• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nuansa Bahasa Citra Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nuansa Bahasa Citra Sastra"

Copied!
310
0
0

Teks penuh

(1)

Nuansa Bahasa

Citra Sastra

Pendalaman dan Pembaruan

dalam Kajian Bahasa dan Sastra

Editor:

I Wayan Pastika

Maria Matildis Banda

I Made Madia

Pustaka Larasan

bekerja sama dengan

Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

2019

(2)

ii

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

Copyright © 2019 Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Udayana

Editor:

I Wayan Pastika Maria Matildis Banda I Made Madia Tata Letak Slamat Trisila Rancang Sampul Nova Rabet Ilustrator Rabet M.S. (www.rumarabet.com) Penerbit Pustaka Larasan

Jalan Tunggul Ametung IIIA No. 11B Denpsar, Bali 80116

Pos-el: pustaka.larasan@gmail.com Ponsel: 0817353433

Bekerja sama dengan

Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana Cetakan pertama: 2019

(3)

DAFTAR ISI

Laporan Ketua Panitia ~ vi

Sambutan Kordinator Program Studi Sastra Indonesia ~ ix Pengantar Editor ~ xi

Daftar Nama Dosen Purnabhakti ~ xx I Wayan Pastika

Kekhasan Sejumlah Bunyi Bahasa-Bahasa Nusantara: Fonetis dan Fonologis ~ 1

Anak Agung Putu Putra

Karakteristik Ruas Asal Bahasa Sumba dalam Ciri Pembeda ~ 17

I Made Madia

Beberapa Fenomena Fonologis pada Tataran Sintaksis di dalam Bahasa Bali ~ 41

I Wayan Simpen

Unsur Suprasegmental dalam Kakawin ~ 53

Made Sri Satyawati

Struktur Argumen Bahasa Bima ~ 59

I Wayan Teguh

Tinjauan Singkat Subkategorisasi Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia ~ 69

Ni Putu N. Widarsini

Kosakata “Layar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Awal ~ 81

I Nyoman Suparwa

(4)

iv

dan Ni Putu Widarsini

Penggunaan Bentuk-Bentuk Penolakan Bahasa Bali dalam Berkomunikasi Masyarakat Etnis Bali Asal Denpasar dan Badung ~ 99

I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa

Awal Mula Timbulnya Bahasa: Kajian Linguistik Historis ~ 112

Ni Made Dhanawaty dan Ida Bagus Putrayadnya

Sumbangan Dialektologi Bagi Kajian Daya Hidup dan Derajat Keterancambahayaan Bahasa ~ 127

I Ketut Darma Laksana

Menumbuhkan Sikap Bahasa Generasi Muda Pada Era Milenia Melalui Model Pembelajaran Kelas Doktrina ~ 141

I Nyoman Darma Putra

Literary Tourism: Kajian Sastra dengan Pendekatan

Pariwisata ~ 161

Maria Matildis Banda dan Nyoman Weda Kusuma

Makna Su’i Uwi dalam Perayaan Misa Inkulturasi Reba Ngadha Flores ~ 181

Maria Matildis Banda

Catatan tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia ~ 191

Sri Jumadiah

Nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi

(5)

I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani

Tindak Kekerasan pada Perempuan dan Anak dalam Karya Sastra Indonesia ~ 217

Ketut Sudewa

Pengembangan Ekonomi Kreatif melalui Penulisan Sastra Bali Modern pada Pesta Kesenian Bali ~ 233

Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada

Kidung Séwa Dharma Nyanyian Kegelisahan Batin Sang

Kawiswara ~ 245

I Wayan Cika

Geguritan Puputan Margarana: Antara Fakta dan Fiksi ~

257

I Ketut Nama

Unsur Magi dan Etiologi dalam Hikayat Maharaja

Bikrama Sakti ~ 269

Indeks ~ 280

(6)

vi

Berbagi Memori dalam Apresiasi

Purnabhakti

S

adar akan janji harus ditepati dan utang budi mesti dilunasi, akhirnya kami Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana menggelar acara Apresiasi Purnabhakti. Acara ini sebagai bentuk peng-hormatan dan tanda terima kasih kami para yunior kepada senior dan sekaligus mahaguru kami di Prodi Sastra Indonesia yang sudah pensiun lebih dahulu, dan satu-dua ada yang sudah meninggalkan kami ke alam sana.

Prodi Sastra Indonesia berdiri tahun 1958, sebagai bagian dari lahirnya Fakultas Sastra dan Budaya yang ketika itu menjadi bagian dari Universitas Airlangga Surabaya karena Universitas belum lahir. Universitas Udayana baru lahir tahun 1962, ketika sudah cukup persyaratan memiliki empat fakultas. Sejak Prodi Sastra Indonesia lahir awalnya dengan nama Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, sudah banyak dosen kami yang memasuki masa pensiun, ada yang sudah almarhum karena dipanggil lebih dahulu oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Sesungguhnya, sejak lama kami, Prodi Sastra Indonesia, memiliki keinginan, janji dalam hati, untuk melaksanakan apresiasi kepada para perintis prodi dan dosen serta para senior yang sudah pensiun, namun karena berbagai hal janji dan keinginan itu tidak pernah bisa terwujud. Baru kali inilah, tahun 2019, komitmen, utang budi, janji-janji untuk mengapresiasi pengabdian para senior kami bisa kami wujudkan.

Karena baru pertama kali terlaksana, maka Apresiasi Purnabhakti ini kami tujukan kepada semua senior kami yang sudah usai masa kerjanya. Termasuk di dalamnya adalah untuk yang baru pensiun, dan juga para pendahulu yang sudah almarhum. Kami mengundang mereka atau keluarga yang

(7)

mewakili untuk kami ajak berbagi memori, atas suka-duka atau keriangan dan kemurungan dalam bekerja membangun Prodi Sastra Indonesia dalam lebih dari lima dekade (1950-an- 2010-an). Demikian juga halnya situasi pasang-surut popularitas Prodi yang terlihat dari jumlah perolehan mahasiswa baru.

Pernah, awal 1980-an, Prodi menerima 80-an mahasiswa, termasuk Kelas Pagi dan Kelas Sore. Saat itu, ada juga mahasiswa dari Malaysia belajar di prodi. Setelah itu, akhir tahun 1990-an, jumlah mahasiswa yang mendaftar turun drastis, dengan menerima belasan mahasiswa. Belakangan, kembali populer termasuk menerima mahasiswa asing, seperti dari Cina dan Korea. Perjalanan surut-pasang Prodi ini adalah hasil kerja keras dan cerdas para pendahulu kami yang patut kami kenang untuk strategi pengembangan ke depan. Pengabdian tulus para senior dan para guru kami, sudah sepatutnya kami apresiasi.

Acara Apresiasi Purnabhakti ini ditandai dengan terbitnya buku kajian bahasa dan sastra yang memuat karya ilmiah dari para dosen. Hal ini bisa terjadi karena kekompakan kami yang masih aktif untuk menyampaikan rasa terima kasih secara tulus ikhlas. Buku ini bisa terbit karena kami sepakat untuk memikul semua biaya produksi secara sukarela bersama. Buku ini sebagai tanda abadi dari apresiasi kami kepada para senior kami. Adalah fakta bahwa sebagian besar dari dosen yang purnabhakti bukan saja berjasa membangun prodi, tetapi juga sebagian besar adalah guru kami. Sebagian besar dari kami yang masih aktif sekarang adalah alumni Prodi Sastra Indonesia.

Sebagai Ketua Panitia acara Apresiasi Purnabhakti, saya menyampaikan terima kasih kepada Koprodi dan kawan-kawan yang memberikan kepercayaan untuk menjadi Ketua Panitia acara ini. Selain itu, saya juga menyampaikan terima kasih untuk semua anggota panitia yang telah bekerja keras menyukseskan acara ini. Secara khusus, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada tim penerbit buku yang penuh semangat menyunting artikel untuk siap diterbitkan, yaitu Prof. I Wayan Pastika, Dr. I Made Madia, dan Dr. Maria Matildis Banda. Tanpa kerja kompak mereka, artikel kawan-kawan tidak mungkin dapat bersatu dalam buku.

(8)

viii

yang sudah purnabhakti dan para keluarga yang mewakili atas dukungannya pada acara ini. Kami mohon maaf jika ada kekhilafan dan kekurangan dalam pelaksanaan acara. Semoga kebaikan, kerukunan, keharmonisan, kesehatan, kesuksesan, dan rasa suka-cita senantiasa mewarnai hari-hari kita semua.

Akhir kata, tak-ada gading yang tak-retak, yang penting kita selalu kompak. Meski kita tidak lagi bersama dalam tugas dan aktivitas sehari-hari, tetaplah kita dekat dalam jalinan memori.

Denpasar, 10 Juni 2019 Ketua Panitia Apresiasi Purnabhakti I Nyoman Darma Putra

(9)

Sambutan

Kordinator Prodi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Udayana

P

uji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-Nya-lah buku ini bisa diterbitkan. Buku ini terbit untuk memeriahkan acara Apresiasi Purnabhakti untuk semua dosen Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia yang sudah pensiun. Buku diluncurkan pada saat acara ramah-tamah yang dihadiri para pensiunan atau keluarga mereka yang mewakili.

Acara Apresiasi Purnabhakti ini pertama kali dilaksanakan oleh Program Studi Sastra Indonesia secara lembaga. Beberapa dosen prodi yang pensiun biasanya dilepas secara formal oleh Fakultas, atau melaksanakan acara kenangan mengakhiri masa pengabdian dengan menerbitkan buku sendiri. Prodi belum pernah melakukannya kecuali sekarang ini. Karena acara ini merupakan yang pertama dilaksanakan oleh Prodi, maka dalam acara Apresiasi Purnabhakti ini penghormatan diberikan kepada semua dosen Prodi Sastra Indonesia, baik yang baru pensiun maupun yang sudah lama dan bahkan yang sudah meninggalkan kami.

Hampir semua pensiunan Prodi adalah guru kami. Beliaulah yang menempa kami ketika menjadi mahasiswa. Beliau adalah dosen-dosen kami. Sebutlah misalnya Prof. I Wayan Djendra, Prof. I Wayan Bawa, Prof. Aron Meko Mbete, dan Prof. I Nyoman Kutha Ratna. Beliau adalah dosen kami di jenjang S1, S2, dan bahkan S-3. Selain menempa kami sebagai mahasiswanya, beliau juga sangat berjasa dalam mengembangkan Prodi. Tanpa usaha mereka, tidak mungkin Prodi Sastra Indonesia berkembang seperti adanya kini. Untuk itu, mahabesar terima kasih kami kepada Bapak/Ibu dosen yang sudah pensiun atas dedikasinya dan segala pengetahuan dan didikannya untuk kami.

