• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN) Chapter III V"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HUBUNGAN VISUM ET REPERTUM DENGAN PROSES PEYIDIKAN

TINDAK PIDANA

3.1. Kedokteran Forensik dalam Penyidikan Tindak Pidana

Ilmu pengetahuan antara yang satu dengan yang lainnya selalu

memiliki keterkaitan satu sama lain. Ilmu pengetahuan tidak dapat

menyelesaikan suatu objek permasalahannya tanpa bantuan dari ilmu

pengetahuan lainnya. Banyak kasus yang tidak dapat diselesaikan dengan

menggunakan ilmu hukum pidananya saja. Hukum pidana membutuhkan

bantuan dari ilmu lain pada kasus-kasus tertentu, bahkan ada kalanya ilmu lain

menjadi kebutuhan hukum pidana untuk menyelesaikan suatu kasus.

Berlakunya KUHAP menjadikan bukti formal berupa pengakuan atau

kesaksian tidak lagi materi utama penyidikan suatu tindak pidana, karena

kedua macam alat bukti ini masih dapat disangkal terdakwa dalam sidang

pengadilan, sehingga penyidik dituntut mengutamakan bukti materiel melalui

penyidikan secara ilmiah dengan cara memanfaatkan ilmu forensik dalam

semua tahap-tahap penyidikan.33

Pembuktian tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh manusia,

dimana luka maupun jenazah bukan menjadi kajian ilmu hukum, sangat

dibutuhkan bantuan ilmu lain, yakni ilmu Kedokteran Forensik untuk

33

(2)

membuat jelas apakah luka atau kematian seseorang tersebut merupakan hasil

dari tindak pidana atau tidak. Proses pembuktian untuk mengetahui dan dapat

membantu dalam proses penyidikan, dalam perkara pidana yang menyangkut

tubuh, kesehatan dan nyawa manusia diperlukan pengetahuan khusus, yaitu

ilmu kedokteran kehakiman.34 Kedokteran forensik inilah yang akan

membantu penyidik untuk mengumpulkan alat bukti terkait kasus tersebut.

Definisi (Sir Sydney Smith): Ilmu kedokteran forensik merupakan

kumpulan ilmu pengetahuan medis dan paramedic yang menunjang

pelaksanaan penegakan hukum. Sinonimnya : Ilmu Kedokteran Kehakiman,

Patologi Forensik, Patologi Kehakiman, Forensik Medicine, dan lain-lain.35

Sebagai ilmu pengetahuan penunjang dengan fungsi membuktikan “benda

bukti” lewat “saksi diam” pada pokoknya maupun akhirnya mesti bersandar

pada hukum (positif) yang berlaku di Indonesia. Rangkaian proses peradilan

merupakan ruang lingkup dan gerak kerja dari ilmu Kedokteran Forensik ini.

Menurut Susetyo Pramusinto, ilmu forensik adalah ilmu pengetahuan yang

menggunakan multidisiplin ilmu dengan menerapkan ilmu pengetahuan alam

seperti kimia, fisika, biologi, psikologi, kedokteran, dan kriminologi dengan

tujuan untuk membuat terangnya suatu perkara pidana dan membuktikan ada

tidaknya suatu kejahatan atau pelanggaran dengan memeriksa alat bukti

34

Abdul Mun’im Idries,Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Proses Penyidikan, PT Karya Unipress,, 1982, Jakarta, hlm. 1.

35

(3)

(Psysical evidences) dalam perkara tersebut dan orang yang paham betul

tentang ilmu forensik disebut ahli forensik.

Pendapat Sutomo Tjokronegoro ilmu kedoketan kehakiman adalah

penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan, artinya bahwa

ilmu pengetahuan kedokteran kehakiman sangat berperan dalam membantu

kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, dalam segala soal yang hanyalah dapat

dipecahkan oleh ilmu kedokteran kehakiman.36

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 butir 2

KUHAP). Membuat terang suatu tindak pidana inilah yang menjadi titik

tombak penyidikan sehingga mengupayakan segala cara untuk

mewujudkannya sesuai dengan ketentuan undang-undang, artinya penyidikan

itupun harus dilakukan secara legal, tanpa melanggar ketentuan yang ada.

Ilmu kedokteran forensik memiliki peranan penting dalam upaya

penegakan hukum pidana. Peranan para ahli atau dokter ahli kedokteran

kehakiman ataupun para dokter (ahli) lainnya yang turut terlibat guna

membantu mengungkapkan, menjelaskan ataupun menjernihkan (membuat

jelas) suatu kasus perkara pidana maka kepada para penegak hukum (POLRI),

jaksa, hakim dan penasihat hukum dituntut untuk lebih meningkatkan

36

(4)

pengetahuannya selain di bidang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana

juga ilmu pengetahan lainnya, antara kriminolog, psikologi forensik, psikiatri

forensik, kedokteran forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensok dan

lain-lain.

Ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan

kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimblkannya

dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh atau

yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya

seseoran, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi

tindak pidana. Hasil pemeriksaan ilmu forensik ini dapat diketahui apakah

lukanya seseorang atau matinya seseorang berkaitan dengan tindak pidana

atau tidak. Produk hasil pemeriksaan ahli forensik ini merupakan bukti

materiel yang objektif dan ilmiah serta merupakan salah satu alat bukti yang

sulit untuk disangkal oleh terdakwa dalam sidang pengadilan.

Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuannya dalam

hubungannya dengan proses peradilan dalam hal:

1) Pemeriksaan di tempat kejadian perkara ini, biasanya dimintakan oleh

pihak yang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang dalam keadaan

meninggal dunia. Pemeriksaan oleh dokter ahli forensik ini akan sangat

pening dalam hal menentukan jenis kematian dan sekaligus untuk

mengetahui sebab-sebab dari kematian itu, yang dengan demikian akan

(5)

menurut hukum. Dalam kaitan ini dokter akan membuat Visum et

Repertum sebelum dikuburkan.37

2) Pemeriksaan terhadap korban yang luka oleh ahli forensik dimaksudkan

untuk mengetahui:

(a) Ada atau tidaknya pnganiayaan;

(b) Ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan;

(c) Untuk mengetahui umur seseorang

(d) Untuk mengetahui kepastian seorang bayi yang meninggal dunia di

dalam kandungan seorang ibu.

3) Pemeriksaan mayat, dalam hal ini pemeriksaan oleh ahli forensik

dimaksudkan apakah seseorang yang telah menjadi mayat tersebut mati

secara wajar atau sebaliknya. Atau juga terdapat kemungkinan

sebelumnya telah terjadinya penganiayaan yang mengakibatkan matinya

seseorang tersebut. Untuk menentukan sebab-sebab tentang kematian,

maka dokter ahli forensik harus mengotopsi (membedah) mayat tersebut.

4) Pemeriksaan korban yang telah dikubur, bukan hanya dimungkinkan

terhadap korban kejahatan yang untuk menghilangkan jejaknya pelaku

menguburkan secara diam-diam, akan tetapi mencakup seseorang yang

dikibur secara biasa, sementara untuk kepentingan pemeriksaan pada

sidang pengadilan hakim meminta Visum et Repertum pada mayat

tersebut.

(6)

5) Pemeriksaan barang bukti, dalam kaitan ini barang bukti yang dimaksud

adalah barang bukti yang apabila dilihat dengan mata telanjang sulit untuk

membuktikan siapakah yang sesungguhnya yang mempunyai

barang-barang tersebut. Seperti contoh: sperma, rambut, darah. Kesemuanya itu

merupakan barang bukti yang mesti diteliti oleh ahli forensik untuk

kepentingan pembuktian.

6) Memberikan kesaksian dalam sidang pengadilan, dalam kaitan ini, apa

yang diucapkan olehnya (ahli forensik) akan dikategorikan sebagai

keterangan ahli. 38

Ketentuan pasal 222 dan 216 KUHPidana mengenai tugas seorang dokter

untuk membantu memberikan data keterangan untuk kepentingan proses peradilan

memang sudah menjadi kewajiban, sehingga yang meminta keterangan tersebut

untuk kepentingan yang sama adalah merupakan sebuah kewenangan. Pihak yang

berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman adalah:

1) Hakim pidana melalui jaksa dan dilaksanakan oleh penyidik;

2) Hakim perdata, meminta langsung kepada ahli kedokteran kehakiman;

3) Hakim pada Pengadilan Agama;

4) Jaksa Penuntut Umum;

5) Penyidik.39

38

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, 2007, Jakarta, hlm. 9.

