• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009001 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009001 Full text"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE

OLEH

NOVA ANGGARINI 802009001

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE

Nova Anggarini

Chr. Hari Soetjiningsih K.D. Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

(8)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang single. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik purposive sampling. Metode pengambilan data penelitian ini adalah wawancara, dan observasi. Partisipan

dalam penelitian ini adalah tiga orang dewasa madya berusia 40 tahun sampai dengan

65 tahun yang belum menikah sejak muda, dan berdomisili di kota Salatiga. Hasil

penelitian menunjukkan seluruh partisipan mengalami bermacam-macam masalah yang

timbul dari status single, dan menggunakan tipe coping yang tepat, dan efektif untuk mengatasi masalah status single. Seluruh partisipan menggunakan dua tipe coping, namun cenderung lebih banyak menggunakan emotional focused coping daripada

problem focused coping. Masalah status single yang dialami P1 adalah masalah keuangan, belum menemukan jodoh yang tepat, fokus pada perkerjaan yang

penghasilannya jelas, mendapatkan kebebasan, dan mencari pengetahuan astral.

Masalah status single yang dialami P2 adalah masalah keuangan, fokus pada perkerjaan, menikah sesuai dengan keinginan orang tua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu

orang tua, pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan memutuskan single. Masalah status single yang dialami P3 adalah masalah keuangan, belum menemukan jodoh yang tepat, fokus pada perkerjaan, dan mendapatkan kebebasan. Faktor yang memengaruhi

coping partisipan adalah dukungan sosial, pendapatan bertambah, stressor sosial, belajar dari pengalaman teman, kepribadiain, jenis kelamin pria, usia, dan level pendidikan.

(9)

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe coping middle adulthood single men. This study uses a qualitative method with purposive sampling technique. Data collection methods are interview, and observation. Participants in this study are three middle-aged adulthood 40 year up to 65 year people who do not marry, and live in Salatiga. The results showing all participants are to experience various problems appear ing from single status, and to use the right types, and effective of coping to overcome the problem of single status. All participants use two types of coping, but tend to use emotional focused coping instead of problem focused coping. Problems experienced by single status P1 are financial problems, not finding the right spouse, focusing on jobs with clear income, the freedom, and the search for knowledge of astral. Problems experienced by single status P2 are financial problems, focusing on jobs, married because of the wishes of parents, sibling’s wedding experience without parents blessing,

sibling’s divorce experience, pre-marital sex, and deciding single. Problems

experienced by single status P3 are financial problems, not finding the right spouse, focusing on jobs, and the freedom. Factors which affect the participants coping are

social support, increasing income, social stressor, learning from a friend’s experience,

personality, male gender, age, and education level.

(10)

PENDAHULUAN

Dewasa madya merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam

rentang kehidupan karena batasan usia dewasa madya adalah 40 tahun sampai 65 tahun

(Berk, 2012). Dalam usia tersebut, tugas perkembangan dewasa madya adalah

membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan

bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab

kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam

karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa;

menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan;

menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan;

dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001).

Manusia yang sudah memasuki usia dewasa madya mulai melaksanakan tugas

perkembangan dewasa madya, dan dianggap sudah memenuhi tugas perkembangan

dewasa muda, seperti memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan suami atau istri,

membentuk keluarga, mengasuh anak, dan mengelola atau mengemudikan rumah

tangga. Saat pria dewasa madya sudah memenuhi tugas perkembangan dewasa muda,

pria secara budaya menempati urutan teratas, dan memiliki peran penting di keluarga,

serta masyarakat. Menjadi seorang suami kemudian menjadi seorang ayah merupakan

kodrat, dan amanah budaya. Pria merupakan orang yang memiliki peran, dan posisi

penting dalam keluarga atau masyarakat, serta mendapatkan kedudukan pertama

daripada wanita. Pria menjadi kepala keluarga, dan penentu aktivitas masyarakat

(Dagun, 1992). Selain itu, dewasa madya harus menyesuaikan diri dengan minat, nilai,

(11)

Namun terdapat pria yang sudah memasuki usia dewasa madya, dan belum

memenuhi semua tugas perkembangan dewasa mudanya dengan berstatus pria single. Tugas perkembangan dewasa awal tidak terselesaikan, maka berpengaruh pada tugas

perkembangan dewasa madya, dan akhir (Harvighurst, dalam Hurlock, 1999). Badan

Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan penduduk pria Jawa Tengah yang belum

menikah di usia dewasa madya dengan rentang usia 40 tahun sampai dengan 64 tahun

sebanyak 42.885 jiwa dengan persentase 1,99%. Menemukan pasangan hidup yang

tepat merupakan hal yang menarik, dan mengganggu dalam tugas perkembangan awal

karena tugas perkembangan di setiap periode tidak seluruhnya dikuasai dalam waktu,

dan cara yang sama oleh setiap individu (Harvighurst dalam Hurlock, 1999). Beberapa

tugas dikuasai pada awal periode, dan lainnya di akhir periode (Hurlock, 1999). Tidak

semua individu pada periode dewasa madya dapat menemukan pasangan hidup,

menikah, dan membentuk keluarga pada waktu, dan cara yang sama.

Norma dalam masyarakat mendesak pria dewasa madya yang single untuk segera memilih pasangan, menikah, dan membentuk keluarga. Dengan bertambahnya usia, pria

dewasa madya yang single semakin dikejar oleh tuntutan masyarakat untuk segera menikah (Santrock, 2002). Pria dewasa madya yang single akan mengalami stressor

psikologis, dan sosial budaya (Alloy dkk, dalam Kawuryan 2009). Stressor psikologis berupa perasaan takut, khawatir, cemas, marah, kecewa, dan kesepian. Stressor sosial budaya berupa perselisihan, dan tuntutan untuk sesuai dengan norma masyarakat.

