• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA DI PASAR ASEAN. Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar in ASEAN Market

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA DI PASAR ASEAN. Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar in ASEAN Market"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA

DI PASAR ASEAN

Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar

in ASEAN Market

Sri Hery Susilowati1 dan Rena Yunita Rachman2 1

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

E-mail: srihery@yahoo.com

ABSTRACT

Sugar is one of basic food needs to be targeted on food self-sufficiency program. Related with ASEAN Aconomic Community 2015, Indonesia will have a big contribution on sugar trade in ASEAN market since up to now Indonesia is a big importer country for sugar on ASEAN market. This paper aims: (1) to study sugar industry performance in Indonesia, (2) to study position and trade competitiveness of Indonesian’s sugar Industry in ASEAN market, and (3) to give policy recommendations on sugar industry development to achieve sugar self sufficiency and to prepare for ASEAN Economic Community 2015 implementation. The data used in this paper is secondary data source from BPS, FAO, UN Comtrade and othe sources. The results indicated that Indonesia trade position on ASEAN market is left behind from Thailand and Philippine which as big sugar exporter countries of the world and ASEAN market and the biggest Indonesia import sugar came from Thailand. The big dependence on sugar import has resulted low sugar trade competitiveness in ASEAN market. To accelerate Indonesia sugar production to achieve sugar self-suffiency heading ASEAN Economic Community 2015, need comprehensive policies on increasing production capacity, land extensification, and revitalization program on sugar industry. Strengthening the role of Bulog in maintaining sugar price stabilitasion is also considered to be an alternative policy and strategy to anticipate the implementation of the ASEAN Economic Community 2015.

Keywords: sugar industry, trade competitiveness, RCA, TRS

ABSTRAK

Gula merupakan salah satu dari kebutuhan pangan utama yang menjadi salah satu target program swasembada pangan. Dalam konteks pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Indonesia akan memiliki kontribusi besar dalam perdagangan gula di pasar ASEAN mengingat masih cukup tingginya impor gula Indonesia, khususnya dari pasar ASEAN. Makalah ini ini bertujuan untuk: (1) mengkaji kinerja industri gula Indonesia, (2) mengkaji posisi perdagangan dan daya saing gula Indonesia di Pasar ASEAN, dan (3) merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan industri gula untuk mencapai swasembada gula dan menyongsong pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari BPS, FAO, UN Comtrade dan sumber lainnya. Hasil kajian menunjukkan posisi Indonesia di pasar ASEAN jauh ketinggalan dari Thailand dan Filipina yang berposisi sebagai pengekspor besar gula dunia.

(2)

Bahkan impor gula Indonesia paling besar berasal dari Thailand. Ketergantungan impor gula yang tinggi berimbas pada daya saing gula Indonesia yang rendah di pasar ASEAN. Untuk mendorong peningkatan produksi gula agar mampu berswasembada gula menuju era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, diperlukan kebijakan yang komprehensif, terutama pada peningkatan kapasitas produksi, kebijakan ekstensifikasi lahan, dan revitalisasi pabrik gula. Penguatan kembali peran BULOG dalam menjaga stabilitas harga dipandang juga menjadi alternatif kebijakan dan strategi pengembangan industri gula dalam menyongsong pemberlakuan pasar tunggal ASEAN.

Kata kunci : industri gula, daya saing ekspor, RCA, TRS

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Target pertama dari empat target sukses yang dicanangkan oleh Kementerian Pertanian adalah pencapaian swasembada pangan dan swasembada berkelanjutan (Kementerian Pertanian, 2012). Swasembada pangan khususnya untuk gula, daging sapi dan kedele sementara swasembada berkelanjutan untuk beras dan jagung. Dalam konteks swasembada gula, pengembangan industri gula nasional adalah untuk memperkuat ketahanan pangan sekaligus pencapaian target swasembada gula. Namun sampai saat ini target swasembada gula masih belum dapat tercapai. Konsep swasembada dan kemandirian pangan untuk gula masih menjadi tantangan yang cukup berat bagi industri gula nasional dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015, khususnya karena ketergantungan impor yang saat ini masih cukup tinggi. Kementerian Pertanian (2012) menyatakan bahwa untuk mencapai target swasembada gula tahun 2015, target produksi 5,7 juta ton gula yang terdiri dari 2,9 juta ton gula kristal putih dan 2,7 juta ton gula kristal rafinasi akan terpenuhi apabila penyediaan lahan minimal seluas 350 ribu hektar, investasi pembangunan pabrik gula baru, dan revitalisasi pabrik gula berjalan sesuai dengan rencana.

Necessary condition yang harus dipenuhi untuk pencapaian target swasembada

gula dalam rangka kemandirian pangan bukan hal yang mudah untuk dipenuhi. Konsekuensi dari implementasi MEA 2015, dimana tidak akan ada hambatan tarrif dan non tarif, maka bisa Indonesia akan menjadi sasaran serbuan impor gula produk negara lain yang lebih murah dan memiliki daya saing (Khudori, 2005) yang lebih lanjut akan menekan produksi tebu petani. Ketidakmampuan produksi dalam negeri memenuhi kebutuhan gula nasional disebabkan oleh inefisiensi pengolahan baik kapasitas maupun teknis pabrik gula yang sangat rendah.Pada tataran pasar ASEAN, data menunjukkan Indonesia jauh ketinggalan dari Thailand dan Filipina yang berposisi sebagai pengekspor gula dunia (FAO, 2011).Ketergantungan impor gula yang tinggi berimbas pada daya saing gula Indonesia yang rendah di pasar ASEAN.