Buku ini memuat artikel tentang bahasa dan sastra karya dosen-dosen Prodi Sastra Indonesia. Setelah sekian lama usia Prodi—sama tuanya dengan usia Fakultas dan Universitas

(10)

x

bisa menerbitkan buku bersama. Semoga awal ini bisa menjadi spirit yang baik untuk dilanjutkan sebagai tradisi publikasi karya ilmiah.

Banyak hasil penelitian dosen yang menarik untuk diterbitkan menjadi buku atau menjadi kumpulan karangan sebagai kontribusi pada perkembangan ilmu bahasa dan sastra. Mahasiswa dan sarjana bahasa dan sastra tentu saja mendambakan hadirnya buku rujukan. Jika tidak dipublikasikan, bukan saja gagasan itu tidak akan dikenal, tetapi bisa jadi gagasan serupa diterbitkan orang lain sehingga yang lebih dulu membahasnya menjadi kurang dicatat atau sia-sia.

Pada tempatnyalah kami menyampaikan terima kasih kepada semua dosen prodi Sastra Indonesia yang menyumbangkan tulisan untuk buku ini. Buku ini kami terbitkan secara swadaya. Biaya kami pikul bersama. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada tim editor buku Prof. I Wayan Pastika, Dr. I Made Madia, dan Dr. Maria Matildis Banda.

Juga apresiasi kepada Prof. I Nyoman Darma Putra yang bekerja efektif dan efisien sebagai ketua panitia acara Apresiasi Purnabhakti. Dalam menyiapkan acara ini, Ketua Panitia mendapat dukungan penuh dari kalangan dosen Prodi. Kepada semua anggota panitia, kami menyampaikan apresiasi yang tinggi.

Semoga ke depan, kebersamaan dalam penerbitan karya ilmiah dan dalam perayaan Apresiasi Purnabhakti atau kegiatan lainnya dapat dilaksanakan dengan suka cita dan penuh arti secara akademik dan kekeluargaan.

Denpasar, 10 Juni 2019 Hormat kami

Koprodi Sastra Indonesia,

(11)

Pengantar Editor:

Nuansa Bahasa Citra Sastra

B

uku ini memuat dua puluh satu artikel kajian kebahasaan dan kesastraan yang ditulis oleh dosen Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Tiap-tiap kajian ini mencoba menawarkan pendalaman dan pembaruan, baik dalam pokok persoalan yang dibahas maupun pendekatan yang digunakan. Pendalaman kajian ditandai dengan analisis mikro dengan beragam objek kajian, sedangkan pembaruan tampak pada penawaran pendekatan inovatif dalam kajian kebahasaan dan kesastraan.

Kajian kebahasaan dengan basis ilmu linguistik menawarkan kajian mendalam terhadap berbagai objek bahasa di Nusantara. Arena kajian bukan saja bahasa Indonesia, tetapi bahasa-bahasa daerah di Nusantara, seperti Bali, Melayu, bahasa-bahasa Sulawesi, Sumba, dan bahasa Bima. Sama dengan itu, kajian kesastraan menggali objek lama dengan pendekatan baru, ada juga tawaran kajian dengan pendekatan baru, seperti literary

tourism (pariwisata sastra).

Pendalaman dan pembaruan dalam kajian kebahasaan dan kesastraan bersifat luas dan dinamik. Apa yang tertuang dalam buku ini hanya sebagian kecil di antaranya. Tidak ada terminal akhir dalam kajian keilmuan, makanya makna tulisan dalam buku ini sangat tergantung pada respons pembaca dan peneliti untuk mengembangkannya.

Aspek Kebahasaan

Ada dua belas artikel kebahasaan yang dimuat dalam buku ini. Berdasarkan basis kajian, artikel kebahasaan di dalam buku persembahan ini dapat dikelompokkan menjadi dua: artikel penelitian dan artikel konseptual. Berdasarkan data bahasa yang dijadikan kajian, ada artikel penelitian yang berbasis bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Bali, bahasa Bima, bahasa Sumba, serta bahasa Sulawesi (Indonesia), dan bahasa Papua

(12)

xii

bahasa Indonesia mahasiswa.

Dengan basis data bahasa Sulawesi (Indonesia) dan Papua (PNG), I Wayan Pastika dalam artikelnya yang berjudul “Kekhasan Sejumlah Bunyi Bahasa-Bahasa Nusantara: Fonetis dan Fonologis” menyatakan bunyi kontoid bahasa-bahasa Sulawesi (Indonesia) dan Papua (PNG) cukup beragam dan khas secara fonetis dibandingkan dengan tipe kontoid bahasa-bahasa Nusantara lain di Indonesia Bagian Barat. Kontoid bilabial frikatif [Φ, β] ditemukan pada bahasa Sarudu, velar frikatif [Ɣ]

pada bahasa Topoiyo dan alveolar flap [ſ] pada bahasa Makassar yang masing-masing ada di Sulsel, kecuali alveolar frikatif [ð] pada bahasa Mentawai di Sumbar. Hambat pranasal [mp, mb] ada pada bahasa Adzera (Papua Indonesia) dan hambat pranasal [ŋgw] ditemukan pada bahasa Yessan-Mayo (PNG). Secara fonologis, terjadi pergeseran prefiks menjadi infiks, penyisipan V atau K pada bahasa-bahasa Tomini di Sulawesi, dan yang paling bermarkah adalah perubahan bunyi yang tidak disebabkan oleh lingkungan bunyi lain, tetapi dipicu oleh faktor sintaksis. Ini terjadi pada bahasa Dawan dan bahasa Mauta di Pulau Timor.

Dalam topik fonologi juga, Anak Agung Putu Putra dalam artikelnya yang berjudul “Karakteristik Ruas Asal Bahasa Sumba dalam Ciri Pembeda” dengan menggunakan teori fonologi generatif menerangjelaskan karakterisasi ruas asal bahasa Sumba meliputi 1) ciri golongan utama, 2) ciri tempat artikulasi, 3) ciri cara artikulasi, 4) ciri batang lidah, 5) ciri tambahan, dan 6) ciri prosodi. Dengan ciri pembeda ini ditemukan lima ruas asal vokal, yakni /i, a, u, e, o/ dari 10 realisasi fonetis ruas vokoid, yakni [i, I, a, , u, U, o, , e, E] dan dua 29 ruas asal konsonan, yakni /p, t, c, k, ?, b, d, j, g,, , , , mb, nd, ñj, ŋg, s, h, z, F, m, n, ñ, ŋ, l, r, w, y/, serta sebuah ruas asal suprasegmental, yakni berupa ciri tekanan / ` / yang bersifat distingtif pada ruas asal vokal, yakni ditulis /ì, à, ù, è, ò/. Ruas-ruas asal vokal dan konsonan itu memiliki distribusi yang lengkap; distribusi awal dan tengah; serta memiliki distribusi tengah saja.

Suatu studi mikrolinguistik menyangkut relasi fonologi dan sintaksis ditulis oleh I Made Madia dalam tulisannya

(13)

berjudul “Beberapa Fenomena Fonologis pada Tataran Sintaksis di dalam Bahasa Bali” terinspirasi dari tulisan Inbelas (1990 ed.), The Phonology-Syntax Connection. Di dalam bahasa Bali ditemukan fenomena fonologis pada tataran sintaksis yang berupa perangkapan konsonan/geminasi, ligatur, pemendekan vokal, penggantian konsonan, dan penghilangan kata.

Kajian kakawin dari aspek fonologi suprasegmental dilakukan oleh I Wayan Simpen dalam artikelnya yang berjudul “Unsur Suprasegmental dalam Kekawin.” Penulis mengatakan bahwa ada kaitan yang erat antara unsur suprasegmental dengan

guru-laghu. Keberadaan guru-laghu dalam kakawin ditandai oleh

adanya aksara yang khas yang menunjukkan adanya perubahan unsur-unsur suprasegmental: panjang-pendeknya bunyi, keras-lemahnya tekanan, dan nada.

Setelah empat kajian aspek fonologi di atas, berikut adalah kajian sintaksis yang dilakukan oleh Made Sri Satyawati dalam artikelnya berjudul “Struktur Argumen Bahasa Bima.” Penulis menemukan bahwa struktur argumen dalam bahasa Bima memiliki kekhasan karena terdapat pemarkah yang menandai argumen., seperti labo, kai, wea, dan ba-. Fungsi utama pemarkah tersebut adalah sebagai pemarkah valensi. Umumnya yang dimarkahi oleh keempat pemarkah tersebut adalah argumen wajib. Beberapa data memperlihatkan bahwa perilaku berbeda dari argumen tersebut adalah sebagai preposisi.

Dari dua artikel bertajuk sintaksis dalam buku ini, I Wayan Teguh adalah penulis kedua yang menulis topik itu. Artikelnya bertajuk “Tinjauan singkat Subkategorisasi Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia Tinjauan” menguraikan kriteria sintaksis untuk menentukan kategori gramatikal. Kriteria ini menetapkan prinsip urutan kata dalam ujaran, kesertaan kata, dan adanya strategi substitusi. Penulis menemukan bahwa kata keterangan yang menunjukkan hubungan sangat erat dengan kata kerja, kata sifat, kata bilangan, dan kata keterangan lain yang didampingi. Sebaliknya, kata secara ekstraklausal kata keterangan mempunyai kemungkinan berpindah-pindah posisi.