Stressor psikologis yang dialami pria dewasa madya yang single dapat menjadi tuntutan spesifik internal. Selain itu, kepribadian, usia, dan jenis kelamin dapat berperan sebagai

(12)

Sedangkan tuntutan spesifik ekternal pria dewasa madya yang single dapat berupa masalah keuangan yang kurang, menjadi pemimpin keagamaan, belum menemukan

pasangan hidup yang tepat, memperjuangkan keluarga dari kesulitan ekonomi,

pengalaman pribadi yang menyakitkan, dan keinginan mandiri (Faturochman, 1993).

Perselisihan, dan perbincangan teman-teman, keluarga, dan masyarakat merupakan

tuntutan spesifik ekternal yang menuntut pria dewasa madya menjadi kepala keluarga,

dan penentu aktivitas masyarakat (Dagun, 1992). Tuntutan spesifik tersebut

menyebabkan pria dewasa madya yang single perlu melakukan coping yang tepat, dan efektif. Coping stress yang tepat, dan efektif memiliki tujuan mengatasi masalah-masalah, dan stress; membantu seseorang mentoleransi, dan menerima situasi menekan; dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Kawuryan 2009).

Coping terdiri dari dua jenis yaitu, problem focused coping, dan emotional focused coping (Lazarus & Folkman, 1984). Individu dapat menggunakan problem focused coping atau emotional focused coping atau keduanya untuk mengatasi situasi penuh stress tergantung pada situasi stress (Folkman & Lazarus dalam Taylor, 2006). Pria menggunakan problem focused coping nampak pada kecenderungan lebih banyak aktif bertindak menyelesaikan permasalahan daripada banyak berbicara (Boverman, dkk

dalam Dagun, 1992). Pria cenderung berbicara, dan menangani konflik secara langsung,

dan sulit meminta tolong karena status, kemandirian, dan superioritasnya. Selain itu,

pria cenderung menyingkir ke suatu tempat untuk merenungkan masalahnya sendiri,

dan memprosesnya karena ingin mencari solusi sendiri (Sanders, 2006).

(13)

kembali gambaran tentang situasi yang penuh dengan stress (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2012). Pria diharapkan menghadapi situasi penuh stress dengan tidak memikirkan hal-hal buruk, membuat perbandingan seseorang yang tidak bisa berbuat

apa-apa, dan melihat suatu perkembangan yang baik pada masalah (Taylor dalam

Sarafino, 2012). Pria dapat menggunakan kedua tipe coping. Oleh karena itu, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana coping pria dewasa madya yang single? Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang

single.

TINJAUAN PUSTAKA

Coping sebagai upaya terus berubah secara kognitif, dan perilaku untuk mengelola tuntutan spesifik eksternal, dan internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi

sumber daya orang tersebut (Lazarus & Folkman, 1984). Strategi coping (Lazarus & Folkman, 1984; Folkman & Lazarus dalam Madu & Roos, 2006) terdiri dari dua tipe

meliputi: problem focused coping, dan emotional focused coping. Problem focused coping adalah upaya fokus pada masalah diarahkan pada mendefinisikan masalah; menghasilkan solusi alternatif yang memberatkan pilihan biaya, dan manfaat; serta

bertindak. Problem focused coping terdiri dari: planful problem solving

(membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk menguasai situasi,

ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah), confrontative coping (upaya agresif untuk mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat permusuhan, serta mengambil resiko), dan seeking social support (upaya mencari dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional).

(14)

lingkungan yang berbahaya, mengancam atau menantang. Emotional focused coping

terdiri dari: distancing (upaya kognitif untuk melepaskan diri sendiri, dan untuk meminimalkan pentingnya situasi), escape-avoidance (memikirkan apa yang diimpikan, dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau menghindari masalah), self control (upaya seseorang mengatur perasaan, dan tindakan), acepting responsibility (mengakui perasaan diri sendiri dalam masalah bersamaan dengan mencoba untuk mendapatkan hal

yang benar), dan positive reappraisal (upaya menciptakan makna positif dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan memiliki dimensi religius).

Pria dewasa madya yang single adalah laki-laki yang telah tumbuh menjadi kekuatan, dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa (Hurlock, 1999)

dengan batasan usia 40 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012), dan sekarang tidak

menikah atau termasuk dalam hubungan eksklusif hetroseksual atau hubungan

homoseksual (Stein, 1976). Pria memiliki karakteristik seperti: agresif, menyukai situasi

agresif, berambisi, bebas, dominan, aktif, kompetisi, tidak ada ketergantungan, tidak

suka berbicara, sangat menggunakan logika, sangat terus terang, sangat obyektif, sangat

percaya diri, petualang. Selain itu, pria tidak tergugah dengan kekrisisan yang kecil,

tidak peka terhadap perasaan orang lain, sulit menangis, tidak mudah meluapkan

perasaan, tidak mudah terluka hati, hampir meredamkan emosi, dan mudah memisahkan

pikiran, serta perasaan (Broverman dkk dalam Dagun, 1992).

Dewasa madya memiliki karakteristik yang dibedakan berdasarkan usia, yaitu 40

tahun sampai dengan 50 tahun, dan 50 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012).

