12 BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori
Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang penelitian ini bahwa makna dan keindahan karya sastra dapat ditemukan dalam penggunaan bahasa dan sistem tanda atau lambang-lambang sebagai sistem semiotik yang digunakan oleh pengarang di dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hal ini, pendekatan semiotik berpengaruh dalam karya sastra karena ia memiliki sistem tanda yang estetik. Sistem lambang atau tanda dalam karya sastra, pembaca memiliki banyak sekali interpretasi dalam menafsirkan suatu sistem lambang dan gejala-gejala tertentu. Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai teori-teori yang digunakan untuk membedah penelitian. Berikut rincian teori-teori tersebut.
2.1.1 Semiotika
Semiotika dalam penelitian sastra menjadi salah satu teori dan pendekatan yang sering digunakan dalam berbagai ragam penelitian sastra. Semiotika yang berfokus pada sistem tanda ini berkaitan erat dengan penggalian nilai dan makna melalui kode-kode atau tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Penelitian sastra dengan menggunakan semiotika akan selalu melibatkan bahasa karena merupakan media komunikasi yang banyak memuat sistem tanda.
Menurut Cobley dan Litza (2002:4) definisi semiotika berasal dari bahasa Yunani seme yang berarti penafsir tanda, atau semeion yang berarti tanda.
Artinya, sebagai teori, semiotika berarti ilmu yang mempelajari tentang produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan apa manfaatnya bagi
13 kehidupan manusia. Melalui perantara tanda-tanda atau kode-kode, proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien, dapat berkomunikasi dengan sesama, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.
Semiotika menurut Sobur (2013: 15) tersusun atas dua sistem tanda, yaitu sebagai objek dan meta bahasa. Kedua sistem tanda tersebut juga biasa disebut dengan penanda (signifier) dan petanda (signified). Pada dasarnya, petanda membuka peluang penanda. Sistem tanda kedua terbangun dan menjadi petanda baru, yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Barthes (1967:91-92) yang menyatakan bahwa sistem tanda pertama disebut dengan denotasi, dan sistem tanda kedua disebut dengan konotasi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar.
Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan dan sejarah.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda, sehingga pembaca dapat mengetahui maksud dan pesan yang disampaikan oleh penulis atau pengarang dalam sebuah karyanya. Di dalam semiotika, pesan disebut dengan penanda, sedangkan makna sebagai petandanya.
Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari suatu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam karangka-kerangka makna lainnya.
14 2.1.2 Semiotika Roland Barthes
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji atau memaknai tanda. Tanda merupakan perangkat atau alat yang digunakan sebagai upaya mencari jalan keluar dari segala masalah kehidupan, baik di tengah-tengah masyarakat maupun bersama-sama masyarakat. Barthes (dalam Kurniawan 2001:53) mengungkapkan bahwa semiotika atau semiology pada dasarnya mempelajari tentang kemanusiaan (humanity) dan memaknai hal-hal (things).
Memaknai, dalam hal ini berarti bahwa objek tidak hanya sekedar membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi struktur dari tanda.
Semiotika Barthes ini tersusun dari tingkatan-tingkatan sistem bahasa.
Secara umum, Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa tingkat pertama adalah sebagai objek, sedang tingkat kedua disebut dengan meta bahasa.
Tingkat bahasa merupakan suatu sistem tanda berdasarkan signifier (penanda) dan signified (petanda). Sistem tanda tingkat dua, yaitu meta bahasa terbangun
menjadi petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru tersendiri dalam sistem tanda baru dengan taraf yang lebih tinggi.
Menurut Barthes (1967:91-92) sistem tanda pertama kadang disebut denotasi atau sistem terminologi, sedangkan sistem tanda kedua disebut konotasi atau sistem retoris. Beberapa tanda denotasi biasanya dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda memiliki komunikasi bagian ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan dan sejarah. Dapat dikatakan bahwa ‘ideologi’ adalah bentuk petanda konotasi, sedangkan ‘retorika’ merupakan bentuk konotasinya.
