• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJIAN AKHIR TRIWULAN (UAT) TAKE HOME Sistem Informasi Manajemen (SIM) Dosen: Dr. Ir. Arif Imam Suroso, MSc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJIAN AKHIR TRIWULAN (UAT) TAKE HOME Sistem Informasi Manajemen (SIM) Dosen: Dr. Ir. Arif Imam Suroso, MSc"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

UJIAN AKHIR TRIWULAN (UAT) TAKE HOME

Sistem Informasi Manajemen (SIM)

Dosen:

Dr. Ir. Arif Imam Suroso, MSc

Oleh:

Risya Maulida Septiana P056143141.53 Kelas Reguler R53

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

(2)

1. Pengembangan Sistem Informasi dengan Menggunakan Pendekatan Insourcing atau Outsourcing di Perusahaan

INSOURCING

Sistem informasi manajemen menitikberatkan pada informasi untuk suatu keputusan terstruktur atau informasi yang dapat diantisipasi. Hal tersebut mungkin tampak sederhana, tetapi sebenarnya menyediakan informasi untuk membantu manajer-manajer membuat keputusan-keputusan adalah tugas yang sangat sulit dan kompleks. Sistem informasi manajemen memainkan peranan penting dalam penyusunan rencana strategis, pembuatan keputusan, dan pengontrolan kegiatan- kegiatan untuk dapat mengukur tingkat keberhasilannya.

In-sourcing adalah metode pengembangan sistem informasi yang hanya melibatkan sumber daya di dalam suatu organisasi atau suatu perusahaan. Sistem informasi mengenai operasi sistem pada pihak manajemen untuk memberikan pengarahan dan pemeliharaan sistem dalam hal ini pengendalian ketika sistem bertukar input dan output dengan lingkungannya.

OUTSOURCING

Teknologi tidak lagi merupakan pemikiran terakhir dalam membentuk strategi bisnis, tetapi merupakan penyebab dan penggerak yang sebenarnya. Peran utama aplikasi sistem informasi dalam bisnis adalah untuk memberikan dukungan yang efektif atas strategi perusahaan agar dapat memperoleh keunggulan kompetitif diluar perusahaan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang terdapat didalam perusahaan itu sendiri. Perusahaan dapat bertahan hidup dan berhasil dalam jangka panjang hanya jika perusahaan tersebut berhasil mengembangkan strategi tekanan kompetitif yang membentuk struktur persaingan dalam industrinya.

Sumberdaya-sumberdaya yang terdapat diluar perusahaan yang diantaranya, sumber daya data calon pelanggan dan pelanggan, sumber daya data pemasok, sumber daya informasi, sumber daya data pesaing atau kompetitor, dan atau sumber daya lainnya yang terkait hubungannya dengan keunggulan perusahaan yang berada diluar perusahaan (outsource).

Outsourcing dapat berupa meminta pihak ketiga untuk melaksanakan proses pengembangan sistem informasi termasuk pelaksana sistem informasi. Pihak perusahaan menyerahkan tugas pengembangan dan pelaksanaan serta maintenance sistem kepada pihak ketiga. Menurut O’Brien dan Marakas (2006), beberapa pertimbangan perusahaan untuk memilih strategi outsourcing sebagai alternatif dalam mengembangkan Sistem Informasi Sumberdaya Informasi diantaranya:

1. Biaya pengembangan sistem sangat tinggi.

2. Resiko tidak kembalinya investasi yang dilkukan sangat tinggi.

3. Ketidakpastian untuk mendapatkan sistem yang tepat sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.

4. Faktor waktu/kecepatan.

5. Proses pembelajaran pelaksana sistem informasi membutuhkan jangka

waktu yang cukup lama.

(3)

6. Tidak adanya jaminan loyalitas pekerja setelah bekerja cukup lama dan terampil.

Berikut ini merupakan gambar diagram yang menunjukkan proses apa saja yang dilakukan dalam lewat cara out-sourcing.

Pada tabel berikut di jabarkan kelemahan dan kelebihan dari penerapan Insourcing dan Outsourcing

KELEBIHAN

Out-sourcing In-sourcing

 Perusahaan dapat mengontrol sistem informasinya sendiri.

