SEBAGAI HUMECTANT DALAM FORMULA KRIM ANTI HAIR LOSS EKSTRAK SAW PALMETTO (Serenoa repens): APLIKASI DESAIN
FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Patricia Dwi Herma NIM: 038114126
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Patricia Dwi Herma NIM: 038114126
yang ajaib dan maksudMu untuk kami. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau! Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.
(Mazmur 40:6)
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. (Filipi 4:6)
Karya kecil ini kupersembahkan bagi:
Tri Tunggal Maha Kudus
Papa dan Mamaku atas kasih, harapan, dan doa
Eyang Kakung dan Putri
Saudaraku: Alfin, Ria, Widya, dan Juan
Teman-Teman Che_mistry 2003 yang kubanggakan
Harapan dan Mimpi-Mimpiku
Almamater tercinta
skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.).
Skripsi ini berjudul Optimasi Komposisi Polietilen Glikol 400 dan Gliserol
sebagai Humectant dalam Formula Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto
(Serenoa repens): Aplikasi Desain Faktorial.
Dalam proses penelitian hingga penulisan skripsinya, banyak orang yang
telah turut membantu penulis, baik dalam dukungan moril, materiil, masukan dan
kritik. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan
terimakasih dan hormat bagi mereka semua. Adapun pihak-pihak yang membantu
penulis antara lain:
1. PT Nufarindo Semarang yang telah menyediakan ekstrak Saw Palmetto
sebagai bahan baku dalam penelitian ini.
2. Ibu Sri Hartati Yuliani,M.Si.,Apt. selaku pembimbing yang telah
memberikan banyak sekali arahan, saran, dan kritik yang memacu semangat
penulis.
3. Ibu Rini Dwiastuti,S.Farm.,Apt. dan Ibu Erna Tri Wulandari,M.Si.,Apt.
selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan yang membangun.
4. Bapak Ign.Y.Kristio Budiasmoro,M.Si., Bapak Dr.C.J.Soegihardjo,Apt., dan
Ibu Dr.Sri Noegrohati,Apt. yang telah memberikan banyak referensi, dan
Semipadat atas bimbingan dan bantuan selama di bekerja laboraturium.
6. Para responden, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang ikut
berpartisipasi dalam subjective assessment yang penulis lakukan.
7. Para sahabat dan teman yang telah memberikan pertolongan dan dukungan;
yang selalu ada saat dibutuhkan. Secara khusus, teman-teman seperjuangan:
Marlinna, Yenny, Ratna, Willy, Shinta Dian, sahabatku: Nia, Agnes, Mbak
Risa, dan Mbak Lena, serta semua teman kelas C angkatan 2003.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Ada ungkapan: “Tiada gading yang tak retak”, pada akhirnya penulis
ingin mengungkapkan bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan-kekurangan.
Untuk itu penulis membuka diri terhadap semua saran dan kritik yang
membangun. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
pada umumnya, dan bagi bidang farmasi pada khususnya.
Penulis
Penelitian mengenai Optimasi Komposisi Polietilen Glikol 400 dan Gliserol sebagai Humectant dalam Formula Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto (Serenoa repens): Aplikasi Desain Faktorial telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui manakah di antara PEG 400, gliserol dan interaksinya yang dominan dalam menentukan sifat fisik dan stabilitas krim, mengetahui komposisi optimum dari humectant yang dapat menghasilkan sifat fisik krim yang dikehendaki, serta mengetahui keamanan penggunaan topikal krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto terhadap kelinci albino.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni, dengan menggunakan metode desain faktorial. Optimasi dilakukan dengan melihat parameter sifat fisik krim yang meliputi daya sebar dan viskositas segera setelah pembuatan, dan stabilitas krim yakni perubahan viskositas setelah penyimpanan satu bulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gliserol dominan dalam mempengaruhi daya sebar dan viskositas segera setelah pembuatan. Perubahan viskositas dipengaruhi secara dominan oleh PEG 400. Sementara uji iritasi primer menggunakan kelinci albino menunjukkan bahwa krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto bersifat kurang merangsang timbulnya iritasi. Pada contour plot super imposed dapat ditemukan area komposisi optimum humectant pada level penelitian yang menghasilkan karakter fisik krim yang dikehendaki. Area tersebut diprediksi sebagai formula optimum krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto terbatas pada jumlah bahan yang diteliti.
Kata kunci: Ekstrak Saw Palmetto, androgenetic alopecia, PEG 400, gliserol, desain faktorial
The aims of this research was to determine which of the factors: PEG 400, glycerol, and their interaction which predominantly affects the physical properties dan physical stability, to observe the humectants’optimum composition which results wanted physical properties, and also to determine the safety of using anti hair loss cream of extract Saw Palmetto topically in albino rabbit.
This research is a pure experimental research, using the factorial design method. The optimization was done by measuring cream’s physical properties including spreadability, cream viscosity after preparation, and cream’s physical stability which is the viscosity change after 1 month of storage.
The results of this research exhibited that glycerol predominantly affected spreadability and cream viscosity after preparation. Viscosity change was affected predominantly by PEG 400. In the other hand, the primary irritation test using albino rabbit showed that anti hair loss cream of extract Saw Palmetto had non irritating effect. At the contour plot super imposed graphic, there was a humectants’ optimum composition area at the research level, which showed wanted physical properties. That area was estimated as the optimum formula of anti hair loss cream of Saw Palmetto extract.
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii
INTISARI ... viii
ABSTRACT... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
BAB I PENGANTAR... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan Masalah ... 6
2. Keaslian Penelitian... 6
3. Manfaat Penelitian ... 6
B. Tujuan Penelitian ... 7
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 9
A. Saw Palmetto... 9
1. Keterangan botani ... 9
5. Mekanisme Aksi ... 10
B. Rambut ... 11
C. Androgenetic Alopecia... 13
D. Krim ... 14
1. Krim ... 14
2. Vanishing Krim... 15
E. Humectant... 18
1. Polietilen Glikol 400 ... 18
2. Gliserol... 19
F. Desain Faktorial ... 19
G. Uji Iritasi Primer ... 21
H. Landasan Teori... 22
I. Hipotesis... 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25
A. Jenis Rancangan Penelitian ... 25
B. Variabel Penelitian ... 25
C. Definisi Operasional ... 26
D. Alat dan Bahan... 28
E. Tata Cara Penelitian ... 28
3. Uji iritasi primer... 31
4. Subjective Assesment... 32
F. Analisis Data dan Optimasi... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 35
A. Pembuatan Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto ... 35
B. Sifat Fisik dan Stabilitas Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto... 37
C. Uji Iritasi Primer Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto... 49
D. Penentuan Area Komposisi Optimum... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 57
A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
LAMPIRAN... 61
BIOGRAFI PENULIS ... xvi
dan Dua Level ... 20
Tabel II. Formula Desain Faktorial... 29
Tabel III. Perhitungan bahan tiap formula ... 30
Tabel IV. Evaluasi Reaksi Kulit... 31
Tabel V. Kriteria Iritasi menurut Lu ... 34
Tabel VI. Hasil Pengukuran Sifat Fisik Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto... 39
Tabel VII. Hasil Perhitungan Efek Untuk Tiap Faktor Dan Interaksi ... 39
Halaman
Gambar 1 Struktur Rantai Polietilen Glikol... 18
Gambar 2 Struktur Gliserol... 19
Gambar 3. Grafik Hubungan Daya Sebar-PEG 400 (3a) ... 41
Grafik Hubungan Daya Sebar-Gliserol (3b) ... 41
Gambar 4. Grafik Hubungan Viskositas-PEG 400 (4a) ... 43
Grafik Hubungan Viskositas-Gliserol (4b) ... 43
Gambar 5. Grafik Hubungan Perubahan Viskositas-PEG 400 (5a) ... 48
Grafik Hubungan Perubahan Viskositas-Gliserol (5b) ... 48
Gambar 6. Contour Plot Daya Sebar Krim... 52
Gambar 7. Contour Plot Viskositas Krim... 53
Gambar 8. Contour Plot Perubahan Viskositas Krim... 55
Gambar 9. Contour Plot Super Imposed Krim... 56
Lampiran 2. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Saw Palmetto Dalam
Krim Anti Hair loss... 64
Lampiran 3. Data Pengukuran Sifat Fisis Krim Anti Hair loss... 65
Lampiran 4. Hasil Perhitungan Persamaan Desain Faktorial Daya Sebar ... 67
Lampiran 5. Hasil Perhitungan Persamaan Desain Faktorial Viskositas ... 70
Lampiran 6. Hasil Perhitungan Persamaan Perubahan Viskositas ... 73
Lampiran 7. Hasil Uji Iritasi PrimerPada Kelinci ... 76
Lampiran 8. Foto Tanaman Saw Palmetto ... 77
Lampiran 9. Foto Ekstrak Kering Saw Palmetto ... 78
Lampiran 10. Foto Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto... 79
Lampiran 11. Foto Uji Iritasi Primer... 80
Lampiran 12. Quesioner Subjective Assesment... 82
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Rambut bagi pria maupun wanita merupakan mahkota. Sekiranya
pernyataan ini tepat, sebab rambut tidak hanya menjadi pelindung kepala dari
panas maupun dingin, namun keberadaannya sangat menunjang penampilan
seseorang. Setiap orang menginginkan rambut sehat yang idealnya dapat
memberikan gambaran diri yang terkait dengan kecantikan, kekuatan, kejantanan,
kemudaan dan kepercayaan diri.
