TINJAUAN PUSTAKA
Abu Vulkanik
Abu vulkanik atau pasir vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan
yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan. Abu maupun pasir vulkanik
terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus, yang berukuran besar
biasanya jatuh disekitar sampai radius 5-7 km dari kawah, sedangkan yang
berukuran halus dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan kilometer bahkan ribuan
kilometer dari kawah disebabkan oleh adanya hembusan angin
(Sudaryo dan Sucipto, 2009).
Dalam suatu aktivitas vulkanisme, material-material yang dikeluarkan
berupa gas, cair, dan padat. Gas-gas yang keluar antara lain uap air, O2, N2, CO2,
CO, SO2, H2S, NH3, H2SO4, dan sebagainya. Materi cair yang dikeluarkan adalah
magma yang keluar melalui pipa gunung yang disebut lava sedangkan materi
padat yang disemburkan ketika gunung api meletus berupa bom (batu-batu besar),
kerikil, lapilli, pasir, abu serta debu halus (Munir, 1996).
Menurut Sudaryo dan Sucipto (2009) karakteristik abu vulkanik yang
terdapat pada Gunung Merapi memiliki kandungan P dalam abu volkan berkisar
antara rendah sampai tinggi (8-232 ppm P2O5). KTK (1,77- 7,10 me/100g) dan
kandungan Mg (0,13- 2,40 me/100g), yang tergolong rendah, namun kadar Ca
cukup tinggi (2,13- 15,47 me/100g).
Abu yang jatuh dan menutupi lahan pertanian memberikan dampak positif
dan negatif bagi tanah dan tanaman. Dampak positif bagi tanah, secara tidak
pertumbuhan tanaman, sedangkan dampak negatifnya adalah abu tersebut
menutupi permukaan daun sehingga menghambat proses fotosintesa dan tanaman
tersebut lambat laun akan mati. Hal ini mengakibatkan penurunan produksi
tanaman. Dampak negatif lainnya adalah kemungkinan terkandungnya
logamlogam berat dalam abu vulkanik tersebut. Abu vulkanik gunung Sinabung
menurut kajian yang dilakukan oleh Balitbangtan (2014) mengandung unsur
logam berat berupa S sebesar 0,05% hingga 0,32%, Fe sebesar 0,58% hingga
1,51%, Pb sebesar 1,5% hingga 5,3% dan unsur-unsur lain seperti Cd, As, Ag
ataupun Ni dalam jumlah yang sedikit dan tidak terdeteksi.
Penelitian kandungan abu vulkanik gunung sinabung oleh
Balitbangtan (2014) menunjukkan hasil analisis terhadap abu vulkanik berupa
komposisi mineral abu-pasir volkan berupa fragmen batuan (28 - 37%), gelas
volkan (22 - 26%), augsit (8 - 13%), Heperstin (10 - 18%), labradorit (7 - 10%),
bintonit (2 - 5%) dan opak (3 - 5%). Bahan-bahan mineral ini bila melapuk akan
menjadi sumber unsur hara esensial terutama Ca, Mg, K, Na, P, S, Fe dan Mn.
Tanah Andisol
Andisol adalah tanah yang berkembang dari bahan abu vulkanik yang
mempunyai potensi kesuburan tanah yang tinggi. Potensi kesuburan tanah yang
tinggi pada Andisol sering tidak berbanding lurus dengan peningkatan produksi
tanaman, karena sebagian besar unsur hara makro berada dalam keadaan terfiksasi
di dalam tanah (Yunus, 2012).
Andisol merupakan tanah dengan epipedon molitik atau umbrik atau
banyak mengandung bahan amorf, atau lebih dari 60% terdiri dari abu vulkanik
vitrik, cindes atau bahan pyroklastik lain (Hardjowigeno, 2003).
