• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan

perjuangan Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Ir.

Djoeanda yang mendeklarasikan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah

termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, yang

dikenal sebagai Deklarasi Djuanda dan menyatakan bahwa Indonesia menganut

prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State). Deklarasi Djuanda

selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.1

Pada tahun 1982 deklarasi ini diterima dan ditetapkan dalam konvensi

hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of

The Sea/UNCLOS 1982). Kemudian dipertegas kembali dengan UU Nomor 17

Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara

kepulauan.

Sebagai tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982, Pemerintah

Indonesia telah menerbitkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan

Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis

Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Dua Landasan hukum tersebut,

khususnya PP No.38 tahun 2002, telah memagari wilayah perairan Indonesia.

UNCLOS 1982 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting, yaitu sebagai

1

(2)

bentuk pengakuan Internasional terhadap konsep Wawasan Nusantara yang telah

digagas sejak tahun 1957.2

Sampai dengan terciptanya Konvensi Hukum Laut Internasional, pengertian

mengenai negara kepulauan menjadi suatu negara yang seluruhnya terdiri dari

satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan

pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau

tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya

demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah

lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau

secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.3

Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang

menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar

kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk

pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan

dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan

Sembilan berbanding satu.4

Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, wilayah pengaturan

perairan Indonesia terbagi menjadi :

a. Perairan Kepulauan

Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada

2

https://saripedia.wordpress.com/tag/letak-alur-laut-kepulauan-indonesia/ diakses pada 25 Mei 2015

3

United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 46 4 Ibid.,

(3)

sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau

jaraknya dari pantai. Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS

1982) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka

perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut

internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya.

b. Perairan Pedalaman

Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut

teritorial5. Bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut

wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari

ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan

negara-negara lain, sehingga perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan

perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman

dan perairan daratan. Pada dasarnya tida ada hak lintas damai di wilayah

perairan ini kecuali kawasan perairan pedalamannya terbentuk karena

penarikan garis lurus.6

c. Laut teritorial

Setiap Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya

sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis

pangkal7 dimana batas terluarnya adalah garis yang jarak setiap titiknya dari

titik yang terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. 8 Untuk

negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis

5 Ibid.,

Pasal 8 ayat (1) 6

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 213

7 United Nation Convention on the Law of the Sea Pasal 3

8

(4)

pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut.9

Laut territorial termasuk dalam kedaulatan negara pantai yang secara

otomatis menjadi miliknya. Terdapat sejumlah teori yang berkaitan dengan

karakter hukum dari territorial negara pantai, mulai dari perlakuan laut

territorial sebagai bagian dari res communis, namun tunduk kepada hak tertentu

yang bisa dilaksanakan oleh negara pesisir, hingga mengenai laut territorial

sebagai bagian dari territorial negara pantai namun tunduk pada hak lintas

damai (The Right of Innocent Passage) kapal asing. Sebuah negara pantai

diperbolehkan membentuk sabuk maritimnya dan control yurisdiksinya yang

luas sesuai dengan ketentuan hukum Internasional. Pembatasan negara pantai

adalah hak atas negara lain tentang hak lintas damai melalui laut territorial. Hal

inilah yang membedakan antara wilayah laut territorial dari perairan internal

negara, yang sepenuhnya berada dalam yurisdiksi tanpa batas negara pantai.10

Kapal-kapal dari semua negara, baik pesisir maupun daratan yang

terkurung, memilik hak lintas damai melalui laut territorial. 11 Maka, negara

pantai tidak boleh menghalangi kegiatan lintas damai dan harus

mempublikasikan bahaya apapun bagi navigasi laut territorial yang

diketahuinya.

d. Laut Tambahan

Zona tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal

9 Ibid., Pasal 6 10

Berger, Artur Asa. Aspek-Aspek Hukum Laut Pendekatan Tanya Jawab (Harvarindo, 2014),

hlm. 65 11

(5)

dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal. 12 Zona tambahan ini bersambungan dengan laut teritorial negara pantai dan dapat melaksanakan

pengawasannya yang dibutuhkan untuk:13

a. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang

berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),

keimigrasiandan kesehatan atau saniter.

b. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-

undangannya tersebut di atas.

e. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE)

Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan

dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus hak-hak dan

yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain.14

Berdasarkan Piagam PBB tentang Konvensi Hukum Laut 1982, dalam wilayah

ZEEnya Indonesia mempunyai hak kedaulatan (Sovereign rights) atas seluruh

kekayaan alam yang terdapat di dalamnya untuk:

a. Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulau-pulau buatan, instalasi-

instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.

b. Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan.

c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

f. Landas Kontinen

Landas kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di

bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut

12 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 33 ayat 2

13

United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 33 ayat (1) 14

(6)

teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga mempunyai landas kontinen di luar laut wilayahnya.17

Namun untuk saat ini Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas

kontinennya dengan negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam,

Australia, Philipina dan Malaysia di Kalimantan Timur.

g. Laut Lepas

Laut lepas dapat digunakan baik oleh Negara pantai atau Negara tidak

berpantai dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan Negara

lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas itu untuk melakukan :18 a. kebebasan berlayar.

b. kebebasan penerbangan.

c. kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut.

d. kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang

diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.

