BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
Ada berbagai variasi defenisi dan klarifikasi mengenai kemiskinan yang
dikemukakan oleh beberapa pakar ekonomi, salah satunya David Cox (dalam Seabrook,
2006: 31) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang
dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju, sedangkan
negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan
pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten yaitu
kemiskinan akibat rendahnya pembangunan, kemiskinan pedesaan yaitu
kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan,
kemiskinan perkotaan yaitu kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan
kecepatan pertumbuhan perkotaan.
3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan
kelompok minoritas.
4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian
lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam,
kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar
kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis
individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang
per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan,
pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya
diakses pada pukul 13.46 WIB, 23 Maret 2012).
Kemiskinan dilihat dari sisi poverty profile masyarakat. Kemiskinan tidak hanya
menyangkut persoalan kesejahteraan semata, tetapi kemiskinan menyangkut persoalan
kerentanan, ketidakberdayaan, tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja,
menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka
ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi
dalam budaya kemiskinan yang diwarisi dari satu generasi kegenerasi berikutnya
(Seabrook, 2006: 34).
Teori kemiskinan budaya yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan
bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang
dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang
memiliki etos kerja dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang
yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat
menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini
seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini,
kemiskinan terjadi bukan dikarenakan ketidakmauan si miskin untuk bekerja, melainkan
karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja
Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan tidak bisa hanya dipandang dari sisi
kurangnya pemenuhan kebutuhan pokok semata sebagai akibat kerentanan dan
ketidakberdayaan seperti yang selama ini banyak didefinisikan dalam
kebijakan-kebijakan tentang pengentasannya. Kemiskinan juga harus dipandang dari pengertian
kemiskinan relatif sehingga kebijakan yang diambil dapat memberikan solusi terhadap
akar permasalahan kemiskinan itu sendiri.
2.2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada hakikatnya
pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat
menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan dalam komunitasnya sendiri.
Konsep pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus
harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan
ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan.
Harapan muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan
nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah
memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya memberdayakan
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia,
setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Dalam rangka
ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan
suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan, serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang yang akan
membuat masyarakat menjadi berdaya.
Upaya yang amat pokok dalam rangka pemberdayaan ini adalah peningkatan
taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa
pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti
irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan,
yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan
lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana
terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Dalam hal ini perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya,
karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan
seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok
dari upaya pemberdayaan ini (Adi, 2003: 51-52).
Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke
dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Terpenting disini
adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pemberdayaan masyarakat. Menurut
Rubin (dalam Adi, 2003: 55) mengemukakan 5 prinsip dasar dari konsep pemberdayaan
masyarakat sebagai berikut:
1. Pemberdayaan masyarakat memerlukan break-even dalam setiap kegiatan yang
dikelolanya, meskipun orientasinya berbeda dari organisasi bisnis, dimana
dalam pemberdayaan masyarakat keuntungan yang diperoleh didistribusikan
kembali dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan lainnya.
2. Pemberdayaan masyarakat selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam
perencanaan maupun pelaksanaan yang dilakukan.
3. Dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, kegiatan pelatihan
merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dari usaha pembangunan fisik.
4. Dalam implementasinya, usaha pemberdayaan harus dapat memaksimalkan
sumber daya, khususnya dalam hal pembiayaan baik yang berasal dari
pemerintah, swasta maupun sumber-sumber lainnya.
5. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus dapat berfungsi sebagai penghubung
antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro dengan kepentingan
2.3. Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau
komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pengembangan masyarakat
memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan
minat untuk bekerja sama dengan mengidentifikasikan kebutuhan bersama dan
kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pengembangan Masyarakat sering diimplementasikan dalam bentuk:
1. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh
dukungan dalam memenuhi kebutuhan.
2. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat
dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.
Pengembangan Masyarakat terdiri dari dua konsep, yaitu pengembangan dan
masyarakat. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha
bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang
pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan,
dan sosial-budaya. Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:
1. Masyarakat sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi yang
sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau
sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan
kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat
seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan
khusus (anak cacat fisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.
Istilah masyarakat dalam pengembangan masyarakat biasanya diterapkan
terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan
pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yang diberikan
di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan sosial kemasyarakatan, sedangkan
perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manusia lanjut usia adalah contoh
pelayanan sosial kelembagaan.
