• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada Bab ini membahas mengenai dasar-dasar teori yang digunakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada Bab ini membahas mengenai dasar-dasar teori yang digunakan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada Bab ini membahas mengenai dasar-dasar teori yang digunakan sebagai acuan penelitian. Bab ini menjelaskan tentang novel sebagai cerminan realitas sosial, hakikat gender dan bentuk ketidakadilan gender,

2.1 Novel sebagai Cerminan Realitas Sosial

Menurut Sudjiman (1998) novel dijelaskan sebagai prosa rekaan yang panjang serta menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan rangkaian peristiwa dan latar belakang yang tersusun. Sedangkan Wellek dan Warren mengatakan bahwa novel merupakan gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel tersebut ditulis. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang juga disebut sebagai fiksi. Novel dianggap bersinonim dengan fiksi dengan demikian pengertian fiksi juga berlaku untuk novel (Nurgiantoro, 2013: 11).

Dengan demikian pengertian novel oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya sastra yang bersifat fiksi yang didalamnya menjabarkan rekaan pengalaman penulis. Novel memiliki unsur-unsur pembangun yang kompleks dan terperinci. Novel memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Nurgiantoro (2013; 14-17) menjelaskan unsur-unsur intrinsik pembangun novel terdiri dari plot, tema, tokoh dan penokohan, latar atau setting, dan sudut pandang. Plot merupakan cerita yang berisikan urutan kejadian, tapi setiap kejadian tersebut hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa satu menyebabkan

(2)

9 peristiwa yang lainnya (Stanton, dalam Nurgiyantoro, 2013). Tema merupakan gagasan atau makna dasar umum yang terkandung dalam sebuah cerita yang bersifat abstrak dan dimunculkan secara berulang-ulang damal motif-motif dan dilakukan secara implisit. Tokoh merujuk pada orang atau pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah karakterisasi atau menunjuk pada watak-watak yang dilekatkan pada tokoh-tokoh tertentu dalam sebuah cerita. Latar atau setting adalah landas tumpu menunjuk pada pengertian tempat, relasi waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya rangkaian peristiwa yang diceritakan. Ketiga unsur utama latar yakni, tempat, waktu dan kondisi sosial. Latar tempat menunjuk pada tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel, latar tempat dapat berpindah- pindah sesuai dengan perkembangan plot, latar waktu menunjuk pada waktu penceritaan, waktu ditulisnya cerita, dan urutan waktu dalam cerita dan latar sosial merujuk pada keadaan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya tersebut. Yang terakhir sudut pandang atau point of view mengacu pada bagaimana cara sebuah cerita dikisahkan, secara garis besar dibagi menjadi dua yakni persona pertama atau “aku” dan persona ketiga “dia”.

Unsur ekstrinsik oleh Aminuddin (2004:85) dijelaskan “sebagai unsur yang berada di luar cerita atau karya sastra tetapi ikut menentukan bentuk dan isi cerita.”

Pernyataaan tersebut didukung oleh Wellek dan Warren (2013) yang menyatakan bahwa ada faktor ekstrinsik yang berhubungan dengan karya sastra (novel) yakni, 1) biografi pengarang, 2) psikologis pengarang ketika membuat karyanya, 3) kondisi sosial dan budaya masyarakat yang diasumsikan sebagai cerminan, rekaan,

(3)

10 potret kehidupan masyarakat yang berupa fenomena sosial, permasalahan sosial, pendidikan, profesi dan lain sebagainya.

Fenomena sosial yang kini banyak disoroti adalah fenomena ketidakadilan gender dan menjadi topik hangat yang sering diperbincangkan. Fenomena ini juga terdapat pada sebuah karya sastra, salah satunya yakni pada novel Rumanti, Bukan Perempuan Biasa karya Achmad Munif.