Andisol merupakan salah satu jenis tanah didaerah tropika yang memiliki
sifat khas yang tidak dimiliki oleh jenis tanah yang lain. Tanah ini dicirikan oleh
bobot isi yang rendah dan memilki kompleks pertukaran yang didominasi oleh
bahan amorf yang bermuatan variabel serta retensi fosfat yang tinggi. Tanah yang
terbentuk dari abu volkan ini umumnya ditemukan di daerah dataran tinggi
(>400m di atas pemukaan laut) (Darmawidjaya, 1990).
Tanah Andisol dicirikan oleh warna yang hitam, sangat porous,
mengandung bahan organik dan liat amorf terutama alofan serta sedikit silika
aluminia. Luas tanah kurang lebih 6,5 juta ha atau 3,4 % seluruh daratan
Indonesia yang tersebar di daerah-daerah volkan dan merupakan tanah pertanian
yang penting, terutama bagi tanaman hortikultura seperti tanaman bunga,
sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendukung pertumbuhan ekonomi
(Rahayu, 2003).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2005) dalam
(Ketaren, 2008) mengatakan bahwa data analisis tanah Andisol dari berbagai
wilayah menunjukkan bahwa Andisol memiliki tekstur yang bervariasi dari berliat
(30 - 65% liat) sampai berlempung kasar (10 - 20%). Reaksi tanah umumnya agak
masam (5,6 - 6,5). Kandungan bahan organik lapisan atas sedang sampai tinggi
dan lapisan bawahnya umumnya rendah, dengan nisbah C/N terolong rendah.
Kandungan P dan K potensial bervariasi sedang sampai tinggi, umumnya
Tanah Andisol adalah tanah yang memiliki bahan andik dengan ketebalan
sebesar 60% atau lebih bila: 1) terdapat dalam 60 cm dari permukaan mineral atau
pada permukaan bahan organik dengan sifat andik yang lebih dangkal, jika tidak
terdapat kontak densik, litik, atau paralitik, horizon duripan atau horizon
petrokalsik pada kedalaman tersebut, atau 2) diantara permukaan tanah mineral
atau lapisan organik dengan sifat andik, yang lebih dangkal dan kontak
densik, litik, atau paralitik, horizon duripan atau horizon petroklasik
(Soil Survey Staff, 2010).
Menurut Sanchez (1976), tanah yang mengandung alofan seperti Andosol
merupakan pengerap fofat tertinggi, dengan besar erapan lebih dari 1000 ppm P.
Kekahatan P merupakan kendala terpenting pada sebagian besar tanah mineral
masam di Indonesia, kekahatan P tersebut berkaitan dengan daya erapan ion P
yang mengakibatkan P menjadi tidak larut dan relatif tidak tersedia bagi tanaman.
Pada tanah Andosol, ketersediaan fosfat terlarut untuk tanaman yang
diberikan dalam bentuk pupuk berkurang dengan cepat dan hanya sekitar 10%
saja yang dapat diserap tanaman (Tan, 1984). Secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi erapan P dalam tanah menurut Tisdale et al, (1990) ialah sebagai
berikut: 1) sifat dan jumlah komponen-komponen tanah yang terdiri atas hidrus
oksida logam dari besi dan aluminium, tipe liat, kadar liat, koloid-koloid amorf,
dan kalsium karbonat, 2) PH, 3) kation, 4) anion, 5) kejenuhan kompleks jerapan,
6) bahan organik, 7) suhu, dan 8) waktu reaksi.
Unsur Hara Fosfat (P)
Ketersediaan hara P tanah untuk tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat
disebabkan oleh fiksasi mineral-mineral liat dan ion-ion logam seperti Al, Fe,
maupun Ca yang banyak larut (Nyakpa dkk, 1988).
