1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guneensis Jacq.) merupakan salah satu dari beberapa tanaman yang menghasilkan minyak untuk tujuan komersial. Kebutuhan dunia akan minyak sawit pada tahun 2012 adalah sebanyak 52,1 juta ton, dan pada 2020 diperkirakan akan meningkat hingga 68 juta ton. Pada tahun 2016, Indonesia menjadi produsen pertama di dunia dengan produksi sebesar 34 juta ton dari total produksi dunia yang kurang lebih 62 juta ton dan ekspor sebanyak 25 juta ton dari total ekspor berbagai negara di dunia yang kurang lebih sebanyak 46 juta ton dengan total konsumsi domestik sebanyak 9,47 juta ton (USDA 2017).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman berkeping satu (Monokotil) dan Taksonomi dari tanaman kelapa sawit adalah :
Divisi : Tracheophyita. Subdivisi : Pteropsida Kelas : Angiospermeae Subkelas : Monocoty bledoneae
Ordo : Cocoideae
Famili : Palmae Subfamili : Cocoideae Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
Elaeis berasal dari Elaion berarti minyak dalam bahasa yunani. Guineensis berasal dari Guinea (pantai barat Afrika), Jacq berasal dari nama Botanist Amerika Jaquin (Lubis, 2008).
2 2.2 Hama Ulat Api (Setothosea asigna)
Setothosea asigna ini merupakan salah satu jenis ulat api terpenting pada kelapa sawit. Larvarnya berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di punggungnya, panjang 30-36 mm dan lebarnya 14 mm. telur diletakkan berderet 3-4 baris pada permukaan bawah daun. Seekor larva mampu memakan 300-500 cm² daun. Stadia larva lamanya 50 hari dan stadia kepompong 35-40 hari. Kepompong umunya berada sedikit di bawah permukaan tanah. Populasi kritis 5- 10 ekor/pelepah. Pengendalian yang efektif biasanya dilakukan dengan penyemprotan insektisida hayati dan kimiawi (Susanto dkk, 2010).
2.2.1 Taksonomi Hama Ulat Api (Setothosea asigna)
Sistematika hama ulat Api (S. asigna). adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Family : Limacodidae Genus : Setothosea
Species : Setothosea asigna van Eecke
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, (2015)
2.2.2 Siklus Hidup Hama Ulat Api (Setothosea asigna)
Siklus Hidup Ulat Api S. asigna Ulat api memiliki siklus hidup dengan melalui empat stadium yaitu : telur, larva (ulat), pupa (kepompong), imago (dewasa). Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna mempunyai siklus hidup sekitar 96 hari. Selain itu siklus hidup hama ulat api juga tergantung pada lokasi, lingkungan, kemampuan berkembang biak dan aktif yang diperlukan dalam menyelesaikan siklus hidupnya.
3
Tabel 2.1 Siklus Hidup Ulat Api (Setothosea asigna)
Stadia Lama (Hari) Keterangan
Telur 6 Jumlah telur 300-400 butir
Larva 50 Terdiri dari 9 instar, konsumsi
daun 300-500 cm²
Pupa 40 Habitat di tanah
Imago 7 Jantan lebih kecil dari betina
Total 103 Tergantung pada lokasi dari
lingkungan Sumber : Early Wearning System (EWS)
2.2.3 Telur Ulat Api (Setothosea asigna)
Telur ulat api biasanya diletakkan di permukaan bawah daun secara berderet-deret. Warna kekuningan dengan bentuk bulat pipih. Dalam beberapa hari telur menetas. Setelah itu larva keluar dari telur, warna telur menjadi putih transparan, satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 300-400 butir. Telur menetas 4-8 hari setelah di letakkan (Susanto dkk, 2012).