Dengan basis data bahasa Indonesia, Ni Putu N. Widarsini melakukan kajian leksiko-semantik pada kosakata layar bahasa

(14)

xiv

Indonesia. Widarsini dalam artikelnya berjudul “Kosakata

Layar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian

Awal” menyatakan bahwa kosakata layar digunakan pada ranah kehidupan dalam bidang pelayaran, kesenian, dan ilmu komunikasi (publisistik dan jurnalistik). Bentuknya berupa bentuk tunggal dan bentuk kompleks. Kategori ekologinya berkategori abiotik dan kategori linguistiknya berkategori nomina dan frasa nomina. Teguh dalam artikelnya berjudul “Tinjauan Singkat Subkategorisasi Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia” menyimpulkan bahwa kata keterangan dapat dikelompokkan ke dalam subkategori intraklausal dan subkategori ekstraklausal. Kata keterangan intraklausal adalah kata keterangan yang menunjukkan hubungan sangat erat dengan kata kerja, kata sifat, kata bilangan, dan kata keterangan lain yang didampingi. Sebaliknya, kata keterangan ekstraklausal secara sintaksis mempunyai kemungkinan berpindah-pindah posisi. Hal ini disebabkan oleh hubungannya tidak seerat hubungan kata keterangan intraklausal. Kata keterangan ekstraklausal mempunyai daya mobilitas yang cukup tinggi dalam memberikan penekanan makna sintaksis.

Studi mikrolinguistik tidak menjadi lengkap tanpa kajian makrolinguistik dan berikut ini disampaikan gambaran umum tentang itu. I Nyoman Suparwa dalam artikelnya yang berjudul “Dinamika Sapaan dalam Bahasa Melayu Bali”, dengan mengacu teori T-V Brown-Gilman (1960:253—379), mengelompokkan sapaan dalam bahasa Melayu Bali berdasarkan kekerabatan: (a) sapaan dalam keluarga inti, seperti Bapak, Ayah, Wak, (b) sapaan antara kerabat, seperti Pak/Mak Olong, Pak/Mak Ngah; dan (c) sapaan pada orang asing, seperti sodare, abang, mas; dan berdasarkan hubungan keakraban: (a) tinggi-rendah (TV) untuk menunjukkan kekuasaan, seperti kau; (b) sama tinggi/rendah (VV) untuk keakraban, seperti Nama diri (misalnya Nana); dan (c) rendah-tinggi (VT) untuk kesopanan, seperti Abang. Dinamika pemakaian istilah sapaan diperlihatkan oleh tidak digunakannya lagi istilah sapaan seperti Wak, Encu; diganti dengan istilah sapaan bahasa Indonesia Pak/Bapak, Bi/Bibi unsur bahasa Indonesia.

(15)

Artikel sosiolinguistik berikut ditulis oleh Ni Wayan Arnati, dkk. mengangkat penggunaan bentuk-bentuk penolakan bahasa Bali dalam berkomunikasi masyarakat etnis Bali asal Denpasar dan Badung. Dalam penelitian mereka, ditemukan sembilan jenis penolakan. Kesembilannya meliputi (1) penggunaan kata “tidak”, (2) ujaran yang memberikan syarat, (3) menyatakan alasan, (4) menyampaikan usul, (5) mengucapkan terima kasih, (6) memberikan komentar, (7) bertanya, (8) berkomunikasi dalam ragam rendah, dan (9) menggunakan bahasa nonverbal.

Artikel konseptual ditulis oleh I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa dan Ni Made Dhanawaty. Putrayasa dalam artikelnya berjudul “Awal Mula Timbulnya Bahasa: Kajian Linguistik Historis” mengemukakan bahwa hominoid sudah mampu berkomunikasi, tetapi masih dalam tahapan prabahasa sehingga belum bisa disebut bahasa. Selanjutnya, para ilmuwan mengemukakan berbagai teori kemunculan bahasa, seperti teori tekanan sosial, onomatopetik/ekoik, kontrol sosial, kontak, dan teori Hockett-Ascher. Dhanawaty (ditulis bersama Putrayadnya) dalam artikelnya berjudul “Sumbangan Dialektologi bagi Kajian Daya Hidup dan Derajat Keterancambahayaan Bahasa” berpendapat bahwa dialektologi dapat memberikan sumbangan bagi kajian daya hidup atau derajat keterancambahayaan bahasa. Dengan kajian dialektologi dapat diketahui adanya variasi yang mengindikasikan kebertahanan bahasa, variasi yang mengarah pada kebergeseran bahasa, dan variasi yang telah mengalami pergeseran.

Terakhir, satu artikel yang berupa studi kasus ditulis I Ketut Darma Laksana dengan judul “Menumbuhkan Sikap Bahasa Generasi Muda pada Era Milenial melalui Model Pembelajaran Kelas Doktrina”. Dengan mengacu model “Pembelajaran Kelas

Doktrina” yang sudah diterapkan di Amerika Serikat oleh

Baquedano-Lopez (2001) dan melakukan studi kasus terhadap mahasiswa Semester I Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Tahun 2018/2019, disimpulkan bahwa kondisi pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia pada hampir semua jenis dan jenjang pendidikan ditengarai sebagai mata pelajaran yang membosankan dan terlalu teoretis sehingga kurang menarik.

(16)

xvi

Kurikulum (2006) yang dirancang memasuki era milenial sesuai dengan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, pembelajaran bahasa Indonesia dapat menciptakan generasi muda yang berkarakter kebangsaan yang kuat.

Aspek Kesastraan

Sembilan artikel kesastraan yang ditulis para dosen Program Studi Sastra Indonesia dalam buku ini mengangkat tema yang bervariasi. Marilah berwisata di dalamnya. Semua tulisan menjelaskan sastra memiliki makna keindahan (dulce) dan berguna (utile) artinya karya sastra sebagai karya seni memiliki makna pragmatis. Makna ini berkaitan dengan terapan sebagai gambaran dari berbagai fenomena sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang terungkap dalam karya sastra maupun kajian kritis terhadapnya.

Dalam “Literary Tourism: Kajian Sastra dengan Pendekatan Pariwisata” Darma Putra menyajikan pikirannya dengan ringan dan mudah dimengerti. Bahwa banyak karya sastra yang mendapat inspirasi atau mengangkat tema kepariwisataan, dan sebaliknya banyak daya tarik pariwisata yang popularitasnya berutang budi pada karya sastra. Sastra Pariwisata menjadi model pendekatan baru sebagaimana halnya dengan ekologi sastra atau yang lebih dikenal dengan sastra hijau, antropologi sastra, di samping sastra dengan model pendekatan sosiologi dan psikologi yang lahir sebelumnya.

Meskipun dalam sumber data yang berbeda, tulisan Banda dan Weda tentang “Makna Su’i Uwi dalam Perayaan Misa Inkulturasi Reba Ngadha Flores” pun memiliki relasi substansial dengan sastra pariwisata. Ritual reba diawali dengan perayaan misa inkulturatif atau misa reba. Tradisi ini juga diadakan oleh orang Ngadha diaspora (di perantauan seperti Jakarta). Dalam perayaan misa reba teks su’i uwi (ajaran-ajaran kehidupan) disampaikan dalam homili (khotbah). Tradisi ini dilaksanakan di anjungan NTT Taman Mini Jakarta yang terbuka untuk umum dimana seluruh pendukungnya mengenakan pakaian tradisional Ngadha serta menampilkan tarian lokal serta lagu-lagu dalam

(17)

bahasa daerah Ngadha.

Ada relasi yang erat antara sastra sebagai karya seni dan sejarah bangsa-bangsa sebagai sebuah fakta. Tulisan Banda tentang “Catatan tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia” menjelaskan hal tersebut. Rabet menyuguhkan sebuah ironi tentang bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur. Novel dibahas dengan pendekatan reseptif dan metode pemahaman apresiatif melalui simpati, empati, dan refleksi diri. Tujuannya untuk menjelaskan bagaimana karya sastra berarti bagi pencerahan kebudayaan dunia sebagai sebuah taman wisata sastra yang terbuka bagi pelancong darimana saja. Mari masuk pula ke dalam tulisan Sri Jumadiah tentang “Nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Senja Djiwa Pak Budi” Makalah ini mengkaji tiga buah puisi yaitu “Dari Balik Terali”, “Surat Untuk Pak Guru”, dan “Pukul Tujuh Pagi” yang diterbitkan dalam antologi tersebut. Dua nilai utama yaitu nilai religius dan nilai tanggung jawab yang diungkapkan murid yang terpenjara. Pendidikan nilai penting artinya bagi pembentukkan karakter murid dan selanjutnya sebagai pembentuk karakter bangsa. Dalam pertumbuhan pariwisata dunia di era digital ini segalanya serba terbuka dan mudah dilipat (Amir Piliang, 2013) untuk dibawa pergi. Karakter menjadi tiang utama untuk tumbuh dan berkembang untuk bertahan dan menjadi lebih baik. Dijelaskan Mas Triadnyani dalam tulisannya tentang “Tindak Kekerasan pada Perempuan dan Anak dalam Karya Sastra Indonesia” bahwa kekerasan pada anak-anak dan perempuan banyak diberitakan media massa. Maraknya pemberitaan ini mengindikasikan semakin tingginya tingkat penindasan terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Mas menyoroti tiga pengarang dan tiga karya, yakni Djenar Maesa Ayu (Nayla, 2005), Dewi Sartika (Dadaisme, 2006) dan Kadek Sonia Piscayanti (Karena Saya

Ingin Berlari, 2007). Kajiannya menjelaskan bahwa karya sastra

dapat menyajikan sebuah fenomena sosial dan memiliki makna pragmatis untuk mengatasi masalah.

Secara tersirat Ketut Sudewa menulis hal ini dalam “Pengembangan Ekonomi Kreatif Melalui Penulisan Sastra Bali

(18)

xviii

semangat sejarah diadakan Pesta Kesenian Bali (PKB), yakni pelestarian, pembinaan, dan pengembangan kesenian Bali yang ada di seluruh Bali. Pembaca dicerahkan dengan pemahaman pentingnya menulis karya sastra, khususnya sastra Bali modern dalam pengembangan ekonomi kreatif di Bali yang berarti bagi pengembangan pariwisata Bali dan eksistensi sastra Bali modern di tengah pertumbuhan karya seni lainnya.

Selanjutnya, artikel “Kidung Sewa Dharma Nyanyian Kegelisahan Batin Sang Kawiswara” oleh IB Jelantik Sutanegara Pidada. Kidung yang melukiskan curahan hati pengarang yang mempunyai keinginan melakukan aktivitas mengarang untuk menyuarakan hakikat kebenaran. Pusat perhatian kidung ini adalah pengarang sendiri sebagai objek yang memproduksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang dikombinasikan. Artikel ini memberi keyakinan tentang peran, tanggung jawab, dan proses kreatif pengarang sepanjang masa, terutama pada era milenial ini.

