• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian 1. Kurikulum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengertian 1. Kurikulum"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

0 =======================================================================

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PUSAT KURIKULUM DAN PERBUKUAN

(2)

1 Pendahuluan

Penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut Sensus Tahun 2010, jumlahnya melampaui 200 Juta jiwa, hidup di daerah pegunungan dan pantai yang menghuni dan tersebar di beratus pulau besar dan beribu pulau kecil, serta bermukin di kawasan pedalaman maupun pantai. Atau, yang secara sosiologis hidup sebagai satu kesatuan sosial yang berada di daerah perkotaan, perdesaan dan pesisir. Seringkali juga, mereka disebut masyarakat kota, masyarakat desa dan masyarakat pesisir sesuai dengan lokalitas mereka bertempat tinggal serta kelaziman mereka berinteraksi yang dilakukannya dalam kehidupan keseharian.

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Sebagaimana lazimnya suatu komunitas memiliki nilai budaya tersendiri yang dipahami oleh masyarakatnya dalam membentuk tindakan sehari-hari. Faktor ekologi sangat berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan sehari-hari. Faktor nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok masyarakat pesisr ini akan berpengaruh pemahaman mereka terhadap pendidikan. Pemahaman masyarakat terhadap pendidikan akan berdampak pula pada bagaimana membangun model pendidikan yang harus dilakukan.

Model pendidikan yang harus dirumuskan pada masyarakat pesisir akan terbentuk pada model kurikulum. Pemahaman kurikulum dalam konteks ini bukan hanya pemahaman sederhana mengenai pengertian kurikulum sebagai sebaran mata pelajaran yang layaknya diberikan di sekolah. Kurikulum yang dimaksud dalam pandangan ini harus dipahami lebih luas, yaitu sebagau suatu sistem. Kurikulum sebagai suatu sistem dapat merupakan dari sstem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997 : 27).

Dengan demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan untuk pengembangan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir yang berbasis ekonomi produktif, terlebih dahulu perlu dideskrispsikan realitas kehidupan masyarakat pesisir baik yang ada pesisir Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat, maupun di pesisir Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk itu, uraian berikut ini akan mendeskripsikan secara analitis beberapa aspek antropologis dan sosiologis yang dipandang penting sebagai perwujudan identitas masyarakat pesisir yang terkait dengan pengembangan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir yang berbasis ekonomi produktif.

(3)

2

Pengertian

1. Kurikulum

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu. Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.

Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.

Para ahli didalam mendevinisikan kurikulum mengalami perbedaan, karena kurikulum sifatnya dinamis serba berubah menurut perkembangan zaman. Dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidika Nasional Pasal 1 ayat 19, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang strategis, karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya memerlukan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian secara mendalam

Istilah kurikulum mulai masuk kedalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur kependidikan Amerika Serikat. Tokoh pendidikan Amerika seperti John Dewey (1916) dan Ralph Tyler (1942) dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah kurikulum dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Ketika tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan Indonesia belajar di Amerika Serikat dan membaca buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris maka istilah kurikulum masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia pendidikan

(4)

3 Indonesia. Secara resmi, istilah kurikulum di Indonesia belum digunakan sampai ketika tahun 1968 ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968 antara untuk mengganti kurikulum yang berlaku sebelumnya (Hasan, 2008).

Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan berlaku berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar masyarakat, berdampak kepada pembiayaan (cost) yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum. Oleh karena itu kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan apabila tidak mendapat dukungan politik (politically viable) (Hasan, 2008). Kurikulum merupakan pedoman mendasar dalam proses pembelajaran. Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan, mampu dan tidaknya anak didik menyerap materi pempelajaran, tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan bergantung pada kurikulum yang digunakan. Jika kurikulumnya didesain dengan baik dan sistematis, komprehensif, dan integral dengan segala kebutuhan pengembangan dan pembelajaran anak didik untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupannya, tentu hasil atau output pendidikan itupun akan mampu mewujudkan harapan.

Dengan perkembangan zaman tersebut pemikiran para ahli juga mengalami pergeseran pula, akan tetapi secara garis besar pengertian kurikulum terdapat dua macam corak, yaitu:

a. Pengertian klasik

Curriculum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum di artikan jarak yang harus di tempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan masalah tersebut kurikulum dalam pendidikan di artikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau disekesaikan anak didik untuk memperoleh ijasah (Sudjana, 2005: 2).

Secara tradisional, “kurikulum” biasa dimengerti sebagai serangkaian program yang berisi rencana-rencana pelajaran yang telah disusun sedemikian rupa yang dapat dipakai secara langsung oleh guru untuk mengajar. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. Kurikulum menurut pengertian tradisional, adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh dipelajari dikuasai oleh peserta didik untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau Ijazah. George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may

contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Roebert M. Hutchin yang menyatakan: “The curiculum should include grammar, reading, theoric and logic, and mathematic, and eddition at the secondary level introduce the great

(5)

4

books of the western world” (Sanjaya, 2008: 4). Tarigan (1992: 3), Kurikulum

adalah suatu formulasi pedagogis yang termasuk paling penting dalam konteks PBM.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disajikan guru kepada siswa untuk mendapatkan ijazah atau naik tingkat. Pada saat sekarang ini, penegrtian kurikulum tersebut sama halnya dengan “rencana pelaksanaan pembelajaran” yang disajikan oleh guru kepada murid di sekolah.

b. Pengertian Modern

Seiring dengan kamajuan zaman, sistem pendidikan menuntut untuk memenuhi faktor kebutuhan hidup yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Peran kurikulum dalam sekolah tidak hanya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan (Rokhim, 2012).Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses

study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school. Pengertian Kurikulum modern sebagaimana yang dinyatakan Oleh zakiah daradjat (1994: 83) “ All activities that are provided for studied by the school constitut: is curriculum

atau dapat juga dikatakan “ the term curiculum……include all of the experience of children for which the school accepts responsibity

Kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas intra ataupun ekstra kurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asal saja ada dibawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum dalam artian modern (Sanjaya, 2008: 6). Definisi serupa juga diungkap oleh Nasution (2008: 5), bahwa kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses berlajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggunga jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kurikuler yang formal juga kegiatan yang tak formal.

(6)

5 Untuk menggabungkan berbagai pengertian tersebut baik dari pandangan klasik maupun modern, maka Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:

1) kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.

2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.

3) kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.

4) kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.

