BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kehamilan
2.1.1. Pengertian kehamilan
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lama hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir. (Saiffudin. 2009)
Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi 3 trimester, di mana trimester kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40). (Prawirohardjo, 2010)
2.1.2. Fisiologi Kehamilan
Proses kehamilan merupakan mata rantai yang berkesinambungan dan terdiri dari : ovulasi, migrasi spermatozoa dan ovum, konsepsi dan pertumbuhan zigot, nidasi (implantasi) pada uterus, pembentukan plasenta, dan tumbuh kembang hasil konsepsi sampai aterm. (Manuaba, 2010)
2.2. Abortus
2.2.1. Pengertian abortus
Keguguran atau abortus adalah dikeluarkannya hasil konsepsi sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat kurang dari 1000 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu.( Manuaba, 2010)
2.2.2. Etiologi abortus
Menurut Martaadisoebrata (2005), mekanisme pasti yang menyebabkan abortus tidak selalu jelas, tetapi pada bulan-bulan awal kehamilan, ekspulsi ovum secara spontan hamper selalu didahului oleh kematian mudigah atau janin. Penyebab abortus merupakan gabungan dari beberapa faktor, antara lain :
1. Faktor Janin
Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin, atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada trimester pertama, yakni :
a. Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau kelainan kromosom (monosomi, trisomi, atau poliploidi) b. Embrio dengan kelainan lokal
c. Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas)
2. Faktor Maternal a. Infeksi
Infeksi maternal dapat membawa risiko bagi janin yang sedang berkembang, terutama pada akhir trimester awal atau awal trimester kedua. Tidak diketahui penyebab kematian janin secara pasti, apakah janin yang terinfeksi ataukah toksin yang dihasilkan mikroorganisme penyebabnya.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan abortus :
Virus, misalnya rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks, varicella zoster, vaccinia, campak, hepatitis, polio, dan
ensefalomitis.
Parasit, misalnya Toxoplasma gondii dan Plasmodium b. Penyakit vaskular, misalnya hipertensi vaskular
c. Kelainan endokrin
Kurangnya sekresi progesteron oleh korpus luteum atau pada penyakit disfungsi tiroid dilaporkan menyebabkan peningkatan insidensi abortus. d. Faktor imunologis
Ketidakcocokan (inkompatibilitas) system HLA (Human Leukocyte Antigen).
e. Trauma
Kasusnya jarang terjadi, umunya abortus terjadi segera setelah trauma tersebut, misalnya akibat trauma pembedahan. Pengangkatan ovarium yang mengandung korpus luteum gravidarum sebelum minggu ke-8. Pembedahan intraabdominal dan operasi pada uterus pada saat hamil. f. Kelainan uterus
Hipoplasia uterus, mioma (terutama mioma submukosa), serviks inkompeten atau retroflexio gravid incarcerate.
g. Faktor psikosomatik
3. Faktor Eksternal a. Radiasi
Dosis 1 -10 rad bagi janin pada kehamilan 9 minggu pertama dapat merusak janin dan dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keguguran.
b. Obat – obatan
Antagonis asam folat, antikoagulan, dan lain-lain. Sebaiknya tidak obat-obatan sebelum kehamilan 16 minggu, kecuali telah dibuktikan bahwa obat tersebut tidak membahayakan janin, atau untuk pengobatan penyakit ibu yang parah.