 Perusahaan dapat mengonsentrasikan diri pada bisnis yang ditangani

 Masalah mengenai hardware, sofware, dan maintenance sistem merupakan tanggung jawab pihak vendor.

 Lebih praktis serta waktu pengembangan sistem informasi relatif lebih cepat, efektif, dan efisisen karena dikerjakan oleh orang yang profesional di bidangnya.

 Penghematan waktu proses dapat diperoleh karena beberapa outsourcer dapat dipilih untuk bekerja bersama- sama menyediakan jasa ini kepada perusahaan.

 Dapat membeli partner/provider sesuai anggaran dan kebutuhan

 Memudahkan akses pada pasar global jika menggunakan vendor yang mempunyai reputasi baik.

 Umumnya sistem informasi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan karena karyawan yang ditugaskan mengerti kebutuhan sistem dalam perusahaan.

 Biaya pengembangannya relatif lebih rendah karena hanya melibatkan pihak perusahaan.

 Sistem informasi yang dibutuhkan dapat segera direalisasikan dan dapat segera melakukan perbaikan untuk menyempurnakan sistem tersebut.

 Sistem informasi yang dibangun sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dan dokumentasi yang disertakan lebih lengkap.

 Mudah untuk melakukan modifikasi dan pemeliharaan (maintenance) terhadap sistem informasi karena proses pengembangannya dilakukan oleh karyawan perusahaan tersebut.

 Adanya insentif tambahan bagi karyawan yang diberi tanggung jawab

(4)

 Resiko ditanggung oleh pihak ketiga.

Resiko kegagalan yang tinggi dan biaya teknologi yang semakin meningkat, akan lebih menguntungkan bagi perusahaan jika menyerahkan pengembangan sistem informasi kepada outsourcer agar tidak mengeluarkan investasi tambahan.

 Biaya pengembangan sistem informasi dapat disesuaikan dengan anggaran dan kebutuhan perusahaan. Mahal atau murahnya biaya pengembangan sistem informasi tergantung jenis program yang dibeli.

 Mengurangi resiko penghamburan investasi jika penggunaan sumber daya sistem informasi belum optimal. Jika hal ini terjadi maka perusahaan hanya menggunakan sumber daya sistem yang optimal pada saat-saat tertentu saja, sehingga sumber daya sistem informasi menjadi tidak dimanfaatkan pada waktu yang lainnya.

 Dapat digunakan untuk meningkatkan kas dalam aset perusahaan karena tak perlu ada aset untuk teknologi informasi.

 Memfasilitasi downsizing sehingga perusahaan tak perlu memikirkan pengurangan pegawai.

untuk mengembangkan sistem informasi perusahaan tersebut.

 Lebih mudah melakukan pengawasan (security access) dan keamanan data lebih terjamin karena hanya melibatkan pihak perusahaan.

 Sistem informasi yang dikembangkan dapat diintegrasikan lebih mudah dan lebih baik terhadap sistem yang sudah ada.

KELEMAHAN

 Terdapat kekhawatiran tentang keamanan sistem informasi karena adanya peluang penyalahgunaan sistem informasi oleh vendor, misalnya pembajakan atau pembocoran informasi perusahaan.

 Ada peluang sistem informasi yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan dikarenakan vendor tidak memahami kebutuhan sistem dalam perusahaan tersebut.

 Transfer knowledge terbatas karena pengembangan sistem informasi sepenuhnya dilakukan oleh vendor.

 Relatif sulit melakukan perbaikan dan pengembangan sistem informasi karena pengembangan perangkat lunak dilakukan oleh vendor, sedangkan perusahaan umumnya hanya terlibat sampai rancangan kebutuhan sistem.

 Keterbatasan jumlah dan tingkat kemampuan SDM yang menguasai teknologi informasi.

 Pengembangan sistem informasi membutuhkan waktu yang lama karena konsentrasi karyawan harus terbagi dengan pekerjaan rutin sehari- hari sehingga pelaksanaannya menjadi kurang efektif dan efisien.

 Perubahan dalam teknologi informasi terjadi secara cepat dan belum tentperusahaan mampu melakukan adaptasi dengan cepat sehingga ada peluang teknologi yang digunakan kurang canggih (tidak up to date).

 Membutuhkan waktu untuk pelatihan bagi operator dan programmer sehingga ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan.