Istilah masyarakat juga sering dikontraskan dengan negara. Misalnya, sektor
masyarakat sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang
kecil, informal dan bersifat bottom-up, sedangkan lawannya, yakni sektor publik kerap
diartikan sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih besar.
Pengembangan masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang
yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh
diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan
(Susantyo, 2008: 39-40).
2.3.1. Model-Model Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat terdiri atas tiga model yang berguna dalam
memahami konsep pekerjaan sosial dengan masyarakat yaitu:
1. Pengembangan masyarakat lokal, proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan
sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota
sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai yang unik dan memiliki potensi,
hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan.
2. Perencanaan sosial, yang dimaksud perencanaan sosial disini adalah sebagai proses
pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam
memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan
remaja, kebodohan, kesehatan masyarakat yang buruk.
3. Aksi sosial, tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan
fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses
pendistribusian kekuasaan, pendistribusian sumber dan pengambilan keputusan. Aksi
sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir
melalui proses penyadaran, pemberdayaan, dan tindakan-tindakan actual untuk
mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokratis, kemerataan
dan keadilan (Soetomo, 2006: 131).
2.3.2. Peranan Pekerja Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat
Paradigma generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi kegiatan-kegiatan
pengembangan masyarakat serta menunjukkan peranan-peranan dan strategi sesuai
dengan fungsi tersebut. Mengacu pada Parsons, Jorgensons dan Hernandez (dalam
Susantyo, 2008: 51-52) ada beberapa strategi dalam pengembangan masyarakat. Strategi
tersebut disesuaikan dengan peranan pekerja sosial dalam pelaksanaan pengembangan
1. Fasilitator
Peranan fasilitator sering juga disebut sebagai pemungkin sebagai tanggung
jawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau
transisional. Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa setiap perubahan
terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan perana
pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan
perubahan yang ditetapkan dan disepakati bersama.
2. Broker
Dalam konteks pekerja sosial dengan masyarakat, peran pekerja sosial sebagai
broker tidak jauh berbeda dengan peran broker dipasar modal. Seperti halnya dipasar
modal, pekerjaan sosial dengan masyarakat terdapat klien atau konsumen namun,
demikian pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial
dilingkungannya menjadi sangat penting dalam memenuhi keinginan kliennya
memperoleh keuntungan maksimal.
3. Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan
pertolongannya. Pekerja sosial dapat memerankan sebagai fungsi kekuatan ketiga untuk
menjembatani anatara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam peran pekerja sosial sebagai mediator meliputi
kontak perilaku, negosiasi, mendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi
4. Pembela
Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus dan advokasi kausa. Apabila
pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia
berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kausa terjadi manakala klien yang dibela
pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.
5. Pelindung
Dalam melakukan peran sebagai pelindung, pekerja sosial bertindak berdasarkan
kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang beresiko lainnnya. Peranan
sebagai pelindung mencakup penerapan sebagai kemampuan yang menyangkut:
kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan pengawasan sosial.
2.4. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Definisi Corporate Social Responsibility menurut World Business Council on
Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis
dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya
meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan
masyarakat luas. Definisi lain, Corporate Social Responsibility adalah tanggung jawab
perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders
sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi (Wibisono,
2007: 6).
Petkoski dan Twose (dalam Susanto, 2007: 22) mendefinisikan Corporate Social
Responsibility sebagai komitmen bisnis untuk berperan untuk mendukung pembangunan
masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang
menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan.
Green Paper Komisi Masyarakat Eropa 2001 (dalam Susanto, 2007: 24)
menyatakan bahwa kebanyakan definisi tanggung jawab sosial korporasi menunjukkan
sebuah konsep tentang pengintegrasian kepedulian terhadap masalah sosial dan
lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis perusahaan dan interaksi sukarela antara
perusahaan dan para stakeholder-nya. Ini setidaknya ada dua hal yang terkait dengan
tanggungjawab sosial korporat itu yakni pertimbangan sosial dan lingkungan hidup serta
interaksi sukarela.
