• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Kimunikasi Antarpribadi : dimensi-dimensi pribadi dan relasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Kimunikasi Antarpribadi : dimensi-dimensi pribadi dan relasional"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN S

ecara umum komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Pengertian proses mengacu pada perubahan dan tindakan (action) yang berlangsung terus menerus. Komunikasi antarpribadi juga merupakan suatu pertukaran, yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik. Sedangkan makna, yaitu sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut, adalah kesamaan pemahaman di antara orang-orang yang berkomunikasi terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi.

Di balik pengertian ini sebenarnya terdapat karakteristik yang menentukan apakah suatu kegiatan atau tindakan dapat disebut sebagai komunikasi antarpribadi atau tidak. Judy C. Pearson (1983) menyebutkan enam karakteristik komunikasi pribadi (self). Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pengamatan dan pemahaman berangkat dari dalam diri kita, artinya dibatasi oleh siapa diri kita dan bagaimana pengalaman kita .

Kedua, komunikasi antarpribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak menyampaikan dan menerima pesan. Ketiga, komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Maksudnya komunikasi antarpribadi tidak hanya berkenaan dengan isi pesan yang dipertukarkan, tetapi juga melibatikan siapa partner komunikasi kita dan bagaimana hubungan kita dengan partner tersebut. Keempat, komunikasi antarpribadi mensyaratkan adanya kedekatan fsik antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Kelima, komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu dengan yang lainnya (interdependen) dalam proses komunikasi. Keenam, komunikasi antarpribadi tidak dapat diubah maupun diulang. Jika kita salah mengucapkan sesuatu kepada partner komunikasi kita, mungkin kita dapat meminta maaf dan memberi maaf, tetapi itu tidak berarti

Teori Komunikasi antar Pribadi:

Dimensi-Dimensi Pribadi dan Relasional

(2)

menghapus apa yang pernah kita ucapkan. Demikian pula kita tidak dapat mengulang suatu pernyataan dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang sama, karena dalam proses komunikasi antarmanusia, hal ini akan sangat tergantung da ri tanggapan partner komunikasi kita.

Berangkat dari konsep yang telah diuraikan diatas, modul ini akan membahas teori-teori komunikasi antarpribadi, yaitu: (1) individu dalam komunikasi antarpribadi, (2) memahami diri pribadi, (3) memahami orang lain, dan (4) aspek relasional atau hubungan dalam komunikasi antarpribadi. Setiap pokok bahasan akan menjadi satu topik kegiatan belajar tersendiri. Diharapkan keempat pokok bahasan ini akan memberikan pemahaman mengenai teori-teori yang akan dapat digunakan untuk menjelaskan proses komunikasi antarpribadi. Pelajari dengan cermat setiap topik kegiatan belajar, serta kerjakan semua pertanyaan latihan dan tes formatif . Apabila ada kesulitan diskusikan dengan teman-teman anda atau tutor anda.

Secara umum tujuan dari modul ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang berbagai dimensi teori komunikasi antarpribadi dan cakupannya dalam menjelaskan fenomena individu, diri pribadi, orang lain sebagai partner komunikasi dan aspek aspek relasional dalam komunikasi antarpribadi.

Individu dalam Komunikasi Antarpribadi

M

(3)

antarpribadi. Pada bagian ini akan dibahas beberapa aspek psikologis yang terjadi dalam proses komunikasi antarpribadi.

A. LETAK (LOKUS) PSIKOLOGIS

Aspek psikologis dari komunikasi antarpribadi menempatkan makna hubungan sosial ke dalam individu, yaitu dalam diri partisipan komunikasi. Hal ini akan tampak jika kita melihat suatu hubungan dari sudut pandang kita sendiri maka kita akan menyertakan semacam rasa memiliki ketika kita berpikir bahwa orang lain dan hubungan kita dengan orang tersebut seolah-olah milik kita. Misalnya, kita biasanya berkata istri saya, pimpinan saya, atau teman saya, sesuatu yang diasosiasikan dengan milik saya. Dengan kata lain, kita biasanya mengartikan hubungan dan bahkan orang lain dalam pengertian yang berpusat pada diri kita sendiri (self centered/selfss), yaitu bagaimana segala sesuatunya atau berkaitan dengan kita sendiri.

Suatu pemahaman psikologis terhadap komunikasi antarpribadi merupakan bagian penting dari pemahaman yang menyeluruh terhadap komunikasi antarpribadi. Meskipun demikian, beberapa persoalan dapat muncul dalam proses pemahaman oleh individu yang disebut juga sebagai proses intrapribadi ini. Fisher (1987:106) menyebutkan tiga di antaranya, yaitu:

Pertama, munculnya respons individu terbatas pada setelahkegiatan komunikasi; Kedua, ingatan atau persepsi individu dapat berubah setelah suatu tindakan komunikasi; Ketiga, individu sering mencampuradukkan hubungan antarpribadi dengan respons emosional mereka. Ini semua akan menjadi masalah jika orang menganggap bahwa lokus psikologis komunikator merupakan pemahaman terpenting atau paling nyata darikomunikasi antarpribadi. Jadi, dengan aspek psikologis saja belumlah cukup untuk memahami komunikasi antarpribadi secara menyeluruh.

Hal terpenting dari lokus psikologis dalam komunikasi adalah asumsi bahwa diri pribadi individu terletak pada suatu tempat di dalam individu, dan tidak mungkin dapat diamati secara langsung. Asumsi ini juga mencakup anggapan bahwa kita dapat melakukan pengamatan terhadap diri pribadi seseorang ecara tidak langsung dengan menyimpulkan berdasarkan pengamatan kita terhadap perilaku individu tersebut. Dengan demikian, lokus

(4)

yaitu internal dan ekternal. Namun, kita juga mengetahui bahwa dimensi eksternal dari diri tidaklah selalu sama dengan dimensi internalnya. Biasanya, kita tidak mudah percaya pada dimensi eksternal karena kita tahu bahwa orang mampu mengendalikan perilaku eksternalnya.

Fungsi psikologis dari komunikasi adalah untuk menginterpretasikan tanda-tanda melalui tindakan atu perilaku yang dapt diamati. Kita akan melakukan seleksi terhadap tanda-tanda dari perilaku dan mengungkap mana yang ”palsu” dan mana yang ”asli”. Cara inilah yang biasanya kita lakukan dalam upaya untuk mengungkap dimensi internal dari diri yang sesungguhnya. Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana kita dapat menyimpulkan secara akurat? Karena penyimpulan itu sendiri adalah proses psikologis, suatu proses pikir yang melibatkan penarikan suatu kesimpulan atas dasar informasi yang tidak lengkap. Menyimpulkan adalah menggunakan logika, baik yang rasional maupun tidak, dalam rangka mengisi sejumlah informasi yang belum lengkap sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Dengan kata lain, menyimpulkan adalah melompat kepada suatu kesimpulan berdasarkan dat yang belum tentu lengkap.