Kerontokan merupakan suatu masalah yang kerap terjadi pada rambut.
Normalnya rambut mengalami kerontokan 50-100 helai tiap harinya. Saat jumlah
yang rontok sangat berlebihan, kemungkinan hal ini terjadi karena beberapa
faktor. Stress, pengobatan yang sedang dijalani, keadaan patologi, perawatan
rambut yang tidak tepat, faktor genetik maupun hormon dapat menjadi pencetus
terjadinya kerontokan rambut (Alsner dan Mailbach,2000).
Kerontokan parah yang diikuti kebotakan paling umum terjadi karena
faktor genetik dan hormonal. Jenis kerontokan ini dikenal dengan istilah
androgenetic alopecia. Androgenetic alopecia diderita oleh kira-kira 50% pria di
atas 40 tahun dan diderita pula oleh banyak wanita (Alsner dan Mailbach,2000).
Androgenetic alopecia disebabkan oleh adanya hormon
dehidrotestosteron (DHT). DHT bila berikatan dengan reseptor androgen di kulit
kepala akan menyebabkan pemendekan fase pertumbuhan rambut yang kemudian
secara progresif menghasilkan rambut yang lebih tipis yang lama-kelamaan akan
rontok dan mengarah pada kebotakan (Alsner dan Mailbach, 2000). DHT
dibentuk dari konversi testosteron oleh enzim 5-α reduktase. Enzim ini memiliki
dua tipe: pertama, 5-α reduktase tipe I yang berada di kulit, kulit kepala, dan hati,
dan kedua, 5-α reduktase tipe II yang berada di kulit kelamin, hati dan prostat
(Prager, Bickett, French, dan Marcovici, 2002).
Saw Palmetto adalah salah satu tumbuhan asli Amerika bagian utara dan
tenggara, dari familia arecaceae (palmae) yang sudah lama digunakan oleh suku
asli Amerika sebagai makanan dan obat herbal. Penggunaannya secara tradisional
untuk mengatasi: enuresis, nocturia, atropi testes, impotensi, inflamasi prostat,
dan penurunan libido pada pria, infertilitas, painful periods, dan masalah laktasi
pada wanita. Secara topikal Saw Palmetto digunakan untuk merawat kesehatan
kulit, dan rambut, serta mencegah hair loss (Peris, Stubing, dan Vanalocha,1995).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, baik secara in vitro maupun
in vivo, ekstrak Saw Palmetto merupakan inhibitor yang kuat dan spesifik pada
enzim 5-α reduktase. Saat ini di negara-negara Eropa dan banyak negara lain,
ekstrak Saw Palmetto digunakan sebagai terapi lini pertama hiperplasia prostat.
Penelitian lebih lanjut, menunjukkan pemberian suplemen Saw Palmetto secara
per oral mampu mengatasi androgenetic alopecia atau kebotakan (Prager et
al.,2002). Penggunaan Saw Palmetto secara topikal pada kulit kepala didasari
bahwa terikatnya DHT dengan reseptor di kulit kepala-lah yang menyebabkan
hair loss, sehingga dengan menghambat terikatnya DHT pada reseptor androgen,
Dalam ekstrak Saw Palmetto terkandung asam-asam lemak, seperti: asam
kaprat, kaprilat, kaproat, laurat, cis-linoleat, linolenat, miristat, stearat dan
palmitat, serta sejumlah besar fitosterol seperti: β-sitosterol, fitosterol capesterol,
sikloartenol, stigmasterol, lupeol, dan 24-metil-sikloartenol, resin dan tannin
(Simonis,2000; Anonim,2006d). Mayoritas komponennya yang adalah sterol dan
asam lemak yang lipofilik, menyebabkan ekstrak Saw Palmetto memiliki
kemampuan penetrasi yang baik di kulit. Oleh karenanya Saw Palmetto akan lebih
mudah dan efektif bekerja di kulit kepala saat diaplikasikan secara topikal.
Sayangnya, ada beberapa kelemahan yang tidak mendukung penggunaan
ekstrak Saw Palmetto langsung secara topikal. Pertama, ekstrak Saw Palmetto
umumnya merupakan ekstrak minyak (lipofilik), sehingga bila diaplikasikan di
kulit kepala dan mengenai rambut, ia akan memberikan kesan sangat berminyak
dan lengket (sticky). Bentuk ekstrak lain seperti ekstrak kering misalnya (seperti
yang digunakan pada penelitian ini), tidak mungkin digunakan begitu saja secara
topikal di kulit kepala tanpa adanya formulasi terlebih dahulu. Tentu saja hal-hal
ini mengganggu penampilan dan kenyamanan pemakai. Di lain sisi Saw Palmetto
mempunyai bau yang tidak enak. Bukan tidak mungkin karena bau yang kurang
enak ini membuat pemakai tidak nyaman, dan kemudian dapat mempengaruhi
kepatuhannya menjalankan pengobatan dengan ekstrak Saw Palmetto. Untuk
mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan ini, sekaligus mempermudah
pengaplikasian ekstrak Saw Palmetto secara topikal, maka perlu dibuat suatu
Bentuk sediaan yang dipilih dalam penelitian ini adalah sediaan semi
padat, yakni bentuk sediaan krim. Tidak dipilih sediaan cair, seperti hair tonic,
dan sebagainya, sebab krim dengan viskositas yang lebih tinggi, memiliki waktu
kontak yang lebih panjang di kulit kepala. Dipilihnya sediaan krim dan bukan
sediaan semipadat lainnya seperti: gel, lotion, atau salep, adalah karena pertama,
ekstrak Saw Palmetto yang dipakai dalam penelitian ini adalah ekstrak kering,
dengan warna coklat yang kurang menarik, ditambah pula ada bahan tambahan
lain yang tidak larut, sehingga dengan formulasi sediaan krim diharapkan semua
kekurangan ini dapat tertutupi. Kedua, krim tipe M/A yang dipilih dalam
penelitian ini memiliki beberapa keunggulan, seperti tidak lengket (sticky), mudah
dibersihkan dari rambut, dapat memberikan sensasi rasa dingin atau sejuk di kulit
karena penguapan air yang lambat oleh adanya humectant yang terlarut dalam fase
air, tidak adanya penghambatan fungsi rambut secara fisiologis dan tidak
menghambat pori-pori kulit (Voigt,1984). Keuntungan-keuntungan inilah yang
mendorong penulis memilih sediaan krim.
Oleh karena air menjadi fase luar dari sistem emulsi krim, maka perlu
ditambahkan suatu bahan yang dapat mencegah menguapnya air dari sediaan.
Dalam hal ini adalah humectant. Dalam formulasi krim anti hair loss ekstrak Saw
Palmetto ini, digunakan humectant antara lain: polietilen glikol 400 dan gliserol.
Humectant perlu dioptimasi sebab keberadaannya dalam sediaan krim sangat
mempengaruhi sifat fisik sediaan dan stabilitasnya (Anonim,1982). Humectant
yang cukup, melembutkan permukaan kulit, dan mencegah/mengatasi kondisi
kasar atau pecah pada lapisan tanduk (Jellinek,1970; Anonim, 1982).
Terlepas dari meluasnya pemakaian gliserol sebagai humectant dalam
banyak formulasi produk topikal saat ini, gliserol memberikan sejumlah
keuntungan dalam formulasi. Satu diantaranya adalah: merangsang terbentuknya
kilau seperti mutiara pada krim stearat yang merupakan basis krim pada penelitian
ini (Voigt,1984). Selain itu gliserol mudah diperoleh dengan harga yang cukup
murah, sehingga cukup luas digunakan. Gliserol pun juga dapat berperan
meningkatkan stabilitas (Anonim, 1982). Sementara itu polietilen glikol 400
dipilih sebab mempunyai sifat dermatologis yang baik. PEG memiliki sifat tidak
merangsang, memiliki daya lekat dan distribusi yang baik pada kulit, tidak
mencegah pertukaran dan produksi keringat, dapat tercuci oleh air, dan juga dapat
digunakan pada area yang berambut (Voigt,1984).
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
faktorial. Metode ini dapat mengidentifikasi adanya interaksi faktor satu dengan
lainnya serta dapat mengetahui faktor mana yang dominan mempengaruhi respon
yang muncul (Bolton,1990). Efek yang diperoleh pun bersifat independen, serta
keuntungan lain dari metode ini adalah bahwa tidak perlu meneliti tiap faktor
secara terpisah sehingga lebih ekonomis. Oleh karena itulah metode ini digunakan
sebagai metode penelitian ini.