(7)

Tugas dari ilmu kedokteran kehakiman dapat disimpulkan adalah untuk

membantu para aparat hukum (baik itu kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman)

dalam mengungapkan suatu perkara yang berkaitan (berhubungan) dengan

pengrusakan tubuh, kesehata, dan nyawa seseorang. Bantuan ilmu kedokteran

kehakiman tersebut, diharapkan keputusan yang hendak diambil oleh badan

peradilan menjadi lebih objektif berdasarkan apa yang sesungguhnya terjadi. Ahli

kedokteran kehakiman dapat memberikan bantuannya berupa:

a. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara;

b. Pemeriksaan korban yang luka;

c. Pemeriksaan mayat;

d. Pemeriksaan korban yang sudah dikubir dan digali kembali;

e. Pemeriksaan barang bukti;

f. Memberikan kesaksian dalam sidang pengadilan.40

Pada dasarnya dikenal 3 macam pelayanan pemeriksaan kedokteran

kehakiman:

1. Sistem Coroner

Sistem ini perlu tidaknya pemeriksaan bedah mayat pada orang-orang yang

mati mencurigakan atau sebab kekerasan adalah ditentukan oleh seorang

coroner. Tugas coroner adalah meneliti setiap kematian yang mencurigakan

(8)

atau karena kekerasan di daerahnya. Kesimpulan tidak ada hal-hal yang

mencurigakan menunjuk seorang dokter untuk mengeluarkan surat keterangan

kematian dan menyerahkan jenazah untuk dikubur kepada keluarganya, tetapi

jika dirasanya perlu, coroner mempunyai wewenang untuk memerintahkan

seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan bedah mayat, atau coroner

sendiri yang melakukan bila ia seorang dokter.41

2. Sistem Medical Examiner

Sistem ini yang menentukan perlu tidaknya dilakukan bedah mayat adalah

seorang medical examiner atau deputinya. Medical examiner adalah seorang

ahli kedokteran kehakiman. Peristiwa kematian seseorang, seorang medical

examiner akan diminta datang ke tempat kejadian, sementara tempat kejadian

perkara tersebut diamankan oleh polisi dengan demikian penentuan sebab

kematian akan lebih mudah ditentukan karena Medical Examinernya

memeriksa situasi dan keadaan tempat kejadian, menyelamatkan barang atau

benda yang mungkin ada sangkut pautnya dengan sebab kematian (situasi,

tempat, bercak darah/obat-obatan, dan lain-lain) dan melakukan sendiri

pemeriksaan bedah mayat.

3. Sistem Continental

Sistem ini yang menentukan perlu tidaknya dilakukan bedah mayat adalah

polisi. Mayat orang yang mati karena kekerasan atau matinya mencurigakan

dikirim oleh yang berwenang kerumah sakit setempat, sedangkan dokter

hanya menunggu di tempat. Dokter bila diperlukan diajak ke tempat kejadian

41

(9)

maka situasi tempat sudah berobah dan biasanya mayat sudah dibawa

kerumah sakit.

Ruang lingkup ilmu kedokteran kehakiman adalah luas, yaitu:42

a. Memeriksa korban yang hidup dan yang sudah meniggal.

b. Sebagai saksi ahli di sidang pengadilan.

c. Pemeriksaan terhadap bahan yang berasal dari manusia/trace evidence yaitu

berupa rambut, kuku, tulang, sperma, darah, dan lain-lain.

d. Penggalian kuburan.

e. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara.

f. Toksikologi dimana kasus-kasus keracunan akhirnya akan berhubungan juga

dengan perkara pengadilan.

Fungsi utama ilmu-ilmu forensik tersebut, termasuk ilmu kedokteran

forensik ialah:

1. Membantu penegak hukum menentukan apakah suatu peristiwa yang

diselidiki merupakan peristiwa pidana atau bukan.

2. Membantu penegak hukum mengetahui bagaimana proses tindak pidana

tersebut, meliputi:

a. Kapan dilakukan.

b. Bagaimana dilakukan.

c. Dengan apa dilakukan.

42

(10)

d. Bagaimana cara melakukannya.

e. Apa akibatnya.

3. Membantu penegak hukum mengetahui identitas korban.

4. Membantu penegak hukum mengetahui identitas pelaku tindak pidana.

Dokter yang bekerja di Indonesia tentunya perlu memahami ilmu

kedokteran forensik lebih dahulu, supaya tidak mengalami kesulitan di dalam

menerapkan ilmu kedokteran yang dimilikinya untuk kepentingan peradilan.

Hukum acara pidana yang berlaku memungkinkan setiap dokter sewaktu-waktu

dapat dimintai bantuannya oleh penegak hukum untuk membuat terang

perkara-perkara pidana. Tugas keforensikan yang melekat bagi diri setiap dokter itu harus

dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan benar, sebab nasib orang sangat

bergantung padanya. Proses peradilan yang akan menyengsarakan orang-orang

yang bersalah tidak boleh terjadi. Pemahaman yang memadai akan ilmu

kedokteran forensik antara dokter sebagai pemberi bantuan dan penegak hukum

sebagai penerima bantuan maka diharapkan proses peradilan pidana yang

mendasar pada kebenaran materil akan dapat terlaksana sesuai harapan semua

pihak.

Keterangan ahli sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 28 KUHAP

disebutkan yakni keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian

khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan. Berlakunya KUHAP, maka bukti formal berupa

pengakuan atau kesaksian tidak lagi menjadi materi utama penyidikan suatu

(11)

dalam sidang pengadilan, sehingga penyidik dituntut mengutamakan bukti

materiel melalui penyidikan secara ilmiah dengan cara memanfaatkan ilmu

forensik dalam semua tahap-tahap penyidikan.43

Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi

kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustitia dan pemeriksaan di

sidang pengadilan, amat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan

hakim dalam hal pengambilan putusan.44 Ditinjau dari Hukum Acara Pidana

sekarang, maka peranan keterangan ahli diperlukan di dalam setiap tahap proses

pemeriksaan, hal itu tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna

membantu tugas-tugas baik dari penyidik, jaksa, maupun hakim terhadap suatu

perkara pidana, seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana

pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana kealpaan

dan lain-lain.

Para ahli di dalam membantu turut serta daam penanganan penyidikan

suatu tindak kejahatan guna memecahkan masalah itu agar lebih tuntas dan akurat

hasilnya, maka ilmu kedokteran kehakiman modern dengan ditunjang oleh sarana

teknis laboratorium kriminalistik/laboratorium forensik yang canggih akan sangat

berguna bagi tugas-tugas penyidik, jaksa, dan hakim dalam menangani kejahatan

itu.

43

Andi Sofyan, Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Grup, 2014, Jakarta, hlm. 252.

44

(12)

Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh ahli

kedokteran kehakiman atau dokter bukan ahli kedokteran kehakiman, tentang

seorang korban bail luka, keracunan, maupun mati yang diduga karena peristiwa

yang merupakan tindak pidana.. Tugas dokter selain sebagai tenaga medis, juga

dituntut kewajibannya untuk membantu aparat penegak hukum, pekerjaan yang

harus dilakukan adalah memeriksa dan bila perlu merawat orang yang telah

mengalami kekerasan, memeriksa mayat dan melakukan otopsi.45 Dokter yang

dimaksud disini adalah dokter spesialis Forensik yang akan memberikan

keterangan medis mengenai perkiraan akibat kematian serta waktu kematian, ini

merupakan upaya mendapatkan bukti atau tanda bagi diri korban yang akan

menunjukkan apakah benar terjadi kematian yang tidak wajar. Pengupayaan

keadilan, penegak hukum sangat membutuhkan ahli dalam membuat visum

ataupun autopsi, sehingga dalam hal ini peran dokter sangat berpegaruh dalam

menemukan kebenaran materil berhubung pengetahuan hakim adalah terbatas,

terlebih dalam bidang medis.