Jadi, meskipun pada dasarnya tidak dapat dilakukan pengamatan secara langsung pada dimensi internal dari diri, orang melakukan penyimpulan berdasarkan apa yang dapat dia amati. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah mengamati dimensi eksternal dari diri, yaitu pada perilaku atau tindakan.

B. TATARAN PSIKOLOGIS DALAM KOMUNIKASI

(5)

Proses ini akan berlangsung terus sepanjang keduanya masih terlibat dalam tindak komunikasi.

Gambar 2.1

Bidang bergaris pada Gambar 2.1 menunjukkan bagian dari proses psikologis Ani yang memiliki kesamaan dengan proses psikologis Budi. Dapat dikatakan pula bahwa komunikasi akan menjadi semaikin efektif ketika bidang yang overlap semakin membesar. Selanjutnya, fenomena ini menghasilkan suatu situasi di mana Ani dan Budi saling berbagi pemahaman.

Saling berbagi pemahaman tidaklah berarti memiliki kesamaan pemahaman atau kesamaan diri, namun terdapat dua pemahaman individual yang berbeda, yang mempunyai kesamaan karakteristik tertentu. Kesamaan karakteristik ini merupakan suatu persinggungan dari dua atau lebih pemahaman yang berbeda. Persinggungan tersebut terwujud pada bidang yang overlap dari dua pemahaman, tetapi hal itu bukan merupakan, dan tidak akan pernah, menjadi suatu pemahaman tunggal. Jadi, komunikasi psikologis merupakan suatu persinggungan dari proses-proses psikologis yang berbeda dan tidak dipandang sebagai suatu proses psikologis tunggal.

Sebenarnya proses psikologis dalam komunikasi mencakup beberapa proses internal yang berbeda dan berlangsung secara simultan. Proses-proses ini berlangsung dalam beberapa tataran, dengan pengertian masing-masing

PROSES PSIKOLOGIS ANI

PROSES PSIKOLOGIS BUDI

(6)

mencakup bagian yang berbeda dari proses psikologis yang “dibagi” oleh para partisipan dalam komunikasi antarpribadi.

Fiesher (1987:110) mengemukakan bahwa ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, proses intrapribadi kita memiliki paling sedikit tiga tataran yang berbeda. Tiap tataran tersebut akan berkaitan dengan sejumlah “diri” yang hadir dalam situasi antarpribadi, yaitu pandangan kita mengenai diri kita sendiri, pandangan kita mengenai diri orang lain, dan pandangan kita mengenai pandangan orang lain tentang kita (lihat Gambar 2.2). Sering kali hal ini disebut pula dengan persepsi, metapersepsi dan meta-metapersepsi. Selanjutnya, ketiga tataran psikologis ini berfungsi secara simultan ketika kita sedang berkomunikasi dengan orang lain, dan tiap tataran dapat dipengaruhi atau mempengaruhi tataran lainnya. Misalnya, Budi memandang Ani sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya, dan dia menganggap Ani tidak sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya, dan dia menganggap Ani tidak menyukai atau tidak mempercayainya maka Budi akan mulai menurunkan citra terhadap dirinya sendiri (merasa bahwa dirinya mungkin tidak jujur sehingga menganggap tidak disukai oleh orang orang yang jujur).

Diri Saya Sendiri

(7)

Gambar 2.2

Perlu kita ingat kembali bahwa komunikasi antarpribadi, setidaknya ada dua orang yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, pada saat ketiga tataran psikologis kita beroperasi, hal yang sama berlaku pula pada diri partner komunikasi kita. Dalam kasus semacam ini kita seolah-olah berusaha untuk merefleksikan proses psikologis kita dengan proses psikologis yang kita anggap sedang terjadi dalam diri orang lain. Dan tentunya hal yang sama secara simultan terjadi pula pada diri partner komunikasi kita. Proses-proses psikologis yang terjadi pada dua individu ini tentunya tidak akan sama persis, tetapi masing-masing pihak berusaha untuk menghasilkan adanya tingkat persinggungan tertentu atau bidang yang overlap pada tiap-tiap tataran.

(8)

Gambar 2.3

Gambar 2.3 menunjukkan adanya persinggungan pandangan antara dua individu. Meskipun tidak akan pernah terjadi sinkronitas yang sempurna antara keduanya, mereka akan tetap berkomunikasi berlandaskan pada persinggungan proses psikologis mereka. Jadi, arti penting dari komunikasi bukanlah pada kesamaan yang sempurna antara dua proses psikologis mereka, tetapi bahwa mereka berkomunikasi satu dengan lainnya

seolas-olas ada kesamaan di antara mereka. Karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi seolah-olah saling berbagi bagian dari diri mereka, maka proses-proses psikologis mereka dapat mempengaruhi komunikasi antarpribadi dan hubungan sosial yang terjadi.

Pentingnya proses psikologis ini hendaknya dipahami dengan hati-hati, artinya proses intra pribadi individu dari partisipan komunikasi bukanlah hal yang sama dengan hubungan antarpribadi, melainkan proses psikologis. Meskipun demikian proses psikologis dari diri tiap individu pasti mempengaruhi komunikasi antarpribadi yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi hubungan antarpribadi.

Proses psikologis dapat berpengaruh pada komunikasi dan hubungan antarpribadi karena individu menggunakannya sebagai pedoman untuk bertindak atau berperilaku. Ketika hal ini berlangsung maka individu akan bertindak atau berperilaku. Ketika hal ini berlangsung maka individu akan bertindak atas dasar proses psikologis yang diketahui atau diyakininya sebagai diri yang sesungguhnya. Benar tidaknya penyimpulan yang dilakukan tidak akan dapat diketahui individu tersebut karena dia memang tidak memiliki pilihan lain, selain menggunakan penafsirannya terhadap citra diri untuk mempengaruhi perilaku, terlepas dari apakah dia berhasil menyimpulkan diri yang sesungguhnya atau tidak. Persoalan sebetulnya memang bukan pada hadirnya diri yang sesungguhnya (real self) dalam tindakan komunikasi karena semuanya akan kembali kepada pandangan masing-masing individu terhadap diri tersebut. Bukan pula pada akurat atau tidaknya pandangan masing-masing individu Karena mereka berperilaku seolas-olas pandangannya akurat.

(9)

benar-benar memahami hubungan antarmanusia. Sebaliknya, kita juga jangan menganggap bahwa hanya proses psikologislah yang menentukan komunikasi. Kita hendaknya menempatkan proses psikologis sebagai faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi dan hubungan sosial karena secara teknis proses psikologis bukan merupakan bagian dari hubungan itu sendiri.

Memahami Diri Pribadi dalam Komunikasi

D

iri pribadi adalah suatu ukuran/kualitas yang memungkinkan sesorang untuk dianggap dan dikenali sebagai individu yang berbeda dengan individu lainnya. Kualitas yang membuat sesorang memiliki kekhasan tersendiri sebagai manusia ini, tumbuh dan berkembang melalui interaksi sosial, yaitu berkomunikasi dengan orang lain. Individu tidak dilahirkan dengan membawa kepribadian. Seperti halnya diri fsik kita maka diri social dan diri psikologis manusia akan terus berkembang dan menjadi matang sejalan dengan usia hidup kita.