Pada usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun dewasa madya mengalami fungsi indera

penglihatan, dan pendengaran; berkurangnya elastisitas kulit; penurunan massa tubuh

(15)

menurun; dan angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat. Secara kognitif,

sadar akan penuaan; kecerdasan mengkristal bertambah tinggi; kemampuan untuk

membagi, dan mengendalikan atensi, serta mengolah informasi menurun. Pemecahan

masalah praktik, dan keahlian semakin bagus karena diimbangi pengalaman, dan

praktik. Pengetahuan umum faktual, prosedural, kreativitas, dan terkait dengan

pekerjaan tetap tidak berubah atau mungkin meningkat. Secara emosional, generativitas,

dan fleksibilitas kognitif semakin meningkat yang membuat mampu mandiri; identitas

gender lebih androgini; lebih banyak memelihara kekerabatan; kepuasan kerja

meningkat; dan mempersiapkan diri untuk melepas anak yang hendak meninggalkan

rumah.

Pada usia 50 tahun sampai dengan 65 tahun kemampuan fisik, dan kognitif secara

signifikan menurun, serta angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat.

Bantuan orangtua pada anak berkurang, sedangkan bantuan dari anak ke orangtua

bertambah, dan kemungkinan pensiun. Tugas perkembangan dewasa madya meliputi,

membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan

bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab

kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam

karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa;

menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan;

menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan;

dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001).

METODE

(16)

perilaku yang dapat diamati (Bogdan & Taylor dalam Moleong, 2013). Penelitian ini

menggunakan purposive sampling, yaitu merinci kekhususan yang ada di dalam konteks yang unik, dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori

yang muncul (Moleong, 2013). Pengumpulan data menggunakan wawancara, dan

observasi (Moleong, 2013). Keabsahan data diperoleh dari member check dan trianggulasi sumber (Moleong, 2013). Teknik analisa dalam penelitian ini meliputi

reduksi data, kategorisasi, penafsiran data, dan kesimpulan (Moleong, 2013).

Partisipan

Penelitian ini melibatkan tiga partisipan warga kelurahan Mangunsari, kecamatan

Sidomukti, kota Salatiga. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah pria

dewasa madya yang berusia 40 tahun sampai dengan 65 tahun, belum menikah sejak

muda, dan berdomisili di kota Salatiga. P1 adalah pria berusia 47 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. Secara fisik memiliki tubuh kurus, tinggi, kulit berwarna putih

langsat, dan sedikit uban di rambut kepala, dan jenggot. Selain itu, P1 adalah orang

yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai

dengan perbuatannya. Pada tahun 1989 P1 berusia 22 tahun, memiliki hubungan dekat

dengan seorang wanita, dan ingin menikah dengan wanita tersebut. Himbauan dari

bapak RT, pekerjaan, modal terbatas, dan keyakinan berbeda membuat P1 mengakhiri

hubungan tersebut di usia 23.

Pada tahun 1990an hingga 2014 P1 mencari pengetahuan astral secara

berkelompok untuk kepentingan pribadi, dan membantu oranglain. P1 bertatus single

dari tahun 1990 hingga tahun 2014. Pada tahun 2009 P1 berusia 43 tahun mulai

menyadari status single, dan memerlukan coping yang efektif karena status single

(17)

P1 masih memiliki keinginan untuk menikah dengan jodoh yang tepat, dan tetap

melakukan coping status single karena masih mengalami stressor psikologis, dan sosial budaya, serta fokus pada kontrak pekerjaan yang jelas daripada menikah. Konsekuensi

yang harus diterima oleh P1 selama single adalah mendapatkan label patok’an, diremehkan, dan didekati keluarga, serta tetangga saat memiliki uang lebih.

P2 adalah pria berusia 59 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. Secara fisik P2 memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk, tinggi, kulit berwarna coklat tua, dan

memiliki rambut lebih sedikit di bagian depan dibandingkan rambut di bagian kiri,

kanan, dan belakang kepala. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam,

tertutup, kecil hati, dan apa adanya. Sejak dewasa muda hingga 2014 P2 berstatus single

karena belum pernah berpacaran, belum pernah mengajak teman wanita ke rumah, dan

harus menikah dengan pilihan orangtua. Orangtua tidak mementingkan pendidikan, dan

masa depan anak, sehingga pendidikan yang tidak selesai membuat P2 kurang mampu

menyadari status single, peka dengan keadaan masyarakat, dan melakukan coping yang efektif. Seiring berjalan waktu, P2 berusia 59 tahun tetap memutuskan single, dan melakukan coping yang terbatas karena pendidikan yang terbatas, dan ada stressor

sosial budaya dari teman-teman.

P3 adalah pria berusia 45 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. P3 memiliki ciri fisik seperti berambut hitam, sedikit uban, rambut pendek, tidak terlalu tinggi, dan

kurus. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang lain, dan suka

menolong orang lain. Pada tahun 1990 P3 berusia 21 tahun, dan dekat dengan seorang

wanita namun pendekatan tersebut berhenti karena perbedaan keyakinan. Tahun 1990

(18)

menjalani hidup single, dan mulai menghindari pembicaraan keluarga tentang status

single yang membuat tidak nyaman. Tahun 2000 P3 berusia 31 tahun menganggap status single sebagai masalah serius, dan membutuhkan coping yang efektif karena harus merawat orangtua yang sakit, dan tidak bekerja. Diusia 45 tahun P3 masih

memiliki keinginan untuk menikah, dan tetap melakukan coping terhadap masalah status single karena ingin mengatasi masalah status single dengan pertimbangan sendiri, dan masih merasakan stressor sosial budaya dari keluarga. Konsekuensi yang harus diterima oleh P3 selama single adalah bertambah usia, tidak punya anak, dan tidak punya keluarga sendiri. Identitas partisipan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Identitas Partisipan