Dalam uraian berikutnya, Hasan (1992) Kurikulum bersifat fleksibilitas mengandung dua posisi. Pada posisi pertama berhubungan dengan fleksibilitas sebagai suatu pemikiran kependidikan bagi diklat. Dengan demikian, pada posisi teoritik yang harus dikembangkan dalam kurikulum sebagai rencana. Pengertian kedua yaitu sebagai kaidah pengembang kurikulum. Terdapatnya posisi pengembang ini karena adanya perubahan pada pemikiran kependidikan atau pelatihan.

2. Masyarakat Pesisir

Dalam konteks sosiologis, penduduk atau masyarakat yang menghuni kawasan pesisir, ditilik dari besaran populasi, perbedaan mata pencaharian dan sumber penghidupan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis satuan sosial yang kerapkali menjadi satuan administrasi pemerintahan, yaitu: (1) desa pesisir tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah; (2) desa pesisir tipe tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri; (3) desa pesisir tipe nelayan/empang/tambak, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya perairan; dan (4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut) (Hasanuddin,1985:108).

(7)

6 Dengan demikian, masyarakat pesisir dalam realitasnya menunjukkan perbedaan-perbedaan sebagai suatu kesatuan sosial yang disebut sebagai masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan sebagaimana diketahui hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, dikenal sebagai masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan. Dalam kehidupan masyarakat pada umumnya kerap dikenal sebagai masyarakat nelayan, dengan berbagai sebutan baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.

Untuk menguraikan hal ihwal yang terkait dengan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksudkan dalam tulisan ini, tidak dapat dilepaskan dari konsep konstruksi masyarakat nelayan dengan mengacu pada konteks pemikiran di atas. Suatu konsep tentang konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi oleh keberadaan kelompok–kelompok sosial yang melangsungkan kehidupannya dan bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir.

Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan. Dalamkonteks itu, bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya.

Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85,91). Dalam perspektif antropologis dan sosiologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan sosial budayanya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang

(8)

7 melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menampilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda.

Karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan bergolong kasta rendah.

Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada usaha perikanan. “Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan” (Satria, 2002)3. Dari masalah utang piutang tersebut sering terjadi konflik, namun konflik yang mendominasi adalah persaingan antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pihak yang dapat mengembangkan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaannya.

Dalam hal ini peranan aktif LSM sangat membantu dalam mengarahkan strategi pembangunan yang diperlukan masyarakat pesisir dan menunjang pengelolaan sumberdaya lingkungan laut di sekitar tempat tinggal mereka misalnya budidaya perikanan . Pengelolaan ini dilakukan dengan kegiatan nyata yang sesuai dengan warna dari kultur masyarakat setempat. Selain itu LSM harus mampu memberikan masukan dan kritikan bagi strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir.

Permasalahan lain yang ada pada masyarakat pesisir adalah masalah yang berkaitan mereka sebagai nelayan. Berbagai kebijakan yang dilakukan belum mampu mengangkat kerangkeng kemiskinan para nelayan. Kebijakan pembangunan kelautan, selama ini, cendrung lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya. Akibat dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti:

a. Aspek Ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan,

(9)

8 sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah).

b. Aspek Sosial Ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.

c. Aspek Sosio Kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan

Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan produksi.

3. Pemberdayaan Masyarakat

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya.

Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.

Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.

Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif

(10)

9 diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.

Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungansekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.

Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: a. Mampu memahami diri dan potensinya,mampu merencanakan

(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) b. Mampu mengarahkan dirinya sendiri

c. Memiliki kekuatan untuk berunding

d. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan

e. Bertanggungjawab atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud denganmasyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengansituasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.

Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.

(11)

10 Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.

4. Partisipasi Masyarakat 5. Ekonomi Produktif

Tinjauan Masyarakat Pesisir yang dijadikan Model

Pengembangan model kurikulum bagi masyarakat pesisir mengambil 2 daerah yang dijadikan sebagai dasar pengembangan, yaitu masyarakat pesisir Cirebon (Jawa Barat) dan masyarakat pesisir Jeneponto (Sulawesi Selatan). Berikut ini adalah tinjauan masyarakat kedua daerah tersebut:

1. Masyarakat Pesisir Di Cirebon Provinsi Jawa Barat

Penduduk Pesisir di Kabupaten Cirebon hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai ciri yang sama, yaitu cenderung kurang dalam capaian pendidikan formal. Misalnya, dari hasil penelitian Kusnadi, 2002), dari 50 nelayan tradisional yang diteliti, sebagian besar nelayan tradisional hanya berpendidikan SD (55%), dan bahkan 35% responden mengaku sama sekali tidak pernah mengenal bangku sekolah. Untuk bekal bekerja mencari ikan di laut, latar belakang pendidikan seseorang memang tidak penting. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikit-banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut.

Persoalan dan arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru muncul tatkala seorang nelayan ingin berpindah pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain menjadi nelayan.

Bagi masyarakat nelayan yang hidup di pesisir Kabupaten Cirebon, hidup berumah tangga relatif lebih cepat, sebab seolah ada kebiasaan untuk menikah dalam usia yang relatif dini dan kemudian membentuk keluarga batih. Dalam konteks itu, usia rata-rata mereka pertama kali menikah di bawah “kepala dua” atau belum genap 20 tahun.

(12)

11 Bagi mereka, menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai anak.

Di dalam kehidupan nelayan di Kabupaten Cirebon, mereka mengakui memiliki anak 1-2 orang, dan bahkan tidak sedikit yang mengaku memiliki anak 3 orang lebih atau ada pula yang mengaku memiliki anak 6-7 orang. Dalam situasi seperti ini, dapat dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditanggung sebuah keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka pas-pasan, bahkan sering paceklik, tetapi di saat yang sama mereka harus menghidupi anak-anaknya yang jumlahnya sedemikiaj besar, meski diakui dalam kehidupan keseharian tampaknya berlaku kehidupan sosial yang saling membantu dan saling tolong menolong antarsesamanya.

Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang biasa, sehingga anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang tertinggi di desanya. Berbeda dengan juragan kapal atau nelayan modern yang rata-rata hidup berkecukupan, kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional seringkali hidup serba pas-pasan, atau relatif kekurangan dan bahkan sangat kekurangan. Dengan kondisi musim ikan yang hanya sekitar tiga bulan dalam setahun, memang sulit berharap keluarga nelayan tradisional bisa memperoleh penghasilan yang memadai, apalagi penghasilan itu untuk kepentingan menabung.