Dalam rangka implementasi MEA tahun 2015, diperlukan kesiapan industri gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan bersaing dengan produsen gula dari negara ASEAN lainnya, jika tidak ingin Indonesia dijadikan

(3)

sebagai sasaran pasar ekspor gula produsen ASEAN lainnya. Hal ini merupakan tantangan yang cukup berat mengingat pemberlakuan MEA tinggal dua tahun lagi.Untuk itu sangat diperlukan informasi posisi Indonesia dalam pasar ASEAN dalam perdagangan gula sehingga dapat dilakukan berbagai kebijakan dan strategi dalam menghadapi MEA 2015.

Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk: (1) mengkaji kinerja industri gula Indonesia dalam kerangka mencapai swasembada gula nasional, (2) mengkaji posisi perdagangan dan daya saing gula Indonesia di Pasar ASEAN, dan (3) merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan industri gula untuk mencapai swasembada gula dan menyongsong pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

METODOLOGI PENELITIAN

Data dan Analisis

Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari BPS, FAO, UN Comtrade dan sumber lainnya.Untuk mengetahui kondisi relatif daya saing ekspor gula masing-masing Negara ASEAN pada pasar ASEAN digunakan Trade

Spesialization Ratio (TSR). Nilai TSR untuk komoditi gula kristal putih dan gula

kristal rafinasi diperoleh dengan menggunakan rumus sederhana sebagai berikut:

Dimana :

E(i) : nilai ekspor untuk komoditi i (gula kristal putih atau gula kristal rafinasi)

M(i) : nilai impor untuk komoditi I (gula kristal putih atau gula kristal rafinasi)

Nilai TSR berkisar -1 hingga +1. Apabila nilai TSR(i) positif sampai 1 maka angka

ini menunjukkan bahwa komoditi tersebut mempunyai daya saing yang cukup kuat. Sebaliknya, apabila nilai TSR(i) dari -1 sampai 0 maka angka ini menunjukkan

bahwa komoditi tersebut mempunyai daya saing yang lemah.

Untuk mengetahui daya saing gula kristal putih dan gula kristal rafinasi digunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk atau komoditi terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan. Adapun rumus RCA yang digunakan yaitu :

(4)

Dimana :

RCAij = Keunggulan komparatif (daya saing) negara ASEAN ke i tahun t

Xij = Nilai ekspor gula (kristal putih atau rafinasi) negara ASEAN ke i

tahun t

Xis = Nilai total ekspor (kristal putih atau rafinasi) di ASEAN tahun ke t

Ws = Nilai total ekspor produk ASEAN tahun ke t

t = 1998, ….., 2012

Daya saing komoditi ditunjukkan melalui nilai RCA, yaitu:

1. Jika nilai RCA > 1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata ASEAN sehingga komoditi tersebut memiliki daya saing kuat.

2. Jika nilai RCA <1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif dibawah rata-rata ASEAN sehingga komoditi tersebut memiliki daya saing lemah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Industri Gula Indonesia

Perkembangan Luas Areal dan Produksi Gula Indonesia

Perkebunan tebu di Indonesia diusahakan oleh petani rakyat, BUMN (perusahaan negara) dan perusahaan swasta. Saat ini perkebunan rakyat mendominasi luas areal perkebunan tebu di Indonesia diikuti oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Target perluasan areal tebu dalam rangka program Revitalisasi Industri Gula seluas 600 ribu hektar belum tercapai karena masih kurangnya areal perkebunan dalam rangka mendukung program tersebut.Tahun 2011 luas areal perkebunan tebu Indonesia hanya mencapai 457.615 hektar atau meningkat sebesar 0,772 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan luas areal perkebunan tebu di Indonesia dari tahun 2005-2011 dapat dilihat pada Gambar 1.

(5)

Sumber : Ditjenbun (2011)

Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Tebu 2000-2011

Perkembangan produksi gula hablur di Indonesia cukup berfluktuasi (Gambar 2). Pada tahun 2000 produksi gula hablur sebesar 1,69 juta ton, meningkat menjadi 2,23 juta ton pada tahun 2011. Selama periode tersebut rata-rata pertumbuhan produksi gula hablur sebesar 3,82 persen. Produksi gula tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 2,69 juta ton. Namun, sejak tahun 2008 hingga 2011 produksi gula hablur mengalami penurunan rata-rata 146.763 ton atau 5,8 persen per tahun.

Sumber : Ditjenbun (2011)

(6)

Rata-rata tingkat produktivitas gula hablur selama kurun waktu 2000-2011 pada perkebunan besar swasta (PBS) jauh lebih tinggi dibandingkan perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar negara (PBN). Produktivitas perkebunan rakyat dan negara cenderung mengalami penurunan, sedangkan swasta mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2010 seluruh perkebunan mengalami penurunan produktivitas sebelum akhirnya kembali meningkat pada tahun 2011. Produktivitas perkebunan rakyat meningkat sebesar 6.24 ton per hektar, perkebunan besar negara meningkat 5.89 ton per hektar, sedangkan perkebunan besar swasta meningkat 8.25 ton per hektar. Produktivitas perkebunan besar swasta lebih baik karena lahan perkebunan tebunya berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang didukung dengan pola manajemen budidaya tebu yang integratif dan dikelola dengan baik.

Sumber : Ditjenbun (2011)

Gambar 3. Perkembangan Produktivitas Gula Hablur 2000-2011

Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Rafinasi Indonesia

Pabrik gula di Indonesia tidak hanya memproduksi gula kristal putih, tetapi sejak tahun 2003 juga memproduksi gula kristal rafinasi. Gula kristal putih ditujukan untuk konsumsi rumah tangga, sedangkan gula kristal rafinasi untuk konsumsi industri. Berikut ini adalah perkembangan produksi gula kristal putih dan rafinasi di Indonesia tahun 2003-2010.

