• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Permainan dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Divergen Siswa Kelas VII B SMP Pangudi Luhur Salatiga Tahun Ajaran 20162017 T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Permainan dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Divergen Siswa Kelas VII B SMP Pangudi Luhur Salatiga Tahun Ajaran 20162017 T1 BAB II"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

1.1.Berpikir Divergen

1.1.1. Pengertian Berpikir Divergen

Berpikir divergen merupakan salah satu bentuk perumusan pemecahan masalah yang dibuat oleh Sternberg (1988). Berpikir divergen adalah berusaha membangkitkan solusi alternatif yang memungkinkan bagi sebuah masalah. Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, yang dilakukan adalah berpikir konvergen untuk menyempitkan berbagai kemungkinan sehingga menyatukan jawaban tunggal terbaik, Sternberg (1988) dalam Budiningrum (2002).

Menurut Guilford, kemampuan berpikir divergen adalah sebuah konsep sehubungan dengan seperangkat faktor dari kemampuan intelektual yang berhubungan dengan pemanggilan informasi yang menghasilkan sebanyak mungkin penyelesaian untuk masalah tertentu. Kemampuan menghasilkan banyak pemecahan masalah membuat berpikir divergen mampu menghasilkan jawaban yang berbeda (Purwanto, http//www.depdiknas.go.id).

Guildford (dalam Emiyati, 2011) membedakan tipe berpikir menjadi dua macam yaitu berpikir konvergen terpusat (convergent thingking) dan berpikir divergen (divergen thingking). Cara berpikir konvergen mengarah pada satu kesimpulan khusus. Sedangkan berpikir divergen lebih menekankan pada variasi jawaban yang berbeda terhadap suatu pertanyaan, sehingga kebenaran jawaban tersebut subjektif.

Pertanyaan yang digunakan dalam jawaban konvergen adalah pertanyaan tertutup, sedangkan untuk jawaban divergen yang digunakan adalah pertanyaan tentang kemampuan intelektual cenderung berkonsentrasi pada proses untuk menemukan satu jawaban terbaik. Secara sistematik bahwa arus

(2)

8

saja, maka dengan demikian berpikir tentang intelektual hanya dapat berfungsi sampai disitu saja. Berpikir secara strategi yang melibatkan pelepasan diri dan fakta, melihat hal-hal yang tidak terduga, menggunakan sesuatu sebagai batu loncatan untuk pengembangan ide baru itulah perlengkapan yang disebut

“berpikir berbeda” atau “berpikir divergen”.

Guilford (dalam Emiyati, 2011) menyoroti praktik pendidikan yang

sedang berjalan berdasarkan teori struktur intelek yang dikembangkannya. Dalam model ini, Guilford menjelaskan bahwa kreativitas manusia pada

dasarnya berkaitan dengan proses berpikir konvergen dan divergen. Konvergen adalah cara berpikir untuk memberikan satu-satunya jawaban yang benar. Sedangkan berpikir divergen adalah proses berpikir yang memberikan serangkaian alternatif jawaban yang beraneka ragam. Kemampuan berpikir devergen dikaitkan dengan kreativitas ditunjukkan oleh karakteristik : a) kelancaran, yaitu kemampuan untuk menghasilkan sejumlah besar ide-ide atau solusi masalah dalam waktu singkat, b) fleksibilitas, yaitu kemampuan untuk secara bersamaan mengusulkan berbagai pendekatan untuk masalah tertentu, c) Orisinalitas, yaitu kemampuan untuk memproduksi hal baru dan ide-ide asli, d) elaborasi, yaitu kemampuan untuk melakukan sistematisasi dan mengatur rincian ide di kepala dan membawanya keluar.

Berpikir divergen adalah kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap satu masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas ketepatgunaan, keragaman jawaban. Makin banyak jawaban yang diberikan siswa, maka semakin kreatiflah seseorang itu (Munandar, 1990). Tetapi jawaban-jawaban tersebut juga harus sesuai dengan masalahnya, jadi walaupun orang tersebut telah menemukan banyak kemungkinan jawaban suatu masalah kalau jawaban

(3)

9

Berpikir divergen juga akan melibatkan orisinalitas dalam berurusan dengan orang lain. Jadi ketika berhadapan dengan orang lain, harus bisa menghasilkan atau memunculkan ide baru dalam memecahkan suatu masalah. Selain itu, fleksibilitas dalam berpikir juga diperlukan untuk menghasilkan jawaban dan pemecahan masalah. Kemampuan berpikir divergen merupakan kemampuan yang mampu menghasilkan jawaban bervariasi, pemikiran

menyimpang dari jalan yang telah dirintis sebelumnya. Pemikiran melampaui dari apa yang jelas dan nyata, mempertimbangkan beberapa jawaban yang

mungkin ada untuk suatu masalah, pemikir divergen mengajukan beberapa solusi. Dengan kemampuan itu, maka akan mampu menghasilkan jawaban yang berbeda (Guilford, dalam Emiyati, 2011).

