• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYESUAIAN SOSIAL PENDERITA RETARDASI MENTAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENYESUAIAN SOSIAL PENDERITA RETARDASI MENTAL."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PENYESUAIAN SOSIAL

PENDERITA RETARDASI MENTAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S. Psi)

Nurul Choiriyah B77209159

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Nurul Choiriyah B77209159

Penyesuaian sosial penderita retardasi mental

Penyesuaian adalah proses yang dilakukan individu pada saat menghadapi situasi dari dalam maupun dari luar dirinya. Bentuk penyesuaian sosial difokuskan pada munculnya penyesuaian diri terhadap sosialnya di berbagai kelompok (fenomena pergaulan terhadap bermacam-macam kelompok teman), yaitu mengenai bagaimana bentuk nyata perilaku penyesuaian sosialnya sebagai bentuk upaya untuk kelangsungan hidupnya. Subjek N, gadis 29 tahun yang kesehariannya adalah seorang pengamen. Jika dilihat secara fisik, dia tampak seperti seorang yang baru memasuki masa remaja dengan usia sekitar 15-19tahunan. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pada data pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia tahun 2009, dilihat dari kelompok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang keterbelakangan mental adalah 62.011 orang.

(7)

ABSTRACT

Nurul Choiriyah B77209159

Adjustment social patients mental retardation

Adjustment is the processby the individual in the face of the situation from within and from outside. Forms of social adjustment focused on the emergence of adjustment to soaialnya in various groups (the phenomenon of interaction between the various groups of friends), which is about how the shape of the real behavior of social adjustment as an effort for survival.Subject N, 29-year girl who daily is a musician. If seen physically, he looks like a new person enters adolescence around the age of 15-19 years. The approach used in this study is a qualitative approach.In the main data Schools throughout Indonesia in 2009, seen from the school-age group, the number of people in Indonesia who bear the mental retardation is 62 011 people.

(8)

DAFTAR ISI

E. KEASLIAN PENELITIAN ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL 1. PENYESUAIAN SOSIAL a. Pengertian Penyesuaian Sosial... 17

b. Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ... 20

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial ... 24

d. Keberhasilan dan Kegagalan Penyesuaian Sosial Anak ... 28

B. KONSEP RETARDASI MENTAL 1. Pengertian Retardasi Mental ... 31

2. Klasifikasi Retardasi Mental (PPDGJ III)... 32

3. Etiologi Retardasi Mental ... 34

4. Faktor penyebab terjadinya Retardasi Mental... 36

(9)

1. Wawancara ... 46

2. Observasi ... 48

3. Dokumentasi ... 49

E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 50

F. KEABSAHAN DATA ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN A. DESKRIPSI SUBJEK ... 54

B. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Hasil Temuan... 56

2. Analisis Temuan Penelitian ... 73

C. PEMBAHASAN... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 94

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri ataumencukupi

kebutuhan sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial artinyamanusia sebagai warga

masyarakat. Meskipun manusia mempunyaikedudukan dan kekayaan, dia selalu

membutuhkan manusia lain. Setiapmanusia cendrung untuk berkomunikasi, berinteraksi,

dan bersosialisasidengan manusia lain. Dalam sosialisasi inilah manusia selalu

mengadakanpenyesuaian dalam lingkungan sekitarnya. Namun tidak sedikit dari

merekayang mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial.

Manusia senantiasa bergantung atau berinteraksi dengan sesamanya.Dengan

demikian, maka dalam kehidupan lingkungan sosial manusiasenantiasa terkait dengan

hubungan sosial antara individu manusia, hubungan sosial antarkelompok, hubungan

sosial manusia dengan lingkungan hidup dan alamsekitarnya, , dan berbagai hal yang

timbul akibat aktivitas manusia seperti perubahan sosial. Secara sosialsebenarnya

manusia merupakan makhluk individu dan sosial yangmempunyai kesempatan yang sama

dalam berbagai hidup dan kehidupandalam masyarakat. Artinya setiap manusia memiliki

hak, kewajiban dankesempatan yang sama dalam menguasai sesuatu, misalnya

bersekolah,melakukan pekerjaan, bertanggung jawab dalam keluarga serta

berbagaiaktivitas ekonomi, politik dan bahkan beragama.

Keberhasilan menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggal

dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan seorang penderita retardasi mental

(11)

menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialterlihat dari ketidakpuasan terhadap diri

sendiri dan lingkungan sosial sertamemiliki sikap-sikap yang menolak realitas dan

lingkungan sosial.Artinya hal tersebut merupakan modal penting bagi masa depan

kehidupan dirinya dan keluargnya dimana orang-orang atau warga yang ada dilingkungan

tempat tinggalnya merupakan orang-orang atau warga yang memiliki karakter yang

berbeda-beda, dan yang belum dapat dipastikan apakah orang-orang atau warga tersebut

bisa menerima keberadaannya atau sebaliknya akan mengucilkannya.

Tidak hanya masyarakat yang harus menerima keberadaan penderita retardasi

mental yang termasuk dalam disabilitas ini, melainkan juga pemerintah yang harus turut

serta mengatur para disabilitas tersebut termasuk penderita retardasi mental. Namun

sebelum itu, pemerintah harus mendata dahulu jumlah penderita retardasi mental agar

bisa mengetahui dan menemukan penanganan yang tepat untuk mereka.

Namun pada realitasnya, pendataan yang terjadi di Indonesia masih dalam

masalah. Data yang dimiliki BPS tidak update dan belum ada data baru pada tahun-tahun

akhir ini.

Adapun data yang diperoleh dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

bahwa Prevalensi retardasi mental dari dari populasi umum sekitar 1-3%. Rasio laki-laki

dan perempuan yaitu 1,5:1. 85% dari seluruh kasus merupakan kasus Ringan. (Wikipedia

Indonesia).

Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di indonesia 1-3

persen penduduknya menderita kelainan ini.4 Insidennya sulit di ketahui karena retardasi

metal kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana

(12)

puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada

laki-laki dibandingkan dengan perempuan. (Widodo,2009).

Pada data pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia tahun 2009, dilihat dari

kelompok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang

keterbelakangan mental adalah 62.011 orang. Dengan perbandingan 60% diderita anak

laki-laki dan 40% diderita anak perempuan. Dari jumlah tersebut anak yang terkena

retardasi mental sangat berat disebut idiot sebanyak 2,5%, anak retardasi mental berat

sebanyak 2,8%, retardasi cukup berat disebut imbisil debil profound sebanyak 2,6%,

anak retardasi mental ringan atau lemah pikiran disebut pander debil moyen sebanyak

3,5% dan sisanya disebut anak dungu. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial

Provinsi Bengkulu tahun 2008 jumlah penyandang cacat usia 0-17 tahun yang ada

berjumlah 1732 orang. Dari total jumlah tersebut 31, 93% atau 553 orang adalah

penderita retardasi mental (RM). Penyandang cacat retardasi mental tersebut tersebar di

10 Kabupaten & Kota yang ada di Provinsi Bengkulu. Sedangkan data yang didapat dari

SLB Dharma Wanita Provinsi Bengkulu tercatat jumlah anak-anak RM sebanyak 81

orang terdiri dari : 62 orang tingkat SD, 8 orang tingkat SMP & 11 orang tingkat SMK.

(Sigite, 2012).

Ledia Hanifa menambahkan, gangguan kejiwaan dapat juga dikategorikan sebagai

penyandang disabilitas. Akibatnya, 80% penyandang disabilitas di Indonesia yang saat ini

sekitar 11-13% dari jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS, itu rentan

diskriminasi dan tindak kriminal. "Ini temuan komisi VIII. Makanya, ini semakin

(13)

Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1999) menyatakan bahwa penyesuaian

sosial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain

pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Hurlock ada beberapa

kriteria untuk mencapai penyesuaian sosial yang baik, yaitu penampilan nyata, perilaku

sosial yang ditampilkan individu sesuai dnegan standart kelompok. Penyesuaian diri

terhadap kelompok,individu mampu menyesuaikan diri terhadap berbagai kelompok.