(7)

Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012

Gambar 4. Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2011

Produksi gula kristal putih yang berbahan baku tebu diproduksi lebih banyak dibandingkan produksi gula kristal rafinasi yang sebagian besar bahan bakunya masih berasal dari impor. Produksi gula kristal putih Indonesia dari tahun 2003 hingga 2010 mengalami pertumbuhan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi gula kristal rafinasi yang baru berdiri sejak tahun 2003, yaitu tumbuh kurang dari 10 persen dalam setiap tahunnya. Sejak awal berdirinya, hanya terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Selama periode 2003-2005, ketiga pelaku usaha tersebut mampu memasok kebutuhan gula kristal rafinasi untuk industri hingga 759,71 ribu ton per tahun. Kemudian pada 2006-2008, pelaku usaha di industri gula kristal rafinasi ini bertambah menjadi tujuh pelaku usaha dan pada 2009 hingga sekarang, total pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi menjadi delapan, dengan kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai lebih dari 2 juta ton per tahun. Sementara gula kristal putih mayoritas diproduksi oleh pabrik gula BUMN

Tingkat Ketersediaan Gula Indonesia

Kebutuhan gula di Indonesia baik gula kristal putih maupun rafinasi seringkali lebih tinggi daripada produksi gula di Indonesia. Adanya gap atau selisih antara produksi dan konsumsi menyebabkan Indonesia selalu melakukan impor untuk memenuhi kekurangan konsumsi gula dalam negeri. Stok gula yang tercatat kini merupakan data stok gula yang terdapat pada perusahaan-perusahaan gula.Perkembangan konsumsi, stok, impor dan ekspor gula kristal putih ditunjukkan oleh Tabel 1.

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 GKP GKR Ribu

(8)

Tabel 1. Konsumsi, Stok, Impor dan Ekspor Gula Kristal Putih Indonesia (Ton) Tahun Produksi Konsumsi Stok Impor Ekspor

2003 1.631.919 2.309.570 391.701 501.054 464,387 2004 2.051.643 2.441.279 528.986 463.145 392,585 2005 2.241.742 2.616.480 397.219 993.620 894,347 2006 2.307.027 2.719.956 617.581 809.792 649,095 2007 2.448.143 2.618.679 446.142 1.887.160 364,43 2008 2.668.428 2.693.559 888.485 380.225 54,722 2009 2.299.504 3.011.971 947.926 1.276.443 670,232 2010 2.214.488 2.288.025 352.852 1.191.481 383,771 2011 2.228.259 2.768.831 876.102 2.320.972 308,848 Sumber :

Data Konsumsi, Stok: Neraca Dewan Gula, 2012 Data Impor, Ekspor: BPS, 2013

Konsumsi gula kristal putih di Indonesia berfluktuasi dalam setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan konsumsi gula Indonesia adalah 3,10 persen setiap tahunnya. Stok gula yang tidak tersalurkan setiap tahunnya berfluktuasi. Adanya impor gula kristal putih yang cukup besar dan berlangsung secara terus menerus dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa tingkat kemandirian pangan Indonesia masih rendah. Laju pertumbuhan impor gula kristal putih relatif berfluktuasi dipengaruhi oleh kebijakan impor yang diterapkan oleh pemerintah. Rata-rata impor gula meningkat 58,19 persen setiap tahunnya. Pemerintah juga melakukan ekspor, namun jumlah gula kristal putih yang diekspor jauh lebih kecil dibandingkan impor gula yang dilakukan.

Demikian juga perkembangan konsumsi, stok, impor dan ekspor gula kristal rafinasi di Indonesia. Seiring dengan perkembangan industri makanan dan minuman di Indonesia maka konsumsi gula kristal rafinasi juga mengalami peningkatan. Pertumbuhan konsumsi gula kristal rafinasi lebih tinggi dibandingkan gula kristal putih. Rata-rata gula kristal rafinasi meningkat 15,44 persen setiap tahunnya. Konsumsi gula kristal rafinasi tertinggi pada tahun 2010 sebesar 2,519 juta ton (Tabel 2).

(9)

Tabel 2. Konsumsi, Stok, Impor dan Ekspor Gula Kristal Rafinasi Indonesia (Ton) Tahun Produksi Konsumsi Stok Impor Ekspor

2003 329.547 845.918 75.000 544.694,3 197,37 2004 439.990 904.203 75.000 660.524,6 9.456,42 2005 759.708 1.373.403 75.000 986.867,7 275,08 2006 1.100.228 1.532.837 90.920 683.008,6 822,64 2007 1.441.501 2.084.737 121.052 1.085.627 114,73 2008 1.256.435 1.647.555 193.746 638.369,2 14,20 2009 2.031.843 2.280.139 256.369 1.276.443 231,95 2010 2.356.805 2.519.232 157.910 569.687,5 277,58 2011 2.192.109 2.246.705 153.868 181.596,4 507,94 Sumber :

Data Konsumsi, Stok : Neraca Dewan Gula, 2012 Data Impor, Ekspor : BPS, 2013

Stok gula kristal rafinasi cenderung lebih rendah dibandingkan cadangan gula kristal putih. Hal ini menunjukkan distribusi dan impor gula kristal rafinasi lebih efektif dibandingkan impor gula kristal putih. Gula kristal rafinasi diimpor oleh beberapa produsen gula kristal rafinasi yang jumlahnya lebih sedikit dari produsen gula kristal putih. Untuk memenuhi kebutuhan gula kristal rafinasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun pemerintah juga melakukan impor langsung gula kristal rafinasi. Pertumbuhan impor gula kristal rafinasi lebih rendah dibandingkan impor gula kristal putih yang hanya sebesar 4,26 persen. Hal ini seiring dengan peningkatan kapasitas pabrik gula kristal rafinasi di Indonesia. Demikian pula dengan tingkat ekspor gula kristal rafinasi juga mengalami peningkatan sejak tahun 2008.