Dua tulisan terakhir masing-masing “Geguritan Puputan Margarana: Antara Fakta dan Fiksi” (disingkat GPM) oleh I Wayan Cika dan “Unsur Magi dan Etiologi dalam Hikayat Maharaja Bikrama Sakti “ oleh Ketut Nama. GPM ditulis dalam bentuk karya sastra geguritan dan isinya menceritakan fakta sejarah perang antara pasukan Ciung Wanara melawan Belanda. Fakta tokoh GPM adalah I Gusti Ngurah Rai yang diabadikan dalam berbagai simbol pariwisata di Bali seperti nama Bandara, jalan, serta patungnya berdiri tegak di beberapa titik pusat lalu lintas kota Denpasar. Sejarah menjadi lebih estetis saat sejarah dan sastra saling melengkapi di taman wisata. Sementara Ketut Nama menyajikan tulisan penutup yang menarik perhatian justru karena mengangkat unsur magi dan hagiografi atau kemukjizatan sebagai salah satu unsur penting dalam konvensi budaya nusantara. Tulisan ini memiliki makna pragmatis di era milenial dimana magi, mukjiat, dan kekuatan supernatural dapat digunakan untuk melawan musuh atau mengusir pengaruh-pengaruh jahat. Meskipun unsur magi acapkali pula tercermin dalam karya sastra lama, seperti sastra Melayu (hikayat), Jawa

(19)

(babad), Bali (kakawin, gaguritan), dan karya sastra daerah lainnya yang disebutkan Nama, unsur supernatural ini tetap hidup dalam sastra modern bernuansa teknologi.

Sembilan artikel ini dapat dikembangkan dan dikaji dengan pendekatan pariwisata budaya dan ekonomi kreatif. Dengan mengaplikasikan pendekatan kreatif dalam kajian sastra demikian, kita tidak hanya akan dapat berwisata ke taman sastra tetapi juga dapat bersastra di taman wisata. Dalam era milenial, ilmu pengetahuan berkembang dan dapat maju bersama jika rela keluar dari zona nyaman konvensionalnya masing-masing, dengan membuka diri dalam pendekatan bermultidisiplin dan berinterdisiplin demi menjawab tantangan zaman.

Editor

I Wayan Pastika Maria Matildis Banda I Made Madia

(20)

xx

Prodi Sastra Indonesia, FIB, Universitas Udayana

1. Prof. Dr. I Wayan Bawa

2. Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. 3. Prof. Drs. Shaleh Saidi

4. Prof. Drs. I Gusti Ngurah Bagus 5. Prof. Dr. I N. Kutha Ratna, S.U.

(21)

8. Drs. Nazir Thoir 9. Drs. Paulus Yos Adi Riyadi, S.U.

10. Drs. I Nyoman Sulaga, M.S. 11. Drs. I Ketut Asa Kartika, S.U.

12. Drs. I Wayan Suda, M.Hum. 13. Drs. I Wayan Suartana

(22)

xxii

18. Dra. Ida Ayu Sruthi, M.Hum. 19. Drs. I Made Suida

20. Drs. I Nengah Sukartha, S.U. 21. Drs. I Made Suarsa, M.S.

(23)

KEKHASAN SEJUMLAH BUNYI

BAHASA-BAHASA NUSANTARA:

FONETIS DAN FONOLOGIS

I Wayan Pastika

Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Abstrak

Bunyi kontoid bahasa-bahasa Sulawesi dan Papua (Indonesia dan PNG) cukup beragam dan khas secara fonetis dibandingkan tipe kontoid bahasa-bahasa Nu-santara lain di Indonesia Bagian Barat. Kontoid bilabial frikatif [Φ, β] ditemukan pada bahasa Sarudu, velar frikatif [Ɣ] pada bahasa Topoiyo dan alveolar flap [ſ] pada bahasa Makassar yang masing-masing ada di Sulsel, kecuali alveolar frikatif bersuara [ð] pada bahasa Mentawai di Sumbar. Hambat pranasal [mp, mb] ada pada bahasa Adzera (Papua Indonesia)

dan hambat pranasal [ŋgw] ditemukan pada bahasa

Yessan-Mayo (PNG). Secara fonologis, terjadi pergeseran prefiks menjadi infiks, penyisipan V atau K pada bahasa-bahasa Tomini di Sulawesi, dan yang paling bermarkah adalah perubahan bunyi yang tidak disebabkan oleh lingkungan bunyi lain, tetapi dipicu oleh faktor sintaksis. Ini terjadi pada bahasa Dawan dan bahasa Mauta di pulau Timor. Bunyi-bunyi frikatif dan pranasal hambat tersebut, secara fonetik artikulatoris cukup kompleks bagi penutur bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di bagian barat tanah air.

Kata kunci: fonetik, fonologi generatif, konsonan I. Pendahuluan

P

erhatian studi fonologi sampai saat ini lebih banyak dipusatkan pada fenomena sistem bunyi bahasa segmental alih-alih bunyi bahasa suprasegmental. Hal ini dapat dipahami karena sejatinya bahasa manusia lebih banyak ditentukan oleh bunyi-bunyi segmental: vokal dan konsonan. Di samping itu, eksplorasinya lebih banyak ditentukan

(24)

2

oleh dasar-dasar fonetik, terutama fonetik artikulatoris alih-alih akustis atau auditoris. Berkaitan dengan proses fonologi segmental, Gordon (2016: 123) mengategorikannya menjadi tiga: (i) alternasi dan pembatasan fitur dengan karakter bunyi bahasa ditentukan oleh lingkungannya dengan bunyi lain dalam satu konstituen linguistik; (ii) adanya perubahan jumlah bunyi dalam satu leksikon (berupa penambahan atau pelesapan bunyi); dan (iii) adanya pergeseran urutan bunyi (misalnya, metatesis atau geminasi).

Dalam makalah ini juga, bidang fonologi segmental men-jadi inti pembahasan yang dipengaruhi oleh pendekatan fonologi generatif. Dari segi pengaidahan, fonologi generatif (di singkat FG) menganut prinsip kehematan, keumuman dan kesederhanaan.

II. Bunyi-bunyi Khas Bahasa Nusantara 2.1 Kontoid

Kontoid adalah satu unit bunyi bahasa yang mendapat hambatan pada alat-alat ucap. Dalam hal ini istilah Kontoid mengacu pada karakteristik fonetik suatu konsonan (Ladefoged, 1993:89). Contoh bunyi Kontoid yang disajikan di bawah ini adalah kontoid yang lazim ditemukan di bahasa-bahasa daerah di Indonesia Timur (a.l: bahasa Sulawesi Selatan, bahasa-bahasa Papua) dan bahasa asing. Namun, kontoid-kontoid ini mungkin tidak lazim pada bahasa-bahasa daerah di Indonesia bagian Barat.

(1) Bilabial-frikatif

[Φ] taΦu pohon (bhs Sarudu, Sulsel, Grimes et al. 1987:99) [β] uβe ‘rotan’ (bhs Balanipa, Sulsel, Grimes et al. 1987:102)

iβe ‘ikan’ (bhs. Mentawai, Sumbar; Lenggang, 1978:8)

(2) Bilabial pranasal

[mp] mpu ‘air’; impa ‘dia duduk’; gamp ‘desa’ (bhs Adzera, Papua,

Holzknect et al. 1973:8)

[mb] bomboɁ ‘nasi’ (bahasa Balanipa, Sulsel, Grimes et al. 1987:106)

(3) Labiodental

[f] ufe ‘air’; [v] [vuſa] ‘bulan’; [ſ] adalah bunyi lateral flap] (Grimes et al. 1987:111)

(25)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

(4) Alveolar-frikatif

[ð] maðiŋiŋ ‘dingin’ (bahasa Pamboang-SulSel, Grimes at al 1987:118)

(5) velar frikatif [Ɣ] dan alveolar flap [ſ] secara simultan

[Ɣ] baƔaſ ‘angin’ (bahasa Topoiyo, Sulsel, Grimes, 1987:115)

(6) alveolar flap

[ſ] tampaſaŋ ‘laut’ (bahasa Makassar, Sulsel, Grimes, 1987:114)

(7) velar frikatif bersuara [Ɣ]

] obaƔa ‘gigi’ (bhs Lemoyang, Sulsel, Grimes 1987:155) baƔi ‘adik’ (bahasa Mentawai, Sumbar; Lenggang, 1978:8)

(8) lateral flap

[L] vuLehuɁ ‘tikus’ (bhs Rampi, Grimes, 1987:123)

(9) labiovelar (fonem)

Bunyi-bunyi pranasal ŋgw - ŋg dan bunyi aspirat kh konsonan

yang dilabialkan kw dalam bahasa Yessan-Mayo Papua New

Guenea (SIL UNHAS, 1988)

ŋgw - ŋg ŋgw an ‘kabut’ ŋgan ‘di samping’

kh -kw ‘khay ‘jauh’

‘kway ‘rotan’

2.2 Vokoid

Vokoid adalah unit bunyi bahasa yang tidak mendapat hambatan pada alat-alat ucap. Contoh vokoid berikut ini menunjukkan Kontras dalam Lingkungan Sama, yakni vokal pendek dan vokal panjang berkontras dalam lingkungan sama yang menimbulkan perbedaan makna. Ini berarti bahwa vokal pendek dan vokal panjang, yang ditemukan dalam khasanah bahasa-bahasa Nusantara, masing-masing merupakan fonem tersendiri.

(26)

4

(1) Vokoid depan-tinggi tak bulat

[i:]-[i] çipoɁ ‘gelang tangan’ (bhs Adzera, Papua, Holzknecht & Phillips 1973:4)

çi:poɁ ‘kumbang enau’ (bhs Adzera, Papua, Holzknecht & Phillips

1973:4)

(2) Vokoid pusat rendah tak bulat

[a]-[a:] ampi ‘banyak’ (bhs Adzera, Papua, Holzknecht & Phillips 1973:5)

a:mpi ‘tamu’ (bhs Adzera, Papua, Holzknecht & Phillips 1973:5)

(3) Voikoid belakang tengah bulat

[o] [o:] fofidan ‘menjadi tua’ (bhs Adzera, Papua, Holzknecht & Phillips 1973:5)

fo:fi ‘suling bambu’ (bhs Adzera, Papua, Holzknecht & Phillips

1973:5)

III. Teori Fonologi Generatif 3.1 Ciri-ciri Pembeda

Secara garis besar ciri-ciri pembeda dikelompokkan menjad 6 kelompok (Chomsky and Halle, 1968; Schane, 1973:24—32; Pastika, 2005: 13--18). Keenam kelompok ciri pembeda ini akan disinggung sepintas saja dalam makalah ini karena kesempatan kita di sini sangat terbatas. Berikut ini akan didaftar keenam kelompok ciri pembeda tersebut.