15

United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 76 ayat (1) 16 Ibid.,

Pasal 76 ayat (9) 17

UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 9 ayat (1) 18

(7)

e. kebebasan menangkap ikan.

f. kebebasan riset ilmiah.

Salah satu kewajiban Indonesia di laut lepas adalah memberantas

kejahatan Internasional, dimana perompakan termasuk dalam pembajakan

Internasional, dan melakukan pengejaran seketika apabila dirasa mengganggu

keamanan nasional. 19 Pemberantasan kejahatan internasional di laut lepas

dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.20

Indonesia sebagai negara yang memiliki kondisi geografis wilayah daratan

yang berbentuk gugusan gugusan pulau memiliki potensi sekaligus kelemahan.

Potensi terbesarnya adalah sumber daya yang ada di dalamnya, sedangkan

kelemahannya adalah masalah perhubungan antar pulau pulau serta masalah

keamanan dan kedaulatan.21

Indonesia yang tergolong sebagai bangsa pelaut yang ulung yang telah

mengarungi lautan yang luas. Para pelaut ini berlayar antar pulau dengan tujuan

ekonomis-perdagangan maupun social budaya. Mereka bertemu dan berinterkasi

di tengah laut dengan penuh kerukunan dan kedamaian. Nenek moyang bangsa

Indonesia tidak memandang laut sebagai pemisah, justru sebagai pemersatu

seluruh kepulauan Nusantara termasuk daratan dan tanah di bawahnya dari pulau-

pulau ataupun ruang udara di atas laut serta daratan tersebut.22

19 UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 11 ayat (2)

20 Ibid.,

(8)

Namun, berapa batas luar bagian laut tanah air tidak ditegaskan oleh setiap

etnis yang mendiami nusantara karena dianggap sudah aman dan nyaman

memanfaatkan laut di sekitar, di tengah-tengah ataupun di antara pulau pulaunya

sehingga tidak perlu menetapkan batas luarnya yang bukan merupakan sebuah

kebutuhan pada saat itu.23

Khusus mengenai Timor – Timur, telah disepakati oleh Pemerintah

Indonesia dan RDTL Provisional Agrreement on the Land Boundary yang

ditandatangani 8 April 2005 oleh Menteri Luar Negeri kedua negara. Sedangkan

batas laut RI-RDTL yang meliputi laut wilayah, zona tambahan, ZEE dan landas

kontinen belum mulai dirundingkan karena masih menunggu penyelesaian batas

darat terlebih dahulu.

Sebagai Negara Kepulauan, kondisi georafis Indonesia juga memunculkan

permasalahan keamanan maritime yang telah meluas tidak hanya konsep

pertahanan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga termasuk

pertahanan terhadap ancaman non militer, antara lain perlindungan terhadap

kelestarian alam, jalur perdagangan, pemberatasan aksi ilegal di laut, pembajakan

dan lain-lain. Pembajakan yang sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan

dilaut yang perlu mendapatkan penangan yang serius. Asia Tenggara, khususnya

Indonesia, telah menjadi daerah paling rawan serangan bajak laut di dunia, setelah

operasi internasional membuat aksi bajak laut di Somalia berkurang, demikian

dinyatakan PBB.24

Pembajakan di laut tidak dapat dibenarkan dari segi pertimbangan apapun,

23 Ibid. 24

(9)

baik dilakukan karena alasan ekonomis ataupun alasan politik. Kejahatan ini telah

berlangsung sejak laut menjadi jalur transportasi bagi masyarakat dunia. Kegiatan

ini telah meningkat dalam lingkup, intensitas dan kompleksitasnya sehingga

mengancam kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara dan kawasan

sekitar.

Hukum Laut Internasional memang kemudian membagi kewenangan untuk

menumpasnya dengan melihat dimana pembajakan laut itu terjadi. Jika di laut

bebas maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara manapun yang ingin

menumpasnya, bahkan Negara-negara diwajibkan untuk bekerjasama menumpas

pembajakan tersebut, akan tetapi jika di wilayah satu Negara khususnya laut

teritorial maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara pantainya. 25

Melihat semua dampak yang telah diakibatkan oleh sekelompok perompak

yang anggotanya terdiri dari sekelompok pengangguran, jelas kasus ini harus

segara ditindaklanjuti. Tidak hanya melibatkan Negara Indonesia sebagai suatu

negara yang memiliki wilayah jurisdiksi lebih luas namun juga dunia

Internasional.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan

mengenai kewenangan hukum Indonesia terhadap bajak laut dengan mengangkat

judul : KEWENANGAN MENANGKAP DAN MENGADILI BAJAK LAUT DI WILAYAH JURISDIKSI INDONESIA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.