Unsur hara P di dalam tanah terdapat dalam bentuk fosfat anorganik dan
fosfat organik. Senyawa P-organik dalam tanah antara lain fosfolipida, asam
suksinat, fitin dan inositol fosfat yang dapat didekomposisi dengan baik oleh
mikroba tanah. Unsur P-anorganik mudah bersenyawa dengan berbagai ikatan
seperti Al, Fe, Ca, dan Mn. Senyawa P-anorganik dapat diklasifikasikan menjadi
4 bagian yaitu besi fosfat (FePO4), aluminium fosfat (AlPO4), kalsium fosfat
(Ca3(PO4)2) dan reductant soluble. Bentuk FePO4 dan AlPO4 dominan ditemukan
pada tanah masam (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Awalnya P dalam senyawa larut dalam air, seperti fosfat monocalcium
dalam superfosfat, dan masuk ke dalam larutan tanah sebagai ion fosfat. P ini
kemudian diambil oleh akar atau terserap cepat ke partikel mineral atau bahan
organik yang membentuk sebagian besar tanah. P ini akan terikat pada permukaan
senyawa aluminium, besi atau kalsium. Jenis dan proporsi dari senyawa ini relatif
terutama tergantung pada sifat dan ukuran partikel liat dan keasaman tanah. Pada
awalnya reaksi adsorpsi berlangsung lambat untuk menghasilkan senyawa
kalsium besi dan aluminium kurang mudah larut. Kecepatan yang teradsorpsi
dengan P dilepaskan kembali ke larutan tanah untuk mengisi P diambil oleh akar
tanaman tergantung pada kekuatan ikatan memegang P pada permukaan yang
berbeda (Johnston, 2000).
Tanaman menyerap hara fosfor dalam bentuk ion orthofosfat yakni :
H2PO4-, HPO42-, dan PO43- dimana jumlah dari masing-masing bentuk sangat
dijumpai bentuk H2PO4- dan pada tanah alkalis adalah bentuk PO43-
(Damanik dkk, 2011).
Indranuda (1994) menjelaskan bahwa fosfor merupakan bagian integral
tanaman di bagian penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi.
Fosfor terlibat pada penangkapan cahaya dari sebuah molekul klorofil. Begitu
energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (adenosine diphosphate) atau ATP
(adenosine triphosphate), maka akan digunakan untuk menjalankan reaksi-reaksi
yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa, tepung dan protein.
Pada tanaman, fosfor berperanan dalam transfer energi, bagian dari ATP
(adenosin trifosfat), ADP (adenosin difosfat), penyusun protein, koenzim,
asam nukleat dan senyawa-senyawa metabolik yang lain. Karena keterlibatan
unsur P yang begitu banyak, maka ketersediaannya bagi tanaman menjadi sangat
penting (Anas dan Premono, 1993).
Ada hubungan yang erat antara konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah
dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Defisiensi fosfor selalu timbul akibat
dari terlalu rendahnya konsentrasi H2PO4- dan HPO42- di dalam larutan tanah.
Senyawa fosfor dalam bentuk larut yang dimasukkan ke dalam tanah untuk
mengatasi defisiensi fosfor cepat sekali mengendap dan terikat oleh matriks tanah
(Indranuda, 1994).
Jamur Pelarut Posfat
Mikroba pelarut fosfat hidup di sekitar perakaran tanaman, mulai
permukaan tanah sampai kedalaman 25cm. Keberadaannya berkaitan dengan
jumlah bahan organik yang akan mempengaruhi populasi serta aktivitasnya dalam
dibanding mikroba yang hidup jauh dari daerah perakaran. Keberadaan mikroba
pelarut fosfat beragam dari satu tempat ke tempat lainnya karena perbedaan sifat
biologis mikroba itu sendiri. Terdapat mikroba yang hidup pada kondisi masam
dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik,
mesofilik dan termofilik ada yang hidup aerob maupun anaerob (Ginting, 2006).
Jamur pelarut fosfat merupakan salah satu anggota mikroba tanah yang
dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan P oleh tumbuhan. Bentuk
ikatan P yang umum ditemui pada kondisi masam adalah AlPO4 dan FePO4.
Jamur pelarut fosfat mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 lebih baik
dibanding BPF pada kondisi masam. Penelitian Lestari dan Saraswati (1997)
melaporkan bahwa jamur pelarut P mampu meningkatkan kadar fosfat terlarut
sebesar 27% - 47% di tanah masam. Penelitian Goenadi (1994), menunjukkan JPF
mampu melarutkan fosfat 12-162 ppm di media Pikovskaya dengan sumber P dari
AlPO4 (Premono, 1998).