Pengobatan androgenetic alopecia secara topikal dengan krim ekstrak
Saw Palmetto biasanya dapat efektif mengurangi hair loss atau meningkatkan
Jelas bahwa sediaan yang menimbulkan iritasi pada kulit kepala tidak dapat
digunakan untuk lama waktu tertentu yang diperlukan bahan aktif bekerja secara
efektif, sebab adanya kecenderungan pemakai untuk menghentikan penggunaan
bila terjadi reaksi iritasi. Dalam hal ini perlu ada jaminan bahwa sediaan yang
digunakan aman dan sekaligus nyaman bagi pemakai. Oleh karena itu perlu
dilakukan juga uji iritasi primer sediaan krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto.
Hal-hal yang telah dijelaskan diatas melatarbelakangi penulis untuk
membuat penelitian ini. Penelitian ini berjudul: Optimasi Komposisi Polietilen
Glikol 400 dan Gliserol sebagai Humectant dalam Formula Krim Anti Hair Loss
Ekstrak Saw Palmetto (Serenoa repens): Aplikasi Desain Faktorial.
1. Perumusan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah sebagai berikut:
a. Manakah di antara faktor polietilen glikol 400 dan gliserol atau interaksinya
yang dominan menentukan sifat fisik krim dan stabilitas fisik krim?
b. Dapatkah ditemukan area komposisi optimum humectant melalui contour plot
super imposed pada faktor dan level yang diteliti?
c. Apakah formula krim ekstrak Saw Palmetto dapat menimbulkan reaksi iritasi
kulit?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang Optimasi Komposisi
Polietilen Glikol 400 dan Gliserol sebagai Humectant dalam Formula Krim Anti
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya ilmu kefarmasian, mengenai penggunaan polietilen glikol 400 dan
gliserol sebagai humectant dalam formula krim anti hair loss ekstrak Saw
Palmetto
b. Manfaat praktis
Dari penelitian ini diharapkan juga dapat diketahui faktor yang dominan
menentukan sifat fisik dan stabilitas fisik krim, formula optimum, dan keamanan
krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh komposisi
optimum polietilen glikol 400 dan gliserol pada krim anti hair loss dengan bahan
aktif ekstrak Saw Palmetto.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
a. mengetahui manakah di antara polietilen glikol 400, gliserol dan interaksinya
yang dominan dalam menentukan sifat fisik dan stabilitas fisik krim,
b. mengetahui area komposisi optimum dari humectant melalui contour plot
c. mengetahui keamanan penggunaan topikal sediaan krim anti hair loss ekstrak
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Saw Palmetto 1. Keterangan Botani
Saw Palmetto termasuk dalam familia arecaceae (palmae), dengan nama
ilmiah: Serenoa repens, Sabal serrulata. Nama daerah atau nama lokal Saw
Palmetto antara lain: Palmerita, Palamito of Mountain Range, Serenoa
(Anonim,2006b).
2. Deskripsi Tanaman
Sejenis palem yang sangat pendek atau seperti semak, memiliki batang
yang membesar dan menjalar, seperti fiber (serat), yang membentuk koloni. Daun
menjari, terbagi-bagi, dengan segmen yang kaku, berwarna hijau, atau kadang
hijau-kebiruan, hijau-kekuningan, atau bahkan seperti terlapis perak, peciolus
memiliki duri-duri kecil. Inflorescencia tumbuh di antara daun, dengan bunga
putih. Buahnya agak mirip buah pear, panjangnya hingga 2,5 cm
(Anonim,2006b).
3. Kandungan Kimia
Saw Palmetto mengandung asam-asam lemak, seperti: asam kaprat,
kaprilat, kaproat, laurat, cis-linoleat, linolenat, miristat, stearat dan palmitat, serta
sejumlah besar fitosterol seperti: β-sitosterol, fitosterol capesterol, sikloartenol,
stigmasterol, lupeol, dan 24-metil-sikloartenol, resin dan tannin (Anonim,2006b).
4. Khasiat
Saw Palmetto memiliki sifat anti inflamasi pada kelenjar prostat,
hiperplasia benigna prostatica (HBP), menstimulasi fungsi sekretori, regenerator
sel epitel prostat, diuretika, androgenetic alopecia, cystitis, laryngitis, inflamasi
saluran kencing, bronkitis, dan breast disorder. Oleh suku asli Amerika buahnya
digunakan sebagai makanan dan sebagai obat untuk atropi testes, impotensi, libido
rendah pada pria. Wanita juga menggunakan buah Saw Palmetto untuk mengobati
infertilitas fungsional, dan meningkatkan ASI, dan mengatasi painful periods
yang terkait dengan poor uterine tone. Saw Palmetto digunakan juga secara
tradisional sebagai tonikum dan ekspektoran khususnya pada bronkial, asma,
disentri, diabetes, dan indigesti (Anonim,2006b; Anonim,2006c; Peris, Stubing,
dan Vanaclocha, 1995; Prager et al.,2002).
5. Mekanisme Aksi
Saw Palmetto bekerja dengan 3 mekanisme aksi:
a. menghambat enzim 5-α-reduktase, sehingga mencegah konversi testosteron
menjadi dihidrotestosteron (DHT). Enzim ini memiliki dua tipe: pertama,
5-α reduktase tipe I yang berada di kulit, kulit kepala, dan hati, dan kedua, 5-α
reduktase tipe II yang berada di kulit kelamin, hati dan prostat (Prager et al.,
2002)
b. menghambat terikatnya DHT dengan reseptor androgen (sebagai kompetitif
inhibitor terhadap reseptor androgen) (Painter,2002)
B. Rambut
Rambut adalah epidermis khusus yang bertumbuh dan berkembang,
dengan bagian yang terdiri dari akar yang tertanam pada kulit dan helaian atau
batang rambut yang menonjol ke permukaan kulit. Bagian batang ini memiliki 3
bagian yakni: medula, korteks dan kutikula. Akar rambut tempat dimana batang
rambut muncul memiliki hair bulb. Hair bulb mengandung sel matriks rambut
yang menghasilkan pigmen melanin. Hair bulb terinvaginasi oleh papila, dimana
ditemukan saraf dan pembuluh-pembuluh darah. Folikel rambut yang
mengandung akar rambut dan batang adalah involusi dari epidermis. Folikel
rambut terdiri dari sebuah lapisan luar (outer) dan dalam (inner coat) (Peck dan
Michelfelder,1957).
Helaian atau batang rambut mempunyai 3 bagian yang berlainan. Bagian
paling dalam, yakni medula terdiri 2-4 lapisan sel kuboidal atau sel poligonal
termodifikasi, yang mengandung keratohialin, granul lemak, rongga udara, dan
pigmen. Beberapa jenis rambut tidak memiliki medula, dan lainnya, hanya
memiliki lapisan intermittently. Bagian tengah dari batang rambut disebut korteks.
Korteks ini mengandung fiber yang teratur secara longitudinal dan terikat rapat
bersama; mengandung pigmen dan rongga udara. Ketika granul pigmen tidak ada,
korteks ini akan tampak transparan. Bagian utama dari batang rambut tersusun
atas korteks dan proses kornifikasi berlangsung sempurna (Peck dan
Michelfelder,1957).
Kutikel adalah lapisan terluar dari batang rambut. Bagian ini tersusun
akan membentuk semacam membran pelindung bagi batang rambut (Peck dan
Michelfelder,1957).
Terdapat kurang lebih 120.000 folikel pada kulit kepala manusia (Alsner
dan Mailbach, 2000) yang tiap-tiapnya melewati siklus aktivitas yaitu:
1. Fase aktif (anagen),
Fase anagen menghabiskan waktu 2-8 tahun, tergantung pada usia dan
lokasi folikel pada tubuh. Pada fase ini terjadi pertumbuhan rambut sekitar
0,45 mm per hari (Graham, 2002), dimana folikel mencapai ukuran maksimum
dan terjadi proliferasi aktif pada matriks sel (Alsner dan Mailbach, 2000).
Rambut anagen memiliki helaian yang tebal, dan dari penampang rambut dapat
terlihat bagian medulanya dengan jelas. Bagian bulb lebih meruncing dan
menjadi lebih terang warnanya dari pada area terkeratinisasi pada folikel
(Alsner dan Mailbach, 2000). Menjelang pertumbuhan berakhir, proliferasi
sel-sel akan berhenti dan memasuki fase transisi pendek atau katagen.
2. Fase transisi pendek (katagen)
Fase katagen berlangsung sekitar 2-4 minggu. Pada fase ini rambut
akan berhenti bertumbuh, namun bagian akar rambut masih dapat bertahan
pada folikel (Alsner dan Mailbach, 2000).
3. Fase istirahat (telogen)
Fase ini menghabiskan waktu 2-4 bulan (Alsner dan Mailbach, 2000).
Pada fase ini terjadi reaktivasi folikel, rambut yang baru diproduksi, dan
C. Androgenetic Alopecia
Salah satu masalah yang sering terjadi pada rambut adalah kerontokan.
