kliping
ELSAM
KLIPING WACANA REKONSILIASI 2001
==========================================================================
Kompas, Senin, 22 Jan 2001 Halaman: 6 Penulis: son; p04 Ukuran: 2780
Forum Rektor Indonesia: Rekonsiliasi Konflik Mendesak Dilakukan
kliping
ELSAM
KOMPAS - Rabu, 24 Jan 2001 Halaman: 4 Penulis: Musakabe, Herman Ukuran: 83102001, Tahun Rekonsiliasi atau Disintegrasi?
Oleh Herman MusakabeBANYAK perkiraan dan ramalan tentang apa yang akan terjadi di tahun 2001 sebagai awal abad ke-21. Bangsa Indonesia memasuki tahun 2001 dengan penuh kecemasan karena krisis multidimensi-ekonomi, politik, hukum, kepercayaan dan moral-masih melanda, ditambah bahaya disintegrasi bangsa yang terjadi di Aceh dan Irian Jaya. Selain itu, tidak boleh diabaikan, perubahan yang terjadi dari abad ke-20 sebagai gambaran masa lalu, ke abad ke-21 sebagai masa depan umat manusia yang akan mempengaruhi ketahanan organisasi, baik organisasi bisnis maupun pemerintahan dan negara. Dalam bidang kepemimpinan akan terjadi perubahan, dari kepemimpinan dari atas (leadership from the top) menjadi kepemimpinan semua pihak (leadership from everybody). Dari kebiasaan menunggu perintah dan "mohon petunjuk" pada masa lalu, para pemimpin dituntut memiliki keberanian dan mengambil keputusan sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai awal 2001 merupakan ujian bagi para pemimpin di daerah yang pada masa lalu sangat didominasi pemerintah pusat. Dalam bidang kondisi sosial, kita menghadapi perubahan dari stabilitas dan kondisi mudah diramalkan (stability, predictability) menjadi perubahan tidak menentu (discontinous change) serta dari kebutuhan atas kepastian (need for certainty) menjadi toleransi terhadap ketidakpastian (tolerance of ambignity). Peristiwa kerusuhan di Maluku dan Maluku Utara, tuntutan Aceh dan Papua (Irian Jaya) untuk merdeka, ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan DPR, serta rangkaian peledakkan bom yang terjadi di tahun 2000 merupakan peringatan, hal serupa bisa terjadi lagi pada tahun 2001 ini. Dalam bidang usaha/bisnis kita menghadapi perubahan dari kemandirian usaha (corporate independence) menjadi interdependensi usaha (corporate interdependence) serta persaingan untuk merebut pasar hari ini (competing for today's market) menjadi menciptakan pasar masa depan (creating tommorow market). Kalau dunia usaha tidak
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, maka dunia usaha kita akan makin terpuruk ditambah pengaruh negatif instabilitas politik dan keamanan. Terlepas dari semua perubahan yang akan terjadi, faktor yang paling mengkhawatirkan adalah ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif, atau lebih khusus lagi ketegangan politik antara Presiden Gus Dur dengan DPR yang akhir-akhir ini telah menjurus kepada perseteruan politik. Apakah tahun 2001 akan menjadi tahun rekonsiliasi atau disintegrasi? Rekonsiliasi atau disintegrasi? Perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif yang seharusnya merupakan hal biasa dalam alam demokrasi, ternyata tidak dapat diselesaikan dengan baik dan telah berkembang menjadi ketegangan politik yang menjurus pada perseteruan. Masing-masing pihak, baik Presiden Abdurrahman Wahid maupun para anggota DPR yang berseberangan pendapat, memiliki argumentasi yang melandasi pendapatnya. Selama tahun 2000 masyarakat dapat mengikuti beberapa peristiwa politik yang tidak dapat diselesaikan dengan tuntas dan menyebabkan hubungan antara Presiden dan DPR makin tidak harmonis. Ketidakpuasan DPR dimulai sejak penjelasan Presiden tentang
kliping
ELSAM
daerah. Apabila otonomi daerah gagal, misalnya, terjadi kekacauan atau stagnasi dalam pemerintahan di daerah, maka hal itu bisa menjadi beban baru bagi Presiden karena dianggap gagal melaksanakan Tap MPR No IV/1999 dan setiap daerah akan membuat peraturan daerahnya sendiri-sendiri yang kemungkinan akan menimbulkan konflik baru di daerah dan situasi chaos yang meluas. Solusi Solusi untuk mengatasi agar situasi tidak memburuk adalah dengan mengadakan rekonsiliasi yaitu upaya perdamaian dan perukunan kembali antara Presiden, DPR, dan elite politik. Namun, rekonsiliasi ini akan menghadapi hambatan terus karena beberapa faktor. Pertama, institusi atau lembaga mana yang bisa menjadi mediator untuk
terlaksananya rekonsiliasi itu? MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki hambatan psikologis, karena Ketua MPR Amien Rais selama ini sering berseberangan pendapat dengan Presiden dan anggota DPR juga anggota MPR sehingga tidak dalam posisi netral. Mahkamah Agung (MA) yang seharusnya bisa menjadi mediator dengan mengeluarkan fatwa hukum dalam mengatasi sengketa pendapat, sampai saat ini belum memiliki Ketua. Lembaga lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPA atau pribadi seperti Prof Nurcholis Madjid merupakan alternatif mediator rekonsiliasi asal diberi kesempatan dan diterima kedua pihak. Masalahnya, siapa yang harus memulai atau berinisiatif untuk rekonsiliasi ini? Kedua, untuk mengadakan suatu rekonsiliasi yang efektif, kedua pihak-eksekutif maupun legislatif-harus dapat
meninggalkan (untuk sementara) prinsip yang berbeda untuk suatu kepentingan yang lebih besar, yaitu menghindari perpecahan atau disintegrasi bangsa. Bila masing-masing pihak tetap berpegang pada prinsip kebenaran pendapatnya, maka rekonsiliasi tidak akan menghasilkan apa-apa. Apabila rekonsiliasi gagal, maka kemungkinan dapat terjadi dua skenario, yaitu DPR mengajukan untuk menggelar Sidang Istimewa (SI) kepada MPR atau terjadi pengerahan massa pro dan kontra Presiden yang akan saling berbenturan secara fisik. Kinerja pemerintahan yang buruk, kasus Buloggate dan Bruneigate atau kemungkinan otonomi daerah yang gagal, dapat dijadikan alasan DPR bahwa Presiden melanggar Tap MPR atau UUD.
kliping
ELSAM
KOMPAS - Senin, 29 Jan 2001 Halaman: 7 Penulis: - Ukuran: 1934PETINGGI INDONESIA TERLALU PEMAAF BAGI PELANGGAR
HAM
kliping
ELSAM
KOMPAS - Selasa, 13 Feb 2001 Halaman: 6 Penulis: bur Ukuran: 2177Sjamsuddin Haris: Perlu Rekonsiliasi
Jakarta, Kompas Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sjamsuddin Haris berpendapat, masyarakat dan elite politik sudah terjebak pada lingkaran setan masalah yang memang tidak pernah disepakati sejak awal, yaitu tidak punya agenda reformasi yang jelas. Oleh karena itu, diperlukan upaya rekonsiliasi untuk membahas apakah akan dibuat garis yang tegas antara masa lalu dan masa depan atau tidak. "Yang punya agenda itu mahasiswa. Di sisi lain segenap elite politik kita tidak pernah benar-benar sepakat apakah agenda yang disodorkan mahasiswa menjadi acuan atau tidak. Ini penting sebab ada hubungannya dengan di mana posisi Partai Golkar di situ. Sebab kalau tidak, selamanya tidak jelas," katanya. Sjamsuddin mengatakan sebetulnya sekarang tidak jelas siapa yang punya referensi moral untuk melanjutkan reformasi. Padahal itu bisa diklasifikasi. Namun, dilemanya adalah bahwa elite politik yang bukan berasal dari Partai Golkar juga terjebak menjadikan reformasi sebagai momentum sirkulasi
kliping
ELSAM
KOMPAS - Minggu, 18 Feb 2001 Halaman: 11 Penulis: p27 Ukuran: 3956Mahfud Tawarkan Dua Tahap Rekonsiliasi di Tingkat Elite
kliping
ELSAM
KOMPAS - Selasa, 20 Feb 2001 Halaman: 7 Penulis: ryi Ukuran: 3810Pilihan Terbaik: Rekonsiliasi untuk Atasi Kemelut Bangsa
Jakarta, Kompas Di tengah carut-marut kondisi bangsa Indonesia yang serba krisis dan kritis, tidak ada pilihan yang lebih baik selain kita berupaya bersama menggalang energi untuk melakukan rekonsiliasi dan mempertegas kembali komitmen bersama yakni mempertahankan bangsa dan negara. Para pemimpin nasional harus segera duduk bersama untuk berunding, memikirkan bersama-sama pula tentang hal-hal mana saja yang secara feasible bisa dilakukan. Pandangan itu disampaikan tokoh pers Jakob Oetama di depan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang mencari masukan untuk masalah "Upaya Menyelamatkan Bangsa dan Negara" di Kantor DPA Jakarta, Senin (19/2) kemarin. Selain Jakob juga memberikan masukan mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, anggota DPR Ade Komarudin dan Alvin Lie, serta ahli bedah saraf RSUD Dr Soetomo, Surabaya, Prof Dr Umar Kasan. "Apakah itu akan meniru proses rekonsiliasi model Afrika Selatan atau lainnya, itulah yang harus kita pikirkan. Yang pasti, di antara mereka itu harus ada terlebih dahulu saling pengertian disertai penegasan kembali atas komitmen bersama untuk tetap mempertahankan negara dan bangsa Indonesia ini," ungkap Jakob Oetama. Desakan itu dikemukakan, demikian Jakob, karena sekarang ini negara Indonesia-kalau bisa diibaratkan sebuah rumah bagi bangsa Indonesia-tengah dilanda kebakaran hebat. "Marilah pertama-tama kita segera bertindak yakni memadamkan bersama-sama rumah bangsa kita yang tengah terbakar ini," ungkap Jakob menje-laskan raison d'etre (alasan adanya) pemikiran tentang pentingnya para pemimpin nasional itu untuk mau duduk bersama mencari solusi damai serta memperbarui komitmen bersama yakni membangun kembali keindonesiaan kita. Rekonsiliasi, menurut Jakob, harus tetap dilakukan sesuai dengan guidance yang sebagai ke-rangka bersama telah kita setujui bersama. "Apakah itu dilakukan berdasarkan asas penegakan hukum, demi terciptanya keadilan sosial, terselenggara-nya praktik perekonomian sosial demi keadilan bersama, pengakuan atas fakta pluralisme, dan tentunya juga demi tetap tegaknya persatuan bangsa dan negara kita," tambahnya. Sementara mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie berpendapat, ide soal
