UJIAN AKHIR TRIWULAN (UAT) TAKE HOME
Sistem Informasi Manajemen (SIM)
Dosen:
Dr. Ir. Arif Imam Suroso, MSc
Oleh:
Risya Maulida Septiana P056143141.53 Kelas Reguler R53
PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
1. Pengembangan Sistem Informasi dengan Menggunakan Pendekatan Insourcing atau Outsourcing di Perusahaan
INSOURCING
Sistem informasi manajemen menitikberatkan pada informasi untuk suatu keputusan terstruktur atau informasi yang dapat diantisipasi. Hal tersebut mungkin tampak sederhana, tetapi sebenarnya menyediakan informasi untuk membantu manajer-manajer membuat keputusan-keputusan adalah tugas yang sangat sulit dan kompleks. Sistem informasi manajemen memainkan peranan penting dalam penyusunan rencana strategis, pembuatan keputusan, dan pengontrolan kegiatan- kegiatan untuk dapat mengukur tingkat keberhasilannya.
In-sourcing adalah metode pengembangan sistem informasi yang hanya melibatkan sumber daya di dalam suatu organisasi atau suatu perusahaan. Sistem informasi mengenai operasi sistem pada pihak manajemen untuk memberikan pengarahan dan pemeliharaan sistem dalam hal ini pengendalian ketika sistem bertukar input dan output dengan lingkungannya.
OUTSOURCING
Teknologi tidak lagi merupakan pemikiran terakhir dalam membentuk strategi bisnis, tetapi merupakan penyebab dan penggerak yang sebenarnya. Peran utama aplikasi sistem informasi dalam bisnis adalah untuk memberikan dukungan yang efektif atas strategi perusahaan agar dapat memperoleh keunggulan kompetitif diluar perusahaan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang terdapat didalam perusahaan itu sendiri. Perusahaan dapat bertahan hidup dan berhasil dalam jangka panjang hanya jika perusahaan tersebut berhasil mengembangkan strategi tekanan kompetitif yang membentuk struktur persaingan dalam industrinya.
Sumberdaya-sumberdaya yang terdapat diluar perusahaan yang diantaranya, sumber daya data calon pelanggan dan pelanggan, sumber daya data pemasok, sumber daya informasi, sumber daya data pesaing atau kompetitor, dan atau sumber daya lainnya yang terkait hubungannya dengan keunggulan perusahaan yang berada diluar perusahaan (outsource).
Outsourcing dapat berupa meminta pihak ketiga untuk melaksanakan proses pengembangan sistem informasi termasuk pelaksana sistem informasi. Pihak perusahaan menyerahkan tugas pengembangan dan pelaksanaan serta maintenance sistem kepada pihak ketiga. Menurut O’Brien dan Marakas (2006), beberapa pertimbangan perusahaan untuk memilih strategi outsourcing sebagai alternatif dalam mengembangkan Sistem Informasi Sumberdaya Informasi diantaranya:
1. Biaya pengembangan sistem sangat tinggi.
2. Resiko tidak kembalinya investasi yang dilkukan sangat tinggi.
3. Ketidakpastian untuk mendapatkan sistem yang tepat sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.
4. Faktor waktu/kecepatan.
5. Proses pembelajaran pelaksana sistem informasi membutuhkan jangka
waktu yang cukup lama.
6. Tidak adanya jaminan loyalitas pekerja setelah bekerja cukup lama dan terampil.
Berikut ini merupakan gambar diagram yang menunjukkan proses apa saja yang dilakukan dalam lewat cara out-sourcing.
Pada tabel berikut di jabarkan kelemahan dan kelebihan dari penerapan Insourcing dan Outsourcing
KELEBIHAN
Out-sourcing In-sourcing
Perusahaan dapat mengontrol sistem informasinya sendiri.
Perusahaan dapat mengonsentrasikan diri pada bisnis yang ditangani
Masalah mengenai hardware, sofware, dan maintenance sistem merupakan tanggung jawab pihak vendor.