 Adanya demotivasi dari karyawan ditugaskan untuk mengembangkan

(5)

 Dapat terjadi ketergantungan kepada konsultan.

 Manajemen perusahaan membutuhkan proses pembelajaran yang cukup lama dan perusahaan harus membayar lisensi program yang dibeli sehingga ada konsekuensi biaya tambahan yang dibayarkan.

 Resiko tidak kembalinya investasi yang telah dikeluarkan apabila terjadi ketidakcocokan sistem informasi yang dikembangkan.

 Mengurangi keunggulan kompetitif perusahaan. Mungkin saja pihak outsourcer tidak fokus dalam memberikan layanan karena pada saat

yang bersamaan harus

mengembangkan sistem informasi klien lainnya.

 Perusahaan akan kehilangan kendali terhadap aplikasi yang di-outsource- kan. Jika aplikasinya adalah aplikasi kritikal yang harus segera ditangani jika terjadi gangguan, perusahaan akan menanggung resiko keterlambatan penanganan jika aplikasi ini di-

outsource-kan karena kendali ada pada outsourcer yang harus dihubungi terlebih dahulu.

 Jika kekuatan menawar ada di outsourcer, perusahaan akan kehilangan banyak kendali dalam memutuskan sesuatu apalagi jika terjadi konflik diantaranya.

sistem informasi karena bukan merupakan core competency pekerjaan mereka.

 Kurangnya tenaga ahli (expert) di bidang sistem informasi dapat menyebabkan kesalahan persepsi dalam pengembangan distem dan kesalahan/resiko yang terjadi menjadi tanggung jawab perusahaan

(ditanggung sendiri).

Perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi SI. O’Brien (2009) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadi kunci sukses penerapan sistem outsourcing yaitu :

Memahami maksud dan tujuan serta sasaran perusahaan

Memiliki perencanaan/misi dan visi yang strategis

Memilih secara tepat service provider/vendor/rekanan yang tepat

Komunikasi yang terbuka antara pihak yang berkepentingan

Mendapat dukungan dan keterlibatan dari pihak manajemen dan eksekutif

Memelihara lingkungan baik dan terbuka dengan individu dan kelompok terkait

Memberika perhatian secara berhati-hati pada persoalan yang menyangkut karyawan

Dapat menjaga jarak

Kontrak yang terstuktur

Memperhatikan isu karyawan

Memiliki justifikasi ekonomi dan keuangan yang layak

Menggunakan tenaga berpengalaman atau yang memiliki keahlian dari luar

(6)

2. Pendekatan “Prototyping” dalam Pengembangan Sistem/Aplikasi Bisnis Metode prototyping sebagai suatu paradigma baru dalam pengembangan sistem informasi, tidak hanya sekedar suatu evolusi dari metode pengembangan sistem informasi yang sudah ada, tetapi sekaligus merupakan revolusi dalam pengembangan sistem informasi manajemen. Metode ini sangat baik digunakan untuk menyelesaikan masalah kesalahpahaman antara user dan analis yang timbul akibat user tidak mampu mendefinisikan secara jelas kebutuhannya. (Mulyanto, 2009).

Prototyping adalah pengembangan yang cepat dan pengujian terhadap model kerja (prototipe) dari aplikasi baru melalui proses interaksi dan berulang-ulang yang biasa digunakan ahli sistem informasi dan ahli bisnis. Prototyping disebut juga desain aplikasi cepat (rapid application design/RAD) karena menyederhanakan dan mempercepat desain sistem (O’Brien, 2005). Karakteristik metode prototyping meliputi langkah-langkah mulai dari pemilihan fungsi, penyusunan sistem informasi, evaluasi dan penggunaan selanjutnya.

Tahap – Tahap Rekayasa Software Dalam Prototype Model 1. Pengumpulan kebutuhan

Developer dan klien bertemu untuk menentukan tujuan umum, kebutuhan yang diketahui dan gambaran bagian-bagian yang akan dibutuhkan berikutnya.

Detail kebutuhan mungkin tidak dibicarakan disini, pada awal pengumpulan kebutuhan.

2. Perancangan Cepat

Perancangan dilakukan cepat dan rancangan mewakili semua aspek software yang diketahui, dan rancangan ini menjadi dasar pembuatan prototype.

