Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 102 Income Smoothing dan Implikasinya
terhadap Laporan Keuangan Perusahaan dalam Etika Ekonomi Islam
Azharsyah Ibrahim earnings quality since net income does not representatively portray the economic performance of the business entity for the period. This study examines the implication of income smoothing practices toward corporates’ income statement and its legitimacy to incorporate into Islamic economic practice. The methodology used for this study is descriptive and content analysis. Findings show that the income smoothing practices are seen from two different perspectives. First, the practices are seen as legal activities as they rely not on falsehoods and distortions but on the wide leeway existing in alternatively accepted accounting principles and their interpretations. It is conducted within the structure of GAAP. Second perspective, however, sees it as an unethical conduct since companies indulge in this practice aims to “deceive” their investors who are generally willing to pay a premium for stocks with steady and predictable earnings streams, compared with stocks whose earnings are subject to wild fluctuations.
Income smoothing (perataan laba) adalah suatu perilaku yang rasional yang didasarkan pada asumsi dalam positive accounting theory, dimana manajemen suatu perusahaan melakukan kebijakan tertentu untuk memaksimumkan kepentingannya. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji implikasi praktik income smoothing pada laporan keuangan perusahaan serta untuk melihat kepatutannya dalam sistem ekonomi Islam. Untuk mendapatkan jawabannya, kajian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan deskriptif analisis (descriptive analysis). Hasil kajian menunjukkan bahwa dari sudut pandang etika secara umum ada dua pendapat yang bertolak belakang; yang menganggap wajar; dan yang menganggap tidak etis. Akan tetapi pendapat yang kedua lebih kuat. Praktik tersebut juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap laporan keuangan perusahaan karena mempengaruhi jumlah laba yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Efeknya, hal itu akan “mengelabui” pendapat stakeholders terhadap kondisi keuangan perusahaan tersebut.
Keywords: Income smooting, perataan laba, akuntansi
A. Pendahuluan
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dalam sistem hukum
Islam, sehingga kaidah fiqh yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi
ekonomi juga menggunakan kaidah fiqh muamalah. Kaidah fiqh muamalah adalah “al ashlu
fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad dhalilu ‘ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan
muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).1 Ini berarti bahwa semua
hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun
anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut
adalah diperbolehkan dalam Islam.2
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 103
yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi.
Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam
sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama
transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan
transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor:
haramnya zat (objek transaksinya), haram selain zatnya (cara bertransaksinya), dan tidak
sah/lengkap akadnya.3
Salah satu bentuk pengembangan muamalah manusia adalah praktik akuntansi yang
berhubungan dengan laba, yaitu praktik income smoothing (perataan laba). Perataan laba
adalah tindakan normalisasi laba yang dilakukan oleh pihak manajemen untuk menolak
risiko, menghindari pinjaman laba dan pemberian pinjaman di pasar modal. Demikian juga
hubungannya dengan kreditor, manajer lebih menyukai alternatif yang menghasilkan perataan
laba.
Perataan laba merupakan salah satu bagian dari manajemen laba (earnings
management). Definisi awal tentang perataan laba (income smoothing) adalah suatu perilaku
yang rasional yang didasarkan pada asumsi dalam positive accounting theory, dimana
manajemen suatu perusahaan melakukan kebijakan tertentu untuk memaksimumkan
kepentingannya.4 Perataan laba adalah pengurangan fluktuasi laba dari tahun ke tahun dengan
cara memindahkan pendapatan dari tahun yang tinggi pendapatannya ke periode-periode
yang kurang menguntungkan.5
B. Motivasi dibalik Praktik Income Smoothing
Tindakan perataan laba yang dilakukan manajemen dapat dilihat dari dua cara.
Pertama, tindakan perataan laba yang dipandang sebagai perilaku oportunistik manajemen
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 104
Kedua, prilaku perataan laba memberikan manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri
dari perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga demi kepentingan
pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.6
Oleh karena itu tindakan perataan laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan
adalah sebuah metode untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham dan kesejahteraan
pribadinya.