Posisi Perdagangan Gula Indonesia di Pasar Dunia dan ASEAN Pangsa Pasar Gula Indonesia di Pasar Dunia dan Pasar ASEAN

Pangsa Indonesia di pasar gula dunia baik untuk gula kristal putih maupun gula kristal rafinasi relatif rendah. Selama periode 1998-2012, rata-rata pangsa pasar gula Indonesia hanya sebesar 0,011 persen untuk gula kristal putih dan 0,005 persen untuk gula kristal rafinasi. Demikian juga pada pasar ASEAN, rata-rata pangsa pasar gula kristal putih hanya sebesar 0,102 persen sedangkan gula kristal rafinasi sebesar 0,005 persen (Tabel 3). Ekspor gula Indonesia baik di pasar dunia maupun di pasar ASEAN cukup kecil, mengingat Indonesia lebih banyak melakukan importasi gula karena menurunnya kapasitas produksi gula dalam negeri.

(10)

Tabel 3. Pangsa Ekspor Gula Indonesia di Pasar Dunia dan ASEAN

Tahun Pasar Dunia Pasar ASEAN GKP (%) GKR (%) GKP (%) GKR (%) 1998 0,010 0,004 0,080 0,072 1999 0,045 0,004 0,417 0,063 2000 0,019 0,003 0,159 0,035 2001 0,025 0,004 0,220 0,062 2002 0,009 0,003 0,089 0,037 2003 0,006 0,005 0,051 0,043 2004 0,007 0,025 0,070 0,281 2005 0,007 0,002 0,096 0,041 2006 0,005 0,006 0,073 0,129 2007 0,006 0,002 0,066 0,017 2008 0,008 0,003 0,070 0,034 2009 0,005 0,003 0,059 0,029 2010 0,005 0,002 0,066 0,020 2011 0,002 0,005 0,011 0,040 2012 0,005 0,008 0,003 0,081 Rata-rata 0,011 0,005 0,102 0,066

Sumber : UN Comtrade, 2013 (diolah)

Rendahnya pangsa ekspor Indonesia di pasar dunia maupun di pasar ASEAN didukung oleh tingginya pangsa impor Indonesia di pasar tersebut. Pangsa impor gula Indonesia pada pasar ASEAN selama kurun waktu 1998-2012 mencapai 41,72 persen untuk gula kristal putih dan 46,63 persen untuk gula kristal rafinasi (Tabel 4). Indonesia termasuk importir besar dalam perdagangan gula di Pasar ASEAN. Sedangkan pada pasar dunia pangsa impor gula Indonesia juga cukup tinggi, dengan rata-rata 6,34 persen untuk gula kristal putih dan 2,28 persen untuk gula kristal rafinasi.

(11)

Tabel 4. Pangsa Impor Gula Indonesia di Pasar Dunia dan ASEAN

Tahun Pasar Dunia Pasar ASEAN GKP (%) GKR (%) GKP (%) GKR (%) 1998 4,84 0,94 44,94 34,67 1999 5,83 6,16 46,69 72,86 2000 3,37 3,61 37,59 53,07 2001 2,96 1,57 32,67 36,45 2002 2,28 1,98 28,48 39,86 2003 1,81 2,99 28,58 51,98 2004 1,76 3,46 27,07 60,99 2005 3,60 4,78 45,82 70,96 2006 3,37 3,32 40,90 54,45 2007 6,98 5,27 58,12 70,27 2008 1,32 2,85 22,23 55,87 2009 5,02 0,63 45,68 19,52 2010 4,44 3,79 44,22 41,16 2011 7,34 1,16 61,28 23,02 2012 9,96 0,63 61,62 14,42 Rata-rata 4,32 2,28 41,72 46,63

Sumber : UN Comtrade, 2013 (diolah)

Berdasarkan perkembangannya bahkan di Pasar ASEAN untuk gula kristal putih sejak dua tahun terakhir Indonesia menguasai lebih dari 50 persen pangsa impor gula ASEAN. Pangsa impor gula kristal putih yang lebih besar dari gula kristal rafinasi menunjukkan rendahnya kemampuan industri gula kristal putih dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dibandingkan industri gula kristal rafinasi.

Daya Saing Gula Indonesia di Pasar ASEAN Analisis Trade Specialization Ratio

Selama periode 1998-2012 nilai TSR gulakristal putih Indonesia di pasar ASEAN berkisar antara -1,000 hingga -0,996 (Tabel 5). Karena nilai TSR yang diperoleh bergerak dari -1 sampai nol maka komoditi gula baik kristal putih Indonesia mempunyai daya saing yang lemah.Hal ini menunjukkan Indonesia memiliki nilai impor gula kristal putih yang jauh melebihi nilai ekspornya.

Malaysia dan Filipina juga mempunyai rata-rata nilai TSR negatif selama periode 1998-2012. Sepanjang periode tersebut, nilai TSR Malaysia selalu negatif yang menunjukkan bahwa Malaysia memiliki nilai impor gula kristal putih yang melebihi ekspornya. Berbeda dengan Malaysia, nilai TSR Filipina relatif berfluktuasi. Namun sejak dua tahun terakhir nilai TSR Filipina mengalami peningkatan dikarenakan Filipina mulai mengekspor gula kristal putih lebih banyak

(12)

komoditi pertaniannya di pasar ASEAN. Hal ini ditunjukkan dengan dukungan pemerintah Filipina melalui penyediaan anggaran yang tak terbatas untuk riset bioteknologi pertanian untuk mampu menangkal ledakan konsumsi pangan di masa mendatang dengan memanfaatkan teknologi tersebut.

