• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN KADAR SERUM FERITIN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DENGAN DAN TANPA INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH TESIS KHOSIAH RAHMI DAULAY / IKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN KADAR SERUM FERITIN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DENGAN DAN TANPA INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH TESIS KHOSIAH RAHMI DAULAY / IKA"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KHOSIAH RAHMI DAULAY 147041195 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

PERBANDINGAN KADAR SERUM FERITIN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DENGAN DAN TANPA INFEKSI

SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu Kesehatan Anak / M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

KHOSIAH RAHMI DAULAY 147041195 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)
(5)
(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan magister kedokteran di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, saya ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) sebagai dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3. dr.Supriatmo, M.Ked(Ped),Sp.A(K)selaku kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

4. dr.Selvi Nafianti, M.Ked(Ped), SpA(K), selaku ketua program studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

5. dr.Ayodhia Pitaloka Pasaribu, M.Ked(Ped),Sp.A, PhD (ClinTropMed)sebagai pembimbing pertama dan. Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K) sebagai pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini

(7)

7. Prof. DR. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp. A(K) yang telah memberikan masukkan terhadap penelitian saya ini.

8. Seluruh dosen dan staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

9. Bupati Kabupaten Karo, Kepala Kecamatan Tiga Panah, Kepala Desa Suka, Kepala Desa SukaMbayak, Kepala Desa SukaSipilihen, Kepala Sekolah SDN 040541, SDN 040542, SDN047162,dan SDN 045957 Tiga Panah yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di wilayah dan instansi yang mereka pimpin.

10. Seluruh guru dan siswa SDN 040541, SDN 040542, SDN047162,SDN 045957 Tiga Panah yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini

11. Tim Penelitian Tiga Panah yang telah bekerjasama dengan baik dalam menyelesaikan penelitian di lokasi tersebut

12. Ayahanda Darmansyah Daulay,Bsc dan Ibunda Nur’Aini Harahap yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik saya serta memberi dukungan penuh dalam menyelesaikan tesis ini

13. Abang kandung saya dr.Ahmad Idris Daulay yang telah mendukung saya selama penelitian ini.

(8)

14. dr.Muhammad Firdaus Siregar atas dukungan dan bantuan selama penelitian ini.

15. Teman-teman PPDS dan teman sejawat yang lain, yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu saya dalam pengerjaan tesis ini.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaannya. Akhir kata, saya berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang menggunakannya.

Medan, Juli 2017

Penulis

(9)

Halaman Penetapan Panitia Penguji ii

Pernyataan iii

Ucapan Terima Kasih iv

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Singkatan dan Tanda xiii

Abstrak xiv

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang 1

1.2 . Rumusan Masalah 3

1.3 . Hipotesis 3

1.4 . Tujuan Penelitian 3

1.4.1. Tujuan umum 3

1.4.2. Tujuan khusus 3

1.5. Manfaat Penelitian 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Soil-Transmitted Helminth 5 2.2. Epidemiologi infeksi Soil-Transmitted Helminth 6 2.3. Siklus hidup Soil-Transmitted Helminth (STH) 8 2.4. Efek yang ditimbulkan infeksi STH 9 2.5. Dampak ascariasis terhadap kadar serum feritin 10 2.6. Dampak trichuriasis terhadap kadar serum feritin 12 2.7. Dampak infeksi cacing tambang (Hookworm) 14 2.8. Pemeriksaan Penunjang Soil-Transmitted Helminth 16

2.9. Metabolisme Besi 18

2.10. Penyebaran dan pengangkutan besi tubuh 19

2.11. Penyerapan besi tubuh 21

2.12. Defenisi Feritin 23

2.13. Struktur feritin 24

2.14. Regulasi dan sintesis feritin diperantarai zat besi 25 2.15. Hubungan serum feritin dengan penyimpanan zat besi 28 2.16. Feritin sebagai respon fase akut 29

2.17. Parameter laboratorium 30

2.17.1. Serum Feritin 31

(10)

2.17.2. Serum Besi 32 2.17.3.Total iron-binding capacity ( TIBC) 32 2.17.4 Saturasi transferin 33 2.17.5. Transferin serum reseptor 33 2.17.6. Eritrosit protoporpyrin 34

2.18. Kerangka Konsep 35

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desai Penelitian 36 3.2. Tempat dan Waktu 36 3.3. Populasi dan Sampel 36 3.4. Pemilihan Besar Sampel 36 3.5. Perkiraan Besar Sampel 37 3.6. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi 37 3.7. Persetujuan Setelah Penjelasan/ Informed Consent 38 3.8. Etika Penelitian 38 3.9.Cara Kerja dan Alur Penelitian 39 3.9.1. Cara Kerja 39 3.9.2. Alur Penelitian 40

3.10. Identifikasi Variabel 41

3.11. Defenisi Operasional 41 3.12. Pengolahan dan Analisa Data 42 BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Subyek Penelitian 44

4.2. Jenis parasit yang menyebabkan infeksi STH 45

4.3. Perbedaan Serum Feritin antara Kelompok STH(+) dan STH(-) 45

4.4. Hubungan Spesies Cacing dengan Kadar Serum Feritin 46 4.5. Hubungan Intensitas Cacing dengan Kadar Serum Feritin 47 BAB 5. DISKUSI 48

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 54 BAB 7. RINGKASAN 55 DAFTAR PUSTAKA 57 LAMPIRAN Personil Penelitian 62

1. Rencana Anggaran 62

2. Jadwal Penelitian 62

3. Cara Pemeriksaan Kato-Katz dan Serum Feritin 63

Formulir Isian 66

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gangguan nutrisi pada infeksi STH 9

Tabel 2. Hubungan antara infeksi hookworm , kehilangan darah 27

saluran cerna , dan status besi Tabel 3. Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing 18

Tabel 4. Marker hematologi mengidentifikasi defisiensi besi 30

Tabel 5. Marker biokimia untuk mengidentifikasi defisiensi besi 30

Tabel. 6 Konsentrasi feritin serum menurut WHO 32

Tabel 4.1.Karakteristik Subyek Penelitian 44

Tabel 4.2. Perbedaan Kadar Serum Feritin antara Kelompok STH (+) 46

dan STH(-) Tabel 4.3. Hubungan Spesies Cacing dengan Kadar Serum Feritin 46

Tabel 4.4.Hubungan Intensitas Cacing dengan Kadar Serum Feritin 47

(13)

Gambar 1.Intensitas infeksi terkait usia pada infeksi cacing yang 8 disebabkan A. lumbricoides, T. trichiura, hookworm, dan S. haematobium

Gambar 2. Skema absorbsi besi usus dan transport besi 22 ke dalam plasma

Gambar 3. Mekanisme regulasi feritin 28

Gambar 4. Kerangka konsep 35

Gambar 5. Alur penelitian 40

Gambar 4.1. Distribusi parasit yang menyebabkan infeksi STH 45

(14)

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

STH : soil-transmitted helminth DALYs : Disability- Adjusted Life years NTDs : Neglected Tropical Disease CDC : Central of Disease Control TIBC : Total iron-binding capacity TNF : Tumor Necroting Factor IL : Interleukin

APPS : Acute Phase Proteins IRE : Iron Respone Element IRP : Iron Regulatory Protein DMT : Divalent Metal Transport TFR : Transferin Reseptor FPN : Ferroportin

HCP : Heme Carrier Protein

ACAPS : Ancylostoma Caninum Antikoagulan Peptida

(15)

Ayodhia Pitaloka Pasaribu1

Departemen Ilmu Kesehatan Anak1, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Anemia defisiensi besi adalah salah satu efek yang paling sering ditimbulkan oleh infeksi Soil-Transmitted Helminth (STH). Infeksi ini terutama disebabkan oleh trichuriasis dan hookworm yang dapat menyebabkan hilang nya zat besi, malabsorbsi pada usus, sehingga pengukuran terhadap serum feritin diperlukan sebagai deteksi dini terhadap berkurangnya penyimppanan zat besi dalam tubuh sehingga dapat mencegah terjadi nya anemia.