Melalui bukunya berjudul Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of
Twentieth Century Business, Elkington (dalam Siagian & Suriadi, 2010: 49)
mengenalkan konsep Triple Bottom Line. Dalam bukunya tersebut Elkington mencoba
menyadarkan para pelaku usaha, bahwa jika para pelaku ingin aktivitas ekonomi
perusahaannya berkesinambungan dan berjalan baik, maka para pelaku usaha tidak
boleh hanya berorientasi pada satu fokus berupa keuntungan, melainkan harus
menjadikan tiga fokus sebagai orientasi aktivitas ekonomi, yang oleh Elkington
dinamakan dengan konsep “3P”.
Cakupan yang harus menjadi pusat perhatian para pelaku usaha adalah, selain
mengejar keuntungan perusahaan (Profit), pihak pelaku usaha juga harus
memperhatikan dan terlibat secara sungguh-sungguh dalam upaya pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (People), serta turut berperan aktif dalam menjamin
pemeliharaan dan pelestarian lingkungan (Planet). Dalam kaitan itulah, penerapan
corporate social responsibility dipandang bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi
Corporate Social Responsibility adalah suatu peran bisnis dan harus menjadi
bagian dari kebijakan bisnis. Bisnis tidak hanya mengurus permasalahan laba, tapi juga
harus mengandung kesadaran sosial terhadap lingkungan sekitar. Sejalan dengan
dinamika saat ini, disimpulkan ada enam kecenderungan utama yang semakin
menegaskan arti penting Corporate Social Responsibility, yaitu:
1. Meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin.
2. Posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya.
3. Makin mengemukanya arti kesinambungan.
4. Makin gencarnya sorotan kritis dan resistensi dari publik.
5. Tren ke arah transparansi.
6. Harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik dan manusiawi
pada era milenium baru (Soetomo, 2006: 116).
Corporate Social Responsibility merupakan salah satu bentuk implementasi dari
konsep tata kelola perusahaan yang baik. Diperlukan tata kelola perusahaan yang baik
agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur
hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentinga, yang dapat dipenuhi secara
proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan
memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
Konsep ini mencakup berbagai kegiatan dan tujuannya adalah untuk
mengembangkan masyarakat yang sifatnya produktif dan melibatkan masyarakat
didalam dan diluar perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, meski
perusahaan hanya memberikan kontribusi sosial yang kecil kepada masyarakat tetapi
Ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti merespon dan
mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi usahanya :
Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar
bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan mesti menyadari
bahwa mereka beroperasi dalam suatu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial
ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan
ekploratif, di samping sebagai kompensasi sosial karena timbulnya ketidaknyamanan
pada masyarakat, semua ini diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum,
dan aturan yang memaksa karena adanya market driven.
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang
bersifat simbiosa mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat,
setidaknya license to operate, wajar bila perusahaan juga dituntut untuk memberikan
kontribusi positif kepada masyarakat sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan
bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Implementasikan program karena
memang ada dorongan yang tulus dari dalam, perusahaan telah menyadari bahwa
tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan
keuntungan demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk
meredam bahkan menghindari konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat
dampak operasional perusahaan ataupun akibat kesenjangan struktural dan ekonomis
yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan, dan dipraktekkan lebih
dalam konteks kehumasan merupakan kebijaksanaan bisnis yang hanya bersifat
kosmetik (Wibisono, 2007: 23-24).
2.5. Evaluasi Pelaksanaan Program 2.5.1. Pengertian Evaluasi
Evaluasi menurut Yusuf (dalam Siagian & Suriadi, 2010: 116) adalah Suatu
upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian hasil yang telah dirancang
dari suatu aktivitas atau program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang mana hasil
penilaian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktivitas perencanaan baru yang
akan dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama di masa depan.
Evaluasi menurut Jones (dalam Siagian & Suriadi, 2010: 117) adalah suatu
aktivitas yang dirancang untuk menimbang manfaat atau efektivitas suatu program
melalui indikator yang khusus, teknik pengukuran, metode analisis, dan bentuk
perencanaan.
2.5.2. Pengertian Pelaksanaan
Menurut Kamus Webster (dalam Wahab, 1990: 48) implementasi kebijaksanaan
dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan biasanya
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah
eksekutif, atau dekrit presiden.
Menurut Grindle (dalam Wahab, 1990: 50) implementasi kebijakan
sesungguhnya bukanlah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran
implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat
diterapkan sesuai dengan rencana, maka penerapan adalah suatu proses yang tidak
sederhana
Pernyataan ini turut didukung oleh Ujodi (dalam Wahab, 1990: 51)
mengemukakan dengan tegas bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang
penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam
arsip jika tidak diimplementasikan.
