibaca dalam waktu setengah sampai dua jam, namun mengandung makna yang

dalam, bersifat rekaan, dan bersifat naratif atau penceritaan. Karena bentuknya

yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada

detil-detil khusus yang kurang penting, yang lenih bersifat memperpanjang cerita.

Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih

banyak, jadi secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.

Sumardjo dan Saini (1986: 36-37), menyebutkan tiga ciri yang mendasar

(37)

dan (3) bersifat naratif atau cerita rekaan. Hal yang membedakan antara cerpen

dengan cerita fiksi yang lain menurut Nurgiyantoro (1995: 12-16) adalah

penampilan intensitas unsur intrinsik. Dalam hal penokohan, tokoh-tokoh dalam

cerpen lebih terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri

tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan sehingga pembaca harus

merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh itu. Dalam hal

latar, cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang keadaan latar, misalnya

yang menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan

pelukisan secara garis besar saja, asal telah mampu memberikan suasana tertentu

yang dimaksudkan. Dalam hal plot, plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya

terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai peristiwa berakhir. Urutan

peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah

meningkat, tidak harus bermula pada tahap pengenalan tokoh atau latar. Dalam

hal tema, karena ceritanya pendek, cerpen hanya berisi satu tema. Hal itu

berkaitan dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas. Dalam

hal kepaduan, cerpen yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan, unity

artinya, segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema

utama. Penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang berbentuk plot,

walau tidak bersifat kronologis namun harus tetap berkaitan secara logika.

Jadi secara umum pengertian cerpen dapat disimpulkan sebagai cerita fiksi

yang relatif pendek, hanya ada satu peristiwa, dan hanya menimbulkan satu efek

(38)

2.2.3 Usur-unsur Intrinsik Cerpen

Unsur intrinsik adalah unsur utama pembangun cerpen. Unsur inilah yang

menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik tersebut

meliputi: tokoh dan penokohan, alur, latar, tema, sudut pandang, serta gaya bahasa

yang digunakan pengarang. Dalam kegiatan menganalisis unsur-unsur intrinsik

cerpen seorang pembaca untuk dapat memahami karya sastra secara lebih

mendalam haruslah secara urut dipahami terlebih dahulu tokoh dan penokohan

(perwatakan), alur peristiwa, dan latar sebelum ia menafsirkan suatu tema. Hal ini

disebabkan tema pada umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit, tema

bersembunyi dibalik cerita sehingga penafsirannya haruslah dilakukan

berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu

(Nurgiyantoro, 2007: 85). Berikut uraian satu per satu secara urut unsur-unsur

intrinsik cerpen.

a. Tokoh dan Penokohan

Tokoh menurut Wiyatmi (2006: 30) adalah para pelaku yang terdapat

dalam sebuah fiksi. Tokoh menurut Sudjiman (1988: 16) merupakan individu

rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam

cerita. Sedangkan, tokoh menurut Abram melalui Nurgiyantoro (1995: 165)

adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh

pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti

(39)

Sedangkan, penokohan menurut Abram adalah sikap, ketertarikan, keinginan,

emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut.

Tokoh jika dilihat dari perannya dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama

dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran pimpinan

(Sudjiman, 1992: 61), atau tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya

sastra cerita pendek yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995: 176). Tokoh ini

selalu muncul di dalam setiap cerita. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh

bawahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam keseluruhan cerita lebih

sedikit, ia hadir apabila ada kaitannya dengan tokoh utama baik secara langsung

maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 1995: 177).

Tokoh deilihat dari fungsi penampilannya, dapat dibedakan ke dalam

tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Altenbernd dan Lewis melalui

Nurgiyantoro, (1995: 178-179) mengatakan tokoh protagonis adalah tokoh yang

kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero. Hero yakni

tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal

bagi kita, sedangkan tokoh antagonis menurutnya adalah tokoh yang

menyebabkan timbulnya konflik.

Tokoh berdasarkan perwatakannya, cerita dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu simple (flat character) yang biasanya disebut dengan tokoh sederhana, dan

complex (round character) yang biasa disebut dengan istilah tokoh bulat. Tokoh

sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualiotas pribadi tertentu, satu

sifat ataupun satu watak. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan

(40)

dirinya. Ia dapat memiliki watak dan tigkah laku yang bermacam-macam,

sehingga sulit dideskripsikan secara tepat (Forster melalui Nurgiyantoro, 1995:

181-184).