Pengalaman dalam kehidupan akan membentuk diri pribadi setiap manusia, tetapi setiap orang juga harus menyadari apa yang sedang terjadi dan apa yang telah terjadi pada diri pribadinya. Kesadaran terhadap diri pribadi ini pada dasarnya adalah suatu proses persepsi yang ditujukan pada dirinya sendiri. Dalamj hal ini orang akan berusaha untuk mengenali dan memahami siapa dirinya. Pada bagian ini berikut akan dibahas berbagai konsep diri dan relevansinya terhadap komunikasi antarpribadi. Pembahasan amencakup bagaimana manusia sampai kepada pengetahuan mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran (awareness).

A. PERSEPSI TERHADAP DIRI PRIBADI (SELF PERCEPTION)

Proses psikologis yang diasosiasikan dengan interpretasi dan pemberian makna terhadap orang atau objek tertentu dikenal sebagai

persepsi. Dengan mengutip Cohen, Fisher (1987 : 118) dikemukakan bahwa

(10)

tentang apa yang dapat ditangkap oleh indra kita. Defnisi ini melibatkan sejumlah karakteristik yang mendasari upaya kita untuk memahami proses antarpribadi.

Pertama, suatu tindakan persepsi mensyaratkan kehadiran objek eksternal untuk dapat ditangkap oleh indra kita. Dalam hal ini persepsi terhadap diri pribadi, kehadirannya sebagai objek eksternal mungkin kurang nyata, tetapi keberadaanya jelas dapat kita rasakan. Kedua, adanya informasi untuk diinterpretasikan. Informasi yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui sensasi atau indra yang kita miliki. Karakteristik ketiga

menyangkut sifat representative dari pengindraan. Maksudnya, kita tidak dapat mengartikan makna suatu objek secara langsung karena kita sebenarnya hanya mengartikan makna dari informasi yang kita anggap mewakili objek tersebut. Jadi, meskipun suatu persepi didasarkan pada pengamatan langsung, hal ini bukanlah sesuatu yang “sebenarnya” dalam artian kita dapat menangkap atau menguasai objek tersebut. Kita melihat, membaui, mendengar, mencicip, dan meraba, tetapi apa yang harus kita interpretasikan adalah penampakan, bau, suara, rasa, dan bentuk yang mewakili sesuatu, dan kita tidak akan pernah dapat “merasakan” objek itu sendiri. Konsekuensinya adalah bahwa pengetahuan yang kita peroleh melalui persepsi bukanlah tentang apakah suatu objek, melainkan apa yang tampak sebagai objek tersebut. Adakalanya penampakan dapat menyesatkan seperti yang kita alami dalam ilusi optis, special effects dalam flm, dan sebagainya.

Oleh karenanya, persepsi tidak lebih dari pengetahuan mengenai apa yang tampak sebagai realitas bagi diri kita. Jadi, sebaliknya kita tidak kelewat yakin dengan pengetahuan yang kita peroleh melalui persepsi. Ironisnya, pengetahuan yang biasanya paling kita yakini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi kita. Realitas yang kita persepsikan seringkali adalah yang paling jelas, pribadi, penting, dan terpercaya bagi kita. Ini merupakan suatu alas an mengapa komunikasi antarpribadi dan hubungan antarmanusia sangat sulit “dipahami” meskipun sangat mudah “diketahui/dikenali”.

(11)

Untuk memahami apa yang terjadi ketika orang saling berkomunikasi, kita harus memahami bagaimana orang mengenal diri mereka sendiri dan orang lain. Karena pemahaman tersebut diperoleh melalui proses persepsi, kita harus mengetahui bagaimana orang mempersepsi diri mereka sendiri atau orang lain. Adakalanya kita merasa kesal karena orang tidak dapat memahami apa yang kita maksud sehingga kita akan berpikir bahwa orang tersebut tidak paham ungkapan yang begitu sederhana dan gambling. Hal ini dapat terjadi karena mungkin orang tadi mempersepsikan sesuatu dari ungkapan yang kita sendiri bahkan tidak merasakan/menyadarinya. Pada dasarnya, letak persepsi adalah pada orang yang mempersepsi, bukan pada suatu ungkapan ataupun objek.

Persepsi terjadi di dalam benak individu yang mempersepsi, bukan di dalam objek, dan selalu merupakan pengetahuan tentang penampakan. Maka, apa yang mudah bagi kita boleh jadi tidak mudah bagi orang lain, atau apa yang jelas bagi orang lain mungkin terasa membingungkan bagi kita. Dalam konteks inilah kita perlu memahami tataran intra pribadi dari komunikasi antarpribadi dengan melihat lebih jauh sifat-sifat persepsi.

Pertama, persepsi adalas pengalaman. Untuk mengartikan makna dari seseorang, objek, atau peristiwa, kita harus memiliki dasar/basis untuk melakukan interpretasi. Dasar ini biasanya kita temukan pada pengalaman masa lalu kita dengan orang, objek, atau peristiwa tersebut, atau dengan hal-hal yang menyerupainya. Tanpa landasan pengalaman sebagai pembanding, tidak mungkin untuk mempersepsikan suatu makna, sebab ini akan membawa kita kepada suatu kebingungan.

Kedua, persepsi adalas selektif. Ketika mempersepsikan sesuatu, kita cenderung memperhatikan hanya bagian-bagian tertentu dari suatu objek atau orang. Dengan kata lain, kita melakukan seleksi hanya pada karakteristik tertentu dari objek persepsi kita dan mengabaikan yang lain. Dalam hal ini biasanya kita mempersepsikan apa yang kita “inginkan” atas dasar sikap, nilai, dan keyakinan yang ada dalam diri kita, dan mengabaikan karakteristik yang tidak relevan atau berlawanan dengan nilai dan keyakinan tersebut.

(12)

penyimpulan atas informasi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, mempersepsikan makna adalah melompat kepada suatu kesimpulan yang tidak sepenuhnya didasarkan atas data yang dapat ditangkap oleh indra kita. Sifat ini saling mengisi dengan sifat kedua. Pada sifat kedua persepsi adalah selektif karena keterbatasan kapasitas otak maka kita hanya dapat mempersepsi sebagian karakteristik dari objek. Melalui penyimpulan ini kita berusaha mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai objek yang kita persepsikan atas dasar sebagian karakteristik dari objek tersebut.

Keempat, persepsi tidak akurat. Setiap persepsi yang kita lakukan, akan mengandung kesalahan dalam kadar tertentu. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh pengalaman masa lalu, selektivitas, dan penyimpulan. Biasanya ketidakakuratan ini terjadi karena penyimpulan yang terlalu mudah, atau menyamaratakan. Adakalanya persepsi tidak akurat karena orang menanggap sama sesuatu yang sebenarnya hanya mirip. Dan semakin jauh jarak antara orang yang mempersepsi dengan objeknya maka semakin tidak akurat persepsinya. Meskipun demikian kita biasanya mengabaikan ketidakakuratan tersebut dalam kegiatan persepsi kita sehari-hari, dan ketidakakuratan persepsi tidak selalu menjadi/menimbulkan masalah dalam komunikasi antarpribadi.