Aktivitas mikroba tanah berpengaruh langsung terhadap ketersediaan
fosfat di dalam larutan tanah. Sebagian aktivitas mikroba tanah dapat melarutkan
fosfat dari ikatan fosfat tak larut (melalui sekresi asam-asam organik) atau
mineralisasi fosfat dari bentuk ikatan fosfat-organik menjadi fosfat-anorganik.
Selain tanaman, fosfat anorganik terlarut juga digunakan oleh mikroba untuk
aktivitas dan pembentukan sel-sel baru, sehingga terjadi pengikatan
(immobilisasi) fosfat (Santosa, 2007).
Pertumbuhan mikroorganisme pelarut fosfat sangat dipengaruhi oleh
kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikrooganisme dipengaruhi oleh
fungi menurun dengan meningkatnya pH. Sebaliknya pertumbuhan kelompok
bakteri optimum pada pH sekitar netral dan meningkat seiring dengan
meningkatnya pH tanah (Ginting, 2006).
Kemampuan MPF dalam melarutkan fosfat berbeda-beda, antara lain
tergantung dari macam dan jumlah asam organik yang dihasilkan serta sumber
fosfat yang digunakan (Santosa, 2007). Kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam
melarutkan fosfat yang terikat dapat diketahui dengan membiakkan biakan
murni-nya pada media agar Pikovskaya atau media agar ekstrak tanah yang berwarna
putih keruh karena mengandung P tidak terlarut seperti kalsium fosfat
(Ca3(PO4)2). Pertumbuhan mikroba pelarut fosfat dicirikan dengan adanya zona
bening di sekitar koloni mikroba yang tumbuh, sedangkan mikroba yang lain
tidak menunjukkan ciri tersebut (Raharjo dkk, 2007). Beberapa jamur dan bakteri
yang besar perannya dalam pembebasan senyawa-senyawa fosfat organik adalah
Aspergillus, Penicillium, Bacillus dan Pseudomonas melalui sekresi sejumlah
asam organik seperti asam format, asetat, propionate, laktat, glikolat, fumarat dan
suksinat (Hanafiah dkk, 2009).
Proses utama terhadap pelarutan senyawa fosfat sukar larut adalah
produksi asam organik oleh jamur, seperti asam format, asetat, propionat, laktat,
glikolat, fumarat, dan asam suksinat. Asam organik ini menyebabkan pH rendah,
dan beberapa hidroksi berinteraksi dengan kalsium, besi, kemudian akan
melarutkan fosfat. Asam organik seperti asam sitrat dan asam sulfat berperan
dalam meningkatkan kelarutan fosfat dalam batuan fosfat (Rao, 1994).
Prinsip dasar isolasi mikroba pelarut fosfat ialah menyeleksi mikroba
Kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat terikat dapat
diketahui dengan mengembangkan biakan murni pada media Pikovskaya yang
berwarna putih keruh, karena mengandung P tidak larut air seperti kalsium fosfat
Ca3(PO4)2. Pertumbuhan mikroba pelarut fosfat dicirikan dengan zona bening
(holozone) di sekeliling koloni mikroba. Mikroba pelarut fosfat yang potensial
dapat diseleksi dengan melihat luas zona bening paling besar pada media padat.
Pengukuran potensi pelarutan fosfat secara kualitatif ini menggunakan nilai
indeks pelarutan (dissolving index), yaitu nisbah antara diameter zona jernih
terhadap diameter koloni. Kemampuan pelarut fosfat terikat secara kuantitatif
dapat diukur dengan membiakkan mikroba pada media Pikovskaya cair.
Kandungan P terlarut dalam media cair tersebut diukur setelah masa inkubasi
(Setiawati, 1998).
Keberhasilan inokulasi pelarut fosfat pada kondisi lapangan dipengaruhi
oleh beberapa faktor biologi, diantaranya adalah kandungan bahan organik. Tanah
dengan kandungan bahan organik rendah tidak dapat memberikan kondisi
lingkungan yang sesuai untuk aktivitas mikroorganisme pelarut fosfat.