Dari berbagai isi laporan keuangan biasanya perhatian investor lebih banyak ditujukan
pada informasi laba. Akibatnya, investor tidak memperhatikan prosedur yang digunakan oleh
manajer untuk menghasilkan informasi laba tersebut.7 Oleh karena itu manajer berusaha
memberikan informasi yang akan meningkatkan nilai perusahaan dimata investor yaitu
dengan cara melakukan perataan laba (income smoothing). Tindakan manajemen untuk
melakukan perataan laba umumnya didasarkan atas berbagai alasan. Antara lain untuk
memuaskan kepentingan pemilik perusahaan, seperti menaikkan nilai dari perusahaan,
sehingga muncul anggapan bahwa perusahaan yang bersangkutan memiliki risiko yang
rendah.
Alasan lainnya adalah untuk memuaskan kepentingan sendiri atau bonus purpose,
yaitu manajer yang memiliki informasi laba bersih perusahaan akan bertindak secara
oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.8
Kemudian taxation motivation, yaitu upaya manajer dalam memanajemen laba yang
dihasilkan perusahaan untuk melakukan penghematan terhadap pembayaran pajak.
Pergantian CEO (Chief Executive Officer) juga menjadi motivasi dalam melakukan perataan
laba dimana CEO yang mendekati masa pensiun cenderung akan menaikkan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan
memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 105
akan memberikan dampak yang cukup berpengaruh terhadap tindak lanjut para pengguna
informasi yang bersangkutan, tidak terkecuali penerapan perataan laba oleh suatu perusahaan.
C. Etika dalam Praktik Income Smoothing
Bila ditinjau dari sudut pandang etika, earnings management, dimana didalamnya
termasuk tindakan income smoothing (perataan laba) merupakan tindakan yang dapat
menyesatkan pemakai laporan keuangan dengan menyajikan informasi yang tidak akurat, dan
bahkan kadang merupakan penyebab terjadinya tindakan illegal, misalnya penyajian laporan
keuangan yang terdistorsi atau tidak sesuai dengan sebenarnya.9
Manajemen yang melakukan earnings management biasanya mempunyai keyakinan
bahwa investor mempunyai keterbatasan informasi dalam membuat keputusan (information
asymmetric). Jika investor semakin pintar dan punya akses terhadap informasi, akhirnya
situasi yang sebenarnya akan terungkap juga dan keputusan yang dibuat akan berbeda,
sehingga investor terhindar dari kerugian yang tak diinginkan. Perihal terjadinya tindakan
perataan laba dapat dianalogikan bahwa pelaporan laporan keuangan melakukan tindakan
tersebut agar laporan keuangan terlihat smooth (lembut), tidak fluktuatif sehingga akan
membuat investor tertarik berinvestasi pada perusahaan tersebut. Fenomena earnings
management dimana di dalamnya terkandung income smoothing bagaikan dua sisi mata uang
yang berbeda. Pada satu sisi terang, earnings management merupakan tindakan yang legal,
karena merupakan tindakan dalam membangun citra (image) akan kemampuan dalam usaha
pengembangan perusahaan. Sedangkan di sisi lainnya dianggap tidak memiliki etika, sebab
terkandung unsur penipuan di dalamnya. Sebagian kalangan malah menganggap sebagai
judgement (pembenaran) yang menyesatkan (mislead) para stakeholders.
D. Aplikasi Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Perusahaan Menurut Perspektif Islam
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 106
akuntansi syariah. Ketiga nilai tersebut tentu saja telah menjadi prinsip dasar yang universal
dalam operasional akuntansi syariah. Berikut adalah makna yang terkandung dalam surat Al
Baqarah 282 : 10
1. Prinsip pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi
dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep
amanah.bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan
sang khaliq mulai dari alam kandungan. Manusia diciptakan oleh allah sebagai khalifah
dimuka bumi. Manusia dibebani oleh Allah untuk menjalankan fungsi-fungsi
kekhalifahannya. Inti kekhalifahan adalah menjalankan dan menunaikan amanah.
Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban
manusia sebagai pelaku amanah allah di muka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi
adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu melakukan
pertanggungjawaban apa yang telah di amanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang
terkait. Wujud pertanggungjawabannya biasanya dalam bentuk laporan akuntansi.
2. Prinsip kebenaran
Jika ditafsirkan lebih lanjut, QS Al Baqarah 282 mengandung prinsip keadilan dalam
melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai yang sangat penting
dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai yang secara inhern
melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki
kapasitas dan energi untuk membuat adil dalam setiap aspek kehidupan. Dalam konteks
akuntansi, menegaskan, bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan mesti di catat
dengan benar. Kata keadilan disini memiliki dua arti, yaitu : pertama, adalah berkaitan
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 107
kejujuran, informasi akuntansi yang disajikan akan menyesatkan dan merugikan para
pengguna informasi tersebut. Kedua, kata adil bersifat lebih fundamental (dan tetap berpijak
pada nilai etika/syariah dan moral). Pengertian kedua inilah yang lebih merupakan sebagai
pendorong untuk melakukan upaya-upaya dekonstruksi terhadap bangun akuntansi modern
menuju pada bangun akuntansi (alternatif) lebih baik.
Prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai
contoh, dalam akuntansi kita akan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran
laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai
kebenaran, kebenaran ini kan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur,
dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Dengan demikian pengembangan
akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam
praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi
syariah dapat diterangkan.
Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85).
Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa
135). Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah)
dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 - 8). Dalam
penilaian kekayaan (asset), dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan
penilaiannya harus dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (Al-Baqarah 282).
Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan
dengan syariah Islam. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari,
sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal dan haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan
tunggal untuk menentukan berlangsungnya kegiatan usaha.
3. Prinsip keadilan
al-Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 108 Qur’an tidak memperbolehkan untuk mencampuradukkannya dengan kebatilan. Kebenaran
pelaporan yang dimaksud hendaknya dapat diukur dan dapat diakui.
Secara praktis, laporan keuangan yang berkualitas harus memenuhi kriteria berikut :11
a) Dapat dipahami (understandable)
informasi keuangan yang ditampilkan dalam laporan keuangan harus jelas sehingga
mudah dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
b) Relevan
Data yang diolah serta informasi yang disajikan dalam laporan keuangan hanya ada
kaitannya dengan transaksi yang dibutuhkan.
c) Andal
Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan juga harus memenuhi kualitas andal,
yaitu bebas dari pengertian yang menyesatkan. Kesalahan material, dan dapat diandalkan
pemakainya sebagai penyajian yang tulus dan jujur dari yang seharusnya disajikan atau
yang secara wajar diharapkan dapat disajikan.
d) Dapat dibandingkan (comparability)
Laporan keuangan yang disusun harus dapat dibandingkan dengan periode-periode
sebelumnya untuk mengikuti perkembangan posisi dan kinerja keuangan perusahaan yang
bersangkutan. Selain itu juga dapat dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis,
untuk mengevaluasi posisi keuangan dan kinerja secara relatif.
e) Dapat diuji kebenarannya (auditability)
Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus dapat ditelusuri sampai ke bukti
asalnya. Baik dalam bentuk dokumen dasar, fisik aktiva yang bersangkutan. Artinya,
semua transaksi yang terjadi dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak manajemen.
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 109
Dalam pandangan Islam, prilaku perataan laba ini sepertinya bertentangan dengan
kaidah fiqh muamalah, dimana mengandung unsur penipuan (tadlis) dan ketidakjelasan
(gharar) karena ada pihak yang menyembunyikan informasi terhadap pihak yang lain
(unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak lain atas ketidaktahuannya
tentang informasi tersebut. Dan apabila tindakan ini terbukti, maka hal ini dilarang dalam
Islam, karena melanggar prinsip “an taraaddin minkum” (sama-sama ridha).