Kelima, persepsi adalas evaluatif. Persepsi tidak akan pernah objektif, karena kita melakukan interpretasi berdasarkan pengalaman dan merefleksikan sikap, nilai dan keyakinan pribadi yang digunakan untuk member makna pada objek persepsi. Karena persepsi merupakan proses kognitif psikologis yang ada di dalam diri kita maka bersifat subyektif. Fisher (1987 : 125) bahkan mengemukakan bahwa persepsi bukan hanya merupakan proses intrapribadi, tetapi juga sesuatu yang sangat pribadi, dan tidak terhindarkannya keterlibatan pribadi dalam tindak persepsi menyebabkan persepsi sangat subjektif.

(13)

yang netral dan “biasa saja” cenderung dapat kita ingat dengan baik. Selebihnya kita ingat dengan baik (kabur). Jadi, ketika pengalaman mendasari persepsi yang kita lakukan, maka tidak dapat dihindari terjadinya proses evaluasi.

C. BEBERAPA ELEMEN DARI PERSEPSI

Kita telah mengetahui bahwa persepsi mensyaratkan adanya tiga hal: orang yang mempersepsi, objek persepsi, dan suatu interpretasi atau makna yang merupakan hasil dari tindakakn persepsi. Untuk memahami apa yang disebut tindak persepsi, apa ayang terjadi ketika orang memperseps, dan saja yang mempeengaruhi makna yang dipersepsikan maka kita perlu mengenal terlebih dahulu elemen-elemen yang terlibat dalam proses persepsi.

Elemen Pertama adalah sensasi pengindraan dan interpretasi. Ketika orang menangkap sesuatu melalui indranya (melihat, mendengar, mencicip, membau, atau meraba) maka secara simultan dia akan menginterpretasikan makna dari hasil pengindraanya. Sebagi misal, apa yang akan terjadi ketika kita mencium mawar? Apakah pertama kali kita mendapatkan sensasi fsik (bau), baru kemudian persepsi psikis (keharuman yang dihubungkan dengan mawar)? Apakah pertama kita membau dan kemudian membau mawar? Tentunya bukan itu yang terjadi karena kita mengasosiasikan sensasi kita dengan keharuman mawar yang telah kita kenal secara serempak/simultan. Dengan kata lain, adalah tidak mungkin untuk memisahkan antara sensasi dengan persepsi.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa kita cenderung untuk mendengar apa yang kita harapkan untuk didengar dan melihat apa yang kita harapkan untuk dilihat, terlepas dari apa yang ‘sesungguhnya’ kita dengar dan lihat. Harapan, yang merupakan elemen kedua dari persepsi, dapat menjadi kekuatan yang sangat berarti dalam mengarahkan persepsi, meskipun adakalanya bertentangan dari rasio.

(14)

pertama kita adalah merasionalisasikan hal tersebut dan meletakkan kesalahan pada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Misalnya kita adalah penggemar PSSI dan mengaharapkannya menang dalam kompetisi sepak bola Pra Piala Dunia. Ketika ternyata PSSI kalah terus reaksi kita adalah bahwa tim kesayangan kita sedang sial, wasit yang tidak fair, permainan yang kasar, dan sejumlah alasan lain. Sementara kita seolah-olah melupakan bahwa tim lawan bermain dengan baik.

Elemen Ketiga adalah bentuk dan latar belakang (fgure & background). Salah satu cara untuk memahami proses persepsi terletak pada kemampuannya untuk membeda-bedakan antara berbagagi jenis informasi. Orang yang mempersepsi, membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang penting dari yang tidak penting, yang relevean dari yang tidak relevan. Dengan kata lain, persepsi mencakup pembedaan antara informasi yang menjadi ‘fgur’ dan informasi yang menjadi background.

Orang biasanya ingin meyakini kebenaran persepsinya. Persoalannya adalah bagaimana menguji dan menginterpretasikan nilai kebenaran. Cara yang biasa digunakan untuk menentukan kevalidan persepsi kita adalah membandingkan dengan sesuatu. Dengan demikian, perbandingan merupakan elemen keempat dari persepsi, jika makna yang dipersepsikan konsisten atau mirip dengan criteria yang digunakan sebagai pembanding (pengalaman masa lalu kita akan menganggapnya valid. Ketika kita menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan criteria pembanding maka kita akan mengalami ketidaksesuaian kognitif atau inkonsistensi kognitif. Sehingga kita merasa perlu untuk menyingkirkan inkonsistensi tadi sebagai upaya untuk mengatasi ketidaksesuaian psikologis kita.

(15)

atau peristiwa, konteksnya adalah objek lainnya atau peristiwa-peristiwa lainnya.

Apa yang baru kita bicarakan belum sepenuhnya menjelaskan konteks. Ketika konteks telah kita kenali, persepsi akan menggunakan konteks tersebut untuk menginterpretasikan atau mengungkap suatu ‘pola’ yaitu suatu bentuk pengorganisasian elemen-elemen untuk menciptakan suatu kesatuan interpretasi yang utuh. Konteks dan pola merupakan komponen penting yang mendasari seluruh pemahaman kita tentang komunikasi antarpribadi. Karena, tidak akan terjadi interpretasi terhadap setiap perilaku komunikasi (verbal atau nonverbal), tidak akan ada makna dari setiap hubungan (misalnya teman atau lawan), tanpa menempatkannya dalam suatu konteks dan mengenali pola-polanya dalam interaksi. Tanpa adanya pola, sama dengan tidak adanya makna, atau setidaknya suatu kebingungan terhadap terlalu banyaknya makna. Oleh karenanya menginterpretasikan makna dalam konteksnya merupakan faktor utama, bahkan mungkin merupakan satu-satunya faktor terpenting, dalam memahami komunikasi antarpribadi dan hubungan sosial.

D. KESADARAN PRIBADI (SELF AWARENESS)

Langkah pertama dalam persepsi diri adalah mengetahui/menyadari diri kita sendiri, yaitu mengungkap siapa dan apa kita ini. Dan sesungguhnya menyadari siapa diri kita, adalah juga persepsi diri. Karena ketika kita menyadari siapa diri kita secara simultan kita juga telah mempersepsikan diri kita sendiri. Untuk dapat menyadari diri kita, pertama kali kita harus memahami apakah ‘diri/self’ tersebut. ‘Diri’ secara sederhana dapat kita artikan sebagai identitas individu. Jadi, identitas diri adalah cara-cara yang kita gunakan untuk membedakan individu satu dengan individu-individu lainnya. Dengan demikian ‘diri’ adalah suatu pengertian yang mengacu kepada identitas spesifk dari individu. Fisher (1987:134) menyebutkan ada beberapa elemen dari kesadaran diri, yaitu konsep diri, ‘self esteem’ dan ‘multiple selves’.