3. Bangun Prototype

Dalam tahap ini, membangun sebuah versi prototype yang dirancang kembali

dimana masalah-masalah tersebut diselesaikan.

(7)

4. Evaluasi prototype

Pada tahap ini, klien mengevaluasi prototype yang dibuat dan digunakan untuk memperjelas kebutuhan software.

5. Perbaikan Prototype

Tahap ini Software yang sudah jadi dijalankan dilakukan perbaikan.

Perbaikan termasuk dalam memperbaiki kesalahan/kerusakan yang tidak ditemukan pada langkah sebelumnya.

Keuntungan dan Kelemahan dari Pendekatan Prototyping Keuntungan:

1. End user dapat berpartisipasi aktif.

2. Adanya komunikasi yang baik antara pengembang dan pelanggan 3. Penentuan kebutuhan lebih mudah diwujudkan.

4. Mempersingkat waktu pengembangan sistem informasi dan relatif lebih mudah dibangun.

5. Penerapan menjadi lebih mudah karena pemakai mengetahui apa yang diharapkannya.

6. Kesalahan dan kelalaian dalam pengembangan dapat segera diketahui.

Kelemahan:

1. Pelanggan tidak melihat bahwa perangkat lunak belum mencerminkan kualitas perangkat lunak secara keseluruhan dan belum memikirkan pemeliharaan dalam waktu yang lama.

2. Proses analisis dan perancangan terlalu singkat.

3. Pengembang biasanya ingin cepat menyelesaikan proyek sehingga menggunakan algoritma dan bahasa pemrogaman sederhana.

4. Mengesampingkan alternatif pemecahan masalah.

5. Biasanya kurang fleksibel dalam menghadapi perubahan.

6. Prototype yang dihasilkan tidak selamanya mudah dirubah.

7. Prototype terlalu cepat selesai.

8. Hubungan pelanggan dengan komputer mungkin tidak menggambarkan teknik perancangan yang baik.

9. Dokumentasi seringkali tidak lengkap.

3. Urgensi Mantainaibility dalam Konteks Implementasi Suatu Sistem Informasi di Organisasi

Maintainability merupakan peningkatan dan perluasan fungsi-fungsi kapabilitas Sistem Informasi (SI) di mana pemakaian sumberdaya dalam aktivitas pemeliharaan, pengoperasian dan penggunaannya dilakukan seekonomis mungkin.

Alokasi sumberdaya perlu dipertimbangkan dengan cermat, baik biaya maupun

effort yang akan dikeluarkan kelak dalam pemeliharaan SI. Hal ini perlu dicermati

bilamana organisasi menilai maintainability SI yang dimilikinya akan memberikan

benefit dikemudian hari. Urgensi maintainability SI perlu dicermati karena biaya

yang dikeluarkan untuk pemeliharaan cukup besar. Boehm (1982) dalam Suroso

(2014) mengungkapkan hasil studinya di mana biaya pemeliharaan memakan porsi

resource dana kegiatan pengembangan dan implementasi perangkat lunak yang

relatif besar, di mana biaya pemeliharaan perangkat lunak mengambil porsi 49%,

(8)

sedangkan biaya pengembangan adalah 43% dan sisanya (8%) untuk kegiatan lain- lain. Biaya perbaikan kesalahan pada suatu perangkat lunak juga meningkat sejalan dengan tahapan pengembangannya. Boehm (1981) dalam Suroso (2014) mengungkapkan multiplikasi biaya tindakan korektif, di mana biaya perbaikan kesalahan pada tahap analisa yang hanya memerlukan biaya 2 satuan dibandingkan biaya perbaikan untuk kesalahan yang sama pada tahap operasi yang memelukan biaya 200 satuan (Gambar 1)

Gambar 1 Biaya Perbaikan Kesalahan yang Meningkat Sejalan dengan Tahapan Pengembanagan

Maintainability merupakan hal yang penting karena SI harus terus beradaptasi terhadap perubahan lingkungan penggunaan maupun kebutuhan-kebutuhan yang baru, selain memenuhi tuntutan user untuk keandalan sistem perangkat lunak yang membangun SI dari koreksi atas kesalahan-kesalahan (bugs). Untuk mendukung keandalan dan memenuhi kebutuhan serta mempertimbangkan biaya pemeliharaan software yang besar, alokasi sumberdaya perlu diperhitungkan dengan baik.