Ketidakjelasan (gharar) terjadi bila salah satu pihak yang bertransaksi merubah
sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Informasi yang disembunyikan
dan bersifat tidak pasti tersebut dapat berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga
(price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
Adapun penjabaran dari konsep adil adalah dilarangnya gharar (ketidakjelasan) dan
tadlis (penipuan). Namun, ketidakpastian dari hasil usaha tidak dapat dikatakan gharar. Ia
merupakan konsekuensi logis dari suatu usaha. Bila usaha itu dilakukan oleh dua belah pihak
atau lebih dengan menggabungkan sumber daya yang mereka miliki, maka usaha itu disebut
dengan syirkah.
Ketidakpastian dalam risiko (pure risk) terdiri dari dua kemungkinan, yaitu rugi atau
tidak rugi. Risiko ini dapat ditanggung sendiri (take it yourself) atau risiko ditanggung
bersama (risk sharing). Kedua cara ini dapat dilakukan dengan tidak melanggar syariat
(halal).12
Penjabaran lain dari konsep adil adalah dilarangnya tadlis. Tadlis terjadi karena
adanya penyembunyian (cacat) atas informasi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak yang
bertransaksi. Yang dilarang disini bukanlah menjual barang cacatnya, tetapi adalah
menyembunyikan cacatnya barang tersebut, sehingga informasi yang dimiliki para pihak
tidak simetris (asymmetric information). 13
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 110
mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas
berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba (Dapat dilihat dalam Al-Qur’an
surat A-Baqarah :282). 14
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.” (Q. S. Al-Baqarah ayat 282)
Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang bertransaksi, dalam
arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra
pandai tulis baca, dan apabila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, maka mereka
hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi ayat lanjutan.
Selanjutnya, Allah menegaskan : “dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menulisnya dengan adil”, yakni dengan benar, tidak menyalahi juga merugikan salah satu
pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan diantara kamu. Dengan
demikian, dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan
tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian , dan kejujuran.
Dalam Al Quran juga disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan
dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan
timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran
menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-183 yang
berbunyi:
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 111
Kata
(
اوسخبت
)
kamu kurangi terambil dari kata bakhs yang berarti kekuranganakibat kecurangan. Ibnu Arabi sebagaimana dikutib oleh Ibnu ‘Asyhur, mendefinisikan kata
ini dalam arti pengurangan dalam bentuk mencela, dan memperburuk sehingga tidak
disenangi, atau penipuan dalam nilai dan kecurangan dalam timbangan dan takaran dengan
melebihkan atau mengurangi. Jika seseorang berkata dimuka umum “barang anda buruk”
untuk tujuan menurunkan harganya padahal kualitas barangnya tidak demikian, maka orang
tersebut dinilai telah mengurangi hak orang lain dalam hal ini si penjual.
Kata
(
ا
ساطسقل
)
Al-Qisthas atau Al-Qusthas ada yang memahaminya dalam artineraca ada juga dalam arti adil. Kata ini adalah salah satu kata asing – dalam hal ini Romawi
– yang masuk beralkulturasi dalam bahasa arab yang digunakan Al-Quran. Demikian
pendapat mujahid yang di temukan dalam shahih Bukhari. Kedua maknanya yang
dikemukakan diatas dapat dipertemukan, karena untuk mewujudkan keadilan anda
memerlukan tolok ukur yang pasti (neraca dan timbangan) dan sebaliknya bila anda
menggunakan dengan baik timbangan yang benar, pasti akan lahir keadilan.15
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer
Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba
perusahaan, sehingga seorang akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar
pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi auditing.16
Dalam Islam, fungsi auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan
dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.” (Q. S. Al Hujuraat ayat 6)
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 112
sosial sekaligus merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengamatan
suatu berita. Kehidupan manusia dan interaksinya haruslah didasarkan pada hal-hal diketahui
dan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau informasi, karena hal itu ia membutuhkan
pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga menyampaikan
hal-hal yang benar, dan ada pula sebaliknya. Karena itu pula harus disaring, khawatir jangan
sampai seorang melangkah tidak jelas atau dalam bahasa ayat ini bi jahalah. Dengan kata
lain ayat ini menuntut kita menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan
dari jahalah yang berarti kebodohan, disamping melakukannya berdasarkan pertimbangan
logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah SWT.17
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus
menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca,
sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.