Tokoh berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, dapat

dibedakan menjadi tokoh statis (tokoh berkembang) atau satatic character dan

tokoh berkembang atau developing character. Tokoh statis adalah tokoh cerita

yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan

sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh

berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan

perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan

(Altenbernd dan Lewis via Nurgiyantoro, (1995: 188).

Tokoh berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap

sekelompok manusia dari kehidupan nyata, dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal

dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit itampilkan

keadaan individualitasnya, dan hanya lebih ditinjolkan kualitas pekerjaan atau

kebangsaannya, sedangkan tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi

demi cerita itu sendiri. Ia hadir semata-mata hanya demi cerita, dan bahkan

sebenarnya dialah yang empunya cerita, pelaku cerita dan yang diceritakan

(Altenbernd dan Lewis via Nurgiyantoro, (1995: 190-191). Walaupun tokoh dapat

dilihat dari berbagai segi, ia haruslah seorang tokoh yang hidup secara wajar,

sewajar kehidupan manusia yang memiliki pikiran dan perasaan. Hal itu

disebabkan tokoh menempati posisi yang strategis sebagi pembawa dan

(41)

kepada pembaca. Karena pentingnya, maka tokoh perlu digambarkan ciri-ciri

lahirnya serta sikap batinnya, agar pembaca juga mengenal watak tokoh.

Penyajian dan watak tokoh inilah yang disebut dengan penokohan. Ada beberapa

metode penokohan, yaitu: 1) metode langsung atau analitis, yaitu pengarang

langsung mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya; 2)

metode tak langsung atau dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari

pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga

tampilan fisik, serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh; 3) metode

kontekstual, yaitu watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan

pengarang mengacu pada sang tokoh (Sudjiman, 1992: 23).

b. Alur

1) Pengertian Alur atau Plot

Alur atau plot merupakan unsur yang penting, bahkan tak sedikit orang

yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur yang lain.

Hal itu cukup beralasan sebab kejelasan plot, kejelasan tentang kaitan

antarperistiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman

kita terhadap cerita yang ditampilkan pengarang. Menurut Luxemburg melalui

Wiyatmi (2006: 49), alur merupakan deretan peristiwa dalam hubungan logik dan

kronolik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau yang dialami oleh para

pelaku. Sedangkan menurut Sumardjo (1984: 55) alur didefinisikan sebagai dasar

atau alasan yang menyebabkan terjadinya perkembangan peristiwa dalam sebuah

(42)

dikemukan oleh para tokoh. Berikut ini beberapa pengertian alur atau plot dari

beberapa tokoh yang dikutip Nurgiyantoro:

Stanton (1965: 14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi

urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,

peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Kenny (1996: 14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-pristiwa yang ditampilkan

dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun

peristiwa-pristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Jauh sebelumnya, seperti ditunjukkan

di atas, Forster juga telah mengemukakan hal yang senada. Plot, menurut Forster

(1970 (1927): 93) adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan

pada adanya hubungan kausalitas.

2) Tahapan Plot

Plot sebuah cerita tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik

dikemukan secara eksplisit maupun implisit. Menurut Nurgiyantoro (1995:

142-146), secara teoritis plot dapat diurutkan kedalam tahap-tahap tertentu secara

kronologis. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut.

a) Tahap Awal.

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan.

Tahap perkenalan umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan

dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap ini

misalnya, berupa penunjukkan latar, pengenalan tokoh, deskripsi fisik tokoh, dll.

Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan

(43)

b) Tahap Tengah

Tahap tengah cerita juga disebut tahap pertikaian, menampilkan

pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya,

menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Bagian tengah cerita

merupakan bagian terpanjang, terpenting, dan merupakan klimaks dari karya fiksi

yang bersangkutan. Pada bagian inilah inti cerita disajikan oleh pengarang.

c) Tahap Akhir

Tahap akhir sebuah cerita atau disebut tahap peleraian, menampilkan

adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan

cerita atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Nurgiyantoro

(1995: 148), juga mengemukakan bahwa penyelesaian sebuah cerita dapat

dikategorikan ke dalam dua golongan, yaitu penyelesaian tertutup dan

penyelesaian terbuka. Penyelesaian yang bersifat tertutup jika keadaan akhir

sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan

tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Sedangkan penyelesaian yang bersifat

terbuka jika menunjuk pada keadaan akhir cerita yang sebenarnya masih belum

berakhir. Berdasarkan tuntutan dan logika cerita, cerita masih potensial untuk

dilanjutkan, konflik belum sepenuhnya diselesaikan. Tokoh-tokoh belum

semuanya ditentukan nasibnya sesuai peran yang diembannya.

