• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mungkinkah Islah dengan Koruptor Orba? Neta S Pane

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 100-103)

MENGUSUT tuntas kasus korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru (KKN Orba) merupakan agenda penting reformasi. Sayangnya, realisasi dari pengusutan tersebut belum berlangsung maksimal. Selalu ada seribu dalih untuk mengaburkan penggusuran. Tujuannya agar kasus KKN Orba tenggelam, baik oleh isu global maupun berbagai aksi teror. Akibatnya, muncul asumsi bahwa berbagai aksi teror dan politisasi isu global belakangan ini adalah bagian dari upaya pihak-pihak tertentu untuk menenggelamkan pengusutan kasus KKN Orba.

Asumsi ini bukan tanpa dasar. Dalam Anatomi Revolusi (1958), Crane Briton mengungkapkan, runtuhnya sebuah rezim akan memunculkan kekuasaan ganda. Pemerintahan umum di satu pihak dan struktur kekuasaan rahasia di lain pihak. Sesudah itu teror. Lalu serangkaian krisis. Struktur kekuasaan rahasia bisa muncul dari penguasa baru untuk "membersihkan" sisa penguasa lama. Atau sebaliknya, dari sisa penguasa lama untuk melakukan perlawanan kepada kekuatan baru. Pertarungan kedua kekuatan inilah yang sering melahirkan teror dan krisis.

Jadi, meskipun yang terjadi di Indonesia hanyalah sebuah reformasi, tetapi Anatomi Revolusi ala Crane telah jauh merasuki dinamika politik di negeri ini. Situasi diperparah oleh adanya salah pengertian yang sistematis terhadap reformasi. Publik sering beranggapan, reformasi tahun 1998 merupakan sebuah proses revolusi, dengan musuh utamanya rezim Orba dan sisa-sisanya. Asumsi ini membuat publik selalu menuntut bahwa semua yang berbau Orba mesti dilibas. Padahal, reformasi tetaplah reformasi, yang menekankan sebuah proses perubahan secara gradual, bukan revolusioner.

Reformasi bukanlah aksi main babat dengan kekerasan, yang membuka front ada kawan dan ada lawan. Reformasi bukan aksi yang main basmi dan membuat daftar orang mati serta tahanan politik menjadi amat penting. Terbukti, sepanjang reformasi ini hanya Presiden Soeharto yang terguling dari kekuasaannya. Hanya pengusaha Bob Hasan dan Richardo Gelael yang berhasil digelandang ke dalam penjara. Selebihnya, sistem politik, mesin hukum, dan para personel Orba masih bercokol di dalam birokrasi pemerintahan maupun parlemen.

Jika hal ini disebutkan sebagai sebuah kesalahan, ia merupakan contoh klasik dari sebuah gerakan reformasi (revolusioner) yang spontan. Sebuah gerakan yang mengetahui secara jelas apa yang ditolak, namun amat kabur tentang apa yang dimaui. Ujung-ujungnya, reformasi 1998 tak lebih dari sebuah bendera bersama yang dikibar-kibarkan tanpa program yang terpadu ke masa depan. Setiap kekuatan reformasi bisa tampil dengan kemauannya sendiri. Setiap kelompok bermain dengan kepentingan masing-masing. Ada yang menuntut penegakan supremasi hukum, saat bersamaan ada "kaum reformis" yang mempermainkan hukum. Semua dibiarkan beraksi tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat, yang memang menuntut reformasi konkret.

Wacana islah nasional

Suasana reformasi yang kacau ini pun membuat kekuatan lama melihat adanya sebuah celah peluang. Bukan mustahil, mereka membentuk aliansi kekuatan rahasia. Mereka melakukan manuver perlawanan, baik dari sisi politis, sosiologis, maupun psikologis. Semuanya bertujuan untuk mempertahankan sisa-sisa kepentingannya. Inilah yang disebut Crane sebagai teror yang kemudian membawa serangkaian krisis. Akibatnya, reformasi membawa berbagai gelombang keruwetan dan krisis multidimensi. Perekonomian nasional makin amburadul. Rakyat kecil kesulitan menata kehidupan sosialnya. Mereka lalu bertanya, "Untuk apa reformasi jika hanya membuat keadaan makin kacau, sulit, dan ruwet".