Gambar 2.1 telur ulat api Setothosea asigna Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
4 2.2.4 Larva Ulat Api (Setothosea asigna)
Larva berada dalam beberapa instar. Instar 1 (baru menetas) masih berkumpul di satu tempat dan belum aktif makan. Larva instar 2 dan seterusnya sudah tidak mengelompok lagi, aktif makan dan pada stadia ini sangat sesuai untuk dikendalikan secara kimiawi. Larva instar sudah tidak aktif makan dan tidak cocok lagi dikendalikan menggunakan insektisida kimiawi. Larva berwarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh dibagian punggung, berwarna coklat sampai ungu keabu-abuan dan putih. Warna larva dapat berubah-ubah sesuai dengan instanya, semakin tua umurnya akan menjadi gelap.
Larva instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm, sedangkan apabila instar ke-8 ukuranya sedikit lebih kecil. Menjelang ber pupa, ulat menjatuhkan diri ketanah. Stadia larva ini berlangsung selama 40-50,3 hari (Susanto dkk, 2012).
Gambar 2.2 Larva Setothosea asigna Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
2.2.5 Pupa Ulat Api (Setothosea asigna)
Pupa berada di dalam kokon yang terbuat dari campuran air liur ulat dan tanah, berbentuk bulat telur dan berwarna cokelat gelap, terdapat dibagian tanah yang relative gembur disekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Pupa jantan dan pupa betina masing-masing berukuran berlangsung selama ±39,7 hari (Susanto dkk, 2012).
5
Kokon dengan ukuran 16 x 13 mm untuk jantan dan 20 x 16,5 mm untuk betina. Masa kepompong ±40 hari. Waktu akan menetas menjadi kupu kupu dan kepompong berwarna coklat tua (Susanto dkk, 2010).
(a) (b)
Gambar 2.3 Pupa (a) (b) Setothosea asigna Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
2.2.6 Imago
Imago hama ulat api berupa ngengat, Ngengat termasuk serangga yang nocturnal, aktifitasnya terjadi pada malam hari. Baik ngengat jantan maupun betina memiliki sayap dan mampu terbang cukup jauh serta sangat tertarik dengan cahaya. Ukuran ngengat betina lebih besar dari pada ngengat jantan. Antena ngengat jantan seperti sisir sedangkan ngengat betina hanya memanjang (Susanto dkk, 2012) .
Gambar 2.4. Imago Setothosea asigna Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
6
2.3 Gejala Serangan Ulat Api Setothosea asigna
Serangan S. asigna di lapangan umumnya mengakitbatkan daun kelapa sawit habis dengan sangat cepat dan berbentuk seperti melidi. Tanaman tidak dapat menghasilkan tandan selama 2-3 tahun jika serangan yang terjadi sangat berat. Umumnya gejala serangan dimulai dari daun bagian bawah hingga akhirnya helaian daun berlubang habis dan bagian yang tersisa hanya tulang daun saja. Ulat ini sangat rakus, mampu mengkonsumsi 300-500 cm2 daun sawit selama instar (Sulistyo, 2012).
2.3.1 Kriteria Serangan
Pengendalian hama dilakukan untuk menurunkan populasi hama sampai pada tingkat ambang batas sehingga tidak merugikan secara ekonomi dan tidak melampaui batas kritis. Kriteria serangan digunakan untuk mengetahui tingkat serangan dari hama dan juga untuk menentukan tindakan pengendalian yang harus dilakukan untuk menurunkan tingkat serangan.
Kriteria tingkat serangan ulat api S. asigna yaitu : Ringan : bila terdapat <5 ekor ulat api per pelepah Sedang : bila terdapat 5-10 ekor ulat api per pelepah Berat : bila terdapat >10 ekor ulat api per pelepah (Sulistyo, 2012).
Kerugian yang ditimbulkan S. asigna, yaitu menimbulkan penurunan produksi sampai 69% pada tahun pertama setelah serangan dan lebih kurang 27% pada tahun kedua setelah serangan. Hal ini menunjukkan betapaseriusnya dampak serangan ulat api yang tidak terkendali (Fauzi dkk, 2012).
7
Gambar 2.5 Gejala Serangan Setothosea asigna Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
2.4 Metode Pengendalian Hama Ulat Api (Setothosea asigna) 2.4.1 Sensus Hama
Monitoring populasi dilakukan dengan dua pengamatan yaitu dengan pengamatan global dan pengamatan efektif.