Tabel 5. Trade Specialization Ratio (TSR) Gula Kristal Putih di Pasar ASEAN Tahun 1998 – 2012

Tahun Indonesia Thailand Filipina Singapura Malaysia 1998 -1.000 1.000 -1.000 -0.693 -0.994 1999 -0.998 1.000 -0.999 -0.994 -0.996 2000 -0.999 1.000 -1.000 -0.976 -0.997 2001 -0.996 1.000 -1.000 0.518 -0.972 2002 -0.998 1.000 -0.975 0.047 -0.997 2003 -0.999 1.000 1.000 0.878 -0.999 2004 -0.998 1.000 -0.811 0.993 -0.961 2005 -0.999 1.000 0.939 0.893 -0.981 2006 -0.997 1.000 -0.969 0.364 -0.954 2007 -1.000 1.000 0.609 0.755 -0.997 2008 -0.996 0.998 -0.833 0.408 -0.949 2009 -1.000 0.997 0.950 0.385 -0.974 2010 -1.000 0.998 -0.986 0.808 -0.995 2011 -1.000 0.999 0.953 0.661 -0.998 2012 -1.000 1.000 1.000 0.635 -0.998 Rata-rata -0.999 0.999 -0.208 0.312 -0.984

Sumber : UN Comtrade 2013 (diolah)

Berdasarkan perkembangan data nilai ekspor impor gula kristal putih Singapura pada periode 1998-2000 nilai TSR Singapura adalah negatif. Namun setelah tahun 2000 hingga saat ini, Singapura memiliki daya saing yang cukup kuat untuk ekspor gula kristal putih karena nilai TSRnya selalu positif dan mendekati angka satu. Singapura memang tidak mempunyai lahan perkebunan tebu, namun negara ini dapat memproduksi gula kristal putih melalui impor tebu dari negara ASEAN lainnya. Tebu yang diimpor tersebut diolah oleh pabrik gula Singapura yang mempunyai kapasitas produksi yang cukup besar sehingga menjadikan Singapura mempunyai daya saing untuk mengekspor gula di Pasar ASEAN.

Negara di ASEAN yang mempunyai nilai TSR mendekati 1 dan konsisten sepanjang tahun 1998-2012 adalah Thailand. Rata-rata nilai TSR Thailand adalah 0,999. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing gula kristal putih Thailand di Pasar ASEAN cukup kuat. Walaupun nilai TSR Thailand selalu positif dan mendekati angka satu namun pada tahun 2008 hingga 2011 Thailand mengalami penurunan nilai TSR. Nilai ekspor gula kristal putih Thailand meningkat pada tahun tersebut, namun nilai impor gula kristal putihnya juga mengalami peningkatan. Kemajuan industri gula di Thailand tidak terlepas dari dukungan pemerintah Thailand dan

(13)

kerja keras rakyatnya sehingga menjadikan Thailand negara tersukses dibidang agribisnis di ASEAN.

Negara-negara ASEAN lainnya seperti Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar dan Timor Leste tidak memiliki data ekspor maupun impor yang lengkap sehingga tidak dapat diketahui nilai TSRnya. Namun berdasarkan data yang tersedia negara tersebut memiliki pangsa yang relatif kecil dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Perkembangan nilai TSR untuk gula kristal rafinasi negara-negara ASEAN juga tidak berbeda jauh dengan gula kristal putih.Selama periode 1998-2012 nilai TSR gula kristal rafinasi Indonesia di pasar ASEAN berkisar antara 1,000 hingga -0,972 (Tabel 6). Komoditi gula kristal rafinasi memiliki daya saing yang lemah di pasar ASEAN, karena nilai impor gula kristal rafinasi jauh melebihi nilai ekspornya. Hal ini seiring dengan meningkatnya jumlah industri makanan dan minuman di Indonesia sehingga kebutuhan akan gula kristal rafinasi meningkat.

Tabel 6. Trade Specialization Ratio (TSR) Gula Kristal Rafinasi di Pasar ASEAN Tahun 1998 – 2012

Tahun Indonesia Thailand Filipina Singapura Malaysia 1998 -0.972 1.000 -1.000 -0.034 1.000 1999 -0.997 1.000 -1.000 -0.304 1.000 2000 -0.999 1.000 -1.000 -0.597 1.000 2001 -0.992 1.000 -1.000 -0.405 1.000 2002 -0.998 1.000 -1.000 -0.527 1.000 2003 -0.997 1.000 -1.000 -0.226 0.989 2004 -0.978 1.000 -0.943 -0.443 0.813 2005 -0.999 1.000 -0.907 -0.182 0.987 2006 -0.989 1.000 -0.972 -0.333 0.967 2007 -1.000 1.000 -0.888 -0.315 0.947 2008 -0.999 0.995 -0.998 -0.414 0.903 2009 -0.997 1.000 -0.997 -0.550 0.906 2010 -1.000 1.000 -1.000 -0.129 0.893 2011 -0.998 1.000 -0.876 -0.423 0.784 2012 -0.999 1.000 -0.988 -0.463 0.229 Rata-rata -0.994 1.000 -0.971 -0.356 0.894 Sumber : UN Comtrade 2013 (diolah)

Lain halnya dengan perdagangan gula kristal putih, rata-rata nilai TSR Singapura pada perdagangan gula kristal rafinasi adalah -0,356. Singapura mempunyai daya saing yang rendah untuk komoditi gula kristal rafinasi. Negara ini lebih banyak melakukan impor daripada mengekspor untuk memenuhi kebutuhan gula kristal rafinasi. Demikian juga dengan Filipina yang lebih banyak melakukan impor dibandingkan ekspor untuk kebutuhan gula kristal rafinasi. Nilai rata-rata TSR Filipina selama periode 1998-2012 adalah -0,971. Ekspor gula Singapura

(14)

lebih rendah daripada ekspor gula Filipina.Namun, apabila dibandingkan impor kedua negara yang relatif besar menyebabkan nilai rata-rata TSR Filipina lebih rendah daripada nilai rata-rata TSR Singapura.