Pentahapan plot yang lain juga dikemukan oleh Tasrif melalui

Nurgiyantoro (1995: 149-150). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut.

(44)

Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh

cerita. Tahap ini juga merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi

awal, dll.

(2) Tahap Generating Circumstances: Tahap pemunculan Konflik.

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu

sendiri akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

(3) Tahap Rising Action: Tahap Peningkatan Konflik

Pada tahap ini konflik yang telah muncul pada tahap sebelumnya semakin

berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik

yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan.

(4) Tahap Climax: Tahap Klimaks

Merupakan tahap dimana konflik atau pertentangan yang terjadi, yang

diakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas

puncak.

(5) Tahap Denouement: Tahap Penyelesaian

Pada tahap ini konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian.

Ketegangan-ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik lain diberi jalan keluar, dan

cerita diakhiri.

1) Pembedaan Plot atau Alur

Menurut Nurgiyantoro (1995: 153-163), plot dapat dikategorikan ke dalam

beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan. Pembedaan plot

(45)

a)Berdasarkan Kriteria Urutan waktu

Urutan waktu, dalam hal ini berkaitan dengan logika cerita. Dengan

mendasari pada logika cerita pembaca akan dapat menentukan peristiwa mana

yang terjadi lebih dahulu dan mana yang terjadi berikutnya, terlepas dari

penempatannya yang mungkin berada di awal, tengah, atau pada akhir teks. Dari

sinilah secara teoritis plot dibagi ke dalam dua kategiri plot kronologis (plot lurus,

maju, progresif) dan plot tak kronologis (plot sorot balik, mundur, flash-back,

disebut juga regresif).

Dikatakan plot lurus, jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat

kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa

kemudian atau berikutnya. Plot sorot balik atau flash back merupakan plot yang

urutan kejadiannya dikisahkan secar tidak kronologis, cerita tidak dimulai dari

awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru

kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Dalam sebuah karya tidak semuanya

secara mutlak berplot lurus atau sebaliknya berplot sorot balik. Secara garis besar

suatu karya mungkin progeresif tetapi didalamnya betapapun kadar kejadiannya,

sering terdapat adegan sorot balik. Plot yang semacam ini biasanya disebut

dengan plot campuran.

b) Berdasarkan Kritera Jumlah

Kriteria jumlah dimakudkan sebagai banyaknya plot cerita yang terdapat

dalam sebuah karya fiksi. Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah dibagi

menjadi dua, yaitu plot tunggal dan plotsub-subplot. Plot tunggal jika dalam

(46)

sebagai hero. Cerita pada umumnya hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh

tersebut, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya sedangkan

disebut plot sub-subplot, jika dalam sebuah karya fiksi memiliki lebih dari satu

alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang

dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.

c). Berdasarkan Kriteria Kepadatan

Kriteria kepadatan dimaksudkan sebagai padat tidaknya pengembangan

dan perkembangan cerita pada sebuah karya fiksi. Berdasarkan kriteria kepadatan

plot dapat dibedakan menjadi plot padat dan plot longgar. Plot padat terjadi jika

cerita disajikan secara cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat, dan

pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus menerus mengikutinya. Dalam

plot ini, antara peristiwa yang satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan atau

dihilangkan salah satunya. Cerita yang berplot longgar terjadi jika, pergantian

peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat dan hubungan antar

peristiwa tidak erat. Artinya, antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain

diselai oleh berbagai peristiwa tambahan.

d). Berdasarkan Kriteria Isi

Kriteria isi dimaksudkan sebagai sesuatu, masalah, kecenderungan

masalah, yang diungkapkan dalam cerita. Friedman via Nurgiyantoro (1995:

162-163) membedakan plot ke dalam tiga golongan, yaitu plot peruntungan, plot

tokohan, dan plot pemikiran.

Plot Peruntungan. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang

(47)

bersangkutan. Friedman membagi plot peruntungan menjadi: 1) plot gerak, 2) plot

sedih, 3) plot tragis, 4) plot penghukuman, 5) plot sentimential, dan 6) plot

kekaguman.