Tujuan: Membandingkan kadar seru feritin pada anak yang terinfeksi dan tanpa infeksi STH.

Metode: Penelitian potong lintang dilakukan di dua Sekolah Dasar di Desa Suka, Kabupaten Karo pada bulan Januari 2017. Sampel adalah anak sekolah dasar dengan dan tanpa infeksi STH, anak sehat dengan status nutrisi baik. Dari 80 sampel anak sekolah dasar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anak dengan infeksi STH (40 orang) dan kelompok anak tanpa infeksi STH (40 orang). Dari masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan kato-katz dan serum feritin dengan metode ECLIA melalui pemeriksaan laboratorium. Analisis dilakukan dengan uji Man Whitney dan Kruskal-Wallis. Nilai P<0.05 dianggap signifikan.

Hasil: Dari 40 sampel anak yang terinfeksi STH, Ascaris lumbricoides ditemukan pada 18 sampel (18/40), diikuti oleh infeksi campuran antara Ascaris dan Trichuris 12 sampel (12/40), Ascaris dan Hookworm 1 sampel (1/40), infeksi Trichuris trichiura 9 sampel (9/40), infeksi Hookworm pada 1 sampel (1/40). Kadar serum feritin antara kedua kelompok adalah 76±56.97 vs 84.78±52.99 (p=0.47). Hubungan antara jenis STH dan kadar serum feritin diperoleh nilai p=0.37. Hubungan antara intensitas ringan dan sedang terhadap kadar serum feritin 75.44±63.65 vs 74.84±71.79 (p=0.39) dijumpai pada infeksi Ascaris lumbricoides, sedangkan penilaian kadar serum feritin terhadap intensitas Trichuris dan Hookworm tidak dapat dinilai.

Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar serum feritin yang bermakna antara kedua kelompok

Kata kunci: serum feritin, infeksi STH, defisiensi besi, anak sekolah dasar

(16)

The Comparison Of Ferritin Serum Level In School Children With and Without Soil-Transmitted Helminth Infection

Khosiah Rahmi Daulay1, Bidasari Lubis1, Syahril Pasaribu1 Ayodhia Pitaloka Pasaribu1

Department of Child Health, Medical Faculty, University of Sumatera Utara, Indonesia

Introduction: Iron Deficiency Anemia is one of the common effect of Soil- Transmitted Helminth (STH) infection. This infection especiallty due to trichuriasis and hookworm can cause iron loss and malabsorption, therefore the measurement of the serum ferritin is needed for early detection of iron deposit in human body in order to prevent anemia.

Objective : To compare the level of ferritin serum in school children with and without STH infection.

Method: A Cross sectional study was conducted in elementary school on Suka Village, Karo regency in January 2017. The inclusion criterias were children with and without STH infection, no underlying disease and the nutritional status was normal. We enrolled 80 children which equally divided into 2 groups. STH infection group (40 samples) and without STH infection (40 samples). Kato-Katz was used to identify types of helminth and intensity.

Ferritin serum was examined using ECLIA technique by laboratory test. We use Mann Whitney U and Kruskal wallis for comparison, with P value < 0.05 considered significant.

Result :Among 40 patients that infected with helminthiasis, Ascaris Lumbricoides is the most common species found in 18 patients (18/40), followed by mixed infection between Ascaris and Trichuris found 12 patients (12/4), Ascaris and Hookworm found 1 patients (1/40), Trichuris Trichiura found 9 patients(9/40). Ferritin serum level between two group were 76±56.97 vs 84.78±52.99 (p=0.47). The relationship between types and intensity of helminth infection with ferritin serum were p=0.37. The relationship between serum ferritin and intensity of Ascaris was 0.39, but we can not asses the relationship between serum ferritin and Trichuris and Hookworm intensity.

Conclusion: There is no significant difference between two group for serum ferritin.

Keyword : Serum ferritin, STH infections, iron deficiency, primary school children

(17)
(18)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi cacing yang disebabkan Soil Transmitted Helminth (STH) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Infeksi STH tergolong neglected disease yaitu penyakit infeksi yang kurang mendapat perhatian. 1,2 Penyakit ini bersifat kronis dan dapat menimbulkan dampak malnutrisi, anemia, gangguan tumbuh kembang dan gangguan kognitif pada anak. STH menginfeksi lebih dari 1.45 milyar individu di seluruh dunia .3,4 Prevalensi tertinggi infeksi STH terjadi pada kelompok anak sekolah yang berada di negara Asia mencapai 71%.5,6 Berdasarkan hasil penelitian di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, diperoleh prevalensi kecacingan untuk jenis Ascaris lumbricoides dan infeksi campuran di 5 sekolah dasar yang dilakukan pada tahun 2004 masing-masing mencapai 10,3% dan 89,7 %. Dari 89,7% infeksi campuran, diperoleh infeksi campuran antara Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang, Ascaris lumbricoides dan cacing tambang, masing-masing dengan prevalensi 95,65 , 39% dan 0,4%. 7

Infeksi STH merupakan salah satu faktor risiko terjadinya defisien besi dan akhirnya mencapai tahapan anemia defisiensi besi pada infeksi kronis.8 Prevalensi terjadinya defisiensi besi di dunia mencapai 2 milyar.9

(19)

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, diperoleh prevalensi anemia yang disebabkan kecacingan sebesar 30%.10 Dampak langsung yang ditimbulkan akibat defisiensi besi adalah terhambatnya pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak, berkurangnya produktifitas kerja, dan menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit.8,11 Akibat dampak yang ditimbulkan, infeksi STH dimasukkan ke dalam istilah DALYs ( Disability- Adjusted Life years ).12

Kadar serum feritin merupakan indikator spesifik yang sering digunakan untuk menilai status penyimpanan besi dalam tubuh.13 Pada infeksi STH dapat dijumpai penurunan kadar serum feritin.8 Penurunan kadar serum feritin pada infeksi STH dikaitkan dengan efek yang ditimbulkan STH, berupa gangguan penyerapan besi, perdarahan saluran cerna, dan menurunnya nafsu makan.14 Nilai serum feritin yang rendah mencerminkan suatu kondisi awal terjadinya defisiensi besi.13 Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan sehubungan dengan kadar serum feritin terhadap infeksi STH baik di Indonesia maupun di luar negeri.15 Penelitian yang dilakukan di Manado pada tahun 2013, tidak diperoleh hasil bermakna antara infeksi STH dengan kadar serum feritin yang rendah. Sementara pada penelitian yang dilakukan di Malaysia tahun 2011, oleh Adebara dkk diperoleh kadar serum feritin yang lebih rendah pada anak dengan infeksi STH dibandingkan pada anak yang tidak terinfeksi.8

(20)

3

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, salah satu dampak dari infeksi STH dapat menyebabkan defisiensi besi dan anemia defisiensi besi. Atas dasar inilah diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai perbandingan kadar serum feritin pada anak usia sekolah dasar dengan dan tanpa infeksi STH sebagai langkah awal untuk mencegah terjadinya defisiensi besi dan anemia defisiensi besi. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: apakah terdapat perbedaan kadar serum feritin pada anak sekolah dasar dengan dan tanpa infeksi Soil -Transmitted Helminth.

1.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan kadar serum feritin pada anak sekolah dasar dengan dan tanpa infeksi Soil-Transmitted Helminth

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membandingkan kadar serum feritin pada anak usia sekolah dasar dengan dan tanpa infeksi Soil- Transmitted Helminth.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Menganalisa hubungan spesies cacing terhadap kadar serum feritin.

2. Menganalisa hubungan intensitas infeksi STH terhadap kadar serum feritin.

(21)

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai langkah awal dalam mencegah terjadinya anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi STH di Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara

2. Untuk menurunkan angka kejadian defisiensi besi yang disebabkan infeksi STH.

3. Membantu program Departemen Kesehatan khususnya Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dalam memberantas masalah kecacingan.