Sikap sosial, individu dapat menunjukkan sikap yang menyenangkan bagi orang lain

maupun bagi partisipasi sosialnya. Kepuasan pribadi, individu merasa puas terhadap

kontak sosialnya dan terhadap peran sosial yang dihadapi.

Senada dengan yang dikemukakan Schneider 1964:454 (dikutip dari Nurdin,

2009) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa: Social adjustment signifies the

capacity to react effectively and wholesomely to social realities, situation and relations do

that the requirement for social living are fulfilled in an acceptable and satisfactory

manner. Penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk bereaksi secara efektif dan sehat

terhadap situasi, realitas dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi

dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

Maksud Schneider (1964) diatas penyesuaian sosial adalah kemampuan individu

untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial

yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan

memuaskan. Penyesuaian sosial meliputi penyesuaian dirumah atau eluarga, disekolah,

dan dimasyarakat yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya,

perkembangan dan kematangan, determinasi psikologi, kondisi lingkungan rumag,

(14)

Meichiati (1983) menyebutkan penyesuaian sosial adalah usaha untuk

menciptakan situasi dan kondisi yang serasi antara seseorang dengan masyarakat

sekitarnya sehingga terjadi hubungan yang bertimbal balik yang harmonis antara

keduanya. Penyesuaian sosial dapat berlangsungkarena ada dorongan manusia untuk

memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah untuk mencapai keseimbangan

antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada dalam dirinya.

Wolman (dalam Rahmawati, 2001), menjelaskan bahwa penyesuaian sosial

adalah suatu kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan, baik yang bersifat fisik

maupun sosial sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis dengan lingkungan.

Menurut Schneiders (1991), dalam melakukan penyesuaian sosial terdapat

faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (a) Faktor internal dan (b) Faktor eksternal.

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam individu. Faktor

internal yang termasuk di dalamnya adalah emosi, rasa aman, ciri pribadi,

penerimaan diri, inteligensi dan perbedaan jenis kelamin.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar individu. Adapun

faktor eksternal yang mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan sekolah,

lingkungan masyarakat dan budaya.

Hurlock (1990) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian sosial,

antara lain:

a. Penampilan nyata

(15)

c. Sikap sosial

d. Kepuasan pribadi .

Retardasi Mental merupakan keadaan anak dimana anak tersebut mengalami

hambatan sehingga tidak melalui perkembangan yang optimal (Somantri, 2006).

Retardasi mental atau yang lebih dikenal dengan Retardasi Mental (mental retardation)

bukan merupakan suatu penyakit, melainkan hasil patologik didalam otak yang

menggambarkan keterbatasan intelektualitas dan fungsi adaptif (Armatas, 2009).

Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik

lainnya (Salmiah, 2010).

layaknya anak normal, hanya saja pada anak dengan retardasi mental mengalami

keterlambatan. Pada anak retardasi mental harus diperhatikan usia mentalnya, karena

biasanya tidak sesuai dengan usia mentalanak normal. (Semium,2006).

Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia,

termasuk temuan klinis, perilaku adaptif dan hasil tes psikometrik. Untuk diagnosis yang

jelas, harus terdapat penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan berkurangnya

kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial sehari-hari. Pada

pemeriksaan fisik anak dengan retardasi mental akan ditemukan beberapa kelainan

bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala seperti mikrosefali, hidrosefali dan

Sindrom Down (Salmiah, 2010). Temuan fisik yang ada dapat dilihat secara jelas tanpa

harus dilakukan pemeriksaan, akan tetapi untuk perkembangan bahasa, motorik dan

(16)

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya prestasi belajar anak

retardasi mental diantaranya lingkungan, motivasi orang tua, motivasi belajar anak,

sarana belajar dan media pembelajaran yang digunakan. Berhubungan dengan media

pembelajaran, ketidaktepatan media yang digunakan mengakibatkan anak sulit menerima

pelajaran, dan selanjutnya berakibat pada prestasi belajar yang rendah hingga tidak naik

kelas.

Berdasarkan uraian di atas bahwa keluarga ikut memegang peranan penting dalam

merawat anggota keluarga yang sakit dalam hal ini reterdasi mental. Namun tidak hanya

keluarga saja, melainkan juga lingkungan yang ada disekitarnya. Diharapkan masyarakat

pun yang ikut sadar akan keberadaan seseorang yang kerkebutuhan khusus ini juga akan

memiliki kemauan untuk memberikan perhatian kepada mereka serta sebisa mungkin

membantu mereka untuk bisa bertahan dalam kehidupan sehari-hari.

Sehingga hal ini sangatlah perlu untuk diteliti karena saat ini banyak masyarakat

yang mengabaikan begitu saja terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan seperti

penyandang retardasi mental. Bahkan masyarakat luas banyak memandang mereka

bukanlah orang yang penting untuk diurus. Dan untuk memunculkan pandangan baru,

cara pertama adalah mengenalkan kepada masyarakat dan juga pemerintah dengan

adanya penelitian ini bahwa mereka memerlukan perhatian serta penanganan khusus agar

hidup mereka lebih bermakna.

Yang membuat lebih penting lagi selain kepedulian masyarakat akan keberadaan

mereka adalah efek-efek atau bahaya yang dimungkinkan terjadi ketika penderita

retardasi mental tersebut tidak segera ditangani. Efek yang paling dasar seorang anak

(17)

keadaan anak tersebut pada masa awal kanak-kanaknya. Retardasi mental yang ringan

bisa jadi terjadi hanya sementara. Anak-anak mungkin akan didiagnosa sebagai retardasi

mental pada awalnya, namun pada tahun-tahun usia berikutnya, mungkin kelainannya

akan dapat lebih dispesifikan, contohnya gangguan komunikasi dan autism.

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana

kemampuan subjek dalam melakukan usaha penyesuaian sosial nampak pada beberapa

sikap dan perilakunya mulai dari masa sekolah hingga dewasa. Ketika masyarakat

umunya banyak yang membicarakan keluarga penderita retardasi mental dan

menganggap hal tersebut sebagai aib keluarga, ternyata masih ada seorang wanita

penderita retardasi mental yang mampu bertahan hidup dengan kegigihannya

ditengah-tengah masyarakat yang menghinanya. Seorang perempuan itu berusia 29 tahun yang

tinggal diwilayah Krian, Sidoarjo. Pada usia bayi belum nampak ciri-ciri penderita

retardasi mental, namun pada usia balita dan ketika menginjak sekolah jenjang SD,

ciri-ciri tersebut nampak jelas yang terlihat dari pertumbuhan fisik, intelegensi, dan sikapnya.

Telah disebutkan diatas bahwa faktor yang mempengaruhi rendahnya prestasi

belajar anak retardasi mental salah satunya ialah lingkungan. Pada masa sekolah ia selalu

dihina oleh teman-temannya, sehingga secara tidak langsung psikisnya terganggu dan

pada akhirnya ia sering tidak naik kelas.

Adapula teori yang mengatakan bahwa kemampuan kognitif anak retardasi mental

memiliki karakteristik sukar berpikir abstrak seperti berhitung, menulis, dan membaca.