Bagi juragan kapal dan nelayan modern yang memiliki banyak perahu, aset produksi lebih, memiliki sumber pemasukan alternatif di luar sektor perikanan yang bisa diandalkan, dan ditambah lagi dengan pemilikan tabungan yang cukup, atau investasi di bidang usaha lain di luar perikanan, memang kondisi ekonomi mereka relatif tidak akan terpengaruh musim. Meskipun, mereka yang dapat dikategorikan sedemikian itu, di wilayah pesisir umumnya bisa dihitung dengan jari.

Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika hasil sehari -hari yang mereka peroleh tidak menentu, sementara kebutuhan sehari-hari terus melambung tak terkendali? Jika selama ini banyak kajian menyatakan, bahwa nelayan pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin (Mubyarto, 1984), maka yang namanya keluarga nelayan tradisional boleh jadi adalah lapisan yang lebih miskin lagi. Mereka adalah korban pertama yang paling menderita dan mengalami marginalisasi akibat proses modernisasi perikanan dan tekanan krisis.

Dalam situasi ekonomi yang berlangsung seperti ini mereka menggambarkan atas keadaan harga BBM yang tidak jelas, dalam setahun terakhir ini, kondisi ekonomi mereka cenderung memburuk, atau sekurang-kurangnya tetap miskin seperti yang sudah-sudah. Walau mereka mengakui ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diterima, tetapi itu tidak lah ada artinya, untuk

(13)

12 menomp-ang kehidupan ekonomi mereka. Bahkan, seringkali, pemberian BLT itu, menjadi bulan-bulanan para rentetir yang mengutangkan uang atau barang.

Bagi warga masyarakat pesisir terutama keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka. Di perairan sekitar Luat Jawa, kondisi sumber daya laut umumnya sudah hampir dapat dikatakan semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bahasa teknis kelautannya adalah over exploited. Apalagi, dalam pencaharian ikan nelayan tradisional hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Mereka, mengakui bahwa sejak satu-dua tahun terakhir pendapatannya memang tidak lagi bisa diandalkan, kecuali juragan kapal yang memiliki jaring dan mesin yang mampu membawa awaknya mencari ikan jauh ke tengah laut

Di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon, memang cukup banyak nelayan modern telah memiliki perahu bermotor untuk alat mendukung mencari ikan di laut atau secara ringkas mereka dikategorikan nelayan modern. Tetapi, ukuran modernitas nelayan sendiri sebetulnya bukan semata-mata karena menggunakan motor untuk menggerakkan perahu, melainkan juga pada besar-kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Itu artinya, semakin jauh wilayah pencaharian ikannya ke tengah lautan semakin besar pula hasil tangkapannya. Namun, cara inipun tentu memerlukan modal yang tidak sedikit, serta kehandalan awak kapal yang terlibat di dalamnya. Sebab, mereka menyadari, bahwa wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai (off shore), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai.

Bagi nelayan tradisional, jelas dengan tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka. Nelayan tradisional ini, umumnya adalah kelompok masyarakat yang dikategorikan buruh sehingga kehidupan ekonominya dapat dikatakan paling miskin dan tidak berdaya. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka mereka rawan menjadi korban eksploitasi para tengkulak dan peng-ijon.

Dikatakan miskin, karena per bulan penghasilan sekeluarga di bawah pendapatan yang seharusnya diperoleh rata-rata penduduk yang capaian ekonomi memadai atau setara dengan Rp 1 Juta per-bulan. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka hanya sekecil itu? Dengan jumlah anak rata-rata lebih dari 2-3 orang, mungkinkah mereka dapat menghidupi keluarganya secara layak?

Seseorang yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional saja, kondisi ekonominya bisa dipastikan kurang-lebih sama dengan buruh nelayan. Hanya bedanya, jika buruh nelayan berpenghasilan kecil akibat sistem bagi hasil

(14)

13 yang timpang, maka untuk nelayan tradisional penghasilan mereka pas-pasan, karena hasil tangkapan ikan setiap hari memang sedikit atau bahkan sama sekali kosong tatkala musim paceklik ikan tiba.

Mereka mengaku, sebagai nelayan tradisional, memang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari sampai saat ini relatif tidak menjadi masalah, meski mungkin dalam ukuran yang sangat sederhana. Jelas capaian kebutuhan itu, sebatas memenuhi makan yang amat sederhana sebab mereka mengabaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar lain di luar kebutuhan pangan. Seperti halnya, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, hampir sebagian besar nelayan pesisir menyatakan tidak mampu. Hal yang sama juga berlaku ketika mereka harus memenuhi kebutuhan kesehatan dan biaya sosial lingkungan. Mereka menyatakan tidak mampu ketika ada salah satu anggota keluarganya yang jatuh sakit. Dengan besar penghasilan yang sangat minimal dan pas-pasan untuk makan sehari-hari, memang berat jika keluarga nelayan tradisional yang miskin itu harus mengeluarkan biaya ekstra berobat ke dokter atau membeli obat di apotik yang menurut ukuran mereka relatif mahal.

Kalau berbicara idealnya, memang sebuah keluarga yang tidak lagi bisa mengandalkan kelangsungan hidupnya hanya dari satu mata pencaharian di sektor perikanan, maka pilihan yang paling realistis adalah berusaha mencari sumber pendapatan alternatif, terutama pekerjaan di sektor non-perikanan yang tidak terpengaruh musim. Tetapi, untuk mewujudkan hal ini tentu tidaklah semudah membaik telapak tangan, meski pun diakui oleh sebagian nelayan tradisional atau buruh yang akan mengalihkan pencahariannya tatkala mereka memasuki musim Barat atau paceklik di luat. Mereka bekerja serabutan baik di kota terdekat yaitu Cirebon, maupun pergi ke Jakarta.

Namun cara itu, tentunya dipengaruhi oleh pertama, berkaitan dengan persoalan tingkat pendidikan. Bagi warga masyarakat nelayan yang memiliki keahlian khusus dan berpendidikan tinggi, jika pada satu titik hasil dari sektor perikanan tidak lagi bisa mereka harapkan, kemungkinan untuk beralih profesi --paling tidak-- di atas kertas masih terbuka. Tetapi, bagi nelayan tradisional yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki ketrampilan alternatif, maka mati-hidup mereka sebetulnya mutlak tergantung pada hasil dari sektor perikanan. Kedua, berkaitan dengan penguasaan ketrampilan alternatif yang dimiliki mereka.