(1) Ciri-ciiri golongan utama: [silabis]; [sonoran;dan [konsonantal (2) Ciri-ciri cara artikulasi: [malar]; [p.t.s]; [kasar]; [nasal]; dan

[lateral]

(3) Ciri-ciri tempat artikulasi: [anterior] dan [koronal]

(4) Ciri-ciri punggung lidah: [tinggi]; [belakang]; [bulat]; dan rendah

(5) Ciri-ciri tambahan: [tegang]; [suara]; [aspirasi]; dan

[hambat]

(6) Ciri-ciri Prosodi: [tekanan] dan [panjang]

Penggunaan ciri-ciri pembeda itu harus dilengkapi oleh sistem biner (binary system). Sistem biner adalah tanda tambah (+) dan tanda kurang (-) yang digunakan untuk menunjukkan sifat-sifat yang berlawanan. Tabel 4 di bawah ini menunjukkan ciri-ciri yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh suatu segmen bunyi bahasa.

(27)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

3.2 Pengaidahan

Kaidah fonologi menurut teori generatif transformasi harus mempertimbangkan tiga hal pokok: (i) segmen bunyi yang berubah (representasi fonologis); (ii) bagaimana perubahannya (representasi fonetis); dan (iii) dalam kondisi yang bagaimana perubahan itu terjadi. Satu segmen (atau satu kelas segmen) yang berubah dan wujud perubahannya harus ditunjukkan oleh ciri-ciri pembeda secara efektif (Schane, 1973:62). Efektif di sini berarti bahwa ciri pembeda digunakan sedikit mungkin tetapi berdaya guna bagi satu atau satu kelas segmen. Kaidah yang dibuat mestinya juga memenuhi prinsip-prinsip teori ini, yakni: sederhana, hemat dan tuntas/umum.

IV. Proses Fonologis

4.1 Bagaimana Proses Fonologis itu Ditetapkan?

Dalam data bahasa Maori berikut ini harus ditentukan proses fonologi yang paling wajar, yakni, apakah proses fonologi yang terjadi itu berupa pelesapan bunyi atau justru penyisipan..

hopu hopukia hopukanga ‘menangkap’

aru arumia arumanga ‘mengikuti’

tohu tohungia tohunganga ‘menunjuk’

maatu maaturia maaturanga ‘mengetahui’

(Hyman, 1975:92)

Proses pelesapan ditetapkan pada data ini dengan prinsip bahwa bahasa Maori tidak membolehkan adanya konsonan pada posisi akhir dengan kaidah:

[+konsonan] → Ø / _____ #

Pertanyaannya sekarang adalah: mengapa bukan sebaliknya? Artinya, mengapa bukan penyisipan konsonan dilakukan di antara bunyi vokal. Jika alternatif kedua ini dipilih, maka kendala yang akan dihadapi adalah konsonan apa yang harus disisipkan? Dalam teori generatif, prinsip keumuman harus menjadi pertimbangan. Oleh karena itu, penyisipan konsonan di sini tidak dapat diterima karena beragamnya konsonan yang harus disisipkan. Tidak ada alasan mengapa konsonan k, m, ŋ, dan r harus disisipkan di antara bunyi u dan i atau di antara

(28)

6

bunyi a dan a. Jadi, kaidah yang paling sederhana dan umum adalah konsonan apapun akan dilesapkan pada posisi akhir.

Proses pelesapan bunyi dapat saja didahului oleh proses-proses perubahan bunyi yang lain, seperti yang terjadi pada afiksasi yang mengandung bunyi nasal dalam bahasa Indonesia, Dayak Ngaju dan bahasa Bali. Proses afiksasi seperti ini, yang terjadi pada ketiga bahasa tersebut, memperlihatkan bahwa sebelum pelesapan bunyi obstruen terjadi, terlebih dahulu terjadi proses asimilasi, yakni bunyi nasal mengasimilasi ciri-ciri tempat artikulasi dari bunyi obstruen yang ada sesudahnya. Perhatikan contoh-contoh dari ketiga bahasa yang disebutkan tadi.

Bahasa Indonesia (bd. Pastika, 2012: 158—159; bd. Pastika: 2015: 23--24)

Bahasa Dayak Ngaju (Toendan, 1989)

Bahasa Bali (Pastika, 2019)1

məŋ- + pinaŋ → məminaŋ məŋ- + təmu + -i → mənəmui məŋ- + caŋkul → meɲaŋkul məŋ- + kənaŋ → məngənaŋ

maN- + pisi → mamisiɁ ‘mengail’

in- + tata → inataɁ ‘menyiram’

maN- + calap → mancalap ‘mencelupkan’

iŋ- + kapek → iŋapek ‘menempeleng’ ŋ- + pantəg → mantəg ‘memcut’ ŋ- + təbək → nəbək ‘menikam’ ŋ- + cəkuk → ɲəkuk ‘mencekek’ ŋ- + kajaŋ → ŋajaŋ’angkut’

Ketiga data bahasa di atas menunjukkan bahwa proses asimilasi terjadi pada bunyi nasal afiks, yakni nasal ŋ (bahasa Indonesia dan bahasa Bali) dan N (bahasa Dayak Ngaju) menyesuaikan diri dengan konsonan yang ada sesudahnya.

4.2 Proses Fonologis Melampaui Batas Leksikon

Proses fonologis merupakan kajian yang menangani permasalahan perubahan bunyi yang terjadi yang disebabkan tidak hanya oleh lingkungan bunyi dan suku kata yang berada di dalam satu unit morfem, tetapi dapat juga disebabkan oleh lingkungan yang berada di atas tataran morfem. Tataran yang berada di atas unit morfem tersebut meliputi tataran kata (yakni, hubungan antarmorfem yang membentuk sebuah kata), frase dan klausa. Proses-proses fonologis yang disebabkan oleh semua tataran tersebut mencakup tidak hanya proses fonologi segmental tetapi juga proses suprasegmental. Jumlah proses fonologis pada

(29)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

tataran morfem, secara frekuentif, mencapai tingkat kekerapan yang paling tinggi dibandingkan dengan tataran-tataran kata, frase dan klausa.

4.2.1 Proses Fonologis pada Tataran Morfem

Berikut ini disajikan data bahasa Lardil sebagai salah satu bahasa Aborigin Australia yang digunakan oleh penutur di Pulau Mornington, Australia. (Data dari Halle dalam Kentowicz and Kisseberth, 1979:112).

yalul yalulu-n yalulu-r ‘api’

mayar mayara-n mayarara-r ‘pelangi’ wiwal wiwala-n wiwala-r ‘mangga semak’

karikar karikari-n karikari-wur ‘minyak ikan’

yiliyil yiliyili-n yiliyili-wur ‘tiram’

Daftar kata yang paling kiri masing-masing terdiri dari satu morfem, sementara daftar kata yang berada di tengah dan paling kanan masing-masing terdiri atas dua morfem, yakni morfem dasar dan sufiks (-n, -r, dan -wur). Proses fonologis yang terjadi adalah bunyi vokal akan dilesapkan apabila berada di posisi akhir kata (satu morfem). Sebaliknya, bunyi vokal tidak dilesapkan apabila ditutup oleh konsonan. Proses fonologis yang terjadi sebaliknya, yakni sebuah bunyi vokal disisipkan sebelum sufiks konsonan, tidak dapat diterima. Jika penyisipan ini diterima, maka akan terjadi ketidakwajaran karena bunyi vokal yang disisipkan tidak bersistem. Artinya, bunyi-bunyi vokal yang berbeda, yakni, u, a dan i, tidak mungkin disipkan pada lingkungan yang sama.

4.2.2 Proses Fonologis pada Tataran Kata

Proses fonologi dapat terjadi akibat pertemuan antarmorfem yang membentuk kata. Proses ini sangat produktif terjadi pada bahasa-bahasa Nusantara, seperti bahasa-bahasa Sulawesi yang ditampilkan berikut ini.

(i) Keselarasan Vokal pada Afiks

Data diambil dari bahasa-bahasa Tomini-Tolitoli (Himmelmann, 2001: 77)

(30)

8 me-itoŋ ‘hitam’ me-meas ‘putih’ mo-tuug ‘kering’ mo-jolo ‘dingin’ ma-basag ‘besar’

Pada data di atas, afiks yang menyatakan bentuk statif adalah

mV-. Vokal pada prefiks ini kemudian mengalami keselarasan

bergantung pada vokal yang ada pada morfem dasarnya. (ii) Asimilasi Nasal N

Contoh asimilasi nasal berikut ini diambilkan dari bahasa Tomini, bahasa Tahe, dan bahasa Tajio, yang dilaporkan oleh Himmelmann (2001: 78).

Bahasa Tomini

moN-pangkuŋ → momangkuŋ ‘memukul dengan keras’

moN-sunsut → moɲusut ‘berasap’

Bahasa Tahe: moN -vava → mombava ‘membawa’

Bahasa Tajio: moN- feen → mombeen ‘give’

Pada keempat data tersebut terjadi proses perubahan bunyi secara berurutan. Proses pertama adalah N mengasimilasi tempat artikulasi konsonan awal dari morfem dasar; kemudian, konsonan tersebut dilesapkan apabila tergolong konsonan hambat tidak bersuara. Jika konsonan awal tersebut frikatif tidak bersuara, maka konsonan tersebut tidak dilesapkan tetapi menjadi konsonan bersuara (artinya, terjadi asimilasi penyuaraan). (iii) Penyisipan o

Berikut ini disajikan data dari bahasa Tomini dan Dampalas dari Himmelmann (2001: 78-79)

Bahasa Tomini:

laboŋ - ɲe → laboŋoɲe ‘rumahnya’

na-tasa-me → natasa’ome ‘sudah matang/masak’

Bahasa Dampalas:

tutumba-ɲa → tutumba-a-ɲa ‘tombaknya’

mo-’uŋkeŋ-mo mouŋkeŋemo ‘sudah lelah’

Data bahasa Tomini di atas menunjukkan bahwa o disisipkan di antara konsonan yang berada pada perbatasan morfem;

(31)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

sementara dalam bahasa Dampalas, bunyi vokal disisipkan bergantung pada ciri bunyi vokal pada suku akhir morfem awal (yakni, a disipkan di antara perbatasan morfem karena vokal pada suku terakhir dari morfem dasar berisi a, dan e disipkan di antara perbatasan karena morfem dasar berisi e pada suku terkahir).