(22)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Soil-Transmitted Helminth

Soil-transmitted helminth (STH) adalah kelompok cacing nematoda yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi yang disebabkan oleh cacing termasuk kedalam Neglected tropical diseases (NTDs), yaitu kelompok.

penyakit yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dan perencana program kesehatan. 14 Penularan STH terhadap manusia melalui kontak langsung manusia terhadap telur parasit atau larva yang berkembang di tanah yang hangat dan lembab di negara tropis dan subtropis di dunia.

Terdapat empat jenis STH yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus ). 12,16,17 Anak yang terinfeksi STH dapat mengalami malnutrisi, perawakan pendek, kemunduran intelektual dan defisit kognitif dan gangguan dalam pendidikan.12 Infeksi STH jarang menyebabkan kematian.

Namun infeksi ini dihubungkan dengan efek yang ditimbulkannya secara kronis terhadap kesehatan dan status nutrisi pada manusia.16

Siklus hidup dari STH mengikuti pola pada umumnya. Cacing dewasa Ascaris, Trichuris, dan Hookworm (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) hidup di usus manusia. Ascaris menginfeksi seluruh usus halus.

Hookworm menginfeksi bagian atas usus halus. Dan trichuris menginfeksi

(23)

usus besar, terutama caecum. Selanjutnya keempat jenis cacing ini akan bereproduksi, dan menghasilkan telur, yang akan dikeluarkan melalui tinja manusia dan tersimpan di lingkungan luar (tanah) .16

2.2 Epidemiologi infeksi Soil-Transmitted Helminth

Diperkirakan penduduk dunia yang menderita infeksi Soil-Transmitted Helminth (STH) pada tahun 2010 adalah 438,9 juta orang terinfeksi jenis hookworm, 819 juta terinfeksi jenis Ascharis lumbricides, 464,6 juta terinfeksi jenis Trchuris trichiura.Prevalensi tertinggi terjadinya infeksi Soil-transmitted helminth (STH) dan penyebab penurunan kualitas hidup yang disebabkaan kecacingan terjadi di negara Asia dan Afrika.5 Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2013, di 175 kabupaten/kota di Indonesia diperoleh rata-rata prevalensi kecacingan pada anak sekolah mencapai 28,12%.18 Sementara itu, survei kecacingan pada anak di Sumatera Utara yang dilaksanakan tahun 2010, diperoleh hasil bahwa prevalensi kecacingan pada anak sekolah khususnya anak Sekolah Dasar adalah 63%. Hal ini menunjukkan betapa tinggi penyakit kecacingan pada anak sekolah, khususnya anak Sekolah Dasar di Sumatera Utara.19

Pada tahun 2014 di Kabupaten Karo dilakukan survey terhadap 2 sekolah dasar, yaitu SDN 040406 dan SDN 040452, diperoleh prevalensi kecacingan masing-masing mencapai 10,3% dan 89,7%.16 Penelitian lain yang dilakukan di Sumatera Utara mendapatkan hasil prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar di kecamatan Pangururan (kabupaten Samosir),

(24)

7

kecamatan Sibolga Kota (kabupaten Sibolga) masing-masing sebesar 56,40% dan 55,8%. Hal ini menunjukkan penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar di Provinsi Sumatera Utara masih tinggi.3,21,22 STH secara luas tersebar di daerah tropis dan subtropis. Iklim merupakan faktor penentu yang penting dalam penularan infeksi, dengan kelembaban yang cukup dan suhu yang hangat, larva cacing dapat berkembang di tanah. 12,16

Prevalensi untuk setiap jenis STH berbeda-beda. Infeksi A.

lumbricoides dan T. trichiura pada anak paling banyak dijumpai pada usia 5- 15 tahun, dengan penurunan intensitas dan frekuensi di usia dewasa.

Berbeda dengan infeksi cacing hookworm, infeksi cacing ini dapat dijumpai pada masa anak dan frekuensi serta intensitasnya tetap tinggi pada dewasa, bahkan pada orang lanjut usia terutama pada daerah dataran tinggi. Infeksi hookworm merupakan efek dari invasi perkutaneus larva infektif yang terdapat di tanah. Intensitas hookworm yang tinggi pada remaja dan dewasa, dalam beberapa kasus dikaitkan dengan pekerjaan dibidang pertanian dan perkebunan serta penggunaan feses manusia sebagai pupuk.16,23

(25)

Gambar 1.Intensitas infeksi terkait usia pada infeksi cacing yang disebabkan A. lumbricoides, T. trichiura, hookworm, dan S. haematobium.23

2.3 Siklus hidup Soil-Transmitted Helminth (STH)

Siklus hidup A. lumbricoides, T. trichiura dan hookworm mengikuti pola umum yang sama yaitu penyebaran melalui siklus fecal-oral. Manusia terinfeksi dengan menelan telur yang infektif. N. americanus menginfeksi melalui kulit, sedangkan pada infeksi A. duodenale lebih sering terjadi dengan tertelan larva. Larva A. duodenale menginfeksi melalui oral dan dapat bertransmisi laktogenik selama menyusui. Ukuran cacing STH sangat bervariasi dan cacing betina lebih besar dibandingkan dengan cacing jantan. Setelah kawin, setiap cacing betina dewasa menghasilkan ribuan telur per hari dalam tinja.

Cacing dewasa A. lumbricoides, dan hookworm hidup di usus halus, sedangkan T. trichiura hidup di kolon ascendens dan sekum.24,25,26

(26)

9

2.4 Efek yang ditimbulkan infeksi Soil -Transmitted Helminths (STH) Infeksi STH lebih banyak menyebabkan berkurangnya produktifitas manusia.

Dampak langsung yang ditimbulkan oleh infeksi STH berupa berkurangnya penyerapan zat-zat gizi, berupa kalori, protein, ataupun mikronutrien lainya serta kehilangan darah. Selain itu dapat menghambat produktifitas kerja, dan menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit. Akibat dampak yang ditimbulkan ini maka infeksi STH dimasukkan ke dalam istilah DALYs ( Disability- Adjusted Life years ).11

Efek yang ditimbulkan akibat infeksi Soil – Transmitted Helminth adalah: 27 TABEL 1. Gangguan nutrisi pada infeksi STH18

Nutrisi Efek infeksi parasit Efek Terhadap Tubuh Usia Energi Nafsu makan

berkurang , energi yang masuk berkurang

Energi yang masuk tidak cukup untuk menykong pertumbuhan , aktivitas, perkembangan fetus, dan sekolah

Umur 1-5 tahun , usia sekolah , usia

reproduktif Protein Berkurangnya

absorbsi protein, kehilangan protein meningkat ,

berkurangnya energi yang masuk

menyebabkan protein di metabolisme untuk memenuhi kebutuhan energi

Pertumbuhan anak

terhambat , berat bayi lahir rendah

Usia awal pertumbuh an , usia reproduktif

Lemak Berkurangnya absorbsi lemak

Penurunan vitamin A Ibu yang menyusui

(27)

menghasilkan masukan energi berkurang , absorbsi vitamin A tidak efisien

dan anak usia muda

Laktosa Berkurangnya aktivitas laktosa

Pencernaan laktosa tergangu, konsumsi susu berkurang

Anak usia muda

Besi Zat besi hilang dari darah dalam usus, berkurangnya intake besi oleh karena nafsu makan berkurang

Anemia , penurunan

kehadiran di sekolah , gagal melakukan aktivitas ,

kehamilan yang buruk

Anak dan dewasa

Vitamin A Pengurangan absorbsi dan pemanfaatan

prekursor vitamin A

Defisiensi vitamin A Anak dan dewasa

Mikronutren lainnya

Berkurangnya makanan yang masuk

mengakibatkan masukan mikronutrien

berkurang khusunya zink, asam folat, vitamin B12

Defisiensi mikronutrien Anak, wanita hamil dan menyusui

2.5 Dampak ascariasis terhadap kadar serum feritin

Dampak yang ditimbulkan oleh jenis Ascaris lumbricoides dikarenakan keberadaan cacing dewasa di usus halus. Absorbsi zat besi sebagaimana diketahui terjadi di usus halus. Intensitas cacing yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya penyerapan mikronutrien, termasuk zat besi..

