• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islah dan Peran Elite dalam Perubahan Sosial

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 97-100)

Oleh Saurip Kadi

MEMBICARAKAN proses perubahan sosial dalam sebuah negara tidak akan bisa lepas dari peran kaum elitenya. Dalam konteks Indonesia, reformasi nasional sebagai proses perubahan sosial yang tengah dilaksanakan sejak awal memang telah menghadapi ganjalan yang amat dahsyat akibat conflict of interest sesama elite. Maka "semangat" penyelenggara negara dan juga kaum elite lainnya untuk secara jujur merespons dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara menjadi sangat mendasar. Dengan demikian, kita akan terhindar dari hal-hal terburuk yang memang tidak kita inginkan bersama.

Stratifikasi sosial dan proses perubahan

Di banyak negara termasuk di Indonesia istilah elite sering digunakan untuk menyebut pihak yang memiliki akses untuk laksanakan perubahan sosial dan politik dalam suatu negara. Di sana kemudian rakyat

mengesahkannya sebagai "penyelenggara" pemerintahan dan negara. Elite tadi selanjutnya membentuk pemerintahan baru. Dari situ lahirlah elite-elite baru yang merupakan turunan dari elite pertama, sebagai penyelenggara negara. Dalam konteks sosial, dikenal struktur pelapisan yang terdiri dari kelas penguasa (upper class), kelas bangsawan/aristokrasi (middle class), dan kelas rakyat (lower class). Dan, pada umumnya terjadi "kerja sama" (kolusi) antara upper dan middle class untuk mengadakan perubahan sosial. Namun, uniknya yang sering terjadi justru proses perubahan sosial itu banyak di-"motori" oleh kaum middle class, dengan "mengajak" kaum lower class untuk melakukan pembangkangan terhadap kaum upper class.

Proses perubahan sosial yang demikian tadi dapat dicermati dalam kasus seperti yang terjadi antara lain di Filipina, Korea Selatan, dan Iran. Di Filipina umpamanya, sejak ditumbangkannya Ferdinand Marcos dari posisi presiden, para elite partai oposisi rezim pemerintah beraliansi strategis bersama kaum agamawan dan petinggi militer kritis. Namun, setelah mereka berhasil melahirkan teladan kepada masyarakat moderat dan demokratis, para elitenya kemudian memberikan teladan kepada masyarakatnya dengan merelakan sebagian harta kekayaannya untuk kepentingan dan tujuan bersama. Sedang kaum bangsawan pun segera kembali pada peran awalnya sebagai perawat sosial masyarakat.

Dalam kasus perubahan sosial di Korea Selatan, para elite penumbang rezim Chun Doo Hwan, mampu menumbuhkan demokrasi dan law enforcement, bahkan kemudian juga termasuk terhadap dirinya sendiri atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Demikian pula yang terjadi di Iran, para mullah yang dipelopori oleh Ayatollah Khomeini pascapemerintahan aristokrasi Syah Iran, berhasil melahirkan para elite yang memberi corak tersendiri sebagai Republik Islam Iran.

Lain lagi stratifikasi sosial dalam teori Marxisme. Struktur masyarakat hanya dibagi menjadi dua, yaitu kelas penguasa (ruling class) dan kelas buruh (proletar). Perubahan sosial dalam teori ini dilakukan dengan cara "mempertentangkan" kedua kelas sosial tersebut. Elite dalam terminologi Marxisme memang tidak dikenal, yang ada adalah kaum borjuis (bourjuast), dan itu merupakan golongan yang ditentang oleh kaum proletar.

Hampir mirip dengan Marxisme, teori sosialismenya Soekarno pun hanya mengenal dua kelas, yaitu kelas penindas dengan kelas tertindas. Penindas adalah para penguasa yang mengeksploitasi rakyat, sedang kelas tertindas adalah seluruh rakyat yang "terkena" baik langsung maupun tidak langsung dari proses eksploitasi kelas penindas. Soekarno mengistilahkan kelas tertindas itu sebagai kaum Marhaen dan ajarannya disebut sebagai Marhaenisme.

Elite Indonesia

Elite Indonesia terlahir boleh dikatakan sejak sumpah pemuda 1928 di mana kaum pemuda telah berhasil mengidentifikasi potensi pluralitas bangsanya ke dalam satu wadah, ke-Indonesia-an. Dengan modal dasar

kliping

ELSAM

itu telah pula berhasil melahirkan sebuah negara yang diproklamirkan pada 17-8-1945. Namun, elitisme para pemuda itu tidak serta merta menjadikan mereka berwatak elitis, artinya "menjauhkan" diri dari rakyatnya. Masih terlihat "kedekatan" visi dan misi kaum pemuda itu dengan akar rumputnya (grass roots). Sesungguhnya watak elitis para elite itu baru tampak saat Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru. Hal itu bisa dibuktikan dari program pembangunan nasional yang bercorak sentralistik dan homogen.

