• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRESENTASI DIRI PEKERJA SEKS KOMERSIAL EMPORIUM JAKARTA (Studi Dramaturgi Mengenai Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial di Emporium Jakarta) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PRESENTASI DIRI PEKERJA SEKS KOMERSIAL EMPORIUM JAKARTA (Studi Dramaturgi Mengenai Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial di Emporium Jakarta) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

1

Komersial di Emporium Jakarta)

SKRIPSI

Diajakukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Gelar Sarjana Ilmu

Sosial dan Politik Konsetrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh

Dhita Sekar Annisa

6662120373

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Dhita Sekar Annisa, NIM 6662120373. Skripsi. Presentasi Pekerja Seks Komersial Emporium Jakarta (Studi Dramaturgi Mengenai Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial di Emporium Jakarta). Pembimbing I: Naniek Afrilla Framaniek, S.Sos., M.Si dan Pembimbing II: Husnan Nurjuman, S.Ag., M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial (Studi Dramaturgi Mengenai Presentasi Diri Seorang Pekerja Seks Komersial Di Emporium Jakarta). Sub fokus pada penelitian ini yaitu front stage, dan juga back

stage dari Pekerja Seks Komersial di Emporium Jakarta. Kedua sub fokus tersebut

diharapkan dapat mengerucutkan arah penelitian agar mendapatkan hasil yang diharapkan.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi dramaturgi, dan objek penelitiannya adalah PSK. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling, informan penelitian berjumlah dua orang dari PSK di Emporium Jakarta. Perolehan data penelitian ini berasal dari wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, penelusuran data online, dan juga studi pustaka. Teknik analisis data dengan mereduksi data, mengumpulkan data, menyajikan data, menarik kesimpulann, dan evaluasi. Serta uji keabsahan data dengan cara teknik triangulasi, diskusi dengan teman sejawat. Hasil penelitian menunjukan bahwa front stage (panggung depan) PSK yaitu menggunakan sebuah topeng dan diperankan di atas panggung pertunjukan dengan latar panggung pertunjukan mereka adalah Emporim Jakarata. Back Stage (panggung belakang) PSK yaitu menampilkan sosok seutuhnya yang tidak seperti pada saat berada di panggung depan tetapi pada saat berada dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan dari penelitian ini adalah setiap PSK melakukan pengelolaan kesan dan presentasi diri pada panggung depan, dan panggung belakang. Nampak perbedaan disetiap panggungnya baik itu penampilan juga perilaku.

(8)

ABSTRACT

Dhita Sekar Annisa, NIM 6662120373. Thesis. The Presentation Of Self A Commercials Sex Workers (Study Dramaturgy About The Presentation Of Self A Commercials Sex Workers In Emporium Jakarta). Preceptor I: Naniek Afrilla Framaniek, S.Sos., M.Si dan Preceptor II: Husnan Nurjuman, S.Ag., M.Si

(9)

ii

Segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi guna memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan strata (S1) pada program studi ilmu komunikasi konsentrasi hubungan masyarakat di fakultas ilmu social dan ilmu politik universitas sultan ageng tirtayasa. Skripsi ini berjudul “Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial Emporium Jakarta (Studi Dramaturgi Mengenai Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial di Emporium Jakarta”.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih atas segala doa, dukungan, motivasi, bimbingan, dan bantuan yang takterhingga dalam proses penelitian serta penyusunan skripsi ini kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Soleh Hidayat, M.PD. selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos.,M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 4. Bapak DarwisSagita, S.Ikom. selaku Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi

(10)

iii

Skripsi yang membantu memberikan arahan serta masukan untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Husnan Nurjuman S.Ag., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II Skripsi Yang Membantu Memberikan Arahan Serta Masukan Untuk Menyelesaikan Skripsi Ini.

7. Seluruh Dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang telah membimbing dan memberikan ilmunya selama di bangku perkuliahan.

8. Kedua Orang Tua saya Ibu Shinta danBapak Purwanto atas doa, dukungan, motivasi, kesabaran yang tak pernah putus.

9. Kedua Adik saya Nabilla dan Safira. Nenek saya Ibu Suryati,, Tante saya yang sudah saya anggap seperti ibu kedua yakni Ibu Pipih Restiviani, Sepupu saya Vina Sarastiani dan seluruh Keluarga besar terima kasih atasdoa, dukungan, motivasi untuk penulis.

10.Sahabat- sahabat yang tak hentinya member dukungan yakni FitriYasmi, Mega Silvia, Annisa Oktami, Tika Sartika, Yoga Permana, yang selalu menjadi penyemangat, penghibur, pendengar setia untuk doa dan dukungan nya selama ini.

(11)

iv

11.Teman seperjuangan menggapai sarjana Faizal Fajar, Delia Medinna, Indri Meilan Suntari, Luna Safitri, Isda Isnawangsih Muzakki, Farisa Azmi, Fahrian Ramadhan Yolanda Fatharani dan Mahdaudi, tak lupa juga Cut Aini Sebagai adik tercinta yang tak hentinya selalu member motivasi menjadi penyemangat, penghibur, pendengar setia

12.Teman Kosan Ceca Monic, Intan Atang, Carlina, Rike, Dona, Reiza, teteh Anis terimakasih untuk semua waktu dan semua masukan dan penyemangat.

13.Teman-teman Ilmu Komunikasi (Humas maupun Jurnal) 2012 untuk hari-hari penuh kenangan dan banyak pelajaran.

14.Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsii ni.

Kiranya tidak ada balasan yang lebih baik kecuali yang datang dari Allah SWT, terimakasih untuk segalanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua, khususnya bagi penulis dan pihak yang berkepentingan. WassalamualikumWr. Wb.

Serang, 2016

(12)

v LEMBAR PERSETUJUAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Identifikasi Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.5.1 Manfaat Akademis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 TinjauanTeoritis ... 9