(28)

11

Zat besi diperlukan oleh sistem imun atau sel makrofag untuk menghasilkan Highly Toxic Hidroksikal yang berfungsi melawan patogen mikroorganisme.

Dan disisi lain, mikroorganisme juga membutuhkan zat besi untuk berkembang biak dalam tubuh. Dalam kondisi ketidakseimbangan besi, maka ditingkat seluler akan melakukan kompensasi dengan membongkar zat besi yang sebelumnya tidak terpakai atau sebagai cadangan zat besi dalam tubuh (feritin).28,29 Kondisi ketidakseimbangan besi yang berlangsung lama, akan diperberat dengan kurangnya intake zat besi dan nutrisi lainnya. Hal ini dikarenakan infeksi ascaris merangsang produksi sitokin (berupa interleukin - 1, interleukin -6, dan TNF-α) yang berperan dalam respon katabolik terhadap infeksi dan perlukaan. Dimana sitokin ini merupakan substansi penting dalam menekan selera makan, penyebab hilangnya protein, dan meningkatkan pengeluaran energi.27 IL-6 dan lipopolisakarida menstimulasi pengeluaran hepsidin sebagai akut fase reaktan yang akan menghambat absorbsi besi di usus.30

Infeksi ascaris juga berdampak terhadap absorbsi dan pencernan makanan. Hal ini dikarenakan efek cacing dewasa yang menetap di usus halus. Epitel duodenum merupakan tempat utama absorbsi besi pada organisme. Pada bagian kripta epitel duodenum terdapat sel prekursor multipoten yang akan berdiferensiasi menjadi enterosit. Enterosit berperan penting untuk regulasi absorbsi dan transpor besi. Pada biopsi jejunum, anak yang terinfeksi ascaris menunjukkan abnormalitas usus sepert pemendekan

(29)

villi, pemanjangan kripta, penurunan ratio vilus berbanding kripta, dan terjadinya infiltrasi sel di lamina propria. Abnormalitas usus halus akan menyebabkan regulasi absorbsi zat besi menjadi terhambat, sehingga absorbsi zat besi menjadi berkurang. Level zat besi yang rendah akan menghambat sintesis feritin melalui peningkatan IRP terhadap IRE sehingga translasi feritin ditekan.8,28,29

2.6 Dampak trichuriasis terhadap kadar serum feritin

Defisiensi besi dan anemia yang ditimbulkan oleh jenis cacing trichuris dan hookworm melalui mekanisme perlukaan usus, sehingga timbul kehilangan darah usus. Setiap 10 cc darah yang hilang melalui usus mengandung 3-7 mg besi. Besi yang diperoleh dari penghancuran darah dalam bentuk heme akan diserap kembali di usus halus yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan sel darah merah dan sisanya disimpan dalam bentuk feritin.

Namun bila kehilangan darah berlangsung terus menerus di saluran cerna, maka tubuh akan mengkompensasi pembentukan sel darah merah, dimana untuk pembentukan sel darah merah tersebut diperlukan zat besi, apabila intake zat besi tidk adekuat, maka tubuh akan mengambil cadangan besi (feritin) dari jaringan untuk diubah menjadi besi yang diperlukan. Hal ini menyebakan kadar feritin menjadi rendah. Selain itu infeksi trichuris dan hookworm juga menyebabkan berkurangnya nafsu makan pada anak, melalui

(30)

13

mekanisme peningkatan level TNF α, sebagai reaksi terhadap infeksi keduanya. 8,28,29

Infeksi trichuris berdampak terhadap perubahan nutrisi berupa gangguan pertumbuhan pada anak, berkurangnya intake makanan, defisiensi besi, dan kehilangan protein dari saluran cerna. Dampak ini tergantung kepada intensitas infeksi cacing dan mungkin dihubungkan dengan infeksi bakteri ikutan yang disebabkan perusakan dinding usus oleh cacing dewasa.

Kerusakan dinding usus ini disebabkan oleh TT47 yang diproduksi oleh trichuris. TT47 adalah suatu protein yang dihasilkan oleh trichuris yang berbentuk ion yang melubangi lapisan lemak, sehingga memungkinkan cacing untuk masuk ke dalam usus dan meletakkan bagian ujung anterior di daerah sekum. 12

Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh Trichuris trichiura dapat

melalui 2 proses, yaitu: trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding usus terjadi oleh karena cacing ini membenamkan

bagian kepalanya pada dinding usus. Cacing ini akan menetap di sekum.

Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit.

Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respon imunitas humoral yang ditunjukkan dengan adanya reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh Ig E, akan tetapi peran imunitas seluler belum terlihat. Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di submukosa dan pada infeksi berat ditemukan edema. Pada

(31)

keadaan ini mukosa sekum akan mudah berdarah, namun cacing tidak akan menghisap darah. Gejala pada infeksi berat dijumpai mencret yang diselingi sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga berat badan turun, anoreksia, anemia. Pada kasus sindrom disentri yang disebabkan trichuris, darah yang terdapat pada tinja merupakan komponen yang dapat berubah-ubah, dan ini berperan dalam menyebabkan hilangnya zat besi dan anemia. Diperkirakan darah yang hilang sekitar 0,005ml/hari untuk satu ekor trichuris. Hilangnya zat besi yang disebabkan oleh trichuris lebih sedikit dibanding dengan hookworm. Karena defisiensi besi sering terjadi pada daerah endemis trichuris, hilangnya zat besi yang signifikan dapat terjadi, oleh karena itu setiap anak memerlukan tambahan zat besi 4,25 mg per hari untuk setiap infeksi 200 cacing. Pada infeksi yang sangat berat dapat terjadi prolapsus rekti. 11,12,25,26

2.7 Dampak infeksi cacing tambang (Hookworm)

Pada anak usia sekolah, hookworm berperan dalam menyebabkan anemia ringan sampai dengan berat. Selain menginfeksi anak usia sekolah, hookwoorm juga menginfeksi wanita hamil. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan secara cross-sectional di Afrika dan Asia diperoleh 30-54% kejadian anemia ringan sampai berat disebabkan oleh hookworm.13 Morbiditas utama yang ditimbulkan oleh infeksi hookworm secara langsung adalah kehilangan darah di usus halus.11 Hookworm berkontribusi dalam

(32)

15

menyebabkan anemia dan menginduksi terjadinya defisiensi besi dikarenakan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah cadangan besi tubuh, intensitas dan spesies cacing (A. Duodenale lebih besar menyebabkan kehilangan darah dibandingkan N. Americanus).31 Kehilangan darah pada infeksi hookworm berhubungan dengan kebiasaan cacing dewasa menghisap darah, dimana cacing dewasa hookworm akan melekatkatkan diri ke mukosa dan submukosa bagian proksimal usus halus sehingga menyebabkan villi-villi usus ruptur dan mengeluarkan darah.24,26,32

Ancylostoma caninum antikoagulan peptida (AcAPs) merupakan molekul antikoagulan yang disekresikan Ancylostoma. AcAPs ini menghambat koagulasi dan menyebabkan perdarahan terus menerus dengan cara menghambat faktor Xa dan VIIa/tissue factor.12 Untuk jenis Necator americanus menghisap darah sebanyak 0,03 ml dan untuk jenis Ancylostoma duodenale dapat menghisap 0,26 ml darah dalam 24 jam dan diperkirakan 50% sel darah merah mengalami hemolisis saat hookworm masuk menembus usus. Infeksi hookworm kronis pada anak, baik yang ringan ataupun berat akan menyebabkan perdarahan saluran cerna. Setiap 10cc darah yang hilang mengandung 3-7 mg zat besi. Zat besi yang diperoleh dari darah yang hancur, akan diserap kembali oleh usus yang selanjutnya digunakan untuk proses eritropoeisis dan sisanya disimpan dalam bentuk feritin.8,29 Proses eritropoesis akan berlangsung sempurna