1.1.2. Aspek Berpikir Divergen

Jenis berpikir yang mencerminkan kreativitas adalah tergolong jenis berpikir divergen (divergen thingking). Guilford (dalam Erniyati, 2011) mengemukakan bahwa berpikir divergen terdiri dari 4 aspek yaitu :

1. Kelancaran berpikir (fluency of thingking)

Kelancaran berpikir berarti kemampuan untuk menghasilkan ide-ide sejenis pada pemecahan sejumlah masalah (Sund & Carin, 1978). Aspek ini lebih menekankan kualitas ide yang dihasilkan.Kelancaran berpikir memuat empat aspek, yaitu kelancaran kata, kelancaran memberikan gagasan, kelancaran asosiasi, dan kelancaran ekspresi.

a) Kelancaran kata (word fluency)

Aspek kelancaran kata yaitu kemampuan menghasilkan kata-kata dengan lancar sesuai persyaratan tertentu (Guilford, 1959). Salah satu cara

untuk mengetahui kemampuan ini yaitu dengan meminta seseorang menyebutkan sebanyak mungkin kata berwalan tertentu.

b) Kelancaran memberikan gagasan (ideational fluency)

(4)

10

terbatas, tanpa mementingkan kualitas jawaban (Guilford, 1959). Dalam proses pemecahan masalah, kemampuan ini diperlukan untuk menghasilkan berbagai solusi dari suatu masalah dalam waktu terbatas. Tes yang dapat diberikan untuk mengetahui kemampuan ini adalah dengan meminta menyebutkan sejumlah benda yang memiliki sifat yang sama. c) Kelancaran asosiasi (associational fluency)

Kelancaran asosiasi yaitu kemampuan menghasilkan sejumlah kata yang berasal dari satu batasan arti (Guilford, 1959). Cara terbaik untuk

mengetahui kelancaran asosiasi adalah dengan meminta seseorang menyebutkan sebanyak mungkin sinonim dari suatu kata dalam waktu tertentu.

d) Kelancaran ekspresi (expressional fluency)

Kelancaran ekspresi yaitu kemampuan untuk menghasilkan suatu susunan kata yang saling berhubungan dan mempunyai arti (Guilford, 1959). Keunikan kelancaran ekspresi adalah adanya kemampuan untuk menyusun atau menghubungkan sejumlah kata, yang setiap katanya memiliki arti tersendiri, menjadi suatu susunan kata yang berarti.

2. Kelenturan kata (fleksibility of thinking)

Kelenturan berpikir yaitu kemampuan untuk menghasilkan aneka jenis ide yang tidak biasa dari suatu masalah. Kelenturan berpikir merupakan aspek kualitas dari ide-ide yang dihasilkan. Aspek kelenturan berpikir memuat dua aspek, yaitu aspek kelenturan yang bersifat spontan dan kelenturan yang adaptif.

a) Kelenturan yang bersifat spontan (spontaneus flexibility)

Kelenturan yang bersifat spontan adalah kemampuan untuk

(5)

11

b) Kelenturan yang bersifat adaptif (adaptive flexibility)

Kelenturan yang bersifat adaptif yaitu kemampuan menghasilkan sejumlah solusi yang bersifat tidak biasa (unusual) untuk satu jenis masalah (Guilford, 1959).

3. Keterperincian berpikir (elaboration of thinking)

Keterperincian berpikir yaitu kemampuan menguraikan bagian-bagian

tertentu secara mendetil untuk melengkapi dan memperjelas suatu garis besar atau kerangka berpikir yang diberikan (Guilford, 1959). Hal-hal yang diuraikan itu meliputi akibat, cara melaksanakan, hubungan, dan sebagainya.

4. Otisinalitas berpikir (originality of thinking)

Orisinalitas berpikir yaitu kemampuan atau kecenderungan untuk menghasilkan jawaban-jawaban yang di luar dugaan, mempunyai hubungan tersendiri, dan cerdas, dibandingkan dengan kelompoknya (Guilford, 1959).

