Beberapa waktu lalu, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menyatakan berniat membuat konsep rekonsiliasi untuk direkomendasikan kepada pemerintahan Megawati. Kecuali dengan merujuk komentar beberapa pakar yang diundangnya, belum terlalu jelas betul bagaimana bakal jadinya konsep rekonsiliasi yang akan diajukan DPA itu. Kita juga belum tahu bagaimana gagasan tersebut dihubungkan dengan gagasan yang sama dalam RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kini masih dipersiapkan pemerintah. Namun demikian, untuk sekadar memberikan gambaran mengenai seberapa luas wilayah rekonsiliasi itu didasarkan, beberapa komentar para pakar itu pantas disebutkan di sini.
Eep Saefulloh Fatah dari UI misalnya menyarankan agar rekonsiliasi didasarkan pada pemberian maaf bangsa ini terhadap apa yang terjadi di masa lalu seraya tidak melupakannya untuk mencegah terulangnya kembali kejadian-kejadian yang sama di masa depan. Yang dimaksudkan tentunya adalah menyangkut kejahatan-kejahatan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru. Sementara itu Daniel Sparringa dari Unair cenderung membatasi wilayah rekonsiliasi sebatas untuk memberikan desain bagi keselamatan masa depan. Baginya rekonsiliasi bukan pertama-tama untuk tujuan kebenaran dan keadilan, tetapi lebih merupakan upaya untuk ”menyelamatkan masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi generasi mendatang bangsa ini,” katanya seperti dikutip Kompas (7/8/2001)
Sejauh yang bisa ditangkap dari komentar-komentar para pakar itu, wilayah gagasan rekonsiliasi adalah pemberian maaf – atau dengan kata lain: amnesti – seperti dipikirkan Eep; serta bukan untuk tujuan keadilan – atau dengan kata lain: non-prosekusi – seperti disebutkan Sparringa. Dengan demi-kian, amnesti dan non-prosekusi, itulah yang menjadi kata kunci rekonsiliasi.
Benarkah rekonsiliasi akan merupakan hasil langsung dari pemberian maaf; atau secara jangka panjang menjamin ”masa depan yang lebih adil” seperti yang diharapkan? Benarkah amnesti dan non-prosekusi merupakan pilihan satu-satunya untuk mencegah terulangnya kejahatan masa lalu dan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya? Apa implikasi pilihan itu terhadap skenario legal yang terlanjur sudah dirumuskan melalui rencana pembentukan Pengadilan HAM menurut UU No. 26/2000? Apakah amnesti dan non-prosekusi berhasil menghindarkan efek impunity?
Isu Kontroversial Tulisan ini akan membahas gagasan rekonsiliasi sebagai salah satu isu kontroversial yang sering dihadapi oleh setiap pemerintahan transisi. Mengapa diajukan rekonsiliasi, siapa saja yang menjadi pihak-pihak yang harus melakukan rekonsiliasi, apa tujuannya, dan bagaimana proses rekonsiliasi dikerjakan, merupakan masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan situasi moral dan politik setiap pemerintahan transisi. Pada kenyataannya tidak ada model tunggal bagi resep rekonsiliasi. Resep ini bisa muncul dari paduan berbagai sikap terhadap masa lalu: melupakan dan memaafkan, tidak melupakan tetapi memaafkan, dan tidak memaafkan tetapi melupakan. Tidak pernah ada rekonsiliasi yang muncul atas dasar sikap tidak melupakan dan tidak memaafkan. Berbagai varian sikap terhadap masa lalu itu pernah muncul dalam empat tipe transisi.
Pertama, dalam tipe denazifikasi (denazification), yaitu yang dilakukan Jerman pasca-Hitler dalam rangka melikuidasi Nazisme, tidak terjadi rekonsiliasi karena pemerintahan baru tidak mau melupakan dan tidak mau memaafkan Nazisme.
Kedua, dalam tipe defasistisasi (defascistization) Italia pasca-Mussolini ketika dilakukan pembongkaran terhadap Fasisme, tidak juga terjadi rekonsiliasi tetapi dengan dasar sikap yang berbeda, yaitu tidak memaafkan tetapi melupakan.
Ketiga, dalam tipe dejuntafikasi (dejunctafication) yaitu yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin ketika mereka berusaha melepaskan diri dari rezim-rezim diktator dukungan militer, rekonsiliasi terjadi setelah pemerintah baru akhirnya memberi maaf melalui amnesti – meskipun banyak kalangan tidak pernah mau melupakan kejahatan-kejahatan militer ketika masih berkuasa.
kliping
ELSAM
Dan keempat, dalam tipe dekomunisasi (decommunization), khususnya di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet pasca-Komunisme, kecenderungannya seperti yang terjadi terhadap Nazisme, yakni tidak memaafkan dan tidak melupakan, atau dengan kata lain tidak ada rekonsiliasi.
Kecuali dengan merujuk pada bentuk rekonsiliasi lain yang terjadi di Korea Selatan melalui penerapan sikap ”tidak memaafkan tetapi melupakan” dengan pengadilan atas dua Presidennya – Park Chung Hee dan Chun Do Hwan – serta yang terjadi di Afrika Selatan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonisiliasi melalui panduan moral Desmond Tutu dan Nelson Mandela, terlihat dari generalisasi kasar di atas bahwa rekonsiliasi di bawah tipe transisi dejuntafikasi pada dasarnya lebih merupakan negosiasi elitis.