3.2. Hubungan Visum et Repertum dengan Penyidikan

Visum dapat dikatakan merupakan sarana utama dalam penyidikan perkara

tindak pidana yang menyebabkan korban manusia baik hidup atau mati. Visum Et

Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan

pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan

tertulis yang dibuat oleh pihak yang berwenang, yang dibuat dengan mengingat

45

(13)

sumpah jabatannya. Esensi dari Visum Et Repertum adalah laporan tertulis dari

apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang

hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan

atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari

sudut pandang kedokteran forensik.

KUHAP telah memberikan wewenang kepada penyidik untuk meminta

bantuan ahli sebagaimana diatur dalam pasal 133 KUHAP ayat (1) yang

menyatakan bahwa “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani

seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yag diduga karena peristiwa

yang merupakan tindak pidana, ia berwenang megajukan permintaan keterangan

ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahlinya”. Pasal ini

disebutkan demi kepentingan peradilan menangani korban, penyidik berwenang

meminta keterangan ahli. Permintaan tersebut bisa secara tertulis dan

menyebutkan pemeriksaan luka/mayat/bedah mayat. Pasal 134 KUHAP

dijelaskan apabila sangat diperlukan untuk bedah mayat tidak mungkin lagi

dihindari, penyidik memberitahukan kepada keluarga, keluarga keberatan, maka

penyidik menerangkan tentang maksud dan tujuan pembedahan, dan apabila

dalam dua hari tidak ada tanggapan, penyidik melaksanakan paal 133 ayat (3)

KUHAP. Tata cara penyidik mengajukan perintaan keterangan ahli kepada

kedokteran kehakiman adalah sebagai berikut:

a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada dokter, dokter ahli kedokteran

(14)

dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani

oleh penyidik yang berwenang.

b. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat berupa:46

1. Korban Mati

Visum et Repertum jenazah adalah hasil pemeriksaan korban mati.

Visum et Repertum untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan

mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas

mayat, dilakukan dengan memberi cap jabatan, diletakkan pada ibu jari

atau bagian lain badan mayat.

Mayat dikirim dikirim kerumah sakit (kamar jenazah) bersama surat

permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas penyidik yang

melakukan pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP). Petugas

penyidik selanjutnya memberi informasi yang doperlukan dokter dan

mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang

bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan

cara kematiannya.

2. Korban Hidup

Korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit,

memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidk perlu memintakan Visum

et Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban

ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya

tersangka ditahan. Korban memerlukan atau meminta pindah perawatan

(15)

ke rumah sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu

dimintakan lagi. Perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban

menjadi sembuh atau meninggal dunia.

Korban sembuh, Visum et Repertum definitive perlu diminta lagi karena

Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir

keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et

Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.

Kemungkinan yang laina dalah korban meninggal dunia, untuk itu

permintaan Visum et Repertum jenazah diperlukan guna mengetahui

secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan

penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.

c. Surat permintaan Visum et Repertum, kelengkapan data-data jalannya

peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi

selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu dokter mengarahkan

pemerikaan mayat yang sedang diperiksa. Contoh:

1. Kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan

kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak.

Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambrkan

bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan.

2. Kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal kerena

pembunuhan atau penganiayaan saja, menyebutkan keterangan tentang

jenis senjata yang diduga digunakan pelaku, senjata tajam, senjata api,

(16)

sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah

senjata/alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada

tubuh korban.

3. Kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan

keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi

serta perkiraan racun yang digunakan), bersama dengan korban perlu

dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab.

4. Kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang

digunakan korban agar diisi selengkapnya, apabila korban dirawat,

sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan.

d. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan pada kepada dokter ahli

kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya.

Catatan:

Dokter ahli kedokteran kehakiman biasanya hanya ada di ibukota provinsi

yang terdapat Fakultas Kedokterannya. Tempat-tempat di mana tidak ada

dokter ahli kedokteran kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et

Repertum ini ditujukan kepada dokter.

e. Sebaiknya petugas yang meminta Visum et Repertum, petugas penyidik hadir

di tempat autopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada dokter

yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan

ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang ditemukan, agar

(17)

f. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu

tentang korban, seperti:

1. Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.

2. Sejauh mana korban masih dapat berlari/berjalan.

3. Apakah korban dipindah.

4. Senjata/alat jenis apa yang melukai korban.

5. Apakah jenis alat/senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk

luka yang ada pada tubuh korban.

6. Bagaimana caranya alat/senjata tersebut mengenai tubuh korban.

7. Apakah ada tanda-tanda perlawanan.

8. Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau

sesudah kematian.

9. Kapan kira-kira korban meninggal.

10.Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum

meninggal.

3.3. Penyebab Kematian dan Kaitannya dengan Tindak Pidana

Kematian tidak wajar merupakan salah satu alasan dibutuhkannya ilmu

kedokteran forensik dalam proses penegakan hukum oleh penyidik. Berdasarkan

prinsip ilmu kedokteran forensik, bedah mayat (autopsi), mutlak dilakukan

apabila ingin mengetahui penyebab kematian seseorang.47 Kasus-kasus tertentu,

bedah mayat harus disertai dengan pemeriksaan pelengkap (laboratorium

47

(18)

forensik); seperti: pemeriksaan toksikologi, pemeriksaan histopatologi,

pemeriksaan bakteriologi.

Penentuan penyebab kematian secara pasti mutlak harus dilakukan

pembedahan mayat atau otopsi dengan atau tanpa pemeriksaan tambahan seerti

pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan toksikologis, pemeriksaan bakteriologis,

dan sebagainya tergantung kasus yang dihadapi. Tanpa pembedahan mayat, tidak

mungkin dapat ditentukan sebab kematian secara pasti.48

Bedah mayat berarti dokter harus membuka rongga tengkorak, rongga

dada, rongga perut, dan rongga panggul. Melakukan bedah mayat sebagian

(parsial) tidak dibenarkan. Mengetahui (tidak ada fakta), bahwa bagian yang tidak

dibedah itu terdapat kelainan atau tidak. Bedah mayat parsial hanya memberikan

kesimpulan penyebab kematian yang bersifat perkiraan; padahal yang diperlukan

adalah kepastian, sesuai dengan tujuan hukum, yaitu kepastian hukum. Pandangan

dari sudut pembelaan, ketidakpastian dalam hal penyebab kematian

menguntungkan terdakwa; akan tetapi apabila yang diinginkan adalah suatu

kepastian, maka seyogyanya peluang seperti itu tidak dimanfaatkan.

Tujuan utama dari penentuan penyebab kematian adalah untuk mengetahui

alat (senjata) yang dipakai untuk membunuh, yaitu atas dasar jenis lika dan jenis

kekerasan. Diketahui secara pasti, alat atau senjata yang dipakai untuk membunuh

korban (atas dasar jenis luka dan jenis kekerasan), maka selain pihak penyidik

harus hati-hati di dalam mengupayakan alat bukti, maka penasihat hukum

(19)

terdakwa juga harus mengetahui apakah alat atau senjata yang dihadirkan di

pengadilan itu memang sesuai dengan luka pada korban yang menimbulkan

kematian.

Perkiraan sebab kematian dapat dimungkinkan dari pengamatan yang teliti

kelainan-kelainan yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan luar.

Pembedahan mayat tidak dilakukan, maka perkiraan sebab kematian dapat

diketahui dengan menilai sifat luka, lokasi serta derajat berat ringannya kerusakan

korban. Ada beberapa sebab kematian:

1. Karena tusukan benda tajam;

2. Karena tembakan senjata api;

3. Karena pencekikan

4. Karena keracunan morfin;

5. Karena tenggelam;

6. Karena terbakar;

7. Karena kekerasan benda tumpul.

Penyebab kematian (cause of death) dengan mekanisme kematian

(mechanism of death) adalah dua hal yang berbeda. Pendarahan, mati lemas, syok,

dan reflex vegal adalah mekanisme kematian. Kekerasan tajam (tusukan),

tembakan, pencekikan, dan keracunan gas CO, merupakan contoh dari penyebab

kematian. Kasus penembakan, Visum et Repertum harus dapat menjelaskan:49

49

(20)

a. Sebab mati

b. Jarak tembak

c. Arah tembakan (arah datangnya peluru)

d. Diameter peluru

e. Caliber senjata api

f. Berapa kali korban di tembak

g. Perkiraan posisi korban dan penembak

Kasus penusukan atau penikaman, Visum et Repertum harus dapat

menjelasan:

a. Perkiraan jenis senjata yang diginakan

b. Perkiraan lebar maksimal senjata yang masuk ke dalam tubuh korban.