(16)

sifat social, dan peran social. Dengan kata lain, kita cenderung untuk memandang diri kita sebagai memiliki sifat-sifat internal tertentu yang kita gunakan untuk menjelaskan bagaimana kita berperan dalam berhubungan dengan orang lain.

Karakteristik pribadi adalah sifat-sifat yang kita miliki, paling tidak dalam persepsi kita mengenai diri kita sendiri. Karakteristik ini dapat bersifat fsik (laki, perempuan, tinggi, rendah, cantik, tampan, gemuk, dan sebagainya) atau kemampuan tertentu (pandai, pendiam, cakap, dungu, terpelajar, dan sebagainya). Karakteristik social menunjukkan sifa-sifat yang kita tampilkan dalam hubungan kita dengan orang lain. Antara lain, ramah atau ketus,

ekstovert, atau introvert, banyak bicara atau pendiam, penuh perhatian atau tidak peduli, dan sebagainya. Peran social, mencakup hubungan dengan orang lain dan dalam suatu masyarakat tertentu. Ketika peran sosial merupakan bagian dari konsep diri, maka kita mendefnisikan hubungan social kita dengan orang lain, seperti ayah, istri, guru, polisi, eksekutif, dan sebagainya. Peran social ini dapat pula berbenuk afliasi terhadap budaya, etnik, agama, dan sebagainya. Konsep diri dapat berubah siring dengan waktu, oleh karenanya stabilitas dari konsep diri ini sulit untuk diperkirakan.

Ketika diri kita menjadi objek persepsi maka kitaa juga akan mengevaluasi diri kita sendiri. Ungkapan yang digunakan untuk menyatakan persepsi evaluative seseorang terhadap dirinyya sendiri adalah ‘self esteem’, suatu bagian yang inheren dari konsep diri. Orang biasanya memiliki self esteem yang relative tinggi. Namun self esteem yang relative tinggi ini bukan berarti bahwa kita lalu menjadi egoistik. Ini hanya berarti bahwa tinggkat self esteem

dari orang ‘normal’ yang hidup secara normal, rata-rata di atas titik tengah atau titik netral pada skala evaluasi.

Self esteem juga bersifat lebih mendalam dan langgeng daripada suatu reaksi temporal. Maksudnya jika suatu ketika kita merasa gagal atau kehilangan kepercayaan diri pada saat dikecewakan oleh seorang sahabat, ini hanyalah reaksi sementara yang tidak mengubah self esteem. Self esteem kita adalah bagian dari interpretasi atau penyimpulan dari persepsi diri dan bukan semata-mata reaksi terhadap suatu peristiwa tertentu dalam kehidupan kita.

(17)

sehingga berperilaku secara lebih percaya diri. Orang yang self esteemnyatinggi biasanya lebih mandiri, tegas, dan tidak mudah dipersuasi. Sementara kebalikan dari hal-hal tadi biasanya ditemukan pada orang yang

self esteemnya rendah.

Meskipun pembahasan kita mengenai ‘diri’ sejauh ini mengacu pada diri sebagai identitas tunggal, namun sebenarnya masing-masing dari kita memiliki berbagai identitas diri yang berbeda, yang disebut multiple selves.

Beberapa dari diri kita berkaitan dengan peran kita dalam berbagai hubungan social yang berbeda dengan berbagai orang yang berbeda pula, misalnya; ayah-anak, suami-istri, atasan-bawahan, teman-teman, atau dalam kelompok yang lebih besar seperti sebagai pelajar, warga Negara, anggota partai, dan sebagainya. Ini semua mengacu kepada peran yang kita mainkan dalam berbagai komunitas dan merefleksikan berbagi aspek dalam kehidupan kita. Kesemuanya ini adalah ‘benar’, dalam pengertian seringkali beberapa peran tersebut overlap dan tidak mencerminkan konflik antara berbagai bagian dari diri kita. Multiple selves ini harus dipahami sebagai seseorang dengan berbagai aktivitas, kepentingan, dan hubungan social.

Multiple selves dapat pula dipahamu dalam bentuk yang lain. Ketika kita terlibat dalam komunikasi antarpribadi, kita memiliki dua diri dalam knsep diri kita. Pertama adalah persepsi mengenai diri kita, dan persepsi kita tentang persepsi orang lain terhadap diri kita (metapersepsi). Cara lain untuk melihat

multiple selves adalah melalui diri ideal kita. Sebagian dari konsep diri mencakup siapa diri kita sebenarnya, sedangkan sebagian lain mencakup kita ingin menjadi apa (semacam bentuk ‘idealisasi’ diri). Upaya untuk mempersempit celah antara diri ‘sebenarnya’ dan ‘diri’, tidak lain adalah suatu bentuk usaha untuk memperbaiki diri. Misalnya orang yang sebenarnya gemuk berusaha melangsingkan tubuh untuk mencapai berat dan bentuk yang dia idealkan. Ini terjadi pula pada berbagai hal lain, orang berusaha memperbaiki diri untuk mencapai diri yang ideal.

(18)

bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Proses perkembangan kesadaran diri diperoleh melalui tiga konsep, yaitu reflexive, social self, dan becoming self.

Jika kita memandang ke dalam cermin, apa yang kita lihat? Jika kita menjawab “Saya melihat diri saya” atau “Saya melihat wajah saya” maka kita belum sepenuhnya menangkan arti reflektivitas dan peran cermin dalam merefleksikan image kita. Prinsip dari reflexive self adalah apabila kita memandang ke dalam cermin dan kita tidak hanya melihat diri kita, tetapi melihat diri kita (yang dipantulkan oleh cermin) yang sedang memandang kita. Jadi kesadaran diri dikatakan reflexive jika bersifat dua arah. Ketika kita mempersepsikan diri kita, kita mempersepsikan bahwa diri kita terlibat dalam persepsi diri.

Analogi lain untuk menggambarkan refleeive self adalah seperti melempar bola karet ke dinding. Kita melempar bola kearah dinding, dan tindakan tersebut direfleksikan kembali (bola memantul) ke arah kita. Jadi, pada saat yang bersamaan kita adalah subjek dan objek dari tindakan kita. Bila diterapkan dalam kasus self esteemnya, cenderung mandiri. Meskipun demikian, kita tidak dapat memahami pengertian sebab akibat karena persepsi dan tindakan ini terjadi secara simultan atau secara refleksif. Proses persepsi dan tindakan ini bergerak dalam siklus yang terus berlangsung tanpa titik awal ataupun akhir.

Pada sisi lain, indiividu memperoleh konsep dirinya (identitasnya yang spesifk sebagai individu) melalui interaksi dengan orang lain. Dengan kata lain, orang mengevaluasi tindakannya terutama dengan mempersepsi dan mengevaluasi reaksi orang lain terhadap tindakan kita. Reaksi orang lain ini membuat tindakan kita jauh lebih berarti, dan ini berarti bahwa sebenarnya orang lain telah memberikan patokan di mana kita dapat mengukur konsep diri kita.