Dapat dikatakan, bahwa implementasi adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan
untuk melaksanakan serta mengoperasikan suatu program atau kebijakan yang perlu
dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi dan
berwawasan pemberdayaan. Mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih
banyak yang terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi.
2.5.3. Pengertian Program
Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang
berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan
unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Manila (dalam
Jones, 1996: 43) mengemukakan bahwa program akan menunjang implementasi, karena
dalam program telah dimuat berbagai aspek antara lain:
a. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
b. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil dalam menccapai tujuan itu.
d. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.
e. Adanya strategi dalam pelaksanaan.
2.5.4. Pengertian Evaluasi Pelaksanaan Program
Evaluasi dalam pelaksanaan suatu program yaitu, melakukan analisis tingkat
kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, di dalamnya meliputi apakah
pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada
perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan (Siagian
& Suriadi, 2010: 117-118). Dapat diketahui bahwa evaluasi pelaksanaan program adalah
sejauhmana pelaksanaan suatu program, yaitu sosialisasi yang dilakukan, ketepatan
sasaran dan waktu program, pelayanan program yang diberikan, manfaat dan tujuan
serta penanganan dari pengaduan masyarakat terhadap program.
2.6. BUMN
Sesuai dengan isi Undang Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara, dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa Badan Usaha
Milik Negara ,yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Perusahaan Perseroan, diatur juga dalam
PP No. 12 tahun 1998, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 45 tahun 2001, yang
selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu
Perusahaan Umum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan
tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum, berupa penyediaan
barang atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan
prinsip pengelolaan perusahaan. Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya
disebut Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya
memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Secara filosofis, BUMN lahir sebagai wujud implementasi dari kewajiban negara
mempersembahkan kesejahteraan kepada rakyatnya. Membangun struktur perekenomian
yang kuat, melalui bisnis yang sehat dan beretika, merupakan salah satu jalan meraih
kesejahteraan itu. Hal ini dikarena negara tidak mungkin secara langsung menjalankan
aktivitas bisnis, maka BUMN adalah pilihan dengan cara menempatkan modal negara di
dalamnya.
Badan Usaha Milik Negara memiliki peran dan fungsi yang strategis, sebagai
pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut
membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. Demikian vitalnya eksistensi suatu
BUMN dan untuk memberikan landasan pijakan hukum yang kuat bagi ruang gerak
usaha BUMN, maka pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
menyetujui dan mengesahkan Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang
mulai berlaku sejak tanggal 19 Juni 2003. Pasal 2 ayat (1) huruf e Undang-undang
BUMN menyebutkan bahwa salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah
turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan lemah,
koperasi, dan masyarakat. Selanjutnya didalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang
untuk keperluan pembinaan usaha kecil dan koperasi serta pembinaan masyarakat
sekitar BUMN (Wibisono, 2007: 69).
Meski tidak secara eksplisit menegaskan mengenai organ perseroan suatu
BUMN, Undang-undang BUMN menyebutkan bahwa pengurusan BUMN dilakukan
oleh Direksi (Pasal 5 ayat 1), sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Komisaris dan
Dewan Pengawas (Pasal 6 ayat 1). Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan
BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi, Komisaris, maupun Dewan
Pengawas harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan
serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Direksi selaku organ
BUMN yang ditugasi melakukan pengurusan tunduk pada semua peraturan yang berlaku
terhadap BUMN, dan tetap berpegang pada penerapan prinsip-prinsip good corporate
governance yang meliputi:
a) Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan
relevan mengenai perusahaan.
b) Kemandirian, yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip
korporasi yang sehat.
d) Pertanggung jawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat.
e) Kewajaran, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat
(Wibisono, 2007: 70).
2.7. Program Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara IV 2.7.1. Pengertian Program Kemitraan
Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor
PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan Badan Milik
Negara Dengan Usaha Kecil, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 6 disebutkan bahwa
Program Kemitraan adalah, program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar
menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba
BUMN/Perusahaan yang besarnya 1% (satu persen) s/d 3% (tiga persen) dari laba bersih
setelah dipotong pajak. Program Kemitraan ini merupakan salah satu tanggung jawab
sosial perusahaan (PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara, 2011: 1).