(33)

apabila intake besi di dalam tubuh adekuat.33 Pada infeksi hookworm juga terjadi proses inflamasi dalam tubuh yang menghasilkan pelepasan sitokin TNF α, IL-1, IL-6.27 Sitokin ini menyebabkan penurunan nafsu makan, yang akan memperberat penurunan intake besi dan pada akhirnya menyebabkan kehilangan protein. Intake besi yang menurun akan dikompensasi tubuh dengan melakukan pengambilan cadangan besi (feritin).33

Tabel 2. Hubungan antara infeksi hookworm, kehilangan darah saluran cerna, dan status besi 27

Necator Ancylostoma Rata-rata darah yang hilang per

satu cacing (m/hari)

0.03 (0,01-0,04) 0,15(0,05-0,30) Jumlah cacing menyebabkan

kehilangan darah 1ml per hari

25 (14-50 ) 5(4-7) Rata-rata (+/-SD) darah yang

hilang(ml/hari) per 1000 epg pada tinja

1,3 ( 0,82-2,24 ) 2,2 (1,54-2,86)

Jumlah cacing yang berperan dalam 1000 epg tinja

32 11

Besi yang hilang (mg/hari) per 1000 epg tinja

0,45 0,76

2.8 Pemeriksaan Penunjang Soil-Transmitted Helminth

Dalam mendiagnosis kecacingan banyak cara dan teknik yang dapat dilakukan, cara yang lazim digunakan adalah memeriksa tinja segar dengan membuat sediaaan langsung (direct smear).Untuk pemeriksaan ini sebaiknya jangan diambil tinja yang sudah lama (lebih dari 24 jam) karena telur cacing tambang dalam tinja yang agak basah dalam waktu itu akan menetas dan

(34)

17

sukar diidentifikasi. Cara yang dianjurkan internasional adalah cara Kato Katz, yaitu sediaan ditutup dan diratakan dibawah “cellophane tape” yang sudah direndam dalam larutan hijau malachit ( malachite green) supaya dapat efek penjernihan (clearing).11,34 Hasil pemeriksaan sampel tinja dinyatakan dengan kualitatif yaitu positif dan negativ, dan proporsi hasil positif dari sampel tinja yang diperiksa memberikan interpretasi tingkat prevalensi dari sejumlah sampel yang diperiksa. Selain itu pemeriksaan sampel tinja juga dapat dinyatakan secara kuantitatif yaitu menyatakan jumlah telur cacing

per gram dalam setiap sediaan yang diperiksa. Dan hal ini menggambarkan intensitas infeksi pada sampel individu yang diperiksa.11,14

Menghitung intensitas infeksi dilakukan dengan menghitung tiap jenis telur cacing dengan cara zig zag sampai seluruh lapangan pandang selesai.

WHO merekomendasikan menggunakan template untuk menampung tinja seberat 41,7 mg, sehingga hasil perhitungan jumlah telur dilapangan pandang dikalikan dengan faktor pengali 24. Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi, yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg per gram/EPG) tiap jenis cacing. Intensitas infeksi STH terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat. Pada cacing gelang, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai 4999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 5.000 sampai dengan 49.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 50.000 telur per gram feses. Pada cacing

(35)

cambuk, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 1.000 sampai dengan 9.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 10.000 telur per gram feses. Pada cacing tambang, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 1.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 2.000 sampai dengan 3.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 4.000 telur per gram feses.11

Tabel 3. Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing 11

Klasifikasi Jenis cacing

Cacing gelang Cacing cambuk Cacing tambang

Ringan 1 - 4.999 1 – 999 1 - 1.999

Sedang 5.000 – 49.999 1.000 – 9.999 2.000 – 3.999

Berat ≥ 50.000 ≥ 10.000 ≥ 4000

2.9 Metabolisme Besi

Banyak protein yang terlibat dalam metabolisme zat besi. Beberapa protein seperti feritin atau transferin merupakan protein utama dalam besi darah . Sementara hepcidin, matriptase (Mt2), iron regulatory protein (IRPs) adalah protein yang berperan dalam regulasi besi. Beberapa protein yang berbeda seperti metal transporter-1 (DMT1), ferroportin (FPN1), dan transferin reseptor (Tfrs) dihubungkan dengan feroksidase seperti duodenal citokrom B, ceruloplasmin (Cp) dan heme carrier protein (HCP1) termasuk kedalam transportasi besi membran selular.35

(36)

19

Dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk , yang pertama feritin yang bersifat mudah larut, tersebar di parenkim dan makrofag, terbanyak di hati.

Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin terutama ditemukan dalam sel kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang, zat besi bersama protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter, dan proses katabolisme. Jumlah zat besi yang yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus.35

2.10 Penyebaran dan pengangkutan besi tubuh

Pengangkutan dan penyimpanan besi sebagian besar diperantarai oleh tiga protein: transferin, reseptor transferin1 (TfR1) dan feritin.Transferin mengandung sampai dua atom besi. Transferin mengangkut besi ke jaringan yang mempunyai reseptor transferin, khusunya eritroblas dalam sumsum tulang yang menggabungkan besi tersebut `dalam hemoglobin. Transferin digunakan ulang pada akhir masa hidupnya, eritrosit dihancurkan dalam makrofag sistem retikuloendotelial dan besi dilepaskan dari hemoglobin, masuk ke dalam plasma dan merupakan sumber sebagian besi dalam

(37)

transferin. Hanya sebagian kecil besi transferin plasma yang berasal dari besi dari makanan, yang diserap melalui duodenum dan jejunum. 36

Sebagian besi disimpan dalam makrofag sebagai feritin dan hemosiderin, jumlahnya sangat bervariasi tergantung status besi dalam tubuh secara keseluruhan. Feritin merupakan kompleks protein-besi yang larut dalam air, dengan berat molekul 465000. Hemosiderin adalah kompleks protein besi yang tidak larut dengan komposisi yang bervariasi. Hemosiderin berasal dari pencernaan parsial agregat molekul feritin oleh lisosom. Besi dalam feritin dan hemosiderin adalah dalam bentuk ferri (Fe3+). Besi ini dimobilisasi setelah direduksi ke bentuk fero (Fe2+) dengan keterlibatan vitamin C, Seruloplasmin, suatu enzim yang mengandung tembaga, mengkatalisasi oksidasi besi ke bentuk feri untuk pengikatan dengan transferin plasma.36

Besi juga terdapat dalam otot sebagai mioglobin dan dalam sebagian besar sel dalam tubuh, enzim yang mengandung besi (misal sitokrom , suksinat dehidrogenase katalase). Besi jaringan, lebih kecil kemungkinan untuk terkuras daripada hemosiderin, feritin dan hemoglobin dalam keadaan defisiensi besi, tetapi mungkin terjadi sedikit pengurangan enzim yang mengandung heme.36

(38)

21

2.11 Penyerapan besi tubuh

Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus , yang pertama adalah penyerapan dalam bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi. Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus. Selanjutya sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk transferin serum .37

Penyerapan besi berlangsung di dalam usus halus, terutama di duodenum sampai pertengahan jejunum. Besi di dalam makanan terbanyak dalam bentuk non heme (Fe3+). Dengan bantuan asam lambung, vitamin C, dan asam amino akan mengalami reduksi menjadi bentuk ferro (Fe2+).