Partisipan P1 P2 P3

Inisial Nama U T X

Umur 47 tahun 59 tahun 45 tahun

Agama Islam Islam Islam

Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki

Suku Jawa Jawa Jawa

Status marital Single Single Single

Tempat, tanggal

Anak ke 2 dari 6 bersaudara 3 dari 9 bersaudara 3 dari 3 bersaudara Pendidikan

terakhir yang berijazah

SMA Tidak sekolah SMA

Pekerjaan Satpam Beternak sapi, dan

berkebun Karyawan swasta

HASIL PENELITIAN Gambaran Coping Partisipan 1

P1 harus mencari pekerjaan dengan penghasilan yang jelas, untuk mengatasi

(19)

keinginan untuk menikah, dan belum menemukan jodoh yang tepat. Hal tersebut

didorong keinginan menjaga trah, dan nama baik keluarga supaya tidak diremehkan anggota keluarga yang lain.

Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang

tepat merupakan masalah status single P1 yang diatasi menggunakan planful problem solving. P1 berusaha menjadi yang terbaik dalam kelompok kita, menggunakan shio

kuda untuk mengukur kekuatan diri, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan

kata-kata tetangga yang kurang berkenan. Kita adalah orang-orang berbeda usia, dan jenis kelamin yang terbiasa hidup susah, senang, dan saling memberi.

rencana saya menjadi final the best final. Jadi sesuai dengan shio yang berjalan tahun ini” (P1W2 86-87)

P1 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara berpikir orang lain tentang status single, dan mengatasi masalah status single sendiri. P1 menggunakan pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri, keluarga, dan tetangga, serta agar tidak

diremehkan.

mencari pengetahuan untuk membantu satu untuk diri pribadi, dua keluarga bila perlu tetangga kanan kiri” (P1W1 236-238)

P1 menerima; dan mencari dukungan dari masyarakat, dan tokoh agama yang

dianggap sebagai penasihat mengenai status single. Selain itu, seeking social support P1 ditunjukkan dengan hubungan erat dengan kelompok kita.

“Hanya yang memberi dorongan itu hanya penasehat” (P1W2 188)

(20)

“Jadi bagaimana kita menepis dari semua prasangka-prasangka mereka” (P1W1

63-64)

P1 belum menemukan jodoh yang seagama, sehingga P1 mengkhayal, dan

menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa melakukan

tindakan. Bekerja sampingan seperti tukang bangunan, mengecat, kerja sosial tanpa

digaji merupakan escape-avoidance yang digunakan P1 untuk menekan memori yang membangkitkan emosi tentang hubungan dekat dengan wanita. P1 mengakui ada rasa

marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih dengan minum

minuman keras, dan berjudi. Selain itu, P1 menyibukkan diri dengan mencari

pengetahuan astral.

“Ya cuman banyak angan-angan itu. Menghayal bagaimana-bagaimana” (P1W1

60)

P1 menggunakan self control dengan cara bertindak, dan berpikir positif; serta tidak bertindak berlebihan kepada orang lain yang ingin mengetahui masalah single.

“Bergerak positip, berpikir positip kita itu bergerak yang sifatnya satu menguntungkan pribadi, keduanya keluarga” (P1W2 67-69)

Selama berstatus single P1 menemukan kebebasan mencari pengetahuan umum maupun astral, pengalaman penting, dan tumpuan untuk melangkah. Selain itu, P1 tetap

menggunakan acepting responsibility untuk mengubah penampilan fisik, pola pikir, serta pola hidup setelah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapat

penambahan gaji.

“Ya ingin kebebasan pengalaman ataupun pelajaran untuk tumpuan langkah berikutnya” (P1W1 53-57)

P1 belajar dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang

(21)

keadaan fisik yang masih sehat, tempat tinggal yang berangsur membaik, dan pekerjaan

yang jelas. Selain itu, P1 menunjukkan positive reappraisal dengan menikmati kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup, dan rejeki.

Gambaran Coping Partisipan 2

P2 menggunakan seeking social support untuk menerima dukungan dari teman, kerabat, dan orang yang paham mengenai masalah status single.

“Ya itu ya wong biasa karepe tu ngkon nikah ning saya sing ndak” (P2W1 312)

P2 cenderung melakukan distancing dengan menjawab tidak tahu, ketika teman-teman menanyakan keadaan status single P2.

“Ndak tau itu” (P2W1 222)

Masalah lain yang muncul selama P2 single adalah menikah sesuai dengan keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara yang tidak direstui orangtua,

pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan fokus bekerja. P2 menggunakan

escape-aviodance untuk mengatasi masalah tersebut. P2 melakukan pekerjaan sampingan untuk mengatasi pendapatan yang kurang, memenuhi kebutuhan makan,

mengindari stress, hiburan, dan olahraga. Pekerjaan yang dilakukan seperti mencangkul, mencari rumput, mencari kayu, dan menjadi tukang bangunan. Selain itu, P2 bekerja

keras, dan memberikan seluruh penghasilan kepada orangtua sebagai tanda bakti. P2

mengutamakan kepentingan orangtua, dan tidak tidak menggunakan penghasilannya

untuk membangun rumah sendiri, dan menikah. P2 menyalurkan nafsu biologis lewat

pekerja seks komersial karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri.