2.2 Konsep Gender

Konsep gender menurut Fakih (1996: 8-9), dijelaskan sebagai sifat yang melekat pada kaum perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan, baik secara sosial maupun kultural dalam masyarakat dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau normal. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki- laki, serta dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara tempat satu dengan tempat lainnya. Hal yang serupa juga dikatakan oleh Sumbulah (2008: 7-8) gender dijabarkan sebagai ‘jenis kelamin’ yang tidak kodrati tapi secara sosial, jenis kelamin ini dikonstruksi masyarakat dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu yang kemudian dilaksanakan dan diperankan baik oleh laki-laki maupun perempuan juga dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Handayani dan Sugiarti (2006: 5-6) juga menjelaskan bahwa konsep gender sendiri berupa sikap yang menempel pada kaum laki-laki dan perempuan yang terkonstruksi oleh berbagai faktor sosial dan budaya, serta menyebabkan munculnya beberapa anggapan mengenai peran sosial dan budaya bagi perempuan dan laki-laki. Menurut berbagai pendapat mengenai konsep gender tersebut, dapat disimpulkan bahwa gender merupakan konsep yang terbentuk dari konstruksi-kontruksi sosial dan budaya yang

(4)

11 membedakan peran kaum perempuan dan laki-laki berdasarkan sifat-sifat yang dianggap melekat dan dianggap wajar atau normal.

Sumber pembeda dari gender adalah masyarakat (sosial), unsur yang membedakan yakni kebudayaan (tingkah laku), sifat dari tingkah laku itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan (Handayani, dan Sugiarti, 2006: 7).

Dampak dari adanya konsep gender ini yakni terciptanya norma-norma atau ketentuan-ketentuan mengenai ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’ berdasarkan bias gender, akan tetapi keberlakuan ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’ ini dapat berubah berdasarkan jaman, musiman dan berbeda antar kelas sosial. Penjelasan tersebut menandakan bahwa konsep gender dapat berubah sesuai dengan tempat atau regional, kebudayaan, kelas sosial dan faktor lain yang mempengaruhi.

Munculnya konsep gender antara kaum perempuan dan laki-laki terjadi melalui berbagai proses, seperti sosialisasi, penguatan dan konstruksi sosial budaya, praktik keagamaan, serta kekuasaan negara. Oleh sebab itu, gender lambat laun dianggap sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat, contohnya sifat anggun, lemah lembut dan emosional yang dimiliki perempuan dianggap sebagai kodrat perempuan. Dikarenakan proses sosialisasi yang konsisten ini, akhirnya membuat kita sulit untuk membedakan sifat gender tersebut hasil konstruksi atau kodrat yang ditentukan Tuhan dan tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.

2.3.1 Ketidakadilan Gender

Sumbulah (2008: 12) menyebutkan bahwa perbedaan gender tidak akan menimbulkan permasalahan jika tidak melahirkan ketidakadilan, akan tetapi dalam realita sosial perbedaan gender menimbulkan masalah ketidakadilan gender.

(5)

12 Ketidakadilan gender adalah sistem serta struktur di mana kaum perempuan dan laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Ada banyak ketidakadilan gender yang terjadi di lingkungan masyarakat, tapi hal tersebut tidak dianggap sebagai suatu permasalahan sebab tidak ada yang menyadari ketidakadilan tersebut. Hal ini terjadi karena berbagai bentuk ketidakadilan tersebut dipercaya sebagai sesuatu yang biasa dan wajar terjadi di masyarakat.

Menurut Fakih (1996: 12-13) ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni, marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, beban kerja ganda. Uraian berikut ini akan menjelaskan secara lebih terperinci mengenai masing-masing wujud dari ketidakadilan gender:

1) Marginalisasi

Salah satu bentuk perwujudan ketidakadilan gender adalah marginalisasi atau pemiskinan terhadap jenis kelamin tertentu. Menurut Fakih (1996: 13-14) marginalisasi adalah proses yang menyebabkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat bahkan Negara, yang menimpa kaum perempuan maupun laki-laki, hal tersebut disebabkan oleh beberapa peristiwa, seperti bencana alam, proses eksploitasi, penggusuran dan sebagainya. Akan tetapi ada satu bentuk pemiskinan yang terjadi karena faktor perbedaan gender atau jenis kelamin tertentu, hal ini banyak menimpa kaum perempuan dan dari segi sumber pemiskinan ada yang berasal dari adat-istiadat, kebijakan pemerintah, tafsir serta praktik keagamaan, kebiasaan bahkan asumsi dari ilmu pengetahuan. Dari penjelasan tersebut marginalisasi dapat dimaknai sebagai proses penyingkiran atau penghapusan perempuan dalam dunia pekerjaan yang dapat menimbulkam kemiskinan pada

(6)

13 kaum perempuan. Hal serupa juga dijelaskan oleh Murniati dalam bukunya Getar Gender (2004: xx) bahwa marginalisasi berarti menempatkan atau memposisikan

perempuan ke pinggiran atau ke posisi rendah yang pada dasarnya disebabkan oleh citra perempuan yang kurang atau tidak rasional, lemah, dan kurang agresif sehingga dinilai tidak pantas menduduki jabatan tinggi ataupun memimpin. Jika hal tersebut terjadi, maka telah terjadi proses pemiskinan atau marginalisasi yang didasarkan dengan alasan gender. Hal serupa juga terjadi pada kaum lelaki yang berada dalam status sosial rendah atau kaum minoritas.