Tragisnya, kesemrawutan reformasi tersebut telah pula berhasil melibas satu kekuasaan presiden yang legitimate (Abdurrahman Wahid). Meski demikian, tanda-tanda kesemrawutan sosial politik dan sosial ekonomi belum juga berakhir. Tanda-tanda supremasi hukum akan ditegakkan dan kasus KKN Orba

kliping

ELSAM

dituntaskan, belum juga terlihat. Yang ada justru kasus-kasus korupsi baru bermunculan ke permukaan, dengan melibatkan tokoh-tokoh penting. Situasi ini seolah menggambarkan bahwa para koruptor dan pengemplang uang negara bisa bebas menari-nari di mata rakyat yang tengah keletihan berteriak-teriak agar korupsi diusut tuntas.

Lalu, dengan setengah putus asa kita bertanya pada diri sendiri, masih adakah gunanya rakyat berteriak-teriak bahwa kasus "KKN Orba harus diusut tuntas". Seiring dengan rasa putus asa itu muncul gagasan islah (rekonsiliasi) nasional. Adalah Wakil Presiden Hamzah Haz yang paling gencar menggulirkan gagasan ini. Mungkin, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyadari betapa alotnya perjalanan reformasi, jika sisa-sisa kekuatan Orba masih terus-menerus diobok-obok. Sementara kalangan reformis sendiri tidak pernah solid dan cenderung "bermain" dengan kepentingan sendiri-sendiri. Mengacu pada kemungkinan ini, gagasan islah nasional dari Hamzah Haz tersebut yang digulirkan mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998 adalah sebuah reformasi dan bukan revolusi. Dengan demikian, sangatlah wajar jika proses perubahan tersebut berlangsung secara gradual dan bukan revolusioner yang main hantam. Wajar pula jika dalam iklim reformasi tersebut digalang rekonsiliasi (islah) menuju konsolidasi nasional. Yang terpenting lagi, tujuan reformasi ialah mengubah kehidupan rakyat menuju perbaikan. Bukan reformasi yang penuh teror, pertumpahan darah, pencabutan nyawa, dan menyengsarakan rakyat.

Hanya saja, perlu dipertanyakan, jika islah nasional itu terjadi, bisakah rakyat memanfaatkan aksi KKN Orba dan aksi pengemplangan uang negara oleh para konglomerat? Sebab, bagaimanapun islah nasional itu tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong, melainkan dengan utuh demi keutuhan bangsa dan kepentingan rakyat. Untuk itu, format islah harus menyentuh keberadaan para koruptor Orba dan konglomerat pengemplang uang rakyat. Dengan demikian, wacana islah yang digulirkan Hamzah Haz ini tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu bersatu padu dengan dekrit dari presiden. Misalnya, Presiden Megawati

menguatkan islah nasional dengan Dekrit Darurat Ekonomi atau Dekrit Darurat Korupsi. Melalui dekrit ini para koruptor dan konglomerat "dipaksa" mengembalikan 50 persen kekayaannya kepada negara untuk kepentingan rakyat. Selain itu, berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Baru setelah itu mereka melakukan islah untuk dimanfaatkan rakyat.

Dalam penghitungan kekayaannya, pemerintah tentunya perlu melibatkan lembaga akuntan internasional yang mau secara sukarela membantu proses pendataan. Begitu juga dalam pengembalian dan

penghimpunan dana para koruptor, lembaga internasional yang independen harus dilibatkan. Dalam hal ini ada beberapa pola yang bisa diterapkan. Di antaranya, para koruptor mengembalikan secara kontan. Atau, para konglomerat pengemplang uang negara diwajibkan membiayai pembangunan infrastruktur dan basis-basis perekonomian rakyat di suatu daerah dari 50 persen kekayaannya. Dengan prinsip, semuanya dilakukan secara transparan dan diawasi secara ketat oleh lembaga independen internasional.