2.2.3. Patofisiologi Abortus
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. (Prawirohardjo, 2010)
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales sebelum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur. (Prawirohardjo, 2010)
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (missed abortion). (Prawirohardjo, 2010)
Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka ia dapat diliputi oleh lapisan beku darah. Isi uterus dinamakan mola kruenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dan dalam sisanya terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah mola tuberose, dalam hal ini amnion tampak berbenjol-benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan korion. (Prawirohardjo, 2010)
Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah terjadinya maserasi, kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar karena terisis cairan dan seluruh janin berwarna kemerah-merahan. (Prawirohardjo, 2010)
2.2.4 Faktor Risiko Terjadinya Abortus a) Usia
b) Paritas (jumlah anak 4 orang atau lebih)
Pada kehamilan rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu sering melahirkan, rahim akan semakin lemah. Bila ibu telah melahirkan 4 anak atau lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas. Risiko abortus meningkat seiring dengan paritas pada ibu. (Cunningham et al, 2005)
c) Usia kehamilan
Perdarahan melalui jalan lahir yang disertai nyeri perut bawah yang hebat pada kehamilan sebelum 3 bulan atau pada ibu yang terlambat haid 1-3 bulan dapat disebabkan oleh keguguran atau keguguran yang mengancam, merupakan keadaan sangat berbahaya. (Kenneth J.Leveno et al, 2009 dalam Eli Lukitasari, 2010)
d) Riwayat abortus sebelumnya
Menurut Prawirohardjo (2010) riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah mengalami 2 kali abortus risikonya meningkat 25%. Beberapa studi menduga bahwa setelah mengalami 3 kali abortus berurutan risikonya meningkat menjadi 30-45%. Menurut Suryadi (1994) penderita dengan riwayat abortus satu kali dan dua kali menunjukkan adanya pertumbuhan janin yang terhambat pada kehamilan berikutnya melahirkan bayi prematur. Sedangkan dengan riwayat abortus 3 kali atau lebih ternyata terjadi pertumbuhan janin yang terhambat, prematuritas.
e) Jarak Kehamilan
f) Pendidikan
Martaadisoebrata dalam Wahyuni (2012) menyatakan bahwa pendidikan sangat dibutuhkan manusia untuk pengembangan diri dan meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelektual akan berpengaruh pada wawasan dan cara berpikir baik dalam tindakan dan pengambilan keputusan maupun dalam membuat kebijaksanaan dalam menggunakan pelayanan dalam kesehatan. Pendidikan yang rendah membuat seseorang acuh tak acuh terhadap program kesehatan sehingga mereka tidak mengenal bahaya yang mungkin terjadi, meskipun sarana kesehatan telah bersedia namun belum tentu mereka mau menggunakannya. g) Penyakit Infeksi
Riwayat penyakit ibu seperti pneumoni, typhus abdominalis, pielonefritis, malaria dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Begitu pula dengan penyakit infeksi lain juga memperbesar peluang terjadinnya abortus. (Mochtar, 1998)
h) Alkohol
Alkohol dinyatakan meningkatkan risiko abortus spontan, meskipun hanya digunakan dalam jumlah sedang. (Cunningham et al, 2005)
i) Merokok
Wanita yang merokok diketahui lebih sering mengalami abortus spontan daripada wanita yang tidak merokok. Baba et al (2010) menyatakan bahwa kebiasaan gaya hidup merokok pada ibu dan suaminya berpengaruh terhadap kejadian abortus. Merokok 1-19 batang perhari dan >20 batang perhari memiliki efek pada ibu mengalami abortus lebih awal. (Cunningham et al, 2005)
2.2.5 Macam-macam abortus
Menurut Prawirohardjo (2010), klasifikasi abortus antara lain :
ketrampilan yang diperlukan atau dalam lingkungan yang tidak memenuhi standar medis minimal atau keduanya.
2. Abortus terapeutik adalah abortus buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Pertimbangan demi menyelamatkan nyawa ibu dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan spesialis Jiwa. Bila perlu dapat ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait.
3. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa adanya tindakan apapun. Berdasarkan gambaran kliniknya, dibagi menjadi berikut :
a) Abortus Imminens
Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
b) Abortus Insipiens
Abortus insipiens ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
Gambar 2.1 Abortus Imminens
c) Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
d) Abortus Inkompletus
Abortus inkompletus ialah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Gambar 2.2 Abortus Insipiens
Sumber : Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Penerbit buku EGC
Gambar 2.3 Abortus Kompletus
e) Abortus Servikalis
Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dari uterus di halangi oleh ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga semuanya terkumpul dalam kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi besar, kurang lebih bundar, dengan dinding menipis.
f) Missed Abortion
Missed abortion ialah kematian janin berusia sebelum 20 minggu atau
lebih, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 6 minggu atau lebih.
