• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sukses Afrika Selatan Berkat Pengakuan Tulus

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 132-135)

''Kalau bukan karena kunjungan-kunjunganmu, surat-suratmu yang indah, serta cintamu, aku sudah hancur bertahun-tahun lalu,'' tulis berbunga-bunga Nelson Mandela, pejuang antiapartheid Afrika Selatan, pada kekasihnya Winnie Madakisela dari dalam bui.

Kini, kalimat indah Mandela tak mungkin lagi dilayangkan kepada Winnie, bukan saja karena perempuan itu tak lagi sebagai istri. Namun, si Delilah itu sekarang benar-benar dalam keadaan terpuruk. Padahal, sepanjang 1980-an ia menjadi ''the untouchable woman'' di negara yang kini demokratis itu.

Winnie yang sempat memupuk ambisinya menjadi deputi Kongres Afrika (ANC) yang dapat membawanya ke kursi wakil presiden, menghadapi berbagai tuduhan seru. Ia kini digambarkan sebagai egomaniak yang berdiri di belakang pembunuhan, penyerangan, dan penculikan terhadap pengikutnya sendiri di Stadion Persatuan Sepakbola pendukung Mandela.

Begitulah kesaksian seorang mantan pendukungnya dan beberapa polisi, yang terungkap di depan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Commission of Truth and Reconciliation). Selain itu mengemuka kabar perselingkungan Winnie dengan antivis antiapartheid, Themba Mabotha.

Sedikit banyak Winnie tak menyangka perjuangan Mandela membentuk KKR dalam rangka menyelesaikan kemelut sejarah Afsel bakal ''mematuknya''. Bahkan mungkin pula Mendela sendiri. Boleh jadi, bila ''ekses'' buruk KKR pada dirinya, Winnie yang selalu memakai wig itu mungkin sejak awal mempengaruhi

suaminya, Mandela, agar tidak mengupayakan rekonsiliasi nasional Afsel.

Begitulah kiprah KKR Afsel. Komisi ini berhasil membongkar pelanggaran berat HAM yang sebelumnya tak dibayangkan akibat kuatnya cengkeraman kekuasaan absolut rezim Apartheid. Dan, gebrakan KKR belum akan berakhir dalam mengungkap kebobrokan rezim.

Di bawah kepemimpinan Uskup Desmond Tutu, Komisi bertugas membuat peta selengkap mungkin tentang hakikat dan keluasan pelanggaran akut HAM selama 34 tahun rezim Apartheid berkuasa.

KKR Afsel tiga subkomisi. Pertama, Subkomisi Pelanggaran HAM yang bertanggungjawab memberi status korban kepada individu-individu. Penetapan kriteria korban itu tinggal mencomot aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pelanggaran Berat HAM. Komisi ini menerima kedatangan pihak-pihak terkait untuk membuat pernyataan. Juga bertugas menerima dan memeriksa kesaksian publik, mengenai sejumlah kasus.

Kedua, Subkomisi Amnesti yang bertanggungjawab memberi amnesti, pada para pelaku yang terbukti membuat tindakan, kesalahan, dan kejahatan politis.

Ketiga, Subkomisi Reparasi dan Rehabilitasi. Komisi ini bertugas membuat rekomendasi ketatapan reparasi dan rehabilitasi para korban. Di samping itu termasuk rekomendasi pencegahan pelanggaran di masa depan. Dalam kurun waktu April 1996 - Juni 1997, KKR memberi kesempatan kepada para korban menceritakan pengalaman kekerasan yang mereka derita. Pada pertengahan 1997, berdasar informasi yang terkumpul, KKR berusaha memahami motif personal dan institusional, yang memunculkan pelanggaran HAM. Akhirnya, pada Oktiber 1998, KKR menerbitkan laporan yang berjudul ''The Report of the Truth and Reconciliations Commision'' yang terdiri atas lima jilid.

kliping

ELSAM

Menurut mantan sekretaris eksekutif KKR Afrika Selatan Paul Van Zyl, sukses tidaknya KKR banyak ditentukan oleh tujuan pendiriannya. Tergantung apakah hanya untuk mencari kebenaran atas kejahatan di masa lalu? Atau apakah juga mencari penyebab lebih jauh, mengapa kejahatan itu terjadi? Apakah juga disertai tujuan untuk memberikan keadilan kepada para korban, dengan menghukum para pelaku kejahatan? Dan, bagaimana rekonsiliasi bias diwujudkan?