kliping
ELSAM
KOMPAS - Sabtu, 24 Feb 2001 Halaman: 8 Penulis: gun Ukuran: 1837Menko Polsoskam: Rekonsiliasi Harus Diawali Para Elite Politik
Jakarta, Kompas Menko Politik Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan
rekonsiliasi nasional harus diawali dan diprakarsai para elite politik. Rekonsiliasi nasional, yang merupakan salah satu amanat MPR, sekarang tinggal dibicarakan secara baik-baik dengan mengajak semua elemen masyarakat. Yudhoyono mengatakan hal itu menjawab pertanyaan pers setelah sidang kabinet di Bina Graha Jakarta, Kamis (22/2). Menurut Menko Polsoskam, upaya untuk melakukan rekonsiliasi nasional harus diletakkan dalam kerangka dan konteks yang benar. "Jangan parsial, situasional dan jangan bersifat ad hoc (sementara)," katanya. Persoalan ini, lanjut Yudhoyono, sudah pernah disampaikan dalam sebuah sidang kabinet beberapa waktu lalu karena hal ini merupakan amanah MPR yang mempunyai kerangka waktu sampai tahun 2004. Untuk itu harus lebih dimatangkan lebih lanjut. Perlunya mengajak semua elemen masyarakat dalam membicarakan rekonsiliasi nasional, kata Menko Polsoskam, untuk membahas tentang model rekonsiliasi seperti apa yang diinginkan dan dengan tahapan seperti apa. "Kira-kira bagaimana proses atau kerangka waktu yang hendak kita tempuh untuk itu," tambahnya. Dijelaskan oleh Menko Polsoskam, banyak orang mengatakan model rekonsiliasi nasional itu bisa mengikuti model seperti di Afrika Selatan, Kamboja atau seperti reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. "Bagaimana
kliping
ELSAM
KOMPAS - Senin, 26 Feb 2001 Halaman: 19 Penulis: sig; ans Ukuran: 4281Menko Polsoskam: Proses Rekonsiliasi Tak Boleh Dicampuri Pihak
Luar
Kuta, Kompas Proses rekonsiliasi antara warga Timor Timur (Timtim) harus terus dibahas dan dikembangkan antara mereka sendiri, terutama antara pro-integrasi Uni Timor Aswain (Untas) dan
prokemerdekaan CNRT yang kini menguasai Timor Leste. "Hanya Untas dan CNRT yang berhak berbicara mengenai jalannya rekonsiliasi, mau apa, bagaimana tahapannya, perkara apa yang disetujui, apa yang perlu dikonsensuskan. Tidak boleh ada pihak luar yang mencampuri, entah itu Indonesia, Australia, Portugal, bahkan PBB yang diwakili UNTAET (Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa- Bangsa di Timtim-Red), karena mereka yang mengetahui masa depan Timor Timur," ungkap Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono seusai perundingan tertutup dengan Untas di Kuta, Sabtu (24/2). Proses rekonsiliasi, lanjutnya, dapat dikatakan sebagai proses politik ke arah masa depan dalam konteks nation building dan state building. Pemerintah Indonesia akan mendorong dan memberikan fasilitas bagi berlangsungnya proses rekonsiliasi. Pertemuan tahap kedua antara Untas dan CNRT (Dewan Pertahanan Nasional Rakyat Timtim) akan dilakukan April mendatang. Indonesia berharap tempat itu kondusif sehingga pelaksanaan pertemuan dapat berlangsung tanpa tekanan dan jaminan keamanan yang baik. "Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan tempat pertemuan itu, jika dilakukan di Indonesia, kita akan jamin keamanan untuk seluruh peserta. Kalaupun di luar Indonesia, misalnya di Timor Timor, hal yang sama harus dapat dilakukan untuk anggota Untas," katanya.
Menyinggung soal pemulangan pengungsi Timtim di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pemerintah Indonesia tidak akan bersikap hitam putih, tetapi akan menghormati hak asasi pengungsi. "Jika dalam pendataan ulang pengungsi memilih tetap tinggal di Indonesia, pemerintah siap melakukan pemukiman kembali secara manusiawi dan jaminan sosial yang lebih baik," katanya. Namun, dalam kesempatan terpisah mantan Gubernur Timtim Jose Abilio Soares di Kuta, Bali, menyatakan pesimis rekonsiliasi dapat terwujud. Menurut dia, perundingan rekonsiliasi April mendatang sulit mendapatkan hasil yang baik karena masih banyak pihak yang melakukan tekanan. "Rekonsiliasi seharusnya dilakukan sebelum proses penentuan pendapat dilaksanakan karena tidak semua masyarakat Timtim setuju penentuan pendapat yang
mempertajam perang saudara," katanya. Dikatakan, terwujudnya rekonsiliasi yang kini tengah diupayakan Pemerintah Indonesia akan sulit tercapai mengingat masyarakat Timtim sudah mengalami trauma
kliping
ELSAM
KOMPAS - Jumat, 09 Mar 2001 Halaman: 1 Penulis: tra Ukuran: 6304Islah Kasus priok Bisa Jadi Model Penyelesaian
Jakarta, Kompas Islah (perdamaian) yang dilakukan korban Tragedi Tanjung Priok dengan mantan Panglima Daerah Militer (Kodam) Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno, dan aparat lainnya, dapat menjadi model penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, sepanjang dilakukan secara tulus dan tak ada paksaan. Akan tetapi, islah itu harus dikukuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan disertai dengan pengungkapan kebenaran. Tanpa pengakuan dari KKR, islah tidak memiliki efek publik dan kekuatan yuridis untuk menghentikan proses hukum yang dilakukan kejaksaan. Demikian dikemukakan Ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada Kompas hari Kamis (8/3). "Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM juga mengakui kemungkinan menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu tidak melalui pengadilan, tetapi lewat KKR. Namun, sampai sekarang kita belum mempunyai UU KKR," jelasnya. Sementara Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Hendardi menandaskan, islah yang dilakukan keluarga korban Tragedi Tanjung Priok tak meniadakan hak publik untuk menuntut pengungkapan kasus itu melalui pengadilan. "Korban atau keluarganya bisa saja memaafkan dan berdamai dengan pelaku pelanggaran HAM. Tetapi, hak kolektif masyarakat untuk memperoleh kebenaran dari kasus itu tidak bisa diabaikan begitu saja," tandasnya. Senada, staf ahli Institute for Democracy and Human Rights The Habibie Center Rudi M Rizki LLM mempertanyakan, apakah islah yang dilakukan Try Sutrisno serta korban Tragedi Tanjung Priok itu sudah disetujui seluruh korban dan keluarganya. Jika belum, korban atau keluarganya yang keberatan tetap bisa menuntut keadilan melalui Pengadilan HAM. Apalagi, islah bukan penyelesaian pelanggaran HAM yang diakui hukum positif maupun hukum internasional. Bahkan, islah bisa dilihat sebagai upaya menghidupkan lagi impunity. "Dengan islah itu kan, tertuduh tak perlu diadili. Padahal, sesuai dengan hukum internasional, pelaku pelanggaran HAM harus diselidiki dan diadili. Pelanggaran HAM adalah tanggung jawab pribadi. Karena itu, hati-hati dengan islah. Kalau islah itu dalam kerangka KKR, ya, tidak soal. Tetapi, ini harus diatur lebih dahulu," tandas pengajar Hukum Internasional dan HAM pada Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung tersebut. Efek publik Abdul Hakim menuturkan, Pasal 47 UU Pengadilan HAM memungkinkan
penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui KKR. Akan tetapi, KKR belum terbentuk. Draf RUU KKR pun saat ini belum selesai dan rencananya baru akan diserahkan kepada DPR bulan depan. Dalam draf RUU KKR, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui islah memang
dimungkinkan. "Draf RUU KKR antara lain menyebutkan, dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR wajib memberikan rekomendasi pemberian amnesti kepada pelaku. Pernyataan perdamaian itu wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak dan diketahui Ketua Komisi," papar Wakil Ketua Tim Penyusun Draf RUU KKR tersebut. Diungkapkan Abdul Hakim, karena islah antara Try Sutrisno dan korban Tragedi Tanjung Priok belum diketahui KKR-sebab komisi itu belum terbentuk-maka hal itu tidak mempunyai kekuatan yuridis maupun efek publik. Jika sudah ada KKR, dapat saja
direkomendasikan pelaku pelanggaran HAM mendapatkan amnesti dan tidak perlu diadili. Akan tetapi, karena belum ada KKR, jaksa tetap harus melanjutkan penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku Tragedi Tanjung Priok. "Islah itu sekarang masih dalam situasi yang rawan. Kejaksaan masih bisa menuntut dan korban Tragedi Tanjung Priok lain pun tetap terbuka peluangnya menuntut keadilan. Dalam draf RUU KKR, islah atau perdamaian itu wajib dilaporkan. Kalau memang KKR melihat tak ada paksaan dan tulus, islah tersebut dapat diterima dan pelakunya direkomendasikan untuk diampuni. Korban dan keluarganya juga dapat kompensasi dari negara," papar Abdul Hakim. Diingatkan Abdul Hakim, islah yang dapat diterima KKR adalah yang disertai dengan pengungkapan kebenaran. Artinya, harus ada pengungkapan siapa yang jadi pelaku dan penanggung jawab pelanggaran HAM tersebut. Tanpa pengungkapan kebenaran, KKR tidak mungkin menerima islah tersebut, sehingga proses hukumnya tetap harus
kliping
ELSAM
kliping
ELSAM
KOMPAS - Jumat, 09 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: - Ukuran: 6008Tajuk: Pesan Moral dari Islah Try Sutrisno dan Korban Kasus