Lebih praktis serta waktu pengembangan sistem informasi relatif lebih cepat, efektif, dan efisisen karena dikerjakan oleh orang yang profesional di bidangnya.
Penghematan waktu proses dapat diperoleh karena beberapa outsourcer dapat dipilih untuk bekerja bersama- sama menyediakan jasa ini kepada perusahaan.
Dapat membeli partner/provider sesuai anggaran dan kebutuhan
Memudahkan akses pada pasar global jika menggunakan vendor yang mempunyai reputasi baik.
Umumnya sistem informasi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan karena karyawan yang ditugaskan mengerti kebutuhan sistem dalam perusahaan.
Biaya pengembangannya relatif lebih rendah karena hanya melibatkan pihak perusahaan.
Sistem informasi yang dibutuhkan dapat segera direalisasikan dan dapat segera melakukan perbaikan untuk menyempurnakan sistem tersebut.
Sistem informasi yang dibangun sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dan dokumentasi yang disertakan lebih lengkap.
Mudah untuk melakukan modifikasi dan pemeliharaan (maintenance) terhadap sistem informasi karena proses pengembangannya dilakukan oleh karyawan perusahaan tersebut.
Adanya insentif tambahan bagi karyawan yang diberi tanggung jawab
Resiko ditanggung oleh pihak ketiga.
Resiko kegagalan yang tinggi dan biaya teknologi yang semakin meningkat, akan lebih menguntungkan bagi perusahaan jika menyerahkan pengembangan sistem informasi kepada outsourcer agar tidak mengeluarkan investasi tambahan.
Biaya pengembangan sistem informasi dapat disesuaikan dengan anggaran dan kebutuhan perusahaan. Mahal atau murahnya biaya pengembangan sistem informasi tergantung jenis program yang dibeli.
Mengurangi resiko penghamburan investasi jika penggunaan sumber daya sistem informasi belum optimal. Jika hal ini terjadi maka perusahaan hanya menggunakan sumber daya sistem yang optimal pada saat-saat tertentu saja, sehingga sumber daya sistem informasi menjadi tidak dimanfaatkan pada waktu yang lainnya.
Dapat digunakan untuk meningkatkan kas dalam aset perusahaan karena tak perlu ada aset untuk teknologi informasi.
Memfasilitasi downsizing sehingga perusahaan tak perlu memikirkan pengurangan pegawai.
untuk mengembangkan sistem informasi perusahaan tersebut.
Lebih mudah melakukan pengawasan (security access) dan keamanan data lebih terjamin karena hanya melibatkan pihak perusahaan.
Sistem informasi yang dikembangkan dapat diintegrasikan lebih mudah dan lebih baik terhadap sistem yang sudah ada.
KELEMAHAN
Terdapat kekhawatiran tentang keamanan sistem informasi karena adanya peluang penyalahgunaan sistem informasi oleh vendor, misalnya pembajakan atau pembocoran informasi perusahaan.
Ada peluang sistem informasi yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan dikarenakan vendor tidak memahami kebutuhan sistem dalam perusahaan tersebut.
Transfer knowledge terbatas karena pengembangan sistem informasi sepenuhnya dilakukan oleh vendor.
Relatif sulit melakukan perbaikan dan pengembangan sistem informasi karena pengembangan perangkat lunak dilakukan oleh vendor, sedangkan perusahaan umumnya hanya terlibat sampai rancangan kebutuhan sistem.
Keterbatasan jumlah dan tingkat kemampuan SDM yang menguasai teknologi informasi.
Pengembangan sistem informasi membutuhkan waktu yang lama karena konsentrasi karyawan harus terbagi dengan pekerjaan rutin sehari- hari sehingga pelaksanaannya menjadi kurang efektif dan efisien.
Perubahan dalam teknologi informasi terjadi secara cepat dan belum tentperusahaan mampu melakukan adaptasi dengan cepat sehingga ada peluang teknologi yang digunakan kurang canggih (tidak up to date).
Membutuhkan waktu untuk pelatihan bagi operator dan programmer sehingga ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan.