Sensus Global
1. Dilakukan seminggu sekali terhadap populasi hama pada pohon sampel dari 6 pohon di sekitaran pohon sampel.
2. Sistem sampling pada sensus global dengan 1 pohon per ha.
3. Pada tanaman TBM dan TM Muda diambil sampel pelepah nomor 9 sampai 17, sedangkan tanaman tua pelepah nomor 17 dan 25.
4. Selain populasi spesies hama, stadia (ukuran), pupa dan larva. Sensus Efektif
1. Sensus dilakukan pada blok-blok yang melebihi padat populasi kritis apabila sensus global sudah melewati padat populasi kritis.
2. Sampel yang diambil adalah 5 pohon per ha.
3. Apabila dari hasil sensus global diketahui bahwa padat populasi sudah melebihi ambang dan menyebar maka tidak perlu dilakukan sensus efektif langsung tindakan pengendalian.
8
2.5 Pengendalian Hama Ulat Api (Setothosea asigna) 2.5.1 Pengendalian Secara hayati
Pengendalian dilakukan secara hayati. Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan untuk mengendalikan hama ulat diantaranya adalah Bacillus thuringiensis untuk stadia larva, cordyceps millitaris untuk stadia pupa ulat api, dan Nucleo Polyhedral Virus (NPV) untuk beberapa stadia pupa ulat api. Produk bionsektisida berbahan aktif B. thuringiensis telah banyak dijumpai dipasaran sedangkan jamur C. militaris masih dikembangkan pada media jagung giling dengan dosis aplikasi 20 g/piringan pohon. Namun demikian, saat ini PPKS telah berhasil memformulasikan dalam tablet effervescent yang merupakan konsorsium agen hayati B. thuringiensis, C. militaris, Beauveria bassiana, dan Metarizhium anisopliae. Untuk virus NPV saat ini tersedia spesifik untuk ulat apiS. asignadan S. nitens yang cukup efektif menurunkan populasi ulat dalam waktu satu minggu dengan dosis 400 gram ulat terinfeksi virus perhektar (Susanto dkk, 2015).
2.5.2 Pengendalian Secara Mekanik
Pemasangan Light trap untuk menarik dan memerangkap imago Setothosea asigna. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadi populasi dan penyebaran serta sebagai salah satu sarana monitoring. Kegiatan pemasangan Light trap dihentikan jika tangkapan ngengat per malamnya 5 ekor (Susanto dkk, 2010).
2.5.3 Pengendalian Secara kimiawi
Pengendalian dapat dilakukan dengan penyemprotan menggunakan isektisida legal dengan dosis sesuai dengan yang diajurkan. Alat semprot dapat menggunakan knapsack sprayer atau mistblower berdasarkan umur tanaman. Dosis yang digunakan adalah 400 gram ulat yang terinfeksi virus per hektar. Ulat bervirus diblender, disaring dan diperoleh larutan virus. Larutan virus murni tersebut kemudian dicampur dengan 200-250 liter air (sesuai dengan hasil kalibrasi setempat) untuk tiap hektar. Larutan siap
9
disemprotkan mengunakkan mist blower atau knapsack sprayer (Susanto dkk, 2010).
Pengendalian untuk tanaman menghasilkan (TM) dapat dilakukan dengan mist blower tekanan tinggi, pengasapan yang menggunakan fogging pada malam hari (Susanto dkk, 2010) atau pengendalian dengan injeksi batang dilakukan dengan menggunakan berbagai alat, berupa alat bor manual, dengan bantuan listrik atau alat berbahan bakar minyak. Ukuran bor rata-rata 1,6 cm dengan kedalam 15-20 cm dan kemiringan 45 derajat. Penyuntikan larutan isentisida sesuai dosis yang di anjurkan dapat menggunakan alat suntik (Susanto dkk, 2010).