(iv) Penambahan Bunyi Konsonan Akhir pada Morfem Dasar Dua data bahasa berikut ini: bahasa Patapa dan bahasa Tanam-pedagi Taje dikutip dari Himmelmann (2001: 79).

Bahasa Patapa

petaa-+-i petaasi ‘menunggu’

mo-naβu-+-a’o monaβusa’o ‘jatuh’

Bahasa Tanampedagi Taje

vayo + -ɲa → vayoŋ/vayoŋɲa ‘bayangan’

sunda + - ɲa → sundaɲa/sundaŋɲa ‘emas kawin’

maŋinjoyo + -mo → maŋinjoyomo/maŋinjoyoŋmo ‘bersembunyi

Data pada kedua bahasa tersebut menunjukkan bahwa tejadi proses penmambahan konsosnan nasal velar (secara tidak wajib) apabila sebuah kata dibubuhi sufiks yang bermula dengan sebuah konsonan.

(v) Pengedepanan Nasal

Pengedepanan nasal diartikan sebagai perubahan bunyi nasal belakang (biasanya bunyi nasal velar) menjadi bunyi nasal yang dihasilkan oleh alat-alat ucap yang ada di rongga mulut bagian depan, yang dalam teori generatif dikategorikan sebagai bunyi [+ anterior]. Contohnya, bahasa-bahasa Tomini dari Himmelmann (2001: 79).

in-tiaŋ-aŋ → tinianaŋ ‘ditambahkan’

ntoeŋ-aŋ → ntoenaŋ ‘menggantungkan’

sumbaŋ-a’ → sumbana’ ‘mendorong’

mo-gansiŋ-a’ → mogansina’ ‘merusak’ moN-linsoŋ-a’ → molinsona’ ‘megumpulkan’ gauŋ-i-me → gaunime ‘menggali’

Data di atas menunjukkan adanya pengedepanan nasal, yakni konsonan nasal velar/nasal belakang ŋ menjadi nasal

(32)

10

alveolar [+anterior] apabila berada sebelum sufiks yang bermula dengan vokal.

(vi) Palatalisasi

Proses perubahan biunyi ini biasanya terjadi pada segmen konsonan non-palatal yang yang dipalatalkan, yakni, sebuah bunyi diucapkan dengan cara mendekatkan tengah lidah pada palatum. Terjadinya proses ini disebabkan oleh adanya bunyi palatal (baik konsonan maupun vokal) di sekitar bunyi yang mengalami perubahan tadi. Berikut ini akan disajikan data palatalisasi dari bahasa Karok (bahasa asing) yang diambil dari Bright (dalam Kentowicz and Kisseberth, 1979:342).

3 Tunggal 1 Tunggal Glos

Ɂuskak Nishkak ‘melompat’ Ɂusuprih Nnishuprih ‘mengukur’ Ɂusit:va nishit:va ‘mencuri’

Masing-masing kata tersebut di atas terdiri atas dua morfem, yakni, morfem dasar dan morfem terikat yang berupa prefiks. Prefiks Ɂu - ‘orang ketiga tunggal’; prefiks ni - ‘orang

pertama tunggal;’ prefiks mu ‘dia (Posesor)’; dan nani ‘saya (Posesor).’ Proses fonologis terjadi pada bunyi s. Bunyi alveolar ini mengalami palatalisasi, yakni sh setelah berada sesuadh morfem yang diakhiri oleh bunyi i. Bunyi vokal ini dari segi cara kerja alat artikulasi merupakan sebuah bunyi yang dihasilkan dengan meninggikan daun lidah sampai mendekati palatum. Peninggian daun lidah ini berpengaruh pada konsonan alveolar tersebut sehingga menjadi alveo-palatal sh. Perubahan s menjadi

sh justru tidak terjadi apabila bunyi i berada sesudah bunyi s

atau bunyi s berada sesuah vokal lain, misalnya, data Ɂusit:va dan

musipnu:kith. Pada data ini, bunyi u yang berada sebelum bunyi s dan begitu juga bunyi i yang berada sesudah bunyi s tidak

mengubahnya menjadi bunyi sh.

4.2.3 Proses Fonologis pada Tataran Frase

Data berikut ini adalah frase bahasa Inggris dari Hawkins (1984:185)

(1) [fEstaIm] first time [fEstEvɔl] first of all

(33)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra (2) [im fækt] in fact

[iN keis] in case [tseiN gæN] chain gang

Kedua kelompok data bahasa Inggris tersebut mem-perlihatkan bahwa perubahan bunyi terjadi pada perbatasan antarkata. Proses pelesapan bunyi terjadi pada data (1), yakni, sebuah bunyi konsonan t dari sebuah gugus konsonan tt (pada kata [fEs taIm]) akan dilesapkan apabila posisi konsonan itu berada di akhir kata yang segera diikuti oleh kata lain yang diawali bunyi konsonan. Konsonan tersebut tidak akan dilesapkan apabila kata yang mengikutinya bermula dengan bunyi vokal (pada kata [fEst Ev ɔl]). Proses fonologis pada data (1) berbeda dengan proses fonologis pada data (2). Bunyi-bunyi konsonan yang mengakhiri kata pertama menyesuaikan diri dengan ciri-ciri bunyi konsonan yang mengawali kata berikutnya. Proses penyesuaian bunyi konsonan semacam ini disebut dengan proses asimilasi. Namun, menurut Hawkins (1984:185), dalam data (2) bahasa Inggris ini proses tersebut berlaku secara tidak wajib. Artinya, asimilasi tersebut dapat saja tidak terjadi. Semua ini bergantung pada dialek penuturnya.

4.2.4 Proses Fonologis pada Tataran Klausa

Proses perubahan bunyi yang terjadi pada bahasa-bahasa di NTT berikut ini bukan hanya ditentukan oleh pengaruh bunyi, tetapi juga dipicu oleh relasi gramatikal dari morfem yang membawa bunyi tersebut. Dalam beberapa contoh berikut, morfem itu mempunyai relasi konkordan yaitu sebuah klitik yang bersesuaian dengan Subjek (bahasa Kolana dan bahasa Dawan) atau Objek (bahasa Mauta).

1). Kesearasan Vokal pada tingkat Kata pada bahasa Kolana di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) (dalam Yuda, 2000: 63-65, 82)

(1) Takau ba gu-mur

pencuri DEF 3Tg-lari Pencuri itu lari

(2) Neta seng ga-wanir

1TA uang 3TG-beri

(34)

12

(3) Nekaku ge-teko adik 3TG-menangis

Adik menangis

(4) Neta Devi go-poing

1TA NAMA 3TG-pukul

Saya memukul Dewi

2) Pelesapan satu vokal apabila terjadi gugus vokal

Contoh: bahasa Dawan di Pulau Timor (dalam Reteg, 2002:99, 103, 105-106)

Bagaimana kita bisa memastikan bahwa proses fonologis yang terjadi adalah pelesapan vokal, bukan sebaliknya, yakni penambahan vokal. Dalam logika fonetik, sangat sulit bagi penutur bahasa ini untuk mengucapkan rangkaian konsonan yang tidak homorgan seperti n-p dan n-h, sehingga yang paling mungkin untuk dipilih adalah pelesapan bunyi vokal apabila vokal itu berangkai.

(1) Tata na-poli upon

kakak 3Tg-lempar mangga Kakak melempar mangga

(2) Ina na-seu upon

ibu 3Tg-memetik mangga

Ibu memetik mangga

(3) Johan n-aha maka

Johan 3Tg-makan nasi Johan makan nasi

(4) Tata n-oklet be noe

kakak 3Tg-lompat di kali Kakak melompat-lompat di kali

3) Geminanisasi/Perangkapan Bunyi

Bahasa Mauta di Pulau Alor NTT (Oka Antara, 200:46-49, 61-62, 65) Konsonan yang sama disisipkan sebelum sebuah konsonan, tetapi konsonan tidak muncul apabila berada sebelum vokal.

(1) Ga- ng nak-kang

3TG INTI 1TG-pukul

Dia memukul saya

(2) yaya ga- ng konda oddang ma nan-ni

ibu 3TG INTI baju beli beri 1TG-kasi

(35)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra (3) gat-tang

3TG-tangan tangan dia

(4) yabbe sing wake sing ga-assi

anjing DEF anak DEF 3TG-gigit Anjing itu menggigit anak itu

V. Kaidah-kaidah Berurutan

Penetapan kaidah-kaidah berurutan merupakan satu ke-lebihan lain dari teori fonologi generatif. Teori ini berpandangan bahwa ketidaktampakan suatu ruas bunyi dalam wujud fonetik bukan berarti bahwa ruas bunyi itu tidak ada dalam representasi fonologis. Ruas bunyi yang tidak kasat mata itu harus mampu ditelusuri pada tingkat yang abstrak. Dalam teori generatif transformasi disebutkan bahwa segmen bunyi yang absrak itu sebagai Bentuk Asal (the underlying form) sementara bentuk yang kasat mata itu sebagai Bentuk Turunan (the derived form). Beberapa proses perubahan bunyi dapat terjadi dalam suatu derivasi dari Bentuk Asal menjadi Bentuk Turunan. Untuk menjelaskan hal ini dapat dilihat kembali contoh data yang dikaidahkan pada KF1 dan KF2 di atas. Contoh lain yang dapat ditampilkan adalah bahasa Dayak Ngaju (Toendan, 1989: 136-138):

ihup ‘minum’ maN-ihup → mihup ‘meminum’ entay ‘tunggu’ maN-entay → mentay ‘menunggu’ uluh ‘ulur’ maN-uluh → muluh ‘mengulur’ opos ‘tiup’ maN-opos → mopos ‘meniup’ andup ‘buru’ maN-andup → mandup ‘memburu’

Jika kita amati perselang-selingan dari data bahasa Dayak Ngaju di atas, terlihat bahwa terjadi proses fonologis pada prefiks berupa pelesapan bunyi, yakni (i) pelesapan bunyi nasal N kemudian disusul oleh pelesapan bunyi vokal a. Kedua proses ini terjadi berurutan, artinya, pelesapan vokal a tidak akan terjadi tanpa didahului pelesapan nasal N. Proses urutannya adalah sebagai berikut.