Tanjung Priok
MANTAN Panglima Kodam Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno bersama pejabat lainnya, yang bertugas saat terjadinya kasus Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984, sepakat berdamai (islah) dengan korban dan keluarga korban Priok. Islah muncul dari lubuk hati paling dalam, atas dasar keikhlasan dan kesadaran kedua pihak tanpa paksaan dari pihak mana pun. Kita mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa bersejarah. Peristiwanya terjadi 15 tahun lebih. Korban manusia tidak hanya mereka yang terbantai di tempat kejadian, tetapi juga mereka yang kemudian diadili dan dihukum, dan mereka yang menderita cacat seumur hidup. Sempat tenggelam seolah-olah tak bakal diungkit sampai rezim Orde Baru tumbang, kasus itu muncul kembali. Ia muncul bersamaan terangkatnya berbagai persoalan yang sebelumnya dibiarkan "hilang". Konteks soalnya berkaitan dengan represi kekuasaan dan pelanggaran HAM yang banyak terjadi pada 30 tahun lebih pemerintahan Orde Baru. PERNYATAAN Safwan Sulaeman, salah seorang korban,
menyentuh hati kita. Memberikan sambutan dalam peristiwa penandatanganan, ia menyatakan tidak ingin masa kelam yang mengakibatkan penderitaan lahir dan batin diungkit-ungkit kembali. Apalagi, katanya, bila hal itu hanya digunakan sebagai komoditas politik. Peristiwa Rabu itu lebih bermakna dengan kehadiran cendekiawan Nurcholish Madjid. Sosok cendekiawan itu menyiratkan sinar kedamaian yang menyejukkan. Apalagi dia memberi makna mendalam di tataran wacana agama, bahwa islah itu perintah agama. Kita kutip di antaranya, "...pada prinsipnya islah itu jalan tengah antara menegakkan hukum dan mengungkapkan kasih sayang." PEMERINTAHAN Abdurrahman Wahid (sekarang sedang dikritik habis-habisan dan konon tak bisa diperhitungkan lagi), membawa serta warisan buruk pemerintahan sebelumnya. Keburukan itu terbawa serta (carry over) dalam pemerintahan transisi. Satu dari sisa itu adalah akibat pertikaian masa lalu, yang terjadi entah karena perbedaan visi, perebutan kekuasaan maupun represi penguasa. Kasus Tanjung Priok adalah satu di antaranya, menyisakan persoalan bagaimana harus diselesaikan secara baik dalam arti diterima semua pihak. PERDAMAIAN, rekonsiliasi, islah memang pilihan terbaik. Dalam keadaan semua persoalan terbawa serta, kita semua saling curiga. Tidak ada platform yang sama. Padahal untuk memulai sesuatu diperlukan kesamaan dasar yang sama. Diperlukan titik berangkat yang sama. Untuk itu perlu ada perdamaian menyangkut berbagai persoalan krusial, di antara mereka yang bertikai, di antara mereka yang menjadi korban represi kekuasaan. Berdamai dengan sesama adalah perintah agama. Perintah itu pun amat manusiawi. Damai di bumi, bukan hanya kosa kata agama, tetapi juga harapan terdalam setiap makhluk. Pernyataan Cak Nur, mengingatkan makna luhur perdamaian. Islah adalah jalan tengah sekaligus pilihan hidup kemanusiaan. Keberadaan manusia tidak sekadar "eksis" tetapi juga "ko-eksis" (eksis bersama). MARILAH pemikiran di atas kita terapkan dalam real politik kehidupan aktual. Secara hukum kesalahan tidak selesai dengan islah dan saling meminta maaf. Pernyataan bersalah-mungkin juga pernyataan merasa saling bersalah-menuntut silih. Dalam konteks hukum, silih adalah hukuman yang harus ditanggung. Dalam konteks itu islah seolah-olah bertentangan dengan penegakan hukum. Demi keadilan dan penegakan hukum, proses peradilan harus diselenggarakan. Menyangkut kasus Tanjung Priok, upaya penegakan hukum dicoba dilakukan. Prosesnya dimulai dari gugatan para korban dengan menempatkannya sebagai kasus pelanggaran HAM. Kalau proses itu jalan terus, sesuai prosedur hukum, akan terbuka siapakah yang bertanggung jawab dan siapakah yang akan menanggung silih? Apa yang dilakukan Komnas HAM dalam Kasus Priok adalah upaya membuka kasus ke publik. Dan itu sudah dilakukan, secara terbuka-meskipun dalam versi aparat dan versi korban masing-masing-tergambar apa yang terjadi dan bagaimana duduknya perkara. Akan tetapi, lagi-lagi dalam konteks semua persoalan rezim kemarin terbawa serta, terbuka maksud untuk menyelesaikannya dalam konteks kepentingan praktis, yang dibenarkan secara agama maupun cara hidup bersama sesama makhluk.
kliping
ELSAM
kliping
ELSAM
KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: - Ukuran: 7171Tajuk: Agar Rekonsiliasi Berhasil, Apa Saja Syarat-syaratnya?
PERTEMUAN Presiden dan Wakil Presiden sambil sarapan di kediaman Wapres Megawati Soekarnoputri menghasilkan kesepakatan positif. Yakni perlunya rekonsiliasi nasional "untuk memungkinkan bangsa ini menghadapi berbagai persoalan besar". Sejak semula kita menyarankan semangat dan pendekatan itu. Maka kita sambut baik kesepakatan itu. Lagi pula, jika dalam sistem parlementer, pemerintah ini sudah jatuh. Kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah memberikan pukulan telak. Pengaruhnya segera ke ekonomi, semakin kedodorannya pemerintahan, semakin terancamnya disintegrasi bangsa dan negara, semakin merosotnya kepercayaan internasional. Karena hal-hal itu semua, pemerintah dalam sosoknya sekarang, semakin tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan, apalagi pemerintahan untuk menangani gejolak dan huru-hara pergolakan bangsa dan negara. TIDAK ada jalan lain kecuali jalan rekonsiliasi. Melanjutkan persiasatan polarisasi seperti yang akhir-akhir ini dicoba dengan setiap kali memprovokasi munculnya polarisasi-polarisasi baru, kecuali antiperadaban demokrasi juga hanya akan mempercepat kehancuran bangsa dan negara. REKONSILIASI memerlukan sejumlah persyaratan. Salah satu persyaratan itu sikap tahu diri. Sikap tahu diri inilah yang amat miskin. Mau benar sendiri, mau menang sendiri, nekat. Sikap tahu diri, berarti melihat kelemahan dan kekurangan diri, di samping melihat kelebihannya. Karena mengakui kekurangan dan kelemahannya, lantas mau bekerja sama. Sejak bekerja sama ditinggalkan, kondisi semakin terpuruk hampir dalam segala bidang. Keadaan selama satu setengah tahun tidak
bertambah baik, justru bertambah buruk. Semula orang masih mencoba membela, itulah ongkos yang harus dibayar dari transisi otokrasi ke demokrasi. Kini semakin terdengar suara yang menggugat, penderitaan rakyat seperti yang didemonstrasikan di Kalteng itu ongkos atau korban, cost atau victims. Bukan hanya otokrasi yang menjadi tirani, demokrasi liar juga bisa menjadi tirani, mungkin bukan untuk elite, tetapi pasti untuk rakyat banyak. SYARAT lain untuk rekonsiliasi ialah pemahaman yang sama perihal kondisi masyarakat, bangsa, dan negara. Pemahaman itu dibuat mudah oleh berlakunya masa transisi. Masa transisi berarti masa cair, mengalir, belum jadi. Yang belum jadi atau yang masih cair dan mengalir itu di antaranya ialah pola, pengendapan, konsolidasi, serta sosok baru yang kita dambakan bersama. Transisi itu pada kita, Indonesia, oleh karena berbagai faktor, menurut kenyataannya disertai munculnya berbagai aspirasi, tuntutan, pergolakan, gerak dinamika, dan eksplosi ke banyak arah. Terngiang lagi ungkapan Bung Karno: many revolutions in one generation. Ingin kita terjemahkan secara aktual menjadi, perubahan serba serentak dalam masa yang padat. Biarpun berlaku sistem demokrasi hasil pemilihan umum, seharusnya yang dihadapi bersama membuat masa transisi dijalani secara selamat, sehingga tercapai konsolidasi. Ditanamkan dan dimasyarakatkan visi, prinsip, nilai, peradaban politik baru, sehingga sistem dan budaya demokrasi lebih mantap. Ternyata, kebajikan dan kenegarawanan itu tidak ada. Yang segera tampak dan terasa, kembali lekatnya kekuasaan dan karena itu semangat dan arah untuk konsolidasi kekuasaan. Sejak itulah, keadaan semakin amburadul. Mau tidak mau akan bisa kembali lagi ungkapan power tends to corrupt. Agar rekonsiliasi lancar, salah kaprah itu harus dikoreksi. Semua kekuatan politik dan para eksponen serta pemimpinnya, Presiden dan Wapres, agar membuka hati untuk rekonsiliasi dengan menegaskan: masa transisi sekarang ini, harus kita hadapi bersama. Tunda dulu persaingan politik partisan yang wajar dan lazim dalam demokrasi. Tunda dulu pasang kuda-kuda untuk konsolidasi serta melestarikan kekuasaan masing-masing. REKONSILIASI berarti mencari titik temu baru. Masa lalu menjadi perhatian dan diminta pertanggungjawabannya. Tidak berlaku impunity, tetapi juga jangan membiarkan vendetta, rancune, dendam dan balas-membalas. Bagaimana keluar dari beban dan tanggung jawab masa lampau sebagai pengalaman dan pelajaran membangun masa depan. Harus ada rasa keadilan dan
kliping
ELSAM
kliping
ELSAM
KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 19 Penulis: Hudijono, anwar Ukuran: 5392MENUJU REKONSILIASI NU
TAK pelak lagi pertemuan Presiden Abdurrahman Wahid dengan KH