Gambar 2.4 Abortus Inkomplitus
Sumber : Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Penerbit buku EGC
Gambar 2.5 Missed Abortus
g) Abortus Habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.
h) Abortus Infeksiosus, Abortus Septik
Abortus infeksiosus ialah abortus yang diserti infeksi pada alat genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis).
2.3. Hubungan abortus dengan usia ibu hamil
Pada kehamilan usia muda keadaan ibu masih labil dan belum siap mental untuk menerima kehamilannya, sehingga hal ini menyebabkan kondisi ibu menjadi stress. Umur ibu merupakan salah satu faktor risiko kematian akibat abortus. Semakin muda usia ibu pada waktu hamil, semakin besar risiko kematian yang dihadapi. Angka kematian akibat abortus yang tinggi di Amerika Latin ditemukan pada kelompok remaja, sedangkan pada kelompok mahasiswa dan pekerja relatif lebih rendah (Erica, 1994).
Sangat mengagumkan bahwa hampir semua jenis stres, apakah bersifat fisik atau neurogenik, akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH dengan segera dan bermakna oleh kelenjar hipofisis anterior. Beberapa jenis stres yang meningkatan pelepasan kortisol adalah sebagai berikut:
a. Hampir semua jenis trauma b. Infeksi
c. Kepanasan atau kedinginan yang hebat
d. Penyuntikan norepinefrin dan obat-obat simpatomimetik lainya e. Pembedahan
g. Hampir setiap penyakit yang menyebabkan kelemahan. (Guyton and Hall, 1997).
Bahwa hampir setiap jenis stres fisik atau mental dalam waktu beberapa menit saja sudah dapat meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi kortisol juga akan sangat menigkat, sekresi kortisol ini sering meningkat sampai 20 kali lipat. Efek ini di gambarkan dengan jelas sekali oleh respons sekresi adrenokortikal yang cepat dan kuat setelah trauma.
Rangsangan sakit yang disebabkan oleh jenis stres fisik apapun atau kerusakan jaringan pertama dihantarkan ke atas melalui batang otak dan akhirnya ke puncak median hipotalamus.
Stres mental dapat juga segera menyebabkan peningkatan sekresi ACTH. Keadaan ini dianggap sebagai akibat naiknya aktivitas dalam sistim limbik, khususnya dalam regio amigdala dan hipokampus, yang keduanya kemudian menjalarkan sinyal ke bagian posterior medial hipotalamus. (Guyton and Hall, 1997).
Pada kehamilan , plasenta membentuk sejumlah besar human chorionic gonadotropin, estrogen, progesteron, dan human chorionic somatomammotropin, dimana tiga hormon yang pertama, dan mungkin juga yang keempat, semuanya penting untuk berlangsungnya kehamilan normal. (Guyton and Hall, 1997).
Progresteron merupakan sebuah hormon yang penting untuk kehamilan, kenyataan sama penting seperti estrogen. Selain disekresikan dalam jumlah cukup banyak oleh korpus luteum pada awal kehamilan, progresteron juga disekresikan dalam jumlah banyak oleh plesenta, kira- kira 0,25 g/hari sewaktu mendekati akhir masa kehamilan. Tentu saja kecepatan sekresi progresteron meningkat kira-kira 10 kali lipat selama kehamilan.
a. Progresteron menyebabkan sel-sel desidua tumbuh dalam endometrium uterus, dan selanjutnya sel-sel ini memainkan peranan penting dalam nutrisi embrio awal.
b. Progresteron mempunyai pengaruh khusus dalam menurunkan kontraktilitas uterus gravida, jadi mencegah kontraksi uterus yang menyebabkan abortus spontan.
c. Progresteron juga membantu perkembangan hasil konseptus bahkan sebelum implantasi, karena progresteron secara khusus meningkatkan sekresi tuba fallopi dan uterus untuk menyediakan bahan nutrisi yang sesuai untuk pekembangan morula dan blastokista. Juga, ada beberapa alasan untuk mempercayai bahwa progresteron bahkan mempengaruhi pembelahan sel pada awal perkembangan embrio.