Namun kemampuan tersebut masih dibatasi oleh tingkatan tinggi rendahnya kategori

(18)

Yang terjadi kenyataannya pada subjek ini ialah ia masih mempunyai kemampuan

berpikir, berhitung, menulis, dan membaca. Hal itu dapat dibuktikan dari hasil observasi

awal yaitu ia mampu berpikir bagaimana mencari uang untuk keperluan sehari-harinya

yaitu dengan mengamen setiap hari didesa terdekat diwilayah ia tinggal. Laluia juga

mampu berhitung seberapa banyak ia mendapatkan uang dari hasil mengamen lalu ia

pergunakan uang itu untuk membeli kebutuhan sehari-harinya. Selanjutnya ia juga

mampu menulis dalam bahasa indonesia, dan ketika diminta untuk menulis arab ia juga

bisa walaupun masih melihat contoh tulisan arab yang akan ditirunya. Bahkan akhir-akhir

ini ia sedang menempuh pembelajaran agama yaitu mengaji dipondok pesantren dekat

rumahnya. Yang terakhir ia juga mampu membaca bahkan membacakan surat-surat

pendek yang ia hafal selama ini.

Pada anak retardasi mental ringan (debil) memiliki ciri-ciri diantaranya dapat

dilatih dan dididik, tidak dapat dididik di sekolah biasa tetapi dapat dididik di sekolah

luar biasa. Sehingga tingkatan retardasi mental yang dimiliki subjek ini bisa dikatakan

masih tingkatan ringan. Karena ia masih mampu melakukan beberapa aktifitas yang

menggambarkan bahwa ia mampu hidup mandiri dengan kemauannya untuk terus

belajar,berlatih, dan dididik.

Dari semua bukti kemampuan subjek yang selama ini mampu membuat ia

bertahan hidup mandiri, maka dapat dilihat pula bagaimana proses penyesuaian sosialnya

dalam melakukan aktifitas bermasyarakat dari fenomena pergaulan terhadap

bermacam-macam kelompok teman.. Dan dengan kemampuannya itu apakah ia pantas untuk

mendapatkan penanganan lebih lanjut, serta bagaimana efek yang dapat muncul itu masih

(19)

Sehingga peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana proses

penyesuaian sosial subjek tersebut hingga ia mampu melakukan semua aktifitas-aktifitas

nya dengan mandiri bahkan terus mengalami peningkatan kemampuan yang bermanfaat

bagi dirinya.

B. FOKUS PENELITIAN

Bentuk penyesuaian sosial difokuskan pada munculnya penyesuaian diri terhadap

soaialnya di berbagai kelompok (fenomena pergaulan terhadap bermacam-macam

kelompok teman), yaitu mengenai bagaimana bentuk nyata perilaku proses penyesuaian

sosialnya sebagai bentuk upaya untuk kelangsungan hidupnya.

C. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui proses mempertahankan kelangsungan hidupnya beserta

bentuk perilaku penyesuaian sosialnya.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan teori keilmuan, khususnya dibidang psikologi sosial, psikologi klinis,

dan psikologi perkembangan.

2. Secara Praktis

(20)

a. Sebagai bahan masukan agar lebih memahami penderita retardasi mental

terutama dalam aspek psikologisnya.

b. Sebagai informasi kepada masyarakat bahwa seorang penderita retardasi mental

bukan semata-mata kelainan psikologis yang harus dihindari, melainkan harus

diperhatikan dan dibina agar menjadi individu yang mampu menjalankan tugas

perkembangannya dengan baik.

c. Sebagai bahan masukan untuk memperoleh data yang akurat mengenai kriteria

retardasi mental dan bagaimana cara untuk melakukan penyesuaian sosial, serta

penanganannya.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Pada hasil penelitian dari jurnal yang sudah ada bahwa bentuk penyesuaian mulai

dari remaja, dewasa, individu yang sehat, maupun individu yang abnormal itu sangatlah

beragam, seperti yang dilakukan Rizky Ildiyanita dkk, bahwa terdapat perbedaan

penyesuaian sosial remaja antara siswa kelas akselerasi dipondok pesantren dan siswa

kelas akselerasi disekolah umum. Penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi

dipondok pesantren lebih tinggi dibanding siswa akselerasi disekolah umum. Secara

teoritik dengan adanya keterbatasan lingkup sosial dikarenakan kebijakan peraturan,

siswa dipondok pesantren akan lebih sedikit intensitas pergaulannya dengan lingkungan

masyarakat dibandingkan dengan siswa disekolah umum. Namun pada penelitian ini

membuktikan bahwa memiliki kesempatan untuk bergaul dengan masyarakat luas tidak

lantas membuat siswa tersebut menggunakan kesempatan itu dan menjadikannya

(21)

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Nurdin, menyatakan bahwa berhasil

ataupun gagalnya siswa dalam proses penyesuaian sosial disekolah akan sangat berkaitan

erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang dapat

berpengaruh kuat terhadap proses peneyesuaian siswa adalah kecerdasan emosional.

Siswa sebagai individu dalam lingkungan sekolah dituntut untuk mampu menyesuaikan

diri dengan lingkungan dimana ia berada dengan keadaan lingkungan disekitarnya.

(Nurdin, 2009).

Penelitian Retno Widianingsih dan Nilam Widyarini menghasilkan terdapat

peranan yang signifikan dari dukungan orangtua terhadap penyesuaian diri remaja, lebih

detail ditunjukkan peranan dukungan orangtua terhadap penyesuaian diri remaja mantan

pengguna narkoba sebesar 36,1%. Penelitian ini berdasarkan rentang usia 20-21 pada

remaja mantan pengguna narkoba lebih besar mendapatkan dukungan dari orangtua

dibandingkan remaja mantan pengguna narkoba usia 18-19. Hal tersebut terlihat jelas

bahwa di usia 20-21 dukungan orangtua sangat lebih dibutuhkan karena usia 20-21

biasanya mantan pengguna membutuhkan dukungan yang besar untuk dapat beradaptasi

dengan lingkungan luar. (Retno dan Nilam, 2009).

Dari beberapa penelitian diatas tersebut, tentang penyesuaian sosial yang terjadi

pada remaja disekolah umum maupun dipondok pesantren, serta bagaimana dukungan

orangtua yang menyertainya, dimana penelitian penyesuaian sosial yang telah dilakukan

oleh para peneliti diatas ialah pada subjek remaja yang normal, peneliti belum

menemukan penelitian yang meneliti pada subjek remaja maupun dewasa yang abnormal,

salah satunya seorang penderita retardasi mental. Sehingga peneliti berniat

(22)

Penderita Retardasi Mental”. Dengan demikian permasalahan yang peneliti angkat

merupakan masalah yang asli, dalam pengertian tidak mengulang ataupun meniru

penelitian pihak lain.

Berdasarkan paparan dari hasil penelusuran diatas, belum ada penelitian yang

spesifik membahas penyesuaian sosial pada seorang penderita retardasi mental. Sehingga

dalam penelitian ini akan membahas sosok penderita retardasi mental dalam usahanya

melakukan penyesuaian sosial guna mempertahankan kelangsungan hidupnya ditengah

masyarakat yang banyak mengucilkannya. Fenomena ini terlihat sangat menarik untuk

diteliti lebih lanjut karena sangat berkaitan erat dengan kepedulian kita sebagai makhluk

sosial terhadap individu-individu yang banyak dikesampingkan oleh masyarakat luas.

Sehingga yang menjadi fokus dalam kajian peneliti adalah segi pergaulannya terhadap

bermacam-macam kelompok teman yang mempengaruhi penyesuaian sosialnya.

Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda dengan penelitian

sebelumnya, yaitu menggunakan teori penyesuaian sosial dengan empat kriteria yang

disebutkan oleh Hurlock yaitu 1).Penampilan nyata, 2).Penyesuaian sosial terhadap

berbagai kelompok, 3).Sikap sosial, 4).Kepuasan pribadi.