Alawy Muhammad, Sabtu (10/3) di Pondok Pesantren Attaroqi Sampang (Madura) yang diasuh KH Alawy membawa harapan sangat besar. Walau hanya berlangsung sekitar 10 menit, pertemuan diharapkan berimplikasi besar berupa islah kedua tokoh itu. Sekaligus merupakan titik awal untuk proses rekonsiliasi di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Kedua tokoh ini berada pada rekahan polarisasi dengan nganga yang lebar. Bermula pada Muktamar NU Situbondo tahun 1984 di mana NU menyatakan kembali ke Khittah 1926. Berarti NU tidak berpolitik dan menjadi tidak lagi merupakan bagian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). NU menjaga jarak yang sama dengan seluruh organisasi politik. NU kembali menjadi gerakan kultural. Pendukung gagasan ini disebut faksi "NU Khittah" dengan tokohnya KH Abdurrahman Wahid. Di sisi lain, masih banyak tokoh NU yang menginginkan agar NU tidak meninggalkan gelanggang politik. Rumah politik NU adalah PPP. Tanpa ketegasan sikap politik, NU hanya akan menjadi kekuatan oportunistik yang dipinang saat pemilu, yaitu untuk mendongkrak perolehan suara. Tidak ikut proses strategis dalam penentuan arah pergerakan bangsa. NU berada di posisi marginal. Pandangan demikian kemudian disebut faksi "NU Politik", di mana KH Alawy merupakan salah satu tokohnya. Dari polarisasi ini muncul sempalan faksi ketiga yaitu "Khittah Plus" yang merupakan gagasan KH Yusuf Hasyim, H Mahbub Djunaidi, dan KH As'ad Syamsul Arifin. Faksi ini mencoba mencari jalan kompromi di mana NU kembali ke khittah 1926, tetapi tetap berpolitik. Bahkan suatu saat NU harus kembali menjadi partai politik seperti tahun 1952 setelah NU keluar dari Masyumi. Dalam perkembangannya, polarisasi semakin
kliping
ELSAM
kliping
ELSAM
KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 41 Penulis: Hartiningsih, Maria Ukuran: 12686 Foto: 1MENATAP KECACATAN BANGSA MELALUI KENYATAAN
HIDUP KORBAN SIAPAKAH
Korban? Lebih satu juta orang saat ini tersebar di tempat-tempat pengungsian,lebih 70 persen di antaranya adalah perempuan, anak-anak, dan orangtua. Mereka adalah penduduk suatu wilayah tertentu yang dipaksa oleh satu situasi tertentu untuk keluar dari kampung halamannya, meninggalkan segala sesuatu yang menyangga kehidupan mereka selama ini. SEBAGIAN besar dari mereka hanya bisa lari dengan membawa apa yang melekat di badan. Seluruh rencana yang pernah dibuat untuk masa depan mereka beserta anak-anaknya hancur lebur dalam sekejap. Hidup keseharian di pengungsian adalah perwujudan dari penderitaan dan kesengsaraan, termasuk hilangnya rasa aman dalam arti luas. Mereka mengalami kembali menjadi korban, dan dengan sendirinya dehumanisasi karena konsep pemberian bantuan selama ini hanya didasarkan bahwa korban adalah manusia tidak berdaya dan hanya membutuhkan belas kasihan; oleh karena itu mereka tidak berhak menuntut sesuatu yang lebih baik. Mereka harus cukup puas dengan pemberian bantuan dua atau tiga bungkus mi instan per minggu dengan beras dua kilogram untuk tiap keluarga dan harus merelakan anak-anak menderita kekurangan gizi, atau meninggal oleh berbagai penyakit tanpa mampu melakukan upaya yang berarti agar peristiwa itu tak perlu terjadi. Namun, penderitaan yang tak kalah mematikan secara psikologis adalah perasaan tidak dimanusiakan itu. Harus diakui, berbagai jenis kekerasan selalu bersifat bias jender. Seperti dikemukakan Ketua Komnas
Perempuan Prof Dr Saparinah Sadli dalam orasi bertema "Penetapan Tahun 2001 sebagai Tahun Penegakan Hak-hak Korban dan Keterlibatan Media massa" menyambut Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) di Jakarta, pekan lalu, para perempuan pengungsi harus menghadapi kenyataan akan banyaknya pihak yang siap memanfaatkan situasi serba kacau itu untuk menjadikan mereka obyek eksploitasi seksual. "Sementara mereka yang menjadi korban, justru mengalami stigmatisasi dan pengucilan oleh komunitasnya sendiri karena dianggap 'ternoda' dan bertanggung jawab atas serangan seksual yang dialaminya," tambah Wakil Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kamala Chandrakirana, yang dihubungi sebelum acara itu. Menurut Kamala, sampai saat ini tidak ada kebijakan nasional yang komprehensif dalam penanganan pengungsi berdasarkan
kliping
ELSAM
mengenai pengalaman traumatisnya di depan publik tanpa adanya perbaikan atas kesakitan dan nasib yang mereka alami. Seperti dikemukakan Judith Herman MD, dalam bukunya Trauma and Recovery, The aftermath of violence-from domestic abuse to political terror (1992), testimoni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari serangkaian proses penyembuhan melalui mekanisme yang jelas, baik secara medis psikologis maupun secara hukum untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan. "Sayangnya kapasitas untuk memberikan pelayanan dan advokasi yang lebih profesional, belum ada," ujar Kamala. Para aktivis bahkan masih terjebak pada retorika besar dari kerangka kerja teori yang bersifat makro, namun tidak masuk ke dalam nilai-nilai personal dan etika menyangkut pengalaman sangat personal dalam diri seseorang. Akibatnya, seperti ditandaskan Saparinah, niat baik para aktivis untuk mengadvokasikan masalah HAM sering tidak terlepas dari kecenderungan yang-secara tidak sengaja-mengakibatkan korban menjadi korban kembali karena harus mengalami kesengsaraan baru yang membuat timbunan beban penderitaannya teronggok dan membusuk tanpa penyelesaian. Padahal, kalau mau jujur, proses rekonsiliasi yang
sebenarnya menyangkut pergulatan psikologis yang bersifat amat personal; bukan sekadar persoalan ganti rugi yang bersifat material. Ini dikemukakan Dr Nani Nurachman-Sutojo, putri almarhum Mayjen (Purnawirawan) Sutojo, korban peristiwa G30S tahun 1965. Nani, psikolog, ibu dua anak, membutuhkan waktu sangat panjang dalam prosesnya menjadi survivor: berdamai dengan diri sendiri disertai tanggung jawab moral (baca: kehendak politik) untuk tidak menurunkan rasa benci dan dendam kepada anak-anaknya, kemudian juga kepada masyarakat luas. Ia pun membutuhkan waktu panjang untuk sampai pada kesimpulan bahwa pencarian nilai moral suatu tragedi merupakan kecenderungan universal; dan dari renungan terhadap trauma tragedi itulah harkat kemanusiaan yang sesungguhnya lebih mungkin untuk diangkat dan dirumuskan. Baru pada tahun 2000, Nani mengungkapkan proses di dalam dirinya kepada publik yang terbatas, sebelum kemudian melakukan rekonsiliasi "ke luar diri". *** SIAPAKAH Korban? Mengutip Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 40/43 tanggal 29 November 1985, korban adalah orang-orang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan besar atas hak-hak dasarnya, melalui tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Seseorang dapat dianggap korban berdasarkan
Deklarasi ini tanpa menghiraukan pelaku kejahatannya dikenali, ditahan, diajukan atau dihukum, dan tanpa menghiraukan hubungan kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah "korban" juga termasuk keluarga dekat; atau tanggungan korban langsung, orang-orang yang telah menderita kerugian karena membantu korban atau mencegah jatuhnya korban. Ketentuan ini berlaku bagi semua tanpa perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, kekayaan, status kelahiran atau keluarga, asal-usul etnis atau so-sial, dan ketidakmampuan. Hak korban mencakup hak atas kebenaran, keadilan, perlindungan dan dukungan, hak korban atas pemulihan (restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi) serta hak korban untuk berperan aktif dalam rekonsiliasi dan rekonstruksi sosial. "Kita telah memasuki tahun ketiga dari apa yang disebut sebagai 'masa reformasi', tetapi masih belum ada tanda-tanda pemihakan yang tegas terhadap kebutuhan dan kepentingan korban pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk
kliping
ELSAM
kenyataannya korban malah dijadikan alat politik oportunistik. Sedangkan pihak organisasi nonpemerintah yakin, rekonsiliasi hanya mungkin dicapai dengan pengungkapan kebenaran, kemudian pemaafan,
pemulihan, rekonsiliasi dan perdamaian; di samping proses hukum untuk menghentikan impunity yang telah lama berlangsung tanpa gugatan. Proses seperti ini juga terjadi di Afrika Selatan. *** DALAM hal ini, apa kepentingan perempuan sebagai agent of change? "Kami berpendapat, penegakan hak korban sudah menjadi urgensi tersendiri dan tidak bisa ditawar lagi bagi bangsa ini," tandas Prof Saparinah. Ia mengajak media bekerja bersama menyosialisasikan upaya-upaya penegakan hak korban, termasuk perdamaian. Ini berarti ada segmen perempuan yang merupakan lebih 50 persen pembaca dan pemirsa tidak puas lagi terhadap penyajian berita di media massa yang selama ini bias jender, ras, kelas sosial, dan praktik-praktik jurnalisme yang tidak mendukung perdamaian dalam pemberitaan masalah konflik. "Di tengah
keberingasan konflik, tetap ada cerita tentang perjuangan menolak dominasi wacana kekerasan, tentang persaudaraan yang melintasi batas-batas permusuhan, dan pasti ada orang-orang yang terus bersusah payah mencari peluang-peluang damai sekecil apa pun," ujar Prof Saparinah. "Singkat kata, di tengah cerita tentang pembantaian, ada saja pilihan untuk memuat berita yang tidak menjebak kita ke dalam lingkaran kekerasan, untuk membuat analisis-analisis yang membongkar akar permasalahan, serta membuka jalan menuju perdamaian. Pilihan berada di tangan kita sendiri," sambungnya. Ia mengingatkan, masa transisi merupakan pertaruhan. Masa ini merupakan titik kritis dalam sejarah bangsa. Tanpa pemihakan pada para korban kesewenangan masa lalu dan masa kini, pintu kepada masyarakat adil dan demokratis akan cepat tertutup kembali "Kita baru benar-benar bisa menatap kecacatan bangsa kita melalui kenyataan hidup yang harus dialami para korban," kata Prof Saparinah. "Kita baru bisa melahirkan institusi-institusi yang demokratis dan adil jika pemulihan para korban dan komunitasnya dijadikan tolok ukur." Dengan mencermati bagaimana selama ini media massa menampilkan korban, menurut Prof Saparinah,