Resource yang ditinjau meliputi biaya (maintenace cost) dan usaha (maintenance effort) seperti penjelasan berikut ini,

Maintenance Cost

Swanson (1999) mengungkapkan pemeliharan SI yang berbasis Teknologi

Informasi (TI) memakan biaya yang relatif mahal. Perubahan atau modifikasi

atas suatu perangkat lunak akan membutuhkan biaya dalam pelaksanaan

kegiatannya. Banker (1993) dalam Huber (2009) menyebutkan ada dua tipe

biaya dalam modifikasi software, yaitu biaya finansial dan biaya waktu. Biaya

finansial adalah akumulasi biaya dari komponen pekerja yang terlibat di

dalamnya. Semakin banyak pekerja yang terlibat maka biaya ini akan

semakin tinggi. Biaya waktu adalah akumulasi biaya yang timbul dari

aktivitas ini sepanjang rentang waktu berlangsungnya aktivitas, di mana biaya

finansial adalah komponen yang mempengaruhi biaya waktu. Semakin lama

proses modifikasi software berlangsung untuk mencari tahu (discover),

(9)

mengimplementasikan (implement), menguji (test) dan mendokumentasikan (document), maka komponen biaya ini akan semakin tinggi.

 Maintenance Effort

Jika suatu aplikasi perangkat lunak yang dimiliki oleh sebuah organisasi dalam proses pengembangannya dibuat agar lebih mudah untuk dimodifikasi, misalnya dibangun dengan tingkat kerumitan yang rendah, maka usaha (effort) yang dicurahkan oleh organisasi tersebut dikemudian hari akan lebih ringan (Swanson, 1999). Maintenance effort sebagai input aktivitas pemeliharaan terdiri dari sumberdaya yang dialokasikan dan digunakan dalam tugas ini, misalnya sumberdaya mesin, workbenches dan sumberdaya manusia atau staff. Sumberdaya manusia sendiri dibedakan berdasarkan keterampilan (skills), pengalaman dan motivasinya, yang kemudian dikelompokkan lagi sesuai job class serta besaran gaji.

4. Konversi Sistem Informasi

Konversi sistem merupakan tahapan yang digunakan untuk mengoperasikan sistem baru dalam rangka menggantikan sistem yang lama atau proses pengubahan dari sistem lama ke sistem baru. Sistem informasi baru di sini dapat berupa aplikasi yang sama sekali baru atau aplikasi lama yang telah diperbaiki untuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Derajat kesulitan dan kompleksitas dalam pengkonversian dari sistem lama ke sistem baru tergantung pada sejumlah faktor yaitu faktor resiko, faktor biaya, dan faktor waktu. Konversi sistem dapat dilakukan melalui beberapa alternatif dilihat dari aspek-aspek karakterstik modul, gaya dan lokasi konversi dapat dilihat pada Tabel 1 yang berdasarkan karakteristik tersebut dapat dibagi menjadi beberapa metode strategi yang dapat digunakan dalam proses konversi sistem informasi (Mallach, 2009):

Tabel 1 Faktor dan Karakteristik Alternatif Strategi Konversi Sistem

Faktor

Gaya Konversi Lokasi Konversi Modul Konversi

Direct Conversion

Parallel Conversion

Pilot Conversion

Phased Conversion

Simultaneous Conversion

Whole- System Conversion

Modular Conversion Risiko Tinggi Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi Sedang

Biaya Rendah Tinggi Sedang Sedang Tinggi Sedang Tinggi

Waktu Pendek Panjang Sedang Panjang Pendek Pendek Panjang

Penjelasan dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Direct Conversion vs Parallel Conversion

Pada pendekatan direct conversion, sistem lama langsung dinonaktifkan dan diganti dengan sistem baru. Meskipun merupakan yang paling murah di antara pilihan lain dan bisa jadi merupakan satu-satunya solusi dalam keadaan tertentu (situasi darurat atau situasi ketika tidak dimungkinkan terjadinya 2 sistem yang aktif pada saat bersamaan), pendekatan ini juga memiliki risiko kegagalan yang paling besar.