Soal yang sangat perlu diperhitungkan secara hati-hati, Van Zyl berpendapat, melihat apakah proses transformasi menuju demokrasi sudah berjalan. Ini sangat penting untuk menilai sejauh mana pihak militer, yang diduga sebagai pelaku utama kejahatan HAM pada masa lalu, memberikan dukungan terhadap pembentukan komisi semacam itu.

Mantan Presiden Afsel VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan Bersenjata Afsel Magnus Malan, serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya tak urung menjadi sasaran pengusutan KKR. Setelah mengumpulkan bahan yang sangat lengkap, komisi menyerahkan laporan ke Presiden Mandela waktu itu agar menindaklanjuti temuan dengan mengadili petinggi tersebut.

Afsel memilih tipe rekonsiliasi yang berujung pada impunitas -- peniadaan sanksi atas kejahatan yang terjadi. Tipe yang menuntut harga atas pemberian maaf dan non-prosekusi setelah tercapai rekonsiliasi. Meski begitu, rakyat Afsel cukup puas dengan memperoleh pengakuan tulus terbuka para tersangka pelanggaran HAM. Para korban, keluarga, dan kerabatnya mendengar langsung cerita pelanggaran HAM dari pelaku sekaligus permintaan maafnya.

Atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan. Sementara korban ditawarkan reparasi, dalam bentuk kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi. Di sini rekonsiliasi bermakna sebagai suatu kesepakatan pihak-pihak yang secara langsung berkaitan dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.

KKR di Afsel boleh jadi berhasil baik karena mampu memenuhi kepentingan korban dan keluarga besarnya, serta publik luas. Dan, tak kalah pentingnya adalah prosesnya berlangsung di hadapan komisi yang memiliki kredibilitas tinggi dan legitimasi moral. KKR Afsel menjadi tempat pengungkapan penyesalan para pelaku kejahatan yang menjadi wahana pengobatan (healing) para korban. Harus diakui, model rekonsiliasi Afsel tak lepas dari kritik, karena tidak dapat memenuhi keadilan prosedural dan formal sebagaimana bila jalur legal yang ditempuh. Tapi inilah wujud kepiawaian Mandela membaca situasi politik transisional yang terjadi di negerinya. Mandela sangat sadar akan beratnya upaya menegakkan orde moral dan tertib hukum di tengah sangat kuatnya tuntutan rakyat agar negara mengadili penjahat-penjahat politik penguasa rezin sebelumnya.

Kini, Afsel menjadi kiblat utama bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM. Abdurrahman Wahid termasuk salah seorang presiden yang belajar langsung ke Afsel untuk mengetahui tatakerja KKR di sana, khususnya dalam upaya mewujudkan rekonsiliasi pascarezim Apartheid 1994.

Sukses besar Mandela menyelamatkan bangsa dan rakyatnya, bukan berarti Afsel benar-benar tanpa masalah ke depan. Salah satu potensi ''masalah'' ke depan adalah bagaimana rakyat Afsel mampu menarik garis demarkasi yang jelas dan ketat dengan masa lalunya? Sekarang Mandela turun tahta, tapi hingga kini di benar sebagaian rakyat Afsel masih menempatkan tokoh yang kenyang di penjara itu sebagai pemimpin negeri. Sementara pada saat yang sama Afsel tak lagi dipimpin tokoh rekonsiliasi itu.

kliping

ELSAM

Farid Esack, salah seorang tokoh muda yang terlibat perwujudan rekonsiliasi Afsel, optimis bahwa potensi kemunculan problem tersebut dapat diatasi melalui tersusunnya konstitusi di negara itu. Dia dengan berani menilai kontitusi Afsel terbaik di dunia. ''Sungguh, negara kami memiliki konstitusi paling baik di dunia. Saya tak malu mengatakan hal ini,'' katanya. Persoalannya, sambung Esack, konstitusi bukan sekadar baik di atas kertas saja, tetapi persoalan terpenting adalah pengaktualisasiannya. Bagaimana di Indonesia?***

kliping

ELSAM

Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001

PENGALAMAN NEGARA-NEGARA LAIN

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 132-135)