Sentralistik, karena seluruh program pembangunan nasional memusat dan homogen karena seragam (sama) di seluruh wilayah Indonesia. Formalisme juga berlangsung di era ini,

melalui institusionalisasi lembaga-lembaga adat dan lain-lain. Perubahan makna elite yang demikian itu, hampir mirip seperti stratifikasi sosial dalam teori middle class, terjadi kolusi antara middle dan upper class. Termasuk di dalamnya untuk proses lahirnya pendekatan konglomerasi, di mana golongan pelaku ekonomi nasional yang lahir adalah kroni para penguasa negara.

Perubahan strategi pengelolaan negara pasca-Soeharto, era Habibie, hanya mengubah "obyek" pelaku stratifikasi sosial, dari swasta kepada institusi formal ekonomi rakyat (koperasi). Perlakuan dengan cara pemberian fasilitas kepada obyek baru tersebut, sama dahsyatnya, seperti di masa Presiden Soeharto. Fasilitas dikelola oleh pihak-pihak yang memiliki aksesibilitas terhadap kekuasaan negara. Konglomerasi "dilawan" dengan ekonomi rakyat yang dibentuk oleh akses pemerintah.

Para elite di masa ini, adalah mereka-mereka yang memiliki aksesibilitas kepada penguasa negara. Dengan cara masuk menjadi bagian dari sebuah organisasi yang dibentuk oleh unsur elite penguasa negara, melalui proses institusionalisasi formal. Teori middle class hendak diujicobakan, dengan mengubah pendekatan yang dipraktikkan semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Elite baru hendak dimunculkan dari kalangan the middle class, khususnya diambil dari golongan Muslim.

Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, pengidentifikasian elite berubah lagi. Meneruskan proses pembentukan elite (elitisasi) saat pemerintahan Habibie, kaum elite yang lahir umumnya dari kalangan yang tetap memiliki aksesibilitas kepada penguasa negara. Namun uniknya, corak (style) pemerintahan yang dijalankan terkesan populis (merakyat). Kondisi demikian itu, mungkin, tidak terlepas dari corak figur Abdurrahman Wahid.

Elite di era kini, pemerintahan Presiden Megawati, mengambil bentuk yang berbeda lagi. Di masa "keemasan" partai-partai politik ini, para elite adalah mereka-mereka yang memiliki aksesibilitas kepada penguasa negara dan kesemuanya "menumpuk" menjadi satu di lembaga perwakilan rakyat. Pihak lain, di luar pengelompokan itu sejauh tidak bisa memberikan "manfaat" akan tetap menjadi the lower class, dalam kategori stratifikasi sosial di atas.

Dengan melihat gambaran di atas sebagai bangsa kita yang memang perlu merumuskan format model pembentukan elite agar kelak anak cucu kita tidak perlu mengulangi keterpurukan yang sama seperti yang kita alami ini kali.

Rekonsiliasi sebagai solusi

Untuk lahirnya Indonesia Baru, perubahan sosial melalui proses reformasi nasional adalah sebuah keniscayaan. Namun, Indonesia memang bukan Filipina, Korea Selatan, maupun Iran. Paling tidak mestinya kita bisa bercermin kepada mereka, agar kita tidak terjebak pada kondisi tragis seperti yang dialami Uni Soviet dan Yugoslavia. Di sinilah urgensinya kesadaran kolektif terlebih kaum elitenya terhadap realita kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara saat ini. Risiko pilihan model perubahan sosial, belum siapnya pranata sosial sebagaimana tuntutan teori, dan lagi secara kebetulan kita tidak punya pemimpin yang kuat yang mampu menangani keadaan di saat kita dilanda krisis maka yang terjadi di saat kita memasuki masa transisi proses dekonstruksi kekuatan dan sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara bergerak dengan begitu liarnya.

Walaupun sudah lama terlambat, namun kiranya kita masih punya sedikit waktu untuk menyadari hakikat ancaman aktual yang sedang dihadapi rakyat, bangsa, dan negaranya. Dengan nurani yang jujur

kliping

ELSAM

sesungguhnya semua pihak dengan mudah bisa meyakini bahwa kita sebagai bangsa dan negara diambang kehancuran.