2.7.2. Manfaat Program Kemitraan
Adapun manfaat Program Kemitraan pada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
antara lain:
a. Dana pinjaman untuk membiayai modal kerja atau usaha serta investasi bagi
b. Pembinaan mitra binaan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan,
kompetensi serta menambah omset usaha mitra binaan dalam pembangunan
ekonomi kerakyatan.
c. Kemajuan serta peningkatan dalam usaha mitra binaan dapat memperluas
lapangan kerja dan peningkatan taraf hidup masyarakat menuju sejahtera.
d. Pembangunan ekonomi kerakyatan pada masa kedepan akan mendukung
pembangunan kekuatan berbagai sektor lainnya menuju kesejahteraan hidup
bangsa (PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara, 2011: 5).
2.7.3. Program Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara IV
PT. Perkebunan Nusantara IV merupakan salah satu perusahaan BUMN terbesar
di Indonesia. Perusahaan ini menjalankan program pemerintah yang telah dibentuk di
atas, sesuai dengan Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara IV Nomor :
04.11/KPB/80/XII/2007 tanggal 27 Desember 2007 tentang Struktur Organisasi, Sasaran
Tugas Organisasi dan Proses Bisnis. PT. Perkebunan Nusantara IV telah membentuk
satu bagian yang khusus mengelola kegiatan pembinaan tersebut yaitu Bagian Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan yang berada dibawah Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan Usaha (PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara, 2011: 2).
Program Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara IV adalah suatu program
pembinaan dari BUMN yang merupakan perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan
dari PT. Perkebunan Nusantara IV kepada masyarakat yang membutuhkan yang tersebar
keseluruh wilayah Sumatera Utara, terutama khususnya masyarakat yang berada
dengan perusahaan. Sasaran kebijakan Program Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara
IV ini dengan menjadikan usaha kecil sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang maju,
modern, tangguh dan mandiri serta memiliki fungsi dan peranan strategis dalam
Perekonomian Nasional. Hal ini merupakan tindakan PT. Perkebunan Nusantara IV
dalam menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance.
Dalam menjalankan program kemitraan oleh PT. Perkebunan Nusantara IV ini,
terdapat beberapa hal yang sebelumnya harus dipahami, anatara lain:
1. Perjanjian Kredit/Pinjaman
Perjanjian kredit/pinjaman yang merupakan perikatan antara pihak PT.
Perkebunan Nusantara IV dengan pihak Mitra Binaan yang mengatur hak dan
kewajiban kedua belah pihak, sehingga memiliki landasan agar tidak terjadi
kerugian antara kedua belah pihak.
2. Mitra Binaan
Merupakan badan hukum dan perorangan yang telah memenuhi syarat dan
melewati seleksi untuk diberikan dana pinjaman dari Bagian Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan untuk mengembangkan usaha sesuai dengan
standar Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, sebagai berikut:
a. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu
milyar rupiah).
b. Milik warga negara Indonesia.
c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai baik langsung maupun tidak langsung dengan
d. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
e. Mempunyai potensi dalam prospek usaha untuk dikembangkan.
f. Telah melakukan kegiatan usaha minimal satu tahun.
3. Laporan
Merupakan informasi tentang suatu progress dan potensi kegiatan Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan yang dipertanggung jawabkan kepada pihak
yang berkepentingan.
4. Agunan
Merupakan suatu jaminan mitra binaan yang diserahkan kepada Bagian
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, sebagai ikatan tanggung jawab
terhadap dana pinjaman yang harus dikembalikan oleh mitra binaan. Apabila
mitra binaan tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian
kredit/pinjaman, maka hal ini akan diproses oleh Bagian Program Kemitraan
dan Bina Lingkungan dengan mitra binaan, apakah agunan tersebut diproses
untuk melunasi pinjaman atau Bagian Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan memberi waktu dengan mitra binaan untuk melunasi sisa
pinjaman terhutang.
5. Bunga Pinjaman
Adalah besarnya bunga pinjaman yang ditetapkan adalah 6% (enam persen)
pertahun dengan sistem perhitungan bunga efektif yang dikenakan kepada
mitra binaan. Bunga diangsur bersama-sama dengan angsuran pokok
6. Masa Pinjaman
Adalah masa perjanjian dana pinjaman selama 36 bulan dengan masa grace
periode tiga bulan.