kliping
ELSAM
KOMPAS - Jumat, 16 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Wahid, A Yani Ukuran: 9091ISLAH, RESOLUSI KONFLIK UNTUK REKONSILIASI
Oleh A Yani Wahid
BARU-baru ini mantan Panglima Kodam Jaya Try Sutrisno dan para korban peristiwa Tanjung Priok dengan didampingi tokoh-tokoh bijak antara lain Nurcholish Madjid menggelar konferensi pers tentang tercapainya persetujuan menempuh pilihan untuk islah (perdamaian). Kesepakatan ini menarik karena hal yang sama pernah ditempuh bagi penyelesaian kasus Lampung tahun 1987 antara para mantan narapidana kasus Lampung dengan mantan Komandan Korem Garuda Hitam, AM Hendropriyono. Terlepas dari pro-kontra atas pilihan islah bagi penyelesaian kasus-kasus masa lalu, adalah mendesak bagi bangsa ini untuk sebanyak mungkin menemukan alternatif-alternatif yang dapat memperkaya wacana dan model
rekonsiliasi. Sebagaimana dimaklumi, kebutuhan rekonsiliasi nasional telah diserukan banyak kalangan atas dasar makin beratnya beban politik, sosial dan ekonomi yang telah menuju ke titik hampir tak tertahankan, terlebih dengan makin beratnya pertikaian sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Banyak kalangan telah berusaha mengadopsi model rekonsiliasi yang dilakukan oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan. Dalam model rekonsiliasi Nelson Mandela, dibentuk lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diberi wewenang untuk pengusutan dan menentukan klarifikasi terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa semasa politik apartheid. Para pihak yang diduga terlibat digiring untuk melakukan "pertobatan" di depan komisi itu dan selanjutnya komisi merekomendasikan penyelesaian dua tingkat yaitu pengadilan dan atau pemaafan. Mereka yang dianggap "berdosa besar" dilimpahkan ke pengadilan dan lainnya diberi pemaafan. Model ini cocok di Afrika Selatan yang memang tidak asing dengan kultur "pengaduan dosa". Selain itu juga tepat karena adanya faktor Nelson Mandela yang muncul sebagai pemimpin yang punya legitimasi moral dan historis dalam perjuangan antikebijakan politik apartheid oleh pemerintahan sebelumnya. Mandela sendiri adalah master dari korban itu sendiri. Oleh karena itu, model "rekonsiliasi Afrika Selatan" sangat tidak mungkin untuk begitu saja diterapkan di Indonesia. Pertama, kemenangan reformasi di Indonesia tidak untuk menghapus politik apartheid seperti di Afrika Selatan. Kedua, kemenangan reformasi di Indonesia tidak melahirkan kepemimpinan yang kuat dan punya legitimasi moral sebagai master pihak korban. Ketiga, budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim tidak mengenal "pengakuan dosa" di depan seseorang ataupun sesuatu lembaga. Oleh karena itu masih perlu dicari alternatif-alternatif lain sebagai model rekonsiliasi. Dalam kaitan ini, maka tindakan penyelesaian dengan cara ishlah dapat kita letakkan sebagai salah sat model untuk resolusi konflik yang sedang mendera bangsa sekarang ini. Perluasan pendekatan humaniter Dalam situasi transisi "dari
reformasi ke konsolidasi demokrasi," bangsa ini sekaligus dibebani kenyataan belum tuntasnya pengusutan berbagai tragedi humaniter masa lalu, terutama yang terkait dengan kekerasan TNI dalam menumpas perlawanan politik sebagian masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Iklim politik terbuka yang dihasilkan oleh reformasi, telah mendorong lahirnya banyak LSM yang memilik fokus pada pengusutan peristiwa masa lalu atas nama penegakan HAM yang memang sedang menjadi trend internasional. DPR/MPR juga tak kalah semangat untuk mengikuti trend internasional itu untuk melahirkan sejumlah ketetapan
kliping
ELSAM
sehingga tidak selalu yang lahir dari ruang pengadilan adalah keadilan yang dicari. Sangat banyak kasus di pengadilan yang dapat diatur-atur dan berakhir dengan tanda tanya. Penyembuhan luka kemanusiaan yang dituju akhirnya terdampar dalam ketidakjelasan. Salah satu unsur penting dalam pendekatan humaniter adalah kebutuhan adanya klarifikasi persoalan. Terhadap kebutuhan ini, klarifikasi perlu ditransformasikan untuk menambah kapasitas masyarakat mengembangkan memori kolektif terhadap sejarah masa lalunya. Klarifikasi harus diletakkan sebagai "peristiwa sejarah" yang kemudian akan dapat menentukan
kelangsungan hidup tradisi kemajemukan Indonesia sebagai bangsa. Untuk itu akan lebih bermanfaat secara nasional apabila klarifikasi yang dilakukan dapat mengarah terhadap sebab-sebab yang
menimbulkan tragedi pelanggaran HAM itu. Peran TNI masa lalu yang berlebihan sudah disadari secara internal dalam tubuh TNI sendiri. Peran TNI bukan bersifat perorangan, melainkan sangat terkait dengan kebijakan politik nasional-betapa pun tidak populernya kebijakan itu. Sederet kebijakan yang memicu konflik seperti kebijakan NKK/BKK yang bersentuhan dengan masyarakat kampus, kebijakan P4 dan asas tunggal Pancasila yang bersentuhan dengan masyarakat Islam dan lain sebagainya yang menimbulkan banyak tragedi pelanggaran HAM adalah kebijakan politik yang memakan korban. Sebab-sebab inilah yang harus diklarifikasi sebagai kecelakaan kebijakan negara dan diletakkan dalam konteks sejarah masa lalu bangsa. Dengan demikian langkah klarifikasi tidak perlu menimbulkan kontoversi baru yang memperbesar konflik, khususnya antara negara dan masyarakat. Pilihan Islah Dalam konteks ini "pilihan islah" oleh para korban peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya dapat kita letakkan sebagai model pendekatan humaniter yang hakikatnya merupakan warisan religius untuk resolusi konflik dalam tragedi kemanusiaan. Ia memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah kepada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian (asas silaturahmi), menghapus hujat-menghujat dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan (asas saling memaafkan dan memohon ampunan kepada Tuhan). Klarifikasi yang diinginkan tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja perdamaian dan perundingan (asas musyawarah). Pilihan ini akan lebih jelas arahnya karena bertumpu pada nilai-nilai serta semangat untuk mereformasi peraturan serta kebijakan politik yang mengabaikan harkat dan martabat kemanusiaan. Yang lebih penting dari itu adalah para pihak yang terlibat secara bersama-sama. Kembali pada semangat silaturahmi dan pemaafan untuk saling mengobati dan mengembangkan keteladanan dalam kesabaran dan berkasih sayang (tawashau bis-shabri wa tawashau bil-marhamah). Pemaafan adalah kata kunci dalam model rekonsiliasi mana pun. Bila seseorang telah memaafkan, bisa dikatakan ia telah melakukan rekonsiliasi individual. Ia menyangkut pengalaman yang sangat personal, yang menyentuh kemanusiaan korban dan kemampuan untuk berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan orang lain. Korban mengalami suatu pengalaman spiritual pada saat memohonkan pengampunan bagi mereka yang telah menghancurkan hidupnya. Memaafkan memang bukan melupakan, dalam arti tidak mengingat sama sekali, akan tetapi mengingat masa lalu dengan cara yang baru. Ingatan mengenai sesuatu yang paling pahit, yang pernah dialami dalam hidup, segera ditransformasikan ke ruang keteladanan dan keluhuran kemanusiaan. Dengan demikian korban dan para pelaku yang menyatakan maaf, bersama-sama mengalami pergumulan eksistensial yang menyembuhkan: "sama-sama tidak membiarkan ingatan akan kejadian masa lalu menguasai hidupnya masa kini". Akhirnya, pilihan islah oleh para korban kejadian masa lalu, harus kita hormati sebagaimana
kliping
ELSAM
KOMPAS - Jumat, 16 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Arinanto, Satya Ukuran: 6555Islah dalam Perspektif Keadilan Transisional
Oleh Satya ArinantoPADA beberapa dekade terakhir, masyarakat di berbagai penjuru dunia-dari Amerika Latin, Eropa Timur, bekas Uni Soviet, hingga ke Afrika-telah menggulingkan kediktatoran militer dan rezim totaliter, dan menggantinya dengan rezim yang bebas dan demokratis. Pada era dewasa ini, ketika muncul gerakan-gerakan politik besar-besaran dari pemerintahan yang non liberal, muncul satu permasalahan utama: bagaimanakah masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa yang lalu? Pertanyaan yang semacam ini juga muncul di Indonesia, terutama berkaitan dengan adanya harapan terhadap rezim Presiden Abdurrahman Wahid yang terbentuk pada akhir tahun 1999 untuk menuntaskan berbagai masalah pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Pada awalnya tampak ada semacam political and legal will dari pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid untuk menuntaskan masalah itu, di antaranya melalui penyelesaian Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Berkaitan dengan hal tersebut, pada proses pembentukan UU No 26/2000 tersebut, di Indonesia-sebagaimana juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya-timbul suatu wacana tentang politik hukum HAM yang akan diterapkan apakah akan menerapkan penghukuman (punishment), ataukah pembebasan dari hukuman (impunity), terlepas dari apakah memang ada suatu kewajiban untuk melakukan penghukuman dalam suatu proses transisi yang demokratis. Berkaitan dengan hal ini, patut untuk dicatat bahwa semenjak awal tahun 1980-an, di dunia internasional telah berkembang suatu perdebatan mengenai implikasi dari keadilan transisional. *** MENURUT Ruti G Teitel, guru besar perbandingan hukum pada New York Law School, Amerika Serikat (AS), yang akhir tahun lalu menerbitkan kumpulan tulisannya dalam buku Transitional Justice, permasalahan "keadilan transisional" tersebut terkait dengan masalah perlakuan terhadap masa lalu suatu negara terhadap masa depannya, yang memunculkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru mengenai aturan-aturan hukum yang dilakukannya?; (2) Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki
signifikansi transformasi?; (3) Apakah-jika ada kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?; dan (4) Hukum-hukum apakah yang potensial untuk memberikan arah dalam liberalisasi? Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, diskursus tentang keadilan transisional dibentuk oleh dalil-dalil normatif bahwa berbagai respon hukum harus dievaluasi dengan dasar prospek mereka terhadap demokrasi. Dalam kaitan ini, kita dapat mempertanyakan bagaimana persepsi (masyarakat) Indonesia sendiri terhadap keadilan transisional. *** SEBAGAIMANA diberitakan media massa, pada hari Rabu (7/3) terjadi suatu kesepakatan untuk berdamai (islah) antara mantan Panglima Kodam Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno yang didampingi para pejabat keamanan lainnya yang bertugas saat kasus Tanjung Priok meletus 1 September 1984 dengan pihak keluarga korban kasus Priok. Media massa pun kemudian juga memberitakan pro dan kontra di sekitar masalah tersebut (Kompas, 8-9/3/2001). Menurut cacatan penulis, kasus Priok merupakan salah satu kasus pelanggar berat HAM masa lalu yang harus dituntaskan penyelesaiannya oleh rezim Presiden Abdurrahman Wahid. Dan adanya kasus-kasus tersebut sekaligus membuat Indonesia harus segera merumuskan konsep atau model keadilan transisionalnya. Salah satu keputusan piagam islah yang
ditandatangani di hadapan notaris tersebut menyatakan bahwa keputusan islah tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan pihak mana pun, karena ia muncul dari lubuk hati paling dalam, atas dasar keikhlasan dan kesadaran dua pihak tanpa paksaan dari pihak mana pun. Benarkah demikian? Bersamaan dengan terjadinya islah tersebut, memang sempat muncul "isu" mengenai kemungkinan adanya "sesuatu latar belakang" yang mendorong terjadinya kesepakatan tersebut. Pada saat ini KKR memang belum terbentuk di negara kita. Walaupun secara institusional belum terbentuk, namun berdasarkan pengalaman
ukuran-kliping
ELSAM
ukuran minimal tersebut, tampak bahwa islah tersebut belum mengandung unsur pengakuan terhadap kejahatan- kejahatan yang pernah dilakukan, dan belum ada upaya untuk meminta pengampunan atas kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan (dalam kasus Priok). Dalam konteks ini, penulis juga tidak setuju dengan pandangan bahwa kasus ini bisa jadi model penyelesaian. Berdasarkan hal tersebut, paling tidak dari segi etika dan moral, bisakah diterima adanya klausul bahwa keputusan islah itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan pihak mana pun? Dalam rangka meluruskan konsesi keadilan
transisional di Indonesia, sebaiknya proses hukum terhadap kasus Priok tetap dilanjutkan. Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No 26/2000 menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan tersebut dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (Keppres). Berdasarkan
kliping
ELSAM
KOMPAS - Sabtu, 17 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Musakabe, Herman Ukuran: 7795SIAPA MEDIATOR REKONSILIASI NASIONAL?
Oleh Herman Musakabe
BERBAGAI upaya yang ditempuh untuk mempertemukan empat pemimpin nasional yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wapres Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua DPR Akbar Tandjung, untuk meredam konflik politik pascamemorandum DPR tampaknya belum
membuahkan hasil. Upaya terakhir oleh Lembaga Kebudayaan Betawi dengan inisiatif kiai sejuta umat KH Zainuddin MZ hanya dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid tanpa tiga tokoh lainnya, setelah
sebelumnya tokoh-tokoh Cipayung juga gagal mempertemukan keempat tokoh itu. Apa yang salah dengan semua itu? Apakah mediator atau Mak Comblang-nya yang kurang berbobot, apakah karena tanpa disertai konsep yang jelas sebelumnya atau karena tokoh-tokoh itu sudah tidak mau dipertemukan lagi? Dalam tulisan di harian ini berjudul, 2001, Tahun Rekonsiliasi atau Disintegrasi? (24/1), saya menggambarkan upaya rekonsiliasi nasional adalah untuk menyelamatkan bangsa ini dari disintegrasi. Tetapi, masalahnya adalah siapa yang akan bisa menjadi mediatornya? Gejala disintegrasi telah mulai nyata di antara para elite dengan saling mempertahankan kebenaran pendapatnya, menempuh jalur hukum dengan saling menggugat dan bahkan mengeluarkan jurus buku putih untuk menggugat keabsahan memorandum DPR. Sementara pada tingkat grass root terjadi aksi massa pro dan kontra Gus Dur serta tindakan anarki di beberapa daerah yang menjurus pada perusakan fasilitas umum, sarana pendidikan dan Kantor Partai Golkar. Kalau konflik ini terus berlanjut, maka proses disintegrasi bangsa tidak hanya terjadi secara teritorial di Aceh atau Irian Jaya yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, akan terjadi juga di Jakarta dan daerah- daerah di Pulau Jawa yaitu disintegrasi politik antara kelompok pendukung dan kontra Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan semangat berpikir positif dan keyakinan bahwa cara damai dengan rekonsiliasi adalah lebih baik dari pada konflik massa secara fisik untuk menyelesaikan masalah bangsa, maka dalam waktu tersisa ini masih bisa diupayakan suatu rekonsiliasi dengan kemungkinan siapa bisa menjadi mediatornya. Alternatif mediator Ada beberapa alternatif untuk menentukan mediator dalam proses rekonsiliasi nasional, dengan persyaratan utama harus dalam posisi netral (tidak memihak) sehingga bisa diterima oleh semua pihak, memiliki kredibilitas yang bisa dipertanggungjawabkan secara nasional dan memiliki komitmen untuk menjalankan reformasi. Beberapa pihak yang mungkin bisa menjadi mediator rekonsiliasi adalah sebagai berikut. Pertama, lembaga tinggi dan tertinggi negara yang
kliping
ELSAM
dilakukan. Di tengah hujatan dan tudingan TNI selalu dianggap berada di belakang kekuasaan, kita menyaksikan sikap Fraksi TNI/Polri DPR yang mengejutkan yaitu menerima hasil Pansus Buloggate dan Bruneigate. Atau bagaimana seorang KSAD Jenderal Endriartono Sutarto dalam suatu sidang kabinet menolak gagasan untuk dilaksanakan suatu keadaan darurat yang bisa mengarah pada pembubaran parlemen. Barangkali kejadian tersebut bisa memberikan suatu pandangan baru bahwa TNI telah menjalankan suatu reformasi internal dan bersikap obyektif. Lagi pula siapa pun yang bertindak sebagai mediator, ia hanya menjadi "moderator" yang menjalankan tugas untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat dari peserta rekonsiliasi tersebut. Sedangkan yang berperan aktif adalah para pemimpin nasional yang berbeda pendapat tersebut. Tahap rekonsiliasi Pertemuan Yogyakarta yang diprakarsai Sri Sultan Hamengku Buwono X berhasil mempertemukan para pemimpin nasional, tetapi tidak membuahkan hasil apa-apa, antara lain karena kurang disiapkan materi apa yang akan dibahas. Demikian pula upaya mempertemukan para tokoh dalam suatu forum atau acara massal, maksimal hanya akan mempertemukan secara fisik para tokoh tanpa mempertemukan ide atau pemikiran para tokoh itu. Barangkali untuk menghasilkan suatu rekonsiliasi yang efektif dan efisien perlu diadakan pentahapan yang bisa dilakukan sebagai berikut ini. Pertama, pihak mediator mengundang keempat tokoh nasional dengan agenda
kliping
ELSAM
KOMPAS - Minggu, 18 Mar 2001 Halaman: 30 Penulis: Wendyartaka, Anung; Litbang Kompas Ukuran: 7487Jajak Pendapat Kompas: Rekonsiliasi Mutlak Dilakukan * Fokus
REKONSILIASI para elite politik menjadi prioritas utama yang harus dilakukan untuk mengatasi krisis politik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Pendapat itu terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas di 13 kota di Indonesia 14-15 Maret lalu. MENURUT responden, jalan keluar mengatasi persoalan bangsa saat ini tidak bisa lain, adalah menggelar rekonsiliasi antar-elite politik. Para elite tersebut