Adanya demotivasi dari karyawan ditugaskan untuk mengembangkan
Dapat terjadi ketergantungan kepada konsultan.
Manajemen perusahaan membutuhkan proses pembelajaran yang cukup lama dan perusahaan harus membayar lisensi program yang dibeli sehingga ada konsekuensi biaya tambahan yang dibayarkan.
Resiko tidak kembalinya investasi yang telah dikeluarkan apabila terjadi ketidakcocokan sistem informasi yang dikembangkan.
Mengurangi keunggulan kompetitif perusahaan. Mungkin saja pihak outsourcer tidak fokus dalam memberikan layanan karena pada saat
yang bersamaan harus
mengembangkan sistem informasi klien lainnya.
Perusahaan akan kehilangan kendali terhadap aplikasi yang di-outsource- kan. Jika aplikasinya adalah aplikasi kritikal yang harus segera ditangani jika terjadi gangguan, perusahaan akan menanggung resiko keterlambatan penanganan jika aplikasi ini di-
outsource-kan karena kendali ada pada outsourcer yang harus dihubungi terlebih dahulu.
Jika kekuatan menawar ada di outsourcer, perusahaan akan kehilangan banyak kendali dalam memutuskan sesuatu apalagi jika terjadi konflik diantaranya.
sistem informasi karena bukan merupakan core competency pekerjaan mereka.
Kurangnya tenaga ahli (expert) di bidang sistem informasi dapat menyebabkan kesalahan persepsi dalam pengembangan distem dan kesalahan/resiko yang terjadi menjadi tanggung jawab perusahaan
(ditanggung sendiri).
Perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi SI. O’Brien (2009) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadi kunci sukses penerapan sistem outsourcing yaitu :
Memahami maksud dan tujuan serta sasaran perusahaan
Memiliki perencanaan/misi dan visi yang strategis
Memilih secara tepat service provider/vendor/rekanan yang tepat
Komunikasi yang terbuka antara pihak yang berkepentingan
Mendapat dukungan dan keterlibatan dari pihak manajemen dan eksekutif
Memelihara lingkungan baik dan terbuka dengan individu dan kelompok terkait
Memberika perhatian secara berhati-hati pada persoalan yang menyangkut karyawan
Dapat menjaga jarak
Kontrak yang terstuktur
Memperhatikan isu karyawan
Memiliki justifikasi ekonomi dan keuangan yang layak
Menggunakan tenaga berpengalaman atau yang memiliki keahlian dari luar
2. Pendekatan “Prototyping” dalam Pengembangan Sistem/Aplikasi Bisnis Metode prototyping sebagai suatu paradigma baru dalam pengembangan sistem informasi, tidak hanya sekedar suatu evolusi dari metode pengembangan sistem informasi yang sudah ada, tetapi sekaligus merupakan revolusi dalam pengembangan sistem informasi manajemen. Metode ini sangat baik digunakan untuk menyelesaikan masalah kesalahpahaman antara user dan analis yang timbul akibat user tidak mampu mendefinisikan secara jelas kebutuhannya. (Mulyanto, 2009).
Prototyping adalah pengembangan yang cepat dan pengujian terhadap model kerja (prototipe) dari aplikasi baru melalui proses interaksi dan berulang-ulang yang biasa digunakan ahli sistem informasi dan ahli bisnis. Prototyping disebut juga desain aplikasi cepat (rapid application design/RAD) karena menyederhanakan dan mempercepat desain sistem (O’Brien, 2005). Karakteristik metode prototyping meliputi langkah-langkah mulai dari pemilihan fungsi, penyusunan sistem informasi, evaluasi dan penggunaan selanjutnya.
Tahap – Tahap Rekayasa Software Dalam Prototype Model 1. Pengumpulan kebutuhan
Developer dan klien bertemu untuk menentukan tujuan umum, kebutuhan yang diketahui dan gambaran bagian-bagian yang akan dibutuhkan berikutnya.
Detail kebutuhan mungkin tidak dibicarakan disini, pada awal pengumpulan kebutuhan.