Sedangkan metode yang dilakukan juga berbeda yaitu metode kualitatif yang

menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan

dilakukan dengan jalan melibatkan beberapa metode yang ada. (Denzin dan Lincoln

(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian Sosial

Penyesuaian adalah proses yang dilakukan individu pada saat menghadapi

situasi dari dalam maupun dari luar dirinya. Pada saat individu mengatasi

kebutuhan, dorongan-dorongan, tegangan dan konflik yang dialami agar dapat

menghadapi kondisi tersebut dengan baik. Ada beberapa jenis penyesuaian antara

lain penyesuaian sosial.

Penyesuaian sosial merupakan salah satu istilah yang banyak merujuk

pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan

lingkungan sekitar, serta hubungannya dengan orang-orang disekitarnya.

Penyesuaian mengacu pada seberapa jauhnya kepribadian individu

berfungsi secara efisien dalam masyarakat (Hurlock, 2005). Penyesuaian adalah

usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada

lingkungannya (Sunarto dan Hartono, 2006). Adjustment (penyesuaian)

merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan

tuntutan lingkungan (Davidoff, dalam Mu’tadin, 2002).

Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk

menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok

(24)

baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin

hubungan secara diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang

tidak dikenal, sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan.

Meichiati (1983) menyebutkan penyesuaian sosial adalah usaha untuk

menciptakan situasi dan kondisi yang serasi antara seseorang dengan masyarakat

sekitarnya sehingga terjadi hubungan yang bertimbal balik yang harmonis antara

keduanya. Penyesuaian sosial dapat berlangsungkarena ada dorongan manusia

untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah untuk mencapai

keseimbangan antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada dalam dirinya.

Wolman (dalam Rahmawati, 2001), menjelaskan bahwa penyesuaian

sosial adalah suatu kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan, baik yang

bersifat fisik maupun sosial sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis

dengan lingkungan.

Keseluruhan proses hidup dan kehidupan individu akan selalu diwarnai

oleh hubungan dengan orang lain, baik itu dengan lingkup keluarga, sekolah,

maupun masyarakat secara luas, sebagai makhluk sosial, individu selalu

membutuhkan pergaulan dalam hidupnya denga orang lain, pegakuan, dan

penerimaan terhadap dirinya dari orang lain. (dikutip dari Nurdin, 2009:87).

Schneider (1964:454) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa:

Social adjustment signifies the capacity to react effectively and wholesomely to

social realities, situation and relations do that the requirement for social living

(25)

Penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk bereaksi secara efektif dan

sehat terhadap situasi, realitas dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup

bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

Penyesuaian sosial akan menjadi penting manakala individu dihadapkan

pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan

orang lain. Dan hampir sepanjang kehidupannya seseorang selalu membutuhkan

orang lain untuk dapat berinteraksi satu sama lain.

Menurut Agustiani (2006), penyesuaian sosial merupakan penyesuaian

yang dilakukan individu terhadap lingkungan yang berada di luar dirinya, seperti

lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat.

Penyesuaian sosial pada anak menurut Oord, dkk (2002) meliputi

bagaimana anak tersebut berteman dengan teman sebayanya, baik di sekolah,

lingkungan rumah dan tempat tinggal, serta bagaimana anak mematuhi peraturan

sekolah, menghormati guru, dan lainnya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

penyesuaian sosial adalah kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri

dalam kelompok dan lingkungannya, serta memenuhi tuntutan baik yang bersifat

fisik maupun sosial sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis dengan

lingkungan.

2. Aspek-aspek Penyesuaian Sosial

Hurlock (1990) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian sosial,

(26)

a. Penampilan nyata

Over performance yang diperlihatkan individu sesuai norma yang

berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan

kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok tersebut.

b. Penyesuaian diri terhadap kelompok

Hal ini berarti bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri

secara baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya

maupun orang dewasa.

c. Sikap sosial

Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap

orang lain, ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan

baik dalam kegiatan sosial.

d. Kepuasan pribadi

Hal ini ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia

karena dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompoknya dan mampu

menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.

Menurut Schneiders (1964), penyesuaian social memiliki

beberapa aspek-aspek sebagai berikut:

1. Recognition adalah Menghormati dan menerima hak-hak orang lain.

Dalam hal ini individu tidak melanggar hak-hak orang lain yang

berbeda dengan dirinya, untuk menghindari terjadinya konflik sosial.

(27)

hak orang lain maka orang lain akan menghormati dan menghargai

hak-hak kita sehingga hubungan sosial antar individu dapat terjalin dengan

sehat dan harmonis.

2. Participation adalah Melibatkan diri dalam berelasi.

Setiap individu harus dapat mengembangkan dan melihara

persahabatan. Seseorang yang tidak mampu membangun relasi dengan

orang lain dan lebih menutup diri dari relasi sosial akan menghasilkan

penyesuain diri yang buruk. Individu ini tidak memiliki ketertarikan untuk

berpartisipasi dengan aktivitas dilingkungannya serta tidak mampu untuk

mengekspresikan diri mereka sendiri, sedangkan bentuk penyesuaian akan

dikatakan baik apabila individu tersebut mampu menciptakan relasi yang

sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif

dalam kegiatan sosial, serta menghargai nilai-nilai yang berlaku

dimasyarakat.

3. Social approval adalah Minat dan simpati terhadap kesejahteraan orang

lain.

Hal ini dapat merupakan bentuk penyesuaian diri dimasyarakat,

dimana individu dapat peka dengan masalah dan kesulitan orang lain

disekelilingnya serta bersedia membantu meringankan masalahnya. Selain

itu individu juga harus menunjukan minat terhadap tujuan, harapan dan

aspirasi, cara pandang ini juga sesuai dengan tuntutan dalam penyesuaian

keagamaan (religious adjustment).

(28)

Rasa saling membantu dan mementingkan orang lain merupakan

nilai-nilai moral yang aplikasi dari nilai-nilai tersebut merupakan bagian

dari penyesuaian moral yang baik yang apabila diterapkan dimasyarakat

secara wajar dan bermanfaat maka akan membawa pada penyesuaian diri

yang kuat. Bentuk dari sifat-sifat tersebut memiliki rasa kemanusian,

rendah diri, dan kejujujuran dimana individu yang memiliki sifat ini akan

memiliki kestabilan mental, keadaan emosi yang sehat dan penyesuaian

yang baik

5. Conformity adalah Menghormati dan mentaati nilai-nilai integritas hukum,

tradisi dan kebiasaan.

Adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati peraturan

dan tradisi yang berlaku dilingkungan maka ia akan dapat diterima dengan

baik dilingkungannya

Menurut Kartono (2000), aspek-aspek penyesuaian sosial adalah sebagai

berikut:

a. Memiliki perasaan afeksi yang kuat, harmonis dan seimbang, sehingga

merasa aman, baik budi pekertinya dan bersikap hati-hati.

b. Memiliki kepribadian yang matang dan terintegrasi baik terhadap diri

sendiri maupun orang lain, memiliki sikap tanggung jawab, berpikir

menggunakan rasio, memiliki kemampuan untuk mengontrol dan

memahami diri sendiri.

(29)

Berdasarkan penjelasan di atas, aspek-aspek yang digunakan dalam

penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian sosial menurut Hurlock dan

Schneider, yaitu penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap kelompok, sikap

sosial dan kepuasan pribadi; Recognition, Participation, Social approval,

Altruisme, Conformity.

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial

Individu selalu dihadapkan pada proses penyesuaian sosial pada proses

perjalanan hidupnya, baik terhadap keadaan baru, perubahan suasana ataupun

kebutuhan baru. Selama periode penyesuaian tersebut, individu tidak dapat lepas

dari pengaruh yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

Menurut Agustiani (2006), penyesuaian sosial yang dilakukan individu

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

a. Faktor fisik, yang meliputi keturunan, kesehatan, dan bentuk tubuh.

b. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi intelektual, sosial,

moral, kematangan emosional, dan lain-lain.

c. Faktor psikologi, yang meliputi pengalaman, frustasi, konflik yang dialami

individu dan faktor-faktor psikologis lain yang mempengaruhi

penyesuaian sosial.

d. Faktor lingkungan, meliputi lingkungan keluarga dan rumah.