BA #maN- + ihup#

KF1 Pelesapan /n/ #ma Ø + ihup#

KF 2 Pelesapan /a/ #m ØØ + ihup#

(36)

14

VI. Simpulan

Pengaidahan terhadap proses fonologis lebih akurat dilakukan dengan menerapkan teori fonologi generatif karena teori ini tidak hanya mendeskripsikan elemen-elenem fonetik recara lebih renik (melalui ciri-ciri pembedanya) tetapi juga kemampuan teori ini membuat kaidah lebih hemat, umum dan sederhana. Kaidah fonologi generatif juga dirancang tidak hanya untuk menjelaskan proses-proses fonologis yang ‘kasat mata’ dalam representasi fonetisnya tetapi juga ditujukan pada proses-proses fonolgis yang terjadi pada tingkat yang lebih abstrak pada ranah mental yang dalam istilah fonologisnya disebut dengan ‘Bentuk Asal’ (the underlying form). Penerapan kaidah yang abstrak semacam ini memungkinkan seorang peneliti dapat menelusuri terjadinya sejumlah kaidah sebelum bahasa itu diucapkan dalam realisasi fonetis. Realisasi fonetis yang diucapkan tadi dapat saja didahului oleh sejumlah kaidah fonologis pada tingkat mental baik kiadah berurutan maupun kaidah tidak berurutan.

Proses fonologis, dalam jangkauan fonologi generatif, tidak hanya mengkhususkan diri pada perubahan bunyi yang terjadi pada level leksikon (misalnya, pada level morfem leksikal) saja tetapi juga mencakup segala bentuk perubahan bunyi yang terjadi pada tingkat kata, frase dan klausa. Jangkauan yang luas seperti ini menjadi penting mengingat teori ini beranggapan bahwa suatu perubahan bunyi dapat terjadi tidak hanya disebabkan oleh lingkungan bunyi yang dekat (dalam satu morfem), tetapi juga dapat terjadi dibebakan oleh lingkungan bunyi yang jauh dan juga kesenyapan dalam suatu perbatasan, baik perbatasan antar morfem, antar kata maupun kesenyapan yang biasanya terjadi pada posisi akhir (kata, frase, dan klausa).

DAFTAR PUSTAKA

Chomsky, Noam and Morris Halle. 1968. The Sound Pattern of English. New York: Harper & Ror Publisher

Gordon, Matthew K. 2016. Phonological Typology. Oxford: Oxford Univefrsity Press.

(37)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra South Sulawesi. Pacific Linguistic. Series D - No. 78. Canberra:

Department of Linguistics, RSPAS. The Australian National University. (Reprinted 1990).

Gussmann, Edmund. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Canbridge: Cambridge University Press.

Hawkins, Peter. 1984. Introducing Phonology. London: Hutchinson. Himmelmann, Nikolaus P. 2001. Sourcebook on Tomini-Tolitoli

Languages: General Information and Word Lists. Canberra: Pacific

Linguistics, RSPAS The Australian National University. Holzknecht, K.G. & D.J Phillips. 1973. “Papers in New Guenea

Linguistics”. In Pacific Linguistics, Series A - No.38. Canberra: Department of Linguistics Research School of Pacific Studies, The Australian National University.

Kenstowicz¸ Michael and Charles Kisseberth. 1979. Generative

Phonology: description and theory. New York: Academic Press

Ladefoged, Peter. 1993. A Course In Phonetics. Third Edition. Fort Worth et al.: Harcourt Brace College Publishers.

Lenggang, Zinuddin H.R. 1978. Bahasa Mentawai. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Oka Antara, I Made. 2000. “Keintian Argumen dan Keselarasan Pemarkahan Bahasa Mauta”. Tesis Magister. Denpasar: Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Pastika, I Wayan. 1992. “Fonologi Generatif Suatu Tinjauan Teoretis”. Dalam Prosoding MLI. Jakarta: Unika Atmajaya bekerjasama dengan MLI.

Pastika, I Wayan. 2005. Fonologi Generatif Bahasa Bali: Sebuah pendekatan

generatif transformasi. Denpasar: Pustaka Larasan.

Pastika, I Wayan. 2012. “Kelemahan Fonologis Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”. Dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-30, No. 2. Terakreditasi SK Dirjen Dikti No. 64a/ DIKTI/Kep/2010. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia. Pastika, I Wayan. 2015. “Penetapan bentuk Fonologis dari Bunyi

yang Beralternasi: Satu Aspek Terpenting dalam Sistem Tata Bahasa”. Dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-33, No. 1. Terakreditasi SK Dirjen Dikti No. 040/P/2010. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

(38)

16

to Writing. Renewed by Kenneth L Pike 1975, 14th printing

1978. Michigan: The University of Michigan Press.

Reteg, I Nyoman. 2002. “Afiksasi Bahasa Dawan: Sebuah Kajian Morfologi Generatif”. Tesis Magister. Denpasar: Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Schane, S.A. 1973. Generative Phonology. New Jersey: Prentice Hall. Summer Institute of Linguistics (SIL). 1988. “Data Bahasa

Yessan-Mayo di Papua New Guenea”. (Bahan Kuliah dari SIL). Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.

Toendan, Wido. 1989. “Fonologi Generatif Bahasa Dayak Ngaju”. Tesis Magister, Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin. Yuda, I Ketut. 2000.”Fungsi Gramatikal Argumen Inti dalam Sistem

Terpilah Bahasa Kolana”. Tesis Magister Linguistik. Program Pascasarjana Universitas Udayana

Daftar Singkatan dan Arti Lambang

- = nilai kurang/nilai ciri yang tidak dikandung # = perbatasan kata

+ = nilai tambah/nilai ciri yang dikandung atau dapat juga berarti perbatasan morfem

Ant = anterior BA = Bentuk Asal Bel = belakang BT = Bentuk Turunan Bul = bulat KF = Kaidah fonologis Kon = konsonantal Kor = koronal

Mal = malar (disebut juga continuant) Nas = nasal

Ø = Kosong

PNG = Papua New Guenea Ren = rendah

Sil = silabik Son = sonoran Tek = tekanan (stress) Ting = tinggi

(Footnotes)

(39)

KARAKTERISTIK RUAS ASAL

BAHASA SUMBA DALAM CIRI

PEMBEDA

1

Anak Agung Putu Putra

Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis ruas asal, distribusi ruas asal, dan karakteristik ruas asal bahasa Sumba dalam ciri pembeda dengan menggunakan teori fonologi generatif. Hasil pembahasan dengan menerapkan prinsip penemuan ruas asal ditemukan 5 ruas asal vokal, yakni /i, a, u, e, o/ dari 10 realisasi fonetis ruas vokoid, yakni [i, I, a, , u, U, o, , e, E] dan dua 29 ruas asal konsonan, yakni /p, t, c, k, , b, d, j, g,, , , , mb, nd, ñj, ŋg, s, h, z, F,

m, n, ñ, ŋ, l, r, w, y/, serta sebuah ruas asal suprasegmental, yakni berupa ciri tekanan / ` / yang bersifat distingtif pada ruas asal vokal, yakni ditulis /ì, à, ù, è, ò/. Ruas-ruas asal vokal dan konsonan itu memiliki distribusi yang lengkap; distribusi awal dan tengah; serta memiliki distribusi tengah saja. Ciri pembeda yang digunakan untuk menerangjelaskan karakterisasi ruas asal bahasa Sumba meliputi 1) ciri golongan utama, 2) ciri tempat artikulasi, 3) ciri cara artikulasi, 4) ciri batang lidah, 5) ciri tambahan, dan 6) ciri prosodi.

Kata kunci: ruas asal, distingtif, ciri pembeda I. Pendahuluan

H

al yang melatari penulisan artikel yang berjudul “Karakteristik Ruas Asal Bahasa Sumba dalam Ciri Pembeda” adalah adanya hasil temuan yang berbeda-beda tentang jumlah ruas asal (yang disebut fonem dalam penelitian-penelitian sebelumnya). Hal itu

1 Tulisan ini merupakan bagian kecil dari disertasi penulis yang berjudul “Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi”

(40)

18

tercermin pada hasil-hasil penelitian bahasa Sumba sebagai objek penelitian linguistik sebagai berikut ini. Kapita menulis Kamus

Sumba/Kambera-Indonesia (1982) dan Tata Bahasa Sumba Timur dalam Dialek Kambera (1983). Kedua buku tersebut merupakan

hasil terbitan Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan Daerah Sumba. Karya Kapita itu merupakan sumbangan yang sangat besar artinya di antara kelangkaan kajian tentang BS. Pada awal karyanya disebutkan bahwa bunyi [mb, nd, nj, ŋg] merupakan satu kesatuan bunyi yang tidak boleh dipisahkan. Kamus Sumba/

Kambera-Indonesia (1982) merupakan naskah yang sejak sebelum

Perang Dunia II telah dikerjakan, tetapi bahan-bahan itu disusun kembali pada tahun 1957 hingga tahun 1973 dan diterbitkan tahun 1981. Tulisan lainnya berjudul Verngelijkende Wordenlist

der Verschillende Dialecten op Het Eiland Soembanesch Spreekwijzen

yang ditulis oleh Wielenga (1917) dan Kamus Kambera-Belanda dengan judul tulisan Kamberaas (Oost Soemba)-Nederlands

Woordenboeks ditulis oleh Onvlee (1921).

Kemudian, mulai tahun 1984 bermunculan hasil-hasil penelitian berupa skripsi sarjana (Strata 1) yang ditulis oleh mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana sebagai tugas akhir penyelesaian studinya, antara lain hasil penelitian dengan judul “Struktur Bahasa Sumba Dialek Kambera di Pulau Sumba” oleh Simpen (1984); Penelitiannya bersifat pendeskripsian bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis yang bersifat umum dengan menggunakan teori struktural. Hasil temuan bidang fonologi meliputi inventarisasi fonem vokal dan konsonan, distribusi fonem, dan klasifikasi fonem BS. Ditemukan lima fonem vokal dan tujuh belas fonem konsonan.