Kasus pengeroyokan, Visum et Repertum harus dapat menjelaskan:

1. Perkiraan senjata (alat) yang digunakan

2. Menentukan (memperkirakan) senjata yang menyebabkan kematian

Kasus kecelakaan lalu lintas, visum et repertum harus dapat menjelaskan:

a. Penyebab terjadinya kecelakaan dari sudut faktor manusia, dalam hal ini dari

korbannya.

b. Perkiraan jangka waktu (interval) antara saat terjadinya kecelakaan dan saat

kematian.

Penggunaan kalimat sebab kematian di dalam Visum et Repertum lebih

(21)

korban. Pihak penyidik berkesimpulan dokter di dalam hal sebab kematian

tersebut akan banyak membantu penyidik dalam melaksanakan tugasnya.50

Penyidik dapat mencari dan menyita benda-benda yang diperkirakan dipakai

sebagai alat pembunuhan, penyidik dapat mencari dan mengumpulkan

racun-racun apa yang diperlukan bagi kelengkapan alat bukti dan lain sebagainya, hal

mana tidak mungkin bila yang dicantumkan dalam kesimpulan Visum et

Repertum adalah mekanismenya, seperti sebab kematian adalah lemas. Mati

lemas dapat disebabkan oleh pelbagai keadaan, dicekik, dijerat, digantung, diberi

morfin, tenggelam semuanya dpaat menimbulkan keadaan yang disebut mati

lemas.

Kematian seseorang selain dapat menentukan langkah dari penyidikan,

yaitu apakah kasusnya terus diselidikan dan diteruskan sampai ke pengadilan, atau

justru malah dihentikan oleh karena tidak ada pihak lain yang dapat dimintai

tanggung jawabnya secara hukum atas kematian seseorang tergantung dari hasil

pemeriksaan dokter (Visum et Repertum). Ditinjau dari proses pradilan pidana,

maka tidaklah berlebihan, apabila penasihat hukum mengerti dan memahami

dengan baik perihal kematian (made of death atau manner of death). Seorang

penasihat hukum akan melakukan tergantung pada seberapa besar penasihat

hukum tersebut mengetahui ha tersebut khususnya bila dikaitkan dengan kasus

yang sedang ditangani.

50

(22)

Kematian seseorang dikatakan wajar (natural death) apabila kematian

disebabkan oleh hal-hal yang alami, seperti penyakitatau proes degenerative, dan

bukan oleh trauma (redupaksa) yang dating dari luar.kasusnya menjadi kasus

forensik yang melibatkan penyidik, bilamana kematian tersebut terjadi di suatu

tempat yang mendatangkan kecurigaan. Kematian seseorang yang dinyatakan

tidak wajar (un-natural death) adalah kematian yang disebabkan oleh tindak

pidana.

Hasil pemeriksaan tubuh korban, baik yang masih hidup atau terutama

yang sudah mati, ditentukan oleh faktor: saat dilakukannya pemeriksaan; keaslian

benda bukti yang diperiksa; tehnik pemeriksaan serta koordinasi antara penyidik

dengan dokter.51

1. Saat dilakukannya pemeriksaan

Luka pada tubuh seseorang, dapat sembuh sehingga tidak dapat dikenali lagi,

atau malah menjadi lebih berat sehingga tidak sesuai dengan kondisi pada saat

luka itu terjadi. Tubuh seseorang yang meninggal sesuai dengan berjalannya

waktu akan mengalami proses pembusukan, sehingga kelainan atau perlukaan

yang ada tidak terdeteksi. Dokter melakukan pemeriksaan pada tubuh korban

tersebut, yang telah mengalami proses pembusukan lebih lanjut, maka baik

jenis luka, jenis kekerasan, dan penyebab kematian tidak mungkin dapat

ditentukan. Pemeriksaan tubuh korban terlambat dilakukan, maka hasil

pemeriksaan hanya akan menimbulkan ketidakpastian dan kecurigaan,

khususnya bagi pihak keluarga korban. Menghindari kecurigaan dan

(23)

ketidakpastian tersebut, maka pemeriksaan pada tubuh korban tidak

ditunda-tunda tanpa alasan yang jelas, sehingga aparat penegak hukum khususnya

penyidik dapat terhindar dari dampak negative yang mungkin terjadi.

2. Keaslian benda bukti

Keaslian tubuh korban sebagai benda bukti apabila penanganannya tidak

sesuai prosedur, akan merubah keaslian tubuh korban sebagai benda bukti,

sehingga pemeriksaan kedokteran forensik yang kemudian dilakukan tidak

akan memberi hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Keaslian tubuh

korban sebagai barang bukti sangat berperan penting di dalam kasus

kejahatan.

3. Teknik pemeriksaan

Hasil pemeriksaan tubuh korban dipengaruhi oleh mekanisme kematian yang

dialami korban, dengan kata lain, mekanisme kematian yang berbeda pada

kasus yang sama akan memberikan hasil pemeriksaan mayat yang berbeda

pula.

4. Koordinasi antara penyidik dengan dokter

Kunci keberhasilan di dalam pengungkapan kasus criminal adalah penanganan

(olah) TKP. Olah TKP dilaksanakan sesuai dengan prosedur, kemudian atas

tubuh korban dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik yang baik, maka

dapat dikatakan bahwa pengngkapan kasus untuk dibawa ke pengadilan

hanyalah masalah waktu. Idealnya dokter forensik diikutsertakan pada setiap

kematian yang diduga ada unsur pidanya, atau yang jelas merupakan kasus

(24)

yang utuh atas suatu kasus yang diperiksanya. Pemeriksaan menjadi lebih

terarah, bukti-bukti fisik apa yang perlu dikumpulkan untuk membuat jelas

dan terang perkara criminal tersebut. Penyidik dapat meminta dokter untuk

melakukan serangkaian pemeriksaan forensik, termasuk pemeriksaan

laboratorium sesuai dengan kebutuhan. Dokter dapat menyarankan kepada

pihak penyidik langkah yang harus ditempuh, misalnya senjata alat yang harus

dicari, jenis atau caliber senjata api yang mana yang harus diupayakan oleh

penyidik, apakah kasusnya harus dilanjutkan oleh karena didapat dugaan kuat

kearah suatu tindak pidana. Dokter bahkan dapat menyarankan bahwa

penyidikan tidak perlu dilanjutkan oleh karena temuan dokter bermuara pada

kasus bunuh diri. Koordinasi yang baik antara dokter dengan penyidik,

penyelesaian kasus yang tepat dan cepat dan mempunyai kekuatan ilmiah akan

dapat terwujud.

Tugas dokter sehari-hari didalam rangka membantu aparat penegak

hukum pekerjaan yang terbanyak harus dilakukan ialah memerikan dan bila

perlu merawat orang yang telah mengalami kekerasan, disamping memeriksa

mayat dan melakukan otopsi.52 Barang-barang yang diperika oleh dokter , baik

itu orang hidup, jenazah, organ tubuh atau benda yang didapat dari dalam

tubuh adalah merupakan barang bukti. Kedudukannya tidak berbeda dengan

barang bukti lainnya yang didapat dari tempat kejadian atau tempat lain yang

disita oleh penyidik. Oang yang menderita luka, jenazah, organ tubuh, atau

benda lain yang didapat dari tubuh merupaka barang atau benda yang

52

(25)

membunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Fungsi dari barang

bukti tersebut dapat untuk menambah keyakinan hakim tentang tindak pidana

yang didakwakan terhadap terdakwa.