diharapkan berhenti bertikai dan mau duduk bersama untuk mencoba berbicara membahas penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa. Pertikaian antar-elite politik yang terjadi seperti saat ini diyakini justru semakin memperburuk situasi. Berbagai persoalan yang mendesak untuk diatasi dan agenda-agenda bangsa lain yang menjadi tuntutan rakyat di era reformasi terbengkalai, gara-gara para elite baik itu presiden maupun wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR justru sibuk bertikai. Padahal, harapan yang sangat besar dari rakyat untuk membebaskan bangsa ini dari krisis multi dimensional ada di pundak mereka. Pemilihan umum yang diakui sangat demokratis dan menghasilkan pemerintahan yang mempunyai legitimasi yang tinggi di mata rakyat, seakan tidak ada artinya saat ini. Kondisi yang terjadi justru
sebaliknya, situasi ekonomi, politik, dan keamanan Indonesia malah semakin memburuk. Situasi seperti ini selain disebabkan kinerja pemerintahan Abdurraman Wahid yang buruk, juga tidak bisa dielakkan
merupakan buah dari pertikaian antar-elite politik yang tidak kunjung usai hingga kini. Akibatnya, sepanjang hampir dua tahun pemerintahan Abdurrahman Wahid dipenuhi dengan gejolak politik yang berdampak negatif terhadap kondisi keamanan dan memburuknya ekonomi bangsa. Buruknya kinerja pemerintahan saat ini bisa dilihat dari hasil jajak pendapat Kompas selama satu setengah tahun terakhir ini (lihat kronologi). Dari situ terlihat, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah saat ini dari waktu ke waktu semakin turun. Parahnya, ketidakpuasan masyarakat itu ternyata ada pada semua bidang, baik itu ekonomi, sosial, politik, maupun keamanan. Oleh karena itu, tidak mengherankan popularitas Presiden Abdurrahman Wahid pun semakin turun. Dari segi ekonomi, misalnya, rupiah yang sempat menguat di awal pemerintahan Abdurrahman Wahid, saat ini semakin terperosok menembus angka Rp 10.000 per dollar AS. Konflik-konflik antarkelompok masyarakat di berbagai wilayah seperti di Ambon, Aceh, dan terakhir di Sampit semakin memperburuk situasi keamanan, sehingga banyak investor yang enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Di bidang politik, aksi massa pro dan kontra menuntut Presiden Abdurrahman Wahid mundur dari jabatannya yang marak belakangan ini juga membuat situasi menjadi semakin runyam. Betapa tidak. Aksi unjuk rasa puluhan ribu massa yang dimotori aktivis mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dari berbagai perguruan tinggi yang mengepung Istana Presiden ini pekan lalu kendati tidak meluas, namun dampaknya cukup besar terhadap perekonomian. Hal ini ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah hingga menembus angka Rp 11.550 per dollar AS dan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta. Terlepas dari aksi unjuk rasa mahasiswa yang menuntutnya mundur, posisi Presiden Abdurrahman Wahid saat ini memang berada di ujung tanduk. Selain kinerja kabinetnya dinilai semakin buruk, mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini juga dihadapkan berbagai persoalan pribadi dan tuduhan-tuduhan mengenai keterlibatan dirinya pada beberapa skandal, seperti kasus penyalahgunaan uang milik Yanatera Bulog atau yang lebih dikenal dengan skandal Buloggate. Goyangan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak kalah hebatnya juga dilakukan oleh para elite politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bahkan, ada usaha-usaha dari para anggota Dewan maupun Majelis untuk menggelar Sidang Istimewa MPR dalam waktu dekat. Tak ayal menumpuknya persoalan yang dihadapi Presiden Abdurrahman Wahid berakibat legitimasinya di hadapan publik semakin merosot. Berjuta harapan masyarakat yang ditumpukan pada Presiden
kliping
ELSAM
mencoba menjawab hal itu. Kurang lebih 55 persen responden memandang perlu diadakan kompromi di tingkat pimpinan nasional. Kalau memungkinkan dan dirasakan perlu, mengapa tidak juga dilakukan pergantian Presiden. Yang diingini masyarakat, bagaimana kepastian itu bisa lebih cepat agar
ketidakpastian, yang memperparah perekonomian nasional ini, segera berakhir. Mereka yang berpandangan perlunya pergantian Presiden, meyakini pergantian Presiden akan membawa Indonesia ke keadaan yang lebih baik. "Pemerintahan Gus Dur baru berjalan belum nyampai dua tahun aja situasi sudah tambah buruk, ganti Presiden setidaknya akan membawa harapan baru," tutur seorang responden yang berdomisili di Jakarta Timur. "Ganti Presiden, otomatis akan ada jalan baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa ini," kata seorang responden dari Bekasi. Alasan utama responden menginginkan pergantian pimpinan nasional saat ini, karena mereka menilai kinerja pemerintahan Abdurrahman Wahid buruk. Di samping itu, mereka juga berpendapat Presiden Abdurrahman kurang cocok sebagai presiden, selain tidak bisa memimpin juga dipandang tidak punya sense of crisis. Kalau ditinjau lebih jauh berdasarkan partainya, mereka yang menginginkan Presiden Abdurrahman Wahid mundur dari jabatannya, kebanyakan berasal dari pendukung partai yang tergabung dalam Poros Tengah dan Partai Golkar. Sementara responden pendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagian besar bersikap untuk mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir jabatannya. (Anung Wendyartaka/Litbang Kompas). METODE JAJAK PENDAPAT Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan oleh Litbang Kompas, 14-15 Maret 2001, di 13 kota di Indonesia. Sebanyak 1.060 responden berusia di atas tujuh belas tahun ke atas dipilih secara acak menggunakan metode systematic sampling. Responden berdomisili di Jakarta,
kliping
ELSAM
KOMPAS - Selasa, 20 Mar 2001 Halaman: 5 Penulis: Asy'arie, Musa Ukuran: 9723REKONSILIASI BANGUN SPIRITUALITAS BARU
Oleh Musa Asy'arieSUARA dan gema perlunya rekonsiliasi masih saja nyaring terdengar, dan terus-menerus disuarakan oleh berbagai kalangan, termasuk para elite politik sendiri yang terlibat dalam konflik yang terus berlanjut tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Rekonsiliasi mengandaikan bersatunya kembali kepingan-kepingan yang retak oleh benturan dan konflik kekerasan yang terjadi dalam suatu perjalanan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Benturan dan konflik kekerasan politik kekuasaan, ikut menyeret berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum maupun agama. Dengan dibumbui oleh mencoloknya tingkat kesenjangan kehidupan sosial ekonomi, maka akibatnya tindakan anarkis makin meluas, dan luka sosial yang ditimbulkannya pun makin menghujam dalam. Dalamnya luka sosial yang diperparah oleh tikaman krisis multidimensi, mengakibatkan komunikasi politik mengalami kebuntuan total. Karena itu, usaha rekonsiliasi akan menjadi sesuatu yang sia- sia, bahkan mustahil dapat
diselenggarakan dengan baik, jika persoalan-persoalan yang membuat terjadinya kebuntuan komunikasi politik itu tidak dapat diuraikan secara jelas. Uraian itu bukan untuk memperpanjang masalah dan mengungkit- ungkit dendam di masa lalu, tetapi untuk memahami di mana titik-titik kebuntuan itu terjadi, sebagai dasar untuk menyusun dan berkelanjutan, sehingga rekonsiliasi tidak akan berhenti pada dataran seremonial saja, dan berbau basa-basi. Hakikat rekonsiliasi Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa di dunia ini, selalu diwarnai oleh konflik dan pertumpahan darah, karena watak dan hakikat kehidupan itu adalah pergerakan, perubahan, pergeseran, dan konflik, di mana pun masyarakat itu berada, baik di Barat seperti Jerman, Inggris, dan Perancis, dan juga di Timur, seperti di Arab, Cina, dan India sama saja. Bahkan sejarah agama yang konon bersumber kepada Tuhan juga tidak sepi dari konflik berdarah, seperti Perang Salib yang berlangsung ratusan tahun, bahkan di Palestina dan Bosnia dewasa ini. Melalui krisis
kliping
ELSAM
kelompok masyarakat yang terlibat dalam pertikaian dan konflik kekerasan itu, secara ikhlas bersedia memotong sejarah dan mengubur masa lalunya, untuk kemudian menatap ke depan membangun kehidupan baru dengan semangat dan spiritualitas yang baru, dan didasarkan agenda kerja yang baru pula. Keikhlasan memotong sejarah kelabu Keikhlasan adalah suatu kata yang mudah diucapkan, tetapi amat sangat sulit dilakukan, apalagi bagi seseorang yang merasa dirugikan, disengsarakan, dan dihancurkan harga diri dan martabat sosialnya. Keikhlasan tidak dapat dipaksakan, sebab keikhlasan muncul dari kesadaran hati nurani yang paling dalam, di mana egoisme pribadi sudah dapat dikalahkannya. Jika egoisme belum bisa
ditaklukkan oleh kesadaran hati nuraninya, mustahil keikhlasan itu dapat muncul dan mendasari setiap perbuatannya. Egoisme ibaratnya sebuah bungkus, jika hati nurani telah terbungkus oleh egoisme, maka yang ada adalah kegelapan, dan akan menghalangi ketajaman mata hatinya untuk melihat, memahami dan menyadari makna kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan nilai-nilai moralitas lainnya. Persoalannya sekarang adalah apakah elite politik dan massa pendukungnya yang terlibat dalam konflik kekerasan memperebutkan kekuasaan itu, bersedia dengan ikhlas memotong sejarahnya sendiri. Selama ma-sing kelompok mewariskan dan melalukan sosialisasi terus-menerus mengenai luka sejarahnya mama-sing- masing-masing, maka bara api pertikaian dan konflik kekerasan akan terus menyala, dan hanya oleh persoalan sepele saja dapat memicu munculnya konflik kekerasan membara kembali. Yang lebih sulit lagi adalah jika para elite politik itu merasa berkepentingan untuk menghidup-hidupkan semangat masa lalunya, karena melalui cara itu, mereka dapat mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakatnya. Usaha memotong sejarah masa lalu, mungkin akan dianggap sebagai usaha mengubur kepahlawanan para elite politik dan para tokoh, karena mereka amat membanggakan peranan dirinya di masa lalu itu, dan pada umumnya merekalah yang amat sulit dan tidak ikhlas untuk memotong dan