“Fonologi Bahasa Sumba Dialek Kambera di Sumba Timur: Analisis Generatif Transformasi” ditulis oleh Sari (1998). Hasil temuannya berupa lima ruas vokal asal dan dua puluh dua ruas konsonan asal dari sembilan ruas vokal dan dua puluh dua ruas konsonan. Ruas vokal asal memiliki distribusi yang lengkap, yakni terdapat pada posisi awal, tengah, dan akhir, sedangkan ruas konsonan asal hanya berdistribusi awal dan tengah dan ruas konsonan asal /?/ hanya dapat menempati posisi tengah. Ruas konsonan asal BS dialek Kambera tidak terdapat pada posisi akhir morfem karena morfem-morfemnya selalu diakhiri oleh

(41)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

suku kata terbuka (vokalis).

Penelitian “Representasi Fonologi dan Fonetis Bahasa Sumba Dialek Kambera: Kajian Fonologi Generatif” dilakukan oleh Pada (2001). Penulis menyebutkan bahwa objek penelitiannya dengan sebutan bahasa Sumba dialek Kambera (BSDK). Hasil temuannya menunjukkan bahwa BSDK memiliki lima fonem vokal dan sembilan belas fonem konsonan, yakni [i, u, e, o, a, p, t, k, b, d, m, n, ŋ, ñ, mb, nd, nj, ŋg, j, l, h, r, w, y].

Jika dicermati, ketiga hasil penelitian di atas, khususnya tentang temuan fonem vokal dan konsonan, menunjukkan inventarisasi yang berbeda-beda. Simpen (1984) menemukan 22 fonem (5 fonem vokal dan 17 fonem konsonan); Sari (1998) menemukan 27 fonem (5 fonem vokal dan 22 fonem konsonan); dan Pada (2001) menemukan 24 fonem (5 fonem vokal dan 19 fonem konsonan). Dengan temuan yang berbeda-beda itu diperlukan penelaahan yang lebih cermat sehingga diperoleh hasil yang akurat tentang “Karakteristik Ruas Asal Bahasa Sumba dalam Ciri Pembeda” melalui penelitian yang lebih mendalam dan tuntas.

Berdasarkan latar belakang yang dirumuskan di atas jelaslah diperlukan penelaah lebih lanjut tentang identifikasi ruas asal, baik ruas asal segmental maupun suprasegmental bahasa Sumba. Pengidentifikasian tersebut dirumuskan dalam permasalahan: (1) ruas asal apa saja yang ditemukan dalam bahasa Sumba?; (2) bagaimana distribusi ruas asal bahasa Sumba?; dan (3) bagaimanakah karakteristik ruas asal bahasa Sumba dalam ciri pembeda?

Dalam penelitian ini digunakan teori generatif. Teori generatif merupakan gagasan teori linguistik generatif, yakni teori Tata Bahasa Generatif Transformasional (TGT), khususnya sesudah Teori Standar (Standard Theory) yang belakangan ini disebut Teori Standar yang Diperluas (Extended Standard Theory) disingkat dengan TSD. Bagian teori generatif yang diterapkan dalam penelitian berkaitan dengan topik yang dibahas yang meliputi penemuan ruas asal (bentuk asal dan turunan) dalam ciri pembeda.

Pemakaian ruas asal itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan: (a) jika suatu morfem yang bervariasi digambarkan

(42)

20

dengan suatu bentuk asal, seorang peneliti telah memberikan suatu bentuk khas kepada satuan ruas yang khas pula dan (b) ruas turunanlah yang langsung mengemukakan beberapa perwujudan morfem yang fonetis (Schane, 1973:74-75).

Ciri pembeda adalah unsur-unsur terkecil fonetik, leksikal, dan suatu transkripsi fonologis yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian (band. Chomsky, 1968:64). Misalnya, ruas [a] ditandai dengan seperangkat ciri pembeda yang kompleks, yaitu [+ silabis, - konsonan, + rendah, + belakang, dan - bulat]. Dalam fonologi generatif fonem bukan merupakan satuan terkecil. Satuan terkecil adalah ciri pembeda.

II. Pembahasan

Dalam proses penghasilan bunyi bahasa terdapat tiga hal yang sangat berperan. Ketiga hal itu adalah arus udara, alat ucap yang bergerak (artikulator), dan titik artikulasi. Bunyi-bunyi itu berlangsung dalam kontinuum sebagai suatu deretan kesatuan

diskret (Parera, 1979:11; Schane, 1992:1).

Satuan bahasa yang diabstraksikan dari suatu kontinum wicara (satuan bunyi) itulah yang disebut segmen (Kridalaksana, 1993:193) sehingga bunyi-bunyi bahasa semacam itu disebut ruas segmental yang meliputi ruas vokoid dan ruas kontoid. Di samping terdapat bunyi segmental, ditemukan pula ruas suprasegmental yang berupa tekanan yang dapat membedakan makna (distingtif) yang disimbolkan dengan [ ` ] di atas bunyi vokal yang mendapat tekanan.

Ruas vokoid dihasilkan ketika arus udara tidak mengalami hambatan di dalam saluran suara, khususnya di dalam rongga mulut (Lapoliwa, 1988:30). Klasifikasi ruas vokoid didasarkan atas posisi artikulator terhadap titik artikulasi yang meliputi maju mundurnya lidah, membulattidaknya bibir, menegangkendurnya otot, dan naik turunnya lidah. Berdasarkan maju mundurnya lidah dihasilkan ruas vokoid depan, pusat, dan ruas vokoid belakang; membulattidaknya bibir menghasilkan ruas vokoid takbulat dan ruas vokoid bulat; menegangkendurnya otot menghasilkan ruas vokoid tegang dan ruas vokoid kendur; dan berdasarkan naik turunnya lidah dihasilkan ruas vokoid tinggi, tengah, dan ruas vokoid rendah. Dalam penelitian yang telah

(43)

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

dilakukan ditemukan ruas vokoid sebagai ruas turunan, yakni [i, I, a, , u, U, o, , e, E]. Perhatikan contoh data berikut.

piya.pk;piya.pa.ku : 15,17,22--26;piya.pŋ; piya.pa.ŋu :

16,19--21,27--30`alat dari kayu untuk menggulung benang yang kering` (337) ka.pi.lŋ; ka.pi.la.ŋu : 10,14—30 `bekas luka` (484)

ka.la.dIp; ka.la.di.pa : 13; ka.ni.nIk; ka.ni.ni.ku : 19—22,26,27 `lalat (551)

ma.ni.pIh; ma.ni.pi.ho : 1,2; ma.ni.pIh; ma.ni.pi.hu : 10,22,26; ma.ni. ph; ma.ni.pa.hu: 14,16—30; ma.ni.pIs; ma.ni.pi.sa : 13 `tipis` (671) ko.rUŋ; ko.ru.ŋu : 10,14,15,16,18; ku.rUŋ; ku.ru.ŋu : 17,19—30 `bilik

`(333)

ba.kUl; ba.ku.lu : 10,14—26,28,29; bo.kl; bo.ko.lo : 1,2; [ba.kl; ba.ka. lu]: 27,30 `besar` (661)

ma.lUŋ; ma.lU.ŋu : 10,14,15,16,27,30; ma.lIŋ; ma.li.ŋu : 17,18—26,28,29 `sore` (273)

ma.Fe.ŋgEl; ma.Fe.ŋge.lo : 1,2,3; ma.Fe.ŋge.la : 3; ma.we.ŋ gl; ma.we. ŋgl `sejuk` (719)

la.ma.ndEk; la.ma.nde.ka : 4—8; la.ma.ndIk; la.ma.ndi.ka : 3,13 `lintah`

(547)

ŋgo.lr; ŋgo.lo.ro : 1,2; ŋge.lr; ŋge.la.ra: 4—8; liya.rŋ; liya.ra.ŋu : 23—

25,27—30 `luas` (667)

Kesepuluh realisasi fonetis ruas vokoid sebagai ruas turunan, yakni [i, I, a,  , u, U, o, , e, E] dapat digambarkan dalam Tabel 1, berikut ini.

Tabel 1: Ruas Segmental Vokoid BS

Maju Mundurnya Lidah Depan Belakang Membulattidaknya Bibir Takbulat Takbulat Bulat Menegangkendurnya Otot

Naik Turunnya Lidah

Tinggi Tegang [ i ] [ u ] Kendur [ I ] [ U ] Tengah Tegang [ e ] [ o ] Kendur [ E ] [  ] Rendah Tegang [ a ] Kendur [ ]

Gambar

Tabel 1: Ruas Segmental Vokoid BS Maju Mundurnya Lidah Depan Belakang Membulattidaknya Bibir Takbulat Takbulat Bulat Menegangkendurnya Otot
Tabel 2: Ruas Segmental Kontoid BS Tempat Artikulasi
Tabel 3. Ruas Asal BS dalam Ciri Pembeda
Tabel 4. Ruas Asal (nonredundan) BS dalam Ciri Pembeda
+7

Referensi

Dokumen terkait

(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang bermaksud pindah dengan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39

Sedangkan untuk perbedaannya adalah tempat dilakukannya penelitian, selain itu untuk penelitian ini mengkaji seluruh proses yang terjadi dalam program intensifikasi

Benda uji kubus mortar yang diuji pada umur 14 hari, 2 hari setelah. dibuat dilakukan pembongkaran bekisting lalu direndam selama

Kadar kolesterol total seluruh tikus yang diukur sebelum diberikan PTU memiliki rerata 106,67 mg/dL, kadar kolesterol total seluruh tikus yang diukur pada hari ke 15 setelah

Hikmah yang dapat diambil oleh orang tua tunggal akan memberikan makna dalam kehidupan seorang ibu, mereka akan antusias menyongsong masa depan karena perubahan-

Pada tahap refleksi ini, peneliti menganalisis hasil tes dan observasi siklus I, dan juga masih terdapat beberapa kelemahan/ kekurangan yaitu antusiasme siswa, dan

berbeda-beda pada berbagai tipe reseptor dopamin di otak (terutama mengaktivasi reseptor dopamin D 2 ), sedangkan dopamin yang terbentuk dari levodopa dapat mengaktivasi semua

1) Consider each activity and the organition itself from the customer’sperspective. Suatu sistem pengukuran kinerja harus menjadikan perspektif pelanggan sebagai indikator