2. Perancangan Cepat
Perancangan dilakukan cepat dan rancangan mewakili semua aspek software yang diketahui, dan rancangan ini menjadi dasar pembuatan prototype.
3. Bangun Prototype
Dalam tahap ini, membangun sebuah versi prototype yang dirancang kembali
dimana masalah-masalah tersebut diselesaikan.
4. Evaluasi prototype
Pada tahap ini, klien mengevaluasi prototype yang dibuat dan digunakan untuk memperjelas kebutuhan software.
5. Perbaikan Prototype
Tahap ini Software yang sudah jadi dijalankan dilakukan perbaikan.
Perbaikan termasuk dalam memperbaiki kesalahan/kerusakan yang tidak ditemukan pada langkah sebelumnya.
Keuntungan dan Kelemahan dari Pendekatan Prototyping Keuntungan:
1. End user dapat berpartisipasi aktif.
2. Adanya komunikasi yang baik antara pengembang dan pelanggan 3. Penentuan kebutuhan lebih mudah diwujudkan.
4. Mempersingkat waktu pengembangan sistem informasi dan relatif lebih mudah dibangun.
5. Penerapan menjadi lebih mudah karena pemakai mengetahui apa yang diharapkannya.
6. Kesalahan dan kelalaian dalam pengembangan dapat segera diketahui.
Kelemahan:
1. Pelanggan tidak melihat bahwa perangkat lunak belum mencerminkan kualitas perangkat lunak secara keseluruhan dan belum memikirkan pemeliharaan dalam waktu yang lama.
2. Proses analisis dan perancangan terlalu singkat.
3. Pengembang biasanya ingin cepat menyelesaikan proyek sehingga menggunakan algoritma dan bahasa pemrogaman sederhana.
4. Mengesampingkan alternatif pemecahan masalah.
5. Biasanya kurang fleksibel dalam menghadapi perubahan.
6. Prototype yang dihasilkan tidak selamanya mudah dirubah.
7. Prototype terlalu cepat selesai.
8. Hubungan pelanggan dengan komputer mungkin tidak menggambarkan teknik perancangan yang baik.
9. Dokumentasi seringkali tidak lengkap.
3. Urgensi Mantainaibility dalam Konteks Implementasi Suatu Sistem Informasi di Organisasi
Maintainability merupakan peningkatan dan perluasan fungsi-fungsi kapabilitas Sistem Informasi (SI) di mana pemakaian sumberdaya dalam aktivitas pemeliharaan, pengoperasian dan penggunaannya dilakukan seekonomis mungkin.
Alokasi sumberdaya perlu dipertimbangkan dengan cermat, baik biaya maupun
effort yang akan dikeluarkan kelak dalam pemeliharaan SI. Hal ini perlu dicermati
bilamana organisasi menilai maintainability SI yang dimilikinya akan memberikan
benefit dikemudian hari. Urgensi maintainability SI perlu dicermati karena biaya
yang dikeluarkan untuk pemeliharaan cukup besar. Boehm (1982) dalam Suroso
(2014) mengungkapkan hasil studinya di mana biaya pemeliharaan memakan porsi
resource dana kegiatan pengembangan dan implementasi perangkat lunak yang
relatif besar, di mana biaya pemeliharaan perangkat lunak mengambil porsi 49%,
sedangkan biaya pengembangan adalah 43% dan sisanya (8%) untuk kegiatan lain- lain. Biaya perbaikan kesalahan pada suatu perangkat lunak juga meningkat sejalan dengan tahapan pengembangannya. Boehm (1981) dalam Suroso (2014) mengungkapkan multiplikasi biaya tindakan korektif, di mana biaya perbaikan kesalahan pada tahap analisa yang hanya memerlukan biaya 2 satuan dibandingkan biaya perbaikan untuk kesalahan yang sama pada tahap operasi yang memelukan biaya 200 satuan (Gambar 1)
Gambar 1 Biaya Perbaikan Kesalahan yang Meningkat Sejalan dengan Tahapan Pengembanagan
Maintainability merupakan hal yang penting karena SI harus terus beradaptasi terhadap perubahan lingkungan penggunaan maupun kebutuhan-kebutuhan yang baru, selain memenuhi tuntutan user untuk keandalan sistem perangkat lunak yang membangun SI dari koreksi atas kesalahan-kesalahan (bugs). Untuk mendukung keandalan dan memenuhi kebutuhan serta mempertimbangkan biaya pemeliharaan software yang besar, alokasi sumberdaya perlu diperhitungkan dengan baik.