S. Al-Isra’ ayat 35)
Salah satu hal yang berkaitan dengan hak pemberian harta adalah menakar dengan
sempurna, karena itu ayat ini melanjutkan dengan menyatakan bahwa dan sempurnakanlah
secara sungguh-sungguh takaran apabila kamu menakar untuk pihak lain dan timbanglah
dengan neraca yang lurus yakni benar dan adil. Itulah yang baik bagi kamu dan orang lain
karena dengan demikian orang akan percaya kepada kamu sehingga semakin banyak yang
berinteraksi dengan kamu dan melakukan hal itu juga lebih bagus akibatanya bagi kamu di
akhirat nanti dan bagi seluruh masyarakat dalam kehidupan dunia ini.
Penyempurnaan takaran dan timbangan oleh ayat diatas dinyatakan baik dan lebih bagus
akibatnya. Ini karena penyempurnaan takaran/timbangan, melahirkan rasa aman, ketentraman
dan kesejahteraan dalam hidup bermasyarakat.18
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 113
konsep Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan
permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai
aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis,
pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu
kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam akuntansi syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah,
Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ”Urf (adat
kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah akuntansi dalam
Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah akuntansi konvensional.
Kaidah-kaidah akuntansi syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan
termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat
penerapan akuntansi tersebut.
Akuntansi barat (konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital
dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam akuntansi Islam ada “meta
rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang
berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan akuntansi Islam sesuai dengan
kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika
dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang
akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki akuntan
sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja di bidang
ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan pelaksanaan hukum syariah lainnya. Jadi,
dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep akuntansi dalam Islam jauh lebih
dahulu dari konsep akuntansi konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian
kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar akuntansi konvensional.19
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 114
dalam proses penciptaan akuntansi melibatkan manusia yang memiliki kepribadian dan penuh
dengan kepentingan. Nilai utama yang melekat dalam diri akuntansi modern adalah nilai
egoistik. Bila informasi yang dihasilkan oleh akuntansi egoistik dikonsumsi oleh para
pengguna, maka dapat dipastikan bahwa pengguna tadi akan berpikir dan mengambil
keputusan yang egoistik pula
Nilai utama kedua yang melekat pada akuntansi modern adalah nilai materialistik,
yang juga merupakan sifat yang melekat pada diri manusia. Dengan nilai ini akuntansi hanya
akan memberikan perhatian pada dunia materi (uang). Sifat egoistik dan materialistik,
diekspresikan dengan jelas pada laporan keuangan. Laporan rugi-laba misalnya,
menunjukkan akomodasi akuntansi modern terhadap kepentingan (ego) stakeholders untuk
mendapatkan informasi besarnya laba yang menjadi haknya.
Setelah kedua nilai utama akuntansi modern itu, muncullah nilai utilitarianisme
sebagai akibat dari menguatnya dua sifat sebelumnya. Sifat utilitarian adalah sifat yang
menganggap bahwa nilai baik atau buruk dari sebuah perbuatan, diukur dengan ada tidaknya
utilitas yang dihasilkan dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga, sepanjang perbuatan itu
menghasilkan utilitas, maka sepanjang itu pula sebuah perbuatan dikatakan baik tanpa
melihat bagaimana prosesnya. Ketiga nilai yang dimiliki oleh akuntansi modern ini kemudian
dikenal sebagai kapitalisme.