2.1.1 InteraksiSimbolik ... 9

2.1.2 Dramaturgi ... 15

2.1.3 PresentasiDiri ... 18

2.1.4 Wilayah Pertunjukan ... 20

2.2 TinjauanKonsep ... 26

2.2.1 Komunikasi ... 26

2.2.2 Proses Komunikasi ... 27

(13)

vi

2.3 KerangkaBerpikir ... 33

2.4 Penelitian Sebelumnya ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metodologi Penelitian ... 42

3.2 Paradigma Penelitian ... 43

3.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 44

3.4 Instrumen Penelitian... 45

3.4.1 Sumber Data ... 45

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ... 45

3.5 Informan Penelitian ... 46

3.6 Teknik Analisis Data ... 48

3.7 Keabsahan Data... 51

3.8 Lokasi Penelitian ... 52

3.9 JadwalPenelitian... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deakripsi Objek Penelitian ... 53

4.2 Deskriptif Data 4.2.1 Profil Informan kunci ... 56

(14)

vii

4.3.1.2 Interaksi Pekerja Seks Komersial ... 72

4.3.2 Panggung Belakang(Back Stage) ... 75

4.4 Dramaturgi PekerjaSeks Komersial... 82

4.5 Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial ... 86

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 89

5.2 Saran ... 90

5.2.1 Akademis ... 91

(15)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Pekerja seks Komersial (PSK) merupakan salah satu masalah dalam masyarakat yang sangat kompleks, baik dari segi sebab, proses maupun implikasi sosial yang ditimbulkannya. Kita sering menyebut wanita penjual jasa pelayanan seksual dengan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial), PSK berarti orang yang mempunyai pekerjaan untuk melayani kebutuhan seksual bagi orang-orang yang membutuhkannya, dengan tujuan komersial atau mencari keuntungan. Sedangkan menurut Subrada “Pekerja Seks Komersil adalah seorang wanita yang menjual dirinya, dengan melakukan hubungan seks dan bertujuan mendapatkan imbalan yaitu uang.1

Berada di tingkat ekonomi bawah membuat PSK sulit untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga melanggar nilai-nilai yang berlaku di masyarakat demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang kurang, hal seperti ini untuk menutupi kebutuhan keluarganya yang kurang, untuk membayar hutang, untung makan sehari-hari, maupun biaya sehari-hari.

Seseorang perempuan pastinya ingin tampil dengan keindahan tubuh dan barang-barang yang dikenakannya. Namun ada dari beberapa mereka yang terpojok karena masalah keuangan untuk pemenuhan keinginan tersebut maka mereka mengambil jalan akhir dengan menjadi PSK untuk pemuasan dirinya. Menutupi biaya gaya

1

(16)

hidup, gengsi yang tinggi di jaman modern ini yang membuat PSK tidak bisa berhenti dari kerjaannya, gaya hidup yang glamour membuat mereka harus tetap bertahan.2

Seperti contohnya Emporium Jakarta, Emporium adalah sebuah tempat lokalisasi yang berada di daerah Jakarta Barat, berlokasi di sebuah ruko yang dijadikan kantor bisnis prostitusi ini dan juga tempat tinggal para PSK. Emporium berkerja sama dengan salah satu hotel di Jakarta menyediakan jasa prostitusi, dari mulai pijat plus-plus, sampai menyewakan wanita untuk menemani didalam hotel maupun diluar hotel.3

Yang membedakan PSK di Emporium dengan PSK ditempat lainnya adalah PSK di Emporium dipilih dahulu oleh para mucikari dengan berbagai tes. Tes awal yang dilihat adalah mereka harus mempunyai wajah yang cantik dan badan yang bagus. Ada yang unik disini, para calon PSK tidak boleh wanita perawan, walaupun ada calon perawan mereka harus punya izin orang tua bahwasannya mereka ingin menjadi pekerja seks komersial. Tes yang lainnya adalah tes kesehatan, oleh karena itu PSK di Emporium bisa dibilang lebih bersih dari PSK ditempat lain. Karena memiliki dokter agar terhindar dari penyakit kelamin atau penyakit AIDS, walaupun sebenarnya tetap tak jarang banyak yang terkena penyakit tersebut di Emporium.4

Uang merupakan tuntutan hidup bagi setiap umat manusia, begitu juga dengan PSK, ketika PSK menyadari bahwa tidak semua lingkungan mampu untuk menerima

2

Hatib Abdul Kadir. Tangan Kuasa dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan seks bebas di Indonesia. Yogyakarta:INSISTPress,2007, hlm.21

3

Wawancara dengan Dewi (PSK) 9 Januari 2016 4

(17)

kehadirannya, maka ia melakukan pemeranan karakter-karakter tertentu. Ada suatu pengelolaan pesan yang ia ciptakan untuk memberikan pemahaman kepada lingkungan tertentu, sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Yang menarik pada PSK di Emporium ini, para PSK kebanyakan dari wilayah luar Jakarta. PSK Emporium mengaku bahwa mereka merantau ke Jakarta untuk mendapatkan pekerjan yang layak. Tapi apalah daya, kota Jakarta yang keras dan banyaknya persaingan di Jakarta membuat para perantau mengambil jalan pintas. Kebanyakan dari mereka mengaku kepada keluarga bahwa mereka merantau ke Jakarta untuk bekera sebagai pekerja konveksi, buruh, ataupun tak sedikit yang mengaku mereka bekerja untuk perusahaan besar. Yang lebih menarik lagi beberap PSK di Emporium datang ke Jakarta untuk berkuliah, tapi kebutuhan gaya hidup mereka yang mengikuti jaman tak sesuai dengan uang yang diberikan orang tua, sehingga mereka mencoba jalur pintas.

Pada dasarnya semua manusia juga melakukan suatu pemeranan karakter dalam kehidupannya, seperti dijelaskan oleh Goffman, “norma-norma, nilai-nilai, dan

informasi budaya memberi mereka suatu peran seperti insinyur, polisi atau istri, ini dilaksanakan sesuai dengan tuntutan “skenario” di mana aktor tersebut harus memenuhi peran tersebut”. Namun ketika seorang individu menjadikan individu lain atau komunitas tertentu sebagai “sasaran” melalui kumpulan simbol-simbol presentasi dirinya, individu atau komunitas lain itu bisa “tertipu” dan hanya

mengasumsikan pada apa yang terlihat di “permukaanya” saja.5

5

(18)

Begitu pula halnya dengan PSK, dalam Presentasi diri seorang PSK dapat memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan untuk mendefinisikan sesuatu yang ingin ditonjolkan dari dirinya. Ada simbol-simbol tertentu yang tercakup dalam presentasi dirinya diciptakan, baik itu berupa komunikasi verbal maupun nonverbal yang dapat digunakan untuk memperkuat identitas peran yang ia mainkan. Presentasi diri itulah yang dijelaskan Goofman sebagai bagian dari pesan seorang individu sebagai aktor yang bermain diatas panggung sesuai dengan tuntutan skenario.