Tubuh seseorang yang mengalami kekerasan (luka-luka) ataupun

jenazah tidak mungkin dapat dipertahankan seperti semula. Seseorang yang

luka apabila tidak langsung ditangani, akan semakin memperburuk keadaan

korban, atau menyebabkan sipenderita meninggal dunia, kalau dirawat akan

menyembuhkan luka dan hanya meninggalkan bekas luka. Jenazah tidak

mungkin menunggu sampai perkaranya selesai disidangkan. Apabila hakim

sempat melihat korban atau jenazah kemungkinan hakim salah dalam

memperkirakan penyebab kematiannya, apakah mati wajar atau karena tindak

pidana.

Kematian yang diduga tidak wajar haruslah diperiksa sebaik mungkin,

untuk menentukan apakah kematian tersebuh ada hubungannya dengan tindak

pidana atau bukan. Modus pembunuhan kerap terjadi di kehidupan modern ini,

namun dibuat menjadi suatu kematian yang seolah-olah wajar, atau tidak ada

hubungan dengan tindak pidana, misalnya, ditemukan mayat di sungai, jika

tanpa bantuan ilmu forensik, bisa disimpulkan penyebab kematiannya adalah

karena tenggelam. Kenyataannya korban dicekik lalu ditenggelamkan.

Pemeriksaan jenazah untuk mengetahui penyebab kematian, apakah mati

(26)

Visum selain berguna sebagai barang bukti, lebih jauh berperan

sebagai petunjuk untuk pemeriksaan perkara kematian diduga tidak wajar.

Visum inilah yang akan mempermudah penegak hukum untuk menemukan

fakta tentang kasus kematian, apakah ada kaitannya denga tindak pidana atau

kematiannya wajar.

3.4. Identifikasi Kematian

Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup

maupun mati berdasarkan beberapa ciri khas yang terdiri terdapat pada orang

tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan untuk memastikan identitas seseorang perlu

dijelaskan kepada orang tersebut bahwa hasilnya nanti bisa saja bertentangan

dengan yang diharapkan orang tersebut. Surat pernyataan persetujuan tidak perlu

dinyatakan didepan petugas polisi. Surat pernyataan persetujuan ini harus

diperoleh sebelum orang tersebut diperiksa. Seseorang berhak untuk boleh

menolak dilakukannya pemeriksaan ini.

Identifikasi pada jenazah dilakukan pada keadaan:

1. Kasus peledakan.

2. Kasus kebakaran.

3. Kecelakaan kereta api atau pesawat terbang.

4. Banjir.

5. Kasus kematian yang dicurigai melanggar hukum.

(27)

1. Menentukan secara pasti kematian korban.

Menetukan dengan pasti bahwa korban telah mati perlu diketahui

perihal tanda-tanda kehidupan dan tentunya perihal tanda-tanda kematian serta

perubahan lanjut yang terjadi pada mayat jika pada korban terdapat

tanda-tanda kehidupan maka tindakan yang harus dilaksanakan dengan segera adalah

memberikan pertolongan pertama pada korban, serta dengan segera

mengirimkannya ke rumah sakit terdekat agar dapat tertolong jiwanya, dengan

mengambil tidakan demikian dapat dihindarinya terjadinya kematian korban

oleh karena sikap yang lebih mementingkan penyidikan ketimbang

menyelamatkan jiwa korban.

Tanda-tanda kematian yang penting adalah:

a. Terhentinya denyut jantung,

b. Terheninya pergerakan nafas,

c. Kulit terlihat pucat

d. Melemasnya otot-otot tubuh, dan

e. Terhentinya aktifitas otak (terhentinya aktifitas otak secara tepat dan cepat

hanya dapat diketahui jika kita melakukan pemerksaan dengan bantuan

alat EEG-Electro Ensofalo Graf, diamana akan terlihat mendatar selama

llima menit)

Ditentukannya atau telah diketahuinya bahwa korban telah mati, maka

pemerikasaan di TKP dapat dilakukan dengan tenang, cermat, teliti dan tepat.

(28)

Kematian korban hanya dapat diperkirakan karna penentuan kematian

secara pasti samai saat ini, belum dimungkinkan. Memperkirakan saat kematian

diperlukan pengamatan, pencatatan dan penafsiran yang baik terutama dari

perubahan lanjut yang terjadi pada mayat. Perkiraan saat kematian dapat diketahui

dari :53

a. Informasi para saksi, dalam hal ini perlu diingat bahwa saksi adalah manusia

dengan segala keterbatasannya

b. Petunjuk-petunjuk yang ada di TKP, seperti jam atau alrloji yang pecah,

tanggal yang tercantum pada surat kabar, surat, adanya makanan pada meja

makan, nyala lampu, keadaan tempat tidur, debu pada lantai dan alat-alat

rumah tangga dan lain sebagainya; yang semuanya itu dapat dilakukan baik

oleh pennyidik

c. Pemeriksaan mayat, dalam hal ini adalah :

1. Penurunan suhu mayat (algro mortis), pada seorang yang mati maka

suhu tubuhnya akan menurun sampai sesuai dengan suhu yang

disekitarnya.

2. Lebam mayat (livor mortis), terhentinya peredaran darah pada mayat

akan menyebabkan darah berkumpul mencari tampat yang paling rendah

pengumpulan darah pada tempat yang terendah tersebut akan

menyebabkan kulit didaerah itu mnajdi berwarna ungu. Lebam mayat

akan mulai tampak sekitar 30(tiga puluh) menit setelah kematian.

(29)

3. Kuku mayat (rigor mortis) adanya perubahan enzim matik serta

perubahan metabolime dan kimiawi lainnya pada otot-otot seluruh

tubuh, kekakuan post-mortal baik pada otot lurik maupun pada otot

polos akan terjadi.

4. Pemerikasaan isi lambung, sebagaimana diketahui waktu pengosongan

isi lambung, yaitu waktu yang dperlukan lambung unuk mencernakan

makanan dan meneruskannya ke usus adalah sekitar 4 sampai 6 jam jadi

bila pada lambung korban masih didapatkan sisa makanana yang belum

dicerna makan dapat di perkirakan bahwa kematian korban terjadi dalam

waktu kurang dari 4 sampai 6 jam setelah makan yang terakhir

5. Pembusukan, pembusukan pada mayat berbeda-beda terjadi kecepatan

tergantung berbagai faktor. Diantaranya faktor lingkungan. Dengan

dapat diketahuinya perkiranya saat kematian korban maka penyidik

dapat mengarahan penyelidikannya dengan kata lain, memersempit

penyelidikan, orang-orang yang dicurigai lebih sedikit oleh karena telah

diseleksi oleh perkiraan saat kematian, siapa-siapa saja bersama korban

dalam waktu tersebut.

3. Menentukan identitas

Menentukan identitas korban seperti halnya menetukan identitas pada

tersangka pelaku kejahatan merupakan bagian yang terpenting dari penyidikan.

Ditentukannya identitas dengan tepat dapat dihindari kekeliruan dalam proses

peradilan yang dapat berakibat fatal. Penentuan identitas korban dapat dilakukan

(30)

a. Visual : termasuk metode yang sederhana dan mudah dikerjakan, yaitu

dengan memperlihatkan tubuh terutama wajah korban kepada pihak

keluarga, metode ini akan memerikan hasil jika keadaan mayat tiak rusak

berat dan tidak dalam keadaan busuk lanjut

b. Dokumen : KTP, SIM, Paspor, Kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya

merupakan sarana yang dapat dipakai menentukan identitas

c. Perhiasan : merupakan metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban

telah rusak atau hangus. Karena perhiaan tidak akan hangus.

d. Pakaian : pencatatan yang biak dan teliti dari pakaian yang dikenakan korban

seperti model, bahan yang pakai, merek penjahit, label binatu dapat

merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut.

e. Medis : merupakan metode identifikasi yang selalu dapat dipakai dan

mempunyai nilai tinggi dalam hal ketepatannya terutama jika korban

memiliki status medis yang baik.

f. Gigi : sebaiknya dilakukan oleh dokter gigi ahli forensik, akan tetapi dalam

peraktenya semua pemeriksaan dilakukan oleh dokter ahli ilmu kedoteran

forensik khususnya ahli patoligi forensik

g. Sidik jari : sidik jari atau finger prints dapat menentukan identitas secara

pasti oleh karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda

walaupun pada kasus saudara kembar satu telur

h. Serologi : prinsipnya adalah dengan menentukan golongan darah dimana

pada umumnya golongan darah seorang dapat ditentukan dari pemeriksaan

(31)

i. Exsklusi : cara ini dipakai biasanya pada kasus kecelakaan massal, seperti

pada kasus kecelakaan pesawat terbang54

4. Menentukan sebab kematian

Untuk dapat menentukan sebab kematian secara pasti mutlak harus

dilakukan pembedahan mayat atau autopsy, dengan atau tanpa pemerikaan

tambahan seperti pemeriksaan mikroskopis, pemerikaan toksikologis,

pemeriksaan bakteriologis dan lain sebagianya tergantung kasus yang

dihadapi. Tanpa pembedahan mayat tidak mungkin dapat ditentukan kematian

secara pasti.