Realitas akuntansi modern yang dibangun dengan nilai-nilai egoistik, materialistik
dan utilitarian, menjadi belenggu bagi manusia modern untuk menemukan jati dirinya dan
Tuhan. Menjadikan manusia modern terperangkap dalam dunia materi yang hedonis.
Sehingga, akan mengakibatkan terjadinya dehumanisasi bagi diri manusia itu sendiri. Selain
menjadikan manusia jauh dari penemuan jati dirinya bahkan menjauhkan manusia pada
Tuhannya, karakter ini juga merusak hubungan antar manusia. Dimana relasi sosial menjadi
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 115
Tuhan menjadi tujuan akhir dan menjadi tujuan puncak kehidupan manusia. Akuntansi
syari’ah, hadir untuk melakukan dekonstruksi terhadap akuntansi modern. Melalui
epistemologi berpasangan, akuntansi syari’ah berusaha memberikan kontribusi bagi
akuntansi sebagai instrumen bisnis sekaligus menunjang penemuan hakikat diri dan tujuan
hidup manusia.
Pada versi pertama, akuntansi syari’ah memformulasikan tujuan dasar laporan
keuangannya untuk memberikan informasi dan media untuk akuntabilitas. Informasi yang
terdapat dalam akuntansi syari’ah merupakan informasi materi baik mengenai keuangan
maupun non-keuangan, serta informasi nonmateri seperti aktiva mental dan aktiva spiritual.
Contoh aktiva spiritual adalah ketakwaan, sementara aktiva mental adalah akhlak yang baik
dari semua jajaran manajemen dan seluruh karyawan.
Sebagai media untuk akuntabilitas, akuntansi syari’ah memiliki dua macam
akuntabilitas yaitu akuntabilitas horizontal, dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas
horizontal berkaitan dengan akuntabilitas kepada manusia dan alam, sementara akuntabilitas
vertikal adalah akuntabilitas kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Pada versi kedua, tujuan dasar laporan keuangan syariah adalah memberikan
informasi, memberikan rasa damai, kasih dan sayang, serta menstimulasi bangkitnya
kesadaran ke-Tuhanan. Ketiga tujuan ini, merefleksikan secara berturut-turut dunia materi,
mental, dan spiritual. Tujuan pertama secara khusus hanya menginformasikan dunia materi
baik yang bersifat keuangan maupun non keuangan. Tujuan kedua membutuhkan bentuk
laporan yang secara khusus menyajikan dunia mental yakni rasa damai, kasih dan sayang.
Selanjutnya tujuan ketiga, disajikan dalam wadah laporan yang khusus menyajikan informasi
kebangkitan kesadaran keTuhanan.
Kinerja manajemen syari’ah memiliki tiga bentuk realitas yaitu fisik (materi) dengan
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 116
dan zakat. Realitas berikutnya adalah psikis (mental) dengan perspektif kesalehan mental dan
sosial, yang memiliki indikator seperti damai, kasih, sayang, adil, empati, dan peduli.
Sementara realitas terakhir adalah spiritual dengan perspektif kesalehan spiritual, yang
memiliki indikator seperti ikhsan, cinta, dan takwa.
Akuntansi syari’ah dibangun dengan mengambil inspirasi dari syari’ah Islam. Secara
ontologis, akuntansi syari’ah memahami realitas dalam pengertian yang majemuk. Sedangkan
secara epistemologis, akuntasi syari’ah dibangun berdasarkan kombinasi antara akal yang
rasional dengan rasa dan intuisi (kombinasi dunia fisik dengan dunia non fisik).