Bagi keluarga miskin di pesisiri Cirebon, lantas apa yang mereka lakukan untuk bertahan dan melangsungkan hidupnya? Di kalangan keluarga nelayan tradisional, sudah lazim terjadi kiat pertama dan yang paling mudah --meski sebenarnya sangat terpaksa mereka lakukan-- untuk menyiasati krisis adalah dengan melakukan berbagai menyederhanakan kegiatan konsumsi sehari -hari atau dalam bentuk mengurangi frekuensi makan, khususnya bagi orang tua yang sudah terbiasa menahan lapar. Apabila kondisi keuangan memang tidak memung-kinkan, maka cara yang paling mudah dilakukan keluarga-keluarga miskin adalah makan seadanya, menyederhanakan menu makanan, dan sejenisnya yang penting setiap hari pengeluaran bisa lebih diirit.

(15)

14 Cara lain untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga nelayan, biasanya usaha yang dikembangkan keluarga-keluarga miskin untuk tetap bertahan hidup adalah dengan menggadaikan atau menjual barang, utang ke sana-kemari, dan yang tidak kalah penting dengan mengandalkan pada dukungan kerabat, semacam mekanisme bertahan hidup dengan cara mencari asuransi sosial dari kerabat yang difungsikan sebagai semacam patron. Seperti diakui sebagian besar keluarga nelayan tradisional, salah satu strategi yang acapkali mereka kembangkan untuk mengatasi tekanan kebutuhan hidup sehari-hari adalah dengan mengandalkan dukungan dari kerabat. Cara yang mereka kenal sebagai sambatan, yaitu mekanisme tolong menolong sesamanya untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Fungsi kerabat pada dasarnya memang bukan hanya sebagai tempat untuk mensosialisasikan anak-anak, tetapi kerabat juga berfungsi sebagai kelompok primer yang menopang dan memberikan jaminan sosial-ekonomi bagi anggota kerabatnya.

Dengan demikian, bagi para nelayan tradisional di pesisir Kabupaten Cirebon, seringkali hidup memang tidak terlalu menawarkan banyak pilihan. Sekali pun disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari hasil dari melaut acapkali tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi karena pekerjaan itu sudah dijalankan selama bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang pekerjaan ini juga merupakan usaha warisan secara turun-temurun, maka tidak bisa lain, yang dilakukan adalah menjalani dan menerimanya sebagai warisan atas pekerjaan itu dari orang tua termasuk pula leluhurnya.

Dari sebagian besar warga masyarakat yang bergelut dalam pencaharian di laut, mereka mengaku sudah menekuni pekerjaan itu sebagai nelayan tradisional lebih dari 25 tahun. Jarang ditemui ada nelayan yang menyatakan baru saja menggeluti usahanya kurang dari lima tahunan, kalau pun terjadi umumnya itu adalah anak -anak muda yang melanjutkan tradisi pekerjaan orang tuanya menjadi nelayan tradisional. Walaupun demikian, tidak sedikit juga anak-anak yang berjenis kelamin perempuan memilih mengadu nasib ke luar wilayah pesisir, bahkan tidak sedikit yang mengadu nasib sebagai TKW atau bekerja di kota baik di Kota Cirebon maupun langsung bekerja ke Jakarta.

Alasan utama merena yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan tradisional adalah karena tidak ada alternatif pekerjaan lain yang dapat mereka pilih. Meskipun lingkungan kota besar yang dalam banyak hal lebih menawarkan kemudahan dan memiliki kemampuan involutif yang luar biasa untuk menyerap setiap penambahan migran dan tenaga kerja baru. Namun untuk sebagian lagi dari mereka menyatakan, kesempatan untuk mencari pekerjaan alternatif acapkali seperti menemui jalan buntu. Kebanyakan dari mereka alasan utama menekuni pekerjaannya sekarang adalah karena sesuai dengan keahlian yang sudah turun temurun. Alasan seperti ini antara lain disebabkan mereka sejak usia anak-anak telah dikenalkan dan ikut terlibat langsung dengan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan.

Banyak dikajian mengungkapkan, bahwa keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan tradisional atau buruh nelayan

(16)

15 umumnya lebih banyak didasarkan pada kebutuhan ekonomi keluarga yang serba kekurangan, sehingga mereka kemudian memutuskan untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan produktif. Itu artinya, kegiatan anak-anak itu sebagai upaya membantu orang tuanya mendapatkan tambahan pendapatan. Demikian pula dengan isteri-isteri nelayan umumnya aktif bekerja dengan cara berdagang ikan, menjual hasil tangkapan suaminya atau menyiapkan kebutuhan bahan baku usaha keluarga.

Cara para isteri nelayan melakukan usaha ini adalah sebagai upaya menambah pendapatan ekonomi keluarga. Sebagian besar isteri nelayan juga terlibat dalam pekerjaan berdagang ikan hasil tangkapan suaminya atau membeli dari nelayan lainnya. Selain itu isteri-isteri nelayan juga berdagang membuka warung yang menjual makanan kecil atau kebutuhan sehari-hari di sekitar rumahnya. Selain isteri, anggota keluarga lainnya yang juga ikut bekerja membantu orang tua mereka mencari nafkah adalah anak-anak.

Dalam bahasa yang paling sederhana, bagi masyarakat pesisir di Kabupaten Cirebon, keterlibatan perempuan dan anak dalam kegiatan produktif bukanlah hal yang baru. Coba saja tengok ketika pendaratan perahu di pagi hari, maka akan tampak setiap hari para isteri bekerja mengangkut ikan dari perahu yang baru datang. Di tempat lain para isteri juga terlihat bekerja membersihkan perahu yang baru saja datang dari melaut. Di pasar-pasar ikan dipenuhi para isteri nelayan yang menjadi pedagang ikan hasil tangkapan suaminya atau menjadi perantara nelayan atau juragan lain untuk menjualkan hasil tangkapan dengan memperoleh sejumlah komisi. Biasanya besar komisi yang diperoleh pedagang perantara yang menjualkan ikan nelayan lainnya sekitar 10% dari jumlah yang dijual.