Menggunakan orang lain sebagai kriteria untuk menilai konsep diri kita, disebut menggunakan social self . Pengertian ini juga dikenal dengan istilah

looking glass self”, yang menggambarkan bagaimana kita mengembangkan

(19)

tersebut untuk menyimpulkan, mengartikan, dan mengevaluasi konsep diri kita.

Aspek lain dari pengembangan kesadaran diri melalui interaksi sosial adalah self monitoring. Self monitoring memungkinkan kita untuk menyadari perilaku-perilaku yang dianggap sesuai untuk suatu social tertentu. Meskipun

self monitoring biasanya mengacu pada kepekaan terhadap perilaku kita sendiri, kita dapat pula mempelajari perilaku apa yang secara social dianggap sesuai melalui pengamatan terhadap tindakan orang lain. Self monitoring

adalah suatu kemampuan di mana tingkatannya berbeda-beda pada setiap orang. Karena merupakan suatu kemampuan, self monitoring seseorang dapat dilatih dan diperbaiki. Sehingga orang akan menjadi lebih menyadari konsep dirinya, seiring dengan meningkatnya pemahaman tentang interaksi social yang sesuai. Kemampuan ini akan membuat kita menjadi lebih efektif dalam komunikasi antarpribadi.

(20)

Memahami Orang Lain dalam Komunikasi

D

alam setiap komunikasi yang melibatkan dua orang, akan terdapat diri pribadi yang harus di kenali, yaitu diri kita sendiri dan diri orang lain yang menjadi partner komunikasi kita. Upaya mengenali orang lain bukanlah persoalan sederhana. Upaya ini menyangkut proses psikologis, yaitu persepsi, dan seperti telah kita ketahui, persepsi memiliki banyak kelemahan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Anatara lain persepsi tidak akurat, selektif, subjektif, dan sebagainya. Dalam mempersepsi orang lain, kita harus membuat kesimpulan berdasarkan informasi yang tidak lengkap, yaitu informasi yang hanya diperoleh melalui kelima indra kita. Maka, ketika kita berkomunikasi, kita akan mendasarkan persepsi terhadap orang lain atas perilaku komunikasinya yang dapat diamati.

Meskipun sesungguhnya banyak informasi yang kita perlukan untuk melakukan persepsi terhadap orang lain, namun ada tiga jenis informasi terpenting yang perlu kita katahui, yaitu tujuan orang tersebut, kondisi internalnya (psikologis), dan kesamaan antara kita dengan orang tersebut. Mempersepsi tujuan orang memiliki beberapa arti bagi kita. Pertama adalah sebagai mekanisme proteksi, yaitu kita ingin mengetahui apa yang diharapakannya dari kita melalui komunikasi yang dia lakukan. Kedua, melalui pemahaman terhadap tujuan orang, kita dapat mengevaluasi kesungguhan atau akurasi dari penampilannya. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa kita menganggap sebagian besar perilaku memiliki tujuan tertentu, dan kita menggunakan persepsi untuk mengenali secara cermat apa tujuan orang lain.

(21)

akan mendoro rasa saling menyukai. Keadaan semacam ini akan membantu kita untuk merasa lebih nyaman dalam melanjutkan komunikasi.

Setelah kita memperoleh informasi tentang orang lain yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan dengan informasi tersebut. Dalam komunikasi antarpribadi, setiap partisipasi perlu mengenali partisipan lainnya dalam rangka mencapai dua tujuan, yaitu mengurangi ketidakpastian (uncertainly reduction) dan perbandingan sosial (social comparison). Ketika kita pertama kali bertemu dengan seseorang, biasanya akan muncul banyak pertanyaan didalam benak kita. Siapa orang ini ? Apa yang diinginkannya dari kita ? kita memasuki suatu sistem komunikasi tanpa kejelasan. Selanjutnya kita akan berkomunikasi untuk menemukan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan kita tadi. Dari situasi ketidakjelasan kita berusaha untuk mengeliminasi sebagian dari ketidakjelasan tadi dalam rangka memperoleh gambaran mengenai perilaku apa yang sesuai untuk situasi tersebut. Jadi, dalam tahap awal komunikasi antarpribadi, kita akan berusaha mengurangi jumlah ketidak pastian yang kita rasakan mengenai apa yang harus kita lakukan. Pada sisi lain, upaya ini juga sekaligus merupakan proses pemaknaan, yaitu proses mengeliminasi makna-makna yang tidak sesuai hingga tersisa beberapa makna yang kita anggap sesuai. Dengan menggunakan proses eliminasi, kita akan mendapatkan pemahaman dan makna melalui pengurangan ketidakpastian. Sehingga berlangsung proses persepsi yang kita lakukan terhadap orang lain.

Perbandingan sosial adalah proses membandingkan diri kita dengan orang lain. Mengutip Leon Festinger, Fisher (1987:160) yang mengemukakan bahwa orang biasanya melakukan evaluasi diri, yaitu suatu cara untuk mengetahui diri kita sendiri (konsep diri). Selain itu kita juga ingin mengetahui bagaimana menilai diri kita (self esteem). Sebagai manusia, kita selalu ingin merasa ”baik”, oleh sebab itu kita melakukan proses evaluasi diri (seperti pendapat, ide, hasil-hasil yang telah kita capai, konsep diri) dengan membandingkan diri kita pada orang lain. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu peluang untuk melakukan perbandingan sosial.

(22)

membandingkan keyakinan politik kita dengan orang yang memiliki keyakinan hampir sama, status sosial ekonomi kita dengan orang lain yang statusnya hampir sama, dan sebagainya. Jadi, perbandingan sosial bukanlah upaya untuk melakukan evaluasi diri secara objektif. Meskipun demikian ini adalah cara yang sehat untuk menjaga kestabilan konsep diri dan self esteem, karena jika kita membandingkan diri dengan ukuran yang tidak setara maka resikonya adalah merosotnya self esteem dan meningkatnya gangguan psikologis.

Perlu diingat bahwa proses mengurangi ketidakpastian dan perbandingan sosial terbatas pada tahap ”pengenalan/mulai mengenal”, yaitu tahap awal dalam komunikasi antarpribadi. Interaksi selanjutnya akan semakin mengurangi ketidakpastian dan memperjelas bagaimana harus berinteraksi, dan biasanya juga membawa kepada penemuan kesamaan. Setelah berhubungan selama beberapa waktu, proses pengurangan ketidakpastian dan perbandingan sosial menjadi tidak terlalu penting lagi. Misalnya, jika kita telah memupuk persahabatan dengan seseorang, biasanya kita denagn orang tadi.

A. PERSEPSI TERHADAP ORANG LAIN

Proses mempersepsi orang lain mencakup persepsi terhadap karakteristik fsik dan perilaku komunikasi orang tersebut. Stave Duck (1977) mengemukakan bahwa perilaku orang akan membantu dalam tiga hal.