Bila kita cermati surah Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan untuk melakukan
penulisan secara benar atas segala transaksi yang pernah terjadi selama melakukan
muamalah. Dari hasil penulisan tersebut dapat digunakan sebagai informasi untuk
menentukan apa yang diperbuat oleh para pihak yang memiliki kepentingan. Jika kita kaitkan
ayat tersebut dengan konteks ekonomi kontemporer, maka memiliki sistem akuntansi yang
sistematis, transparan, dan bertanggungjawab, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
ajaran Islam.
Namun yang perlu diperhatikan, terutama pada tataran operasional, sistem akuntansi
pada ekonomi syariah memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan sistem akuntansi
perbankan konvensional, meski pada aspek-aspek tertentu keduanya memiliki persamaan.
Diantara perbedaan yang sangat prinsipil adalah larangan penipuan dan ketidakjelasan dalam
praktik akuntansi syariah dan perbedaan penyajian laporan keuangan syariah yang lebih
variatif dan beragam bila dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Sehingga
konsep dan struktur dasar investasi dan keuangan pada sistem ekonomi syariah haruslah
menjadi pertimbangan utama dalam membangun sistem akuntansi yang kredibel. Dengan
demikian, lahirnya sistem ekonomi Islam secara langsung akan mempengaruhi bentuk sistem
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 117
dengan materialisme adalah Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika,
sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang
dengan etika, dan kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan Islam. Islam adalah risalah
yang diturunkan Allah melalui rasul untuk membenahi akhlak manusia.
Islam juga tidak memisahkan agama dengan negara dan materi dengan spiritual
sebagaimana yang dilakukan bangsa barat dengan sekularismenya. Islam juga berbeda
dengan konsep kapitalisme yang memisahkan akhlak dengan ekonomi. Ekonomi dalam
pandangan Islam bukanlah tujuan akhir dari kehidupan ini tetapi suatu pelengkap kehidupan,
sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, penunjang dan pelayanan bagi akidah dan
bagi misi yang diembannya.
Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan
individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi maupun spiritual, yang didampingi oleh
ekonomi, sosial dan politik.20 Prinsip dasar yang telah ditetapkan dalam Islam mengenai
usaha manusia dalam bermuamalah adalah tolok ukur dari kejujuran, kepercayaan dan
ketulusan. Dewasa ini banyak ketidaksempurnaan pasar (transaksi ekonomi), yang
seharusnya dapat dilenyapkan bila prinsip ini dapat diterima dan dijalankan oleh masyarakat.
Prinsip Muamalah ini diantaranya telah ada dalam al-Qur’an dan Sunnah, seperti memberikan
takaran yang benar dan menciptakan i’tikad baik dalam transaksi bisnis.
Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dan ukuran yang penuh,
akan tetapi jika dalam menimbulkan i’tikad baik melalui transaksi bisnis, karena hal ini
dianggap sebagai hakikat dari bisnis dewasa ini. Dari pengamatan yang teliti diketahui bahwa
hubungan buruk dalam bisnis terutama karena kedua belah pihak tidak dapat menentukan
secara tertulis syarat bisnis mereka dengan jelas dan jujur. Mengenai masalah ini terdapat
perintah yang jelas dalam kitab suci al-Qur’an. Guna membina hubungan baik dalam usaha,
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 118
demikian itu lebih adil di sisi Allah, dan lebih menguatkan persaksian, dan lebih dapat
mencegah timbulnya keragu-raguan”.21
Dalam perdagangan nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar
harus diutamakan. Islam telah meletakkan penekanan penting dari faedah memberikan
timbangan dan ukuran yang benar seribu empat ratus tahun yang lalu. Terdapat perintah tegas
baik dalam al-Qur’an maupun Hadits mengenai timbangan dan ukuran yang sepenuhnya.
Demikian al-Qur’an menyatakan :
”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika)
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? Sekali-kali jangan curang, karena
sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin” (Q .S. Al Mutaffifin, ayat 1
-7).