Di bawah tipe dejuntafikasi, Argentina (1983), Uruguay (1985), dan Chili (1990) misalnya, menerapkan rekonsiliasi ketika pemerintah-pemerintah baru pasca junta menyadari sulitnya melakukan transisi demokratis karena harus menghadapi ancaman pembangkangan militer jika kejahatan-kejahatan masa lalunya dibongkar dan diperiksa di pengadilan.
Sebagai misal, sebuah pakta (1986) antara penguasa sipil baru di Uruguay dengan para jenderal untuk tidak menggugat tanggungjawab militer atas kejahatan-kejahatan HAM yang mereka lakukan di masa lalu, mendapat tantangan keras dari para korban dan keluarganya yang menginginkan pengadilan. Menghadapi tekanan itu militer meminta pemerintah memberlakukan Undang-undang Amnesti melalui sebuah plebisit. Amnesti umum akhirnya diberlakukan, dengan akibat tidak ada lagi investigasi terhadap pelanggaran masa lalu sementara penyelidikan yang masih berjalan harus dibatalkan.
Melalui rute amnesti, rekonsiliasi akhirnya memang bisa ditempuh. Tetapi dengan cara itu pula ketidakadilan dilupakan, kejahatan dibiarkan tanpa penghukuman, dan para korban sama sekali tidak mendapat kompensasi. Pemberian maaf berupa amnesti akhirnya sama artinya dengan pemberlakukan amnesia terhadap kejahatan masa lalu.
Impunitas
Banyak tipe rekonsiliasi yang akhirnya berujung pada impunitas, yaitu peniadaan sanksi atas kejahatan yang pernah dilakukan. Inilah harga dari pemberian maaf dan non-prosekusi di balik tercapainya rekonsiliasi. Namun demikian, pengalaman Afrika Selatan memberikan contoh lain bahwa pemberian maaf dan non-prosekusi itu diimbali dengan pengakuan para tersangka pelanggaran HAM untuk mengungkapkan detail peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Ini untuk memberi gambaran menyeluruh bahwa kejahatan-kejahatan memang telah dilakukan dan harus dibeberkan untuk menghindari pengulangannya di masa depan.
Melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk oleh pemerintah baru, para pelaku pelanggaran HAM itu membeberkan keterlibatannya dalam tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistemik oleh rezim apartheid. Komisi juga menghadirkan para korban, keluarga, maupun kerabatnya. Di hadapan para korban dan keluarganya ini, para pelaku pelanggaran HAM itu akhirnya secara langsung mengungkapkan permintaan maaf.
Dan atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan. Kepada korban yang telah memberikan maaf, juga ditawarkan reparasi, baik dalam bentuk kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi. Rekonsiliasi, dengan kata lain, didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang secara langsung berkaitan dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam bentuknya yang seperti ini, rekonsiliasi memang menyentuh langsung kepentingan publik. Ia mengekspresikan kehendak para pihak yang dinyatakan secara publik di hadapan sebuah lembaga yang memang memiliki kredibilitas dan legitimasi moral. Lembaga rekonsiliasi pada akhirnya memenuhi harapan untuk pengungkapan kebenaran atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, untuk penyesalan dan pertobatan para pelaku kejahatan, untuk pengobatan (healing) bagi para korban, dan untuk dimulainya suatu tekad baru menjalani kehidupan bersama yang lebih bermartabat di masa depan.
Memang, seperti banyak dikritik, rekonsiliasi model Afrika Selatan tidak bisa memenuhi harapan keadilan prosedural dan formal sebagaimana yang selama ini ditempuh melalui jalur legal. Inilah suatu bentuk penerapan keadilan transisional, di luar prosedur-prosedur legal yang normal. Tetapi inilah eksperimen yang telah diakui sebagai penyelesaian yang beradab dalam periode transisi. Seperti diketahui, situasi politik transisional memang merupakan wilayah dengan tingkat kerapuhan yang
kliping
ELSAM
tinggi – karena ketidakmampuan pemerintahan baru menegakkan kembali orde moral dan tertib hukum di tengah-tengah besarnya tuntutan untuk mengadili kejahatan-kejahatan politik dan kekuasaan rezim sebelumnya.
Karena situasi semacam itulah, pemerintahan transisi seringkali diberi semacam dispensasi atau diskresi oleh hukum HAM internasional untuk mencari cara baru bagi penyelesaian kejahatan-kejahatan HAM berat yang dilakukan pemerintahan sebelumnya demi pertimbangan stabilisasi demokrasi. Dalam beberapa kasus, inisiatif-insitiatif pemerintahan transisi untuk menegakkan keadilan-transisional bahkan telah pula diakui sebagai model-model penyelesaian yang bisa dijadikan referensi secara internasional, dengan cntoh seperti yang diterapkan di Afrika Selatan itu.
Sebenarnya Indonesia juga sedang bergerak ke arah penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu dengan skenario yang sudah cukup jelas: melalui Pengadilan HAM, dan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kini masih menjadi tanda tanya, apakah gagasan DPA berada di luar skenario itu?