(22)

memiliki anak tidak terdaftar sebagai warga; dan saudara nekat menikah tanpa restu,

serta kehadiran orangtua.

“Kanggohiburan, ndak stress” (P2W2 149)

“Kanggoolahraga” (P2W2 153)

P2 memutuskan single, dan menggunakan acepting responsibility untuk mengakui tidak menyukai wanita, merasa senang single, serta menganggap status single sebagai hal yang biasa.

“Tetap tidak menikah” (P2W1 356)

“Seneng tidak menikah” (P2W2 58)

Gambaran Coping Partisipan 3

Selama single P3 sibuk bekerja, dan menggunakan planful problem solving untuk tetap fokus bekerja. P3 mengerjakan pekerjaan dari termudah sampai tersulit sesuai

dengan batas kemampuan tanpa pengaturan khusus, dan menjalin relasi dengan

lingkungan, serta keluarga.

kerja ... mengatur kesibukan berhubungan dengan tetangga, lingkungan, saudara, berkegiatan”(P3W1 8-10)

P3 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara pandang keluarga, dan teman dengan memberitahu positif, dan negatif status single.

“Untuk mengubahnya positif dengan negatinya” (P3W1 189-190)

P3 menggunakan seeking social support ketika menerima, dan mencari dukungan dari keluarga, dan teman, serta sharing dengan teman-teman untuk memperluas wawasan mengatasi masalah.

(23)

P3 menggunakan distancing untuk mencoba melihat sisi baik dari masalah status

single dengan berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single.

“Saya tu nggak terlalu memikirkan untuk masalah single”(P3W1 34-35)

P3 mengalami masalah keuangan karena belum mampu menghidupi diri sendiri,

dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, serta orang lain mengenai uang.

Selain itu, P3 belum menemukan jodoh yang seagama. P3 menghindari masalah status

single menggunakan escape-avoidance dengan bekerja, tidur, mengikuti kegiatan di kampung, mengalihkan pembicaraan tentang masalah status single, dan berkumpul dengan keluarga, teman, serta tetangga.

“...mengalihkan sesuatu yang ke hobi atau masalah lain yang tidak terlalu menjurus gitu” (P3W1 97-98)

P3 menggunakan self control untuk mengatur pikiran, dan tindakan orang lain yang ingin mengetahui masalah status single. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan orang yang dipercaya tahu tentang masalah status single, namun P3 merasa perlu menjawab apa adanya tentang masalah status single.

“Saya tidak pernah untuk menjelaskan masalah ini karena selama itu karena pribadi juga” (P3W2 164)

Status single bagi P3 adalah kebebasan menjalani cara hidup, dan tidak terikat dengan keluarga, serta orang lain. Masalah kebebasan, P3 diatasi menggunakan

acepting responsibility. P3 leluasa memberikan bantuan, bebas mengadakan kegiatan di luar namun tidak sebebas waktu muda, dan bebas bekerja.

(24)

P3 menggunakan positive reappraisal dengan mencoba hidup mandiri, memahami batas kemampuan mengatasi masalah status single, dan membantu teman, keluarga, serta orang lain. Selain itu, P3 mencoba memecahkan masalah status single berdasarkan pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama.

mandiri dulu … kadang-kadang ada orang, teman-teman, saudara, atau ada yang mungkin membutuhkan” (P3W1 135-139)

PEMBAHASAN

Seluruh partisipan mengalami masalah status single, dan memerlukan coping yang tepat, dan efektif. Masalah tersebut terjadi sebelum, dan sesudah partisipan menyadari

status single. P1 berstatus single sejak usia 22 tahun sampai dengan usia 47 tahun. Pada usia 43 tahun, P1 menyadari status single, dan membutuhkan coping untuk mengatasi masalah single. Sebelum menyadari status single, P1 mengalami masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang tepat, yang diatasi dengan

plantful problem solving, dan escape-avoidance. P1 melakukan pekerjaan sampingan yang belum pasti penghasilannya, dan menggunakan pekerjaan tersebut untuk menekan

memori yang membangkitkan emosi tentang wanita yang pernah dekat. Individu

memikirkan apa yang diimpikan, dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau

menghindari masalah (Lazarus & Folkman dalam Madu & Ross, 2006).

P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan berusaha memecahkan masalah

dengan menggunakan shio kuda, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan cemooh tetangga. Individu membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk

menguasai situasi ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah

(Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 pernah dekat dengan seorang

(25)

trauma dengan ditinggalkan pacar atau merasa dipermalukan (Dariyo, 2003). P1

mengakui ada rasa marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih

dengan minum minuman keras, dan berjudi. seorang pria itu memendamkan

perasaannya; dan tidak mudah merasakan, dan mengungkapkan emosinya, maka

seorang pria yang tertekan, barangkali lebih sering lari ke hal-hal lain seperti menjadi

peminum, pemabuk, dan bunuh diri (Dagun, 1992).

Masalah selanjutnya adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting responsibility. P1 bebas mencari pengatahuan umum, dan astral yang digunakan sebagai pengalaman penting, dan tumpuan melangkah. Individu bebas menentukan arah, dan

perjalanan hidup sendiri tanpa merasa cemas atau takut terhadap tuntutan dari orang lain

atau norma sosial masyarakat karena semuanya tidak ada yang mengganggu orang lain

(Dariyo, 2003). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral, dan diatasi dengan

confrontative coping, serta escape-avoidance. P1 berusaha mengubah cara berpikir keluarga, dan tetangga menggunakan pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri,

keluarga, dan tetangga, serta tidak diremehkan lagi. Individu berupaya agresif untuk

mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat permusuhan, serta mengambil

resiko (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu, P1 menyibukkan

diri mencari pengetahuan astral.