Penambahan bahan organik dengan inokulasi mikroorganisme pelarut fosfat dapat
meningkatkan aktivitas mikroorganisme pelarut fosfat dan ketersediaan P tanah,
terutama bila dikombinasikan dengan batuan fosfat (Hanafiah, 1994).
Mekanisme Pelarutan Fosfat
Mekanisme kimia pelarutan fosfat dimulai saat mikroba pelarut fosfat
mengekresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah hasil
oksalat, suksinat, tartarat, sitrat, laktat, malat, fumarat dan α-ketoglutarat
(Beauchamp dan Hume, 1997). Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti
dengan penurunan pH. Penurunan pH dapat pula disebabkan oleh pembebasan
asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium.
Perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Asam-asam
organik tersebut akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+,
Ca2+ atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil yang mampu
membebaskan ion fosfat terikat sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan
(Setiawati, 1998).
Jamur pelarut fosfat memiliki 3 mekanisme dalam meningkatkan
penyerapan P yaitu: (1) secara fisik dimana infeksi jamur pada akar tanaman
dapat membantu pengambilan fosfor dengan memperluas permukaan sampai akar;
(2) secara kimia jamur diduga mendorong perubahan pH perakaran. Jamur juga
menghasilkan asam sitrat dan asam oksalat yang menggantikan posisi ion fosfat
yang terfikasasi; (3) secara fisiologi, jamur menghasilkan hormon auksin,
sitokinin dan giberelin yang mampu memperlambat proses penuaan akar sehingga
memperpanjang masa penyerapan unsur hara (Premono, 1998).
Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut
menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase dan enzim fitase. Fosfatase
merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah.
Fosfatase diekskresikan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam
tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme
Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan
menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan
enzim fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh
senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia (Paul dan Clark, 1989).
Asam-asam organik melarutkan P pada media dan dalam tanah melalui
mekanisme antara lain: kompetisi anion ortofosfat pada tapak jerapan, perubahan
pH media, pengikatan logam membentuk logam organik dan khelat oleh ligan
organik. Terdapatnya asam-asam organik ini dalam tanah sangat penting artinya
dalam mengurangi ikatan P oleh unsur penjerapannya dan mengurangi daya racun
logam seperti aluminium pada tanah masam. Kecepatan pelarut P dari mineral
P oleh asam organik ditentukan oleh: (1) kecepatan difusi asam organik dari
larutan tanah, (2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral,
(3) tingkat dissosiasi asam organik, (4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik,
(5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan (6) kadar asam organik
dalam larutan tanah Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat
adalah asam sitrat > asam oksalat = asam tartarat = asam malat > asam laktat =
asam fumarat = asam asetat. Asam organik yang mampu membentuk komplek
yang lebih mantap dengan kation logam lebih efektif dalam melepas Al dan Fe
mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Urutan kemudahan
fosfat terlepas mengikuti ukuran Ca3(PO4)2 > AlPO4 > FePO4 (Premono, 1994).
Asam-asam organik sangat berperan dalam pelarutan fosfat karena asam
organik tersebut relatif kaya akan gugus-gugus fungsional karboksil (-COO−) dan
hidroksil (-O−) yang bermuatan negatif sehingga memungkinkan untuk
chelate. Asam-asam organik meng-chelate Al, Fe atau Ca, mengakibatkan fosfat
terlepas dari ikatan AlPO4.2H2O, FePO4.2H2O, atau Ca3(PO4)2 sehingga
meningkatkan kadar fosfat-terlarut dalam tanah. Keadaan ini akan meningkatkan
ketersediaan fosfat dalam larutan tanah. Pelarutan fosfat dari Al-P atau Fe-P juga
Ca-P oleh asam organik yang dihasilkan MPF menurut Santosa (2007) adalah
sebagai berikut:
Gambar 1. Reaksi pelarutan fosfat dari Al-P atau Fe-P pada tanah masam oleh
asam organik