Semua aspek di atas penting dan saling berkaitan jika siswa mempunyai keterampilan dari salah satu aspek tersebut dapat menunjang keterampilan dalam aspek yang lainnya. Karena itu, agar semua aspek dalam keterampilan tersebut dapat dimiliki siswa maka siswa sering dilatih untuk mengembangkan keterampilannya di semua bidang.

1.2.Permainan

1.2.1. Pengertian Permainan

Menurut Gordon dan Browne (dalam Moeslichatoen, 2004) bermain merupakan pekerjaan masa anak-anak dan cermin pertumbuhan anak. Menurut

(6)

12

anak-anak yang menyenangkan yang bersifat mendidik untuk mencapai tujuan pendidikan yang dilakukan di dalam dan di luar kelas.

Bermain adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak akan berkata-kata, belajar memnyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukan, dan mengenal waktu, jarak,

serta suara (Wong, 2000). Bermain adalah cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik dalam dirinya yang tidak disadarinya. Bermain adalah

kegiatan yang dilakukan sesaui dgn keinginanya sendiri dan memperoleh kesenangan. Dapat disimpulkan bahwa bermain adalah : “Kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena bermain sama dengan kerja pada orang dewasa, yang dapat menurunkan stress anak, belajar berkomunikasi dengan lingkungan, menyesuaikan diri dengan lingkungan, belajar mengenal dunia dan meningkatkan kesejahteraan mental serta sosial

anak.”

Andang Ismail (2009) mendefinisikan permainan sebagai suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral dan emosional. Pemainan merupakan alat bagi anak untuk menjelajahi dunia, dari apa yang tidak dikenali sampai apa yang diketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuat sampai mampu melakukan.

1.2.2. Fungsi Bermain Pada Anak

Anak bermain pada dasarnya agar ia memperoleh kesenangan, sehingga tidak akan merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi merupakan kebutuhan anak seperti halnya makan, perawatan dan cinta kasih. Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-motorik,

perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi (Soetjiningsih, 1995 dalam Soetjiningsih, 2005).

(7)

13

akan diberikan, agar diketahui perkembangan anak lebih lanjut, mengingat anak memiliki berbagai masa dalam tumbuh kembang yang membutuhkan stimulasi dalam mencapai puncaknya seperti masa kritis,optimal dan sensitif.

Untuk lebih jelasnya dibawah ini terdapat beberapa fungsi bermain pada anak diantaranya (Soetjiningsih, 1995 dalam Soetjiningsih, 2005) :

a) Membantu Perkembangan Sensorik dan Motorik

Fungsi bermain pada anak ini adalah dapat dilakukan dengan melakukan rangsangan pada sensorik dan motorik melalui rangsangan ini aktifitas

anak dapat mengeksplorasikan alam sekitarnya sebagai contoh bayi dapat dilakukan rangsangan taktil,audio dan visual melalui rangsangan ini perkembangan sensorik dan motorik akan meningkat.Hal tersebut dapat dicontohkan sejak lahir anak yang telah dikenalkan atau dirangsang visualnya maka anak di kemudian hari kemampuan visualnya akan lebih menonjol seperti lebih cepat mengenal sesuatu yang baru dilihatnya.Demikian juga pendengaran,apabila sejak bayi dikenalkan atau dirangsang melalui suara-suara maka daya pendengaran dikemudian hari anak lebih cepat berkembang dibandingkan tidak ada stimulasi sejak dini. b) Membantu Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan. Hal ini dapat terlihat pada saat anak bermain, maka anak akan mencoba melakukan komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami obyek permainan seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dan kenyataan, mampu belajar warna, memahami bentuk ukuran dan berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan,sehingga fungsi bermain pada model demikian akan meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya.

c) Meningkatkan Sosialisasi Anak

(8)

14

sosialisasi satu dengan yang lain, kemudian bermain peran seperti bermain-main berpura-pura menjadi seorang guru, jadi seorang anak, menjadi seorang bapak, menjadi seorang ibu dan lain-lain, kemudian pada usia prasekolah sudah mulai menyadari akan keberadaan teman sebaya sehingga harapan anak mampu melakukan sosialisasi dengan teman dan orang lain.

d) Meningkatkan Kreatifitas

Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreatifitas, dimana anak

mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu memodifikasi objek yang akan digunakan dalam permainan sehingga anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti bermain bongkar pasang mobil-mobilan.