Ketika sistem baru sudah dijalankan, pengguna akhir harus siap menghadapi

kesalahan-kesalahan atau kegagalan fungsi yang mungkin ada. Tergantung kepada

tingkat masalah yang terjadi, pendekatan ini akan memberikan dampak yang

(10)

signifikan terhadap kualitas kerja yang dihasilkan. Konversi langsung dapat dipertimbangkan hanya dalam keadaan ekstrim di mana tidak ada strategi lain yang layak. Kebalikan dari pendekatan konversi langsung adalah konversi paralel (parallel conversion). Pada pendekatan ini, sistem lama dan sistem baru dijalankan secara simultan hingga pengguna akhir dan koordinator proyek benar-benar puas bahwa sistem baru telah berfungsi dengan benar dan sistem lama tidak diperlukan lagi. Dengan pendekatan ini, konversi paralel dapat dipengaruhi baik dengan single cutover: yaitu dengan menentukan tanggal batas pengoperasian paralel, ataupun phased cutover: yaitu dengan menentukan terlebih dahulu metode pengalihan dari masing-masing bagian dari sistem dan sekaligus mematikan bagian sejenis dari sistem yang lama. Meskipun jelas memiliki keunggulan berupa risiko yang rendah, pendekatan ini memerlukan biaya yang paling tinggi. Untuk menjalankan pendekatan paralel secara tepat, pengguna akhir harus menjalankan fungsi-fungsi harian mereka dengan kedua sistem yang berarti menghasilkan pengulangan kegiatan yang masif dan pekerjaan ganda. Dalam kenyataannya, meskipun biaya operasi dari sistem baru lebih kecil secara signifikan dibanding sistem lama, biaya dari kegiatan paralel dapat sebesar 3-4 kali lebih besar dibandingkan penerapan sistem lama saja. Selama konversi paralel, semua keluaran dari kedua sistem dibandingkan dalam hal kesesuaian dan akurasi, sampai ditentukan bahwa sistem baru berfungsi paling tidak sama baiknya dengan sistem lama yang digantikan.

Konversi paralel dapat menjadi pilihan terbaik dalam situasi ketika sistem automatis menggantikan sistem manual. Dalam situasi tertentu ketika pengguna akhir tidak dapat dihadapkan pada 2 sistem yang berulang dan membingungkan, strategi paralel mungkin tidak layak untuk ditempuh. Konversi paralel juga tidak mungkin dijalankan ketika organisasi tidak memiliki sumber daya perangkat keras untuk menjalankan 2 sistem pada saat yang sama.

Pilot Conversion vs Phased Conversion vs Simultant Conversion

Dengan strategi pilot conversion, sebagian dari organisasi menggunakan sistem

baru sedangkan bagian lainnya tetap menggunakan sistem lama. Pendekatan ini

melokalisir permasalahan pada kelompok percontohan (karena satu atau lebih

lokasi dikonversi hingga diselesaikan semua problem yang ada sebelum dilanjutkan

ke lokasi lain) sehingga mendukung mendukung pemusatan perhatian sumber daya

kepadanya. Namun demikian, permasalah antarmuka dapat muncul ketika unit-unit

organisasi berbagi data. Pendekatan ini relevan dalam beberapa situasi ketika sistem

baru akan diinstal pada beberapa lokasi seperti serangkaian cabang bank atau atau

gerai pengecer. Dengan pilot conversion dapat dilakukan konversi sistem, baik

dengan metode langsung atau paralel, pada satu lokasi tertentu. Keunggulan lain

dari pendekatan ini adalah lokasi penerapan dapat dipilih yang terbaik mewakili

kondisi di seluruh organisasi dan juga dapat dikatakan memberikan risiko yang

paling kecil dalam hal hilangnya waktu atau keterlambatan proses. Sekali instalasi

diselesaikan di lokasi yang dijadikan percontohan, proses dapat dievaluasi dan

perubahan-perubahan pada sistem dapat dibuat untuk mencegah masalah yang ada

pada lokasi percontohan agar tidak terjadi di tempat-tempat lain. Pendekatan ini

juga diperlukan apabila masing-masing lokasi memiliki karakteristik unik tertentu

atau keistimewaan sehingga pendekatan langsung atau paralel untuk seluruh

organisasi menjadi tidak layak dilaksanakan. Dalam phased conversion, masing-

masing lokasi dikonversi utuh secara bertahap. Konversi bertahap (phased

(11)

conversion) berupaya memadukan keunggulan-keunggulan dari pendekatan langsung dan pendekatan paralel dengan meminimalisir risiko. Dalam pendekatan ini, sistem baru dijalankan secara online sebagai rangkaian dari komponen- komponen fungsional yang diurutkan secara logis untuk meminimalisir gangguan kepada pengguna akhir dan jalannya bisnis. Konversi bertahap analog dengan pelepasan berbagai versi dari suatu aplikasi oleh pengembang perangkat lunak.