2) Subordinasi

Subordinasi merupakan anggapan bahwa keputusan politik dari salah satu jenis kelamin tidaklah penting. Stereotip perempuan menyebabkan tidak diakuinya potensi perempuan sehingga menyulitkan perempuan untuk memperoleh posisi atau jabatan yang strategis dan sentral dalam komunitas atau forumnya, terutama yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan (Sumbulah, 2008:

15). Hal ini termanifestasikan ketika sebuah keluarga yang mengalami kesulitan finansial dihadapkan pada pillihan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki-lah yang diprioritaskan untuk tetap bersekolah. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran bahkan tidak adanya kesadaran terhadap ketidakadilan gender. Murniati juga memiliki anggapan yang serupa, menurutnya subordinasi adalah pandangan yang menempatkan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah kedudukannya dari laki-laki. Anggapan tersebut timbul karena citra perempuan yang emosional dan kurang bahkan tidak rasional sehingga perempuan tidak dapat memimpin yang membuatnya mendapatkan posisi tidak penting dan rendah.

(7)

14

(8)

15 3) Strereotipe

Stereotip merupakan pelabelan terhadap kelompok, jenis kelamin serta

pekerjaan tertentu, dan stereotip ini selalu merugikan dan melahirkan ketidakadilan.

Secara umum stereotip adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu, biasanya pelabelan ini menyebabkan ketidakadilan. Perbedaan gender menjadi salah satu sumber stereotip, yang pada umumnya merugikan banyak kaum perempuan namun hal serupa juga dapat menimpa kaum lelaki. Menurut Fakih (1996: 16) banyak terjadi ketidakadilan gender dan umumnya terjadi pada perempuan dikarenakan oleh stereotip yang melekat pada perempuan. Salah satu contohnya yakni, asumsi bahwa perempuan gemar bersolek untuk memikat lawan jenisnya, maka kerap ada kasus pelecehan dan kekerasan seksual dikaitkan dengan citra tersebut dan akhirnya masyarakat cenderung menyalahkan korbannya. Contoh lainnya yakni, stereotip perempuan yang berasumsi bahwa tugas perempuan adalah melayani suami atau laki-laki, membuat masyarakat tidak memprioritaskan pendidikan untuk kaum perempuan. Pada laki-laki stereotip bahwa laki-laki harus agresif dan memiliki kekayaan serta kejantanan (beristri banyak) dapat menekan kaum laki-laki dari golongan sosial rendah.

4) Kekerasan

Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia terjadi karena berbagai macam sumber dan salah satunya adalah kekerasan yang didasarkan pada gender. Kekerasan tersebut disebut sebagai Violence based gender atau kekerasan berdasarkan gender, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan, Fakih juga

(9)

16 menambahkan bahwa bentuk kekerasan tidak selalu terjadi antara laki-laki

terhadap perempuan, ada pula perempuan terhadap perempuan, bahkan

perempuan terhadap laki-laki (Handayani dkk, 2002: 18-19). Selain itu kekerasan gender ini kerap ditemui dalam berbagai lapisan masyarakat, baik di tingkat rumah tangga sampai tingkat negara, bahkan tafsiran agama.

Akan tetapi perempuan cenderung lebih mudah mendapatkan perlakuan kekerasan karena posisinya yang tidak kuat dalam masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena dominasi laki-laki atas perempuan, terkadang kekerasan digunakan untuk menunjukkan perbedaan pendapat, rasa tidak puas, dan kekuasaan atas perempuan. Menurut Fakih (1996: 17-20) berbagai macam bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan gender, yaitu; pemerkosaan, kekerasan fisik, penyiksaan yang mengarah pada organ kelamin, pelacuran atau prostitution, kekerasan pornografi, kekerasan pemaksaan strerilisasi, kekerasan

terselubung, dan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Sugiarti dalam bukunya Pembangunan dengan Perspektif Gender (2003) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup hal-hal berikut: 1) kekerasan fisik, seksual serta psikologis dalam lingkup keluarga, seperti pemukulan, pelanggaran seksual anak perempuan di dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mahar, pemerkosaan dalam perkawinan, praktek tradisional yang merugikan perempuan, pengerusakan alat vital, kekerasan yang dilakukan bukan pasutri serta eksploitasi perempuan, 2) kekerasan fisik, seksual dan psikologis dalam lingkup masyarakat umum, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, gangguan seksual, prostitusi yang dipaksa, serta perdagangan perempuan, 3)