Terdapat dua tahapan penyerapan besi di dalam usus, yaitu masuknya besi dari lumen usus ke dalam mukosa sel usus (enterosit) dan keluarnya besi dari sel mukosa usus menuju plasma. Protein transpor besi yang disebut

(39)

divalent metal transport (DMT)-1. DMT-1 akan meregulasi pengangkutan besi dari lumen usus ke dalam sel usus (enterosit). Proses ini dibantu oleh duodenal sitokrom b, yang mengubah bentuk ferric (Fe3+) ke bentuk ferrous (Fe2+) agar mudah diserap. Transpor besi dari lumen usus ke plasma dilakukan oleh ferroportin-1 dan hephaestin. Lokasi feroportin-1 di basolateral membran apikal enterosit, berfungsi sebagai protein yang membawa besi ke dalam plasma. Hephaestin akan megubah besi menjadi feroksidase aktivitas yang berkontribusi dalam transpor besi dengan cara mengubah besi ke bentuk ferric (Fe3+) sehingga dapat diambil oleh apotransferin yang berada di sirkulasi (plasma). Seruloplasmin juga memiliki aktivitas feroksidase dan mampu melepaskan besi dari sel dengan baik.38,39

Gambar.2. Skema absorbsi besi usus dan transport besi ke dalam plasma39

(40)

23

2.12 Defenisi Feritin

Feritin adalah protein penyimpan zat besi paling utama yang terdapat di dalam tubuh. Keberadaan feritin sebagian besar tersimpan pada retikuloendotelial sel seperti hati, limpa, dan sum-sum tulang. Dan hanya sebagian kecil feritin ditemukan di dalam plasma darah. Feritin yang dijumpai di dalam serum darah disebut serum feritin. Serum feritin mencerminkan simpanan besi dalam tubuh. 40,41 Serum feritin tidak terdiri atas besi, karena terdiri atas L-feritin , yang tidak mempunyai kemampuan mengubah besi ke bentuk feritin untuk disimpan menjadi serum feritin , merupakan indikator produksi feritin di dalam sel. Feritin memegang peranan penting dalam penyimpanan besi intrasel dan merupakan indikator produksi feritin di dalam sel . Feritin memegang peranan penting dalam penyimpanan besi intrasel . Fungsi utama feritin adalah menyediakan cadangan besi , dimana besi akan digunakan untuk mensintesis heme. Setiap feritin dapat mengikat molekul besi sampai 4000 atom besi.41

Feritin ditemukan awalnya pada tahun 1937 oleh ilmuan dari Prancis , yang bernama Laufberger. Dimana feritin yang diperoleh berasal dari limpa kuda, yang terdiri atas 23% besi. Keberadaan feritin di dalam serum manusia di dokumentasikan setelah nya.38 Pada manusia sehat, konsentrasi serum feritin secara langsung dihubungkan dengan ketersediaan cadangan besi

(41)

tubuh. Pada beberapa keadaan konsentrasi serum feritin mencerminkan keadaaan penyimpanan besi di dalam sistem retikuloendotelial sel.

Perubahan cadangan besi yang terjadai pada sistem retikuloendotelial sel akan diikuti dengan perubahan kadar serum feritin. Rata-rata konsentrasi serum feritin pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita. Pada pasien yang menderita anemia defisiensi besi dijumpai kadar serum feritin dibawah 12 µg per liter.43

2.13 Struktur feritin

Tipe H disebut juga sitoplasmik feritin, mitokondria feritin, plastid feritin (pada tumbuhan) dan bakterial feritin yang secara enzimatik (peroksidase) aktif yang terdapat pada ma nusia dan hewan. Tipe H merujuk kepada feritin yang terdapat di jantung, yang tersusun atas subunit yang berat.42 Tipe H feritin memiliki aktifitas peroksidase, yang berguna untuk proses oksidasi besi sebelum besi disimpan dalam bentuk feritin.41 Tipe L merujuk kepada feritin yang terdapat di hati, yang tersusun atas subunit yang lebih ringan. Terdapat perbedaan kecepatan pengambilan besi antara subunit H dan L, dimana subunit H lebih besar dalam pengambilan besi dibanding dengan subunit L.

Rasio antara subunit H dan subunit L dalam mengikat protein bervariasi, tergantung dari tipe jaringan dan perkembangan tahap penyimpanan feritin.

Rata –rata ratio subunit H dan L feritin pada manusia yang terdapat pada

(42)

25

jaringan dari 10:1 (eritrosit , jantung) ke 0,2:1( pada hati) dan 0,12:1 pada limpa kuda.42

Gen yang mengkode subunit H dan subunit L pada manusia berlokasi di kromosom 11q dan 19q. Kedua feritin subunit H dan L juga mempunyai banyak gen semu. Untuk rangkaian asam amino hampir sama antara feritin subunit H dan subunit L yaitu berkisar 50%, namun untuk rangkaian penyimpanan feritin antara subunit H dan L berbeda, dimana subunit H 90%

dan subunit L 80%.42

2.14 Regulasi dan sintesis feritin diperantarai zat besi

Sintesis feritin di rangsang melalui pemberian zat besi. Feritin yang terdapat dalam sitoplasma diregulasi melalui proses translasi feritin H dan L mRNAs untuk menggabungkan besi dalam bentuk cincin di dalam sel atau “labile”

besi. Ketika level zat besi rendah maka sintesis feritin akan menurun , sebaliknya apabila level feritin tinggi maka sintesis besi akan meningkat.

Walaupun dalam kenyataanya peningkatan feritin mRNA sebagai respon terhadap zat besi, namun respon regulasi feritin ke zat besi lebih besar setelah prose transkripsi, hal ini dikarenakan pengambilan simpanan mRNA dari monosom ke polisom yang mengandung zat besi. Proses ini merupakan hasil interaksi antara RNA terikat protein dan 5’ regio feritin H dan L mRNA yang tidak ditranslasi yang terdiri atas struktur ‘stem-loop’ . Ini disebut ‘iron responsive element’ (IRE).44

(43)

Terdapat 2 RNA yang berikatan dengan protein , yaitu Iron Regulatory Protein 1 dan 2 ( IRP1 dan IRP2 ) , yang akan menggabungkan ke struktur stem-loop dan menghambat translasi mRNA. Namun kedua protein ini berbeda regulasinya . IRP1 adalah jenis protein besi-sulfur yng terdiri dari 2 bentuk. Ketika zat besi dalam keadaan yang berlimpah , maka IRP1 akan berperan sebagai sitosolik akonitase ( enzim yang berfungsi mengkatalisasi bentuk aktif besi – sulfur menjadi bentuk inaktif ). Apabila zat besi menipis , maka IRP1 akan melepaskan atom-atom besi dari ikatan besi-sulfur sehinga atom-atom besi yang lepas dapat berikatan dengan IRE stem-loop , yang akan menekan translasi feritin. IRP2 diregulasi melalui penghancuran. Protein IRP2 berlebih jumlahnya pada keadaan kekurangan zat besi, namun IRP2 dengan cepat dihancurkan pada keadaan kelebihan besi melalui target rantai asam amino 73.44

Walaupun IRP1 dan IRP2 berikatan dengan IRE dan menghambat sintesis feritin, inilah yang menjadi dasar bahwa IRP1 dan IRP2 mungkin memiliki peran dalam jaringan. Ratio IRP1/IRP2 berbeda di setiap jaringan.

IRP1 lebih banyak terdapat pada hati, ginjal, usus, dan otak, dan sedikit pada pituitari dan pro-B limfosit. Interksi antara IRE-IRP merupakan rangkaian gen- gen yang meregulasi keseimbangan besi. Sebagai contoh regio 3” yang tidak ditranslasi oleh gen reseptor transferin, yang terdiri dari 5 rangkaian IRE yang berurutan. Ikatan IRE-IRP memanjangkan waktu paruh reseptor transferin mRNA yang akhirnya akan meningkatkanperan reseptor transferin pad

(44)

27

permukaan sel pada kondisi deplesi zat besi. Pada kasus feritin, pengikatan IRP menghambat translasi, karena pengikatan IRP akan meningkatkan waktu paruh reseptor transferin. Oleh karena itu defisiensi besi merangsang sintesis reseptor transferin. Sebagai tambahan feritin H dan L dan reseptor transferin mampu menginduksi Eritroid ALA (eALA) sintase (enzim yang mengkatalisasi kecepatan dalam biosintesis heme di hepar), mitokondria akonitase, dan DMT–1(protein esensial yang berperan dalam membawa besi dari vakuola kedalam sitoplasma), memiliki fungsi dalam rangkaian Iron Respone Element (IRE).44