Pada perdagangan gula kristal rafinasi, nilai TSR Malaysia positif dan mendekati satu. Nilai rata-rata TSR gula kristal rafinasi Malaysia adalah 0,894. Namun walaupun nilai TSR Malaysia positif dan mendekati angka satu namun mulai tahun 2003 hingga saat ini nilai TSR Malaysia cenderung berfluktuasi dan mengalami penurunan dibanding pada tahun 1998-2012.

Thailand masih menjadi primadona dalam perdagangan gula kristal rafinasi di Pasar ASEAN. Bahkan nilai rata-rata TSR Thailand untuk gula kristal rafinasi sebesar 1,000 yang lebih besar daripada nilai TSR gula kristal putih. Namun demikian, nilai TSR gula kristal rafinasi Thailand juga pernah mengalami penurunan pada tahun 2008. Penurunan ini disebabkan peningkatan impor gula kristal rafinasi Thailand akibat cuaca buruk dan gagal panen pada tahun tersebut.

Analisis Keunggulan Komparatif (Revealed Comparatived Advantage)

Berdasarkan nilai RCA dapat dijelaskan bahwa gula kristal putih Indonesia dari tahun 1998-2012 memiliki daya saing yang lemah karena nilai RCA kurang dari satu di pasar ASEAN (Tabel 7).Lemahnya daya saing komoditi gula disebabkan ketidakmampuan industri gula nasional dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negeri sehingga impor gula putih relatif tinggi

Tabel 7.Nilai RCA Gula Kristal Putih Negara ASEAN Tahun 1998-2012

Tahun Indonesia Thailand Filipina Singapura Malaysia 1998 0,000 4,909 0,000 0,006 0,003 1999 0,018 8,250 0,002 0,000 0,002 2000 0,005 8,250 0,000 0,001 0,002 2001 0,016 8,450 0,000 0,319 0,016 2002 0,007 8,469 0,000 0,346 0,003 2003 0,003 5,580 0,001 0,214 0,002 2004 0,005 6,404 0,009 0,267 0,080 2005 0,006 7,874 1,891 0,051 0,005 2006 0,006 5,702 0,010 0,011 0,008 2007 0,000 10,440 1,282 0,014 0,002 2008 0,008 9,320 0,014 0,009 0,007 2009 0,002 8,387 0,955 0,008 0,004 2010 0,001 10,349 0,008 0,055 0,004 2011 0,001 7,686 2,230 0,005 0,002 2012 0,000 9,000 0,283 0,006 0,002 Rata-rata 0,005 7,936 0,446 0,087 0,009

(15)

Apabila dibandingkan dengan Thailand, Filipina, Singapura dan Malaysia nilai rata-rata RCA gula kristal putih Indonesia adalah yang paling rendah. Malaysia mempunyai nilai RCA yang kurang dari satu, namun berdasarkan perkembangannya nilai RCA Malaysia sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Daya saing Malaysia terhadap gula kristal putih juga lemah dikarenakan kekurangan kebutuhan gula Malaysia mayoritas juga dipenuhi melalui impor, sehingga jumlah gula yang diekspor relatif kecil. Demikian pula dengan Singapura, nilai rata-rata RCA Singapura masih kurang dari satu namun masih lebih tinggi daripada Indonesia dan Malaysia. Singapura mampu mengekspor gula kristal putih lebih banyak daripada Indonesia dan Malaysia sekalipun sebagai negara yang minim ketersediaan lahan pertanian.

Rata-rata nilai RCA gula kristal putih Filipina kurang dari satu atau keunggulan komparatif gula kristal putih Filipina berdaya saing lemah. Namun, pada tahun 2005, 2007 dan 2011 nilai RCA gula kristal putih Filipina lebih dari satu atau memiliki daya saing yang kuat pada tahun tersebut. Hal ini disebabkan peningkatan produksi gula di Filipina sehingga meningkatkan ekspor gula kristal putih di Pasar ASEAN. Pangsa pasar gula kristal putih Filipina pada tahun tersebut lebih tinggi dari pada pangsa pasar pesaingnya di pasar ASEAN.

Negara yang memiliki nilai RCA paling besar adalah Thailand. Gula kristal putih Thailand memiliki keunggulan komparatif karena memiliki daya saing yang kuat selama periode 1998 hingga 2012. Pangsa pasar gula kristal putih Thailand di pasar ASEAN dapat dikatakan yang paling tinggi dari pada pangsa pasar pesaingnya di pasar ASEAN. Walaupun luas Negara Thailand lebih kecil dari Indonesia, namun Thailand mampu menyiapkan lahan tebu seluas satu juta hektar yang membuat negara ini dikenal sebagai eksportir gula nomor dua di dunia.