e) Meningkatkan Kesadaran Diri

Bermain pada anak akan memberikan kemampuan pada anak untuk ekplorasi tubuh dan merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang merupakan bagian dari individu yang saling berhubungan, anak mau belajar mengatur perilaku, membandingkan dengan perilaku orang lain. f) Mempunyai Nilai Terapeutik

Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya.

g) Mempunyai Nilai Moral Pada Anak

Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri kepada anak, hal ini dapat dijumpai anak sudah mampu belajar benar atau salah dari budaya di rumah, di sekolah dan ketika berinteraksi dengan temannya, dan juga ada beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan

(9)

15 1.2.3. Tujuan Permainan

Melalui fungsi yang terurai di atasnya, pada prinsipnya permainan mempunyai tujuan sebagai berikut (Soetjiningsih, 1995 dalam Soetjiningsih, 2005) :

a) untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya. Walaupun demikian, selama anak dirawat di rumah sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan masih harus

tetap dilanjutkan untuk menjaga kesinambungannya.

b) mengekspresikan perasaan, keiginan, dan fantasi serta ide-idenya. Seperti yang telah di uraikan diatas pada saat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Pada anak yang belum dapat mengekspresikannya.

c) mengembangkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah. Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi, fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. Pada saat melakukan permainan, anak juga akan dihadapkan pada masalah dalam konteks permainannya, semakin lama ia bermain dan semakin tertantang untuk dapat menyelesaikannya dengan baik.

d) Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit dan dirawat di rumah sakit. Stress yang dialami anak dirawat di rumah sakit tidak dapat dihindarkan sebagaimana juga yang dialami orang tua. Untuk itu yang penting adalah bagaimana menyiapkan anak dan orang tua untuk dapat beradaptasi dengan stressor yang dialaminya di rumah sakit secara efektif.

1.3.Permainan Meningkatkan Kemampuan Berpikir Divergen

Bermain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk menimbulkan kesenangan. Hal ini senada dengan yang dikatakan Piaget

(dalam Damara, 2012) yang menjelaskan bahwa bermain terdiri atas beberapa tanggapan yang diulang semata untuk kesenangan fungsional. Pengertian ini

(10)

16

dan tidak harus menimbulkan kesenangan. Saat ini, sekolah telah mengakui nilai dan manfaat bermain yang bersifat edukatif bagi perkembangan para peserta didik. Hal ini terlihat dengan pencakupan kegiatan permainan, olah raga, seni dan sebagainya dalam kurikulum pendidikan formal.

Soetjiningrat (2005), menyebutkan terdapat 7 (tujuh) fungsi dalam bermain, salah satunya adalah fungsi dalam meningkatkan kreativitas, dimana

anak mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu memodifikasi objek yang akan digunakan dalam permainan sehingga anak akan lebih kreatif. Kreativitas yang dimiliki oleh setiap anak atau individu berbeda-beda. Kreatif bersifat luas.

Dalam pengertian berpikir divergen, seseorang yang memiliki kemampuan divergen memiliki banyak ide-ide dan banyak alternatif-alternatif yang muncul dalam memcahkan suatu masalah. Dalam menumbuhkan ide-ide baru dan orisinal tentunya seseorang memiliki krativitas dalam berpikir dan dalam menumbuhkan ide-ide baru yang belum tentu orang lain dapat memikirkannya.

Melalui bermain dengan huruf, kata, kalimat, dan pemecahan masalah, siswa dapat menambah kreativitasnya dalam kemampuan verbal dan kemampuan berpikir divergennya.

1.4.Penelitian yang Relevan

Penelian yang dilakukan Astuti (2009) tentang “Efektivitas Permainan

Tradisional Dalam Meningkatkan Kreativitas Verbal Pada Masa Anak

Sekolah”. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sejauh mana efektivitas

permainan tradisional dalam meningkatkan kreativitas verbal pada masa anak sekolah. Hipotesis penelitian ini adalah permainan tradisional efektif dalam

(11)

17

memiliki skor Tes Kreativitas Verbal rendah dan agak rendah; memakai bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Metode pengumpulan data metode tes, sedangkan analisis data yang digunakan adalah metode analisis non parametrik dengan rumus Mann Whitney U Test. Hasil analisis menggunakan Mann Whitney U Test diperoleh nilai sebesar Z = - 3,247 dengan p = 0,001 (p < 0,05). Nilai rata-rata post test kreativitas verbal pada

kelompok eksperimen = 17,17 dan kelompok kontrol = 7,83. Nilai rata-rata ini dapat diinterpretasi bahwa ada perbedaan atau selisih nilai rata-rata post

test kreativitas verbal pada kedua kelompok. Perbedaan tersebut signifikan karena nilai taraf signifikansi p = 0,001 (p < 0,05). Artinya permainan tradisional efektif dalam meningkatkan kreativitas verbal pada masa anak sekolah.