mengubur sejarah kelabu masa lalunya. Tetapi usaha memotong sejarah kelabu itu, harus dilakukan sebagai bagian dari penyadaran terhadap rakyat betapa mereka telah melalukan kebodohan dan pemiskinan budaya, sehingga rekonsiliasi dapat diletakkan dalam perspektif sejarah mereka sendiri tanpa rasa marah, untuk tidak mengulangi kebodohannya di masa lalu. Dengan demikian bangkitnya kesadaran rakyat, akan memberdayakan dirinya untuk mengatakan "tidak" kepada para pemimpinnya, melalui suatu proses pendidikan dan penyadaran politik yang memakan waktu. Dan proses itu harus segera dimulai dari kalangan para cendekiawan dan rohaniwan yang jujur, ikhlas, bebas politisasi apa pun, dan berada di tengah-tengah kehidupan rakyatnya, untuk melalukan pendidikan dan penyadaran politik kepada rakyatnya, dengan membuka dialog, komunikasi dan sosialisasi nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan, sebagai wujud tanggung jawab moralnya mengkritik dan menjaga jarak dengan kekuasaan, sehingga menjadi kekuatan penekan terwujudnya rekonsi-liasi yang manusiawi dan produktif. Spiritualitas baru Kebutuhan atas spiritualitas baru bagi usaha rekonsiliasi adalah mutlak, untuk membangkitkan semangat baru menolak setiap kepentingan politik praktis dari pusat kekuasaan yang ada, dan mengawalnya untuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik. Bangkitnya spiritualitas baru merupakan proses dialektika kesadaran dalam kehidupan masyarakat sendiri, yang berjalan secara alamiah, dan merupakan wujud penjelmaan dan keinginannya yang besar untuk segera keluar dari krisis multidimensi yang sudah memporak-porandakan sendi-sendi kehidupannya. Spiritualitas baru diperlukan sebagai dasar pijakan moral dan ideologi, untuk membuka kebuntuan politik dan membangun komunikasi politik baru yang mencerahkan, dengan
kliping
ELSAM
KOMPAS - Sabtu, 24 Mar 2001 Halaman: 1 Penulis: Santeri, Raka Ukuran: 5967NYEPI DAN REKONSILIASI NASIONAL
Oleh Raka Santeri
kliping
ELSAM
kliping
ELSAM
KOMPAS - Selasa, 24 Apr 2001 Halaman: 6 Penulis: osd Ukuran: 2324PGI USULKAN PERTOBATAN DAN REKONSILIASI NASIONAL
kliping
ELSAM
KOMPAS - Rabu, 28 Mar 2001 Halaman: 7 Penulis: tra Ukuran: 3424REKONSILIASI BUTUHKAN DASAR HUKUM YANG KUAT
Jakarta, Kompas Praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis menyatakan, pemerintah tak bisa mengharapkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dari inisiatif masyarakat semata. Karena pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai langkah mewujudkan rekonsiliasi membutuhkan dasar hukum yang kuat. Tanpa dasar hukum yang kuat, komisi itu tidak akan efektif dalam menjalankan perannya. "Presiden Abdurrahman Wahid, beberapa waktu lalu berbicara pada saya tentang pentingnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun Presiden berharap inisiatif pembentukan komisi itu berasal dari masyarakat, dan bukan dari pemerintah," ujar Lubis kepada Kompas di Jakarta hari Senin (26/3).
Sebelumnya, pada sebuah seminar internasional di Jakarta, Kamis lalu, Lubis mengakui, persoalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sekarang menjadi topik pembicaraan penting, karena komisi itu diharapkan bisa mewujudkan perdamaian di Indonesia. Akan tetapi, justru yang diperlihatkan oleh elite politik adalah perilaku yang antirekonsiliasi. "Sekarang kita justru menyaksikan pertarungan politik, konflik, dan pembalasan politik di mana pun. Tidak pernah dalam sejarah negeri ini yang dipenuhi dengan beragam konflik antarpartai politik, etnis, agama, atau militer dan sipil seperti sekarang ini," tandasnya lagi. Dari pemerintah Lubis mengatakan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bisa diharapkan tumbuh begitu saja dari masyarakat. Inisiatif pembentukan komisi itu harus didukung pemerintah, sebab komisi harus mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur kewenangannya. Tanpa dasar hukum yang kuat, tidak seorang pun yang akan peduli kepada komisi tersebut. "Dari pengalaman, pembentukan tim pencari fakta-pada beragam peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM)-yang tidak didukung dasar hukum yang kuat ternyata tidak mampu menjalankan fungsinya dengan efektif. Kenapa Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur dinilai berhasil dalam menjalankan tugasnya? Jawabnya adalah, sebab komisi itu memiliki dasar hukum yang kuat, termasuk memberikan kewenangan subpoena dan melakukan pemeriksaan silang terhadap mereka yang potensial menjadi tersangka, saksi, dan korban," jelas mantan Wakil Ketua KPP HAM Timtim tersebut. Lubis mengungkapkan, pemerintah harus
kliping
ELSAM
KOMPAS - Kamis, 10 May 2001 Halaman: 4 Penulis: Hendardi Ukuran: 10875MENGHADAPI MASA LALU, REKONSILIASI ATAU KEADILAN?
Oleh Hendardi
Bagian pertama dari dua tulisan REKONSILIASI adalah salah satu cara yang ditempuh oleh masyarakat pada negara-negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi, untuk menghadapi masa lalunya yang tercabik-cabik oleh kekejaman represi politik pemerintah. Kendati banyak orang dapat bersepaham bahwa suatu "rekonsiliasi nasional" untuk mengakhiri perseteruan politik yang berdarah di masa lalu memang diperlukan, namun pada saat yang sama, orang masih berdebat tentang bagaimana caranya rekonsiliasi itu akan dicapai. Perdebatan berlangsung terhadap persoalan ini: Apakah untuk mencapai rekonsiliasi, pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia harus dihukum-atau sebaiknya dimaafkan? Diperiksa lebih jauh, manakah yang harus lebih dikedepankan dalam masa transisi, apakah pendekatan hukum (justice) atau pendekatan politik (reconciliation)? Tema perdebatan ini berada tepat di jantung permasalahan proses-proses rekonsiliasi di berbagai negeri. Namun, sebelum sampai pada pilihan untuk "menghukum" atau "memaafkan", sebuah masyarakat harus terlebih dulu memutuskan apa sikap yang akan mereka ambil dalam keharusan untuk menghadapi masa lalunya? Untuk mengatakannya secara persis: apakah kekejaman yang mereka alami di masa lalu sebaiknya dilupakan, atau sebaliknya, harus terus diingat? Masing-masing pilihan ini-melupakan atau mengingat- memiliki fungsi sosial-politiknya sendiri-sendiri. Yang harus ditekankan di sini, pemilihan masing-masing masyarakat terhadap pilihan-pilihan itu akan sangat
kliping
ELSAM
wilayah privat. Ia dibedakan dengan jelas dari "tindakan hukum", yang berada pada wilayah publik. Dengan demikian, pilihan yang satu tidak bisa menggantikan atau menghapuskan yang lain. Asumsi yang berlaku di sini adalah: hak terhadap tegaknya hukum bukan semata-mata hak individual-tetapi juga hak kolektif. Si korban boleh saja memaafkan pelaku, tetapi hal itu tidak bisa mencegah orang lain yang menghendaki agar ia dihukum. Sebab, tegaknya hukum dibutuhkan untuk membangun preseden bagi masa depan yang demokratik dan adil dalam kehidupan bersama. Rekonsiliasi di Afrika Selatan pascarezim apartheid adalah contoh tentang bagaimana suatu masyarakat memilih untuk "memaafkan" ketimbang "menghukum" para pelaku pelanggaran berat hak-hak asasi manusia di masa lalu. Namun, pengalaman rakyat Afrika Selatan itu belum tentu cocok bagi Indonesia, meski benar bahwa hal itu adalah yang terbaik bagi mereka. Beberapa catatan yang sepenuhnya merupakan hasil interpretasi saya terhadap hasil-hasil penelitian mengenai proses rekonsiliasi di Afrika Selatan, perlu dikedepankan di sini. Pertama, proses rekonsiliasi di Afrika Selatan adalah hasil dari "politik negosiasi" antara rezim apartheid dengan Nelson Mandela yang ketika itu masih dipenjara. "Rekonsiliasi" di sini harus diartikan sebagai ajakan untuk "melupakan masa lalu" agar suatu kehidupan "normal" dapat segera dimulai dan lingkaran kekerasan pembalasan dendam dapat dicegah. Dengan kata lain, fungsi sosial-politik dari "melupakan masa lalu" di situ sangat dituntun oleh tujuan untuk segera mungkin membangun hidup yang beradab-dalam arti penghentian permusuhan rasial antara minoritas kulit putih yang berkuasa dengan mayoritas kulit hitam yang dikuasai. Di sini, ada hal yang mesti digarisbawahi dan diingat. Meski rekonsiliasi sebagai hasil dari politik negosiasi antara rezim apartheid dengan Mandela kemudian diimbangi oleh usaha pencarian kebenaran, namun sesungguhnya mandat untuk melakukan truth seeking itu baru muncul belakangan di konstitusi-demokratik Afrika Selatan. Ia dihasilkan oleh perjuangan kalangan NGO (non-governmental organization) yang cemas bahwa rekonsiliasi akan diselewengkan maknanya menjadi amnesty umum terhadap rezim apartheid. Hal lain sebagai implikasi dari rekonsiliasi tersebut adalah benar bahwa kemudian politik-apartheid bisa diakhiri. Permusuhan rasial berhasil dikikis dan kehidupan normal kemudian berlangsung. Namun pada kenyataannya yang lain, ekonomi-apartheid tetap berlangsung sampai hari ini. Dengan kata lain, meski permusuhan rasial