Negara-negara lain seperti Brunei Darussalam, Myanmar, Filipina, Vietnam, Laos dan Timor Leste tidak dapat dihitung nilai RCAnya dikarenakan ketidaktersediaan data ekspor pada negara-negara tersebut. Namun berdasarkan perkembangan produksi yang relatif rendah dan impor yang cukup tinggi diduga negara-negara tersebut memiliki daya saing yang rendah sehingga memiliki keunggulan komparatif yang rendah untuk komoditi gula kristal putih.

Perkembangan nilai RCA gula kristal rafinasi antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN dapat dilihat pada Tabel 8. Beberapa negara ASEAN seperti Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar dan Timor Leste tidak dapat dihitung nilai RCAnya dikarenakan ketidaktersediaan data ekspor untuk komoditi gula kristal rafinasi. Sama halnya dengan gula kristal putih, berdasarkan nilai RCA gula kristal rafinasi juga memiliki daya saing yang lemah karena nilai RCA kurang dari satu. Tidak hanya gula kristal putih, tetapi Indonesia mempunyai keunggulan komparatif untuk gula kristal rafinasi yang juga rendah. Bisa diartikan bahwa pangsa pasar gula kristal rafinasi Indonesia lebih rendah dari pada pangsa pasar pesaingnya di Pasar ASEAN. Lemahnya daya saing komoditi gula kristal rafinasi di Indonesia disebabkan masih rendahnya jumlah industri gula kristal rafinasi di Indonesia sehingga pemenuhan gula kristal rafinasi untuk kebutuhan industri harus didukung dengan pasokan impor.

(16)

Tabel 8. RCA Gula Kristal Rafinasi Negara ASEAN Tahun 1998-2012

Tahun Indonesia Thailand Filipina Singapura Malaysia 1998 0,018 14,441 0,000 0,218 1,175 1999 0,012 7,561 0,000 0,121 1,155 2000 0,003 9,864 0,000 0,367 1,753 2001 0,009 12,216 0,000 0,574 2,743 2002 0,004 17,336 0,000 1,141 4,046 2003 0,008 15,986 0,000 0,845 3,642 2004 0,111 32,181 0,124 1,474 5,726 2005 0,008 24,373 0,131 0,952 4,807 2006 0,037 11,316 0,041 0,756 2,978 2007 0,002 9,457 0,059 0,797 2,114 2008 0,007 10,886 0,002 0,997 1,508 2009 0,002 7,886 0,002 0,731 1,020 2010 0,002 12,255 0,000 0,655 1,614 2011 0,001 8,358 0,106 0,669 1,182 2012 0,002 6,971 0,009 0,730 1,148 Rata-rata 0,015 13,406 0,032 0,350 2,241

Sumber : UN Comtrade 2013 (diolah)

Filipina juga mempunyai nilai RCA kurang dari satu. Ini menunjukkan bahwa daya saing gula kristal rafinasi Filipina lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata ASEAN. Pangsa pasar gula kristal rafinasi Filipina lebih rendah dari pada pangsa pasar pesaingnya di pasar ASEAN. Demikian juga dengan Singapura, rata-rata nilai RCA gula kristal rafinasi sebesar 0,350 selama periode 1998-2012.

Lain halnya dengan nilai RCA gula kristal putih, nilai RCA gula kristal rafinasi Malaysia setiap tahunnya pada periode 1998-2012 lebih dari satu. Ini menunjukkan bahwa daya saing gula kristal rafinasi Malaysia lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata ASEAN. Malaysia mempunyai keunggulan komparatif pada gula kristal rafinasi yang tinggi (diatas rata-rata ASEAN), bisa diartikan pula bahwa pangsa pasar gula kristal rafinasi Malaysia lebih tinggi daripada pangsa pasar pesaingnya di pasar ASEAN.

Nilai RCA gula kristal rafinasi yang tertinggi dan selalu diatas satu setiap tahunnya pada periode 1998-2012 adalah Thailand. Nilai RCA Thailand bahkan jauh melampaui nilai RCA gula kristal rafinasi negara-negara ASEAN lainnya.

(17)

Daya saing gula kristal rafinasi Thailand yang kuat menunjukkan bahwa negara ini mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi atau diatas rata-rata ASEAN. Apabila dibandingkan dengan produksi gula kristal putihnya, poduksi gula kristal rafinasi Thailand lebih tinggi. Industri gula Thailand didukung dengan pabrik pengolahan gula kristal rafinasi yang mendukung Thailand menjadi pengekspor gula rafinasi nomor satu di Pasar ASEAN.

Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Gula Indonesia

Rendahnya daya saing gula Indonesia di pasar ASEAN tidak terlepas dari ketidakmampuan produksi dalam negeri memenuhi kebutuhan gula nasional disebabkan inefisiensi pengolahan yaitu kapasitas dan efisiensi teknis pabrik gula yang sangat rendah. Rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula disebabkan oleh tingginya biaya produksi dan umur mesin pabrik gula yang sudah tua.Hal ini menyebabkan rendemen tebu yang diterima petani rendah dan kualitas gula yang diproduksi juga menjadi kurang baik. Selain karena faktor inefisiensi, rendahnya rendemen tebu juga karena tidak diterapkannya teknologi penggunaan varietas bibit unggul pada budidaya tebu sehingga kualitas tebu giling yang dihasilkan petani juga rendah. Seiring dengan perkembangan ekonomi negara-negara ASEAN dan dalam rangka menghadapi pasar tunggal ASEAN tahun 2015 maka pemerintah perlu menyiapkan beberapa strategi untuk membangkitkan kembali industri gula nasional agar mampu bersaing di pasar ASEAN. Adapun beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diterapkan oleh pemerintah antara lain:

Perbaikan teknologi budidaya

Perbaikan teknologi budidaya tebu melalui percepatan bongkar/rawat ratoon, penyediaan bibit unggul serta pengawalan GAP (good agriculture practices) serta penerapan dan pengawalan pemupukan berimbang

Perluasan areal penanaman tebu

Adanya konversi lahan membuat luas lahan pertanian di Indonesia menyusut bahkan kalah dari luar Thailand yang penduduknya lebih sedikit. Untuk meningkatkan produksi gula nasional diperlukan tambahan luas areal perkebunan yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman tebu.