(30)

Daradjat (1985) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi

penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:

a. Frustasi (tekanan perasaan)

Frustasi adalah suatu proses yang menyebabkan orang merasa akan

adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, atau

menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi

keinginannya. Frustasi yang dialami individu akan mempengaruhi

bagaimana individu tersebut berperilaku sosial.

b. Konflik (pertentangan batin)

Konflik adalah terdapatnya dua macam dorongan atau lebih, yang

berlawanan atau bertentangan satu sama lain dan tidak mungkin dipenuhi

dalam waktu yang sama.

c. Kecemasan (anxiety)

Kecemasan adalah perwujudan dari berbagai proses emosi yang

bercampur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan

(frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan ini tidak secara

langsung dapat mempengaruhi penyesuaian sosialnya, tetapi lebih kepada

hubungan lingkungan sosialnya.

Menurut Schneiders (1991), dalam melakukan penyesuaian sosial terdapat

faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (a) Faktor internal dan (b) Faktor

eksternal.

(31)

Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam individu.

Faktor internal yang termasuk di dalamnya adalah emosi, rasa aman, ciri

pribadi, penerimaan diri, inteligensi dan perbedaan jenis kelamin.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar individu.

Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan

sekolah, lingkungan masyarakat dan budaya.

Mohammad Surya (1985:16) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian sosial sebagai berikut:

a. Kondisi jasmani yang meliputi pembawaan, susuna jasmaniah, sistem

syaraf, kelenjar otot, kesehatan, dan lainnya;

b. Kondisi perkembangan dan kematangan, meliputi perkembangan dan

kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional.

Sedangkan W.A Gerungan (1988:180) mengemukakan faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:

a. Peran keluarga yang meliputi status sosial ekonomi, kebutuhan keluarga,

sikap, dan kebiasaan orangtua dan status anak;

b. Peranan sekolah meliputi struktural dan organisasi sekolah, peranan guru

dalam kegiatan belajar mengajar (KBM);

c. Peranan lingkungan kerja misalnya lingkungan pekerjaan industri atau

(32)

d. Peranan media massa, besarnya pengaruh alat komunikasi seperti

perpustakaan, televisi, film, radio, dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah faktor internal yang meliputi

kecemasan, konflik, frustasi, emosi, rasa aman, ciri pribadi, penerimaan diri,

inteligensi dan perbedaan jenis kelamin, serta faktor eksternal yang meliputi

keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan budaya.

7. Keberhasilan dan Kegagalan Penyesuaian Sosial Anak

Keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam proses menyesuaikan diri

dengan kehidupan sosialnya berkaitan erat dengan faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

Dijelaskan oleh Hurlock (1993), bahwa arti penting penyesuaian sosial

bagi anak-anak adalah agar mereka dapat mempelajari berbagai keterampilan

sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan

orang lain baik teman maupun orang yang tidak dikenal, sehingga sikap orang

lain terhadap mereka menyenangkan. Anak yang berhasil melakukan penyesuaian

sosial dengan baik mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti

kesediaan untuk membantu temannya, meskipun mereka sendiri mengalami

kesulitan.

Menurut Hurlock (1993), penyesuaian sosial anak juga penting karena

(33)

cenderung menetap. Jadi upaya penerapan penyesuaian terhadap lingkungan

sosial anak kemungkinan untuk berhasil jauh lebih besar bila diletakkan selama

masa pra sekolah. Kedua, jenis penyesuaian sosial yang dilakukan anak-anak

meninggalkan ciri pada konsep diri mereka. Jadi, anak yang tidak berhasil

melakukan penyesuaian sosial akan mengalami ketidakbahagiaan dan konsep

dirinya terbentuk untuk tidak menyukai dirinya sendiri.

Sears, dkk (1992) menyatakan bahwa individu melakukan penyesuaian

sosial karena ingin diterima secara sosial oleh masyarakat dan ingin menghindari

celaan. Demikian pula dengan seorang anak, mereka dikatakan berhasil

melakukan penyesuaian sosial apabila mampu menghadapi masalah dan konflik

di sekolah maupun di lingkungan masyarakat dengan wajar. Jadi penyesuaian

sosial yang berhasil bukan berarti tidak memiliki masalah atau krisis sama sekali.

Menurut Hurlock (1993), selain orang tua, guru juga perlu menaruh

perhatian terhadap penyesuaian sosial murid-muridnya. Terbukti bahwa murid

yang dapat diterima dengan baik memiliki kemungkinan yang jauh lebih besar

untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya dibandingkan dengan

murid yang ditolak teman sekelasnya. Begitu juga sebaliknya, murid yang

berhasil melakukan penyesuaian sosial kecil kemungkinannya menjadi pengacau

di kelas dan suka membolos.

Seorang anak dikatakan telah melakukan penyesuaian sosial dengan baik

apabila anak tersebut dapat diterima di lingkungannya. Kriteria ini sesuai dengan

pendapat Hurlock (1993), bahwa penyesuaian sosial dikatakan benar apabila

(34)

bila individu berhasil dalam melakukan penyesuaian sosial, maka akan terbentuk

relasi sosial yang baik dengan orang lain, terbebas dari konflik dan perasaan yang

menekan, sehingga akan menimbulkan perasaan puas, superior, manambah harga

diri, serta memperlancar aktivitas psikis.

Anak yang mengalami kegagalan penyesuaian sosial dapat mengalami

perasaan tertekan. Hal ini didukung oleh pendapat Philips (dalam Rahmawati,

2001), yaitu anak dapat mengalami stress karena tidak dapat memenuhi tuntutan

sosial untuk menjalin hubungan dengan kelompoknya, berinteraksi dengan guru,

serta berartisipasi dalam kegiatan kelas.

Selanjutnya Hurlock (2004) menambahkan bahwa kegagalan penyesuaian

sosial di sekolah akan berakibat tidak baik seperti merasa tidak bahagia dan tidak

menyukai diri sendiri. Akibatnya anak akan mengembangkan sikap egois (self

centered), tertutup dan anti sosial (unsocial). Pemberian label “kuper atau kurang

pergaulan” sebagai ungkapan penilaian negatif akan diberikan apabila anak tidak

mampu melakukan penyesuaian sosial dengan baik.

Hurlock (2005) secara rinci menyimpulkan tanda-tanda bahaya yang

umumnya muncul akibat individu tidak mampu melakukan penyesuaian sosial,

antara lain:

a. Tidak bertanggung jawab.

b. Sikap agresif dan sangat yakin pada diri sendiri.

c. Perasaan tidak aman.

d. Merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang dikenal.

(35)

f. Terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasannya.

g. Mundur ke tingkat perilaku sebelumnya supaya diperhatikan.

B. KONSEP RETARDASI MENTAL 1. Pengertian Retardasi Mental

Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan inteligensi

yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa

anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan,

tetapi gejala yang utama ialah inteligensi yang terbelakang. Retardasi mental

disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna

mental (W.F. Maramis, 2005: 386).

Menurut buku saku PPDGJ III (Diagnosis Gangguan Jiwa) Retardasi

Mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhemti atau tidak

lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama

masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara

menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.

2. Klasifikasi Retardasi Mental (PPDGJ III)

a. Retardasi Mental Ringan (IQ 50-69)

IQ 50 – 69 dinilai “mampu didik”. Mereka biasanya dikenali saat

masuk sekolah (dan diberikan tes) dan membutuhkan pendidikan khusus.