Cara aplikasi Fogging atau pengasapan sesuai digunakan untuk tanaman sesuai tinggi kira-kira 15 meter yang sudah tidak dapat dijangkaui lagi oleh mist blower. Fogging sebaiknya dilakukan pada lebih dari jam 10 malam sampai pagi karena udara sangat tenang. Apabila terjadi hujan sebaiknya aplikasi ini ditunda terlebih dahulu menunggu hujan berhenti. UPDKS dengan tipe fogging sekitar 70-80%. Tipe fogging yag digunakan pada perkebunan kelapa sawit pada umumnya ada dua tipe yaitu fogging dengan satu tabung insektisida dan fogging dengan tabung dua insektisida (Susanto dkk, 2015).
10 2.6 Jamur Cordyceps militaris
2.6.1 Karakteristik Jamur Cordyceps militaris
Menurut Holliday et al (2005), jamur C. militaris dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Klass : Ascomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Clavicipitaceae Genus : Cordyceps
Spesies : Cordyceps militaris Fries.
Cordyceps dikenal sebagai jamur entomopatogen yang membentuk badan buah pada serangga inangnya dan dikenal 750 species dari jamur ini. C. militaris merupakan jamur entomopatogen khususnya pada larva dan pupa Lepidoptera (Gambar 7) (Schgal & Sagar, 2006). Jamur ini bersifat soil borne karena infeksi mulai terjadi pada saat larva turun ke tanah untuk berkepompong (Wibowo dkk, 1994).
Gambar 2.6. Cordyceps militaris Sumber : (Dokumentasi pribadi)
11
Pada sub divisi Ascomycotina secara umum jamur akan memperbanyak diri dengan dua cara yaitu fase reproduksi seksual teleomorfik dengan memproduksi perfek spora (askospora) dan fase reproduksi aseksual anamorph dengan memproduksi imperfek spora (konidia) (Wibowo dkk, 1994). Pada awal ditemukannya, tampak struktur stromata yang timbul dari badan ulat api. Stromata merupakan jalinan hifa yang membentuk tangkai, dimana pada bagian fertile disebut perithecia yang mengandung askus dan askospora (Wibowo dkk, 1994).
2.6.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Cordyceps militaris
Hasil penelitian di Balai Penelitian Marihat menunjukkan bahwa pada kondisi kelembapan yang cukup perkembangan Cordyceps dari mumifikasi sampai terjadinya emisi askospora sekitar 24 hari. Keadaan yang sedikit gelap akan berpengaruh terhadap evolusi stromata tetapi cahaya akan merangsang keluarnya peritesia. Waktu yang diperlukan untuk pembentukan stromata berkisar antara 2 – 4 minggu setelah inokulasi (Wibowo dkk, 1994). Cendawan entomopatogen C. militaris mengeluarkan enzim protektif aktif seperti superoksida dismutase (SOD) dan peroksida yang termasuk kedalam enzim hidrolitik. Selanjutnya, konidia mulai mengeluarkan pembuluh kecambah dengan apresorium. Apresorium kemudian melakukan penetrasi pada eksoskeleton dengan kombinasi tekanan mekanik dan enzim kemudian masuk kedalam haemocoel serangga. Dan C.militaris tumbuh dan berkembang didalam tubuh serangga.
Media yang dipakai untuk menumbuhkan jamur entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan menentukan keefektifan jamur entomopatogen dalam mengendalikan serangga. Media jamur harus mengandung subtansi organik sebagai sumber C, sumber N, ion anorganik dalam jumlah yang cukup sebagai pemasok pertumbuhan dan sumber vitamin (Inglod, 1967 dalam Cahyo, 2007).
12
Berdasarkan Jurnal Uji Beberapa Kosentrasi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassian Vuill Lokal dan Cordyceps militaris Lokal Terhadap Hama Ulat Api Setothosea asigna Van Eecke Pada Tanaman Kelapa Sawit 2017 bahwa Aplikasi jamur Cordyceps militaris local dengan konsentrasi 25 g/l air dan kerapatan konidia 58,5 x 107 kon/ml merupakan kosentrasi yang baik untuk mengendalikan hama ulat api S. asigna, karena menyebabkan mortalitas total sebesar 82,50% waktu awal kematian 24 jam setelah aplikasi, dan lethal time 50 sebesar 94,50 jam setelah aplikasi.