Di industri kecil yang masih berkaitan dengan sektor perikanan --seperti pembuatan terasi atau krupuk ikan-- tidak sulit menemukan para istri nelayan dan sebagian anak perempuan aktif bekerja. Para istri-isteri nelayan acapkali terlihat menjemur udang-udang kecil di tempat penjemuran. Di sisi lain terlihat isteri nelayan dan anak-anak dengan cekatan tangannya sedang menggiling, memotong serta mencetak bahan terasi membentuk kotak-kotak seukuran seperempat kilogram. Di tempat lain acapkali juga terlihat para isteri ini sedang sibuk menjemur terasi yang sudah dicetak dengan ukuran seberat seperempat kilogram berbentuk kotak-kotak di bawah terik panas matahari.

Di tempat pembuatan ikan asin yang banyak terdapat di sekitar pantai, kelompok perempuan juga terlibat dalampembuatan ikan kering. Para isteri terlibat semua tahap pekerjaan mulai pemilahan ikan, mengolah, menjemur hingga pengepakan. Ikan-ikan yang telah dibelah dan kemudian dilumuri garam dijemur di tempatnya yang terbuat dari bambu.

Di lingkungan pesisir kerapkali dijumpai, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sudah biasa turut aktif bekerja membantu orang tuanya, bahkan terkadang dalam usia yang tergolong dini. Anak laki-laki biasanya ikut melaut ketika tidak sekolah atau membantu mengangkut ikan hasil tangkapan dari

(17)

16 perahu ke daratan. Selain itu anak laki-laki biasanya juga terlihat meminta ikan kepada nelayan yang baru saja datang dari laut.

Biasanya nelayan yang menjadi tempat meminta anak-anak adalah nelayan yang masih ada hubungan kerabat. Ikan-ikan pemberian nelayan ini kemudian dijual di pasar sehingga mendapatkan sedikit tambahan uang. Di lingkungan masyarakat pesisir, peran istri dan anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga. Di tengah situasi yang tidak menentu dan kecilnya pendapatan yang diperoleh nelayan terutama pada musim paceklik ikan maka peran isteri dan anak menjadi sangat strategis. Apalagi pendapatan nelayan akhir-akhir dirasakan semakin berkurang karena terkurasnya sumber daya laut oleh kapal-kapal besar (trawl) yang tanpa pandang-bulu menjaring ikan dari ukuran apa pun.

Bagi nelayan tradisional, sangat mereka sadari bahwa dari tahun ke tahun laut tampaknya tidak lagi terlalu bisa diandalkan. Berbeda pada saat kekayaan laut masih berlimpah, sejak kebijakan modernisasi perikanan dicanangkan, maka sejak itu pula mulai ruang gerak nelayan tradisional menjadi makin sempit. Daerah sekitar perairan pantai yang dulu menjadi tempat mereka menjaring ikan, kini makin sepi. Sebagian besar nelayan tradisional, menyatakan, bahwa dalam setahun terakhir jumlah ikan hasil tangkapan mereka cenderung berkurang, bahkan sebagian pengurangan yang terjadi berlangsung drastis. Mereka mengaku hasil tangkapan mereka belakangan ini justru bertambah, dan itu pun karena mereka nekat memperluas daya jelajah perahu kecilnya agak ke tengah laut.

Iklim persaingan yang makin ketat, dan agresivitas nelayan modern dalam menangkap ikan di laut maupun pada saat memasarkannya di daratan, bagi nelayan tradisional jelas menjadi ancaman serius. Bahkan, menurut mereka akibat modernisasi perikanan, yang mereka alami bukan hanya terkurasnya sumber daya laut secara drastis, tetapi ruang gerak mereka untuk memasarkan hasil tangkapannya juga terpengaruh. Bisa dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditangung nelayan tradisional jika yang dihadapi bukan saja jumlah tangkapan ikan yang berkurang, tetapi juga pemasaran ikan yang makin sulit. Di kalangan nelayan tradisional separuh lebih mereka memilih menjual semua ikan hasil tangkapan ke pasar daripada mengkonsumsinya sendiri untuk makan sehari-hari. Seperti layaknya masyarakat petani, bagi nelayan tradisional tampaknya ekonomi mereka cenderung bersifat subsistens.

Dengan menjual ikan dan kemudian memperoleh uang yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidup sehari itu. Sedangkan untuk memenuhi keperluan hidup esok harinya mereka pun menyandarkan kembali pada penghasilan melaut hari esoknya, demikian seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan sisa pendapatan untuk keperluan manabung atau investasi sebagai layaknya prinsip ekonomi yang kadarnya untuk mencari keuntungan. Belum lagi dalam menjalankan usahanya ini mereka diharuskan menjual semua hasil tangkapannya, terkadang resiko yang harus ditanggung adalah ulah

(18)

17 tengkulak yang cenderung membeli ikan dari nelayan tradisional dengan harga yang tidak terlalu tinggi, atau bahkan dengan harga yang rendah. Prinsip injon, dalam pencaharian nelayan serupa ini jelas mewarnai kehidupan ekonominya. Karena itu, kehidupan ekonomi nelayan seperti ini jelas tidak akan memperoleh penghasilan yang berlebihan atau justru semakin hari kehidupan ekonominya semakin tertekan.

Dalam setahun sebenarnya musim panen bagi masyarakat nelayan di pesisir Cirebon hanya tiga bulan. Sedangkan sembilan bulan sisanya dapat dikatakan sebagai musim paceklik. Pada musim paceklik seperti ini hasil tangkapan ikan nelayan niscaya akan turun drastis. Bahkan tidak jarang nelayan tradisional tidak mendapatkan hasil sama sekali. Tidak adanya ikan yang dapat ditangkap berarti para nelayan tradisional juga tidak dapat memperoleh pendapatan. Dengan kata lain, pada saat musim paceklik yang relatif panjang, nelayan tradisional akan menghadapi masalah penurunan pendapatan yang serius. Ketika musim paceklik tiba, jika para nelayan memaksa diri pergi ke laut untuk menangkap ikan, maka tidak mustahil mereka akan menghadapi kemungkinan kerugian lebih besar.

Ketika musim paceklik inilah nelayan umumnya lebih memilih beristirahat atau menunda melaut dengan menambatkan perahunya di sejumlah tempat, sehingga akibatnya mereka nyaris tidak memperoleh penghasilan. Dalam kondisi itu, untuk memenuhi keutuhan hidup sehari-hari mereka biasanya menggadaikan barang berharga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi salah satu alternatif mendapatkan uang segar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak dapat dihindari.