Feritin sebagian besar merupakan protein yang terdapat didalam sel dan banyak mRNA terdapat dalam hati dihubungkan dengan ribosome bebas, inilah yang menjadi dasar sintesis dari feritin pada membran yang berikatan dengan polysome. Penghancuran dari feritin, masih belum diketahui dengan pasti. Namun beberapa penelitian dijumpai waktu paruh untuk feritin yang ada di hati berkisar 72 jam, dan ini diperpanjang oleh pemberian besi. Hubungan antara penghancuran feritin dan pembentukan hemosiderin tidak pasti.45

(45)

Gambar 3. Mekanisme regulasi feritin41

2.15 Hubungan serum feritin dengan penyimpanan zat besi

Konsentrasi serum feritin normalnya berkisar 15-300 µg/l dan lebih rendah pada anak dibanding dewasa. Rata-rata nilai feritin lebih rendah pada wanita sebelum menopause dibanding pada pria. Perubahan konsentrasi serum feritin selama perkembangan dari mulai lahir sampai usia yang lebih tua mencerminkan perubahan penyimpanan besi di jaringan. Pada orang yang sehat, serum feritin relatif stabil. Pada pasien dengan anemia defisiensi besi, konsentrasi serum feritin lebih kecil dari 12-15 µg/l. Nilai patokan ini diperoleh dari beberapa penelitian melalui cara menetapkan konsentrasi serum feritin pasien yang menderita anemia defisiensi besi dan mengurangi level besi yang tersimpan di retikuloendetelial. Inilah yang menjadi dasar penggunaan serum feritin sebagai pemeriksaan. Konsentrasi serum feritin yang tinggi ditemukan pada keadaan besi berlebih dalam jaringan, dan dikarenakan penyebab lain. 45

(46)

29

2.16 Feritin sebagai respon fase akut

Konsentrasi feritin merupakan indikator penting penyimpanan total besi dalam tubuh. Infeksi dan trauma berhubungan dengan respon fase akut, sebuah proses non spesifik meliputi produksi acute phase proteins (APPs) yang mengaktifkan respon immun. Tujuan utama dari respon fase akut untuk mencegah penghancuran jaringan , dan menghancurkan molekul-molekul yang merusak dan patogen dalam tubuh. Selama fase ini terjadi peningkatan dari konsentrasi APPs serum disebut positiv APPs dan dapat pula terjadi penurunan dari APPs serum disebut negativ APPs. Perubahan konsentrasi dari APPs disebabkan oleh perubahan produksi APPs yang besar oleh hepatosit, yang regulasi nya diatur oleh oleh sitokin seperti interleukin-1 (IL- 1), interleukin-6 (IL-6), dan Tumor necrosis faktor-α (TNF-α).47

Peran dari positiv APPs, sebagai mekanisme adaptiv melawan kuman dan mekanisme pertahanan tubuh. Yang termasuk positiv APPs adalah CRP, α-1-antitripsin (ACT), AGP yang dikenal dengan orosomucoid, serum amyloid AA (SAA), fibrinogen, haptoglbulin, cerulloplasmin dan feritin.

Peningkatan konsentrasi serum feritin biasanya terjadi sebagai respon terhadap berbagai infeksi atau proses inflamasi, tetapi konsentrasi serum feritin juga mencerminkan simpanan besi total dalam tubuh, oleh karena itu konsentrasi serum feritin yang rendah dapat mencerminkan rendahnya penyimpanan besi dalam tubuh pada keadaan tanpa infeksi. 47

(47)

2.17 Parameter laboratorium

Terdapat beberapa parameter laboratorium yang dapat dilakukan untuk menskrining dan mendiagnosa suatu defisiensi besi, berupa : 1. Marker hematologi , 2. Marker biokimia. 13

Tabel . 4

Marker hematologi mengidentifikasi defisiensi besi 13 Marker

hematologi

Normal Deplesi besi Defisiensi besi tanpa anemia

Anemia

defisiensi besi Hemoglobin

(g/dL)(g/L)

N

≥11 (110) N

≥11 (110) N

≥11 (110) D

<11* (110) MCV (fl) N

70-100

N 70-100

N 70-100

D

<70 RDW (pg) N

<15

N

≥15 N

<15

I

≥15 Retikulosit

hemoglobin konsentrasi (pg)

N

≥29 N

≥29 D

<29

D

<29

Retikulosit N 1-5

N 1-5

N 1-5

D

<1 N : normal , I: increased , D : decreased , * nilai untuk umur 6bulan -2 tahun

Tabel. 5

Marker biokimia untuk mengidentifikasi defisiensi besi 13 Marker biokimia Normal Deplesi

besi

Defisiensi besi tanpa anemia

Anemia

defisiensi besi Feritin serum

(mcg/dL) (mcg/L) N 100±60 (1,000±600)

<20 (200) D

≤10(100)

D

<10 Besi serum

(mcg/dl) (mcmol/L)

N 115±50 (20,6±9)

N

<115 (20,6) D

<60 (10,7)

D

<40 (7,2) Total Iron

binding capacity N 330±30 (59±54)

N 360-390 (64,4-69,8)

N/l

390 – 410 (69,8-73,4)

I

≥410 (73,4)

Saturasi transferin N N D D

(48)

31

(%) 35±15 <30 <20 <10

Serum transferin reseptor (nmol/L)

N

<35

I

≥35

I

≥35

I

≥35 Zinc

protoforpirin/heme (mcmol/mol)

N

<40

N

<40

I

≥40

I

≥70

2.17.1 Serum Feritin

Feritin serum adalah pemeriksaan biokimia paling spesifik yang berhubungan dengan penyimpanan besi total dalam tubuh. Feritin serum yang rendah mencerminkan kekosongan penyimpanan besi dalam tubuh.

Rendahnya feritin serum mencerminkan suatu kondisi defisiensi besi.

Apoferitin serum adalah protein yang terdapt pada fase akut dan akan meningkat responnya apabila terjadi infeksi dan proses inflamasi. Serum feritin dalam nilai normal hanya menggambarkan kekurangan zat besi dalam tubuh . Pada keadaan infeksi dan inflamasi , kadar feritin serum akan meningkat, sementara pada keadaan infeksi parasit dan malaria akan menyebabkan kadar feritin serum rendah . Feritin serum tidak dipengaruhi intake zat besi yang masuk 13,48 Serum feritin menunjukkan respon fase akut dan dapat meningkat dalam berbagai keadaan inflamasi , metabolik, hepatik,

kelainan neoplasma, dan anemia penyakit kronik.

Hal ini akan menyulitkan mengenali defisiensi besi pada pasien dengan kelainan inflamasi, karena dapat meningkatkan serum feritin yang tidak sesuai dengan penyimpanan besi di sisitem retikuloendotelial.49

(49)

Tabel. 6 Konsentrasi feritin serum menurut WHO 48

Simpanan besi

Serum Feritin (µg/l)

<5 tahun >5 tahun

Laki-laki Perempuan Laki-laki perempuan Deplesi besi <12 <12 <15 <15

Deplesi besi pada proses infeksi

<30 >30 - -

Resiko tinggi untuk

kelebihan besi

- - >200 >150

2.17.2 Serum Besi

Konsentrasi besi serum dapat diukur secara langsung. Besi serum akan menurun seiring penurunan cadangan besi dalam tubuh menurun . Besi serum tidak mencerminkan penyimpanan besi dalam tubuh secara akurat, karena kadar besi serum dapat berfluktuasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk absorbsi besi dari daging, infeksi, inflamasi dan variasi diurnal.13,48 Konsentrasi besi serum akan lebih tinggi nilainya pada siang hari , dan akan meningkat setelah mengkonsumsi daging yang merupaka sumber besi. 13 2.17.3 Total iron-binding capacity ( TIBC)

TIBC mengukur ketersedian tempat pengikatan besi. Zat besi yang berada di luar sel akan dibawa ke dalam tubuh oleh transferin, yang merupakan protein pembawa spesifik. Oleh karena itu TIBC mengukur secara tidak langsung kadar transferin, yang akan meningkat apabila konsentrasi besi serum (dan

(50)

33

penyimpanan besi) menurun. Namun, pemeriksaan TIBC ini juga dipengaruhi banyak faktor, seperti malnutrisi, inflamasi, infeksi kronik, dan kanker.13

2.17.4 Saturasi transferin

Saturasi transferin mengindikasikan proporsi transferin yang terikat dengan besi , dimana saturasi transferin ini mencerminkan transpor besi dibnding penyimpanan besi. Pengukuran saturasi tansferin diukur melalui pembagian antara besi serum dengan TIBC, yang digambarkan dalam persen.