Merupakan 85% dari jumlah penderita retardasi mental (tetapi ini adalah

(36)

membantu diri sendiri, dengan bantuan, walaupun mereka mempunyai

pertimbangan, sensitivitas sosial, dan tilikan yang terbatas.

b. Retardasi Mental Sedang (IQ 35-49)

IQ 35 – 49 merupakan 10% dari seluruh jumlah penderita retardasi

mental. Biasanya sudah dikenali saat tahun – tahun prasekolah. Meraka

dinilia (Mampu dilatih) dapat mempelajari ketrampilan kerja yang

sederhana, dapat membaca setingkat kelas 2 sekolah dasar dan berbicara

sederhana, dan dapat secara sebagian membantu diri sendiri di dalam

lingkungan panti. Mereka cenderung terlihat kikuk dan tidak

terkoordinasi.

c. Retardasi Mental Berat (IQ 20-34)

IQ 20 – 34merupakan 3% - 4% dari seluruh jumlah penderita

retardasi mental. Mereka termasuk penderita retardasi yang dependen :

mampu berbicara yang paling sederhana, tetapi membutuhkan suatu

institusi atau pengasuhan suportif yang intens. Sering ditemukan

malinformasi dan cacat fisik yang berat.

d. Retardasi Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20)

IQ di bawah 20 merupakan 1% dari seluruh jumlah penderita

retardasi mental. Mereka bergantung secara total kepada orang lain dan

biasanya mempunyai kerusakan neurologi yang bermakna, tidak dapat

(37)

3. Etiologi Retardasi Mental

Penyebab yang khas (biasanya biologik) diidentifikasikan pada kurang

dari 50 %, sebagian besar terdapat pada pasien dengan retardasi mental

sedang-sangat berat. Penyebab lain termasuk faktor – faktor lingkungan (misal, problem

pranatal dan perinatal, penyakit pada masa bayi, penelantaran psikososial,

malnutrisi), dengan suatu keterlibatan poligeni yang belum jelas pada beberapa

kasus. Retardasi sedang – sangat berat tersebar secara merata dan sama pada

semua lapisan sosial, sedangkan retardasi mental ringan (biasanya dari etiologi

sosiokultural) dianggap suatu gangguan yang bersifat familial (genetik atau

lingkungan) resiko terdapatnya retardasi mental pada seorang anak dengan

orangtua dan saudara kandung yang adalah kurang dari 2%, sedangkan jika kedua

orangtua dan saudara kandungnya menderita retardasi mental resikonya menjadi

sebesar 40%-70%.

a. Penyebab Biologis meliputi :

1. Kelainan kromosomal – banyak jenis termasuk sindrom down trisomi

21 merupakan kelainan yang terbanyak yang lazim terdapat pada ibu –

ibu dengan usia yang lebih tua 10%-16% dari jumlah penderita

retardasi mental sebagian besar menderita penyakit Alzheimer pada

usia sekitar 30-an atau 40-an)

2. Pewarisan faktor genetik yang dominan – Neurofibromatosis

(penyakit Von Recklinghausen), khorea Huntington (dengan awitan

(38)

3. Gangguan metabolik – Fenilketonuria (PKU) (deteksi dini sangat

penting), penyakit Hartup, intoleransi fruktosa, galaktosemia, penyakit

wilson, sejenis gangguan lipid, hipotiroidisme, hipoglikemia.

4. Gangguan pranatal – Rubela materna (terutama pada trimester

pertama), sifilis, toksoplasmosis, atau herpes simpleks,

penyalahgunaan alkohol pada ibu (sindrom fetal alkohol) dan

penggunaan beberapa obat (misal, talidomid), toksemia pada

kehamilan, eritoblastosis fetalis, malnutrisi pada ibu.

5. Trauma kelahiran – proses kelahiran yang sulit dengan trauma fisik

atau anoksia, prematuritas.

6. Trauma otak – tumor, infeksi (terutama ensefalitis, menigitis,

neonatal), kecelakaan, toksin (misal, plumbun, merkuri) hidrosefalus,

bermacam – macam jenis kelainan kranial.

b. Penyebab sosial menyebabkan sebagian besar retardasi mental ringan dan

meliputi tingkat pendidikan yang di bawah standard, deprivasi lingkungan,

penelantaran dan kekerasan pada masa kanak, dan aktivitas yang

terhambat. Singkirkan gangguan pekembangan pervasif, demensia, dan

skizofrenia residual

7. Faktor penyebab terjadinya Retardasi Mental

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Ke-1 (W.F.

Maramis, 2005: 386-388) faktor-faktor penyebab retardasi mental adalah sebagai

(39)

a. Infeksi dan atau intoksinasi

Infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat berakibat buruk pada

perkembangan janin, yaitu rusaknya jaringan otak. Begitu juga dengan terjadinya

intoksinasi, jaringan otak juga dapat rusak yang pada akhirnya menimbulkan

retardasi mental.

Infeksi dapat terjadi karena masuknya rubella, sifilis, toksoplasma, dll. ke

dalam tubuah ibu yang sedang mengandung. Begitu pula halnya dengan

intoksinasi, karena masuknya “racun” atau obat yang semestinya dibutuhkan.

b. Terjadinya rudapaksa dan / atau sebab fisik lain

Rudapaksa sebelum lahir serta trauma lainnya, seperti hiper radiasi, alat

kontrasepsi, dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan berupa

retardasi mental.

Pada waktu proses kelahiran (perinatal) kepala bayi dapat mengalami

tekanan sehingga timbul pendarahan di dalam otak. Mungkin juga karena terjadi

kekurangan oksigen yang kemudian menyebabkan terjadinya degenerasi sel-sel

korteks otak yang kelak mengakibatkan retardasi mental.

c. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi

Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan

metabolisme (misalnya gangguan metabolism karbohidrat dan protein), gangguan

pertumbuhan, dan gizi buruk termasuk dalam kelompok ini. Gangguan gizi yang

berat dan berlangsung lama sebelum anak berusia 4 tahun sangat mempengaruhi

perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan seperti

(40)

berusia 6 tahun, sesudah itu biarpun anak tersebut dibanjiri dengan makanan yang

bergizi, inteligensi yang rendah tersebut sangat sukar untuk ditingkatkan.

d. Penyakit otak yang nyata

Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat beberapa reaksi

sel-sel otak yang nyata, yang dapat bersifat degeneratif, radang, dst. Penyakit otak

yang terjadi sejak lahir atau bayi dapat menyebabkan penderita mengalamai

keterbelakangan mental.

e. Penyakit atau pengaruh prenatal

Keadaan ini dapat diketahui sudah ada sejak dalam kandungan, tetapi

tidak diketahui etiologinya, termasuk anomaly cranial primer dan defek

congenital yang tak diketahui sebabnya.

f. Kelainan kromosom

Kelainan kromosom mungkin terjadi pada aspek jumlah maupun

bentuknya. Kelainan pada jumlah kromosom menyebabkan sindroma down yang

dulu sering disebut mongoloid.

g. Prematuritas

Retardasi mental yang termasuk ini termasuk retardasi mental yang

berhubungan dengan keadaan bayi yang pada waktu lahir berat badannya kurang

dari 2500 gram dan/atau dengan masa kehamilan kurang dari 38 minggu.

h. Akibat gangguan jiwa yang berat

Retardasi mental juga dapat terjadi karena adanya gangguan jiwa yang

(41)

i. Deprivasi psikososial

Devripasi artinya tidak terpenuhinya kebutuhan. Tidak terpenuhinya

kebutuhan psikososial awal-awal perkembangan ternyata juga dapat

menyebabkan terjadinya retardasi mental pada anak.

C. PERSPEKTIF TEORITIS

Berdasarkan beberapa teori yang telah diuraikan diatas dapat dilihat bahwa

penyesuaian sosial sangat penting dalam masa perkembangan seseorang. Penyesuaian

sosial adalah sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain

pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya.