Bagi mereka, bentuk-bentuk mekanisme bertahan hidup yang biasa mereka kembangkan untuk menyiasati tekanan kebutuhan hidup selama musim paceklik adalah: (1) mengandalkan pada tabungan yang masih tersisa untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari bagi mereka yang memiliki tabungan seperti dalam bentuk barang (motor, emas atau perhiasan lain); (2) bekerja sebagai buruh nelayan di kapal yang bermesin besar (itupun jika kemampuan yang dimiliki mendukungnya); dan (4) hidup dari utang serta uluran tangan orang lain.

Di mata mereka semua pilihan ini tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi, karena sudah puluhan tahun hidup mereka serba kekurangan, maka sekeras apa pun tekanan kemiskinan yang harus dihadapi, hal itu biasanya tidak lagi mengagetkan nelayan tradisional. Bagi keluarga nelayan tradisional, kemiskinan dalam beberapa hal memang terasa menekan, tetapi ketika tekanan kemiskinan itu terus -menerus terjadi dan dialami, bukanlah sesuatu yang harus dihindari tetapi justru bagi mereka harus dihadapi.

(19)

18 Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu kabupaten dengan taraf pertumbuhan kesejahteraan relatif tertinggal dibanding kabupaten lainnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Salah satu indikator umum yang menunjukkan seperti terlihat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama kurun waktu 1999 sampai 2009, Kabupaten Jeneponto hanya mengalami perkembangan IPM rata-rata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010).

Wilayah Kabupaten Jeneponto relatif tidak memiliki kesamaan umum dengan karakter topografis Propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat berlangsung dalam bulan September sampai dengan Pebruari, sedangkan Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup pendek. Karena itu, wilayah ini dikenal pula sebagai daerah kering. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh aktivitas wilayah pertanian dan wilayah pesisir dan taraf kesejahteraan masyarakat.

Menelusuri wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto, sepanjang wilayah pesisir tersebut berhadapan dengan Laut Flores. Kondisi ini menyebabkan terpaan angin, disertai hujan lebat dan ombak besar yang senantiasa dihadapi oleh kaum nelayan, sehingga pada musim-musim seperti itu, terutama bulan-bulan Desember sampai Januari kebanyakan para nelayan tidak melaut.

Adanya arus bawah yang seringkali berbeda arah dengan arus permukaan juga sering dialami para nelayan di daerah ini. Dalam keadaan demikian sangat sukar melakukan penangkapan ikan dengan peralatan yang sederhana sekalipun. Karena itu, pada masyarakat nelayan terdapat karakteristik yang mencolok, yaitu ketergantungan pada musim, maka pada musim penangkapan, para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim paceklik atau yang dikenal musim barat kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.

Masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya selama ini menekuni kegiatan nelayan tangkap. Keterbatasan wilayah penangkapan dan teknologi penangkapan yang serba sederhana menjadi bentuk kehidupan nyata dan berakar dalam sistem sosial masyarakat nelayan. Keterbatasan dan kesederhanaan mendorong terjadinya pembagian peran di antara kelompok nelayan. Setiap peran senantiasa diarahkan untuk menjaga kestabilan dalam berbagai bentuk tolong menolong dan kerjasama di antara sesama kelompok nelayan.

Bentuk tolong menolong dan kerjasama yang berlangsung terus menerus lalu kemudian mengakar sebagai nilai budaya. Nilai yang terlembagakan tersebut yang dikenal masyarakat sebagai apa yang disebut hubungan pinggawa - sawi di kalangan masyarakat nelayan.

Dalam perkembangannya masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto sebagaimana umumnya terjadi pada masyarakat nelayan lainnya di Indonesia,

(20)

19 mengalami proses dialektika sebagai akibat terjadinya perkembangan teknologi. Hal itu, berpengaruh pada perubahan pekerjaan dari nelayan tangkap ke petani rumput laut, meski masih dalam jumlah yang relatif sedikit.

Dalam konteks perubahan serupa itu, masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto dapat menjurus pada hal-hal berikut: (1) perubahan teknologi penangkapan (motor layar), membawa perubahan terhadap peranan pinggawa-sawi dan pembagian hasil, yaitu cenderung mengakibatkan proporsi bagi hasil pada anggota-anggota lainnya (sawi) menjadi lebih kecil; (2) masyarakat nelayan (Jeneponto) yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi dan banyaknya tenaga kerja yang tersedia, berdampak terhadap kemungkinan terjadinya persaingan berat dikalangan kelompok sawi ke depan; (3) berkenaan dengan penggunaan teknologi (transformasi), masalahnya adalah bagaimana agar tetap dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan pinggawa-sawi baru sesuai tuntutan perkembangan; dan (4) kesempatan menjadi pinggawa besar atau pemimpin bagi generasi berikutnya, tidak terbatas secara ketat.

Indonesia mengalami proses perubahan atau transformasi pertama kali dalam bidang pertanian pada awal tahun 1970-an, dikenal dengan nama revolusi hijau. Transformasi tersebut melahirkan berbagai kajian diantaranya terkait dengan distorsi yang terjadi terutama pada masyarakat petani gurem. Sedangkan perubahan atau proses transformasi masyarakat pesisir atau dikenal dengan revolusi biru lebih belakangan atau sekitar akhir 1970-an termasuk di Sulawesi Selatan. Tidak berbeda dengan yang terjadi di sektor pertanian, di mana ketika masyarakat pesisir terutama masyarakat nelayan memasuki fase transformasi melalui reinvestasi dalam bidang penangkapan, sistem manajemen yang lebih rasional, masyarakat nelayan terutama buruh nelayan atau kelompok

sawi (Sulawesi Selatan) tetap terpinggirkan.

Fenomena tersebut terjadi hampir menyeluruh pada masyarakat nelayan di Indonesia termasuk masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto. Akibat, sering menimbulkan perdebatan teoretis terhadap keabsahan perspektif modernisasi atau transformasi dalam melihat proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam kaitannya dengan konsep dan proses transformasi masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto baik yang tetap mempertahankan perannya sebagai nelayan pesisir maupun yang telah beralih menjadi masyarakat petani rumput laut. Hal itu, menunjukkan bahwa diferensiasi fungsional atau disebut juga diferensiasi struktural telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto.