Akhirnya Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dan ukuran
yang penuh, tapi juga dalam menimbulkan i’tikad baik dalam transaksi bisnis, karena hal ini
dianggap sebagai hakikat dari bisnis dewasa ini. Dari pengamatan yang diteliti diketahui
bahwa hubungan buruk dalam bisnis ini terutama timbul karena kedua pihak tidak dapat
menentukan secara tertulis syarat bisnis mereka dengan jelas dan jujur.
Dari analisis ini jelas bahwa setiap transaksi ekonomi dalam Islam secara pokok
berbeda dengan pengertian modern tentang kegiatan ekonomi ini. Kegiatan ekonomi dalam
Islam dihubungkan dengan nilai-nilai moral, sedangkan kegiatan ekonomi modern tidak
demikian. Karena itu, semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah
bersifat Islami. Dalam Islam punya hak sepenuhnya untuk mengekang setiap transaksi atau
Jurnal Media Syariah | Vol. XII | No. 24 | Jul - Des 2010 119
CATATAN KAKI
1 Mukhtar Yahya, Dasar Fiqh, Bandung Al Ma’arif, 1986, hlm 500.
2 Muhammad Syafiie Antonio, Bank syariah (Dari Teori ke Praktik), Jakarta, Gema Insani, 2001, hlm. 12 3 Fudenberg, Drew dan Jean Tirole, A Theory of Income and Dividend Smoothing Based on Incumbency Rates, Journal of Political Economic, Februari, 1995, hlm.75-93
4 Imam Subekti, Asosiasiantara Praktik Perataan Laba dan Reaksi Pasar Modal di Indonesia, SNA VIII, Solo, 2005, hlm. 223-237
5 Ahmad Belkaoui, Teori Akuntansi, Terjemahan Herman Wibowo dan Marianus Sinaga, Jakarta, PT Salemba Empat, 2002, hlm. 57
6 Syukri Abdullah, Manajemen Laba Dalam Perspektif Teori Akuntansi Positif, Analisis Laporan Keuangan Dan Etika, Media Akuntansi, Jakarta; 1999, No. 3, hlm.11-17.
7 Beattie, V dan S. Brown, Extraordinary Items And Income Smoothing, A Positive Accounting Approach, Journal Of Business Finance And Accounting, 1994, hlm.791-811.
8 Juniarti dan Carolina, Analisis Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perataan Laba (Income Smoothing) Pada Perusahaan Go Public, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Jakarta, 2005, Vol. 7, No. 2, hlm.148-162. 9 Muhammad Wahyudin, Persepsi Akuntansi Publik Dan Mahasiswa Tentang Penerimaan Etika Terhadap Manajemen Laba. Surabaya: Simposium Nasional Akuntansi VI, 16-17 Oktober 2003, hlm. 806-819
10 Muhammad, Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2005, hlm. 329-331 11 Hertanto Widodo, Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wattamwil, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 54 12 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Edisi Ketiga, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2007, hlm. 36
13 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Edisi Ketiga, Jakarta; Raja Grafindo Perkasa, 2007, hlm. 44 14 Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Perbankan Syariah, edisi revisi Jakarta, LPFE-Usakti, 2005.hlm. 15 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, Vol 10, 2002 hlm, 128-130
16 Umar Chapra, Islam And The Economic Challenge, United Kingdom: The Islamic Foundation, 1992, hlm. 161
17 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, Vol 13, 2002 hlm, 236 18 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, Vol 7, 2002 hlm, 462
19 Yusuf Abdurrahman dan Unti Ludigdo, Dekontruksi Nilai-Nilai Agency Theory Dengan Nilai Syariah: Suatu Upaya Membangun Prinsip-Prinsip Akuntansi Yang Bernafaskan Islam, Malang: PPBEI, Symposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II, 28-29 Mai 2004, hlm. 249-263
20 Yusuf Qaradhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani, 2006, hlm. 33