Perbaikan kualitas sumberdaya manusia dan revitalisasi pabrik gula

Kualitas sumberdaya manusiabaikdari segi penguasaan teknologi maupun profesionalitas dan integritas kerja harus menjadi prioritas utama sebelum pabrik gula direvitalisasi perlu menjadi kunci revitalisasi pabrik gula di Indonesia. Dengan sumberdaya manusia yang sudah siap, maka output yang dihasilkan dari revitalisasi pabrik gula akan berjalan dengan optimal dan target produksi akan tercapai.

Pengembangan pabrik gula baru di daerah

Rendahnya kapasitas produksi yang dihasilkan oleh pabrik gula tua menyebabkan inefisiensi dalam proses produksi. Oleh karena itu, dukungan pembangunan pabrik gula baru selain dalam rangka meningkatkan produksi

(18)

juga akan meningkatkan kualitas gula nasional agar mampu bersaing di pasar ASEAN.

Penguatan kembali peran BULOG

Wacana penguatan kembali peran BULOG sebagai lembaga buffer stock dapat menjadi salah satu alternatif bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga gula dalam negeri dan mengurangi impor.

Kebijakan pendukung

Tanpa political will yang berupa dukungan kebijakan dari pemerintah, pengembangan industri gula nasional sulit diwujudkan. Berbagai kebijakan pergulaan seperti kebijakan produksi, perdagangan, dan investasi harus dijalankan secara konsisten. Seperti diketahui bahwa industri gula memerlukan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, perlu dukungan modal atau investasi baik dari pemerintah maupun investor sangat diperlukan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Daya saing gula Indonesia baik untuk gula kristal putih maupun gula rafinasi di pasar ASEAN relatif lemah. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang lemah dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain. Pangsa pasar gula kristal putih maupun gula kristal rafinasi Thailand merupakan yang paling tinggi dari pada pangsa pasar negara lain di ASEAN.

Implikasi Kebijakan

Strategi dan kebijakan yang dapat diterapkan dalam rangka membangkitkan kembali industri gula nasional antara lain (1) perbaikan teknologi budidaya, (2) perluasan areal penanaman tebu, (2) perbaikan kualitas SDM dan revitalisasi pabrik gula, (3) pembangunan pabrik gula baru di daerah, (4) penguatan kembali peran BULOG, dan (5) kebijakan pendukung seperti kebijakan produksi, perdagangan, dan investasi.

Indonesia perlu meningkatkan produksi gula guna membangkitkan lagi industri gula nasional di pasar internasional utamanya ASEAN. Peluang ekspor gula di ASEAN terbuka cukup besar bagi Indonesia, karena mayoritas negara di ASEAN adalah pengimpor gula.Indonesia sebagai negara terluas dengan potensi sumberdaya alam dan manusia yang melimpah dapat memanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor di ASEAN. Pemerintah dan swasta hendaknya proaktif dalam memantau perkembangan industri gula ASEAN, agar industri gula nasional siap mengantisipasi dan menghadapi tantangan pasar tunggal ASEAN.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2013. Data Ekspor Impor Indonesia. http://bps.go.id/exim-frame.php?kat=2. Diakses tanggal 3 Oktober 2013.

Dewan Gula Indonesia.2012. Neraca Gula Indonesia. Dewan Gula Indonesia, Jakarta. Ditjenbun. 2011. Statistik Perkebunan 2011. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Kementerian Pertanian. 2012. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2011.

Kementerian Pertanian, Jakarta.

Khudori. 2005. Gula Rasa Neoliberalisme : Pergumulan Empat Abad Industri Gula.Penerbit Pustakan LP3ES Indonesia, Jakarta.

UN Comtrade. 2013. United Nations Commodity Trade Statistics Database.:http://comtrade.un.org/db/dqBasicQuery.aspx. Diakses tanggal 3 Oktober.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Tebu 2000-2011
Gambar 3. Perkembangan Produktivitas Gula Hablur 2000-2011
Gambar 4. Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di  Indonesia Tahun 2003-2011

Referensi

Dokumen terkait

Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah &#34;dosa&#34; setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini.. Anak-anak nusantara

Setiap perusahaan mempunyai visi dan misi yang harus dijalankan sesuai dengan tujuan perusahaan, butuh waktu untuk mencapai itu semua begitu juga pada Fakultas Ekonomi

Rangkaian sistem minimum pada gambar 11 adalah rangkaian elektronika yang terdiri dari komponen-komponen dasar yang dibutuhkan oleh suatu mikrokontroler

Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan maka diperoleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap TPT perempuan dengan menggunakan pendekatan model regresi tobit

Berdasarkan pengamat an yang dilakukan bahwa pemanfaatan energi pakan pada ikan semah pascalarva dengan kepadat an 10 eko r/L lebih efekt if dengan nilai pertumbuhan yang t ert

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kabupaten Pulau Morotai sebanyak 8.386 dikelola oleh rumah tangga,

Masa   berlakunya  RPJM  Daerah  ini  sama   dengan   masa jabatan pasangan Bupati  dan  Wakil Bupati Banyumas, yaitu