Rendahnya saturasi transferin menunjukkan rendahnya besi serum terhadap ketersedian tempat pengikatan besi, dkarenakan rendahnya penyimpanan besi. Saturasi transferin menurun sebelum terjadi keadaan anemia, namun tidak cukup untuk mengidentifikasi kekurangan penyimpanan zat besi.

Saturasi transferin juga dapat berfluktuasi, dipengaruhi oleh baberapa faktor yang sama seperti pada TIBC dan konsentrasi besi serum . 13

2.17.5 Transferin serum reseptor

Transferin serum reseptor dpat diperiksa pada beberapa laboratorium melalui immunoassay . Reseptor ini terdapat pada retikulosit dan reseptor ini akan terdapat pada retikulosit yang matur. Apabila terjadi kekurangan besi di dalam jaringan, maka akan terjadi peningkatan jumlah transferin serum reseptor. Walaupun pemeriksaan ini belum tersedia . Pemeriksaan transferin serum reseptor ini merupakan marker awal penanda defisiensi besi , namun pemeriksaan transferin serum reseptor ini mungkin dapat membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit kronik . Pada satu penelitian ,

(51)

transferin serum reseptor meningkat pada pasien yang menderita anemia defisiensi bei , tetapi tidak meningkat pada pasien anemia oleh karena infeksi akut.8 Keuntungan dari pemeriksaan transferin serum reseptor adalah nilainya tidak akan dipengaruhi oleh proses infeksi atau inflamasi, dan tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ataupun kehamilan. namun peningkatan transferin serum reseptor akan meningkat pada produksi sel darah merah, ataupun penghancuran sel darah merah seperti kasus anemia hemolitik. 13,48

2.17.6 Eritrosit protoporpyrin

Eritrosit protoporpyrin merupakan prekursor heme. Eritrosit protoporpyrin akan meningkat apabila suplai zat besi tidak adekuat untuk memproduksi heme. Peningkatan eritrosit protoporpyrin berhubungan dengan penurunan serum feritin. Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi peningkatan eritrosi protoporpyrin, yaitu defisiensi besi, infeksi atau inflamasi, keracunan makanan, dan anmia hemolitik. Kadar eritrosit protoporpyrin akan normal pada kadaan kekurangan zat besi yang ringan (serum feritin 12-24 mg/l) . Pada kasus defisiensi besi yang tidak disertai proses infeksi, pemeriksaan eritrosit protoporpyrin menjadi pilihan. 13

(52)

35

2.18 Kerangka konsep

Tertelan telur infektif atau migrasi larva melalui kulit

Infeksi STH

Ascariasis (hidup di usus halus)

-Gangguan penyerapan protein , lemak.

-Gangguan penyerapan mikronutrient ( vit.B12, as.folat, zink)

-Merusak mukosa ususterjadi penurunan penyerapan laktosa di mukosa usus

-Nafsu makan berkurang -Gangguan penyerapan

besi

Trichuriasis ( hidup di usus besar)

-Perdarahan saluran cerna

- Sindrom disentri

-Nafsu makan

berkurang

Hookworm (hidup di usus halus)

-Gangguan penyerapan mikronutrien -Perdarahan saluran cerna - Penghisapan darah dari saluran cerna yang luka

- Nafsu makan berkurang Defisiensi besi

Anemia Defisiensi Besi

(53)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi analitik potong lintang yang membandingkan kadar serum feritin pada anak sekolah dasar dengan dan tanpa infeksi kecacingan di lokasi penelitian.

3.2. Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan di sekolah dasar negeri di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Waktu penelitian adalah 3 bulan setelah mendapat persetujuan etik.

3.3. Populasi dan sampel

Populasi target adalah anak yang mengalami infeksi STH. Populasi terjangkau adalah anak sekolah dasar yang mengalami infeksi STH di Kecamatan Tigapanah, Sumatera Utara. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi .

3.4. Pemilihan Sampel

Sampel dipilih secara randomisasi dengan sistem komputer

(54)

37

3.5. Perkiraan besar sampel

𝑛1 = 𝑛2 = 2 ⟦

(z∝+zβ)Sgab xi−x2

2

n1 : jumlah subjek pada kelompok dengan infeksi cacing n2 : jumlah subjek pada kelompok kontrol

Zα : tingkat kemaknaan, ditetapkan 95%. Nilai dalam rumus1,96 Zβ : kekuatan penelitian, ditetapkan 80%. Nilai dalam rumus 0,842 S1 : standard deviasi kadar serum feritin pada kelompok kecacingan pada literatur25,26 8

S2 : standard deviasi kadar serum feritin pada kelompok kontrol pada literatur 36,56 8

Sgab : standard deviasi kadar serum feritin gabungan kelompok cacingan dan kelompok kontrol , diperoleh hasil 33,6

X1-X2 : selisih rerata kadar serum feritin pada kelompok cacingan dan kelompok kontrol = 20

Berdasarkan rumus tersebut dijumpai besar sampel minimal untuk masing masing kelompok adalah 30 anak

3.6 Kriteria inklusi dan eksklusi 3.6.1 Kriteria Inklusi

1. Anak SD kelas 1-6

2. Dari hasil pemeriksaan Kato-katz didapati salah satu atau kombinasi dari telur Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, ataupun hookworm

(55)

3. Anak yang tinggal di daerah yang sama 4. Anak dengan gizi baik

5. Anak sehat yang ditentukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

3.6.2 Kriteria Eksklusi

1. Tidak mengikuti prosedur penelitian seperti pengambilan sampel darah.

2. Mengkonsumsi antihelmintik ≤ 1 bulan sebelum penelitian.

3. Mengkonsumsi zat besi dalam waktu 3 bulan terakhir sebelum penelitian.

3.7 Persetujuan/informed consent dan assent

Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu. Sampel yang berusia diatas 7 tahun diminta persetujuannya untuk mengikuti penelitian.

3.8 Etika penelitian

Persetujuan penelitian telah disetujui dari Komite Etik Penelitian Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3.9 Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.9.1 Cara Kerja

 Menentukan populasi terjangkau.

Gambar

Gambar 1.Intensitas infeksi terkait usia pada infeksi cacing yang disebabkan  A. lumbricoides, T
Gambar 3. Mekanisme regulasi feritin 41

Referensi

Dokumen terkait

Manuscript received March 2017, revised June 2017 Copyright © 2017 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta - All rights reserved Radiosonde Transmitter Meisei iMS-100 Study

Penelitian ini melibatkan 49 mahasiswa, dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat penyesuaian diri terhadap tuntutan akademik dan derajat stres pada mahasiswa baru,

Penjualan produk jasa konsultan pajak Indoran,, selain dipasarkan melalui personal selling, promosi yang dilakukan yaitu dengan

Pertama, disiplin diartikan sebagai kepatuhan terhadap peratuaran (hukum) atau tunduk pada pengawasan dan pengendalian. Kedua disiplin sebagai latihan

Pada tugas akhir ini dilakukan perbandingan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku terhadap beban operasional lalu lintas pada ruas jalan Kalianak STA 0+000 – 5+350

Guru: “Maka, siapa yang berani mengutarakan pendapatnya tentang penyederhanaan operasi dua bilangan dikalikan kemudian di pangkatkan?” Siswa: “Jika kedua bilangan dikalikan

· Guru memberikan kessempatan kepada siswa untuk saling berkenalan dengan cara melakukan tanya jawab tentang identitas diri dengan tepat. · Siswa melakukan

Hasil yang diperoleh akan lebih baik apabila survei dilakukan pada lebih banyak lahan dengan jumlah tanaman inang lebih sedikit karena kejadian suatu OPT dari lahan ke