Normalnya rambut mengalami kerontokan 50-100 helai tiap harinya (Alsner dan
Mailbach, 2000). Apabila kerontokan rambut melebihi batas normal tersebut,
tidak dapat diatasi oleh pertumbuhan rambut yang baru, dan berlangsung
terus-menerus dalam waktu yang lama, maka akan menyebabkan kebotakan atau
alopecia.
Androgenetic alopecia biasa terjadi pada pria maupun wanita. Pada pria,
proses kerontokan dapat dimulai pada usia berapapun setelah pubertas, akan tetapi
yang paling sering adalah pada usia 30 tahun ke atas, dan pada usia 70 tahun 80%
pria mengalami kerontokan rambut (Prager, Bickett, French, dan Marcovici,
2002).
Yang menjadi akar permasalahan munculnya androgenetic alopecia
adalah suatu kondisi genetik yang sensitif terhadap hormon androgen, yaitu
dehidrotestosteron (DHT). DHT bila berikatan dengan reseptor androgen di kulit
kepala menyebabkan pemendekan fase anagen, yaitu fase pertumbuhan aktif
rambut, dan menyebabkan miniaturisasi folikel. Folikel yang mengalami
miniaturisasi kehilangan kemampuan untuk menghasilkan rambut terminal dan
bahkan hanya menghasilkan rambut vellus. Rambut vellus memiliki ciri: pendek,
halus (diameter <0.3mm), biasanya tidak berpigmen (Alsner dan Mailbach, 2000).
Biasanya kerontokan rambut mulai dari bagian pelipis atau mahkota,
tetapi rambut dapat habis sama sekali, kecuali pada daerah belakang dan tepi.
sampai hanya tinggal beberapa rambut vellus. Luas daerah yang terkena dan
lamanya proses sangat bervariasi (Alsner dan Mailbach, 2000).
Pembentukan DHT dikatalisis oleh enzim yang disebut dengan 5-α
-reduktase (5AR) (Prager et al.,2002). Suatu studi imunlokalisasi menunjukkan
bahwa tipe 1 enzim ini muncul di kulit kepala, di kulit dan hati, sedangkan tipe 2
berada di kulit kelamin, hati dan prostat. Pada kelenjar prostat, perubahan
testosteron menjadi DHT oleh 5-α-reduktase berimplikasi pada patogenesis
benign prostatic hyperplasia (BPH). Oleh karena BPH telah diketahui memiliki
jalur patogenesis hormonal yang sama dengan androgenetic alopecia, penemuan
terakhir menunjukkan bahwa obat-obat untuk BPH dapat menjadi obat yang
potensial menyembuhkan androgenetic alopecia (Prager et al.,2002).
D. Krim
Bentuk sediaan krim anti hair loss yang dibuat dalam penelitian ini
adalah krim yang berbasis vanishing krim atau sering disebut sebagai krim stearat.
Basis krim anti hair loss ini mengandung komponen fase minyak (asam stearat),
aquadest, emulgator, peningkat viskositas (thickening agent), humectant, bahan
pengawet, dan parfum.
1. Krim
Menurut Farmakope Indonesia IV, krim adalah bentuk sediaan setengah
padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam
semipadat, baik tipe minyak dalam air (M/A) maupun air dalam minyak (A/M)
(Ansel, Popovich, dan Allen,1990). Krim umumnya digunakan sebagai emollient
atau sebagai pembawa obat topikal (Ansel, Popovich, dan Allen,1990).
2. Vanishing Krim
Vanishing krim atau sering disebut dengan krim stearat merupakan suatu
sistem emulsi M/A yang mengandung air dalam jumlah besar dan asam stearat
(Ansel, Popovich, dan Allen,1990). Asam stearat ini merupakan komponen utama
fase minyak, sementara emulgatornya adalah garam alkali stearat yang dibentuk
oleh reaksi in situ antara basa yang terlarut dalam fase air dengan sebagian asam
stearat. Vanishing krim seringkali digunakan sebagai foundation, atau sebagai
basis untuk serbuk (powder) (Young,1974).
Komponen utama vanishing krim adalah:
1. Asam stearat
Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari
lemak, sebagian besar terdiri dari asam stearat (C18H36O2) dan asam palmitat
(C16H32O2) (Boylan, Cooper, dan Chowhan,1986). Asam stearat memiliki
pemerian bahan sebagai berikut: keras, putih atau kuning pucat, mengkilat,
berbentuk kristalin padat, atau serbuk putih atau putih kekuningan
(Anonim,1995).
2. Setil alkohol
Setil alkohol ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh produk akhir
yang halus, lembut, dan mudah berpenetrasi. Selain itu setil alkohol juga
alkohol mampu menjaga stabilitas, memperbaiki tekstur dan meningkatkan
konsistensi, serta dapat bersifat sebagai emollient, emulgator dan penyerap air
(Boylan et al.,1986).
Setil alkohol mengandung tidak kurang dari 90% C16H34O, selebihnya
terdiri dari alkohol yang sejenis. Setil alkohol memiliki pemerian sebagai
berikut: berupa serpihan putih licin, granul, atau kubus, berwarna putih, bau
khas lemah, rasa lemah. Setil alkohol bersifat tidak larut dalam air, namun
larut dalam etanol dan eter, dimana kelarutan bertambah dengan naiknya suhu
(Anonim, 1995).
3. Humectant
Humectant merupakan bahan higroskopis yang ditambahkan pada
hampir semua kosmetik emulsi tipe M/A dan beberapa tipe A/M.
Penambahan humectant bertujuan antara lain:
a) menahan kelembaban dari krim, sehingga krim tidak kering, oleh adanya
evaporasi air,
b) melembutkan permukaan kulit, dan mencegah/mengatasi kondisi kasar
atau pecah pada lapisan tanduk,
c) mempermudah aplikasi krim dengan memberikandaya sebar yang cukup,
d) serta mempertahankan konsistensinya (Jellinek,1970; Anonim, 1982).
Sebagai humectant dapat digunakan polietilen glikol, propilen glikol, gliserol,
4. Basa
Penambahan basa dalam formulasi basis vanishing krim berfungsi untuk
menggaramkan (saponifikasi) asam stearat. Basa yang umumnya digunakan
antara lain: natrium dan/atau kalium hidroksida. Dapat juga digunakan basa
karbonat, namun efek foaming akan timbul karena terbentuk gas CO2 dalam
produk akhir (Bennett,1970). NaOH dalam sedíaan krim ini akan bereaksi
dengan asam stearat dan membentuk garam natrium stearat (Young,1974).
Basa yang lain yang umumnya digunakan adalah trietanolamin (TEA).
TEA merupakan turunan dari amonia yang berupa cairan kental, tidak
berwarna, atau kuning pucat. TEA bersifat larut air, alkohol, dan kloroform
(Boylan et al.,1986). TEA dalam sediaan ini akan bereaksi dengan asam
stearat membentuk garam trietanolamin stearat (Young,1974).
5. Pengawet
Pengawet yang ditambahkan pada sediaan krim ini berfungsi sebagai
bakteristatis dan fungistatis sehingga mampu menjaga stabilitas mikrobiologi
krim. Contoh beberapa pengawet yang umum digunakan pada sediaan
semipadat antara lain: turunan ester p-asam hidroksibenzoat, dan o-fenilfenol
(Rigler dan Schimmel, 1957). Dalam penelitian ini digunakan propil paraben
(nipagin) yang umumnya dipakai pada konsentrasi 0,05-0,25% (Boylan et
C. Humectant 1. Polietilen glikol 400
O
Gambar 1. Rantai polietilen glikol
Polietilen glikol 400 adalah polimer etilen oksida dan air, dinyatakan
dengan rumus: H(O-CH2CH2)nOH, dengan harga rata-rata n antara 8,2 dan 9,1.
PEG 400 memiliki pemerian sebagai berikut: cairan kental jernih, tidak berwarna
atau praktis tidak berwarna, bau khas lemah, dan agak higroskopik. PEG 400 larut
dalam air, etanol, aseton, glikol lain, dan hidrokarbon aromatik, praktis tidak larut
dalam eter, dan hidrokarbon alifatik (Anonim,1995).
Polietilen glikol (PEG) bersifat tidak merangsang, memiliki daya lekat
dan distribusi yang baik pada kulit dan tidak menghambat pertukaran gas dan
produksi keringat. Karakter hidrofilik dari polietilen glikol 400 membuat sediaan
ini mudah dicuci, juga dapat digunakan pada bagian tubuh yang berambut.
Polietilen glikol 400 sebagai menawarkan proteksi terhadap hilangnya air dan
stabilitas yang baik. Selain itu, polietilen glikol memiliki sifat bakterisida
sehingga pada penyimpanan beberapa bulan tidak perlu khawatir adanya serangan
bakteri (Voigt, 1994), dan dapat berfungsi sebagai absorption enhancer
2. Gliserol
CH2
CH
CH2 HO
HO
HO
Gambar 2. Struktur gliserol
Gliserol merupakan cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna, rasa
manis, hanya boleh berbau khas lemah (tajam atau tidak enak), higroskopik, dan
netral terhadap lakmus. Nama lain gliserol adalah gliserin dengan rumus molekul
C3H8O3 dan bobot molekul 92,09. Gliserol dapat bercampur dengan air dan
etanol, tidak larut dalam kloroform, minyak lemak, eter, dan minyak menguap.