Perkiraan sebab kematian dapat dimungkinkan dari pengamatan yang

teliti kelainan yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan luar. Jadi tanpa

pembedahan mayat perkiraan sebab kematian dapat dketahui dengan menilai

sifat luka, lokasi serta derajat berat ringannya kerusakan korban. Contoh sebab

kematian :

a. Karena tusukan benda tajam

b. Karena tembakan senjata api

c. Karena pencekikan

d. Karen keracunan morfin

e. Karena tenggelam

f. Karena terbakar

g. Karena kekerasan benda tumpul55

54

Ibid, hlm, 8

55

(32)

Pihak penyidik sebab kematian sangat berguna di dalam menentukan

antara lain senjata apa yang dipergunakan oleh pelaku, racun apa yang dipakai,

dikaitkan dengan kelainan atau perubahan yang ditemukan pada diri korban.56

Penyebab kematian jangan dikacaukan atau disalah artikan dengan

mekanisme kematian sebab kematian ditekannkan pada alat atau sarana yang

dipakai untuk mematikan korban sedangkan mekanisme kematian

menunjukkan bagaimana korban itu mati setelah umpanya tertembak atau

tenggelam.

5. Menetukan cara kematian atau memperkirkan cara kematian korban

Menentukan atau memerkirakan cara kematian korban pada umumnya

baru dapat dilakukan dengan hasil yang baik bila dokter diikutsertakan pada

pemeriksaan di TKP, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mayat oleh dokter

yang bersangkutan. Pemeriksaan tersebut tidak dimungkinnkan maka dokter

yang melakukan pemeriksaan mayat masih dapat memeperkirakan atau

menentukan cara kematian jika para penyidik memberikan keterangan yang

jelas mengenai pelbagai hal yang di lihat dan ditemukan pada waktu penyidik

melakukan pemeriksaan di TKP. Ilmu kedokterak forensik dikenal 3 (tiga)

cara kematian, yang tidak boleh selalu diartikan dengan istilah dan pengertian

secara hukum yang berlaku, cara kematian tersebut adalah :

a. Wajar (natural death), dalam pengertian kematian korban oleh karena

penyakit bukan karena kekerasan atau rudapaksa.

(33)

b. Tidak wajar (un-natural death), yang dapat dibagi menjadi:

j. Kecelakaan

k. Bunuh diri

l. Pembunuhan

c. Tidak dapat ditentukan (un-determined)

Peristiwa ini disebabkan karena mayat telah sedemikian rusak atau busuk

sekali sehingga baik luka ataupu penyakit tidak dapat dilihat dan ditemukan lagi.

6. Menetukan terjadinya perlukaan

Menetukan waktu terjadinya perlukaan pada beberapa keadaan sangat

diperlukan. Hubungannya didalam penentuan apakah luka yang terdapat pada

korban itu didapat sewaktu hidup (untemorten) atau apakah sesudah korban

mati (postmorten). Dasar penentuan waktu terjadinya perlukaan adalah adanya

reaksi jaringan yang terjadi bila seseorang mendapat luka sewaktu ia masih

hidup.

3.5. Pentingnya Otopsi dalam Mengungkap Kasus Kematian Tidak Wajar

Otopsi berasal dari kata auto (sendiri) dan opsis (melihat). Pengertian yang

sebenarnya dari otopsi ialah suatu pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dari

tubuh jenazah, dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah dan dilakukan oleh ahli-ahli yang berkompeten.57

Otopsi sama dengan bedah mayat. Bedah mayat ialah membuka mayat,

dengan atau tanpa mengeluarkan bagian-bagian dari padanya agar supaya melalui

(34)

pemeriksaan diagnostik klinis dapat ditentukan sebab-sebab kematian,

mengadakan verifikasi atau memperoleh gambaran yang lebih jelas lagi.58

Undang-undang membedakan bedah mayat dari penyendian, karena karena tidak

termasuk pengurusan jenazah dan bedah mayat tidak semata-mata digunakan

untuk tujuan penelitian ilmu pengetahuan. Ada tiga macam otopsi, yaitu:

1. Otopsi anatomic.

2. Otopsi klinik.

3. Otopsi forensik.

Otopsi anatomic adalah otopsi yang dilakukan untuk kepentingan

pendidikan, yaitu untuk mempelajari susunan tubuh manusia yang normal.

Pelaksaan otopsi anatomic diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun

1981. Otopsi klinik adalah otopsi yang dilakukan terhadap jenazah dari penderita

penyakit yang mendapat perawatan dan kemudian meninggal dunia di rumah

sakit. Pelaksaan otopsi klinik diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun

1981. Otopsi forensik ialah otopsi yang dilakukan untuk kepentingan peradilan

yaitu guna membantu penegak hukum menemukan kebenaran materiel. Tujuan

otopsi forensik adalah:

a. Membantu menemukan identitas jenazah

b. Menentukan sebab pasti kematian

c. Menentukan cara kematian

58

(35)

d. Mencari dan mengidentifikasi benda-benda bukti yang menjadi penyebab

kematian

e. Mencari benda-benda bukti yang dapat memberi petunjuk siapa pelaku

kejahatan.

Cara melakukan otopsi forensik adalah sebagai berikut:

1) Pemeriksaan luar.

2) Pembukaan rongga kepala, bagian dalam leher, rongga dada, rongga perut,

dan rongga panggul.

3) Pengeluaran organ-organ tubuh.

4) Pemeriksaan tiap-tiap organ.

5) Pengembalian organ-organ tubuh ketempat semula.

6) Menutup dan menjahit kembali rongga-rongga tubuh yang terbuka.

7) Melakukan pemeriksaan tambahan, misalnya:

m. Pemeriksaan toksikologik.

n. Pemeriksaan mikroskopik.

o. Pemeriksaan nerologik dan sebagainya.

Pelaksanaan otopsi forensik diatur di dalam KUHAP, yang pada

prinsipnya otopsi forensik baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis

dari penyidik dan setelah keluarga diberitahu serta telah memahami setelah dua

hari dalam hal keluarga tidak menyetujui otopsi atau keluarga tidak ditemukan.59

59

(36)

Otopsi forensik ijin keluarga tidak lah begitu diperlukan bahkan kalau ada

pihak-pihak yang merintangi pelaksanaan otopsi, dapat dipidana.

Peristiwa pidana yang mengakibatkan matinya orang, sementara alat bukti

yang lain yaitu seseorang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau

dialaminya sendiri, maka saksi diam (psysical evidence) diharapkan mampu

mengungkap semua misteri yang ada di dalamnya. Pengupayaan keberadaan saksi

diam (mayat) dalam kaitannya sebagai usaha untuk mengungkap isteri tersebut,

maka diperukan apa yang disebut otopsi atau bedah mayat.60 Bedah mayat akan

dapat diketahui hal-hal sebagaimana diungkapkan oleh Seven W of George

Darjes, yaitu:

a. Perbuatan apa yang telah dilakukan;

b. Di mana perbuatan itu dilakukan;

c. Bilamana perbuatan itu dilakukan;

d. Bagaimana perbuatan itu dilakukan;

e. Dengan apa perbuatan itu dilakukan;

f. Mengapa perbuatan itu dilakukan;

g. Siapa yang melakukan perbuatan itu. 61

Visum forensik sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter

dan masyarakat terutama visum pemeriksaan luar dan dalam (autopsy). KUHAP

pasal 134 terlihat bahwa pemeriksaan mayat untuk kepentingan peradilan dapat

60

Waluyadi, Ilmu Kesokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktek Kedokteran, Djambatan, 2007, Jakarta, hlm.53.