25

(10)

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakan pengaturan hukum Internasional mengenai bajak laut?

2. Bagaimanakah kewengangan Indonesia untuk menangkap dan mengadili

bajak laut berdasarkan hukum Internasional?

3. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban Indonesia menghadapi kejahatan bajak

laut di wilayah jurisdiksinya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penulisan

Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai

dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum Internasional mengenai

bajak laut.

2. Untuk mengetahui kewengangan Indonesia untuk menangkap dan

mengadili bajak laut berdasarkan hukum Internasional.

3. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Indonesia menghadapi

kejahatan bajak laut di wilayah jurisdiksinya.

2. Manfaat Penelitian

Seperti pada umumnya dalam setiap penulisan skripsi pasti ada

manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan dalam

penulisannya. Manfaat secara umum yang dapat diambil dalam penulisan

skripsi ini terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang

(11)

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah

pengetahuan dalam mempelajari Hukum Internasional khususnya hukum

Laut Internasional serta dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan

mengenai penegakan atas kejahatan bajak laut di wilayah teritorial suatu

negara berdasarkan Hukum Internasional.

b. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah menjadi acuan dalam

kerangka berpikir bagi upaya dan solusi penyelesaian permasalahan bajak

laut di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Judul skripsi ini ialah “Kewenangan Menangkap dan Mengadili Bajak Laut

di Wilauah Yurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional”. Skripsi ini

ditulis berdasarkan ide, gagasan, serta pemikiran Penulis yang diperoleh dari

berbagai sumber refernsi, bukan dari hasil penggandaan karya tulis orang lain dan

oleh karena itu keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku,

jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan dan kutipan,

hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis

(12)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Kewenangan untuk Menangkap dan Mengadili

Pembajakan di laut lepas dapat dikategorikan ke dalam kejahatan lintas

batas negara. Pelaku pembajakan dapat melibatkan orang-orang dengan

kewarganegaraan berbeda yang terorganisir, rapi dan dikendalikan dari negara

mana saja, karena itu serangan terhadap kapal dapat terjadi dimana saja dan

pelaku penyerangan bisa melarikan diri kemana saja.

Untuk memberantas bajak laut, setiap negara pantai diperbolehkan

menggunakan kapal perangnya untuk memberantas bajak laut intternasional.

Wewenangnya sangat luas kapal-kapal perang dapat menangkap dan menahan

kapal bajak laut. Selanjutnya negara bendera kapal perang tersebutlah yang

dapat mengadili dan menghukum pembajak-pembajak yang ditangkap.

Setiap negara harus mengambil tindakan untuk menetapkan yurisdiksi

atas tindak pidana dan juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu

pelanggaran seperti yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Dalam

pelaksanaan yurisdiksi sebagaimana yang dimaksud di atas, negara -negara

yang berhasil menangkap para pelaku pembajakan boleh saja mengirimkan

para pelaku tersebut ke negara lain yang memiliki peraturan hukum tentang hal

itu untuk diadili di negara tersebut.26

2. Pengertian Wilayah Perairan

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,

wilayah perairan meliputi perairan pedalaman, peraiaran kepulauan, dan laut

26

(13)

territorial. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi wilayah

daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial, termasuk

ruang udara di atasnya serta dasar Laut dan tanah di bawahnya, termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Bagi negara kepulauan, laut teritorial yang terdapat dalam wilayah

perairan meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan

kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut territorial.

Pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar

laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan

dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea).27

Istilah laut teritorial dan perairan teritorial kadang-kala digunakan pula

secara informal untuk menggambarkan dimana negara memiliki yurisdiksi,

termasuk perairan internal, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas

kontinen berpotensi.

3. Pengertian Wilayah Yurisdiksi

Yurisdiksi adalah kewenangan untuk melaksanakan ketentuan hukum

nasional suatu negara yang berdaulat dan ini merupakan implementasi

kedaulatan negara sebagai yurisdiksi negara dalam batas-batas wilayahnya

yang akan tetap melekat pada negara berdaulat. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2)

UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyatakan bahwa wilayah

27

(14)

yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas

kontinen.

Yurisdiksi territorial baik subyektif maupun obyektif (teritorial yang

diperluas), menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku atas orang, perbuatan,

dan benda yang ada di wilayahnya maupun di luar wilayahnya atau di luar

negeri. Menyadari makna kedaulatan (sovereignty) dalam hubungannya

dengan hukum internasional, yang didalamnya ada batasan, namun demikian

hanya bagi negara yang mempunyai yurisdiksi menurut hukum internasional.