Seperti yang kita ketahui pula, penyesuaian pada lingkungan sosial dengan baik

tidak serta merta datang dengan sendirinya dalam kehidupan remaja, kemampuan

penyesuaian sosial ini di peroleh remaja dari bekalkemampuan yang telah dipejari dari

lingkungan keluarga, dan proses belajar dari pengalaman-pengalaman baru yang dialami

dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Sesuai dengan uraian teori di atas,

bahwasannya penyesuaian sosial juga dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.

Hurlock (1999) menerangkan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja

yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus

menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan

dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang

terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok teman sebaya

(42)

Schneiders (1964) mengemukakan batasan penyesuaian sosial sebagai usaha

individu dengan kemapuan kapasitas yang dimilikinya untuk bereaksi secara efektif dan

memadai terhadap realitas sosial adapun tujuan dari usaha tersebut adalah untuk

memenuhi tuntutan sosial dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan bagi dirinya

maupun bagi lingkungannya.

Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi

intelektual yang dibawah rata-rata dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang

ditemukan sebelum orang berusia 18 tahun (Kaplan & Sadock, 2010). Menurut King

seperti dikutip dalam Videbeck (2008).

Menurut King seperti dikutip dalam Videbeck (2008) gambaran penting retardasi

mental adalah fungsi intelektualdi bawah rata-rata (IQ di bawah 70) yang disertai

keterbatasan yang penting dalam area fungsi adaptif, seperti ketrampilan, komunikasi,

perawatan diri, tinggal di rumah, ketrampilan interpersonal atau sosial, penggunaan

sumber masyarakat, penunjukan diri, ketrampilan akademik, pekerjaan, waktu senggang,

dan kesehatan serta keamanan.

Di Indonesia belum ada angka-angka yang pasti tentang angka kejadian retardasi

mental pada anak, tetapi berdasarkan kejadian-kejadian yang muncul didunia menurut

data WHO maka di Indonesia diperkirakan angka kejadian Retardasi Mental mencapai

angka 3% dari penduduk Indonesia. Dari 3% tersebut 75% merupakan retardasi mental

ringan dan 25% retardasi mental sedang-berat. Kebanyakan retardasi mental baru

diketahui pada masa sekolah dan frekwensi terbanyak memang didapatkan pada golongan

retardasi mental taraf perbatasan (subnormal), kemudian urutan ringan (debil) sedangkan

(43)

D. KERANGKA TEORI

Kerangka teori bertujuan untuk mewujudkan ke dalam sebuah skema ringkas serta

rapi, semua uraian yang panjang dan lebar dari teori yang telah dinarasikan peneliti pada

bagian sebelumnya. Sehingga dari kerangka teori ituterlihat jelas jaringan sebab akibat

secara teoritis dari suatu masalah yang dibahas.

Dalam kerangka teori ini, peneliti ingin menjabarkan proses penyesuaian sosial

pada penderita Retardasi Mental. Proses tersebut dimulai dengan menganalisa data

kemampuan yang dimiliki subjek dari hasil wawancara dan pengamatan kepada subjek

utama maupun subjek pendukung.

Dari data tersebut akan dibandingkan dengan teori penyesuaian sosial sesuai

dengan aspek-aspek dan faktor yang mempengaruhinya, serta kegagalan dan keberhasilan

seseorang melakukan penyesuaian sosial. Setelah itu akan diketahui bentuk-bentuk

(44)

Gambar1: Kerangka Teori

Penderita Retardasi Mental

Aspek-aspek penyesuaian sosial Penyesuaian Sosial

Penyesuaian Sosial Penderita Retardasi Mental

Kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari

(45)
(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hal

ini dikarenakan penelitian ini menggunakan data kualitatif dan dideskripsikan untuk

menghasilkan gambaran yang mendalam dan terperinci mengenai proses penyesuaian

sosial yang dilakukan penderita retardasi mental. Dengan digunakan penelitian kualitatif,

maka data yang di dapatkan akan lebih lengkap, lebih mendalam dan bermakna sehingga

tujuan dari penelitian ini akan tercapai.

Sedangkan untuk jenis penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini yaitu

dengan menggunakan Studi kasus dengan tipe intrinsik karna Penelitian dilakukan atas

ketertarikan pada suatu kasus yaitu proses penyesuaian sosial yang dilakukan penderita

retardasi mental. Dan penelitian ini dilakukan untuk memahami secara utuh kasus

tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/ teori ataupun

upaya menggeneralisasi (Poerwandari, 2005)

Dengan menggunakan pedekatan studi kasus yang dijabarkan Poerwandari diatas,

peneliti tertarik pada suatu kasus fenomena pergaulan terhadap bermacam-macam

kelompok teman. Keunikan dari fenomena tersebut adalah subjek retardasi mental ini

telah mampu melewati setiap permasalahan yang terjadi pada setiap pergaulannya

terhadap bermacam-macam kelompok teman yang dimilikinya.

Sehingga peneliti dapat memperoleh gambaran secara utuh mengenai perilaku

(47)

terorganisasikan dengan baik dan lengkap serta terintegrasi mengenai proses penyesuaian

sosial yang dilakukan penderita retardasi mental.

B. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian seperti

wawancara dan observasi.

Subjek pertama (subjek utama) untuk subjek pertama lokasi yang paling dominan

adalah rumah subjek yang berada di desa plaosan RT 1 RW 3, kecamatan Krian,

Kabupaten Sidoarjo. Daerah tersebut merupakan daerah padat pemukiman, hal itu dapat

dilihat dari banyaknya rumah-rumah, gang-gang kecil, dan jarak yang dekat antar desa

satu dengan desa yang lain. Rumah subjek yang sangat sederhana ini berdekatan dengan

masjid/mushola, dan samping rumahnya terdapat Lembaga Bimbingan Belajar.

Subjek kedua (subjek informan)berlokasi dirumahnya yang berada disebelah

rumah subjek utama, yaitu tetangga subjek. Subjek ketiga (subjek informan) berlokasi

diwilayah sekitar Desa Plaosan tersebut. Lebih tepatnya ia adalah pemilik pondok

pesantren dimana tempat subjek utama mengaji..

C. SUMBER DATA

Untuk mengungkapkan sebuah fenomena mengenai usaha penyesuaian sosial

yang dilakukan oleh seorang penderita retardasi mental diperlukan adanya subjek yang

dapat memberikan data serta mampu memberikan gambaran yang nyata berkenaan

dengan fenomena tersebut.

(48)

1. Data Primer. Adalah data yang didapat dari sumber pertama yaitu subjek

penelitian itu sendiri yang bernama N (nama inisial), seorang wanita yang

menderita retardasi mental berusia 29 tahun. Data primer bisa disapatkan dari

hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti selama proses

penelitian.

2. Data Sekunder. Yang kemudian sumber data sekunder ini biasa disebut dengan

significant other yaitu data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara

serta dokumentasi yang didapat dari orang lain yang banyak mengetahui banyak

riwayat kehidupan subjek utama. Orang-orang tersebut ialah tetangga subjek, dan

Pembina/oemilik pondok pesantren tempat subjek mengaji. Peneliti tidak bisa

menjadikan ayah subjek sebagai informan untuk mendapatkan data karena ayah

subjek adalah orang yang sangat tertutup, beliau jarang berkumpul dengan

masyarakat sekitar, sehingga peneliti tidak bisa memasukkan ayah subjek dalam

daftar sumber data.