Penyimpanan gliserol harus dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 1995;
Windholz, 1976).
Pengunaan gliserol dalam bidang farmasi antara lain sebagai pelarut
bahan-bahan farmasi, sebagai humectant, plasticizer, dan emollient dalam sediaan
topikal sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan kelembaban kulit
(Anonim, 1995; Windholz, 1976). Gliserol dapat berperan sebagai absorption
enhancer, yaitu bahan yang dapat memfasilitasi absorbsi obat melalui kulit
(Allen,2002), dan meningkatkan stabilitas (Anonim,1982).
D. Desain Faktorial
Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi, yaitu teknik
untuk memberikan model hubungan antara respon dengan satu atau lebih
masing-masing faktor diuji pada dua level yang berbeda, yaitu level rendah dan level
tinggi (Bolton, 1990).
Desain faktorial memiliki beberapa pengertian, yaitu faktor, level, efek
dan respon. Faktor merupakan setiap besaran yang mempengaruhi respon (Voigt,
1994). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Pada percobaan dengan
desain faktorial perlu ditetapkan level yang diteliti yang meliputi level rendah dan
level tinggi. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon
yang diukur harus dapat dikuantitatifkan. Efek adalah perubahan respon yang
disebabkan oleh variasi level faktor (Bolton, 1990).
Penelitian desain faktorial dimulai dengan menentukan faktor dan level
yang diteliti. Penelitian desain faktorial yang paling sederhana adalah penelitian
dengan dua faktor dan dua level (Bolton, 1990). Jumlah percobaan untuk
penelitian desain faktorial dihitung dari level yang digunakan dalam penelitian,
dipangkatkan dengan jumlah faktor yang digunakan. Jumlah percobaan dengan 2
faktor dan 2 level adalah (22) 4 percobaan. Penamaan formula untuk tiap empat
percobaan dengan dua faktor dan dua level adalah: formula (1), formula a,
formula b, formula ab (Bolton,1990).
Tabel I.Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level
Formula Faktor I Faktor II Interaksi
I - - + a + - - b - + - ab + + + Keterangan:
Formula ab = faktor I pada level tinggi, faktor II pada level tinggi
Optimasi campuran dua faktor dengan desain faktorial dilakukan berdasarkan
rumus:
b0 = rata-rata hasil semua percobaan
b1,b2,b12 = ∑XY/2n
Faktor yang dominan dalam mempengaruhi respon dapat ditentukan melalui
perhitungan desain faktorial. Rumus untuk menghitung efek:
1. Efek A=
(
) (
)
E. Uji Iritasi Primer
Iritasi merupakan reaksi kulit terhadap zat-zat kimia, seperti: basa kuat,
asam kuat, deterjen, dan bahan kimia lainnya. Yang dimaksudkan dengan iritasi
biasanya muncul saat kontak pertama. Iritasi primer ini dapat diukur dengan uji
tempel (patch test) pada kulit kelinci (Lu, 1995).
Sejumlah kecil zat kimia yang akan diuji diletakkan pada kasa seukuran 1
inci persegi, dan diletakkan di atas bagian kulit kelinci yang telah dicukur. Kasa
tersebut diikatkan dengan cermat pada hewan selama 24 jam. Setelah 24 jam,
reaksi kulit dapat diamati, dan diberi angka sesuai dengan tingkat eritema dan
pembentukan kerak (eschar) dan pembentukan edema (Lu, 1995). Bagian kulit
yang ditempeli patch test terus diamati tiap hari hingga 3 hari setelah patch
dibuka, dan reaksi yang timbul, atau berubah dicatat (Sagarin dan Powers, 1957).
F. Landasan Teori
Satu faktor yang menjadi akar permasalahan munculnya androgenetic
alopecia adalah kondisi genetik seseorang yang sensitif terhadap hormon
androgen, yakni dehidrotestosteron (DHT). DHT ini bila berikatan dengan
reseptor androgen di kulit kepala menyebabkan pemendekan fase anagen, yaitu
fase pertumbuhan aktif rambut, menyebabkan miniaturisasi folikel, yang secara
progresif menghasilkan rambut yang lebih tipis (fine hairs). Pembentukan DHT
dikatalisis oleh enzim 5-α-reduktase (Prager et al.,2002).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ekstrak Saw Palmetto
terbukti sebagai inhibitor kuat dan spesifik enzim 5-α reduktase, baik secara in
vitro maupun in vivo. Mekanisme penghambatannya tidak hanya dengan
terikatnya DHT pada reseptor androgen. Penggunaan Saw Palmetto secara topikal
pada kulit kepala didasari bahwa terikatnya DHT dengan reseptor di kulit
kepala-lah yang menyebabkan hair loss, sehingga dengan menghambat enzim 5-α
reduktase atau menghambat terikatnya DHT pada reseptor androgen di folikel
rambut, hair loss dapat diatasi.
Penggunaan krim dalam hair care sangat umum, sebab cukup disukai
oleh konsumen. Kemudahan pengaplikasian, sensasi rasa dingin yang
ditinggalkan, mudah tercuci dengan air, merupakan beberapa keuntungan
pemakaian krim yang diinginkan konsumen. Oleh karenanya krim dipilih sebagai
bentuk sediaan dalam memformulasi ekstrak Saw Palmetto sebagai sediaan
topikal.
Humectant diketahui dapat mempengaruhi sifat fisik dan stabilitas krim
melalui viskositasnya sendiri maupun sifat kimianya (Anonim, 1982). Humectant
menahan kelembaban dari krim, mempertahankan konsistensinya, dan
mempermudah aplikasi krim dengan memberikan daya sebarnya yang cukup
(Jellinek,1970; Anonim, 1982). Oleh karenanya perbedaan sifat fisik dan kimia
dari humectant yang digunakan juga akan mempengaruhi respon sifat fisik dan
stabilitas sediaan. Kombinasi dua humectant yang berbeda sifatnya (fisik maupun
kimia) pada penelitian ini, diharapkan akan memberikan respon yang positif
terhadap sifat fisik dan stabilitas fisik sediaan, yang dilihat melalui parameter:
daya sebar, viskositas, dan perubahan viskositas krim.
Metode desain faktorial yang digunakan dalam penelitian ini dapat
sehingga lebih ekonomis, jika dibandingkan meneliti dua efek faktor secara
terpisah. Melalui metode ini dapat diketahui efek dominan yang menentukan sifat
fisik, serta area komposisi humectant yang optimum melalui grafik contour plot
super imposed.
Pada penelitian ini digunakan polietilen glikol 400 dan gliserol sebagai
humectant. Polietilen glikol 400 bersifat tidak merangsang terjadinya iritasi
(Voigt,1984), sementara itu gliserol pada konsentrasi yang sangat tinggi sedikit
mengiritasi, yakni pada konsentrasi diatas 30% (Jellinek,1970). Oleh karena
gliserol yang digunakan dalam formula penelitian berada pada konsentrasi di
bawah 30%, maka diharapkan formula krim dalam penelitian ini tidak
menyebabkan iritasi. Dengan demikian diharapkan pula interaksi keduanya dalam
formula yang dibuat tidak mengiritasi pemakainya.
I. Hipotesis
Melalui optimasi formula krim anti hair loss (formula (1), a, b, ab)
dengan metode desain faktorial dapat ditentukan faktor mana di antara PEG 400,
gliserol, dan interaksi keduanya yang dominan mempengaruhi sifat fisik dan
stabilitas fisik krim, dapat ditemukan komposisi optimum humectant, serta diduga
krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto dengan humectant polietilen glikol 400
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni dengan variabel
eksperimental ganda dan bersifat eksploratif, yaitu mencari komposisi humectant:
polietilen glikol 400 dan gliserol dalam formula krim anti hair loss ekstrak Saw
Palmetto yang memiliki sifat fisik dan stabilitas fisik yang sesuai.
B. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini antara lain:
1. Variabel Bebas dalam penelitian ini adalah level humectant yang digunakan yaitu: polietilen glikol 400 dan gliserol.
2. Variabel Tergantung dalam penelitian ini daya sebar, viskositas, dan reaksi iritasi primer kulit hewan uji.
3. Variabel Pengacau Terkendali dalam penelitian ini adalah alat percobaan, wadah penyimpanan, intensitas cahaya penyimpanan, umur, jenis kelamin,
berat badan, galur hewan uji, peletakan krim pada pengukuran daya sebar,
metode/cara pengukuran daya sebar.