15 Dari penjabaran tersebut dapat diambil pengertian bahwa semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda ketika menafsirkan makna tersebut sehingga pesan yang disampaikan dapat ditangkap. Secara semiotika, pesan merupakan penanda, sedangkan makna merupakan petandanya.
2.1.3 Kode Semiotik Roland Barthes
Barthes (1985) menyatakan bahwa di dalam teks setidak-tidaknya beroperasi lima kode pokok yang di dalamnya terdapat penanda tekstual (leksia) yang dapat dikelompokkan. Setiap atau tiap-tiap leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima kode. Kode sebagai suatu sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda terdiri atas lima jenis kode. Menurut Barthes, yaitu (1) kode hermeneutik (teka-teki), (2) kode semik (makna konotasi), (3) kode simbolik, (4) kode proaretik (logika tindakan), (5) kode gnomik (kultural). Penjabaran kode-kode tersebut adalah sebagai berikut.
a. Kode Hermeneutik atau Kode Teka-Teki (Hermeneutik Code)
Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaaan yang muncul dalam teks. Kode teka- teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional (Kaelan, 2020:200). Narasi di dalamnya terdapat suatu kesinambungan antara pemunculan peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. Kode hermeneutik adalah kode mencari kebenaran yang melahirkan sebuah teks dan menampilkan teka-teki, mencari solusi, menunda jawaban atau meninggalkan enigma. Kode ini merupakan kode penceritaan yang dapat mempertajam permasalahan suatu narasi
16 dan menciptakan pemecahan atau jawaban. Kode hermeneutik dalam novel Puya ke Puya ini misalnya terdapat pada kutipan berikut.
“KENAPA surga diciptakan?”
“Surga diciptakan karena…”
Karena kau tidak juga menjawab pertanyaanku, baiklah.
Semoga kisah ini membantumu. (Oddang, 2015:1)
Kutipan tersebut menyimpan teka-teki tentang surga atau alam akhirat tempat dimana orang-orang bersemayam setelah meninggal. Jadi, kode teka-teki merupakan belitan tanda tanya dalam batin pembaca yang bisa membangkitkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan inti yang terkandung di dalamnya.
b. Kode Semik atau Kode Konotatif (Conotative Code)
Kode semik atau kode konotatif adalah kode konotasi yang memberikan isyarat, menunjuk kilasan makna atau kemungkinan makna yang ditawarkan oleh penanda (Barthes dalam Kaelan, 2020:201). Kode semik atau konotatif menawarkan banyak sisi, dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Kode semik melihat bahwa konotasi kata atau frasa tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frasa yang mirip. Jika melihat suatu kumpulan suatu konotasi dengan menemukan suatu tema di dalam cerita.
Sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai yang paling kuat dan paling akhir. Kode semik dalam novel Puya ke Puya ini misalnya terdapat pada kutipan berikut.
“Senyumku kecut mendengar Allu. Waktu itu kami tengah berbicara tentang jantungku yang rawan.” (Oddang, 2015:4)
Pada kutipan tersebut, kata “senyumku kecut” merupakan contoh data kode semik yang sebenarnya bermakna senyum hampa. Artinya, penutur tidak
17 tersenyum dengan tulus karena ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
Melalui contoh tersebut dapat diketahui bahwa kode semik merupakan sebuah kode relasi penghubung, yang merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek, yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat).
c. Kode Simbolik (Symbolik Field)
Kode simbolik merupakan aspek pendekatan fiksi yang paling khas bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Menurut Barthes (dalam Kaelan, 2020:201) kode simbolik adalah kode yang menawarkan “kontras” atau “antitesis” pada sebuah teks, seperti siang-malam, feminin-maskulin, dan terbuka-tertutup. Frasa mimpi-siang mengandung sifat antithesis sebab mimpi biasanya berkonotasi dengan malam. Kode ini merupakan kode “pengelompokkan” atau konfigurasi yang mudah dikenali, berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual. Kode simbolik dalam novel Puya ke Puya ini misalnya terdapat pada kutipan berikut.