(37)

dilakukan melalui pemeriksaan luar saja dan bila perlu dilakukan pemeriksaan

bedah mayat. Pasal 134 KUHAP dijelaskan dalam hal sangat diperlukan di mana

untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, Penyidik

wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Keluarga korban

keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud

dan tujuan perlunya dilakukan pembedahan tersebut. Waktu dua hari tidak ada

tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan,

penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133

ayat (3) KUHAP. Menentukan apakah mayat harus di autopsy atau hanya

pemeriksaan luar saja adalah penyidik.62

Autopsi sebagaimana diatur dalam pasl 69 RIB yang menyatakan “dalam

hal mati paksa atau mati yang mendatangkan syak, sedemikian juga dalam hal

luka parah, percobaan meracuni, dan makar lain akan membinasakan nyawa

orang, hendaklah pegawai penuntut umum serta 1 atau 2 orang dokter yang akan

memberi laporan tentang sebab-sebab kematian atau perlukaan dan tentang mayat

itu atau badan orang yang dilukai dan dimana perlu menjalankan pemeriksaan

mayatnya, atau membuat hasil visum menurut keadaan luka pasien pada saat

permintaan visum datang”. Ketentuan ini memang masih menimbulkan

keragu-raguan tentang keharusan pelaksanaannya. Namun keragu-keragu-raguan tersebut telah

diatasi dengan instruksi Kapolri No. Ins/E/20/IX/75 tentang Tatacara

Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum, yang menyatakan bahwa dengan

Visum atas mayat harus berdasarkan pemeriksaan luar dan dalam.

62

(38)

Pasal 3

Dengan Visum et Repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali

tidak dibenarkan mengajukan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar

saja.

Pasal 6

Bila ada keluarga korba /mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka

adalah kewajiban petugas polisi cq pemeriksaan secara persuasive memberikan

penjelasan tentang perlunya dan pentingnya autopsy untuk kepentingan

penyidikan. Kalau perlu bahkan ditegakkannya pasal 222 KUHP. Walaupun

instruksi Kapolri 1975 menyatakan untuk vium jenazah harus dilakukan

pemeriksaan luar dan dalam, namun setelah diundangkannya KUHAP penyidik

mempunyai wewenang untuk menentukan hanya dilakukan pemeriksaan luar saja

dan bila sangat diperlukan baru bedah mayat dlakukan. Kepentingan yang

meninggal dunia yang perlu dikedepankan.63 Dasar hukum yang memberikan

kepada para ahli waris orang yang meninggal dunia hak untuk menguasai jasad

tidak ada. Cara yang dapat ditempuh adalah melalui ketentuan-ketentuan

pengurusan jenazah, yang pengaturannya sudah tersedia dan dapat dikatakan

cukup lentur di dalam pelaksanaannya.

Konsekuensi telah diaturnya masalah persetujuan ini di dalam peraturan

perundang-undangan Belanda maka kepada mereka yang perlu dimintakan

persetujuan wajib diberikan informasi baik mengenai maksud dan tujuan bedah

(39)

mayat, tindakan-tindakan terhadap mayat, dan sebagainya, tidak selalu

persetujuan itu dilakukan, antara lain bilamana bedah mayat tersebut

diperintahkan oleh pengadilan satu dan lain demi kepentingan penyidikan dalam

rangka penegakan hukum pidana.

Satu-satunya yang boleh melakukan bedah mayat adalah dokter, sebelum

tindakan itu dilakukan dokter wajib meneliti apakah untuk bedah mayat tersebut

sudah ada persetujuan yang sah. Dokter harus benar yakin bahwa bukan dia tetapi

dokter lain yang telah menetapkan kematian. Bilamana ada tanda-tanda atau

indikasi bahwa kematian tersebut tidak sebagaimana lazimnya, bedah mayat

hanya boleh dilakukan setelah medapatkan ijin dari pihak kejaksaan.

Tujuan dari otopsi medico-legal adalah:

1. Untuk emastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.

2. Untuk memperkirakan saat kematian.

3. Untuk menentukan sebab pasti kematian.

4. Untuk menentukan cara kematian (kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan).

5. Pada kasus baru lahir adalah untuk memastikan apakah bayi dilahirkan hidup

atau mati.

Beberapa hal yang diperhatikan pada otopsi medico-legal:

1. Tempat untuk melakukan otopsi adalah pada kamar jenazah.

2. Otopi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh pihak yang

berwenang.

(40)

4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus dikumpulkan

dahulu sebelum memulai otopsi. Tetapi kesimpulan harus berdasarkan

temuan-teuan dari pemeriksaan fisik.

5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi.

6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada

laporan. Pada kasus jenazah yang tidak dikenal maka tanda-tanda identifikasi,

foto, sidik jari, dan lain-lain harus diperoleh.

7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak

berwenang.

8. Pencatatan perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten.

9. Pada laporan otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus.

10.Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diotopsi.64

Laporan otopsi terdiri dari 3 bagian:

1. Bagian pendahuluan, bagian ini mencakup: nama korban, usia, jenis kelamin,

cara menentukan identitas, tempat dan tanggal pemeriksaan, saat jenazah

tiba, petugas polisi yang menyertai jenazah.

2. Bagian pemberitaan. Bagian ini menjelaskan secara lengkap dn terperinci,

hasil dari pemeriksaan luar dan dalam. Jenis luka juga harus diperinci

berdasarkan penyebab luka, arah luka dan ukurannya. Gambar bisa

dicantumkan jika dirasa perlu.

3. Bagian kesimpulan. Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh diambil

kesimpulan mengenai penyebab kematian yang pasti dengan jelas.

(41)

Setiap laporan harus ditanda tangani oleh yang memeriksa disertai dengan

jabatannya. Otopsi terdiri dari pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam.

3.6. Masalah Penyidik dalam Pelaksanaan Otopsi

Hidup adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan. Namun

belakangan maraknya kejahatan terhadap nyawa manusia membuat penegak

hukum dituntut lebih aktif lagi dalam mengungkap kebenaran materil suatu

peristiwa kematian. Bekerja sama dengan kedokteran forensik adalah salah satu

wujud penegakan hukum yang serius dalam hal ini penyidik. Kematian yang

diduga berkaitan dengan tindak pidana menjadi tugas yang harus diemban oleh

penyidik bersama ahli kedokteran forensik.

Pelaksanaan autopsi guna kepentingan penyidikan di Indonesia tidaklah

berjalan dengan mulus sesuai harapan. Tujuan dari permintaan Visum et

Repertum ini untuk membuat terang suatu kasus kematian, apakah ada kaitannya

dengan tindak pidana atau tidak. Berkaitan dengan nyawa manusia merupakan hal

yang sangat dipandang serius dan harus mengupayakan penegakan hukum sebaik

mungkin. Hukum mengkaji dan mengatur sanksi yang berat kepada kejahatan

terhadap nyawa manusia sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana.

Permasalahan permintaan Visum et Repertum sering dijumpai di

Indonesia, seperti:65

65

(42)

a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan,

namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan

untuk dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan agama, adat, dan

lain-lain.

b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentan KUHAP

pasal 134 ayat (2) maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang

maksud dan tujuan bedah jenazah tersebut.

Disamping itu, perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat forensik:

1. Menurut agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan

Syurat Nomor 4/1995.

2. Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat, penyidik dapat memberi

penjelasan tentang ketentuan KUHP pasal 2 yang tertulis, “Barang siapa

dengan sengaja mencegah, menghalangi, atau menggagalkan pemeriksaan

mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya

Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

3. Permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan

pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan

formulir pencabutan dan ditandatangani oleh pejabat, petugas yang

berwenang di mana pangkatnya satu tingkat di atas peminta serta terlebih

dahulu membahasnya secara mendalam.