4. Variabel Pengacau Tak Terkendali dalam penelitian ini meliputi lama pemanasan dan hilangnya air selama proses pemanasan, kecepatan dan lama
pengadukan massa basis krim, kelembaban dan suhu ruangan saat dilakukan
uji viskositas dan daya sebar, serta kelembaban dan suhu ruangan saat
penyimpanan, hilangnya air selama penyimpanan, kondisi patologis hewan uji,
dan subjektivitas penulis dalam pengamatan reaksi iritasi hewan uji.
C. Definisi Operasional
1. Krim anti hair loss adalah sediaan yang dibuat dari bahan aktif ekstrak Saw
Palmetto dalam basis vanishing krim dengan formula yang telah ditentukan
dan dibuat sesuai dengan prosedur pembuatan krim pada penelitian ini.
2. Ekstrak Saw Palmetto adalah ekstrak etanolik buah Saw Palmetto yang
dikeringkan dengan bahan pengering (laktosa dan silika anhidrat), dengan
komposisi sesuai dengan yang tertera pada COA (Certificate of Analysis).
3. Humectant adalah komponen fase air sebagai fase luar dalam krim (selain
aquades, NaOH dan Nipagin) yang terdiri dari polietilen glikol 400 dan
gliserol.
4. Sifat fisik krim adalah parameter untuk mengetahui kualitas fisik krim, dalam
penelitian ini meliputi daya sebar dan viskositas.
5. Stabilitas fisik krim adalah sifat krim dalam mempertahankan fase dispers
terdistribusi halus dan merata dalam jangka waktu panjang. Dalam penelitian
ini diamati melalui parameter perubahan viskositas setelah penyimpanan satu
bulan pada suhu kamar.
6. Daya sebar yang optimal adalah daya sebar yang mampu menjamin krim anti
hair loss ekstrak Saw Palmetto mudah diaplikasikan ke kulit kepala, tidak
diameter menurut prosedur uji daya sebar dalam penelitian ini sebesar 3,5-4,5
cm.
7. Viskositas optimal adalah viskositas yang mendukung kemudahan krim
diisikan ke dalam wadah, dikeluarkan dari wadah saat digunakan, memiliki
daya sebar yang baik saat diaplikasikan, dan memiliki viskositas menurut
prosedur uji viskositas dalam penelitian ini antara 150-250 dPa.s.
8. Perubahan viskositas optimal adalah selisih antara viskositas krim setelah
penyimpanan 1 bulan pada suhu kamar dengan viskositas segera setelah
pembuatan, dibandingkan dengan viskositas segera setelah pembuatan, tidak
lebih dari 10%. Perubahan viskositas dihitung menurut rumus sebagai berikut:
|viskositas setelah sebulan – viskositas segera setelah dibuat|
viskositas segera setelah dibuat x 100%
9. Indeks iritasi primer adalah kumulatif skor eritrema dan edema pada jam
ke-24, ke-48, dan ke-72 pada semua hewan uji dibagi frekuensi pengamatan (3
kali pengamatan), dibagi jumlah hewan uji. Rumus perhitungan skor indeks
iritasi primer sebagai berikut:
Indeks iritasi = (∑ skor eritrema jam ke24-72/3)+(∑skor edema jam ke24-72/3) jumlah hewan uji
10.Iritasi adalah suatu rangsangan ataupun keadaan eksitasi yang berlebihan dan
kepekaan yang tidak semestinya, yang dapat menyebabkan perubahan kondisi
kulit.
11.Contour plot adalah grafik yang berasal dari persamaan desain faktorial, yang
memprediksikan level optimum kedua faktor dimana menunjukkan respon
12.Contour plot super imposed adalah grafik yang digunakan untuk memprediksi
area optimum formula berdasarkan semua parameter kualitas krim anti hair
loss ekstrak Saw palmetto. Contour plot super imposed diperoleh dari
masing-masing contour plot sifat fisik dan stabilitas fisik krim anti hair loss yang
kemudian digabung dalam satu grafik.
13.Komposisi optimum adalah komposisi polietilen glikol 400 dan gliserol dalam
level penelitian sebagai humectant krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto
yang menghasilkan respon sifat fisik dan stabilitas fisik krim yang optimal.
D. Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan antara lain: ekstrak Saw Palmetto terstandarisasi,
polietilen glikol 400 dan gliserol, aquadest, asam stearat, setil alkohol, TEA,
NaOH, parfum, dan nipagin dengan kualitas farmasetis. Alat-alat yang digunakan
sebagai berikut: mortir, stamfer, glasswares (PYREX-GERMANY), waterbath,
termometer, Viscometer seri VT 04 (RION-JAPAN), kaca bulat bermilimeter,
kaca penutup, beban 75 g, stopwatch, alat cukur, kasa, dan plester.
E. Tata Cara Penelitian 1. Pemilihan Eksipien dan Optimasi formula a. Formula
Eksipien yang dipilih sebagai basis krim anti hair loss mengacu pada
A. Asam stearat 20,0
Setil alkohol 0,50
Trietanolamin 1,20
B. NaOH 1 mikrospatula
Gliserol 8,0
Aquadest 69,94
Nipagin 1 mikrospatula
C. Parfum 3 atau 4 tetes
Komposisi formula baru setelah dimodifikasi sebagai berikut:
A. Asam stearat 9
Setil alkohol 0,423
Trietanolamin 0,9
B. NaOH 0,18
PEG 400 5,0-12,0
Gliserol 3,0-8,0
Nipagin 0,15
Aquadest 60,0
C. Ekstrak Saw Palmetto 15,385
D. Parfum 0,36
Tabel II. Formula desain faktorial
Formula Polietilen glikol 400 Gliserol
Tabel III. Perhitungan bahan tiap formula
Komponen Formula (1) Formula a Formula b Formula ab
Asam stearat 9 9 9 9
Setil alkohol 0,423 0,423 0,423 0,423
Trietanolamin 0,9 0,9 0,9 0,9
NaOH 0,18 0,18 0,18 0,18
PEG 400 5 12 5 12
Gliserol 3 3 8 8 Nipagin 0,15 0,15 0,15 0,15 Saw Palmetto 15,385 15,385 15,385 15,385 Parfum 0,36 0,36 0,36 0,36
b. Pembuatan Krim
Bagian A dipanaskan di waterbath hingga suhu 70oC, sementara secara
terpisah bagian B juga dipanaskan hingga mencapai suhu yang sama. Bagian B
ditambahkan pada A di dalam mortir hangat dengan pengadukan yang kontinu
dan konstan sampai terbentuk massa basis krim. Lalu satu bagian basis
dicampurkan dengan satu bagian ekstrak Saw Palmetto, diaduk hingga homogen.
Demikian seterusnya ditambahkan basis dan ekstrak Saw Palmetto, bagian demi
bagian hingga ekstrak habis, dan basis tercampur homogen. Parfum ditambahkan
terakhir.
2. Uji sifat fisik dan stabilitas fisik krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto. a. Uji daya sebar
Uji daya sebar sediaan krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto
dilakukan langsung setelah pembuatan. Krim ditimbang seberat 1 gram, kemudian
diletakkan di tengah kaca bulat berskala. Di atas krim tersebut diletakkan kaca
b. Uji viskositas dan perubahan viskositas
Pengukuran viskositas menggunakan alat Viscometer Rion seri VT 04.
Krim dimasukkan ke dalam cup dan dipasang pada portable viscotester.
Viskositas krim diketahui dengan mengamati gerakan jarum penunjuk viskositas.
Uji ini dilakukan dua kali, yaitu: (1) segera setelah krim selesai dibuat dan (2)
setelah disimpan selama 1 bulan pada suhu kamar.
3. Uji iritasi primer
Metode yang digunakan adalah metode Draize, dengan jumlah hewan uji
(kelinci) sebanyak 3 ekor. Punggung kelinci dicukur dengan ukuran 2,5x2,5 cm,
dioleskan dengan 0,5 gram krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto, kemudian
tiap-tiap area uji ditutup dengan kasa. Seluruh badan hewan dibungkus (dibebat)
dengan kasa, agar posisi kasa penutup tidak berubah selama 4 jam periode
pemejanan. Setelah empat jam, semua kasa penutup dibuka. Reaksi yang timbul
dicatat pada 1 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam, dan 1 minggu setelah penutup dibuka
(post exposure). Terjadinya eritrema dan edema diberi skor sesuai dengan tabel
evaluasi reaksi iritasi kulit.
Tabel IV. Evaluasi reaksi kulit
(1) Eritrema dan Pembentukan Kerak Skor
Tanpa eritrema 0
Eritrema sangat sedikit (hampir tidak tampak) 1
Eritrema berbatas jelas 2
Eritrema moderat sampai berat 3
Eritrema berat (merah bit) sampai sedikit membentuk kerak (luka dalam)
4
(2)Pembentukan edema Skor
Tanpa edema 0
Edema sangat sedikit (hampir tidak tampak) 1 Edema sedikit (tepi daerah berbatas jelas) 2 Edema moderat (tepi naik kira-kira 1 mm) 3 Edema berat (naik lebih dari 1 mm dan meluas ke luar daerah
pajanan)
4
Total skor edema yang mungkin 4
4. Subjective Assesment
Sebanyak 29 responden mencoba tiap formula krim anti hair loss ekstrak
Saw Palmetto (formula (1), a, b, dan ab). Kemudian responden mengisi questioner
yang berisi pertanyaan mengenai: penampilan, bau, viskositas, kelembutan, daya
sebar, kelengketan, efek lembab, sensasi dingin di kulit, efek ke rambut, dan
kenyamanan setelah pemakaian krim pada kulit kepala. Jawaban responden diberi
skor dan dirata-rata sehingga diketahui gambaran kasar penilaian pemakai
terhadap krim yang dibuat.