Bukankah cohesiveness kita sebagai bangsa dan negara terlebih untuk daerah tertentu telah luntur. Bahkan lebih dari itu peradaban bangsa juga barang kali sudah rusak berat. Banyak anggota masyarakat yang begitu saja bertindak anarkis, namun tidak sedikit pula elite yang memberi teladan untuk melaksanakan kejahatan tanpa rasa harga diri. Terlalu banyak di antara anak bangsa itu telah jadi korban kekerasan dan fitnah sesama dengan berbagai dalih dan alasan, tetapi hari ini juga, kita menyaksikan banyak pihak atas nama negara, hukum, kekuasaan, dan bahkan atas nama agama dan kepentingan kelompok tertentu tengah melaksanakan kekerasan sosial dan kemanusiaan tanpa kesadaran untuk segera mengakhirinya. Mafia peradilan sepertinya bukan makin hilang, namun justru makin berkembang. Elite yang cacat integritasnya bahkan dalam status tindak pidana bukan malu dan mengundurkan diri, tetapi dengan segala cara terus dicobanya untuk bertahan. Ketidakmampuan untuk memikul tugas negara tidak disikapi dengan legowo memberi kesempatan kepada mereka yang memang mempunyai kelebihan, yang terjadi mereka terus beretorika dengan janji-janji palsu serta harapan semu seraya memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan materi dan nafsu kebendaan.

Di antara sesama elite sepertinya akan terus saling menyalahkan tanpa sadar bahwa mungkin dirinya juga tidak lebih baik dari yang lain. Waktu yang ada banyak dihabiskan untuk mencermati hari kemarin yang memang kelam tanpa mau tahu bahwa membicarakan hari esok justru jauh lebih penting. Tidak sedikit elite lama yang kini berteriak lebih nyaring menghujat masa lalu bak pahlawan kesiangan. Dalam saat yang sama rakyat banyak menertawakan tingkahnya yang tidak sadar bahwa dirinya adalah bagian utama dari rezim lama.

Barangkali saat ini adalah waktu yang paling tepat sebelum kita sebagai bangsa telanjur melewati titik luncur disintegrasi yang tak mungkin bisa dihentikan oleh siapa pun dan lembaga negara yang manapun. Untuk itu kaum elite seyogianya melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk saling memaafkan dan duduk bersama mencari solusi untuk menatap hari depan bangsa dan negara. Di sana nanti kesamaan yang ada dikedepankan dan untuk sejenak perbedaan, yang memang alami kita miliki, dilupakan.

Dengan demikian, kita segera punya konsep nasional untuk segera mengakhiri krisis dan melanjutkan reformasi nasional secara benar. Barangkali kesempatan itu juga dipakai untuk membangun komitmen kenegaraan yang baru, oleh karenanya pemilik saham orisinil republik seperti tokoh/pimpinan masyarakat adat dan sejenisnya, serta para founding father yang masih hidup atau pewarisnya sebaiknya diikutsertakan dalam rembug tadi.

Penutup

Sesungguhnya tidak ada kata sulit manakala kita jujur dan bertanggung jawab serta mampu menempatkan kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan. Bulan suci Ramadhan yang penuh maghfiroh dan rahmat adalah waktu yang terbaik untuk kita untuk saling memaafkan yang diwujudkan dalam bentuk islah nasional dan duduk bersama mencari solusi terbaik guna mengatasi krisis nasional yang makin berlarut.

Dan, kelak melalui perangkat Ketetapan MPR dan perundangan lainnya hasil rembug nasional tersebut bisa dikuatkan sebagai kontrak sosial baru dari segenap warga bangsa. Barangkali pada saat yang penuh ketidakpastian seperti kali ini, kita dan utamanya kaum elite kembali eling terhadap wejangan leluhur kita untuk bergotong royong antara pemerintah dan segenap masyarakat.

Mungkin kaum elite juga perlu segera kembali ke akar rumputnya seperti yang dulu dicontohkan pendahulu kita di era sebelum Orde Baru. Maka insya Allah "biduk" bangsa ini akan mampu kembali berlayar menuju "pelabuhan" keadilan dan kesejahteraan sosial, sebagaimana yang dipesankan oleh the founding fathers bangsa kita.

* Saurip Kadi, Mayor Jenderal, Perwira tinggi di Mabes TNI AD. Pernah jadi anggota DPR dan Asisten Teritorial KSAD.

kliping

ELSAM

Kompas, Kamis, 1 November 2001

Mungkinkah Islah dengan Koruptor Orba?

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 97-100)