Pertama, perilaku tersebut mungkin akan terasa menyenangkan bagi kita karena kita akan selalu merasa senang jika mendapat senyuman atau pujian misalnya. Kedua, perilaku tersebut memberikan informasi yang dapat kita gunakan untuk membentuk semacam kesan mengenai kondisi internal sesorang (kepribadian, sikap, keyakinan, nilai). Ketiga, perilaku seseorang dapat memberikan perkiraan mengenai mengenai kelanjutan hubungan di kemudian hari.

(23)

lebih banyak yang kita peroleh seiring dengan berlangsungnya komunikasi atau berlanjutnya hubungan maka kita dapat menebak dengan lebih baik/akurat

Bila seseorang melakukan persepsi, sebenarnya yang mengendalikan penyimpulan terhadap apa yang dilakukannya adalah orang itu sendiri. Oleh karenanya, untuk memahami proses mempersepsi ini adalah menyadari apa yang terjadi dalam diri kita ketika perhatian kita tertuju kepada orang lain. Bahasan berikut akan meguraikan tiga proses kognitif yang terjadi dalam mempersiapkan orang lain, ketiganya adalah implicit personality theory, proses atribusi, dan response sets

Implicit personality tseory mengasumsikan orang sebagai psikolog amatir, yang menggunakan perangkat psikologis untuk mempersepsi orang lain. Karena pengalaman interaksi di masa lalu, kita telah mengenal berbagai ciri-ciri psikologis/kepribadian yang berbeda dari berbagai orang yang berbeda. Maka, ketika kita berinteraksi dengan orang dan mengamati perilakunya, kita dapat mengurangi ketidakpastian mengenai diri orang tadi dengan mengevaluasi sesuai dengan ciri-ciri psikologis yang telah kita kenal. Dengan informasi dari perilakuorang tadi, kita dapat mengaplikasikan ciri-ciri kepribadian tadi kepadanya hingga sampai pada suatu persepsi mengenai siapakah dia.

Menggunakan implicit personality berarti berusaha memahami individu tertentu dengan menempatkan ciri-ciri individu tersebut ke dalam suatu kerangka pemahaman. Ini merupakan kebalikan dari proses stereotyping. Ketika melakukan stereotype terhadap sesorang, kita mulai dengan suatu klasifkasi sosial secara umum dan menerapkannya pada orang tersebut tanpa tahu lebih jauh tentang dirinya sebagai individu yang spesifk. Menggunakan

implicit personality tseory, di mulai dengan individu dan mencoba mengidentifkasikannya ke dalam klasifkasi sosial berdasarkan apa yang kita ketahui tentang individu tersebut sebagai sosok yang spesifk/khas.

(24)

menimpakan perilakukita yang tidak disukai kepada situasi, bukan kepada diri kita sendiri. Seperti misalnya ”Keterlambatan ini bukan kesalahan saya, karena mobil saya tidak bisa bergerak dalam kemacetan lalu lintas”. Sebaliknya, kita cenderung mempersepsikan orang lain dalam pengertian

disposisional. Ketika memperhatikan seseorang, kita cenderung

menempatkannya pada proses intra pribadi, yaitu sesuatu yang terjadi di dalam orang tersebut. Misalnya, kita akan berkata bahwa ”Dia sedang bingung. Sudah dua kali kami berpapasan dan dia tidak mengenali atau menegurku”.

Proses atribusi memiliki arti penting bagi komunikasi dalam beberapa hal. Pertama, proses ini membantu kita untuk menyusun penjelasan mengenai suatu kejadian/peristiwa dengan mengggunakan pola-pola seperti yang telah dicontohkan di atas. Kedua, proses ini secara relatif akurat menggambarkan hubungan antara kondisi psikologis dengan perilaku. Meskipun kesesuaian antara kondisi psikologis dan perilaku masih diperdebatkan (apakah perilaku benar-benar merefleksikan kondisi psikologisnya), namun keduanya berfungsi secara bersamaan dalam suatu siklus yang saling mempengaruhi. Dalam hal ini kita biasanya merasa bahwa kondisi psikologis tidak mengendalikan perilaku kita (perilaku kita tidak secara otomatis merefleksikan perasaan kita). Namun kepada orang lain kita cenderung menganggap bahwa perilakunya mencerminkan kondisi psikologisnya, dan ini menjadi acuan bagi kita untuk berperilaku terhadap orang lain tersebut.

(25)

Response sets merupakan predisposisi tertentu yang dilakukan untuk menanggapi orang lain. Proses ini mengandung lompatan penyimpulan dari perilaku orang lain kepada perilaku kita ketika menanggapinya. Menyadari bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan cukup informasi untuk mengenali orang lain secara utuh maka kita menggunakan response sets

sebagai jalan pintas melakukan penyimpulan. Oleh karenanya, dalam proses ini kesalahan dalam mempersepsikan orang dapat mungkin terjadi. Response sets yang sangat umum digunakan adalah ’sallo effect’, dan ’leniency effect’.

Kita merasakan sallo effect ketika kita terlalu menggenerelisasi perilaku orang dalam suatu situasi kepada situasi lain yang sama sekali belum kita ketahui. Misalnya, kita mengetahui perilaku teman kerja kita yang kurang bertanggung jawab, seperti sering terlambat masuk, lambat dalam mengerjakan tugas, dan sebagainya. Dari pengamatan ini, kita lalu menyimpulkan bahwa dia akan berperilaku sama dalam berbagai bidang kehidupannya yang lain. Kita juga menanggap dia kurang bertanggung jawab pada keluarganya, sering keluar rumah, curang pada istrinya, dan sebagainya. Demikian pula dengan orang yang kita kenal ramah, lalu kita menganggap dia juga akan ramah kepada orang-orang lainnya. Persoalan yang muncul dari ’sallo effect’ ini adalah bahwa kita mengabaikan situasi yang dapat mempengaruhi tindakan orang. Kita melupakan kenyataan bahwa yang akan berperilaku dan menampilkan peran yang berbeda dalam situasi yang berbeda dan kepada orang yang berbeda.

(26)

Persepsi terhadap orang lain, seperti halnya persepsi terhadap diri sendiri, terbuka bagi berbagai kesalahan. Oleh karenanya, persepsi terhadap orang lain (akurat maupun tidak akurat) dapat menguntungkan atau merugikan dalam proses hubungan atau komunikasi antarpribadi. Hal yang perlu dicamkan adalah bahwa kita harus selalu terbuka bagi informasi tambahan dan menggunakannya untuk memperbaiki persepsi kita terhadap orang lain.