Dalam konteks ini, bagi masyarakat yang masih mempertahankan pencahariannya sebagai nelayan dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam ketegori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu,

(21)

20 nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

Dari ketiga sudut pandang tersebut, jika ditelaah lebih mendalam lagi masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto dari segi hubungan sosialnya, maka tampak bersandar pada pola stratifikasi sosial sebagai berikut: 1) golongan pemilik kapal (pemodal); (2) golongan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki keahlian dimaksud seperti nahkoda dan teknisi, sedang yang memiliki modal tenaga adalah yang berperan sebagai pekerja diluar nahkoda dan teknisi. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga biasanya dikenal dengan nama buruh. Demikian juga berlaku dalam pola stratifikasi sosial yang lebih luas pada petani petambak, bahwa pada masyarakat petambak ditemui beberapa kelompok pinggawa dan petambak.

Kelompok pinggawa memiliki dua tipe yaitu: 1) pinggawa yang memiliki dan menyakapkan lahan tambak, dan 2) pinggawa yang tidak memiliki lahan tambak. Kelompok petambak terdiri tiga tipe yaitu: 1) petambak pemilik terikat yang menyakapkan lahan tambaknya, 2) petambak pemilik terikat yang mengelola lahan tambaknya sendiri, 3) petambak penyakap yang menggarap lahan tambak milik pinggawa.

Dengan demikian., pada masyarakat nelayan maupun petambak yang berstratifikasi cenderung menurunkan kualitas hidup karena beberapa individu dan kelompok mencapai kontrol atas sumber-sumber daya produktif, maka mereka mampu memaksakan individu-individu dan kelompok-kelompok lain untuk menghasilkan surplus ekonomi dengan anggota-anggota kelompok dominan itu. Tampaknya, dalam kehidupan ekonomi masyarakat pesisir di Jeneponto, situasi sosial itu berlangsung dengan ketatnya untuk mengatur kehidupan sosial mereka. Situasi sosial serupa ini, dapat dianalogikan pada masyarakat agraris yang diketahui bersama tekah memberikan kontribusi yang sangat besar kepada rendahnya standar hidup para petani.

Hubungan sosial yang terjalin atas situasi sosial seperti itu, menunjukkan hubungan yang dalam istilah Ilmu Sosial dikenal sebagai hubungan patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung lama sekali dalam sejarah ummat manusia. Dalam Ilmu Sosial, seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut

clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para clients secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka, yang nama keluarganya

(22)

21 mereka gunakan dan upacara pemujaan keluarganya mereka ikuti. Ikatan antara patron dank klien mereka dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun..

Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara, antara pemimpin (patron) dan pengikutnya (klien). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada kliennya.

Pada umumnya, relasi patron-klien terjadi secara intensif pada suatu masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan kelangkaan sumber daya ekonomi yang kompleks, seperti halnya masyarakat nelayan di daerah Pesisir Jeneponto. Di daerah pedesaan dan pinggiran kota yang berbasis perikanan, seorang patron (bapak buah) akan membantu klien (anak buah) kemudahan akses pada peluang kerja di sekor perikanan, dalam kerangka mengatasi kebutuhan mendadak klien, atau meringankan beban utang klien pada pelepas uang. Klien menerima kebaikan tersebut sebagai ”hutang budi”, menghargai, dan berkomitmen untuk membantu patron dengan sumberdaya jasa tenaga yang mereka miliki.

Ketika hubungan patronase terutama digunakan kepada hubungan ekonomi seperti dalam perikanan apakah itu pertambakan, maupun penangkapan ikan, dan perdagangan laut maka istilah yang umum digunakan di Sulawesi Selatan adalah pinggawa untuk patron dan sawi untuk klien. Kata

pinggawa disamakan dengan „pemimpin‟ atau „bos‟. Istilah itu digunakan untuk

menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang luas antara atasan dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Istilah sawi adalah pelengkap pinggawa, yang bisa ditafsirkan sebagai bawahan atau orang yang memiliki hubungan pribadi dengan atasan. Justru karena adanya hubungan pribadi, maka

pinggawa kerap merujuk kepada sawi mereka sebagai anaq-anaq (anak), anaq guru (murid atau pengikut) atau tau (orang).

Secara singkat dapat dikemukakan pola-pola relasi patron-klien dalam kaitannya dengan teori stratifikasi sebagaimana dikemukakan oleh Legg (1983:10-29) bahwa pada dasarnya hubungan patron-klien berkenaan dengan: (a) hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama, (b) hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity), (c) hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan dan saling memberi dan menerima. Sementara menurut Scott (1993:8-10) bahwa sumber daya yang dipertukarkan dalam hubungan patron-klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari masing-masing pihak.

Kategori-kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian: bantuan penghidupan subsistensi dasar, jaminan krisis subsistensi, perlindungan

(23)

22 dari ancaman luar terhadap klien, dan memberikan sumbangan untuk kepentingan umum. Sebaliknya, arus barang dan jasa dari klien ke patron pada umumnya dengan menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya.

Patron-klien merupakan sebuah pranata yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas nelayan, yaitu pertama golongan pemilik kapal (modal ekonomi) dikenal dengan sebutan pinggawa yang berperan sebagai patron. Kedua, yaitu golongan komunitas nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga ini biasanya dikenal dengan sebutan buruh yang berperan sebagai klien. Adanya saling percaya diantara beberapa golongan komunitas nelayan tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial.

Unsur-unsur sosial yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu), juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh dan warga pesisir yang kurang mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung nelayan.

Para patron ini memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat nelayan. Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan relasi sosial horisontal di antara mereka merupakan urat-urat struktur sosial masyarakat nelayan.

Dalam aktivitas ekonomi perikanan tangkap di kalangan nelayan di Pesisir Jenepoto misalnya, terdapat tiga pihak yang berperan besar, yaitu pedagang perantara, nelayan pemilik perahu, dan nelayan buruh. Ketiga pihak terikat oleh hubungan kerja sama ekonomi yang erat. Pedagang perantara menyediakan bantuan dan pinjaman (uang) ikatan untuk nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik menyediakan bantuan dan pinjaman ikatan kepada nelayan buruh. Hubungan kerja sama ekonomi di antara mereka diikat oleh relasi patron-klien.

Relasi sosial ekonomi berbasis patron-klien ini berlangsung intensif dan dalam jangka panjang. Relasi sosial ekonomi akan berakhir jika terjadi persoalan yang tidak bisa diatasi di antara mereka, sehingga pihak nelayan pemilik dan nelayan buruh harus melunasi utangutangnya kepada pedagang perantara. Sedemikian dalamnya relasi patron-klien mendasari aktivitas ekonomi nelayan, sehingga aktivitas ekonomi nelayan serupa ini kerapkali disebut sebagai organisasi ”ekonomi patron-klien”.

Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi patron-klien juga terjadi intensif di kampung-kampung nelayan yang tingkat kemiskinannya tinggi. Sebagai contoh, dalam jaringan sosial berbasis hubungan ketetanggaan, orang-orang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau pihak lainnya) dan memiliki sumber

(24)

23 daya ekonomi lebih dari cukup akan membantu tetangganya yang kekurangan. Biasanya bantuan tersebut berupa barang-barang natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patron-klien ini merupakan upaya menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan masyarakat nelayan dapat diminimalisasi.

Hubungan patron-klien sebagaimana dimaksud senantiasa menjadi fenomena perdebatan antara hubungan yang bersifat eksploitasi dan hubungan bersifat resiprositas. Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada sementara individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi, yaitu pertama, harus dilihat sebagai satu tata hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga; adanya pihak yang dieksploitasi ,mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Sedangkan resiprositas menurut Scott (1981:255) mengandung prinsip bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima menciptakan, bagi si penerima, satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang setidak-tidaknya sebanding dikemudian hari.

Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat-masyarakat tradisional (Scott, 1981:255). Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaranyang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil. Realitas sosial serupa ini, dalam konteks masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto disebut sebagai pertukaran sosial antara pinggawa - petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi.

Pinggawa dengan asset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang cenderung berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh pinggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas atau hubungan sosial ekonomi timbal-balik. Sebab, hubungan pinggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, di samping hubungan pinggawa - petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat yang dapat berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu.

Wilayah Kabupaten Jeneponto memiliki tujuh kecamatan berbatasan langsung laut dengan panjang pantai berkisar 114 km. Sebagian masyarakat

(25)

24 menggantungkan diri pada sektor nelayan. Selain pekerjaan utama sebagai nelayan, pertanian ladang menjadi alternatif sumber ekonomi rumah tangga, ketika musim istirahat penangkapan tiba. Mobilitas musiman juga menjadi rutinitas bagi sebagian besar anak-anak nelayan seperti ke Kota Makassar mencari nafkah.

Dengan demikian, aktivitas masyarakat pada wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya melibatkan diri menjadi petani rumput laut sebagai alternatif pekerjaan. Karakteristik pekerjaan baru ini memiliki pola dan bentuk kegiatan yang sangat berbeda dari nelayan tangkap, baik dari aspek pengelolaan, produksi, penguasaan aset dan permodalan. Melakukan pekerjaan sebagai petani rumput laut telah berlangsung kurang lebih lima belas tahun, namun dilihat dari aspek makro menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya masih menghadapi kendala kemiskinan dengan berbagai karakteristik sosial ekonomi yang melatar belakanginya.

Menilik situasi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Pesisir Jeneponto serupa itu peran pinggawa-sawi dalam kehidupan kelompok nelayan amat lah menentukan dan memberi makna. Karena itu, perkembangan masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto ke depan sedikitbanyaknya ditentukan oleh eksistensi pinggawa-sawi dalam konteks ketenagakerjaan. Keberadaan ini tentunya lagi amat berbeda dengan hubungan yang dijalin dalam konteks kelompok nelayan tangkap terhadap kelompok/masyarakat petani rumput laut yang muncul tidak berdasarkan konteks budaya setempat. Keberadaan petani rumput laut lebih ditentukan oleh adanya hubungan ekonomi pasar yang bergantung pada ekonomi uang.

Berdasarkan uraian di atas, tampaknya masyarakat pesisir baik di Kabupaten Cirebon maupun Kabupaten Jeneponto yang berhubungan dengan pencaharian sebagai nelayan tradisional dan modern ternyata memiliki karakteristik sosial ekonomi yang tidak berbeda, yaitu umumnya mereka berpendidikan rendah, sedikit memiliki ketrampilan di luar sektor perikanan, miskin dan memiliki modal usaha yang sedikit untuk dapat mengembangkan kegiatan disektor ekonomi produktif di bidang perikanan.

Kondisi serupa itu, bisa terjadi karan begitu kuatnya tekanan struktural yang dialami oleh masyarakat pesisir di kedua tempat ini. Dalam konteks itu, lebih banyak berkaitan dengan ketidakmampuan menghadapi nelayan yang menggunakan teknologi modern. Karena nelayan yang modern bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena daya jangkaun pencarian ikan lebih jauh, sementara nelayan tradisional terbatas wilayahnya. Hal ini berakibat nelayan tradisional tidak memiliki posisi tawar -menawar (bargaining position) dalam menentukan harga ikan. Karena itu, kendala-kendala yang dialami oleh nelayan untuk meningkatkan dapat kesejahteraan hidupnya, adalah: (1) kondisi internal, yang dicirikan dengan nelayan yang tidak mempunyai modal, teknologi dan ketrampilan untuk meningkatkan nilai tambah pada hasil tangkapan ikannya; (2) kondisi eskternal, yang dicirikan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Suatu angket dikatakan reliabel (andal) jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Sebagai contoh jika seseorang

Dihipotesiskan bahwa wanita yang berpendidikan menginginkan keluarga berencana yang efektif, tetapi tidak rela untuk mengambil resiko yang terkait dengan sebagai metode

Tujuan dari proses penciptaan karya ini adalah sebagai berikut: menjadikan tumbuhan tempuh wiyang sebagai sumber ide penciptaan motif batik kain panjang serta

Dalam Pemerintahan Desa ini apapun kegiatannya yang termasuk dalam kegiatan Pembangunan, penggunaan ADDnya, itu semua melalui Peraturan Desa yang telah disetujui oleh

Nilai  1 = 0,543 artinya variabel bebas X1 yaitu lingkungan belajar di sekolah mempunyai pengaruh positif terhadap variabel terikat (Y) yaitu prestasi belajar siswa

Hasil penelitian adalah sebagai berikut: (1) Dasar pertimbangan hakim pengadilan negeri militer dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada anggota TNI yang melakukan tindak

Untuk jawaban siswa soal 4, tidak didapatkan hasil apapun karena siswa kategori disposisi tinggi, sedang maupun rendah mengalami kesulitan dalam menjawab soal tersebut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa RC6 dapat digunakan untuk mengamankan basis data, dimana data yang terenkripsi dalam basis data keuangan dapat dideskripsi