Plot Tokohan. Plot tokohan lebih menyoroti keadaan tokoh daripada

kejadian-kejadian yang ada atau berurusan dengan pemplotan. Friedman membagi

plot tokohan menjadi: 1) plot pendewasaan, 2) plot pembentukan, 3) plot

pengujian, dan 4) plot kemunduran.

Plot Pemikiran. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi

bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dan hal-hal lain

yang menjadi masalah hidup dalam kehidupan manusia. Friedman membagi plot

pemikiran menjadi: 1) plot pendidikan, 2) plot pembukaan rahasia, 3) plot afektif,

dan 4) plot kekecewaan.

c. Latar

Latar atau setting merupakan tempat, waktu, dan lingkungan terjadinya

peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan

jelas. Latar merupakan tempat dan masa terjadinya peristiwa (Sumardjo, 1984:

58). Menurut Sudjiman (1988: 44), latar merupakan segala keterangan, petunjuk,

pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa

dalam suatu karya sastra. Abram via Nurgiyantoro (1995: 216), juga

mendefinisikan latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa

(48)

mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita)

sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca

secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Berkaitan dengan latar, berkaitan dengan latar fisik, latar spiritual, latar

sosial, latar netral, dan latar tipikal. Latar fisik adalah segala keterangan atau

keadaan mengenai lokasi atau tempat tertentu (nama kota, desa, jalan, hotel,

kamar) dan berkenaan dengan waktu (abad, tahun, tanggal, pagi, siang, saat bulan

purnama, ketika hujan deras). Latar spiritual adalah segala keterangan atau

keadaan mengenai tata cara, adat istiadat, kepercayaan, nilai-nilai yang

melingkupi kehadiranya bersama dengan latar fisik, berusaha memperkuat

kehadiran latar fisik tersebut. Latar sosial (keterangan atau keadaan yang

berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial (kebiasaan hidup, tradisi,

kepercayaan) termasuk didalam pengertian latar spiritual. Latar netral adalah latar

yang tidak memiliki sifat khas yang menonjol. Latar semacam ini cenderung

bersifat umum yang dapat berlaku pada suatu waktu dan tempat dimana saja,

sedangkan latar tipikal adalah latar yang menonjolkan sifat khas. Latar jenis ini

cenderung bersifat khusus, berlaku pada suatu waktu dan tempat dimana saja

(Hariyanto, 2000:42).

Berbeda dengan pendapat Nurgiyantoro (1995: 227-233), ia membedakan

latar kedalam tiga unsur pokok, yautu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

(49)

tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama jelas yang dapat dijumpai

dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarata, dll.

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” itu

biasanya dihubungkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi

pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba

masuk kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati,

cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita

yang bersangkutan.

Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di

suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat

mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa;

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir,

bersikap, dll.

d. Tema

Tema adalah gagasan dasar yang menopang sebuah karya sastra dan yang

terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan menyangkut

persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1988: 142).

Sumardjo dan Saini (1986: 56), mengatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita.

Sudjiman (1988: 39) mengatakan hal yang sama bahwa tema merupakan gagasan

yang mendasari sebuah cerita. Harymawan melalui Wiyatmi (2006: 49) juga

(50)

sedangkan menurut Stanton dan Kenny melalui Nurgiyantoro (1995: 67), tema

didefinisikan sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema menjadi

dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian

cerita itu. Tema sebagai makna pokok karya fiksi tidak disembunyikan karena

justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa tema adalah gagasan dasar yang mendasari sebuah cerita.

Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda

tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Menurut Nurgiyantoro (1995: 77-84)

pengkategorian tema dapat digolongkan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu

penggolongan dikhatomis yang bersifat tradisional dan nontradisional,

penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan

penggolongan dari tingkat keutamaannya. Berikut ini uraian mengenai

macam-macam tema menurut Nurgiyantoro:

1) Tema tradisional dan Nontradisional

Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema

yan hanya itu-itu saja atau telah lama digunakan dan dapat ditemukan dalam

berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema yang dapat dipandang bersifat

tradisional misalnya, berbunyi: a) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan,

b) tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga, c) tindak

kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya, d) kawan sejati

pasti kawan dikala duka, dll. Nurgiyantoro (1995: 78) berpendapat bahwa:

Pada umumnya tema-tema tradional merupakan tema yang digemari orang

(51)

dasarnya setiap orang cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang

sebaliknya, (bahkan mungkin) termasuk orang yang sebenarnya tak baik

sekalipun. Hal ini terlihat misalnya, pada cerita pewayangan, Mahabarata dan

Ramayana, yang amat digemari orang sejak zaman dahulu.

Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya sastra mungkin

mengangkat sesuatu yang tidak lazim atau sesuatu yang bersifat nontradisional.

Karena sifatnya yang nontradisional, tema ini mungkin tidak sesuai dengan

harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, mengecewakan, bahkan

mengesalkan. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang

mengharapkan yang baik, yang jujur atau tokoh protagonis, akhirnya mengalami

kemenangan atau kejayaan. Sebaliknya, dalam tema ini justru tokoh baik yang

dikalahkan tokoh jahat, pembaca mungkin akan menggugat cerita tersebut

padahal, dalam realitas kehidupan hal tersebut banyak terjadi.

2) Tingkatan Tema Menurut Shipley

Menurut Shipley via Nurgiyantoro (1995: 80-82) tema dibedakan kedalam

lima tingkatan. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul.

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyarankan atau ditunjukkan

pada banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan pada

mobilitas fisik daripada kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.

Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as

(52)

mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktifitas yang hanya dilakukan oleh

makhluk hidup. Berbagai persoalan seksualitas manusia mendapat penekanan

dalam sastra dengan tema ini, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang,

misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri.

Ketiga, tema sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious.

Kehidupan masyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia

dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan,

dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.

Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as

individualism. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun

mempunyai banyak permasalahan dan konflik, antara lain berupa masalah

egoistis, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang

umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.

Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang

belum tentu setiap manusia mengalami atau mencapainya. Masalah yang

menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan pencipta,

masalah regiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti

pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

3) Tema Utama dan Tema Tambahan

Tema atau makna cerita dalam sebuah karya fiksi, dapat lebih dari satu

interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya untuk menentukan

(53)

dalam sebuah cerita. Tema pokok atau tema utama merupakan makna pokok

cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Makna pokok cerita

tersirat dalam sebagian besar cerita bukan makna yang hanya terdapat dalam

bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian

tertentu cerita dapat diindentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan.

Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan,

atau tema minor.

e. Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view memasalahkan siapa yang bercerita

(Wiyatmi, 2006: 40). Sudut pandang biasa disebut dengan bagaimana cara

pengarang menempatkan dirinya dalam sebuah karya fiksinya. Abram dalam

Nurgiyantoro (1995: 248), mendefinisikan sudut pandang sebagai cara dan atau

pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah

karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,

teknik siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan

gagasan dan ceritanya. Definisi yang hampir sama juga disampaikan Booth dalam

Nurgiyantoro (19995: 249), ia mendefinisikan sudut pandang sebagai teknik yang

dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna

artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

Menurut Nurgiyantoro (19995: 256-264), berdasarkan pembedaan yang

(54)

pandang persona ketiga “dia” third-person atau, sudut pandang persona pertama

“aku” atau first-person dan sudut pandang campuran. Dalam sudut pandang

persona ketiga, pengarang menyebutkan sang tokoh dengan menyebut nama, atau

kata ganti; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap

atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan

mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang dibicarakan dan

tokoh mana yang bertindak. Sudat pandang persona ketiga “dia” dapat dibedakan

menjadi dua golongan berdasarkan tingkat kebebebasan dan keterikatan

pengarang terhadap bahan ceritanya. Dua golongan tersebut adalah “dia”

mahatahu dan “dia” terbatas. Bersifat mahatahu jika pengarang, narator, dapat

bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, ia

bebas bergerak dari “dia” yang satu ke “dia” yang lain, sedangkan bersifat terbatas

jika pengarang memiliki keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang

diceritakan.

Dalam sudut pandang persona pertama, pengarang atau narrator adalah

seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah,

mengisahkan dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui,

didengar, dilihat, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada

pembaca. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan kedalam dua golongan

berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita. “aku” mungkin

menduduki tokoh utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki

tokoh tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi,

(55)

sudut pandang dimana pengarang dalam pengisahan tokoh dengan menggunakan

sudut pangang persona ketiga “dia” dan sudut pandang persona pertama “aku”

secara bergantian.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang

merupakan cara seorang pengarang dalam menggambarkan tokoh-tokohnya agar

pembaca mengenali, mengerti, dan memahami setiap tindakan yang dilakukan

oleh tokoh yang diceritakannya.

f. Gaya Bahasa

Gaya (gaya bahasa) adalah cara pengungkapan seorang yang khas bagi

seorang pengarang (Wiyatmi, 2006: 42). Cara bagaimana pengarang memilih

tema, persoalan dan menceritakannya di dalam sebuah cerpen. Dengan kata lain,

gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri (Sumardjo dan Saini, 1995: 92),

sedangkan Abram dalam Nurgiyantoro (1995: 276) gaya bahasa disamakan

dengan style yang merupakan cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau

bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.