Sesudah menyadari status single, P1 mengalami masalah yang sama dengan penjelasan yang bertambah. Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum

(26)

menikah. Dewasa madya lebih banyak mengalami stress yang berhubungan dengan pekerjaan, keuangan, keluarga, dan teman-teman (Sarafino, 2012). P1 masih memiliki

keinginan untuk menikah, dan memersiapkan modal untuk menikah. P1 ingin menjaga

trah, nama baik keluarga, tidak mau melanggar norma masyarakat, dan tidak mau diremehkan anggota keluarga lain. P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan

mengkhayal, serta menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa

melakukan tindakan. P1 menggunakan acepting responsibility untuk mengatasi masalah fokus pada pekerjaan. P1 mengubah penampilan, pola pikir, dan pola hidup setelah

ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapatkan penghasilan tetap.

Masalah mendapat kebebasan diatasi dengan acepting responsibility. P1 mendapatkan kebebasan mencari pengetahuan astral untuk menolong diri sendiri,

keluarga, dan tetangga. Individu mengakui perasaan diri sendiri dalam masalah

bersamaan dengan mencoba mendapatkan hal yang benar (Lazarus & Folkman dalam

Madu & Roos, 2006). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral yang diatasi

dengan confrontative coping, dan escape-aviodance. Selain mengubah cara pandang, P1 mencoba menjadi yang terhebat di kelompok kita dalam pengetahuan astral. Pengetahuan astral merupakan penyemangat hidup P1.

P2 berstatus single sejak dewasa muda sampai usia 59 tahun. P2 menyadari status

single sejak dewasa muda, dan melakukan coping yang terbatas karena tingkat pendidikan yang rendah. Sebelum menyadari status single, P2 mengalami masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai keinginan orangtua, pernikahan

saudara tanpa restu orangtua, perceraian saudara, dan seks bebas. Masalah tersebut

(27)

orangtua, dan tidak menggunakan penghasilannya untuk membangun rumah sendiri,

dan menikah. P2 harus menikah sesuai dengan pilihan orangtua, tidak pernah pacaran,

dan tidak berani melanggar perintah orangtua. P2 berpikir ulang untuk menikah karena

saudara nekat menikah tanpa restu, dan kehadiran orangtua. Saudara P2 masih ada yang

single; ditinggalkan suami secara sepihak; dan bercerai, serta memiliki anak tidak terdaftar sebagai warga. P2 menyalurkan dorongan seksual lewat pekerja seks komersial

karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri. Individu yang single

bebas menjalin hubungan seksual dengan siapa saja, dapat berkonsentrasi mencapai

keinginan yang dicita-citakan tanpa terganggu oleh suami atau istri atau anak, dan

memungkinkan mengambil keputusan ingin hidup sendiri ketika sakit hati dengan

pengalaman perceraian (Dariyo, 2003).

Setelah menyadari status single, P2 mengalami masalah yang sama dengan penjelasan bertambah, dan menemukan masalah baru. P2 mengalami masalah keuangan,

fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan keinginan orangtua, pengalaman

pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman perceraian saudara, dan seks

bebas. Masalah tersebut diatasi dengan escape-avoidance. P2 fokus bekerja sebagai hiburan, olahraga, dan menghindari stress. P2 melakukan pekerjaan yang tidak tetap, sehingga penghasilan tidak tetap, dan fisik semakin melemah. Pekerjaan tersebut

dilakukan P2 untuk mengatasi pendapatan yang kurang, dan memenuhi kebutuhan

makan. Meskipun orangtua sudah meninggal dunia, P2 tetap tidak mencari pasangan. P2

berpikir ulang untuk menikah karena pernikahan saudara berlangsung tanpa restu, dan

kehadiran orangtua, serta perceraian saudara. P2 lebih banyak menyalurkan dorongan

(28)

adalah memutuskan single, dan diatasi dengan acepting responsibility. P2 memutuskan

single karena mengakui tidak menyukai wanita, merasa senang single, dan menganggap

single sebagai hal biasa. Banyak orang dewasa yang hidup sendirian membuat suatu keputusan sadar untuk menikah atau tetap melajang (Santrock, 2002).

P3 berstatus single sejak usia 21 tahun sampai dengan usia 45 tahun. Pada usia 28 tahun, P3 menyadari status single. P3 memerlukan coping terhadap masalah status

single pada usia 31 tahun. Sebelum menyadari status single, P3 mengalami masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat yang diatasi dengan escape-avoidance. P3 beberapa kali berpindah tempat kerja, sehingga belum mendapatkan penghasilan yang cukup untuk diri sendiri. P3 belum menemukan jodoh yang seagama,

dan orangtua ingin P3 menemukan jodoh yang seagama. Masalah fokus pada pekerjaan

diatasi dengan planful problem solving, dan escape-avoidance. P3 sempat menganggur, dan berpindah tempat kerja. P3 mengalihkan pembicaraan mengenai status single

dengan fokus bekerja. Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi

dengan acepting responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup sebagai seorang yang

single tanpa terikan dengan keluarga, dan oranglain.

