• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Tunggul Ametung hingga Trisakti

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 153-158)

KKR, dari sudut pandang bangsa transisi, jelas kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Lalu peristiwa kemanusiaan mana saja yang harus ditangani? Apakah Tragedi Tunggul Ametung salah satu kasus yang harus diungkap?

---

Belakangan ini memang muncul pendapat bahwa kekerasan yang terjadi di tanah air perlu diungkap dengan dua tujuan. Pertama, agar kejadian itu tidak terulang. Kedua, terciptanya rekonsiliasi antara kelompok masyarakat yang menjadi korban dan pelaku kekerasan.Dengan begitu, pengungkapan kebenaran adalah prasyarat rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti mengungkap kebenaran, mengakui kesalahan dan memaafkan semua itu. Dengan begitu, omong kosong terjadi rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran. Menteri Pertahanan Kabinet Gus Dur, Mahfud MD, pernah mengusulkan agar kasus Soeharto ''diputihkan'' saja, demi menjaga keutuhan bangsa. Gagasan ini tentu bertolak belakang dengan prinsip dasar kebenaran dan rekonsiliasi. Menteri ini lebih mengedepankan prinsip ''rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran''. Bila ini dijalankan, rasa keadilan masyarakat terinjak.

Debat mengenai wilayah dan jangkauan waktu kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bukan persoalan gampang. Masalah ini menyangkut soal kewenangan, bahkan kredibilitas KKR. Yang menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana periodisasi peristiwa dalam kerangka penyelesaian kasus kejahatan HAM? Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam sempat melontarkan pertanyaan itu. Pada wilayah mana KKR bekerja, tergantung jawaban atas pertanyaan: ''Sejak kapan terjadi pelanggaran HAM di negeri ini?'' Bagi Asvi, peristiwa politik di Istana Tumapel, dengan tewasnya Tunggul Ametung pada abad XIII bisa masuk kriteria pelanggaran HAM. ''Karena saat itu pertikaian politik berakhir dengan pembunuhan politik,'' katanya tandas.

Kekerasan, tambah Asvi, juga terjadi di kerajaan lain. Meski perlu pembuktian sejarah lebih lanjut, Asvi menuturkan bahwa pada tingkat elit, Sultan Iskandar Muda yang memerintah kerajaan Samudra Pasai tahun 1607-1636, di samping memiliki beberapa kehebatan, oleh seorang Laksamana Perancis, Beaulieu,

dikenang sangat kejam. ''Karena sang Sultan tega menyiksa perempuan sampai tiga jam lebih.'' Tapi apakah kerajaan Tumapel atau Samudra Pasai saat itu sudah merupakan bagian dari negara Indonesia?

Fenomena kekerasan lain bisa dilihat saat Belanda berkuasa di Indonesia. Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt dari Universitas Amsterdam, pemerintah kolonial Belanda berperan besar atas munculnya budaya kekerasan di Indonesia. Pada 1885-1910 sebanyak 100.000-125.000 orang tewas menjadi korban

pemerintah kolonial Belanda. Korban paling banyak di Aceh. Karena saat itu Belanda mengirimkan pasukan Marsose (brigade khusus seperti Kopassus) yang menewaskan 75.000 warga sipil Aceh. Tindakan ini diambil untuk mempertahankan stablitas politik dan keamanan di wilayah jajahan Belanda.

Sementara Asvi menambahkan, KKR memang bisa saja mengusut pelanggaran HAM sampai ke zaman penjajahan Belanda. Begitupun kekerasan yang terjadi di zaman pendudukan Jepang, kekejaman terhadap Romusha, maupun terhadap jugun ianfu, perempuan pribumi yang menjadi penghibur tentara Jepang. Kasus yang terakhir, menurut Asvi, ''Sampai sekarang belum selesai.'' Meski begitu, semua itu tidak ada kaitannya dengan rekonsiliasi nasional yang kita inginkan, ''karena itu saya berpendapat pengususutan itu hendaknya dilakukan setelah Indonesia merdeka.''Onghokham mempunyai pandangan lain. Menurutnya, meski kekerasan yang bersifat sistematis itu bisa dibilang telah dimulai sejak pada masa kolonial Belanda, korban kekerasan pasca 1965 jauh lebih besar daripada masa sebelum kemerdekaan. Dengan kata lain, masih pendapat pakar sejarah Indonesia ini, masa 350 tahun keberadaan Belanda di Indonesia memakan korban lebih sedikit daripada 35 tahun Indonesia saat diperintah oleh bangsa sendiri.

kliping

ELSAM

Memang kini muncul pandangan bahwa periodisasi peristiwa yang harus diselidiki KKR adalah 1 Oktober 1965 sampai Oktober 1999. Daniel Dhakidae, salah satu pengamat yang mendukung pandangan itu. ''Peristiwa 1 Oktober 1965 itu merupakan simpul pertama yang menjadi awal segala kekacauan selama ini,'' katanya. Simpul kedua, masil menurut Daniel, adalah ketidakadilan terhadap kelompok Islam, termasuk Tragedi Tanjung Priok dan Lampung. Sedangkan simpul terakhir adalah semua kasus HAM belakangan, mulai dari peristiwa penghilangan mahasiswa. ''Juga termasuk kejahatan HAM di Aceh, Timtim, dan Papua.''