Pengelolaan kesan (Impression Management) ditemukan dan dikembangkan oleh Erving Goffman pada tahun 1959, dan telah dipaparkan dalam bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in Everyday Life”. Pengelolaan kesan juga secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah teknik presentasi diri yang didasarkan pada tindakan mengontrol persepsi orang lain dengan cepat, dengan mengungkapkan aspek yang dapat menguntungkan diri sendiri atau tim. 6

Presentasi Diri ini dilakukan ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dan mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya, melalui sebuah pertunjukan diri yang mengalami setting di hadapan khalayak. Dalam sebuah pertunjukan ini kebanyakan menggunakan atribut, busana, make-up, pernak-pernik, dan alat dramatik lainnya. 7

Goffman menyebut pertunjukan (performance) merupakan aktivitas untuk mempengaruhi orang lain. Sebuah pertunjukan yang ditampilkan seseorang

6

Deddy Mulyana, metodologi penelitian kualitatif. PT Roemaja Rosdakarya, Bandung. Hlm 112

7

(19)

berdasarkan atas perhitungan untuk memperoleh respon dari orang lain. Penampilan serta perilaku seseorang dalam sebuah interaksi merupakan suatu proses interpretif, yang dimana tujuannya agar terbentuknya sebuah persepsi yang merupakan hasil dari suatu interpretasi yang dilakukan orang lain.8

Goffman memandang ini dengan perspektif Dramaturgi. Berdasarkan hasrat dasar manusia, secara ilmiah manusia memiliki kekuatan yang dapat menguasai sikap dan tindakannya. Manusia mempunyai kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya. Untuk itu dia menempuh jalan bertemu dengan orang lain yang melakukan pertunjukan dan memproyeksikan diri dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas pentas secara khayali.9

Dramaturgi yang diperkenalkan oleh Goffman adalah perspektif yang didalami berdasar dari segi sosiologi, dan menyatakan :

“Perspektif yang digunakan dalam laporan ini adalah perspektif pertunjukan

teater; prinsip-prinsipnya bersifat dramaturgis. Saya akan membahas cara

individu menampilkan dirinya sendiri dan aktivitasnya kepada orang lain, cara ia

memandu dan mengendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadapnya, dan

segala hal yang mungkin atau tidak mungkin ia lakukan untuk menopang

pertunjukan di hadapan orang lain.10

Pada pernyataan Goffman tersebut mengartikan bahwa kehidupan manusia diibaratkan seperti teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas

8

Ibid hlm. 110

9

Deddy Mulyana, metodologi penelitian kualitatif. PT Roemaja Rosdakarya, Bandung. hlm 106

10

(20)

panggung yang di mana seseorang akan seperti seorang aktor yang memainkan peran-peran tertentu saat berhadapan dengan orang lain. Dalam perspektif dramaturgi, Goffman membagi kehidupan sosial menjadi dua bagian yaitu “wilayah

depan” (front region) dan “wilarah belakang” (back region). Saat individu

menampilkan diri-nya dengan peran tertentu di hadapan penonton atau khalayak, maka individu tersebut dianggap seperti sedang berada di depan panggung (front

stage), dan saat individu sedang tidak bermain peran atau sedang mempersiapkan

diri-nya untuk menjalani peran, maka di wilayah ini adalah panggung belakang (back

stage), serta panggung tengah (middle stage) yang dimana daerah ini merupakan

wilayah seorang individu melakukan persiapan untuk ke panggung depan.11

Dalam kata lain, ketika seorang PSK dihadapkan pada khalayak ramai, ada peran, simbol, identitas atau presentasi diri yang berlainan antara kondisi yang satu dengan yang lainnya. Di satu sisi ketika ia memerankan sosok wanita pada umumnya, presentasi diri yang ia bangun menggunakan pakaian, accesoris, sepatu, gaya bicara, isi pesan, bahasa tubuh akan sesuai jalur selayaknya sosok wanita pada umumnya saat bersosialisasi. Namun ketika ia berada pada posisi PSK presentasi diri yang ia bangun akan berbeda dari presentasi diri yang ia tonjolkan ketka ia berada pada diri seorang wanita pada umumnya.

PSK memiliki berbagai pola interaksi sosial yang mencakup pengelolaan kesan dalam presentasi diri yang berbeda di keadaan, kondisi dan situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Ada suatu upaya untuk menyamarkan hal-hal tertentu yang sebaiknya tidak diperlihatkan dalam interaksi sosial tertentu. Seorang PSK lebih

11

(21)

jauhnya laksana seorang aktor yang berperan di atas panggung sandiwara, menciptakan suatu pandangan, identitas dan realitas sosial yang berbeda bagi setiap khalayak yang ditemuinya.

Inti dari penelitian ini adalah mencoba untuk menelaah dan menguak lebih jauh tentang presentasi diri yang dibangun oleh PSK dengan melihat wilayah peran yang disembunyikan dan peran yang ditonjolkan. Peneliti memilih PSK di Emporium Jakarta karena para PSK di Emporium berbeda dengan para PSK yang berada dipinggir jalan, PSK Emporium lebih termanage dalam segi jam pekerjaan, kehidupan sehari-hari, sampai perilaku saat bersama ataupun tidak dengan pelanggan. Jadi dengan ini memudahkan peneliti untuk meneliti panggung depan dan panggung belakang PSK. Peneliti menggunakan metodologi kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

1.2Rumusan Masalah

(22)

1.3 Identifikasi Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah diuraikan diatas, maka peneliti mengidentifikasi yang akan menjadi pokok masalah yang akanditeliti yaitu sebagai berikut :

1) Bagaimana realitas panggung depan pekerja seks komersial di Emporiun Jakarta? 2) Bagaimana realitas panggung belakang pekerja seks komersial di Emporium

Jakarta?

3) Bagaimana Presentasi diri pekerja seks komersial di Emporium Jakarat? 1.4Tujuan Penelitian

1) Untuk mengetahui panggung depan pekerja seks komersial di Emporiun Jakarta? 2) Untuk mengetahui panggung belakang pekerja seks komersial di Emporium Jakarta?

3) Untuk mengetahui Presentasi diri pekerja seks komersial di Emporium Jakarat?

1.5Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan penelitian yang telah dirumuskan oleh peneliti mengenai Presentasi Diri Seorang Pekerja Seks Komersial di Emporium Jakarta adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

(23)

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini dilakukan dengan harapan memiliki kegunaan unutuk segala pihak. Kegunaan praktis yang telah peneliti rumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk peneliti hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis tentang pengaplikasian dramaturgi dikehidupan sosial. Selain itu juga presentasi diri yang merupakan salah satu macam perilaku sosial yang ada di masyarakat.

(24)

10

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Interaksi Simbolik

Ide bahwa kenyataan sosial muncul melalui proses interaksi sangat penting dalam interaksionisme simbolik. Seperti namanya sendiri menunjukkan teori interaksionisme itu berhubungan dengan teori simbol dimana interaksi terjadi.Bagi Blumer, keistimewaan pendekatan kaum interaksionisme simbolik lah manusia dilihat saling menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan hanya saling beraksi pada setiap tindakan itu menurut mode stimulus-respon.

Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Blumer menjelaskan yang kemudian dikutip oleh Poloma, bahwa:

“Dengan demikian interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan

simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna, dari tindakan-tindakan orang lain.” 12

Interaksionisme simbolik merupakan aliran dalam sosiologi yang menentang sosiologi tradisional. Aliran ini juga menunjang dan mewarnai kegiatan penelitian kualitatif. Dasar pandangan interaksionisme simbolik adalah

12

(25)

asumsi bahwa pengalaman manusia diperoleh lewat interpretasi. Obyek, situasi, orang, dan peristiwa, tidak memiliki maknanya sendiri. Adanya dan terjadinya makna dari berbagai hal tersebut karena diberi berdasarkan interpretasi dari orang yang terlibat. Interpretasi bukanlah kerja otonom dan juga tidak ditentukan oleh suatu kekuatan khusus manusia ataupun yang lain.

Dalam setiap kasus, suatu situasi memiliki makna hanya lewat interpretasi orang-orang dan juga definisinya mengenai situasi tersebut. Dalam setiap kasus, suatu situasi memiliki makna hanya lewat interpretasi orang-orang dan juga definisinya mengenai situasi tersebut. Situasi atau aspek-aspeknya didefinisikan secara berbeda oleh pelaku yang berbeda berdasarkan atas sejumlah alasan tertentu. Salah satu alasan adalah bahwa setiap pelaku membawa serta masa lampaunya yang unik dan suatu cara tertentu dalam menginterpretasikan apa yang dilihat dan dialaminya. Karena para pelaku di dalam suatu posisi yang sama umumnya memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan yang lain, maka mereka mungkin mengembangkan definisi yang sama mengenai situasi khusus atau suatu kategori tentang situasi yang sama.

(26)

Teori interaksionisme simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi simbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Prinsip-prinsip dasar interaksionisme simbolik sebenarnya tak mudah menggolongkan pemikiran ini ke dalam teori dalam artian umum karena seperti dikatakan Paul Rock yang dikutip oleh George Ritzer, bahwa “pemikiran ini sengaja secara Sama dan merupakan resistensi terhadap sistematisasi”.13

Ritzer menerangkan mengenai prinsip dasar teori interaksionisme berdasarkan pada beberapa tokoh interaksionisme simbolik seperti halnya Blumer (1969), Manis dan Meltzer (1978), Rose (1962), serta Snow (2001) telah mencoba menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi:

a. Tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir. b. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.

c. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.

d. Makna dan simbol yang memungkinkan manusia melakukan tindakan khusus dan berinteraksi.

e. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. f. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian

karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang

13

(27)

memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu.

g. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat. 14

Blumer berpegangan dan mengembangkan tekanan George Herbert Mead yang fundamental pada proses interaksi yang terus menerus. Melaui proses ini individu mengintepretasikan lingkungannya, saling mengintepretasi, dan berembuk tentang arti-arti bersama atau definisi tentang situasi yang dimiliki bersama. Untuk konsep apa saja, atau variabel apa saja yang mungkin digunakan oleh sosiologi komunikasi, arti itu tidaklah lengkap, melainkan muncul danberubah dalam proses interaksi. Ada gerak mengalir dalam dan perubahan dalam proses interaksi yang terus menerus dalam individu terus menerus menilai kembali interpretasi subyektif mengenai lingkungan dan dalam mengkonstruksikan berbagi tindakan yang terjadi timbal balik.Seperti halnya yang dikutip oleh Poloma mengenai pernyataan Blumer mengenai interaksionisme simbolis yang bertumpu pada tiga premis, yakni:

a) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

b) Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”.

14

(28)

c) Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung.15

Blumer menambahkan, bahwa aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Sebenarnya, interpretasi seharusnya tidak dianggap sebagai penerapan makna-makna yang telah ditetapkan, tetapi sebagai suatu proses pembentukan dimana makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan. Tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan luar”

(seperti yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis struktural) tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (seperti yang dinyatakan oleh kaum

reduksionis psikologis). Blumer menyanggah, individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah dia membentuk obyekobyek itu misalnya berpakaian atau mempersiapkan diri untuk karir profesional-individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaian dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran berdasarkan simbol-simbol. Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut sebagi proses self indication.Poloma mengutip pernyataan Blumer mengenai pengertian dari self indication yang dimaksudkannya, bahwa:

15

(29)

“Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana

individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan

untuk bertindak berdasarkan makna itu. Proses self indication itu yang terjadi dalam konteks sosial dimana individu mencoba “Mengantisipasi tindakan

-tindakan orang lain dan menyesuaikan -tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu.”.16

Oleh karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dari gerak makhluk-makhluk yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal seperti kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan dan tuntutan orang lain, peraturan-peraturan, masyarakatnya, situasi, self imagenya, ingatannya dan cita-citanya untuk masa depan. Ia tidak ditindih oleh situasinya, melainkan merasa diri diatasnya. Interaksionisme simbolis yang diketengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar yang dapat diringkas

seperti yang dikutip Poloma, sebagai berikut:

a. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.

b. Interaksi terdiri dari berbagi kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi non-simbolik mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran

16

(30)

tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak

setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling umum. c. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsic; makna lebih

merupakan produk interaksi simbolis.

d. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. Jadi seseorang dapat melihat dirinya sebagai mahasiswa, suami dan seseorang yang baru saja menjadi syah. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir disaat proses interaksi.

e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Blumer menulis: Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari: cara bertindak sesuatu.

(31)

Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulangulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”.17

2.1.2 Dramaturgi

Dramaturgi adalah suatu pendekatan yang lahir dari pengembangan Teori Interaksionisme Simbolik. Dramaturgi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan keutuhan diri dan menjadi suatu model untuk mempelajari tingkah laku manusia, tentang bagaimana manusia itu menetapkan arti kepada hidup mereka dan lingkungan tempat dia berada.18

Istilah dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman, salah seorang sosiolog yang paling berpengaruh pada abad 20. Dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan pada tahun 1959, Goffman memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris. Yakni memusatkan perhatian atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung, ada aktor dan penonton. Tugas aktor hanya mempersiapkan dirinya dengan berbagai atribut pendukung dari peran yang ia mainkan, sedangkan bagaimana makna itu tercipta, masyarakatlah (penonton) yang memberi interpretasi. Individu tidak lagi bebas dalam menentukan makna tetapi konteks yang lebih luas menentukan makna (dalam hal ini adalah penonton dari sang aktor).