D. CARA PENGUMPULAN DATA

1. Wawancara

Dalam penelitian ini, wawancara yang digunakan adalah wawancara

mendalam (in depth interview) dengan pedoman umum. Pedoman wawancara

digunakan untuk mengigatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas,

sekaligus menjadi daftar pengecek (cheklist) apakah aspek-aspek relevan telah

dibahas atau ditanyakan (Moleong, 2005). Alasan dilakukannya wawancara

(49)

makna-makna subjektif yang dipahami subjek berkenaan dengan topik yang diteliti,

pengalamannya serta seperti apa emosi dan motifnya dalam melakukan

kegiatannya sehingga kemudian akan dilakukan eksplorasi terhadap topik yang

diteliti.

Dengan melakukan wawancara mendalam peneliti dapat menggali saja apa

yang diketahui dan dialami subyek pada masa lampau ataupun masa sekarang,

serta hal-hal yang tersembunyi di dalam diri subyek. Dalam proses wawancara

peneliti dilingkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, pedoman

wawancara ini digunakan untuk mengingatkan peneliti menganai aspek-aspek

yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek

relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005).

Tehnik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang

terkait dengan bagaimana proses penyesuaian sosial yang dilakukan oleh subjek

penderita retardasi mental, apa saja yang subjek alami dalam proses penyesuaian

sosial dengan masyarakat sekitar lingkungannya dalam kehidupan sehari-harinya,

apa saja yang menjadi hambatan subjek dalam proses penyesuaiannya tersebut,

serta bagaimana dinamika psikologis yang dialami subjek tersebut.

Teknik ini dilaksanakan dengan mewawancarai subjek utama (key

informant) yaitu subjek N dan subjek informan (significant others) yaitu subjek

CH selaku tetangga dan subjek IS selaku pemilik pondok pesantren.

Wawancara kepada subjek N dilakukan pada tanggal 19 Desember 2015

pukul 19.00 WIB dan tanggal 21 Desember 2015 pukul 10.00 WIB menanyakan

(50)

19.30 WIB melakukan wawancara dengan subjek CH guna menanyakan tentang

keluarga subjek N dan kesehariannya. Dan wawancara selanjutnya kepada subjek

IS menanyakan tentang kegiatan mengaji subjek N di pondok yang dilaksanakan

pada tanggal 9 Januari 2016 pukul 19.30 WIB.

2. Observasi

Istilah observasi dari bahasa latin berarti melihat dan memperhatikan. Istilah ini

diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang

muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.

Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung

dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah

(Banister dkk dalam Poerwandari, 2005).

Patton menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data

esensial dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif (Poerwandari, 2005).

Selain itu tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,

aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas,

dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian

yang dialami tersebut (Poerwandari, 2005).

Pada penelitian ini akan dilakukan observasi secara langsung. Peneliti

akan turun ke lapangan, dimana peneliti akan datang dan melihat secara langsung

aktitivitas yang dilakukan oleh subjek . Selain itu, proses penjaringan data

(51)

karena pada saat menjawab pertanyaan, subjek menunjukkan ekspresi non verbal

yang memiliki makna terkait dengan data informasi yang disampaikan secara

verbal. Penyusunan pencatatan observasi bertujuan untuk memfokuskan hal-hal

yang diobservasi yang sifatnya non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh

atau body languarge bisa teramati atau terdeteksi pada subjek N, subjek CH, dan

subjek IS.sehingga mampu memberikan cek dan recek terhadap

informasi-informasi yang telah di sampaikan oleh subyek dalam wawancara baik dilakukan

didaam rumah maupun diluar rumah.

3. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa

berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.

Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan,

criteria, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar

misalkan foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. (Sugiyono, 2010)

Studi dokumen dipilih untuk melengkapi dari penggunaan metode

observasi dan wawancara. Sehingga nanti akan mampu terlihat jelas bagaimana

kehidupan nyata seorang penderita retardasi mental.

Kelengkapan informasi dari lapangan didukung dengan pencarian

beberapa dokumen penting. Dokumen tersebut berupa bukti klinis dari puskesmas

terdekat/RS yang memeriksanya untuk mengetahui kebenaran status penderita

(52)

E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan melakukan

koding terhadap hasil transkrip wawancara yang telah di verbatim. Koding dimaksudkan

untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail

sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari,

2005).

Karenanya, langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah

membubuhkan kode-kode pada materi yang telah diperoleh. Koding dimasukkan untuk

dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga

data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang diteliti. Dengan demikian pada

gilirannya peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya.

(Poerwandari, 2005).

Langkah-langkah awal koding sesuai panduan Poerwandari dilakukan dengan

cara yaitu:

1. Peneliti menyusun transkripsi verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya

sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan

transkrip. Hal ini akan memudahkannya membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan

tertentu di atas transkrip tersebut.

2. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip

dan atau catatan lapangan tersebut. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan memberikan

(53)

3. Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode yang telah

dibuat. Kode yang dipilih haruslah kode yang mudah diingat dan dianggap paling tepat

mewakili berkas tersebut. Kode yang digunakan untuk wawancara adalah “HW” ,

sedangkan kode untuk observasi adalah “O/HW.”. Serta ditulis pula waktu dan tempat

penelitian.

Interpretasi data

Kvale (1996) dalam Poerwandari (2005) menguraikan konteks-konteks situasi dan

komunitas validasi dalam mana muncul interpretasi yang berbeda. Yaitu ada 3 jenis

interpretasi:

a. Interpretasi Pemahaman Diri

b. Interpretasi Biasa yang Kritis

c. Interpretasi Pemahaman Teoritis

Dalam penelitian ini yang meneliti tentang studi kasus seorang penderita retardasi

mental, jenis interpretasi data yang digunakan adalah jenis Interpretasi Data Pemahaman

Diri, yaitu terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk lebih padat

(condensed) apa yang oleh subjek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari

pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti,

melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subjek penelitian, dilihat dari sudut

pandang dan pengertian subjek penelitian tersebut. (Poerwandari, 2005).

Sehingga dari kesemua data yang diperoleh peneliti dari para informan itu nanti

akan dikumpulkan sebagai bukti nyata bahwa memang terdapat bentuk perilaku

Gambar

Tabel 1 : Data subjek utama (key informan)
Gambar 2: Subjek N Foto lama ( sebelum belajar dandan dan sudah bisa dandan )
Gambar 3: Foto handphone subjek N  yang setiap hari digunakan untuk mendengarkan
gambar yang hilang. Diantaranya bagian dari gambar berbentuk manusia,
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dapat dilihat dari strategi Public Relations yang dilakukan dan juga adanya kepercayaan dari publik / konsumen yang diwujudkan dengan loyalitas mereka

5) Produksi tanaman hias bunga adalah jumlah output atau hasil panen tanaman hias bunga dari luas lahan tertentu selama satu kali musim tanam yang diukur dalam

Algoritma Caesar cipher akan mengenkripsi plainteks dengan cara menggeser posisi plainteks sebanyak jumlah kunci yang biasanya menggunakan huruf alfabetik dari A – Z

Menangkap makna terkait fungsi sosial dan unsur kebahasaan secara kontekstual lirik lagu terkait kehidupan remaja

Berdasarkan pengamatan, lansia dalam kategori tersebut dapat berkomunikasi dengan orang lain, tetapi mereka merasa kurang dalam kemampuan fisik yang mempengaruhi

Dalam desain kurikulum, kemampuan technopreneurship dimasukkan sebagai salah satu kompetensi lulusan.Kompetensi itu didukung oleh beberapa mata kuliah teknologi terapan

relapse pada kelompok kontrol karena nilai signifikasnsi lebih besar dari 0.05. Hasil Evaluasi Program Pelatihan Efikasi Diri dan Pemahaman Materi. 1) Hasil Analisis Program

Obyek dari performance bond adalah barang serta jasa lingkungan hidup (hutan, udara, air) yang dapat terkena dampak polutif atau ekstraktif dari suatu kegiatan ekonomi..