(10)

17 kekerasan fisik, seksual serta psikologis yang dilakukan oleh atau diampuni oleh Negara di manapun terjadi.

5) Beban Kerja Ganda

Stereotip terhadap perempuan yang dianggap memiliki sifat memelihara

dan rajin, tidak cocok untuk menjadi pemimpin atau kepala rumah tangga membuat perempuan harus mengemban dan bertanggungjawab atas seluruh pekerjaan domestik rumah tangga. Hal ini merugikan perempuan, sebab harus berkerja lebih keras dan menghabiskan waktu yang lama untuk menjaga kebersihan rumah, kerapian, memasak, mencuci, serta menjaga, merawat dan mendidik anak. Murniati (2004: xxiii) berpendapat bahwa beban kerja ganda merupakan pekerjaan yang dilimpahkan kepada perempuan, lebih lama waktu yang dihabiskan untuk mengerjakannya jika dibandingkan dengan pekerjaan untuk laki-laki. Istilah beban kerja ganda digunakan untuk kaum perempuan yang mengalami kondisi yang mana mereka harus bekerja dalam dua sektor sekaligus baik publik maupun domestik.

Hal ini menyulitkan bagi perempuan yang bekerja dalam sektor publik sebab masih harus mengerjakan tugas domestik. Jika perempuan berasal dari golongan menengah dan golongan kaya, beban kerja itu dapat dilimpahkan kepada pembantu atau asisten rumah tangga. Namun akan berbeda jika perempuan tersebut berasal dari keluarga miskin, beban yang ditanggungnya akan berlipat ganda sebab harus bertanggung jawab bekerja untuk mencari tambahan nafkah dan juga tugas domestik setelah itu. Menurut Fakih (1996: 22) perempuan bekerja lebih lama dan berat, tanpa mendapatkan perlindungan serta kejelasan kebijakan dari negara, selain

(11)

18 itu relasi feodalistik dan bersifat perbudakan tersebut belum bisa dilihat masyarakat secara transparan.

2.3 Gender dalam Prespektif Sosio-Budaya Priyayi Jawa

Ada banyak faktor yang mengkonstruksi gender, salah satunya adalah faktor sosio-budaya. Budaya memiliki dampak perilaku yang berhubungan dengan gender dan seks. Gender terbentuk dan berkembang di masa kanak-kanak yang disosialisasikan dalam lingkungan hidup mereka. Oleh sebab itu anak-anak mempelajari pola berperilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, sehingga menyebabkan adanya perbedaan perilaku (Matsumoto, 1996).

Budaya Jawa kerap disebut sebagai budaya yang patriarkis. Fananie dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sejarah Jawa menjelaskan perempuan Jawa pada abad 18 dalam tradisi dan pemerintahan kerajaan Jawa didapati gambaran mereka yang tidak lebih dari sekedar konco wingking. Namun dalam perkembangan lebih lanjut sistem kerajaan tidak lagi menjadikan perbedaan antara perempuan dan laki- laki yang dapat menghalangi terbentuknya kerja sama yang kuat. Perbedaan antara keduanya dianggap bukanlah suatu hal yang harus dipertentangkan, akan tetapi sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan memungkinkan terciptanya relasi yag harmonis dalam rangka membangun masyarakat yang memiliki kesetaraan tanggungjawab.

Sistem patriarkis Jawa pada abad ke 18 memunculkan banyak ungkapan- ungkapa yang sampai sekarang masih terdengar, seperti swarga nunut neraka katut, konco wingking dan masih banyak ungkapan lainnya. Ungapan-ungkapan tersebut

(12)

19 memperlihatkan kalau perempuan Jawa kedudukannya lebih rendah dari pada laki- laki. Gagasan tersebut yang kuat mengakar dalam budaya Jawa menimbulkan perlakuan yang dianggap membatasi ruang gerak perempuan sehingga tidak bisa beraktivitas secara bebas. Dengan kata lain perempuan harus menerima, halus, pasrah, sabar, setia serta berbakti.