17

Margaret M. Polomo , Sosiologi Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hal.264

18

(32)

Karyanya melukiskan bahwa manusia sebagai manipulator simbol yang hidup di dunia simbol. 19

Dalam konsep dramaturgi, Goffman mengawalinya dengan penafsiran “konsep-diri”, di mana Goffman menggambarkan pengertian

diri yang lebih luas daripada Mead (menurut Mead, konsep-diri seorang individu bersifat stabil dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat berdasarkan basis jangka panjang). Sedangkan menurut Goffman, konsep-diri lebih bersifat temporer, dalam arti bahwa diri bersifat jangka pendek, bermain peran, karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial yang berlainan, yang interaksinya dalam masyarakat berlangsung dalam episode-episode pendek. Berkaitan dengan interaksi, definisi situasi bagi konsep-diri individu tertentu dinamakan Goffman sebagai presentasi diri.20

Fokus pendekatan dramaturgi adalah bukan pada apa yang orang lakukan, bukan pada apa yang ingin mereka lakukan atau pada menggapa mereka melakukan, akan tetapi pada bagaimana mereka melakukannya. Burke melihat bahwa tindakan merupakan sebuah konsep dasar dalam dramaturgi. Dalam hal ini Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan

19

Deddy Mulyana, metodologi penelitian kualitatif. PT Roemaja Rosdakarya, Bandung. hlm. 107

20

(33)

mempunyai maksud, sedangkan gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan.21

Dramaturgi juga menekankan dimensi ekspresif / impresif aktivitas manusia, yaitu bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik. Pendekatan dramaturgi berintikan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh dan dimengerti orang lain. Untuk itu setiap manusia melakukan pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgi memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung yang sedang memainkan peran-peran mereka. 22

Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada

tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Hal ini sama seperti yang terlihat pada kasus kekuasaan politik, dimana penguasa-penguasa yang melakukan penyimpangan ini, mereka menjalankan perannya di lingkungan mereka.

21

Musta’in, “teori diri” sebuah tafsir makna simbolik pendekatan teori dramaturgi Erving Goffman. Jurnal Komunika. Vol 4 no 2Juli-Desember, 2010, hal 278

22

(34)

Mereka berusaha mengontrol diri seperti penampilan, keadaaan fisik, perilaku aktual dan gerak saat berkuasa, agar kekuasaan yang dia miliki seolah-olah terbungkus bagus dimata lingkungan mereka. Karena mereka tahu bahwa jika menjadi seorang penguasa politik namun berperilaku buruk serta dikendalikan adalah aib bagi dirinya. 23

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung interaksi dengan orang lain. Aktor membawakan naskah dalam bahasa/ simbol-simbol dan perilaku Untuk menghasilkan arti-arti dan tindakan tindakan sosial dalam konteks sosio-kultural Pemirsa yang menginterpretasikan naskah tersebut dengan pengetahuan mereka tentang aturan aturan budaya atau simbol-simbol signifikan. Di sinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri.

2.1.3 Presentasi Diri

Menurut Goffman, presentasi diri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu tertentu untuk memproduksi definisi situasi dan

23

(35)

identitas sosial bagi para actor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Lebih jauh presentasi diri merupakan upaya individu untuk menumbuhkan kesan tertentu di depan orang lain dengan cara menata perilaku agar orang lain memaknai identitas dirinya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Dalam proses produksi identitas tersebut, ada suatu pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan mengenai atribut simbol yang hendak digunakan sesuai dan mampu mendukung identitas yang ditampilkan secara menyeluruh. 24

Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut manusia akan

mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor dalam drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kemudian ketika perangkat simbol dan pemaknaaan identitas yang hendak disampaikan itu telah siap, maka individu tersebut akan melakukan suatu gambaran-diri yang akan diterima oleh orang lain. Upaya itu disebut.25

Goffman sebagai “pengelolaan kesan” (impression management),

yaitu teknik-teknik yan digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi-situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu,

24

Deddy Mulyana, metodologi penelitian kualitatif, PT Roemaja Rosdakarya, Bandung. hlm.112

25

(36)

Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk presentasi diri, termasuk busana yang kita kenakan, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni berikut cara kita melengkapinya (furnitur dan perabotan rumah), cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang kita. Lebih jauh lagi, dengan mengelola informasi yang kita berikan kepada orang lain, maka kita akan mengendalikan pemaknaan orang lain terhadap diri kita. Hal itu digunakan untuk memberi tahu kepada orang lain mengenai siapa kita.

Dalam konsep dramaturgi, Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi orang lain itu sebagai pertunjukkan (performance), yakni presentasi diri yang dilakukan individu pada ungkapan-ungkapan yang tersirat, suatu ungkapan yang lebih bersifat teateris kontekstual, non-verbal dan tidak bersifat intensional. Dalam arti, orang akan berusaa memahami makna untuk mendapatkan kesan dari berbagai tindakan orang lain, baik yang dipancarkan dari mimik wajah, isyarat dan kualitas tindakan. 26

Menurut Goffman, perilaku orang dalam interaksi sosial selalu melakukan permainan informasi agar orang lain mempunyai kesan yang lebih baik. Kesan non-verbal inilah yang menurut Goffman harus dicek keasliannya. Goffman menyatakan bahwa hidup adalah teater, individunya sebagai aktor dan masyarakat adalah penontonnya. Dalam pelaksanaannya, selain panggung di mana ia melakukan pementasan peran, ia juga

26

(37)

memerlukan ruang ganti yang berfungsi untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ketika individu dihadapkan pada panggung, ia akan menggunakan simbol-simbol yang relevan untuk memperkuat identitas karakternya, namun ketika individu tersebut telah habis masa pementasannya, maka di belakang panggung akan terlihat tampilan seutuhnya dari individu tersebut.27

2.1.4 Wilayah Pertunjukan

Goffman melihat ada perbedan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di panggung depan adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan membuat drama yang berhasil. Sedangkan di panggung belakang adalah keadaan di mana kita berada di belakang panggung dengan kondisi tidak ada penonton, sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa memperdulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.28

Lebih jauh untuk memahami konsep dramaturgi, analogi front liner hotel adalah sebagai contoh. Seorang front liner hotel senantiasa berpakaian rapi menyambut tamu hotel dengan ramah, santun, bersikap

27

Deddy Mulyana, metodologi penelitian kualitatif. PT Roemaja Rosdakarya, Bandung. hlm. 113

28

(38)

formil dengan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang front liner bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau menggunakan bahasa gaul dengan temannya atau melakukan sikap tidak formil lainnya (merokok dan sebagainya). Saat front liner menyambut tamu di hotel, merupakan saat

front stage baginya (pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut

tamu hotel dan memberi kesan baik hotel kepada tamu tersebut. Oleh karenanya, perilaku front liner merupakan perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen hotel. Saat istirahat makan siang, front

liner bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke-dua dari

pertunjukan tersebut. Karenanya skenario yang disiapkan oleh manajemen hotel adalah bagaimana front liner tersebut dapat refresh untuk dapat menjalankan perannya di babak selanjutnya. Akan sangatberesiko jika

front liner tersebut tertangkap basah sedang merokok oleh tamu walaupun

front liner tersebut berada di rest room, karena akan menimbulkan kesan

negatif dari tamu. Oleh karena itu, ada suatu resiko yang besar ketika panggung belakang atau “private” dari seorang individu bisa diketahui orang lain. Mengingat dalam hal ini, panggung tersebut bersifat rahasia, maka hal yang wajar bagi individu untuk menutupi panggung private tersebut dengan tampilan luar yang “memukau”. 29

Menurut pandangan Goffman adanya pembagian dalam pertunjukan teater dalam bermain peran pada ruang identitas yang sedang berinteraksi antara lain:

29

(39)

1. Panggung Depan (Front Stage)

Merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front

stage) yang ditonton khalayak penonton. Front stage (panggung depan)

bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya.30

Ciri yang relatif tetap seperti ciri fisik, termasuk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut yang beruban dengan cat rambut.

Setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan

30

(40)

pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. Front personal terbagi dua, yaitu penampilan berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor, dan gaya mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor dalam situas tertentu.31

Fokus perhatian Goffman bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim pertunjukan” (performance team) yang

mendramatiasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin , dan kalau perlu juga memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. 32

31

Ibid, hal 115

32

(41)

Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses, khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara keseluruhan berjalan lancar.33

2. Panggung Tengah (Middle Stage)

“Merupakan sebuah panggung lain di luar panggung resmi saat

sang aktor mengkomunikasikan presentasi diri, yakni panggung depan (front stage) saat mereka beraksi di depan khalayak tetapi juga di luar panggung belakang (back stage) saat mereka mempersiapkan pesan-pesannya”34

Panggung tengah merupakan area transisi panggung belakang ke panggung depan, seluruh aktor dramaturgi dalam panggung ini, akan melakukan sebuah persiapan yang dapat mendukung penampilannya ketika berada di panggung depan, yaitu seperti mempersiapkan make-up, pakaian, aksesoris yang akan dipergunakan ketika berada di panggung depan. Panggung tengah juga merupakan

33

Ibid 115

34

(42)

tempat dimana sesama PSK melakukan suatu diskusi atau pembicaraan baik itu bercerita tentang pengalaman mereka, bercerita tentang cara mereka bekerja saat bekerja menjadi PSK atau pun berbagi tips sesama PSK saat berhadapan dengan tamu yang mereka tidak suka ataupun lainnya, dan tidak lupa pada panggung ini, PSK biasanya sudah mempersiapkan sebuah setting atau sebuah sandiwara yang akan di pertunjukan kepada penonton, seperti pada saat PSK tersbut menceritakan keluh kesahnya, ataupun bercerita bahwa dia merasa tertekan dan tidak betah itu semua belum tentu ungkapan yang sebenarnya, layaknya seorang aktor yang siap untuk membuat penonton menjadi kagum, iba ataupun merasa kasian.

3. Panggung Belakang (Back Stage)

Panggung belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang

(back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai,

mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Back stage (panggung belakang) ruang dimana disitulah berjalan skenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia

(43)

macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang aktor.

Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu penampilan

yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor. Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan skenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan

masing-masing aktor).35

Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri– Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari

35

(44)

komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.36

2.2 Tinjuan Konsep

2.2.1 Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari

bahasa latin atau communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti

sama. Sama disini maksudnya adalah satu makna. Jadi, jika dua orang terlibat

dalam komunikasi maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada

36

(45)

kesamaan makna mengenai apa yang di komunikasikan, yakni baik si penerima

maupun si pengirim sepaham dari suatu pesan tertentu.37

Banyak definisi komunikasi diungkapkan oleh para ahli dan pakar

komunikasi seperti yang diungkapkan oleh Carl. I. Hovland yang dikutip oleh

Onong Uchana Effendy dalam buku “Ilmu Komunikasi teori dan Praktek” , ilmu

komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas

asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.38

Hoyland juga mengungkapkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu

komunikasi bukan hanya penyampaian informasi melainkan juga pembentukan

pendapat umum (Public Opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam

kehidupan sosial memainkan peranan yang amat penting.

Dalam pengertian khusus komunikasi, Hovland yang dikutip dari Onong

Uchana Effendy dalam buku Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek mengatakan

bahwa komunikasi adalah: “proses mengubah perilaku orang lain (communication

is the procces to modify the behaviour of other individuals) Jadi dalam

berkomunikasi bukan sekedar memberitahu, tetapi juga berupaya mempengaruhi

agar seseorang atau sejumlah orang melakukan kegiatan atau tindakan yang

diinginkan oleh komunikator, akan tetapi seseorang akan dapat mengubah sikap

pendapat atau perilaku orang lain, hal ini bisa terjadi apabila komunikasi yang

disampaikan bersifat komunikatif yaitu komunikator dalam menyampaikan

37

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Dan Praktek. PT Remaja Rosdakarya, 2001, hal 10

38

(46)

pesan harus benar-benar dimengerti dan dipahami oleh komunikan untuk

mencapai tujuan komunikasi yang komunikatif. 39

2.2.2 Proses Komunikasi

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian

pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain

(komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan

perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran,

kemarahan, keberanian, kegairahan dan sebagainya yang timbul dalam

lubuk hati.

Menurut Onong Uchayana Effendy proses komunikasi terbagi

menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder sebagai

berikut :40

1. Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses

penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain

dengan menggunakan lambang (simbol) sabagai media. Lambang

sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa,

isyarat, gambar,warna, dan lain sebagainya yang secara langsung

mampu “menerjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator

kepada komunikan.

39

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Dan Praktek. PT Remaja Rosdakarya, 2001, hal 11

40

(47)

Bahwa bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam

komunikasi adalah jelas karena hanya bahasalah yang mampu

“menerjemahkan” pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah

berbentuk informasi atau opini; baik mengenai hal yang kongkret

maupun yang abstrak; bukan hanya tentang hal atau peristiwa

yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang

lalu dan masa yang akan datang.

2. Proses komunikasi secara sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses

penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah

memakai lambang sebagai media pertama.Seorang komunikator

mengunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya

karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif

jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, surat kabar, majalah,

radio, televisi, film dan masih banyak lagi adalah media kedua

yang sering digunakan dalam komunikasi.

Pada umumya apabila kita berbicara di kalangan

masyarakat, yang dinamakan media komunikasi itu adalah media

kedua sebagaimana diterangkan di atas. Jarang sekali orang

menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal ini disebabkan

(48)

pikiran atau perasaan yang dibawanya menjadi totalitas pesan

(massage) yang tidak dapat dipisahkan

2.2.3 Tujuan Komunikasi

Setiap individu dalam berkomunikasi pasti mengharapkan tujuan

dari komunikasi itu sendiri, secara umum tujuan berkomunikasi adalah

mengharapkan adanya umpan yang diberikan oleh lawan bicara kita serta

semua pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh lawan bicara kita

dan adanya efek yang terjadi setelah melakukan komunikasi tersebut.