Resource yang ditinjau meliputi biaya (maintenace cost) dan usaha (maintenance effort) seperti penjelasan berikut ini,
Maintenance Cost
Swanson (1999) mengungkapkan pemeliharan SI yang berbasis Teknologi
Informasi (TI) memakan biaya yang relatif mahal. Perubahan atau modifikasi
atas suatu perangkat lunak akan membutuhkan biaya dalam pelaksanaan
kegiatannya. Banker (1993) dalam Huber (2009) menyebutkan ada dua tipe
biaya dalam modifikasi software, yaitu biaya finansial dan biaya waktu. Biaya
finansial adalah akumulasi biaya dari komponen pekerja yang terlibat di
dalamnya. Semakin banyak pekerja yang terlibat maka biaya ini akan
semakin tinggi. Biaya waktu adalah akumulasi biaya yang timbul dari
aktivitas ini sepanjang rentang waktu berlangsungnya aktivitas, di mana biaya
finansial adalah komponen yang mempengaruhi biaya waktu. Semakin lama
proses modifikasi software berlangsung untuk mencari tahu (discover),
mengimplementasikan (implement), menguji (test) dan mendokumentasikan (document), maka komponen biaya ini akan semakin tinggi.
Maintenance Effort
Jika suatu aplikasi perangkat lunak yang dimiliki oleh sebuah organisasi dalam proses pengembangannya dibuat agar lebih mudah untuk dimodifikasi, misalnya dibangun dengan tingkat kerumitan yang rendah, maka usaha (effort) yang dicurahkan oleh organisasi tersebut dikemudian hari akan lebih ringan (Swanson, 1999). Maintenance effort sebagai input aktivitas pemeliharaan terdiri dari sumberdaya yang dialokasikan dan digunakan dalam tugas ini, misalnya sumberdaya mesin, workbenches dan sumberdaya manusia atau staff. Sumberdaya manusia sendiri dibedakan berdasarkan keterampilan (skills), pengalaman dan motivasinya, yang kemudian dikelompokkan lagi sesuai job class serta besaran gaji.
4. Konversi Sistem Informasi
Konversi sistem merupakan tahapan yang digunakan untuk mengoperasikan sistem baru dalam rangka menggantikan sistem yang lama atau proses pengubahan dari sistem lama ke sistem baru. Sistem informasi baru di sini dapat berupa aplikasi yang sama sekali baru atau aplikasi lama yang telah diperbaiki untuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Derajat kesulitan dan kompleksitas dalam pengkonversian dari sistem lama ke sistem baru tergantung pada sejumlah faktor yaitu faktor resiko, faktor biaya, dan faktor waktu. Konversi sistem dapat dilakukan melalui beberapa alternatif dilihat dari aspek-aspek karakterstik modul, gaya dan lokasi konversi dapat dilihat pada Tabel 1 yang berdasarkan karakteristik tersebut dapat dibagi menjadi beberapa metode strategi yang dapat digunakan dalam proses konversi sistem informasi (Mallach, 2009):
Tabel 1 Faktor dan Karakteristik Alternatif Strategi Konversi Sistem
Faktor
Gaya Konversi Lokasi Konversi Modul Konversi
Direct Conversion
Parallel Conversion
Pilot Conversion
Phased Conversion
Simultaneous Conversion
Whole- System Conversion
Modular Conversion Risiko Tinggi Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi Sedang
Biaya Rendah Tinggi Sedang Sedang Tinggi Sedang Tinggi
Waktu Pendek Panjang Sedang Panjang Pendek Pendek Panjang