Mengenai streotipe lelaki ideal dalam pandangan orang Jawa yakni lelananging jagad yang tampan, sakti dan memiliki banyak istri seperti tokoh

Arjuna dalam pewayangan Jawa yang selalu menang disetiap medan perang serta dengan mudah memenangkanhati para dewi (Darwin, dan Tukiran, 2001). Laki-laki ideal yang menjadi visi orang Jawa adalah yang memiliki benggol (uang) dan bonggol (kejantanan seksual). Posisi perempuan sebagai milik lelaki, penguasaan

terhadap perempuan dianggap sebagai simbol dari kejantanan seorang lelaki.

Sedangkan sosok perempuan ideal dalam pandangan Jawa memiliki karakteristik yang persis dengan istri-istri Arjuna yang cantik, santun, cerdar tanggap, mampu dan menyenangkan dalam berkomunikasi, menghargai sesama perempuan, mampu mengasuh dan mendidik anak dengan baik, merawat diri, serta setia dan berbakti kepada suami, mertua dan orang tua. Ketundukan, kepasrahan, dan ketergantungan perempuan kepada laki-laki dianggap merupakan gambaran dari kemuliaan hati perempuan Jawa yang sejati. Istilah yang digunakan untuk kaum wanita yakni swarga nunut neraka katut yang berarti wanita bergantung pada lelaki dan

menduduki struktur bawah. Gambaran-gambaran tersebut memang hanya sebagai visi dari sosok ideal seorang perempuan dan lelaki menurut masyarakat Jawa, tapi sering kali digunakan sebagai falsafat bagi pedoman hidup orang Jawa.

(13)

20 Kartodijo dan Tukiran (dalam Darwin dan Tukiran) menyebutkan dalam penelitiannya mengenai kebudayaan priyayi Surakarta, laki-laki priyayi cenderung dipandang sebagai pengayom yang sempurna bagi perempuan dan keuarganya, hal ini menyebabkan dominasinya terhadap perempuan dan keluarga menjadi lebih kuat. Sedang perempuan priyayi diwajibkan menjadi perempuan ideal, bertingkah sopan, lemah lembut, mengenakan busana Jawa yang menarik gairah pasangan, memelihara kecantikan dan kesehatan tubuh dengan meminum jamu tradisional, serta mempelajari pengetahuan seksual dari emban. Namun dalam perkembangannya kini dominasi laki-laki terhadap perempuan mulai berkurang dalam sistem priyayi yang disebabkan oleh pendidikan modern yang diterima generasi muda priyayi. Hal tersebut mempengaruhi cara generasi muda priyayi dalam menyikapi permasalahan gender.

Kini, perempuan-perempuan priyayi dapat menentukan keputusan yang berkaitan dengan kehidupannya. Perempuan-perempuan priyayi dapat bersikap secara positif atau negatif terhadap apa yang diterimanya. Sikap sendiri merupakan perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan (dalam KBBI). Sikap positif dapat berarti sikap mengiakan atau tidak menyangkal. Sikap negatif dapat berarti kurang baik atau menyimpang dari ukuran umum.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pernapasan tenang yang normal hanya ditimbulkan oleh sinyal inspirasi berulang-ulang dari kelompok pernapasan dorsal yang terutama dijalarkan ke

4.1.The Antibacterial Activity as Clear Zone of Chrysanthemum indicum Extract on Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, and Escherichia coli

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh

Pajak Masukan dalam PPN adalah pajak yang seharusnya dibayar oleh PKP atas Perolehan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan BKP/JKP tidak berwujud

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pengeringan paling cepat ditandai oleh penurunan kadar air yang paling besar yang terjadi pada suhu 50 o C dengan menggunakan zeolite

Pertama : Mengangkat Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah Jurusan Kimia FMIPA Unila Semester Genap Tahun Akademik 2018/2019 yang namanya tercantum pada lampiran Surat Keputusan

Dari permasalahan di atas penulis menciptakan sistem baru yaitu Pensil (Penilaian Asisten Lab) untuk proses absensi asisten lab menggunakan Qrcode sebagai media absensi yang

Berdasarkan hal tersebut, ditemui fakta bahwa media online yang dimiliki oleh pemilik merupakan “surga” karena media tersebut digunakan sesuka hati khususnya bagi