(1) “Saya punya pacar, saya sangat mencintainya. Kami putus karena dia harus kuliah di Jawa. Jadi saya terpaksa kuliah juga, meski di Makassar. Malena cantik, selain juga baik, segala macamlah pokoknya. Saya mengingat Holly Golightly di Breakfast at Tiffany’s. Malena tak jauh berbeda, cantiknya, misteriusnya, dan mudahnya menakhlukkan lelaki, termasuk saya- dan hanya saya yang berhasil menakhlukkannya.” (Oddang, 2015:8)
Kutipan tersebut merupakan salah satu contoh dari kode simbolik berdasarkan pemikiran pengarang. “Holly Golightly di Breakfast at Tiffany’s”
dijadikan sebagai simbol kecantikan, kemisteriusan, dan penakhluk hati oleh
18 pengarang. Jadi, kode simbolik merupakan dunia perlambangan, yakni dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan.
d. Kode Proaretik atau Kode Tindakan (Proairetik Code)
Berdasarkan pendapat Barthes (dalam Kurniawan, 2001:69) kode proaretik atau kode tindakan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya semua teks bersifat naratif. Kenyataannya fiksi, selalu mengharap lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks. Kode proaretik adalah kode tindakan atau narasi artinnya urutan-urutan dalam tindakan atau cerita. Kode ini didasarkan atas konsep proairests, yaitu kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari tindakan secara rasional. Kejelasan dari teori di atas, bahwa kode ini merupakan perlengkapan utama teks, setiap aksi atau tindakan dalam cerita dapat disusun atau disistematiskan. Misalnya mulai dari terbukanya pintu sampai pada petualangan yang lebih jauh. Tindakan adalah sintagmatis, berangkat dari titik yang satu ke titik yang lain. Tindakan-tindakan tersebut saling berhubungan walaupun sering tumpang tindih. Kode proaretik dalam novel Puya ke Puya ini misalnya terdapat pada kutipan berikut.
“Saya mendapat telepon dari kampung. Ambemu meninggal, pulanglah Nak, dan jangan terburu-buru, tidak ada yang perlu dikejar. Begitu yang sempat saya ingat potongan kalimat Indo-ibu yang tidak pernah saya dengar tangisnya sebelum hari itu. Ia menelepon dengan raungan suara yang serak. Saya segera pulang, Indo, kata saya, lantas mengepak barang, dan beberapa lembar kaus yang tidak saya cuci dan jin yang lututnya tidak utuh lagi” (Oddang, 2015:8)
Kutipan bercetak tebal tersebut merupakan contoh dari kode proaretik, yaitu kode tindakan. Pada kutipan tersebut sang tokoh bertindak untuk segera mengepak barang dan bergegas pulang ke kampung halaman setelah dihubungi oleh Indo atau ibunya karena Ambe atau ayahnya meninggal. Jadi, kode proaretik
19 merupakan kode yang mengharuskan tokoh melakukan tindakan-tindakan, baik tindakan langsung maupun tindakan lisan.
e. Kode Gnomik atau Kode Kultural (Cultural Code)
Kode kultural adalah pemahaman tentang kebudayaan yang dapat dimaknai dari tanda suatu teks atau bentuk benda-benda. Kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasikan oleh budaya. Realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub-budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan. Kode kultural adalah arahan dalam budaya yang tidak mengenalnya, mempunyai waktu yang jelas dan sangat spesifik. Penulis lebih senang menggunakan istilah culture code. Kode kultur dapat berupa suara-suara yang bersifat kolektif, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.