Masing-masing versi perangkat lunak dapat memperbaiki bugs yang diketahui dan dapat mencapai kompatibilitas 100 persen dengan data yang dimasukkan atau diproses dengan versi sebelumnya. Meskipun memiliki keuntungan berupa risiko yang lebih rendah, pendekatan bertahap ini paling banyak memerlukan waktu dan menimbulkan paling banyak gangguan bagi organisasi sepanjang waktu konversinya. Dalam simultaneous conversion, semua lokasi dikonversi pada waktu yang bersamaan.

Whole System Conversion vs Modular Conversion

Pada whole system conversion, semua modul dikonversi dalam satu langkah karena modul-modul dalam aplikasi saling terkait. Sedangkan jika modul-modul dalam aplikasi yang dikonversi tidak saling terkait secara erat, konversi dapat dilakukan dengan modular conversion, yaitu konversi yang dilakukan modul per modul. Pada pendekatan ini, bagian dari sistem baru diperkenalkan sementara sisa dari sistem lama tetap dipergunakan. Pendekatan ini melokalisir masalah ke dalam modul baru sehingga mendukung pemusatan perhatian sumber daya kepadanya. Namun demikian, terdapat kemungkinan terjadinya permasalahan antarmuka ketika modul- modul berbagi data.

Menurut Murdick et. al. (1984) tahapan proses implementasi untuk mengkonversi suatu sistem terdiri dari:

1. Perencanaan implementasi

2. Menyediakan fasilitas dan kantor untuk proses implementasi 3. Organisasi personal yang akan melakukan implementasi 4. Mendevelop prosedur instalasi dan pengujian

5. Mendevelop program pelatihan untuk operator sistem 6. Melengkapi pembuatan software

7. Menyediakan hardware 8. Generate file-file 9. Membentuk desain

10. Menguji keseluruhan sistem

11. Menyempurnakan konversi sistem baru ke dalam sistem lama 12. Melakukan dokumentasi

13. Melakukan evaluasi

14. Melakukan maintenance sistem.

Gambar

Gambar 1 Biaya Perbaikan Kesalahan yang Meningkat Sejalan dengan Tahapan  Pengembanagan
Tabel 1 Faktor dan Karakteristik Alternatif Strategi Konversi Sistem

Referensi

Dokumen terkait

Kemauan suatu perusahaan untuk belajar agar memperoleh pengetahuan sehingga memotivasi untuk saling berbagi dengan organisasi penyedia layanan outsourcingmerupakan

Karena kartu kredit sedikit yang memiliki dan yang memiliki pun tidak ingin memakai kartunya untuk melakukan transaksi lewat internet maka transaksi e-commerce di Indonesia

c) Dokumentasi, yang merupakan mekanisme komunikasi utama selama proses pengembangan. d) Konversi data, pada proses ini terjadi perbaikan dan penyaringan data yang

biaya pengembangannya relatif lebih murah karena hanya melibatkan pihak perusahaan, sistem informasi yang dibutuhkan dapat segera direalisasikan dan dapat segera dilakukan

Dalam menentukan keputusan dalam penerapan teknologi informasi apakah harus memakai jasa outsourcing atau dengan pengadaan internal (insourcing) maka perlu

Sedangkan dalam penerapan SAP ERP sebagai sistem informasi dalam menjalankan kegiatan suatu bisnis, berdasarkan hasil penelitian sebelumnya terhadap beberapa

Jika file sistem baru dan file sistem lama berada pada media yang bisa dibaca komputer, maka bisa dituliskan program sederhana untuk mengkonversi file dari format lama

Oleh karena itu untuk dapat menjaga kinerja Sistem Informasi Eksekutif harus ada pengembangan terhadap sistem yang ada sekarang karena teknologi menjadi investasi yang