7. Pembayaran Angsuran
Merupakan kewajiban mitra binaan setiap bulan menyetorkan sejumlah
angsuran (pinjaman pokok + bunga) perbulan ke rekening Bagian Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan selama masa yang telah ditetapkan dalam
perjanjian kerja sama.
8. Rekening Koran
Merupakan identifikasi nasabah pada institusi perbankan, yang telah
disyahkan oleh perbankan tertentu, sebagai alamat transaksi (kirim/terima)
antara mitra binaan dengan Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara, 2011: 7).
2.7.3.1. Pelaksanaan Program Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara IV
Adapun kegiatan dalam pelaksanaan Program Kemitraan PT. Perkebunan
Nusantara IV, yaitu:
a. Penyaluran Pinjaman Dana Program Kemitraan
Dalam program kemitraan penyaluran dana pinjaman untuk membantu usaha
kecil dilakukan setiap triwulan yaitu pada bulan bulan Maret, Juni, September dan
Desember. Proses seleksi terhadap calon mitra binaan dimulai dari penelitian
administrasi hingga survei kelayakan di lapangan, dilakukan sejak awal triwulan dan
(1). Tata cara pengajuan permohonan pinjaman dana program kemitraan:
a. Calon mitra binaan menyampaikan proposal pinjaman kepada perusahaan
yang ditujukan kepada Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
b. Jadwal penerimaan/penyampaian proposal yang menjadi prioritas adalah
pada Semester I Tahun berjalan dan selanjutnya paling lambat pada
Triwulan III. Diluar jadwal tersebut proposal pinjaman akan dievaluasi
pada tahun berikutnya.
d. Proposal yang masuk dicatat pada buku agenda dan menjadi milik PT.
Perkebunan Nusantara IV serta masa berlakunya hanya dua tahun. Hal ini
disebabkan data proposal sudah tidak up to date lagi dengan kegiatannya.
(2). Pelaksanaan Seleksi/Evaluasi
Perusahaan melaksanakan seleksi/evaluasi terhadap proposal pinjaman calon
mitra binaan melalui dua tahap sebagai berikut:
a. Tahap seleksi/evaluasi administrasi dan keuangan meliputi:
Memeriksa kelengkapan data proposal serta lampirannya, apabila proposal
dianggap layak maka diteruskan untuk dievaluasi lapangan, tetapi apabila
tidak layak akan dibalas dengan surat resmi ditolak.
b. Tahap seleksi/evaluasi lapangan meliputi:
Peninjauan langsung ke unit usaha calon mitra binaan untuk menilai
kelayakan guna memperoleh pinjaman.
(3). Pelaksanaan Penyaluran Pinjaman
a. Calon mitra binaan yang telah lulus seleksi setelah mempertimbangkan
b. Daftar calon mitra binaan terseleksi tersebut diajukan oleh Bagian Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan ke Direksi PT. Perkebunan Nusantara IV
untuk mendapat persetujuan.
c. Memberitahu dan mengundang calon mitra binaan untuk menandatangani
kontrak atau surat perjanjian kerja sama.
d. Dari daftar calon mitra binaan yang telah disetujui direksi ditindak lanjuti
dengan pembuatan kontrak/Surat Perjanjian Kredit dalam rangkap dua
yang ditanda-tangani oleh calon mitra binaan dan direksi.
e. Surat Perjanjian Pinjaman tersebut dilengkapi dengan Kwitansi Tanda
Terima Pinjaman bermaterai cukup serta Daftar Cicilan Pinjaman
f. Jangka waktu ditetapkan selama 36 bulan dengan masa grace periode tiga
bulan
g. Besarnya bunga pinjaman antara 6% (enam persen) pertahun dengan
sistem perhitungan bunga efektif
h. Penyaluran dana pinjaman dilakukan melalui transfer langsung ke
rekening calon mitra binaan
i. Mitra binaan kemudian akan menerima satu set surat perjanjian yang telah
ditanda-tangani oleh kedua belah pihak serta surat tanda terima agunan
dari Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan bagi yang
menyerahkan agunan.
b. Pemantauan Mitra Binaan / Monitoring
Demi kelancaran program kemitraan yang memberikan pinjaman kepada mitra
binaan, maka adanya tugas yang dilakukan oleh petugas dari Bagian Program Kemitraan
(1). Pemantauan kepada mitra binaan jika memungkinkan dilakukan setiap bulan
oleh karyawan Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan di
Kabupaten/Kota baik di Provinsi Sumatera Utara maupun diluar Provinsi
Sumatera Utara.