B. PERILAKU TERHADAP ORANG LAIN

Untuk dapat berkomunikasi secara efektif, kita berharap untuk dapat mempengaruhi persepsi orang lain terhadap diri kita. Kita menginginkan orang lain memiliki penilaian yang baik mengenai diri kita, paling tidak, memiliki kesan bahwa kita konsisten dengan tujuan kita berkomunikasi kepadanya. Kita dapat berharap agar orang lain memandang kita sebagai teman, pimpinan, pasangan, dan berbagai peran sosial lainnya. Meskipun kita tidak dapat memkas orang dalam mempersepikan diri kita, namun kita dapat melakukan sesuatu untuk mengarahkan persepsi mereka. Kita dapat berperilaku dalam cara-cara tertentu yang dapat mendorong ke arak kesan tertentu mengenai diri kita. Jadi, kewajiban kita ketika berkomunikasi adalah memberikan informasi kepada orang lain, melalui perilaku kita agar dapat digunakan untuk mempersepsikan diri kita sesuai dengan yang kita harapkan.

Tindakan ini sesungguhnya sangat alamiah/wajar, artinya bukan selalu merupakan upaya untuk berpura-pura atau menipu orang lain. Karena meskipun beberapa perilaku kita mungkin pura-pura atau palsu, kita mengetahui pula bahwa kita memiliki berbagai peran sosial yang berbeda bagi orang dan situasi yang berbeda, yang akan mempengaruhi perilaku kita ketika berkomunikasi. Beberapa konsep yang dapat menjelaskan hal ini antara lain

impression management, rsetorical sensitivity, attributional responses, dan konfrmasi antar pribadi.

(27)

setiap kali kita berperilaku terhadap orang lain, tidak ada pilihan lain, kecuali mengarahkan kesan orang tersebut terhadap kita. Kita tidak memiliki pilihan dalam arti, kita tidak bisa tidak berperilaku. Persoalannya adalah apakah kita sadar akan upaya kita mengarahkan kesan orang lain, bukan apakah kita melakukannya atau tidak

Impression management memandang komunikasi antarpribadi sebagai

sebuah drama atau sandiwara. Sebagai partisipan dalam komunikasi, kita bukan hanya sebagai aktor, tetapi sekaligus penulisan skenario yang menulis naskah ”drama” kehidupan nyata ketika kita terlibat dalam komunikasi antarpribadi. Ketika kita mengarahkan kesan orang lain, kita menghadirkan diri kita dalam dua bentuk perilaku, yaitu ”depan” dan ”belakang”. ”Depan” mengacu pada bagian dari diri kita yang dapat diamati/tampak oleh orang lain, bagian ”depan” ini menunjukkan bagian dari diri kita yang berada ”diatas panggung”. ”belakang” mengacu pada perilaku ’dibalik panggung” kita yang kita lakukan ketika tidak ada orang lain, atau kita tidak menyadari adanya orang lain yang hadir disekitar kita. Perlu dipahami bahwa persoalan ”di atas panggung/depan” dan ”di balik panggung/belakang” ini bukanlah mengacu pada perilakupura-pura atau perilakusebenarnya. Keduanya adalah wajar, hanya saja yang satu merupakan situasi sosial, sedangkan lainnya merupakan situasi pribadi. Misalnya kita senang duduk sambil mengangkat kaki, ini biasanya hanya bisa kita lakukan bila sedang sendiri, dengan hadirnya orang lain tentunya kita akan duduk secara lebih baik untuk menanamkan kesan yang baik pula terhadap orang tersebut.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya impression management merupakan perilaku yang lebih diarahkan oleh orang lain daripada diri kita sendiri. Ketika kita menyadari perilaku kita, dan kita membiarkan orang lain untuk mengarahkannya maka kita menilai kesesuaian perilaku kita sebagai respons terhadap perilaku orang lain. Dalam impression

management, sesungguhnya fokus kita bukan pada memanipulasi orang lain

(28)

Rsetorical sensitivity adalah konsep yang di kembangkan oleh Rod Hart dan Don Burks (1972) yang mengacu pada kualitas persepsi yang di dasarkan atas kemungkinan-kemungkinan (contingencies). Menjadi rsetorically sensitive

berarti peka terhadap orang lain. Tindakan ini mencakup pemilihan perilaku komunikasi yang sesuai bagi kombinasi antara diri kita, orang lain, dan situasi tertentu selama kegiatan komunikasi antarpribadi. Dengan kata lain, rsetorical sensitivity berarti melakukan adaptasi/penyesuaian terhadap kemungkinan-kemungkinan.

Terdapat lima karakteristik yang menandai rsetorical sensitivity. Pertama, orang yang rsetorcally sensitive dapat menerima kompleksitas pribadi, yaitu dapat memahami bahwa setiap individu merupakan kesatuan dari banyak diri (multiple selves). Ingat pembahasan kita sebelumnya bahwa individu memiliki banyak konsep diri yang berkaitan dengan berbagai peran sosial yang dimainkan (teman, guru, ayah, suami dan sebagainya). Kedua, orang yang rsetorcally sensitive menghindari sifat kaku/keras dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ketiga, orang semacam ini akan mengimbangkan kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain, suatu kepekaan yang disebut kesadaran interaksi (interaction consciousness).

Keempat, orang yang rsetorcally sensitive sadar kapan harus

mengkomunikasikan atau tidak mengkomunikasikan sesuatu dalam situasi yang berbeda. Kelima, orang semacam ini menyadari bahwa suatu pesan dapat dikemukakan melalui berbagai cara, dan dia dapat menyesuaikan cara penyampaian pesan dalam situasi tertentu.

(29)

situasinya sungguh tidak memungkinkan saya untuk pergi”) . dengan kata lain, atribusi dapat di terapkan sebagai strategi percakapan seperti halnya para proses persepsi, dan ketika kita menggunakannya sebagai strategi,

atribusi akan mempengaruhi keseluruhan alur percakapan.

Konfrmasi antarpribadi merupakan tanggapan atau reaksi atas perilaku orang lain. Konsep ini masih berkaitan dengan impression management.

Gambar

Gambar 2.2

Referensi

Dokumen terkait

lain, ketika orang mengamati tindakan kita mereka akan membuat penilaian mengapa kita melakukan hal tersebut. Penilaian ini kemudian menjadi persepsi mengenai diri

Dominating Memotong pembicaraan orang lain dengan mengalihkan kepada diri kita sendiri melalui berbagai cara , seperti cerita ttg kesuksesan diri, keluhan kita, masalah kita

“ Tidaklah, kita sama-sama tidak mempermasalahkan hal tersebut, kita ambil mana yang baik saja antara mendidik anak dengan cara orang Indonesia. at

Setiap hari kita melakukan tindakan dengan maksud dan tujuan tertentu, tindakan yang kita lakukan pada umumnya berkaitan dengan orang lain mengingat bahwa manusia adalah

Berdasarkan dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa cyberbullying merupakan tindakan perilaku yang dapat menyakiti orang lain dengan cara mengintimidai,

Yaitu memotong pembicaraan orang lain dengan mengalihkan kepada diri kita sendiri melalui berbagai cara, seperti cerita ttg kesuksesan diri, keluhan kita, masalah

saya yaitu dengan cara kita membantu orang lain sukses dalam artian kita mengajari dia cara jualan, cara merekrut atau mengembangkan jaringan, secara tidak

pelajari tentang diri kita sendiri dari orang lain melalui