Setelah menyadari status single, P3 mengalami masalah yang sama dengan penjelasan yang bertambah. P3 mengalami masalah keuangan, dan belum menemukan

jodoh yang tepat yang diatasi dengan escape-avoidance. P3 masih belum mampu menghidupi diri sendiri, dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, dan

oranglain mengenai uang. P3 belum menemukan jodoh yang seiman, dan membiarkan

hidup berjalan apa adanya. Jika memiliki kesempatan bertemu dengan jodoh yang tepat,

(29)

karyawan dengan penghasilan yang tetap. P3 mulai mengerjakan pekerjaan yang

termudah sampai tersulit sesuai dengan kemampuan tanpa pengaturan khusus. P3 fokus

pada pekerjaan untuk menghindari rasa sedih, jengkel, marah, kecewa, dan kesepian.

Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup single seperti bebas memberi bantuan, bekerja, dan mengadakan kegiatan di luar rumah tidak sebebas waktu muda.

Seluruh partisipan mengatasi masalah status single secara keseluruhan menggunakan beberapa coping. P1, P2, dan P3 melakukan seeking social support

karena dukungan sosial berupa perhatian dari orang penting dalam hidup yang bisa

diandalkan merupakan perlindungan terhadap stress (Kawuryan, 2009). Individu berupaya mencari dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional

(Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 menerima; dan mencari dukungan

dari masyarakat, tokoh agama, dan kelompok kita. P3 menerima, dan mencari dukungan dari keluarga, dan teman. P2 menerima dukungan dari teman, kerabat, dan orang yang

paham mengenai masalah status single. Seorang laki-laki yang mengalami depresi bergaul dengan teman-teman atau kelompok yang terus menekankan pentingnya

menjadi tegar, dan mandiri, bahkan menolong orang lain yang mengalami depresi, maka

orang tersebut mendapatkan stimulasi optimis, memiliki kendali, mendorong untuk

memecahkan masalah, tidak menyalahkan orang lain, dan tidak menekan

perasaan-perasaan diri sendiri (Wade, 2012).

P1, P2, dan P3 menggunakan distancing. Individu melakukan upaya kognitif untuk melepaskan diri, dan meminimalkan pentingnya situasi (Lazarus & Folkman

(30)

yang tidak menyenangkan. P2 menjawab tidak tahu, ketika teman-teman menanyakan

keadaan status single. P3 mencoba melihat sisi baik dari masalah status single dengan berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single. P1, dan P3 menggunakan self control dengan cara menjaga perasaan, dan tindakan terhadap orang lain yang ingin mengetahui masalah status single. Individu berupaya mengatur perasaan, dan tindakan (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 bertindak, dan

berpikir positif, serta tidak bertindak berlebihan. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan

orang yang dipercaya tahu, namun P3 merasa perlu menjawab apa adanya tentang

masalah status single.

P1, dan P3 menggunakan positif reappraisal. P1 bersyukur dengan keadaan fisik yang masih sehat, tempat tinggal yang membaik, dan pekerjaan yang jelas. P1

menikmati kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup,

dan rejeki. P3 mencoba hidup mandiri, memahami batas kemampuan mengatasi

masalah status single, dan membantu teman, keluarga, serta orang lain. Individu berupaya menciptakan makna positif dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan

memiliki dimensi religius (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu,

P1, dan P3 belajar dari pengalaman teman mengenai masalah status single. P1 belajar dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang peningset agar tidak menikah tanpa persiapan yang matang. P3 mencoba memecahkan masalah status single

berdasarkan pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama. Pengalaman

orang lain membantu seseorang memiliki toleransi terhadap tekanan yang dihadapi dan

(31)

Coping yang dilakukan seluruh partisipan untuk mengatasi masalah status single

juga dipengaruhi oleh identitas partisipan. Kepribadian partisipan yang berbeda

memberi dampak pada cara mengatasi situasi stress (Taylor, 2006). P1 adalah orang yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai

dengan perbuatannya. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam, tertutup,

kecil hati, dan apa adanya. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang

lain, dan suka menolong orang lain. Partisipan merupakan pria yang memiliki

perbedaan umur. P1 berusia 47 tahun, P2 berusia 59 tahun, dan P3 berusia 45 tahun.

Semakin bertambah usia, dewasa madya cenderung lebih banyak menggunakan problem

focused coping untuk mengatasi situasi stress, dan sedikit menggunakan emotional focused coping (Sarafino, 2012). P2 melakukan coping yang terbatas dibandingkan P1, dan P3 karena level pendidikan P2 lebih rendah. Pendidikan yang telah ditempuh P1,

dan P3 adalah SMA, sedangkan P2 pernah bersekolah sampai dibangku SD kelas 3.

Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh, individu akan cenderung mempunyai

ingatan, dan perasaan yang lebih luas, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap

pembaharuan, dan semakin baik pula penilaian terhadap masalah atau situasi yang

menekan (Marco dalam Sarafino, 2012). Masalah status single, dan coping partisipan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Masalah Status Single, dan Coping Partisipan

Partisipan Masalah Status Single

(32)

Fokus pada pekerjaan Plantful problem

Fokus pada pekerjaan Escape-Avoidance Escape-Avoidance

Menikah sesuai dengan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah partisipan menggunakan

(33)

mencari ilmu pengetahuan astral diatasi menggunakan confrontative, escape-avoidance, dan acepting responsibility. Secara keseluruhan seeking social support, distancing, self control, dan positive reappraisal digunakan P1 mengatasi masalah status single. Dukungan sosial memengaruhi P1 menggunakan seeking social support. Stressor sosial memengaruhi P1 melakukan distancing. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi P1 melakukan positive reappraisal.

P2 mengatasi masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan

keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman

perceraian saudara, dan seks bebas menggunakan escape-avoidance. P2 mengatasi masalah memutuskan single menggunakan acepting responsibility. Secara keseluruhan P2 menggunakan seeking social support, dan distancing untuk mengatasi masalah status

single. Dukungan sosial memengaruhi P2 menggunakan seeking social support, dan

stressor sosial memengaruhi P2 melakukan distancing. P3 mengatasi masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat menggunakan escape-avoidance. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi menggunakan plantful problem solving, dan

escape-avoidancei. Masalah memperoleh kebebasan diatasi menggunakan acepting responsibility. Secara keseluruhan P3 menggunakan confrontative coping, seeking social support, distancing, self control, dan positive reappraisal untuk mengatasi masalah status single. Dukungan sosial memengaruhi P3 menggunakan seeking social support. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi P3 melakukan positive reappraisal. Identitas partisipan memengaruhi partisipan melakukan coping.

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan saran kepada beberapa

(34)

berstatus single. Perlu dilakukan untuk mengurangi stressor psikologi, dan sosial budaya pria dewasa madya yang single.Bagi peneliti selanjutnya dapat menggambarkan

coping pria dewasa madya yang single dengan memerhatikan rentang usia yang hampir sama, dan menambahkan kriteria sosial demografik (pekerjaan, status sosial budaya,

dan latar belakang pendidikan) yang beragam sehingga menghasilkan informasi yang

lebih luas. Bagi penelitian selanjutnya dapat meneliti coping pria dewasa madya single

dengan metode kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Berk, L. E. (2012). Development through the lifespan: dari masa dewasa awal sampai menjelang ajal. (5th Ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Biro Pusat Statistik. (2010). Penduduk berumur 10 tahun keatas menurut kelompok umur dan status perkawinan provinsi jawa tengah. Retrieved from http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?wid=1700000000&tid=271&fi1=58& fi2=1. Diakses pada 23 Februari 2013.

Dagun, S. M. (1992). Maskulin dan feminin, perbedaan pria-wanita dalam fisiologi, psikologi, seksual, karier dan masa depan. Jakarta: Rineka Cipta.

Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo.

Faturochman. (1993). Meningkat, proporsi anggota masyarakat yang tidak menikah.

Retrieved from

http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/KORAN%20-%20Meningkat%20Proporsi%20Anggota%20Msy%20yg%20Tidak%20Menikah. pdf. Diakses tanggal 14 Februari 2013.

Folkman, S & Lazarus, R, S. (1988). Ways of coping questionnaire. Retrieved from www.mindgarden.com. Diakses 23 Juli 2013.

Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kawuryan, F. (2009). Tinjauan faktor-faktor psikologis dan sosial dalam

(35)

Madu, S. N., & Roos, J. J. (2006). Depression among mothers with preterm infants and their stress-coping strategies. Social Behavior and Personality. 34(7), 877 – 890. Moleong, L. J. (2013). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya Offset.

Sanders, J. (2006). Gender smart, memecahkan teka-teki komunikasi antara pria dan wanita. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Santrock, J. W. (2002). Life span development: perkembangan masa hidup jilid 2. (Ed. 5th). Jakarta: Erlangga.

Sarafino, E, P., & Smith, T. W. (2012). Health psychology: biopsychosocial interactions. (Ed. 7th). New Jersey: Wiley.

Stein, P. J. (1976). Single. New Jersey: Prentice Hall.

Sugarman, L (2001). Life span development: frameworks, accounts and strategies [DX

Reader Version]. Retrieved from

https://books.google.co.id/books?id=Ya4EAQAAQBAJ&pg=PA109&dq=havigh urst+developmental+tasks&hl=id&sa=X&ei=sIrqVIzhLY29ugS9nIDgCQ&redir_ esc=y#v=onepage&q=havighurst%20developmental%20tasks&f=false. Diakses tanggal 23 Februari 2015.

Gambar

Tabel 1. Identitas Partisipan
Tabel 2. Masalah Status Single, dan Coping Partisipan

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan ROA Bank Muamalat pada tahun 2009 mengalami penurunan, sedangkan bank syariah dan bank umum mengalami peningkatan, sehingga ROA Bank Muamalat (

Pada penelitian Rahmadi (2012) justru tidak menemukan adanya kelengketan biaya penjualan, administrasi, dan umum perusahaan manufaktur tetapi pada penelitian

kurikulum berperan menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat. Dalam hal ini, anak didik perlu memahami dan menyadari norma-norma

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu adanya suatu alternatif untuk membuat suatu proses pembelajaran yang aktif di kelas, sehingga siswa fokus terhadap materi yang

Penulisan ini dilakukan untuk menemukan bagaimana cara untuk menerapkan kepemimpinan mendampingi di GKPS Tangerang dalam keaktifan bidang kategorial (persekutuan yang

P2 juga akan menuntut orang lain agar sesuai dengan standar yang dia miliki, P1 akan. menuntut orang lain agar sesuai standar yang ia miliki jika orang tersebut

kota Semarang menyadari bahwa mereka berada di perantauan dan dikelilingi oleh orang-orang dengan latarbelakang budaya dan kehidupan yang sangat berbeda sehingga

Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan motivasi para remaja putri di Toraja yang tertarik masuk menjadi anggota geng Predator , menjelaskan proses inisiasi yang