Tujuan komunikasi menurut Effendy41

1. Perubahan sikap (Attitude change)

2. Perubahan pendapat (Opinion change)

3. Perubahan prilaku (Behavior change)

4. Perubahan sosial (Social change)

Jadi secara singkat dapat dikatakan tujuan komunikasi itu adalah

mengharapkan pengertian, dukungan, gagasan dan tindakan. Serta tujuan

yang sama adalah agar semua pesan yang kita sampaikan dapat dimengerti

dan diterima oleh komunikan.42

41

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Dan Praktek. PT Remaja Rosdakarya, 2001, hal 14

42

(49)

2.2.4 Fungsi Komunikasi

Fungsi komunikasi dapat dilihat dalam hubungan pribadi,

hubungan dengan orang lain, ditempat kerja, dan dalam masyarakat43

1. Hidup Pribadi

Melalui komunikasi kita dapat

a) Mengungkapkan perasaan dan gagasan kita.

Komunikasi dapat menjadi alat katarsis untuk

melepaskan beban mental dan psikologis sehingga

kita mendapatkan keseimbangan hidup kembali.

b) Menjelaskan perasaan, isi pikiran, dan perilaku kita

sendiri.

c) Semakin mengenal diri , dengan komunikasi kita

mengenal isi hati, pikiran dan perilaku kita, dan

mendapat umpan balik dari rekan komunikasi kita

tentang emosi, pikiran, kehendak, cita-cita, dan

perilaku kita.

2. Hubungan dengan Orang Lain

Melalui komunikasi kita dapat

a) Mengenal orang lain karena melalui komunikasi, orang

lain mengungkapkan diri kepada kita.

43

(50)

b) Menjalin perkenalan, pertemanan, dan persahabatan

dengan orang lain

c) Membahas masalah, bertukar pikiran, dan membuat

rencana kegiatan bersama orang lain.

d) Meminta bantuan dan pertolongan kepada orang lain

e) Saling membantu mengubah sikap dan perilaku hidup

bersama orang lain.

3. Di Tempat Kerja

Melalui komunikasi kita dapat

a) Menjalin hubungan baik dengan rekan kerja ditempat

kerja

b) Membangun kerja sama dan sinergi dengan rekan kerja.

c) Memberitahu tentang kerja dan mengarahkan kerja itu

sesuai dengan tujuan.

d) Mengatasi perbedaan pendapat, ketengangan, dan

konflik.

4. Dalam Masyarakat

Melalu komunikasi kita dapat

a) Mempersatukan masyarakat

b) Mengatasi masalah bersama dalam masyarakat

c) Membuat usaha untuk kemajuan masyarakat

d) Mengusahakan kesejahteraan masyarakat44

44

(51)

2.2.5 Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication)

merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara

dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan

orang. 45 Komunikasi antarpribadi pada dasarnya merupakan jalinan

hubungan interaktif antara seorang individu dan individu lainnya dimana

lambang-lambang pesan secara efektif digunakan, terutama lambang

bahasa. Penggunaan lambang-lambang bahasa verbal, terutama yang

bersifat lisan, didalam kenyataan kerapkali disertai dengan bahasa isyarat

terutama gerak atau bahasa tubuh, seperti senyuman, tertawa atau

menggeleng atau menggangkukan kepala.

Komunikasi antarpribadi pada umumnya dipahami lebih bersifat

pribadi (private) dan berlangsung secara tatap muka (face to face).

Sebagian komunikasi antarpribadi memang memiliki tujuan, ,misalnya

apabila seorang datang untuk meminta saran atau pendapat kepada orang

lain. Akan tetapi, komunikasi antar pribadi dapat juga relative tanpa tujuan

atau maksud tertentu yang jelas, misalnya ketika seseorang sedang

bertemu dengan kawannya dan mereka lalu saling bercakap-cakap dan

bercanda.46

45 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia 2004)

46

(52)

2.2.6 Pekerja Seks Komersial

Pekerja Seks Komersial(PSK) adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pekerja seks Komersial(PSK) dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat, namun ada pula pihak yang menganggap pekerja seks Komersial(PSK) sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, tapi dibutuhkan

(evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran

pekerja seks Komersial(PSK) bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki), tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa perempuan mana saja.

(53)

dihilangkan melainkan memiliki kecenderungan untuk semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Menurut teori definisi pelacuran yang dikemukakan oleh para ahli maupun Peraturan Pemerintah yaitu:

1. Prof. W.A. Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der aparostitutie: Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian. 2. Sarjana P.J. de Bruine van Amstel: ”Prostitusi adalah

penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.”

3. G.May dalam bukunya Encyclopedia of Social Science: ”Prosa’tua’on defined as sexual intercourse

characterized by barter, promiscuity and emotional

indifference (prostitusi menekankan adanya barter,

promiskuitas, dan ketidakacuhan emosi).”

4. PP DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan sebagai berikut “Wanita tuna susila adalah wanita yang

(54)

luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak.”47

2.3 Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Teori Dramaturgi karena teori ini relevan dengan penelitian yang peneliti ambil. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, penulis ingin menjelaskan akan peran Pekerja Seks Komersial dilingkungannya dilihat dari panggung depan dan panggung belakang para PSK tersebut. Bagaimana individu PSK itu sendiri dikaji melalui konsep dramaturgi mengenai presentasi diri untuk mengetahui bagaimana memaknai sorang pekerja seks komersial sebagai selayaknya panggung sandiwara.

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas PSK bisa saja berubah-ubah tergantung interaksi dengan orang lain. Aktor membawakan naskah dalam bahasa/ simbol-simbol dan perilaku Untuk menghasilkan arti-arti dan tindakan tindakan sosial dalam konteks sosio-kultural orang lain yang menginterpretasikan naskah tersebut dengan pengetahuan mereka tentang aturan aturan budaya atau simbol-simbol signifikan. Di sinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.

47

Yoga puspasari, Paper pekerja Seks Komersia dari

(55)

Kerangka berpikir

Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial di Emporium Jakarta Gambar 2.1

2.4 Penelitian Sebelumnya

Peneliti melakukan studi penelitian terdahulu untuk menjadikan bahan acuan bagi pengembangan dan perbandingan untuk penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini peneliti mencari studi penelitian yang berhubungan dengan penelitian peneliti dimana penelitian yang peneliti lakukan mengenai Presentasi pekerja seks komersial Emporium Jakarta. Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian – penelitian terdahulu yang pernah

Kehidupan Para Pekerja Seks Komersial

Back Stage Dramaturgi

Presentasi Diri Pekerja Seks Komersial

 Kamuflase Penampilan PSK

 Kamuflase Jati Diri

 Kamuflase peran

(56)

dilakukan sebagai bahan perbandingan, pelengkap dan kajian. Beberapa hasil penelitian yang memiliki hubungan dengan penelitian peneliti antara lain:

Table 2.1

Penelitian Sebelumnya

Aspek NamaPeneliti

Angga Sumantono Elfrida Grace Nicko Tamara Lousma Judul Penelitian Perilaku Komunikasi Pengguna Ganja (Studi dramaturgi Perilaku Komunikasi Pengguna Ganja dalam kehidupannya di Kota Bandung)

Ayam Kampus Kota Medan Dengan Analisis Teori Dramaturgi (Studi

Kasus pada

Mahasiswi “ayam kampus” di Kota Medan)

Persentasi diri seorang mahasiswa Gay (Studi Dramaturgis

Tentang Presentasi Diri Seorang Mahasiswa Gay)

Jenis Penelitian

Pendekatan kualitatif dengan metode studi dramaturgi

Pendekatan kualitatif dengan metode studi dramaturgi

Pendekatan kualitatif dengan metode studi dramaturgi

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui Bagaimana Perilaku Komunikasi

Pengguna Ganja (Studi dramaturgi Perilaku Komunikasi Pengguna Ganja dalam

kehidupannya di Kota

Tujuannya dari penelitian ini untuk mendeskripsikan deviasi sosial yang terjadi pada mahasiswi yang sehari–harinya melibatkan dirinya menjadi ayam kampus.

Tujuannya untuk mengetahui presentasi diri dari mahasiswa gay dengan meneliti front

region dan back region

(57)

Bandung).

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukan bahwa panggung depan (front stage), pengguna ganja hampir semuanya memerankan

panggung depan (front stage) sesuai dengan peran mereka di masyarakat, mereka berperan layaknya aktris atau aktor dalam suatu pertunjukan

drama panggung. Pada panggung belakang (back stage), pengguna ganja memainkan sebuah peran yang utuh. Sehingga pada perilaku mereka saat berada di panggung depan (front stage)

dan panggung

belakang (back stage) memiliki suatu peran yang sangat berbeda, mereka

berdramaturgi dalam menjalani

kehidupannya.

Hasilnya

menunjukkan bahwa ayam kampus saat di panggung depan mereka mengelola kesan dengan baik untuk

menyembunyikan identitas mereka ke khalayak orang, sedangkan dalam panggung

belakangnya mereka mempunyai gadun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa gay saat di panggung depan mereka mengelola kesan dengan baik untuk menyembunyikan

(58)

1. Angga Sumantono (Ilmu Komunikasi, Universitas Komputer Indonesia Bandung, 2013

Angga Sumantono mengangkat skripsi yang berjudul “Perilaku

Komunikasi Pengguna Ganja (Studi dramaturgi Perilaku Komunikasi Pengguna Ganja dalam kehidupannya di Kota Bandung) Penelitian bertujuan untuk mengetahui Bagaimana Perilaku Komunikasi Pengguna Ganja (Studi dramaturgi Perilaku Komunikasi Pengguna Ganja dalam kehidupannya di Kota Bandung).” Untuk menjawab masalah diatas, maka diangkat sub fokus

(59)

aktor dalam suatu pertunjukan drama panggung. Pada panggung belakang (back stage), pengguna ganja memainkan sebuah peran yang utuh. Sehingga pada perilaku mereka saat berada di panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) memiliki suatu peran yang sangat berbeda, mereka berdramaturgi dalam menjalani kehidupannya.

2. Elfrida Grace (Sosiologi, Universitas Sumatera Utara 2008)

Elfrida Grace mengangkat skripsi yang berjudul “Ayam Kampus Kota

Medan Dengan Analisis Teori Dramaturgi”. Kampus adalah satu ikon penting

sebagai tempat berlangsungnya pendidikan.Kampus dianggap sebagai tempat belajar yang cukup kompeten karena mahasiswa bisa menggantungkan impian, cita-cita dan masa depan. Mahasiswa yang tengah mengenyam pendidikan tinggi tidak sekedar masuk kuliah atau mengikuti ujian sebagai syarat kelulusan. Mereka yang akan segera terjun ke masyarakat untuk menerapkan ilmu yang dimiliki, tentu diharapkan juga bisa mengembangkan diri agar bisa menjadi sarjana yang berkualitas, kreatif, kritis dan bertanggung jawab. Seiring laju globalisasi yang begitu pesat, berbagai permasalahan muncul dalam dunia Pendidikan Indonesia. Kasus criminal seperti peredaran narkoba, pergaulan bebas, pola hidup hedonis dan keberadaan ayam kampus menjadi kehidupan yang identik dengan dunia kampus. Fenomena keberadaan

ayam kampus saat ini semakin menjadi dan cukup merisaukan masyarakat

(60)

tengah – tengah masyarakat. Untuk itu mereka melakoni peran yang rumit, yaitu berperan sebagai anak yang baik di depan keluarga, berperan sebagai mahasiswi yang normal seperti kebanyakan mahasiswi –mahasiswi. Banyak peran yang mereka lakoni agar keadaan mereka sebagai ayam kampus tidak diketahui. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatitif dengan pendekatan analisis teori dramaturgi. Dalam hal ini, data dikumpulkan dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan didukung dengan pencatatan dokumen yang berasal dari jurnal dan surat khabar serta situs internet. Dari hasil penelitian terhadap 11 ayam kampus di 5 perguruan tinggi menunjukkan bahwa mahasiswi yang menjadi ayam kampus mempunyai faktor – faktor yang berbeda – beda. Tampak dari faktor yang ada, beberapa diantara hasil penelitian ialah banyak kepada faktor ekonomi, faktor kecewa terhadap laki-laki, faktor kepuasan diri terhadap hubungan seksual dan faktor gaya hidup. Kehidupan ayam kampus dianalisa dengan teori dramaturgi dimana kehidupan mereka merupakan pertunjukan yang mereka atur, sutradara, dan lakoni sendiri dengan konsep „pertunjukan dramanya

Gambar

Gambar 2.1 Kehidupan Para Pekerja Seks Komersial
Table 2.1 Penelitian Sebelumnya
Tabel 3.2
Tabel 3.3

Referensi

Dokumen terkait

TANAH

Carlsen let the author know his preprint [Ca], where he shows that the C ∗ -algebra associated with sofic shifts are isomorphic to the Cuntz-Krieger algebras of their left Krieger

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara rubrik Heroes Among Us dalam majalah HAI terhadap tingkat pengetahuan kewirausahaan di kalangan siswa

Akibatnya percobaan Einstein justru bertentangan dengan pernyataan Huygens dengan teori gelombangnya.Pada efek fotolistrik, besarnya kecepatan elektron yang terlepas

[r]

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di SMA Taman Mulia Kubu Raya diperoleh bahwa terdapat pengaruh positif dalam komunikasi guru-siswa terhadap

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daging buah kurma ajwa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah neuron pada otak embrio mencit, tetapi terdapat

Their measure of religiosity includes (i) the strength of individuals’ belief in God; (ii) the importance of religion and (iii) the individuals’ perception of their level