F. Analisis Data dan Optimasi
Data yang terkumpul dari uji sifat fisik, meliputi: daya sebar, viskositas,
dan perubahan viskositas, dianalisis dengan desain faktorial. Pengolahan data dan
analisisnya dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1. penghitungan daya sebar krim dengan mencari diameter rata-ratanya
2. penghitungan viskositas
3. penghitungan perubahan viskositas krim, dengan menggunakan rumus:
|viskositas setelah sebulan – viskositas segera setelah dibuat|
4. penentuan faktor dominan dalam menentukan respon sifat fisik dengan
mempertimbangkan perhitungan desain faktorial untuk tiap efek dan
interaksi. Rumus menghitung efek:
Efek A=
(
) (
)
5. Jawaban responden pada questioner subjective assesment diberi skor dan
dirata-rata
6. membuat persamaan desain faktorial, dengan persamaan umum:
Y = b0 + b1.X1 + b2.X2 + b2.X1.X2
dimana: Y = respon
X1,X2 = level faktor
b0,b1,b2,b1.2 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan
b0 = rata-rata hasil semua percobaan
b1,b2,b1.2 = ∑XY/2n
7. membuat grafik contour plot untuk tiap-tiap respon
8. membuat grafik contour plot super imposed untuk menentukan daerah
optimal.
9. skor eritrema dan edema pada jam ke-24, sampai jam ke-72, keseluruhan
dirata-ratakan untuk 3 hewan uji. Rumus perhitungan indeks iritasi sebagai
berikut:
Kriteria iritasi dicocokkan dengan tabel dibawah ini:
Tabel V. Kriteria iritasi menurut Lu (1995:251)
(∑ skor eritrema jam ke24-72/3)+(∑skor edema jam ke24-72/3) jumlah hewan uji
Indeks Iritasi Kriteria Iritasi Senyawa Kimia < 2 Kurang merangsang
2-5 Iritan moderat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto
Pembuatan basis vanishing krim diawali dengan memanaskan
masing-masing fase di atas waterbath. Fase air yang terdiri dari: aquadest, NaOH, PEG
400, gliserol dan nipagin dan fase minyak yang terdiri dari asam stearat, setil
alkohol, dan TEA dipanaskan hingga suhu keduanya mencapai 70°C. Guna dari
proses pemanasan adalah: pertama, untuk melelehkan asam stearat dan setil
alkohol pada fase minyak sehingga memudahkan terjadinya reaksi antara asam
stearat dengan basa yang larut dalam fase air (lelehan punya luas permukaan
kontak lebih besar); kedua, peningkatan suhu dapat mempercepat terjadinya reaksi
penyabunan asam stearat oleh basa NaOH dan TEA; ketiga, kenaikan suhu juga
akan menurunkan tegangan permukaan antara fase air dan minyak sehingga
pembentukan sistem emulsi dapat terjadi sempurna.
Setelah keduanya mencapai suhu 70°C, proses pembuatan dilanjutkan ke
tahap pencampuran. Proses pencampuran ini menggunakan mortir dan stamfer
yang sebelumnya telah dihangatkan. Hal ini merupakan salah satu cara untuk
memperlambat penurunan suhu massa, sekaligus mencegah terjadinya penurunan
suhu yang mendadak yang dapat menyebabkan terlalu cepatnya massa
membeku/memadat. Bila terjadi demikian, maka proses penghomogenan dan
pendispersian akan semakin sulit untuk dilakukan. Lelehan fase minyak
dimasukkan ke dalam mortir, kemudian ditambahkan ke dalamnya fase air, sambil
diaduk dengan kecepatan yang konstan dan kontinu hingga terbentuk massa krim.
Pengadukan dihentikan setelah massa krim menjadi dingin.
Pencampuran merupakan tahap yang penting sekali, dan sangat
mempengaruhi keberhasilan terbentuknya emulsi. Dalam tahap ini ketika asam
stearat dalam fase minyak bertemu dengan basa yang terlarut dalam fase air,
terjadilah reaksi penyabunan yang kemudian menghasilkan garam/sabun natrium
stearat dan trietanolamin stearat. Sabun stearat yang terbentuk ini bersama dengan
setil alkohol yang juga berfungsi sebagai emulgator, akan mengemulsikan sisa
asam stearat yang tidak tersabunkan ke dalam fase air sebagai fase luar.
Pengadukan akan memperkecil ukuran droplet asam stearat, kemudian sabun
stearat dan setil alkohol akan menyelubungi droplet-droplet asam stearat, sehingga
dapat terdispersi ke dalam fase air untuk membentuk suatu sistem emulsi.
Idealnya, pengadukan dilakukan dengan kecepatan yang konstan dan
kontinu. Haruslah kontinu dikarenakan ada kecenderungan fase untuk memisah
bila pengadukan dihentikan (Young,1974). Karena pengadukan ini dilakukan
secara manual, maka sulit untuk menjamin bahwa perlakuan untuk setiap formula
adalah sama, yaitu dengan lama dan kecepatan pengadukan yang sama. Untuk
lama pengadukan, dalam prakteknya pengadukan dihentikan saat massa krim yang
terbentuk telah dingin. Oleh karena itu lama dan kecepatan pengadukan manual
menjadi salah satu variabel tak terkendali yang bisa jadi ikut mempengaruhi
Tahap pencampuran yang kedua setelah terbentuknya massa basis
vanishing krim adalah pendispersian ekstrak kering Saw Palmetto ke dalam basis.
Pencampuran ini menggunakan prinsip: satu bagian basis dicampurkan dengan
satu bagian ekstrak, setelah diaduk homogen, kemudian ditambahkan 2 bagian
basis, dan seterusnya hingga kedua bahan habis. Parfum ditambahkan paling
terakhir dari proses pencampuran ini untuk menghindari menguapnya parfum
sebelum proses selesai. Parfum ditambahkan tetes demi tetes sambil diaduk,
hingga bau ekstrak Saw Palmetto relatif tertutupi.
Ekstrak Saw Palmetto yang digunakan krim anti hair loss ini adalah
ekstrak kering berupa serbuk yang berwarna kuning pucat. Kandungan utama
ekstrak Saw Palmetto adalah asam-asam lemak dan sejumlah fitosterol.
Penambahan ekstrak tidak dilakukan pada proses pembuatan basis, namun
dicampur setelah basis dibuat. Hal ini untuk menghindari over heat selama
pembuatan yang kemungkinan dapat merusak sifat kimia komponen ekstrak dan
mengurangi potensinya sebagai anti hair loss.
B. Sifat Fisik Krim Anti Hair Loss Ekstrak Saw Palmetto
Parameter sifat fisik yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah: daya
sebar krim dan viskositas krim setelah pembuatan. Sementara itu parameter
kestabilan krim yang dievaluasi adalah perubahan viskositas krim setelah
penyimpanan 1 bulan pada suhu kamar.
terapi. Berhasilnya terapi sediaan topikal ditentukan oleh bagaimana mudah
pasien mengoleskan sediaan pada area yang sakit dengan membawa sejumlah
tertentu obat. Untuk menghantarkan dosis yang tepat sepenuhnya tergantung oleh
daya sebar dari sediaan itu (Garg, Aggarwal, Garg, dan Singla,2002). Oleh karena
itulah parameter ini penting untuk dievaluasi.
Uji daya sebar yang dilakukan dalam penelitian ini hendak melihat
seberapa mudah 1 gram sampel krim anti hair loss ini dapat menyebar bila
ditekan dengan pemberat 125 g di antara dua kaca bulat horisontal. Parameter
yang dipakai adalah diameter rata-rata penyebaran krim setelah pemberian beban
selama 1 menit.
Parameter lain yang dievaluasi selain daya sebar, adalah viskositas krim
segera setelah pembuatan. Viskositas krim perlu diuji, sebab konsistensi yang
optimum dari suatu formula akan membantu menjamin bahwa dosis yang sesuai
dapat dihantarkan ke target site. Viskositas berbanding terbalik dengan daya sebar
(Garg et al.,2002). Dengan viskositas yang lebih tinggi, daya sebar krim akan
menjadi lebih kecil; demikian sebaliknya.
Kemudian setelah penyimpanan selama 1 bulan pada suhu kamar,
dilakukan lagi pengukuran viskositas, untuk melihat perubahan viskositas yang
terjadi. Uji perubahan viskositas setelah penyimpanan satu bulan sesungguhnya
merupakan uji untuk melihat kestabilan krim. Sediaan krim yang stabil idealnya
memang tidak mengalami perubahan viskositas. Namun mengingat krim
untuk melihat seberapa besar perubahan viskositas krim yang masih berada dalam
skala perubahan yang ditoleransi atau diijinkan.