Gaya bahasa ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur

kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dll.

Gaya bahasa pada hakikatnya adalah pemilihan ungkapan kebahasaan

yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri

dilain pihak merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada

bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya

(56)

dalam karya sastra, biasanya sangat dipengaruhi oleh kepribadian pengarang itu

sendiri (Rahmanto, 1988: 74).

Gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah apakah bahasa yang

digunakan pengarang mudah dipahami, kata-kata tidak berbelit-belit, mudah

dimengerti oleh pembaca atau justru sebaliknya.

2.3 Pembelajaran Sastra di SMA

Pembelajaran sastra khususnya yang membahas tentang unsur-unsur

instrinsik cerpen dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006

sebenarnya sudah diajarkan pada kelas X semester 1 namun diperdalam lagi

dikelas XII semester 2. Adapun tujuan dari pembelajaran sastra di SMA menurut

Nurgiantoro (2001: 321) adalah untuk mewujudkan kemampuan siswa dalam

mengapresiasi sastra secara lebih memadai. Sedangkan Rahmanto (1988: 15)

mengatakan, jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka

pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan

masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.

Hal ini disebabkan karena sastra memiliki relevansi dengan masalah di dunia

nyata, sehingga agar tujuan pembelajaran sastra ini dapat tercapai dengan baik,

Rahmanto (1988: 26-31) menyarankan beberapa prinsip penting yang harus

dipenuhi dalam pengajaran sastra. Prinsip penting tersebut, adalah bahan

pengajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan

siswanya pada suatu tahapan pengajaran tertentu. Oleh karena itu, pemilihan

(57)

bahasa, aspek psikologi, dan aspek latar belakang budaya. Berikut akan disajikan

singkat ketiga aspek tersebut.

1. Bahasa

Penguasaan suatu bahasa tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap

yang sangat jelas pada setiap individu, sedangkan perkembangan karya sastra

melalui tahap-tahap yang meliputi banyak aspek kebahasaan, misalnya cara

penulisan yang digunakan pengarang, ciri-ciri karya itu pada waktu penulisan

karya, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Oleh karena itu,

agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan

ketrampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang bahasanya sesuai

dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya.

2. Psikologi

Perkembangan psikologis mulai dari anak-anak hingga dewasa tentu

melewati tahap-tahap tertentu yang cukup jelas untuk dipelajari. Dalam memilih

bahan pengajaran sastra, tahap-tahap psikologis ini hendaknya diperhatikan

karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan

anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis juga sangat

berpengaruh pada daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja

sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang

dihadapi.

3. Latar Belakang Budaya

Sastra berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan manusia dan alam

Gambar

Tabel
Tabel 1.1.1
Tabel 2.4.1.1
Tabel 2.4.2.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi penguasaan unsur-unsur intrinsik cerpen terhadap kemampuan menulis cerpen oleh siswa kelas IX SMP Negeri 1

Pengaruh Model Pembelajaran Sel Belajar Terhadap Kemampuan Menemukan Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Tebing Syahbandar Tahun

Judul Skripsi yang penulis ajukan adalah “ Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen Oleh Siswa Kelas X

Pengaruh Teknik Pembelajaran Kelompok Buzz Terhadap Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Buntu Pane Tahun Pembelajaran

Kontribusi Penguasaan Unsur- unsur Intrinsik Drama terhadap Kemampuan Menulis Naskah Drama Siswa Kelas XII SMA Negeri 1 Salapian Tahun Pembelajaran 2016/2017,

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2012.. Efektivitas Model Kooperatif Tipe STAD Terhadap Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen ‘HORJA’ Karya Hasan Al -Banna oleh Siswa

Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masalah siswa dalam menganalisis unsur intrinsik banyak siswa yang kesulitan menganalisis dikarenakan kurangnya pemahaman

diketahui nilai rata-rata yang diperoleh siswa kelas XI dalam kemampuan menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Assalamualaikum Beijing karya Asma Nadia oleh siswa