Kesadaran elite politik

Filosofis dari islah nasional ini, terutama islah bagi koruptor dan konglomerat pengemplang uang rakyat, ialah segala sesuatunya dilupakan dan dimaafkan demi membuahkan sesuatu yang lebih baik. Yakni, Indonesia yang gemilang dan bersatu padu sehingga perjalanan sejarah di negeri ini tidak akan selalu mengerikan. Rakyat kecil tidak selalu mencurigai para pejabat maupun konglomerat sebagai pencoleng uang negara. Sebab, kecurigaan hanya akan menimbulkan penindasan, sedangkan penindasan hanya akan melanggengkan permusuhan. Jika rasa permusuhan terus-menerus berkecamuk, apa artinya reformasi dan kapan negeri ini akan bisa damai tenteram?

Melihat kondisi yang ada, wacana islah nasional yang digulirkan Hamzah Haz memang patut dicermati. Wacana ini bisa pula dilihat dengan alasan-alasan nasional yang mempertimbangkan untung rugi. Contohnya, apa untungnya rakyat Indonesia jika para konglomerat itu dipenjara. Bukankah itu hanya mengakomodasi kepuasan batin dari sikap balas dendam? Coba bayangkan, jika mereka sepakat islah dan mengembalikan 50 persen kekayaannya untuk membangun negeri ini! Tentu rakyat juga yang merasakan manfaatnya.

kliping

ELSAM

Dalam teori Immanuel Kant disebutkan, berdasarkan alasan-alasan rasional-di samping mempertimbangkan untung rugi-manusia biasanya bisa mengadakan semacam perjanjian sosial politik. Dari sini kemudian lahirlah hukum yang memungkinkan untuk memperdamaikan kesewenang-wenangan orang satu dengan kesewenang-wenangan orang lain. Lalu, terbentuklah suatu sistem yang sanggup mengakhiri konflik. Dari teorinya ini Kant yakin, sikap rasional akhirnya akan menang. Soalnya, fajar rasio akan selalu memperluas kehidupan psikososial.

Apa yang diyakini Kant ini ada benarnya. Soalnya, ada keyakinan, manusia yang pada awal mulanya serakah dan jahat bisa berkembang menuju perubahan yang signifikan menuju ke sesuatu yang teratur, asalkan negaranya memang benar-benar mau menuju ke suatu negara yang teratur. Dengan kata lain, peluang untuk perdamaian abadi di suatu negara baru akan terealisasi secara baik, jika sebuah negara benar-benar diperintah secara demokratis. Rakyat, pimpinan, dan elite politiknya mau berdamai dengan masa lalu yang pahit. Bagaimanapun, perluasan kesadaran psikososial tetap mampu memajukan perkembangan umat manusia. Sebab, pada dasarnya setiap manusia selalu memiliki kemungkinan untuk tumbuh ke arah humanisme, persatuan, hidup persaudaraan, dan perdamaian abadi.

Namun, kemungkinan ini perlu terus-menerus dirangsang, terutama oleh para pemimpin di negeri ini. Salah satunya dengan cara merealisasikan islah nasional yang berorientasi pada penataan perekonomian nasional yang kian morat-marit. Sayangnya, sekarang ini kesadaran itu belum tumbuh dengan maksimal. Sebagian besar elite politik masih melihat kekuasaan lebih penting dari hukum. Dengan teori kekuasaan mereka lebih mengorientasikan diri untuk merebut posisi yang kuat. Akibatnya, pertikaian demi pertikaian tidak dapat dielakkan. Hal itulah yang membuat di antara manusia Indonesia sering timbul suatu keadaan tegang. Kelompok lawan kelompok. Klan bertikai dengan klan. Sempitnya keasaran para elite politik membuat mereka sulit untuk mengakui keberadaan orang lain sebagai saudara sesama satu bangsa. Jika itu terus terjadi, rakyat akan bertanya, "Untuk apa reformasi toh, KKN Orba tak pernah dituntaskan, keamanan terancam, dan keadaan sosial ekonomi kian morat-marit?" Untuk itulah wacana islah nasional perlu direnungkan.

kliping

ELSAM

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 100-103)