Penelitian yang dilakukan oleh Lisa Puji Saraswati dan Dewi Retno

Suminar (2014) tentang “Pengaruh Permainan Konstruktif Berupa Kerajinan

Tangan Dari Barang Bekas Terhadap Peningkatan Kreativitas Anak Kelas V SDN Ngagelrejo III / 389 Surabaya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh permainan konstruktif berupa kerajinan tangan dari barang bekas terhadap peningkatan kreativitas anak kelas V SDN Ngagelrejo III/398 Surabaya. Alasan peneliti memilih penelitian tersebut dikarenakan sistem pendidikan sekolah dasar di Indonesia lebih menekankan pada pembelajaran yang monoton (rutin hafalan, ceramah). Selain itu, murid

– murid jarang dirangsang untuk melihat suatu masalah dari berbagai macam sudut pandang atau untuk memberikan alternatif-alternatif penyelesaian suatu masalah.(berpikir kovergen). Faktanya, pendidikan di Indonesia masih belum mampu mengembangkan potensi dan kreativitas anak secara optimal, siswa masih dipandang sebagai objek bukan subjek. Sampel yang digunakan dalam

(12)

18

purposive sampling dan penentuan kelompok eksperimen dan kontrol dari dua kelompok kelas yang ditentukan dilakukan dengan menggunakan random by group. Alat pengumpulan data menggunakan alat Tes Kreativitas Figural, observasi dan wawancara. Alat tes yang digunakan sudah terstandardisasi di Indonesia dengan nilai validitas sebesar 0,6227 – 0, 7849 dan reliabilitas 0,9. Analisa data menggunakan teknik statistik independent sample t test dengan

bantuan SPSS versi 19,0 for windows. Dari hasil analisa data penelitian nilai uji pengaruh berdasarkan independent sample t test diperoleh nilai t sebesar1,

36 dan signifikansi sebesar 0,179 dan karena data akan dikatakan memiliki pengaruh apabila signifikansi < 0,05 maka data tersebut tidak memiliki pengaruh maka Ha di tolak yaitu tidak ada pengaruh permainan konstruktif berupa kerajinan barang bekas terhadap peningkatan kreativitas. Menurut peneliti mengapa penelitian tersebut tidak memiliki pengaruh dikarenakan adanya penilaian yang subjektif terhadap alat ukur variabel terikat, subjek yang tidak random, kurang dikontrolnya variabel ekstraneous dan validitas eksternal.

Dalam penelitian yang sudah ada tentang permainan dan kemampuan berpikir divergen, penulis belum menemukan penelitian yang menggunakan permainan sebagai variabel bebas dan kemampuan berpikir divergen sebagai variabel terikat. Sehingga penulis ingin melakukan penelitian tentang

“Penggunaan Bermain Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Divergen

Siswa Kelas VII B SMP Pangudi Luhur Salatiga Tahun Ajara 2016/2017”.

1.5.Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “EKSTRAKSI CIRI PENGENALAN GENDER MENGGUNAKAN FITUR GEOMETRIS CITRA WAJAH DENGAN METODE FUZZY C-MEANS (FCM) ” dapat terselesaikan sesuai

Posttest dilaksanakan pada akhir pelajaran setelah pengajaran dengan menggunakan eksperimen nyata maupun dengan eksperimen simulasi, dengan tujuan untuk mengetahui

PENGARUH PELATIHAN KERJA, JAMINAN SOSIAL DAN INSENTIF TERHADAP KINERJA KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI

Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Materi Bangun Ruang Siswa Kelas VIII SMPN 1 Ngunut

dirumuskan masalah yang akan dikaji adalah apakah LKS yang dikembangkan dengan menggunakan metode guided inquiry dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis

Adalah risiko yang diakibatkan oleh usaha spekulasi

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan pertimbangan mengenai penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT ( Numbered Heads

1.) Analisis organisasi pada hakikatnya menyangkut pada pertanyaan-pertanyaan dimana atau bagaimana didalam institusi ada personil yang membutuhkan pelatihan. Setelah itu,