Kode kultural adalah kode yang berasal dari suara-suara kolektif yang anonim dan otoritatif. Kode ini mengenai pengetahuan, kebijaksanaan, atau moralitas yang diterima bersama, misalnya kesucian, kesakralan, atau baik dan buruk (Rusmana, 2014: 210). Berpijak dari beberapa pendapat di atas dapat disarikan bahwa kode kultural adalah suatu sistem pengetahuan atau sistem nilai yang tersurat di dalam teks. Sebuah kode kultural dapat diperoleh dari bahasa atau kata- kata mutiara, benda-benda yang telah dikenal sebagai benda budaya, dan pemahaman realitas manusia. Kode kultural yang ditemukan menghasilkan makna berupa kepercayaan simbol, adat dalam masyarakat dari setiap teks. Kode gnomic atau kode budaya dalam novel Puya ke Puya ini misalnya terdapat pada kutipan berikut.
20
“Sejak saat itu tubuh Maria Ralla dikubur di pohon tarra. Pohon besar bergetah sewarna air susu. Dipercaya sebagai pengganti ibu.
Orang Toraja menyebutnya makam passiliran.” (Oddang, 2015:8)
Kutipan bercetak tebal, yaitu “pohon tarra” dan “makam passiliran”
termasuk dalam kode gnomik karena mengandung sesuatu yang bersifat kolektif, anomim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda. Kata “pohon tarra” dan “makam passiliran”
merupakan sebuah mitologi sebuah makam yang dipercayai dikalangan masyarakat Toraja.
2.1.4 Fungsi Kode Semiotika dalam Novel
Pada hakikatnya, ada beberapa fungsi sosial di dalam masyarakat, seperti fungsi keagamaan, fungsi kebudayaan, fungsi pendidikan, fungsi kemasyarakatan yang kesemuanya ini akan senantiasa saling mengisi. Menurut Kaplan & Albert (dalam Andalas dan Sulistyorini, 2017:50) fungsi adalah cara untuk mengungkapkan ketergantungan antara proses budaya dan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang yang didominasi oleh kode gnomic atau budaya-budaya yang dipercaya masyarakat Toraja.
Fungsi-fungsi tersebut disesuaikan dengan budaya-budaya yang tercermin dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Pada novel ini, fungsi-fungsi yang tercermin meliputi fungsi keindahan, fungsi sosial, fungsi religi, fungsi budaya, dan fungsi kelestarian alam. Pertama, fungsi keindahan berkaitan dengan estetika kebahasaan yang terdapat dalam karya sastra (novel). Kedua, fungsi sosial berkaitan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Ketiga, fungsi religi berkaitan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam satu
21 wilayah tertentu. Keempat, fungsi budaya berkaitan dengan tradisi atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat.
Fungsi sosial suatu karya sastra dalam hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi dulce et utile yaitu menyenangkan dan bermanfaat. Fungsi menyenangkan berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan jiwa, sedangkan bermanfaat karena karya tersebut dapat memberikan arahan dan bimbingan yang dapat membangun masyarakat untuk mencapai tujuan dan kehidupan hidup (Ilias, dkk, 2011:213).
Artinya, karya sastra baik tulisan maupun lisan bukan hanya sekadar karya yang tidak mempunyai dampak bagi kehidupan manusia, melainkan memiliki manfaat besar serta dapat memberikan hiburan bagi masyarakat pembacanya.
22 2.2 Kerangka Berpikir Peneliti
TUJUAN
1. Mendeskripsikan bentuk kode- kode semiotika dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang.
2. Mendeskripsikan fungsi kode- kode semiotika dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang.
LANDASAN TEORETIS
1. Semiotika
2. Semiotika Roland Barthes 3. Kode Semiotika Roland
Barthes
4. Fungsi Kode Semiotika
ANALISIS KODE SEMIOTIK DAN
FUNGSINYA
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir 1
1. Kode semiotik
2. Fungsi Kode Semiotik
Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang (2017)
Semiotik LATAR BELAKANG
1. Terdapat banyak kode-kode semiotik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang.
2. Kode-kode tersebut juga berhubungan dengan unsur intrinsik atau unsur pembangun novel.
23