Meski begitu, tegas Asvi, periodisasi yang diusulkan Daniel, rawan protes masyarakat. ''Karena bisa muncul kesan bahwa KKR melindungi para PKI.'' Karena itu, Asvi pun mengusulkan agar periodisasi itu diusulkan dimulai dari Juli 1959 sampai Mei 1998.

Tanggal 5 Juli 1959, menurut peneliti LIPI ini, adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno yang menandai dimulainya zaman demokrasi terpimpin. Sejarah mencatat, sebelumnya Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden mengundurkan diri, sehingga Soekarno saat itu menjadi pemegang kekuasaan tunggal. ''Dengan begitu pada masa itulah kekuasaan mulai memusat pada negara, bukan lagi pada masyarakat. Dengan demikian, ''Investigasi mencakup dua rezim, rezim Soekarno (dari era demokrasi terpimpin, 5 Juli 1959 sampai 31 September 1965) dan rezim Soeharto (sepanjang Orde Baru i Oktober 1965 sampai 22 Mei 1998).

Meski begitu, Asvi menyatakan, usulan periodisasi itu tidaklah absolut. Kalaulah pada 1959 tidak disetujui, bisa saja dipakai acuan mulai 17 Agustus 1945. Menetapkan awal periodisasi lebih mudah daripada menentukan akhir periodi. Bagi Asvi, investigasi itu cukup sampai 1998. Tapi, mungkin dengan alasan-alasan tertentu ada pihak lain yang menginginkan sampai kasus Semanggi II pada 1999.

Seperti diketahui, dalam periodisasi itu (1959-1998) terjadi beberapa peristiwa pelanggaran berat HAM dalam sejarah Indonesia.

Kejadian-kejadian itu antara lain; a. Ekses demokrasi terpimpin berupa aksi sepihak kelompok kiri dan penangkapan tokoh-tokoh Masyumi/PSI dengan korban terutama dari pihak Islam. b. Pembantaian 1965/1966 dengan korban kelompok Komunis. c. Penahanan politik di kamp pulau Buru (1969-1979) dengan korban kelompok Komunis. d. Kasus Komando Jihad era 1980-an dengan korban kelompok Islam. e. Kasus Timor Timur dengan korban warga sipil. f. Kasus Aceh dengan korban sipil. g. Kasus Papua dengan korban sipil. h. Penembakan misterius dengan korban preman jalanan. i. Kasus Tanjung Priok, korban kelompok Islam. j. Kasus Lampung, korban kelompok Islam. k. Peristiwa 27 Juli 1996, korban simpatisan/warga PDI Perjuangan dan kerusuhan Mei 1998, korban masyarakat luas terutama kaum Tionghoa.

Problem wewenang KKR tidak hanya pada tingkat penetapan periodisasi peristiwa. Tapi, menjadi ''aneh'' bila rekonsiliasi tercapai. Rekonsiliasi itu antara siapa dengan siapa?Dari segi jumlah korban, kekerasan sebelum 1965 jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan korban pembantaian pasca G30S. Mungkin, masih ulas Asvi, konflik horizontal antara kelompok masyarakat dapat didamaikan.

Tapi kejahatan negara terhadap masyarakat tetap harus diusut. Termasuk kejahatan negara itu adalah operasi militer, terutama yang dilakukan di Jawa Tengah dalam rangka membasmi PKI sampai akar-akarnya.

Asvi menambahkan, rekonsiliasi itu, kalaulah ada, hendaknya lintas ideologi (antara orang Islam dengan kelompok eks komunis), lintas etnis (contoh Dayak-Madura, kelompok Bugis-Buton-Madura (BBM)

kliping

ELSAM

dengan berbagai suku di Irian Jaya. Di samping itu etnis Tionghoa perlu dilibatkan dalam berbagai sektor sebagaimana etnis lain di Indonesia), lintas pemeluk agama (Ambon Islam dengan Ambon Kristen). Tetapi yang paling krusial, tambah Asvi, adalah rekonsiliasi antara sipil dengan militer. Hampir semua pemberontakan yang terjadi sepanjang sejarah tentu melibatkan kelompok bersenjata (militer atau elit militer). Semua kekerasan berdarah sejak Indonesia merdeka juga menyangkut pihak militer. Dan, yang selalu menjadi korban adalah pihak sipil (tentu ditambah sedikit dari militer). Hubungan sipil-militer itu yang akan menentukan apakah di masa datang masih akan terjadi pelanggaran berat HAM.

Melihat berbagai kerumitan ini, untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat, kita memang kelihatannya harus bersabar untuk menunggu hasil akhir pembahasan RUU KKR oleh para wakil rakyat di Senayan itu. Apapun sudah selayaknya, semua pihak mendorong agar RUU itu segera bisa selesai. Dengan begitu harapan akan keadilan, kepuasan, dan mungkin rekonsiliasi bisa terwujud segera.***

kliping

ELSAM

Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001

Kontroversi G30S

Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.

Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ''Anggaplah kasus ini selesai,'' jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.

Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit --kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.

Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.

Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.

Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ''Mereka menggunakan alat pisau atau golok,'' urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ''Kejadian itu biasanya malam.'' Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun. Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam

menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram. Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula

menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.

Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.

Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ''Atau militer setidaknya memberi contoh,''

kliping

ELSAM

ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.

Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ''Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah'', secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.

Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.

Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ''Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.''

Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. "saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh."

Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.

Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ''Apakah Anda menyimpan dendam?'' Sang anak menjawab, ''Semula Ya.'' Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ''Mereka hanyalah

pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.'' Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.

Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.***

kliping

ELSAM

Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001

Dalam dokumen 2001 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 153-158)