Dalam hal ini pada prinsipnya yurisdiksi suatu negara, terkait tidak saja

dengan ketentuan hukum nasional masing-masing negara, tetapi juga dengan

hukum internasional yang berlaku.

Yurisdiksi Teritorial sebagai kewenangan suatu Negara untuk mengatur,

menerapkan dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu

yang ada/terjadi dalam batas-batas teritorialnya, tidak mutlak tapi dibatasi oleh

hukum internasional sehingga pengecualiannya antara lain:

a. Terhadap kepentingan Negara asing yang sedang berada dalam suatu

Negara.

b. Perwakilan diplomatik dan konsuler.

c. Kapal pemerintah dan kapal dagang pemerintah asing.

d. Angkatan bersenjata Negara asing.

(15)

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan

yuridis normatif adalah pendekatan yang melakukkan analisa hukum atas

peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim dalam penulisan ini

pendekatan yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma -norma hukum

yang berlaku yang mengatur tentang kedaulatan suatu negara di wilayah laut

dan upaya penyelesaian sebagaimana yang terdapat dalam perangkat hukum

internasional maupun perjanjian internasional.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu

metode penelitian yang menggambarkan semua data yang kemudian

dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang

berlangsung dan selanjutnya mencoba memberikan pemecahan masalahnya.

2. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan huku yang mengikat yang

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Bahan

hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adaah Piagam PBB

1945, Konvensi Hukum Laut 1982.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang dan

memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku,

(16)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukumyang memberikan penjelasan

dari bahan hukum primer dan badan hukum sekunder, berupa kamus

hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi

kepustakaan. Hal ini dilakukan yakni untuk mendapatkan landasan dalam

menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat

dipercaya maupun tidak langsung (internet) yang berhubungan dengan

materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang terdapat dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.

Analisis data kulitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat,

mengorganisasikan, mengelompokkan, dan mensitensiskan data selanjutnya

memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukkan pola, hubungan-

hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskriptif naratif,

bagan, flow chart, matriks maupun gambar-gambar yang bisa dimengerti

dan dipahami oleh orang lain.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman untuk mendapatkan jawaban atas

rumusan permasalahan, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar

melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran

(17)

jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari lima bab yang

terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan

mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikannya adalah sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan

alasan pemilihan judul penelitian yang kemudian akan dilanjutkan

dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian

serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai

keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan serta metodelogi penelitian

yang digunakan dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

BAJAK LAUT

Dalam Bab ini berisi tentang Sejarah Bajak Laut dan bagaimana

pengaturan mengenai bajak laut menurut konvensi dan sumber

hukum lainnya sesuai dengan pengaturan dalam Hukum

Internasional.

BAB III : KEWENANGAN INDONESIA UNTUK MENANGKAP DAN

MENGADILI BAJAK LAUT BERDASARKAN HUKUM

INTERNASIONAL.

Dalam Bab ini berisi mengenai kewenangan Indonesia terhadap

bajak laut di wilayah teritorialnya dan bagaimana penanganan

(18)

BAB IV : CARA INDONESIA MENGHADAPI KEJAHATAN BAJAK

LAUT DI WILAYAH YURISDIKSINYA.

Dalam Bab ini berisi tentang bagaimana Indonesia mengahadapi

bajak laut di wilayah yurisdiksinya dan pengaturan mengenai

Hukum Alur Kepulauan Indonesia (ALKI).

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan Bab penutup dari keseluruhan rangkaian bab-bab

sebelumnya yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai seuatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa

Maka fungsi fukushi mada pada data 7 ini adalah kata – kata yang dikatakan oleh Kobayashi yang menjawab keluhan ogata pada saat itu, kalimat tersebut yaitu

Masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah apakah melalui permainan roda jenius dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi sifat-sifat bangun

Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat yang mempunyai pengetahuan baik dengan melakukan tindakan cukup sebesar 11 orang sebesar 37%. Setelah peneliti gali lebih dalam

Dari pernyataan tersebut di atas yang termasuk alasan diperbolehkannya Pengadilan Agama memberikan izin seorang suami beristri lebih dari satu adalah.... Islam masuk ke

Produksi dan distribusi benih merupakan hal utama dalam konsep sistem perbenihan. Teknologi benih merupakan komponen dari suatu sistem perbenihan. Sistem perbenihan

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan berupa nikmat iman dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ” Hubungan Personal Hygiene:

penelitian yang dilakukan. Prawid ya Destari anto, Erni Yudani ngtyas, Sholeh Hadi Pramon o, 2013 PENERA PAN METODE INFEREN CE TREE DAN FORWAR D CHAININ G DALAM SISTEM