Hasil pengukuran sifat fisik krim anti hair loss dalam penelitian ini,
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel VI. Hasil pengukuran sifat fisik krim anti hair loss ekstrak Saw Palmetto
Formula Daya sebar (cm) Viskositas (dPa.s) δ Viskositas (%)
(1) 3,47±0,12 230,56±10,58 10,84±6,80 a 3,35±0,18 248,38±8,83 25,63±3,61 b 3,68±0,13 207,50±9,87 3,88±5,49 ab 3,82±0,06 178,82±5,30 21,86±5,41
Data yang diperoleh dari uji sifat fisik krim tersebut diolah lebih lanjut
secara desain faktorial untuk mengetahui faktor mana yang paling dominan
mempengaruhi sifat fisik maupun stabilitas krim. Hasil perhitungan desain
faktorial adalah sebagai berikut:
Tabel VII. Hasil perhitungan efek untuk tiap faktor dan interaksi
Efek Daya sebar (cm) Viskositas (dPa.s) δ Viskositas (%)
PEG 400 0,01 |-5,43| 16,38 Gliserol 0,34 |-46,31| |-5,36| Interaksi 0,13 |-23,26| 1,60
1. Daya Sebar
Efek kedua faktor serta interaksinya terhadap daya sebar dapat dilihat
pada tabel VII. Hasil perhitungan desain faktorial menunjukkan bahwa besarnya
efek PEG 400 terhadap daya sebar adalah 0,01, efek gliserol 0,34,
sementara itu efek interaksinya adalah 0,13. Berdasarkan hasil tersebut gliserol
dibandingkan PEG 400 dan interaksi keduanya.
Gliserol berefek positif terhadap daya sebar krim, yang berarti bahwa
gliserol dalam krim akan meningkatkan daya sebar krim. Sementara itu PEG 400
juga berefek positif terhadap daya sebar yang berarti adanya PEG 400 dalam krim
akan meningkatkan daya sebar krim. Interaksi keduanya terhadap daya sebar
berefek positif, berarti interaksi kedua faktor ini akan meningkatkan daya sebar
krim.
Lebih dominannya pengaruh gliserol daripada PEG 400 maupun
interaksi keduanya terhadap daya sebar krim, kemungkinan disebabkan oleh
higroskopisitas gliserol yang cukup tinggi. Dengan skala prosentase, diketahui
bahwa PEG 400 hanya memiliki higroskopisitas statis (binding capacity) sebesar
60% saja dari higroskopisitas statis gliserol (Jellinek,1970). Oleh karena daya
sebar juga dipengaruhi oleh faktor humidity (kelembaban udara) saat
diaplikasikan (Garg, et al.,2002), yang dianalogkan dengan kelembaban ruangan
saat dilakukan uji daya sebar, maka higroskopisitas humectant akan lebih
berperan di sini. Saat krim diaplikasikan, gliserol dengan higroskopisitasnya yang
besar akan menarik kelembaban (uap air) dari udara, sekaligus menahan perginya
air dari krim, sehingga tidak terlalu cepat kering saat disebar dan menjadi lebih
mudah untuk menyebar.
Untuk melihat hubungan pengaruh peningkatan level PEG 400 dan
(a) (b)
Gambar 3. grafik hubungan daya sebar-PEG 400 (a) dan grafik hubungan daya sebar-gliserol (b)
Gambar 3a memperlihatkan bahwa peningkatan level PEG 400 akan
mempengaruhi nilai daya sebar krim. Peningkatan level PEG 400 pada
penggunaan gliserol level rendah akan menurunkan daya sebar krim. Sedangkan
peningkatan level PEG 400 pada penggunaan gliserol level tinggi akan
memberikan respon peningkatan daya sebar krim.
Gambar 3b menunjukkan bahwa peningkatan gliserol dari level rendah
ke level tinggi akan mempengaruhi nilai daya sebar krim. Peningkatan level
gliserol baik pada penggunaan level rendah dan tinggi PEG 400 akan berefek
menaikkan nilai daya sebar krim.
Adanya interaksi dari kedua faktor juga dapat dilihat dari kedua grafik di
atas (gambar 3a dan gambar 3b). Interaksi ditunjukkan oleh garis yang tidak
sejajar (Bolton,1990). Gambar 3a dan 3b memperlihatkan kedua garis yang
menunjukkan level rendah dan tinggi faktor tidak paralel. Oleh karena itu dapat
gliserol yang mempengaruhi daya sebar krim.
Oleh karena hasil perhitungan desain faktorial ditemukan bahwa efek
gliserol dominan dalam mempengaruhi daya sebar krim, maka apabila
dikehendaki daya sebar yang lebih besar maka dapat dilakukan dengan menaikkan
level gliserol dalam sediaan. Demikian sebaliknya bila hendak menurunkan daya
sebar, maka dilakukan pengurangan level gliserol dalam sediaan.
2. Viskositas
Efek masing-masing faktor dan interaksinya terhadap besarnya viskositas
juga dapat dilihat pada tabel VII. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besarnya
efek PEG 400 terhadap viskositas adalah |-5,43|, efek gliserol |-46,31|, sementara
itu efek interaksinya adalah |-23,26|. Berdasarkan hasil tersebut diketahui gliserol
memberikan efek yang lebih dominan dalam menentukan viskositas dibandingkan
PEG 400 dan interaksi keduanya. Dengan menaikkan gliserol dalam krim akan
menurunkan viskositas krim, sebaliknya menurunkan level gliserol dalam sediaan
akan menaikkan viskositas krim.
Masing-masing faktor, dan interaksinya berefek negatif terhadap
viskositas, artinya dapat menurunkan viskositas krim. Sementara itu pada
penjelasan sebelumnya, masing-masing faktor, dan interaksinya menunjukkan
efek positif terhadap daya sebar. Kedua hasil ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan Garg, et al., (2002:86) yang menyebutkan bahwa hubungan antara
Kemungkinan sifat dominan gliserol dalam mempengaruhi viskositas
dikarenakan higroskopisitasnya yang lebih besar bila dibandingkan dengan PEG
400 (Jellinek,1970). Dengan higroskopisitasnya yang tinggi, gliserol mampu
mengikat uap air lebih banyak dari kelembaban udara di sekitarnya. Adanya tiga
gugus hidroksi (-OH) dalam strukturnya memungkinkan gliserol menarik air yang
terdapat di lingkungan dengan membentuk ikatan hidrogen dengan air.
Mekanisme ini akan mempengaruhi viskositas fase luar (fase air) yakni
menurunkannya, yang efeknya kemudian menurunkan viskositas krim.
Untuk melihat hubungan pengaruh peningkatan level PEG 400 dan
gliserol terhadap daya sebar krim, dapat dilihat pada grafik sebagai berikut:
(a) (b)
Gambar 4. grafik hubungan viskositas-PEG 400 (a) dan grafik hubungan viskositas -gliserol (b)
Gambar 4a menunjukkan bahwa peningkatan level PEG 400 akan
mempengaruhi nilai viskositas krim. Pada penggunaan level rendah gliserol,
kenaikan level PEG 400 akan meningkatkan viskositas krim. Sementara pada
dalam krim akan menurunkan viskositas krim.
Gambar 4b memperlihatkan bahwa peningkatan level gliserol akan
mempengaruhi nilai viskositas krim. Pada penggunaan level rendah maupun
tinggi PEG 400, kenaikan level gliserol dalam krim akan menurunkan viskositas
sediaan. Namun penurunan viskositas krim pada penggunaan level tinggi PEG
400 lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan viskositas pada level rendah
PEG 400. Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan garis yang lebih curam (gradien
garis lebih besar). Ini berartinya peningkatan level gliserol dalam formula lebih
mempengaruhi penurunan viskositas pada penggunaan level tinggi PEG 400 dari
pada penggunaan level rendahnya.
Penurunan viskositas yang lebih besar pada penggunaan level tinggi PEG
400 ini, kemungkinan disebabkan oleh viskositas PEG 400 sendiri maupun
higroskopisitasnya. PEG 400 memiliki viskositas yang rendah. Pada suhu 250C
viskositas absolut gliserol adalah 15 dPa.s, sementara pada suhu yang sama PEG
400 memiliki viskositas absolut antara 0,8558-0,9571 dPa.s (Anonim,2006a;
Corthouts,1997). Pada penggunaan level tinggi, dengan viskositasnya yang rendah
dan jumlah yang cukup besar juga akan mempengaruhi viskositas fase luar yakni
menurunkan viskositas krim.
Selain itu PEG 400 yang bersifat higroskopis juga akan ikut menarik air
dari lingkungan, walaupun dengan higroskopisitas yang lebih kecil daripada
gliserol (hanya 60% dari higroskopisitas statis (binding capacity) gliserol). Hal ini