(2). Monitoring pemenuhan kewajiban, pengembangan usaha, permasalahan yang
dihadapi oleh mitra binaan dan lain-lain.
(3). Hasil monitoring petugas Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan,
dituangkan dalam bentuk laporan untuk disampaikan kepada Kepala Bagian
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan selanjutnya diteruskan kepada
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha PT. Perkebunan Nusantara
IV.
(4). Bagi mitra binaan yang kurang disiplin dalam mengembalikan pinjaman
ditindak lanjuti dengan pemberian surat peringatan tertulis yang
ditanda-tangani oleh Kepala Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
c. Pembinaan / Pelatihan
Untuk mewujudkan kelancaran usaha para mitra binaan. Bagian Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan mengadakan pembinaan /pelatihan kepada para mitra
binaan tersebut demi kelancaran usaha mereka. Kegiatan pembinaan yang telah
dilakukan adalah berupa:
1. Pelatihan kepada para mitra binaan.
2. Mengikuti berbagai acara untuk promosi produk-produk yang dihasilkan oleh
mitra binaan melalui pameran.
2.8. Kerangka Pemikiran
Berbagai persoalan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kini
semakin menjadi perhatian, hal ini membuat pemerintah untuk mendorong
perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN agar menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan.
PT. Perkebunan Nusantara IV merupakan salah satu perusahaan BUMN yang
menjalankan program pemberdayaan masyarakat sebagai wujud tanggung jawab sosial
perusahaan. PT. Perkebunan Nusantara IV membentuk sebuah bagian yang menjalankan
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Adapun yang menjadi sasaran kajian
penelitian adalah Program Kemitraan. yang kegiatannya terdiri atas:
1. Penyaluran dana pinjaman untuk modal pengembangan usaha mitra binaan.
2. Monitoring mitra binaan oleh bagian Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan.
3. Pembinaan dan pelatihan kepada mitra binaan terhadap promosi produk mitra
binaan.
Sasaran dari pada Program Kemitraan ini adalah badan hukum atau perorangan
yang telah menjadi mitra binaan yang tersebar di seluruh wilayah Sumatera Utara,
termasuk area Medan dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Berdasarkan pelaksanaan
Program Kemitraan tersebut, maka diperlukannya evaluasi yang bertujuan untuk melihat
dan menilai apakah program tersebut telah berjalan dengan tujuan semula dan sesuai
dengan proses perencanaan yang telah dicanangkan sebelumnya dan bagaimana persepsi
atau pandangan masyarakat terhadap adanya pelaksanaan program kedepannya.
Program Kemitraan ini diharapkan dapat mencapai tujuan yang mendorong
pengembangan usaha mikro dengan memberi pinjaman dan terwujudnya hubungan yang
apakah adanya penyediaan tenaga profesional seperti pekerja sosial yang diangkat
menjadi karyawan perusahaan atau kerja sama dengan pihak lain yang menjalankan
program pemberdayaan masyarakat sehingga harapan masyarakat dan perusahaan
Untuk memperjelas alur pemikiran tersebut, dapat dilihat bagan kerangka
pemikiran di bawah ini:
Bagan 2.1
Bagan Alir Pikiran
Bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL)
Program Kemitraan
1. Penyaluran dan pengembalian pinjaman (dana pinjaman untuk modal pengembangan usaha mitra binaan)
2. Monitoring mitra binaan oleh Bagian PKBL
3. Pembinaan dan pelatihan kepada mitra binaan terhadap promosi produk mitra binaan
Mitra Binaan PTPN IV Area Medan dari tahun 2007 sampai tahun 2011
1. Kesesuaian sasaran yang direncanakan dengan pelaksanaan
2. Pengembangan usaha mikro dengan memberi pinjaman
3. Terwujudnya hubungan harmonis antara perusahaan dengan masyarakat
4. Persepsi mitra binaan terhadap program dan perusahaan
5. Keterlibatan pekerja sosial profesional
PT. Perkebunan Nusantara IV Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
2.9. Defenisi Konsep dan Operasional 2.9.1. Defenisi Konsep
Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya
menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji, untuk menghindari
salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, maka
seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang diteliti.
Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian
disebut dengan defenisi konsep.
Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu
memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti,
jadi defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut
dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 136-138). Untuk lebih memahami pengertian
mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang
digunakan sebagai berikut:
1. Evaluasi adalah proses penilaian untuk menentukan sampai sejauhmana kelemahan
dan kekurangan suatu program, sejak direncanakan sampai pada pelaksanaan untuk
mencapai tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Pelaksanaan adalah penerapan seperangkat program atau kebijakan yang memiliki
tujuan yang ingin dicapai oleh individu, kelompok, pemerintah maupun masyarakat.
3. Program Kemitraan adalah salah satu bentuk dari penerapan tanggung jawab sosial
perusahaan yang dilaksanakan Badan Usaha Milik Negara untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui pemberian pinjaman sebagai peningkatan usaha kecil
4. PT. Perkebunan Nusantara IV Medan Sumatera Utara adalah salah satu perusahaan
pemerintah BUMN terbesar di Indonesia yang bergerak di bidang perkebunan.
5. Evaluasi pelaksanaan Program Kemitraan oleh PT. Perkebunan Nusantara IV adalah
suatu proses penilaian terhadap pelaksanaan program untuk kemandirian masyarakat
oleh PT. Perkebunan Nusantara IV bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan ekonomi kerakyatan melalui pengembangan usaha
mikro.
2.9.2. Defenisi Operasional
Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan bahwa
perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep.
Jika perumusan defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman
tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti,
maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata
sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011: 141).
Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam evaluasi pelaksanaan Program
Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara IV dapat diukur melalui indikator sebagai berikut:
1. Kesesuaian Pelaksanaan Program Kemitraan yang direncanakan dengan pelaksanaan
adalah kesesuaian pelaksanaan yang meliputi penyaluran dana, pemantauan mitra
binaan, pemberian pelatihan sudah sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
a. Penyaluran dana pinjaman, diukur dengan:
1. Siapa mitra binaan/ Peminjam dana
2. Usaha mitra binaan
4. Proses peminjaman
5. Dana pinjaman yang diinginkan
6. Agunan
7. Bunga Pinjaman
b. Pemantauan/ monitoring mitra binaan, diukur dengan:
1. Pihak PT. Perkebunan Nusantara IV melakukan monitoring
2. Frekuensi pihak PT. Perkebunan Nusantara IV melakukan monitoring
3. Guna pihak PT. Perkebunan Nusantara IV melakukan monitoring bagi mitra
binaan
c. Pelatihan dan pembinaan bagi mitra binaan, diukur dengan:
1. Kegiatan pameran yang dilakukan mitra binaan
2. Fasilitas oleh pihak PT. Perkebunan Nusantara IV
3. Pelatihan dan pembinaan oleh pihak PT. Perkebunan Nusantara IV kepada
mitra binaan
2. Pengembangan usaha mikro dengan memberikan pinjaman adalah tujuan daripada
pelaksanaan Program Kemitraan yang diharapkan, sehingga diperlukan evaluasi
apakah pengembangan usaha mikro yang diharapkan telah tercapai, diukur dengan:
a. Kelancaran pengembangan usaha
b. Hambatan pengembangan usaha
c. Pengembangan usaha mitra binaan sebelum melakukan pinjaman
3. Terwujudnya hubungan harmonis antara masyarakat dengan perusahaan, dimana hal
ini merupakan tujuan dari pelaksanaan Program Kemitraan, apakah tujuan yang
diharapkan tersebut tercapai hal ini dapat diukur dengan:
a. Peranan PT. Perkebunan Nusantara IV terhadap masyarakat
b. Peranan masyarakat terhadap peningkatan image building PT. Perkebunan
Nusantara IV
4. Persepsi mitra binaan terhadap program dan perusahaan, hal ini dapat diukur dengan:
a. Persepsi mitra binaan terhadap perusahaan
b. Persepsi mitra binaan terhadap program yang dilaksanakan perusahaan
5. Keterlibatan pekerja sosial profesional, hal ini dapat diukur dengan:
a. Pihak pekerja sosial turut dalam pelaksanaan program