4. Pencabutan permintaan Visum et Repertum, maka penyidik harus menyadari

(43)

sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti

yang berkaitan erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani.

Lapangan ilmu kedokteran kehakiman masih banyak ditolak oleh berbagai

kalangan, masih banyak yang beranggapan bahwa ilmu kedokteran kehakiman

identic dengan bedah mayat, sesuai dengan tugas pokok yang dipekerjakan bagian

ini. Hambatan-hambatan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Masyarakat

Reaksi yang timbul dari masyarakat sebagian besar masih menganggap bahwa

bedah mayat merupakan hal yang tidak ada gunanya. Masyarakat belum

memahami peranan ilmu kedokteran kehakiman dalam memberikan pelayanan

untuk tegaknya hukum dalam masyarakat. Orang menganggap dilakukanya

bedah mayat ini hanyalah untuk kepentingan dokter atau untuk kepentingan

pendidikan calon dokter66, bahkan ada yang menganggap bahwa bagian dari

tubuh korban dimanfaatkan untuk dijadikan obat. Bantuan dokter dalam

lapangan Ilmu Kedokteran Kehakiman khusus mengenai bedah mayat jarang

sekali mendapat tanggapan positif. Bedah mayat hamper selalu mendapat

tanggapan negative. Bedah mayat sering menimbulkan ketegangan antara

kalangan dokter dengan masyarakat, karena pada beberapa kasus mereka

melihat tanpa dilakukan bedah mayat sebab kematian korban dapat

ditentukannya, misalnya korban kecelakaan lalu lintas dengan banyak saksi.

Korban yang meninggal yang meninggal karena penganiayaan, pembunuhan

66

(44)

dan lain-lain dimana visum et repertum akan sangat diperlukan oleh penegak

hukum, banyak diantaranya memilih lebih baik tidak memperkarakan

kematian korban daripada membiarkan dokter melakukan otopsi. 67

b. Penegak Hukum

Permintaan bantuan visum mayat kepada dokter sampai sekarang belum

penuh dihayati oleh kepolisian, masih banyak prosedur yang tidak sesuai

dengan yang ditentukan, dengan kata lain jalinan kerja sama antara dokter

dengan pihak kepolisian masih belum mencapai taraf yang baik.

Pengetahuan hakim dan jaksa dalam masalah bantuan dokter untuk penegakan

hukum ini masih sangat kurang, misalnya sering dokter diperlakukan di depan

sidang pengadilan bukan sebagai saksi ahli yang sedang dimintai bantuan,

malah diperlakukan sebagai terdakwa.

c. Rumah Sakit

Rumah sakit di Indonesia belum semua mendukung sepenuhnya pelaksanaan

dari otopsi, hal ini terlihat bahwa tidak semua rumah sakit memiliki dokter

spesialis forensic.

d. Kalangan Dokter

Dokter spesialis kedokteran forensic masih sangat sedikit di Indonesia, tidak

banyak yang meminati ilmu kedokteran kehakiman. Dokter ahli kedokteran

kehakiman yang sedikit menjadi masalah pelaksanaan otopsi secara merata di

(45)

seluruh wilayah Indonesia, hanya di kota-kota besar yang tersedia kedokteran

forensiknya.

e. Undang-Undang

Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak secara tegas mengatur

tentang pentingnya pelaksanaan otopsi, masih memberikan celah untuk

menolak diadakannya otopsi.

Permasalahan yang paling sering muncul dalam permintaan Visum et

Repertum ini adalah kurangnya kesadaran keluarga korban dalam mendukung

tugas penyidik dalam mencari kebenaran materiel serta mengungkap siapa

tersangkanya. Masyarakat tersebut sering juga mengkaitkan dengan alasan agama

melarang tindakan bedah mayat atau autopsy. Kelemahan penyidik dalam

meminta Visum et Repertum, sehingga banyak kasus yang lepas begitu saja tanpa

ada penegakan hukum yang jelas. Keluarga yang mengabaikan kasus kematian

anggota keluarganya karena tidak mau mayat diotopsi. Upaya pencegahan

kejahatan menjadi lengah, terlebih pada kasus kematian tidak wajar. Kasus

kematian tertentu, banyak terdakwa yang akhirnya bebas dari tuntutan jaksa

karena kurangnya alat bukti. Kepentingan pemeriksaan bedah mayat forensik,

maupun untuk bedah mayat klinis serta anatomi dan patologi untuk tujuan

pendidikan dan penyelidikan ilmu kedokteran (ilmu pengetahuan), maka pada

(46)

Pertimbangan Kesehatan dan Syarak, Kementerian Kesehatan RI, perihal soal

bedah mayat” yang telah memustuskan:68

1. Bedah mayat itu boleh/mubah hukumnya untuk kepentingan ilmu

pengetahuan, pendidikan dokter dan penegakan keadilan diantara umat

mausia;

2. Membatasi kemubahan itu sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak

boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Fatwa ini sudah menegaskan bahwa autopsy hukumnya mubah. Namun

tetap saja masalah demi masalah dalam permintaan Visum et Repertum

belakangan menjadi trending topic di Indonesia, terkait dengan kasus

pembunuhan Mirna Salihin di Jakarta, yang disebut dengan kasus Kopi Sianida.

Terjadi pro dan kontra atas putusan hakim yang memeriksa, mengadili dan

memutus perkara dengan terdakwa Jesika Komala Wongso tersebut. Pentingnya

perananVisum et Repertum sangat terlihat pada kasus ini. Putusan atas kasus ini

mendapat banyak kritikan kepada hakim.

Putusan kasus tersebut masih belum memuaskan berhubung masih ada

keraguan pada JPU dalam menuntut perkara tersebut. Putusan pun dijatuhkan

hanya berdasar alibi-alibi. Hakim sepertinya sudah tidak menerapkan asas

praduga tak bersalah. Autopsi yang dilakukan pada mayat Mirna salihin

merupakan pemeriksaan luar yang masih kurang akurat, artinya tidak cukup hanya

pemeriksaan luar saja untuk mengungkap apakah benar korban meninggal akibat

(47)

diracun atau tidak. Keterangan ahli kedokteran Forensik yang hadir pada

pemeriksaan di persidangan, bahwa racun sianida dapat di produksi di dalam

tubuh. Keterangan tersebut menimbulkan keraguan bahwa benar korban diracun

oleh terdakwa. Tuntutan keadilan dalam penegakan hukum begitu diinginkan

keluarga korban, namun tidak mau menjalani prosedur yang dibutuhkan oleh

penyidik.

Bedah mayat atau otopsi menurut Otto Hasibuan dalam wawancaranya di

salah satu stasiun televise mengatakan, “urusan mayat ketika berhadapan dengan

hukum, bukan urusan keluarga saja, namun sudah menjadi masalah Negara.

Masalah Negara harus diselesaikan. Apabila otopsi sangat dibutuhkan, lakukan

saja” tegas beliau. Peran pentingnya permintaan Visum et Repertum dalam proses

penyidikan memang sangatlah kuat.

Kasus Jesika Komala Wongso merupakan salah satu contoh akibat hukum

tidak dilakukannya otopsi demi kepentingan peradilan. Kasus kematian korban

yang diduga karena racun sianida, tidak cukup hanya melakukan pemeriksaan luar

saja. Ketentuan pasal 134 KUHAP apabila keluarga tetap tidak mau melakukan

autopsy, maka berlaku ketentuan pasal 133 ayat 3) tersebut.

Pasal 222 KUHPidana menegaskan “barangsiapa dengan sengaja

mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk

peradilan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau

Referensi

Dokumen terkait

orang Karo berada dalam posisi kalimbubu bisa saja mereka akan berada di posisi anak beru

Sub-sub judul dalam buku ini antara lain, Kota Raya di Tepian Brantas (membahas tentang sejarah Kerajaan Majapahit dan lahirnya Kota Mojokerto), Batik

solar cell dari Light Emitting Diode (LED) kemudian masuk ke rangkaian preamplifier yang berfungsi sebagai penyesuai level dari sinyal input sebelum dimasukkan ke

tumbuhan bearacun yang terdapat di kawasan hutan lindung, Kecamatan Ulu. Pungkut, Kabupaten

[r]

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini